You are on page 1of 2

’SALAH CASTING?


Satu hal yang menjadi perhatian audiens (dalam hal ini penikmat film), adalah
keberadaan pemeran utama dalam film. Hal ini bisa diamati dari beberapa aspek, antara
lain kesesuaian antara tuntutan peran yang diemban dengan karakter tokoh yang
dikembangkan oleh sang aktor, keberhasilan sang aktor berimprovisasi sehingga
menghasilkan peran yang bahkan diluar ekspektasi sang sutradara, atau keberhasilan
sang aktor untuk semata-mata memenuhi tuntutan naskah yang bisa saja memuaskan
audiens yang menonton film tersebut – dimana kesemuanya bermuara pada satu titik,
yaitu keberhasilan sang aktor menghidupkan peran yang dilakoninya.
Maka, yang menjadi perhatian disini adalah peran casting agent yang bertugas
mengaudisi sejumlah aktor untuk peran-peran tertentu. Pertimbangan-pertimbangan
tertentu yang mendasari hasil proses casting pada akhirnya sangat berperan bagi
keberhasilan suatu film. Proses casting itu sendiri bisa dilatarbelakangi oleh berbagai
kepentingan, salah satunya adalah kepentingan profesional film maker, yang memilih
aktor berdasar kapabilitas profesional, filmography yang dimilikinya; atau bahkan
keinginan sutradara tertentu untuk bekerjasama dengan aktor pilihannya (personal
interest). Seperti yang dilakukan Martin Scorcese dengan memilih Leonardo DiCaprio
untuk berperan dalam The Departed yang diarahkan oleh Scorcese, setelah kerjasama
keduanya dalam The Aviator.
Berikut bisa dikatakan sebagai sentimen pribadi, saat Tobey Maguire dipilih untuk
memerankan Peter Parker, yang saya simpulkan sebagai ’salah casting’. Ternyata di
balik pemikiran sepihak tersebut, ada dua interpretasi, interpretasi dan sentimen pribadi
saya sebagai audiens – ”Kok bisa? Spiderman vegetarian? Spiderman kok berasa ga
bertenaga?” dan interpretasi serta pertimbangan film maker, tentunya sebagai pihak
yang lebih berkompeten dalam hal ini – yang lebih merujuk pada pribadi Peter Parker,
seorang nerd yang bersahaja dan berdedikasi pada keluarga dan pendidikannya, yang
justru menjadi karakter sejati dari seorang superhero seperti Spiderman, tidak lain
adalah alter ego seorang Peter Parker.
Sentimen pribadi lain, adalah penobatan Daniel Craig sebagai James Bond,
fenomena ’salah casting’ lainnya. Asumsi yang muncul – ”Bond dekil atau Bond yang
manusiawi?” Ternyata niat film maker adalah membumikan tokoh ciptaan Ian Flemming
tersebut, mengembalikan karakter Bond pada awal karir profesionalnya. Bisa jadi diawali
dari proses casting hingga berujung pada proses syuting, adalah keberhasilan sang
sutradara untuk mengarahkan lead actor untuk memberikan nyawa pada peran yang
dibawakannya, sehingga menjadi film yang layak tonton.
Terlepas dari sentimen pribadi atau tidak, terdapat beberapa karakter film yang
dinilai mengecewakan, salah casting dalam arti sebenarnya. Katakanlah, Timothy
Oliphant yang ketiban sial saat memerankan pembunuh bayaran profesional dalam
Hitman, saking tidak meyakinkannya dalam mengemban peran tersebut. Entah karena
kutukan film-film yang diangkat dari game, untuk menjadi produk gagal atau lantaran
karena ’salah casting’ itu sendiri.
Hampir senada dengan dialami oleh Tom Hanks saat berupaya menghidupkan
tokoh Robert Langdon. Kehati-hatian Hanks dalam memilih peran, justru menjadi
senjata bagi dirinya, terlebih lagi ketika Hanks mendapat kritikan bertubi-tubi dari movie
critics, yang menyatakan bahwa, ”Hanks, has already lost his magic…”. Hal yang tidak
terduga adalah bahwa Da Vinci Code sebagai film tidak mampu berbicara banyak, jauh
berbeda dengan novelnya yang merupakan International Best Seller.
Untuk itu harus diakui bahwa cast auditioning oleh casting agent dan sutradara
berperan sangat signifikan bagi keberhasilan suatu film, yang tujuan utamanya adalah
meyakinkan audiens untuk masuk ke dalam dunia imajiner sang film maker.

You might also like