Professional Documents
Culture Documents
Universitas Sahid
Soal & Jawaban Ujian UTS KOMSOSBANG
Subject : Komunikasi Sosial Pembangunan Score :
Lecturer : Rachmat Baihaky, M.A
Program : Magister
Faculty : Communications Public Relation
Semester : 2 (Dua)
Deadline : November 24th, 2009
PERATURAN :
1. Bagaimana analisa anda dalam melihat permasalahan ini? Apakah ada sebuah /
beberapa solusi demi sebuah pembangunan yang adil / sempurna bagi negara
ketiga?
2. Dan jika negara maju dianalogikan sebagai Jakarta, dan negara – negara dunia
ketiga adalah daerah – daerah tertinggal di Indonesia, bagaimana anda melihat
konteks pembangunan sosial komunikasi di Indonesia? Apakah ada kesamaan /
perbedaan dengan konteksnya di tingkat dunia? Bagaimana membangun /
menuju masyarakat “modern” bagi masyarakat di daerah tertinggal di Indonesia
dengan menjadikan komunikasi sebagai ujung tombak pembangunan?
1. Pendahuluan:
Sejarah mencatat bahwa usai Perang Dunia ke II, banyak negara – negara dunia
ketiga yang mengalami perang / korban perang pada akhirnya mengalami krisis pasca
perang, baik itu krisis ekonomi, politik, hubungan internasional, pangan, keuangan,
teknologi, kultur budaya, pembangunan dll. Dan seperti kita tahu juga, negara – negara
ini yang notabenenya baru saja melepaskan diri dari kolonialisme negara – negara
Eropa, perlu banyak sekali membenahi dirinya dari semua sisi, seperti: menata ulang
sistem & struktur ekonomi yang luluh lantak akibat penjajahan sebelumnya. Dan
pekerjaan rumah bagi negara – negara yang baru merdeka ini (negara dunia ketiga),
untuk mengembalikan rekondisi kultural, dan mengembalikan mental masyarakatnya
untuk terlepas dari trauma akibat perang, serta memulihkan perasaan “mental” sebagai
si-terjajah.
Pasca perang dunia kedua, dengan dalih untuk mengembalikan kondisi dunia
menjadi lebih baik, Pemenang perang dunia kedua, yaitu Amerika Serikat berinisiatif
memunculkan projek bantuan ekonomi yang bertajuk “Marshall Plan” dimana secara
singkat bertujuan untuk mengembalikan pertumbuhan ekonomi negara – negara
penerima bantuan, dengan catatan semua strategi pembangunan disesuaikan dengan
usulan negara donor (ini sebagai upaya awal Amerika Serikat untuk mendirikan negara-
negara satelit Amerika Serikat, dan mengintervensi program – program sosial negara
yang dibantu / “Upaya Ketergantungan tergantung”). Bantuan ini mencakup transfer
teknologi, Penyaluran tenaga ahli, kucuran modal awal, strategi perencanaan program
– program pembangunan, dan mengembalikan tingkat pertumbuhan ekonomi negara –
negara penerima bantuan.
Pasca “Marshall Plan” yang mendapat respon positif dari banyak negara di
dunia, termasuk Indonesia waktu itu, maka mulai diberlakukanlah penerapan
paradigma pembangunan yang bersifat “vertical : top – down”. Dimana secara singkat
pola pembangunan, kebijakan negara, kebijakan pembangunan komunikasi seolah –
olah “harus ditelan bulat – bulat oleh negara penerima bantuan” dan berkiblat pada
negara donor / projek negara - negara maju. Serta mulai diberlakukannya “Theory
trickle – down effect / teori efek tetesan kebawah”. Dimana asumsinya intervensi setiap
program sosial di negara dunia ketiga akan menetes kebawah sampai kepada semua
orang, mulai dari lapisan paling atas (Jajaran penentu kebijakan & pemerintah), lapisan
tengah (pengusaha dan pelaku bisnis), sampai akhirnya lapisan bawah (dalam hal ini
masyarakat luas), akan mampu mengakses pesan – pesan kemajuan secara
bertingkat, dan merasakan dampak ekonomi yang telah diberikan oleh negara
pendonor (Nasution. 1998).
1. Analisa (isi):
Terkait dengan pendahuluan diatas, dalam konteks indonesia, pembangunan
yang bersifat “Vertical top-down & Theory trickle – down effect / Teori efek tetesan
kebawah”. Pada kenyataannya tidak semulus yang diprediksi oleh negara pendonor,
karena model pembangunan tersebut diatas, nyatanya menimbulkan banyak
permasalahan saat eksekusi di lapangan, diantaranya konflik kepentingan di bidang
politik, ekonomi, budaya, teknologi, komunikasi, dll (untuk ditingkat atas: dalam hal ini
Jika beberapa cara ini telah mampu dilaksanakan, maka diharapkan agar masyarakat
Indonesia mampu menuju ke arah yang lebih demokratis, berdaya, merdeka
sepenuhnya, dalam kerangka civil society. Dengan catatan bahwa perintisan
komunikasi partisipatif horizontal ini tidak dimulai dari struktur atas, melainkan dirintis
dari lingkungan masyarakat sehari – hari, dan dimulai dari persoalan sederhana di
dalam masyarakat itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA:
Wibowo, Fred, “Komunikasi Media Teater Rakyat”, Paper Workshop Komunikasi Teater
Rakyat, Studio Audio Visual-Universitas Sanata Darma, Yogyakarta, 1994.
LAMPIRAN