Professional Documents
Culture Documents
Daftar Isi.
PENGANTAR.......................... i.
PENDAHULUAN.................... iii.
Pelebur Penderitaan......................11.
Terminal Pendakian......................44.
PENGANTAR
Hadirnya kitab kecil ini sebetulnya hanya dari kenekatan penulis, yang
tidak menguasai bahasa Sanskerta, ibu bahasa-bahasa dunia itu.
Kenekatan ini semakin menjadi-jadi tatkala penulis menyimak sebuah
terjemahan lengkap Yoga Sutra Patanjali dalam bahasa Inggris pada
sebuah website.
Dimaklumi bahwa Yoga Sutra adalah teks kuno yang amat dihormati oleh
segenap Yogi paska Patanjali. Sebagai pokok Yoga Darsana, keagungannya
Jadi, kembali harus penulis kemukakan bahwa memang semua ini hanyalah
dari kenekatan, hasrat untuk berbuat dan minat yang besar terhadap
kehidupan dan jalan spiritual. Amat banyak kekurangannya disana-sini.
Semoga ia bermanfaat bagi sahabat peminat dan penekun yang
bersungguh-sungguh dan lewat perantara tulisan ini, semoga Sang
Maharshi berkenan memaparkannya secara langsung kepada pembaca
sekalian.
Yoga Sutra yang disusun oleh Maharshi Patanjali ini adalah teks
klasik terbesar dan terutama dalam aliran filsafat Yoga India. Ia dinyana
telah ditulis 2500 tahun lalu; jadi kurang lebih sejaman dengan Buddha
Gotama. Bahkan ada yang berpendapat bahwa teks ini telah disusun tak
kurang dari abad ke-2 SM. Di dalamnya, sutra-sutra tentang Yoga atau
penyatuan universal benar-benar pendek dan akurat; menegaskan secara
lengkap, rinci dan akurat bagian-bagian yang esensial. Mengingat
kepadatan dan kepekatan kandungan makna spiritual-filosofisnya, Yoga
Sutra dianjurkan untuk dijelaskan dan di-interpretasikan oleh seorang
Guru Yoga melalui komentar-komentar. Praktek Yoga dipandang sebagai
pelengkap dari dan dalam satu kesatuan pandang dengan filsafat
Sankhya. Tujuan-pokoknya adalah merealisasikan kebebasan Jiva dari
kungkungan Maya.
Ketidak-cukupan informasi tentang Yoga telah mengundang tak
sedikit persepsi keliru di kalangan awam tentangnya. Yoga seringkali
dikacaukan dengan Tapa, atau bahkan dengan sesuatu yang berbau klenik
yang mendekati takhyul, atau memandangnya hanya dari sudut-pandang
kegaiban-kegaiban dan kanuragan saja, telah menggugah penulis untuk
menghadirkan buku ini di tengah-tengah kita semua.
Untuk ini, ada baiknya diketengahkan paparan Sri Swami Sivananda
—pendiri The Divine Life Society—tentang Yoga.
“Yoga bukanlah mengurung diri di dalam gua-gua, bukan pula
berkelana di hutan-hutan lebat sekitar pegunungan Himalaya. Ia
juga bukan hanya memakan jenis makanan yang berupa sayur-
mayur dari pegunungan. Brahman bukanlah pengecut yang lari dari
hiruk-pikuknya komunitas dan pemukiman manusia. Praktekkan
sajalah Yoga di rumah Anda sendiri. Manakala hasrat untuk
mempraktekkannya muncul, ini berarti bahwa kebebasan telah
berada dalam jangkauan Anda, oleh karenanya manfaatkanlah
peluang ini sebaik-baiknya.....Menjalani kehidupan sebagai seorang
Yogi, tidaklah mesti menelantarkan siapapun juga atau
mengabaikan kewajiban-kewajiban melekat Anda. Ia bermakna
merubah sikap hidup dari kebiasaan mengerjakan sesuatu yang sia-
sia, menuju jalur yang secara pasti mengantarkan langsung kepada
Tuhan. Ia dibarengi dengan perubahan prilaku dalam menjalani
kehidupan serta metode-metodenya guna membebaskan diri Anda
Bagi yang mempunyai naluri mistis yang kuat, bagian yang tersusun
oleh 56 sutra ini, bisa merupakan bagian yang paling menarik. Disini
juga disampaikan peringatan-peringatan untuk tidak melaksanaan
Yoga hanya demi perolehan kekuatan-kekuatan dan kegaiban-
kegaiban itu, apalagi terikat padanya. Ini dapat dengan mudah
menjatuhkan sang penekun.
Yoga Sutra dibuka oleh Patanjali dengan empat aphorisma pendek nan
padat makna ini. Dari sutra I.1 hingga I.4 ini, kita diperkenalkan pada
Yoga, kondisi umum pikiran manusia dan apa yang dapat diperbuat untuk
itu. Sangat mendasar penjelasan dalam empat sutra ini.
Namun, walaupun tak ada Guru suci atau kitab suci yang didengar atau
dibaca, melalui pengalaman empiris (pratyaksa), analogi, perumpamaan
ataupun “modelling test” (upamana) serta membandingkannya dengan
pengalaman-pengalaman sejenis lainnya serta kemampuan analisa pribadi,
dapat pula ditarik suatu kesimpulan yang terpercaya. Proses penyimpulan
inilah yang disebut anumana. Kehadiran upamanapramana menjadikannya
Catur Pramana, seperti yang diajukan oleh Rshi Gautama dalam Nyaya
Darsana-nya. Menurut beliau, ada 4 aspek substantif yang
mengkondisikan atau terkandung dalam proses penalaran, yakni: (i)
subjek (pramata), (ii) objek (prameya), (iii) kondisi hasil amatan (pramiti)
dan (iv) cara mengetahuinya (pramana).
Jelas bahwa sushupti bukan suatu keadaan tidak aktif atau reposisi pasif
tanpa hadirnya keterjagaan (jagra) sama sekali, seperti halnya Nidra. Ia
memiliki signifikansi spiritual-filosofis yang mendalam. Kaum Vedantin
mempelajari kondisi ini dengan sangat hati-hati dan mendalam. Sushupti
memberi petunjuk yang jelas kepada para filsuf non-dualis untuk
menelusuri, meneliti, serta menemukan ‘sang saksi bisu’ yang
tersembunyi.
oOo
Yoga Sutra dibuka oleh Patanjali dengan empat aphorisma pendek nan
padat makna ini. Dari sutra I.1 hingga I.4 ini, kita diperkenalkan pada
Yoga, kondisi umum pikiran manusia dan apa yang dapat diperbuat untuk
itu. Sangat mendasar penjelasan dalam empat sutra ini.
Namun, walaupun tak ada Guru suci atau kitab suci yang didengar atau
dibaca, melalui pengalaman empiris (pratyaksa), analogi, perumpamaan
ataupun “modelling test” (upamana) serta membandingkannya dengan
pengalaman-pengalaman sejenis lainnya serta kemampuan analisa pribadi,
dapat pula ditarik suatu kesimpulan yang terpercaya. Proses penyimpulan
inilah yang disebut anumana. Kehadiran upamanapramana menjadikannya
Catur Pramana, seperti yang diajukan oleh Rshi Gautama dalam Nyaya
Darsana-nya. Menurut beliau, ada 4 aspek substantif yang
mengkondisikan atau terkandung dalam proses penalaran, yakni: (i)
subjek (pramata), (ii) objek (prameya), (iii) kondisi hasil amatan (pramiti)
dan (iv) cara mengetahuinya (pramana).
Jelas bahwa sushupti bukan suatu keadaan tidak aktif atau reposisi pasif
tanpa hadirnya keterjagaan (jagra) sama sekali, seperti halnya Nidra. Ia
memiliki signifikansi spiritual-filosofis yang mendalam. Kaum Vedantin
mempelajari kondisi ini dengan sangat hati-hati dan mendalam. Sushupti
memberi petunjuk yang jelas kepada para filsuf non-dualis untuk
menelusuri, meneliti, serta menemukan ‘sang saksi bisu’ yang
tersembunyi.
oOo
Paparan serupa ini ternyata kita temukan pula dalam Bhagavad Gita
VI.35:
"Tidak diragukan lagi, oh...Mahabahu, pikiran memang sulit
dikendalikan, namun ia dapat dikuasai melalui pembiasaan-diri
(abhyasena), ketidak-terikatan (vairagyena) pun dapat dicapai
melaluinya."
Hampir tak mungkin tumbuh suatu semangat yang kuat, tanpa teguhnya
iman. Satu keyakinan mendasar dari seorang sadhaka adalah akan adanya
Isvara (Tuhan), oleh karenanyalah Isvarapranidhana disebut-sebut sejak
awal.
Dalam tiga sutra ini juga ter-refleksikan dengan amat jelas dan tajam,
bagaimana Patanjali memandang Isvara. Sejauh kita masih berkutat
dengan berbagai kléša dan karma, vasana, dan phala-nya, serta beraneka
samskara, maka Isvara digambarkan seperti dalam sutra I.24 diatas oleh
Patanjali. Penggambaran itu bukanlah dimaksudkan sebagai penggambaran
absolut, dimana hanya itulah sifat-sifat Tuhan dalam konsep
ketuhanannya, namun lebih secara kontekstual dalam jalan pensucian atau
pemurnian batin manusia.
Disebutkan pula bahwa dalam perjadiannya Beliau adalah Raja, Jiwa yang
tidak terjiwai, Jiwa dari semua jiwa. Satu hal yang dapat kita pahami
disini bahwa, konsep ketuhanan yang dianut oleh Patanjali tidaklah
berbeda dengan konsep yang dianut di dalam Wrhaspati Tattwa —suatu
karya sastragama asli Nusantara yang tidak diketahui oleh siapa dan
kapan disusunnya.
Ada tiga kelompok besar bentuk derita atau penyakit manusia menurut
ajaran Sankhya, yakni: derita jasmani (adhibhautika), derita mental
(adhidaivika), dan derita rokhani (adhyatmika). Semuanya ini merupakan
penyakit-penyakit mendasar manusia. Oleh karenanya mereka harus
disembuhkan terlebih dahulu oleh seorang penekun jalan spiritual ini.
Pikiran dan perasaan pada dasarnya tidak dapat memegang atau terisi
oleh lebih dari satu objek dalam satu satuan waktu tertentu. Bilamana
manas telah terisi oleh salah-satu daripadanya, tentu ia tak mungkin lagi
di-isi dengan objek lainnya. Inilah prinsip yang dianut dalam
ekatattvaabhyasa. Oleh karenanya, guna penyembuhan derita-derita itu,
Patanjali menganjurkan untuk mengisinya dengan—setidak-tidaknya—
salah-satu dari Catur Paramãrtha ini.
Sayangnya, pikiran yang tidak terlatih amat sulit memegang satu objek
saja, pada saat yang bersamaan dalam jangka waktu tertentu. Ia cepat
sekali meloncat dan berpindah-pindah dari satu objek ke objek lainnya.
Karenanya ia sering di-ibaratkan sebagai se-ekor kera. Dengan
membiasakan menyatukan semua tattva serta penerapan empat sikap-
batin luhur keilahian tadi, hanya Purusa-lah yang masih tegak berdiri dan
memancarkan Cahaya Agung-Nya. Bagaimana rinciannya? Inilah yang
dipaparkan sepanjang Yoga Sutra ini.
Svapana, yang disebut dalam sutra I.38 bukanlah mimpi biasa yang
dipenuhi dengan kesan-kesan mental dari si pemimpi, yang sering disebut
‘bunga tidur’. Mimpi-mimpi serupa itu hanya mengantarkan si pemimpi ke
alam mimpi —yang menurut penjelasan Wrhaspati Tattwa—serba kabur
dan tidak jelas. Bukan ini yang dimaksudkan disini; yang dimaksud disini
adalah ‘mimpi spiritual’.
Demikian pula halnya dengan tidur pulas, lepas, tanpa mimpi samasekali,
merupakan bentuk Samãdhi yang alamiah, tanpa dibuat-buat, tanpa
diupayakan dan dikondisikan sebelumnya. Sushuptapada adalah alam tidur
nyenyak, sepi tanpa kesadaran, yang tak terpikirkan kondisinya. Kondisi
batiniah ini disebut Sushupti, apabila diupayakan lewat Yoga. Inilah pesan
yang disampaikan dalam sutra tadi.
Berbeda halnya bila ingatan termurnikan ( smrti parisuddha) yang tak lagi
menyimpan, sehingga tidak lagi memunculkan ingatan-ingatan yang
menggoda dari pengalaman-pengalaman duniawi. Inilah yang
pencapaiannya disebut Nirvitarka Samãdhi. Ini erat kaitannya dengan
vairagya, dan kemahiran yang diperoleh dari pembiasaan praktek spiritual
berikut segala disiplin batiniah yang menyertainya ( abhyasa).
Sebaliknya, Nirbija Samãdhi hanya dicapai bila tanpa lantaran dan tanpa
menyisakan benih sehalus apapun lagi; bahkan, ‘pengendali dan pemusnah’-
nyapun termusnahkan (pralina) dalam tataran batiniah Sang Yogi. Dengan
tercapai ini, tiada benih lagi yang mengharuskan kelahiran di alam atau
dalam jasad apapun. Inilah pencapaian sempurna, idealisasi Patanjali.
Inilah akhir dari Samsara. Ini amat mirip dengan konsepsi Nirvana, dalam
ajaran Buddha.
Jadi Yajña, persembahan suci yang tulus ikhlas ini, juga dimaknai sebagai
pelaksanaan Tapa oleh guru besar pendiri Ananda Marga itu. Pandangan
ini ternyata sejalan dengan wejangan Sri Krishna dalam Bhagavad Gita
IV.28: “Ada yang beryajña dengan harta-benda miliknya ( drawya yajña),
beryajña dengan Tapa (tapa yajña), beryajña dengan Yoga (yoga yajña)
dan yang lainnya ada pula yang beryajña dengan Svadhyaya (svadhyaya
yajña), serta dengan Jñana (jñana yajña); demikianlah mereka yang taat
melaksanakan disiplin hidup kerokhanian (vrata).” Dua sutra pembukaan
tadi ternyata memperoleh dukungan kuat dari Bhagavad Gita; bentuk-
bentuk persembahan dalam Isvarapranidhana-pun dipaparkan, sebagai
praktek langsung dalam kehidupan sehari-hari.
Para Rshi mengendalikan diri beliau dengan hidup hanya dari buah-
buahan, umbi-umbian dan udara, beliau mengarungi triloka bertemu
dengan makhluk bergerak maupun tidak bergerak, hanya melalui
kesucian Tapa.
Apapun yang sukar untuk dilalui, apapun yang sukar untuk dicapai,
apapun yang sukar untuk diperoleh, apapun yang sukar untuk
dilakukan, semuanya dapat dicapai dengan kesucian Tapa, karena
Tapa mempunyai kekuatan untuk melintasinya. Mereka yang telah
melakukan dosa besar dan beberapa kesalahan lainnya, dapat
dibebaskan dengan melakukan Tapa. Serangga, ular, ngengat,
kumbang, burung dan makhluk lainnya, berhenti bergerak dan
mencapai surga hanya karena Tapa-nya. Apapun dosa-dosa yang
telah diperbuat oleh seseorang melalui pikirannya, perkataannya
Dalam banyak pustaka suci dan ajaran mental-spiritual Tapa berkait erat
dengan Sauca, pensucian lahir-batin (yang dibicarakan nanti dalam
pembahasan sutra II.40 dan II.41); dan menduduki posisi fundamental
dalam praktek kehidupan spiritual. Tapa berkaitan langsung dengan
kehidupan suci itu sendiri. Bahkan, para rshi di jaman dahulu menerima
wahyu-wahyu melalui kehidupan suci ini.
Mereka yang hanya berpegang dan terpatok pada arti harfiah, dan
memperlakukan kitab-kitab ajaran hanya seperti buku-buku pelajaran
sekolahan, dapat dipastikan akan memperoleh pemahaman yang amat
dangkal, sebatas kata-kata saja. Cara pembelajaran seperti inilah yang
punya andil besar di dalam melahirkan sikap dogmatis, yang menjurus
Yang menarik untuk dicermati lebih jauh adalah apa yang disebut dengan
istilah ‘pratiprasava’ atau mengatasi suatu kecenderungan melalui
perambatan atau menghadirkan serta membiasakan yang berlawanan
dengannya. Ini dapat disebut sebagai suatu ‘metode tandingan’, metode
untuk memusnahkan yang buruk dengan menandinginya dengan yang baik,
atau sejenis itu. Prinsip atau esensi serupa diulang lagi nanti pada sutra
II.33 oleh Patanjali dengan menyebutnya sebagai: Pratipaksa Bhavana.
Inilah metode praktis dalam yogasadhana yang diajukannya.
Dalam dua sutra terakhir dengan gamblang disebutkan bahwa, sebab dari
dukha adalah adanya kecenderungan manusia untuk mengidentifikasikan-
diri sebagai ‘yang diamati’ (drsyayoh). Kecenderungan inilah yang
menimbulkan hasrat untuk memiliki atau ‘ingin menjadi’. Inilah yang
menggerakkan atau menjadi motivasi utama manusia untuk berbuat dan
berbuat atau menghindari perbuatan tertentu. Hampir semua
aktivitasnya bersandar pada motivasi ini. Semakin sempit lingkup manfaat
aktivitasnya, semakin menguatlah asmita-nya.
Namun secara keseluruhan, secara lebih luas lagi, paparan dalam kedua
sutra itu menunjukkan satu prinsip dasar yakni ‘meniadakan akibat
dengan cara meniadakan sebab yang mendahuluinya.’ Inilah sesungguhnya
pengejawantahan dari Hukum Kausalitas Universal yang mendasari semua
kejadian dan ciptaan. Paradigma ini akan lebih diperjelas lagi dalam
sutra-sutra berikut.
Dalam sutra II.30 sampai II.32 belum dipaparkan makna praktis daripada
Yama dan Niyama ini, kecuali menyebutkan Yama sebagai ‘sumpah-
sumpah (samaya) universal (sarvabhuma) yang agung’, oleh karena tidak
dibatasi oleh golongan kelahiran (jati), ruang dimana mereka lahir dan
hidup (desa) dan penjamanan (kala) serta merupakan mahavrata—praktek
brata yang agung. Paparan dari Yama disampaikan kemudian pada sutra
II.35 sampai dengan II.39, dilanjutkan dengan paparan Niyama pada sutra
II.40 sampai dengan II.45.
Bila itu telah terjadi, maka siapapun yang mengusik, apalagi menyerobot
untuk ikut menikmatinya, membangkitkan ketidak-berkenanan, persaingan,
kebencian (dvesa) hingga kemurkaan (krodha). Dalam bentuknya yang lebih
halus, muncul kecemburuan, iri-dengki. Sesuai dengan dua sifat alami
manusia—guna rajas dan tamas—ini bagaikan tak terhindari. Rangkaian
proses di dalam inilah tanpa disadari, secara akumulatif, telah semakin
mempertebal kabut kemabukan dan kebodohan, moha. Tentu, dalam
kondisi batin demikian, seseorang tak akan segan-segan melakukan himsa-
karma. Ia yang telah terjebak dalam siklus iterasi yang terakumulasi ini,
akan semakin jauh dari kesadaran, apalagi pengetahuan luhur (jñana). Oleh
karenanya, dukha-ajñana-ananta merupakan konsekuensi atau pahalanya
yang paling logis.
Atas pola pikir yang sama, maka amat dianjurkan untuk mengisi terlebih
dahulu pemikiran-pemikiran yang konstruktif bagi pengembangan batin,
sehingga pemikiran-pemikiran destruktif tidak memperoleh kesempatan
untuk menyusup. Pikiran yang terisi pemikiran-pemikiran konstruktif akan
membentuk bentengnya sendiri secara alami. Bilamana ini dikuatkan, secara
akumulatif, melalui pengulangan-pengulangan secara berkesinambungan,
maka sattvam berkembang dengan subur, mendesak, hingga mendominasi
rajas dan tamas. Nah...kondisi batin yang jernih inilah yang dapat
diharapkan memberi dorongan kuat pada seorang penekun jalan spiritual di
dalam meraih keberhasilannya.
Di Indonesia, ia lebih dikenal dengan sebutan Panca Yama Brata, atau ada
pula yang memberinya sebutan Panca Sila, yang bersama dengan Panca
Niyama Brata membentuk Dasasila. Tidak membunuh atau menyiksa
makhluk hidup, tidak mencuri, tidak berjinah atau melakukan perbuatan
asusila, tidak berbohong atau berkata-kata tidak jujur, dan tidak mabuk-
mabukan atau menghindari yang memabukkan merupakan lima ajaran
moral-etik buddhis, yang juga disebut Panca Sila.
Kecuali Ahimsa yang telah dikenal luas, Satyagraha adalah ajaran dan apa
yang juga diterapkan Gandhi. Ia berarti senantiasa bersemayam dalam
kebenaran. Menurut Gandhi Satyagraha adalah: perwujudan baru dari
Sanatana Dharma (Ajaran Kebenaran Abadi), sama dengan kekuatan
kebenaran, kekuatan cinta-kasih dan kekuatan batin, dasar dari kehidupan
bersama dalam masyarakat.
Mahatma Gandhi dalam “The Gandhi Sutra” —yang disusun oleh Prof. D.S.
Sarma— juga berpendapat sama tentang Brahmacarya. Kata Gandhi:
“Menjalankan Brahmacarya menurut pernyataan orang-orang sangat sukar,
Jadi, tampak jelas bahwa dalam penerapannya, Yama tak dapat dipisahkan
begitu saja dari Niyama —yang akan kita bicarakan belakangan. Keduanya
setangkup, membentuk Dasasila, yang secara kondusif membentuk sikap-
batin luhur dan kejernihan hati, serta menjanjikan kemajuan pesat dan
keberhasilan dalam Yoga.
Sauca membangkitkan kemuakan terhadap jasad (savãnga) dan ke-
engganan untuk mengadakan hubungan fisik dengan jasad lain.
Dengan pemurnian mental (sattvasuddhi) muncul keriangan, daya
konsentrasi, penaklukan indria, dan kesiapan untuk menerima
pemahaman Sang Diri-Jati (jayãttma darsana).
Dari Santosa, kebahagiaan tertinggi (anuttama sukha) diperoleh.
Kesempurnaan kinerja organ-organ indria datang bersamaan dengan
hancurnya kekotoran batin melalui Tapa.
Melalui Svadhyaya dicapai penyatuan dengan Istadevata.
Pencapaian Samãdhi merupakan siddhi dari praktek
Isvarapranidhana.
[YS II.40 - II.45]
Sikap dan kondisi tubuh, ekspresi wajah, diketahui sebagai punya kaitan
erat sekali dengan kondisi mental. Ambil contoh anjuran “keep on smiling”
misalnya. Adakah landasan ilmiah —selain empiris—dari anjuran ini?
Ternyata ada; seorang psikolog Jerman, Fritz Stark, pernah mengadakan
penelitian ilmiah terhadap senyum, dalam kaitannya dengan pengkondisian
1
Tabloid Aura; Edisi Khusus/Th.III; Minggu ke-3; September 1999.
Prasna Upanishad antara lain juga mengandaikan prana sebagai ruji dalam
sebuah roda, dimana semua didasarkan prana, didasarkan prinsip-
kehidupan ini. Sri Swami Sivananda memaparkan bahwa, Pranayama
mengantarkan penekun untuk bertatap-muka langsung dengan prinsip-
kehidupan. Mengendalikan prinsip-kehidupan, memberi suatu pandangan
mendalam pada kekuatan yang memotivasinya.
Dalam hal ini, Wrhaspati Tattwa memberi petunjuk: “Tutup semua lubang
yang ada dalam tubuh, seperti: mata, hidung, mulut, telinga; udara, yang
sebelumnya telah terisap, itu dikeluarkan melalui ubun-ubun. Bila tidak
terbiasa mengeluarkan udara melalui jalan itu, udara dapat dikeluarkan
melalui hidung, namun secara perlahan-lahan. Itulah yang disebut
Pranayamayoga.”
Kedua praktek ini adalah yang paling praktis dan paling umum dilakukan
oleh berbagai kalangan dan tingkatan penekun. Baik Pranayama dan Japa
tiga tahapan maupun empat tahapan, ada yang menyertai dengan
penghitungan bulir-bulir tasbih. Namun, bagi sementara penekun yang
merasakan ini sebagai kurang praktis dan menyolok perhatian [terutama
kalau sedang berada di tempat-tempat umum], bisa menggunakan
nafasnya langsung sebagai tasbih. Yang manapun yang dipilih, hendaknya
disesuaikan dengan kondisi, kepentingan dan kebiasaan masing-masing,
agar ia dapat dipraktekkan dengan santai, tanpa ketegangan yang tak
perlu. Ingat, tujuan utamanya adalah membersihkan atau menentramkan
vritti.
Sebelum kita masuk pada sutra-sutra dalam Vibhuti Pãda ini, ada baiknya
saya kutipkan pengingatan Sri Swami Sivananda berikut:
“Siddhi terwujud dengan sendirinya, apabila sang Yogi telah
mencapai kemajuan dalam pelaksanaan Yoga-nya. Siddhi merupakan
penghalang dalam jalan spiritual. Seorang penekun harus
menjauhkan diri darinya tanpa kompromi, dan tetap tegar langsung
menuju tujuan, yaitu Asamprajñãta Samãdhi dan Nirvikalpa
Samãdhi. Spiritualitas yang sesungguhnya tak ada kaitannya
dengan daya-daya ini, mereka hanyalah hasil sampingan dari
konsentrasi”.
Dalam paparan sutra III.9 - III.15 nanti, akan dipaparkan lebih jauh
tentang tahapan-tahapan transformasi internal ( parinama) yang terjadi
dalam batin sang penekun. Bila paparan ini dicermati, ternyata dalam
prakteknya ia amat berhampiran dengan kelima tahapan ini.
Sabda dan rupa adalah dua unsur halus dari Panca Tanmatra—lima unsur
halus yang membentuk jasad manusia—disamping rasa, gandha dan sparsa
tanmatra. Mereka ada pada setiap makhluk berjasad. Mereka jugalah
yang merupakan objek cerapan indria sensorik yang ada dalam setiap
makhluk hidup. Melalui kewaspadaan, keterpusatan dan kejernihan
Samyama, daya asosiatif dari sensasi luar dengan yang di dalam
meningkat kepekaannya. Peningkatan daya asosiatif ini yang didukung
oleh ketajaman kelima indria sensorik inilah yang melahirkan kemampuan
ekstra-sensorik bagi sang penekun. Dengan kemampuan ini, sang penekun
mampu mengetahui yang tidak kasat-indria, ‘yang tersembunyi’, ‘yang
rahasia’.
Apa yang sesungguhnya perlu kita ketahui dari sebentuk prilaku atau
tindakan dan ucapan, adalah maksud atau motifnya. Bukan sekedar apa
yang kasat-indria saja. Bukankah kita bertindak pun berucap berdasarkan
motif atau maksud ini? Bukankah ini sebagai ‘nilai internal’ dari setiap
tindakan dan ucapan kita. Namun, darimanakah maksud atau motif itu
berasal? Bila kita menyelidikinya ke dalam, akan kita temukan kalau
mereka semua merupakan ekspresi dari keinginan atau hasrat terpendam
sehubungan dengan kesan-kesan mental yang terbentuk pada pengalaman
Karmaphala ada dua jenis; yang sedang berlangsung dan yang belum
aktif; melalui Samyama terhadapnya, diketahui tanda-tanda dan
saat kematian.
[YS III.23]
Beberapa hasil dari Samyama tadi mungkin saja memang diperlukan oleh
Sang Yogi untuk mengatasi halangan-halangan fisik, seperti lapar dan
haus atau untuk memahami metabolisme tubuh dan menjaga kesehatan
beliau, memberdayakan dan meningkatkan kemampuan daya-vital ataupun
pengetahuan-pengetahuan lain yang bermanfaat bagi beliau dan orang
banyak.
Tak banyak yang perlu dikomentari dari kedua sutra ini, kecuali
pengembangan intuisi lewat Samyama dan penegasan lagi bahwasanya
guna sattvam bisa sangat mengelirukan dengan Purusa. Purusa jernih,
transparan, netral, tak terjangkau oleh nalar atau kecerdasan ( buddhi)
manusiawi yang tanpa sifat; sedangkan sattva adalah salah-satu sifat
atau kekuatan luhur dari Prakriti. Sattva ditandai dengan pertimbangan-
pertimbangan yang mengarah pada kebajikan, moralitas dan pengetahuan
suci. Dialah yang mewarnai citta, dan citta yang terwarnai olehnya
disebut buddhi.
Seperti juga telah diingatkan oleh Sri Swami Sivananda pada awal bagian
ini, sutra III.38 ini menegaskan lagi bahaya dari siddhi-siddhi ini. Sutra
Dengan menguasai Udana, air, lumpur, duri, dan yang lainnya tidak
dapat menyentuh; kematianpun teratasi.
Dengan menguasai Samana, kerja api pencernaan diketahui.
[YS III.40 dan III.41]
Ada disebutkan dalam Sutra Pitaka bahwa Yang Arya Ananda — salah
seorang siswa utama Sang Buddha— mempunyai ingatan yang amat kuat
dan amat cerdas. Hampir semua sutra-sutra dalam Tri Pitaka berasal
dari ingatan beliau. Sutra-sutra umumnya dibuka dengan kata-kata
beliau: “Seperti yang pernah saya dengar......dst.” Konon beliau mempunyai
kecepatan berpikir, mencerap dan menyampaikan pemikirannya 7 kali
lebih cepat dari manusia yang cerdas; sementara itu, manusia yang
cerdas memiliki kecepatan berpikir, mencerap dan menyampaikan
pemikiran 7 kali lebih cepat dari manusia normal. Jadi, Ananda 7 x 7 kali
lebih cepat dalam hal ini dari manusia biasa.
oOo
Sattvam merupakan sifat luhur dari Pradhana, dari semesta material ini.
Sementara Purusa sendiri memang suci adanya. Sattvam yang benar-
benar murni —samasekali tanpa kontaminasi dari sifat Rajas dan Tamas—
akan sedemikian jernih dan transparannya sehingga tidak memberi
pewarnaan atau penyifatan lain apapun kepada Purusa—yang sejak awal
memang suci itu. Sattvam yang benar-benar murni sama artinya dengan
tidak ada samasekali pengaruhnya terhadap Purusa, sehingga Purusa
kembali tegak dalam kesucian-Nya. Kondisi inilah yang dimaksudkan
Beliau amat maklum bahwa, segala sesuatu yang beliau alami dan jalani di
dunia, hanya bekerja sesuai alurnya Prakriti. Sementara beliau masih
menyandang jasad yang berasal dari alam, maka ia mesti toleran pada
kaidah-kaidah alam. Seorang Yogi Sejati bukanlah penentang hukum alam;
Seorang petani yang baik, akan dengan rajin membersihkan saluran air
yang mengairi sawahnya. Sampah-sampah ataupun kotoran yang
menghalangi aliran air tentu tak dibiarkan begitu saja mengganggu,
apalagi sampai menyumbatnya. Membersihkan saluran, tidak melawan
hukum alam. Bahkan sebaliknya; dengan membersihkan saluran air petani
membantu pemanfaatan air dengan baik sehingga tak terbuang sia-sia.
Saluran yang tersumbat oleh sampah, kotoran, rerumputan dan tanaman
air liar dapat menjadi penyebab meluapnya air sehingga ia terbuang
percuma dan membanjiri area sekitarnya.
Asmita-lah yang mengalami dan yang merasakan baik atau buruk dari
perbuatan, karena dialah yang menganggap dirinya sebagai ‘pelaku’, yang
beranggapan bahwa ‘ini aku’, ‘ini punyaku’ atau sejenisnya. Dengan
tersingkirkannya asmita, maka kléša lain pun kehilangan dayanya. Dengan
hilangnya daya hambat kléša, citta termurnikan kembali. Sang Yogi tak
lagi menerima pahala baik atau buruk dari perbuatannya.
Dalam pada itu, kelangsungan waktu berjalan sesuai hukumnya, masa depan
menjadi masa kini, dan masa kini terlewati dan menjadi masa lalu. Prinsip
kosmis yang mengatur segala keberadaan. Berdasarkan hukum kosmis
itulah, bila seorang pendamba kebebasan, penyatuan, dalam kurun tertentu
mengakhiri hidupnya pada satu alam kehidupan tertentu, kesan-kesan
(samskara) serta ingatan-ingatannya akan dambaannya itu tetap terbawa
sebagai benih-benih perbuatan bagi kelahiran berikutnya (kriyamana
karma vasana) untuk diteruskannya. Kriyamana karma-vasana inilah
Mungkin saja citta dalam suatu kelahirannya atau dalam kondisi tertentu,
tampak berbeda; akan tetapi citta sesungguhnya jernih, dan kembali
terjernihkan seperti sediakala. Pengalaman-pengalaman dari pendakian
spiritualnya di masa lalu, pasti muncul kembali sebagai ‘vasana spiritual’.
Paradigma ini seringkali mengecoh banyak orang. Jangankan orang awam,
para peminat dan penekun-pun bisa terkecoh karenanya; padahal
keterkecohan itu tak perlu terjadi bila Hukum Karma Phala dan
Samsara benar-benar dipahami. Yang bijak mengatakan bahwa, derajat
kesucian batin seseorang hanya dapat diketahui oleh mereka yang memiliki
kesucian batin yang sekurang-kurangnya setara dengannya.
Buddhi tidak bersinar sendiri, sebab ia berasal dari apa yang dicerap
(drsyatvat);
dan pada saat yang bersamaan dua hal tak dapat dicerap sekaligus.
Kesadaran hanya bertindak sebagai perantara dari ingatan dan kesan-
kesan yang dicerap oleh buddhi dan mengacaukannya; ini merupakan
kemunduran.
[YS IV.19 dan IV.21]
Bila suatu benda berwarna didekatkan pada sebuah kristal asli yang jernih,
maka warna dari benda tersebut tampak mewarnai kristal itu. Bila benda
berwarna merah yang mendekatinya, maka merah-lah tampaknya kristal
itu; walaupun sesungguhnya, kristal tersebut tidak berwarna. Daya-cerapnya
yang besar terhadap cahaya-lah yang menyebabkan ia seolah-olah berwarna.
Secara analogis, dapat dikatakan bahwa daya-cerap itu merupakan
perangkat kerja dari buddhi, dan kristal itu adalah citta.
Akan tetapi, bagi yang masih gandrung pada phala dari kebajikannya, dan
berkata dalam hati: “Inilah phala dari upaya dan kebajikanku selama ini”,
asmita dan rasa kepemilikan (mamakara) segera menyergap lagi. Bukan
hanya memaparkan status itu saja, agaknya Patanjali juga mengingatkan
lagi akan hal ini dalam sutra di atas. Karena subha karma phala yang
menumpuk sedemikian banyaknya membentuk dharma megha, mereka bisa
jadi tak terbakar habis dalam kehidupan ini. Dan ini dapat menarik beliau
untuk terlahir di alam surga atau alam para dewa. Ini juga merupakan
pengaruh dari sisa-sisa kléša yang halus, karena masih tersisanya asmita.
Sat sampat atau enam sadhana kedewataan ini terbentuk oleh enam
sadhana utama, yakni:
Sama: dapat mengendalikan kecenderungan pikiran dan perasaan
yang senantiasa mengarah ke dunia luar. Pratyahara
mempersiapkan seorang sadhaka untuk mencapainya.
Dama: dapat menasehati diri sendiri dan mengendalikan indria. Ini
terkait dengan Svadyaya dan Tapa, dua komponen praktek spiritual
dalam Kriya Yoga; disamping Pratyahara.
Uparathi: kemampuan menarik indria dari dunia objek, untuk
diarahkan ke dalam. Lagi-lagi ini terkait langsung dengan
Pratyahara.
Titiksha: kemampuan untuk menanggung kesulitan dan penderitaan
dengan sabar, tabah dan ketenangan. Ini merupakan hasil dari
pelatihan pengekangan atau Tapa.
Sraddha: keyakinan yang teguh pada-Nya dan pada jalan menuju-
Nya. Ini secara pasti membangun kesempurnaan Isvarapranidhana.
Mencapai Mukti jelas bukan pendakian yang mudah. Seorang Yogi yang
cukup berhasil sekalipun, masih menghadapi berbagai godaan-godaan
halus yang dapat menjatuhkannya. Setelah Pangeran Siddharta
memperoleh Penerangan Agung dan mencapai Ke-buddha-an, Mara masih
tetap menggoda bahkan hingga setahun sesudahnya. Pengingatan wanti-
wanti dari Patanjali sepantasnyalah dipandang sebagai sesuatu yang
senantiasa mengingatkan untuk berhati-hati, agar jangan sampai
terjebak oleh hasil kebajikan sendiri, disamping mengingatkan secara
wanti-wanti untuk senantiasa menyempurnakan viveka-jñana.
Yama dan Niyama bersifat universal; mereka jelas bukan hanya milik
bangsa India ataupun umat Hindu saja. Mereka merupakan tatanan moral-
etik luhur bagi umat manusia, yang sarat nilai-nilai kemanusiaan yang
universal dan holistik. Ini dimungkinkan oleh karena para bijak dan orang-
orang suci jaman dahulu merancangnya lewat pengetahuan intuitif beliau
yang sempurna terhadap kondisi variatif dari setiap manusia dalam sifat-
sifat fisikal, mental maupun spiritualnya. Mereka bukan juga sebentuk
spekulasi filosofis atau sekedar ajaran moral-etik yang tidak implementatif
samasekali, dogmatik, tak masuk akal atau bersifat takhyul.
Bhakti dan Karma Marga terkandung secara nyata dalam paparan awal
Sadhana Pãda, dalam sebutan Kriya Yoga. Disana ada pola hidup
sederhana dan pengekangan diri dari rongrongan hawa nafsu dan berbagai
keinginan melalui laku tapa, sebagai terapan untuk mensucikan diri lahir-
batin. Ada pula Isvarapranidhana, penyerahan dan perlindungan hanya
kepada Tuhan. Di dalamnya ada rasa sujud, penyerahan diri dan bhakti, ada
pelayanan yang tanpa-pamerih (nishkama karma). Disana juga ada
pembelajaran-diri secara mandiri (svadhyaya), yang menjauhkan kita dari
sikap dogmatis dan fanatisme.
Yoga Marga —atau lebih umum dikenal sebagai Raja Yoga—juga dikenal
sebagai jalan spiritual-mistis. Ini mungkin terlahir dari kenyataan, dimana
Patanjali memberi porsi yang cukup besar pada upaya mistis dalam Vibhuti
Pãda, yang dengan panjang-lebar memaparkan perolehan kekuatan-
kekuatan spiritual-mistis (siddhi-siddhi) lewat samyama terhadap objek-
objek eksternal maupun internal tertentu. Sementara itu, di banyak
bagiannya, Patanjali juga wanti-wanti mengingatkan bahwa bukan itu tujuan
Yoga; mereka hanya dampak-samping, yang bahkan dapat mengakibatkan
kejatuhan bagi Sang Yogi. Sementara itu, Pranava Japa, basis dari Japa
Yoga, disinggung dalam lebih dari satu sutra.
Semoga kita semua selalu ada dalam bimbingan dan limpahan anugrah-Nya.
Oleh:
Jauh dalam lubuk hati setiap orang, ada suatu keyakinan yang mendalam
akan adanya Makhluk Tertinggi, kepada siapa seorang Sadhaka berpaling
untuk memohon bantuan dan bimbingan, perlindungan maupun inspirasi.
Namun sang ego tidak mengijinkan ini terjadi. Hanya dengan cara
melepaskan Purusha dari penjara sang ego saja, Purusha dapat dilepaskan
dari jaring Prakriti. Sang ego memang dengan bersusah-payah bisa
ditundukkan melalui analisa subjektif saja; akan tetapi adalah mudah untuk
membedakan ego—yang terpisah dari Purusha—bila ia dengan suka-rela
menyerahkan-dirinya sebagai suatu persembahan pada altar-persembahan
kepada Yang Maha Kuasa; inilah Ishvarapranidhana. Inilah hipotesa
dari Yoga, sebagai tambahan dari nasehatnya agar berupaya dengan gigih
(Sadhana-Marga).
Raja Yoga adalah raja dari semua Yoga. Ia secara langsung berurusan
dengan batin. Dalam Yoga ini tidak ada perjuangan dengan Prana maupun
jasmani (Apana). Tidak diperlukan lagi kriya-kriya dari Hatha Yoga. Sang
Yogi duduk dengan sederhana, memperhatikan dan mententeramkan
gelembung-gelembung pemikirannya. Beliau mengheningkan-cipta,
menjinakkan gelombang pikiran dan memasuki kondisi tanpa-pemikiran
(thoughtless state) atau Asamprajñata Samãdhi; itulah Raja Yoga.
Yoga Sutra disusun dalam beberapa bab. Bab pertama adalah Samãdhi-
pãda. Ia memaparkan beberapa jenis Samãdhi. Ia berisikan 51 Sutra.
Hambatan-hambatan dalam meditasi, lima bentuk Vritti (pusaran pikiran)
dan cara mengendalikannya, tiga bentuk Vairagya, sifat-sifat dari Ishvara,
berbagai metode untuk mencapai Samãdhi serta cara untuk menghadirkan
kedamaian hati melalui pengembangan sifat-sifat luhur, juga dipaparkan
disini.
NODA-NODA BATIN.
Penyebab utama dari derita ini adalah Avidya. Manakala mentari pemilah-
milah (Viveka) telah terbit di dalam, Sang Purusha mulai menyadari kalau
Ia berbeda dengan Prakriti, bahwa Ia bebas dan tiada terpengaruhi. Raja
Yoga memberi Anda sebuah metode paling praktis yang mengantarkan
Anda pada kondisi yang mengagumkan ini.
Menurut Raja Yoga, ada tiga tipe penekun —Uttama, Madhyama dan
Adhama Adhikari. Bagi masing-masing tipe, disediakan tiga jenis Sadhana.
ASHTANGA YOGA.
Raja Yoga dari Patanjali umumnya juga disebut Ashtanga Yoga yaitu
Yoga dengan delapan lengan (tahapan); melalui pempraktekannya,
kebebasan dapat dicapai. Kedelapan lengan tersebut adalah: Yama,
Niyama, Āsana, Pranayama, Pratyahara, Dharana, Dhyana, dan
Samãdhi.
Delapan tahap ini telah tersusun sedemikian rupa secara ilmiah. Mereka
merupakan langkah-langkah alamiah dalam sebuah tangga yang
mengantarkan manusia menuju sifat-sifat kedewataannya yang sejati.
Semua jaring-jaring yang melekatkan Purusha pada Prakriti dipotong
secara pasti. Pemutusan ini membebaskan Purusha untuk menikmati
Kebebasan, Kaivalya Moksha. Inilah tujuan dari Raja Yoga.
Bila pikiran hancur, maka Vritti-vritti pun terkikis. Bila Vritti-vritti terkikis,
maka keinginanpun akan tercabut hingga ke akar-akarnya. Sang Yogi lalu
dengan cepat bisa menarik ke dalam semua sinar pikirannya dari tenaga
penggeraknya yang ada di luar. Proses inilah yang disebut dengan
Pratyahara.
Sang Yogi yang berada dalam Status Tertinggi ini kehilangan seluruh
kesadaran eksternalnya, demikian pula halnya dengan semua kesadaran
dualitas atau kebhinekaannya; beliau bahkan kehilangan ide tentang aku-
nya (Asmita) dalam Asamprajñata Samãdhi. Inilah Status Tertinggi
dimana Sang Purusha berada mantap dalam Svarupa-Nya.
Cobalah meraih kemantapan dalam Yama dan Niyama, dan pada saat yang
bersamaan latihlah Āsana, Pranayama dan meditasi sebanyak Anda bisa.
Dengan demikian keberhasilan akan lebih cepat tercapai. Andapun akan
Judul asli “RAJA YOGA”; diinterpretasikan dari edisi website The Divine Life
Society yang telah di-update pada hari Minggu 14 Juli 1996.
”Batin yang tidak tercela, tidak lemah, tidak ada yang dikehendakinya,
tidak ada yang diharapkannya, jernih tanpa noda, tidak dapat
dihancurkan; Cetana seperti itu tanpa objek, tiada lagi ia merasakan
badan, bebas dari Catur Kalpana. Catur Kalpana adalah ‘tahu’,
‘diketahui’, ‘pengetahuan’ dan ‘mengetahui’. Semua itu tak adalagi bagi
Sang Yogiswara. Itulah yang disebut Samãdhiyoga. Ia juga adalah
Sadanggayoga, sebagai pengetahuan suci Sang Pandita, hingga
ditemukannya Sanghyang Wisesa. Sikap ke-yogiswara-an yang demikian
itu, terjaga oleh Dasasila”.
Dalam paragraf dari Wrhaspati Tattwa - 59 di atas, ada beberapa kata kunci
yang menarik untuk disimak lebih dalam lagi, yakni: Cetana, Catur
Kalpana, Sadangga-Yoga dan Dasasila.
Cetana adalah hakekat sejati, yang sesuai kesuciannya dengan dan dapat
diklasifikasikan ke dalam tiga tingkatan kesucian: Paramasiwa Tattwa,
Sadasiwa Tattwa dan Siwa Tattwa. Kesuciannya ditentukan oleh kuat-
lemahnya pengaruh Maya. Paramasiwa Tattwa sepenuhnya bebas dari
pengaruh Maya, Siwa Tattwa masih dipengaruhi Maya, sedangkan
Sadasiwa Tattwa berada di antara keduanya. Disini, Paramasiwa-lah
yang dipandang sebagai Nirguna Brahman, sedangkan Sadasiwa adalah
Saguna Brahman, bila mengikuti peristilahan Advaita Vedanta.
Ungkapan yang amat mirip dengan paradigma itu pernah saya dengar dari
seorang Wiku, yang telah tiada kini, dengan ungkapan sebagai berikut:
Bila kita cermati keempat aspek fungsional dari Catur Kalpana, kita dapat
menangkap bahwa apa yang disebutkan sebagai Catur Kalpana adalah
‘proses dan unsur pencerapan’; mungkin istilah ini lebih akrab dengan
telinga kita. Secara fungsional, semua itu dikerjakan oleh ‘persepsi’. Secara
menyeluruh sloka tadi membicarakan hanya dua proponen batin tertinggi
saja, yakni: kesadaran dan persepsi; dimana persepsi yang dimaksudkan
disini bukanlah cerapan melalui organ-organ indriawi, seperti yang
umumnya dikenal. Ia cerapan murni, tanpa penilaian, tanpa rasa suka atau
tak-suka, tanpa pengharapan pun penolakan, tidak membenarkan pun
menyalahkan atau bentuk-bentuk penghakiman lain layaknya yang
dilakukan oleh campuran pikiran dan perasaan. Ia melampaui rasio dan
emosi —yang kontroversinya malah menimbulkan konflik internal yang
tiada henti. Ia tanpa dualitas. Ia juga kita kenal dengan sebutan intuisi.
Secara teknis, baik pikiran, apalagi perasaan atau emosi, tak lagi mengotori
suasana batin Sang Yogiswara. Mereka secara praktis telah gugur,
tertinggalkan dalam tataran yang lebih rendah, bersamaan dengan
terlaluinya Prãnãyama, Pratyãhãra, Dhãrana dan Dhyãna. Hingga
Dhyãna, pikiran telah tersublimasikan dan bercahaya sebagai Buddhi,
sebagai kecerdasan kosmis, sebagai intuisi.
Tanpa perumpamaan pendakian gunung tadi, mungkin agak sulit bagi kita
untuk membayangkan dan mengungkapkan kondisi kesadaran yang
terbebas samasekali dari persepsi, murni, jernih bak kristal dan damai itu,
dengan kata-kata. Mungkin itulah sebabnya mengapa agak sulit bagi kita
untuk menemukan paparan yang jelas tentangnya, baik secara lisan maupun
tulisan. Ia jauh lebih mudah dirasakan lewat praktek langsung dalam
sadhana, daripada dibicarakan. Praktek langsung memberi pengalaman
langsung yang amat berharga. Yoga adalah praktek langsung, secara empiris,
bukan sekedar himpunan berbagai konsepsi-konsepsi spiritual-filosofis saja.