You are on page 1of 29

Puisi “Kebohongan Demokrasi”

Oleh Lathifah Musa

Bohong kalau mereka bilang Demokrasi itu suci


DEMOKRASI adalah Musang berbulu domba
Menjaga sistem tetap berasas materi
Campakkan agama dari aturan hidup manusia
Bohong kalau demokrasi adalah jalan keadilan
DEMOKRASI adalah alat bagi eksistensi ideologi KAPITALIS
Memaksa Indonesia harus jadi pelayan
Menghamba dan jual kedaulatan kepada para IMPERIALIS
Bohong kalau mereka bilang DEMOKRASI kedaulatan di tangan rakyat
DEMOKRASI adalah KEDAULATAN di tangan PENGUSAHA
Maka seluruh UU tidak berpihak pada masyarakat
UU Migas; UU Ketenagakerjaan; UU Privatisasi Air; UU Badan Hukum
Pendidikan; UU Mineral dan batubara
Bohong kalau DEMOKRASI kekuasaan di tangan rakyat
DEMOKRASI adalah KEKUASAAN di tangan Pemilik Modal
Penguasa menjadi pengusaha terhadap rakyat.
Rakyat beli sembako, minyak dan gas dengan harga yang sangat mahal
Modal produksi minyak 500 rupiah dijualnya lima ribu
Itu pun mereka bilang masih merugi
Rugi kalau tak untung lebih dari puluhan ribu
Inginnya untung segunung dan rakyat dibiarkan mati
Lahan mata air terkapling sudah
Pompa-pompa kecil tak bisa berfungsi dan aliran air terhenti
Rakyat kini hanya bisa pasrah
Karena harus membeli air di tanah airnya sendiri
Bohong kalau DEMOKRASI menyatukan kita semua
DEMOKRASI menjadi alat untuk memecah belah.
Satu sama lain punya peluang merdeka
Desentralisasi; otonomi khusus; reverendum berawal dari modus otonomi daerah
Timor Leste menjadi sejarah
Sebuah wilayah melalui otonomi
Yang merdeka dan terpisah
Atas nama Demokrasi
Bohong kalau demokrasi adalah Jalan memperjuangkan Islam
DEMOKRASI menjadi Perangkap bagi umat
Pengemban dakwah terserang demam
Opportunis; jual beli kursi; politik dagang sapi; korbankan ideologi; melempar harga diri yang
tersemat.
Bohong kalau DEMOKRASI menyejahterakan kaum perempuan
DEMOKRASI hanya tipuan
Quota 30% di legislatif dan eksekutif sekedar jebakan
Kaum ibu kehilangan nurani dan identitas diri ditinggalkan
Demi kursi, perempuan pun membuat sepakat
Dua puluh empat jam siap tinggalkan rumah
Titipkan anak-anak setiap saat
Mengganti kasih sayang dengan apapun yang bisa dibeli dengan rupiah
Bohong kalau kesetaraan itu memuliakan
GENDER hanya memecah belah rumah tangga
Antar Perempuan dan laki-laki terjadi persaingan
Perempuan pun berjuang sendiri meraih sejahtera
Bohong kalau DEMOKRASI memelihara kemanusiaan
DEMOKRASI membiarkan sekelompok rakyat terpinggirkan
Tidak pernah menyentuh ketinggian peradaban
KEARIFAN LOKAL menjadi slogan alasan
Sekelompok manusia dibiarkan berkoteka
Menyembah berhala
Menjadi tontonan masyarakat dunia
Bahwa di negeri ini masih tersisa peradaban purba
Bohong kalau DEMOKRASI memperjuangkan nilai-nilai ideal
DEMOKRASI adalah ideologi liberal.
Manusia menjadi Tuhan.
Tak boleh ada agama yang bisa mengatur moral
Bahkan fatwa pun harus ikut pada kepentingan
Halal dan haram tunduk di kaki-kaki Kiai
Yang takluk pada Mekanisme dan Prosedur DEMOKRASI
Pemuka agama tak berani jujur
Maka kehormatan umat pun hancur
Dan kini DEMOKRASI Berpesta
Untuk para Kapitalis Yang kucurkan puluhan trilyun rupiah
Di atas tangan-tangan anak negeri yang berkata
Masih kurang, mengapa tidak ditambah
PESTA DEMOKRASI kami mesti meriah
Wakil-wakil kami nanti harus hidup dengan tunjangan mewah
Rumah, kantor dan gedung pertemuan megah
Untuk rakyat cukup hanya slogan, janji dan kaos murah
DAN DEMOKRASI PUN AKAN BERPESTA UNTUK KEBOHONGAN
KEBOHONGANNYA
Politikus dalam Demokrasi

Bagi masyarakat yang telah terbiasa hidup dalam jargon demokrasi, istilah politikus
dipandang hanya untuk mereka yang terlibat dalam urusan pemerintahan,
parlemen atau partai-partai politik yang melibatkan diri dalam pemilu untuk meraih
kursi kekuasaan. Diluar ranah aktivitas tersebut, bukanlah aktivitas politik.

Lebih dari itu, demokrasi telah mengentalkan brand image seorang politikus
sebagaimana fenomena para politikus ala Machiavellis. Para diktator-diktator besar
seperti Hitler, Mustapha Kemal dan sederetan penguasa licik, jahat dan keji adalah
murid-murid teladan yang menerapkan dengan sangat baik ”The Prince”, buku
panduan para politikus, karya besar Machiavellis dalam sejarah Kapitalisme.

Akhirnya, mayoritas kaum muslimin pun memandang politik dan politikus dengan
sudut pandang keliru ini. Politik dipandang sebagai aktivitas kotor dan alat keji yang
jauh dari sifat akhlaqul karimah seorang muslim. Bahkan sadar ataupun tidak,
seorang politikus muslim yang awalnya memiliki motivasi tulus untuk memperbaiki
kondisi masyarakat yang buruk, terperosok juga ke dalam langkah-langkah
Machiavellis.

Dalam standar Machiavellis: ” Tujuan Menghalalkan Segala Cara”. Alam demokrasi


telah menjebak manusia untuk mengkompromikan kebenaran dengan kebathilan.
Demokracy is from the people, by the people and for the people, istilah yang
dipopulerkan oleh Abraham Lincoln dan kini telah mengglobal di bawah payung
Amerika Serikat. Ketika suara rakyat menjadi Tuhan, maka Hukum Syariat tidak
boleh menjadi ukuran.

Demokrasi telah mendoktrin masyarakat untuk tidak menyebut-nyebut agama


dalam pengaturan kehidupan bernegara. Hal ini melahirkan kalangan muslim yang
anti politik, sebagai akibat citra kotor aktivitas politik. Namun di sisi lain, muncul
para politikus muslim yang terjebak untuk berkompromi. Tak jarang terdengar
penolakan kalangan ini terhadap istilah agama dan syariat. Mereka lebih merasa
mulia mengemban istilah politikus demokratis dibandingkan dengan politikus Islam.

Politikus Islam Sejati

Fakta dan kebenaran sejarah telah mengungkapkan bahwa Suri Tauladan,


Rasulullah Saw adalah seorang Politikus besar. Bahkan Michael H. Hart,
cendekiawan As, Penulis buku 100 Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah, telah
menempatkan Nabi Muhammad Saw sebagai Tokoh Nomor Satu Paling
Berpengaruh dalam Sejarah. Hart mengatakan bahwa Muhammad Saw bukan
semata pemimpin keagamaan, namun juga pemimpin duniawi. Kepemimpinan
politiknya senantiasa berada terdepan sepanjang waktu.

Islam memang bukan agama yang hanya bersifat ruhiyah (spiritual), namun juga
siyasiyah (politik). Terlaksananya seluruh hukum Islam (secara Kaffah) yang
termaktub dalam Al Qur’an dan Al Hadits, hanya terwujud dalam bentuk Institusi
Negara. Ada hukum-hukum Islam yang beban pelaksanaannya hanya ada di tangan
negara, seperti perekonomian, peradilan, persanksian, pemerintahan dan lain-lain.
Pelaksanaan hukum ini tidak di tangan perseorangan, sekelompok masyarakat atau
partai, namun hanya di tangan Negara. Dengan demikian setiap muslim yang
menyadari bahwa Islam harus diterapkan secara Kaffah, akan memahami bahwa
politik dan perjuangan politik menjadi hal yang sangat penting. Rasulullah Saw
adalah Pejuang Politik yang dengan Perjuangan Politiknya telah berhasil
menegakkan Negara Islam di madinah dan dengan institusi Negara tersebut
perjuangan dakwah Islam meluas ke seluruh penjuru dunia.

Islam telah menggariskan makna politik sebagai pengaturan urusan umat baik di
dalam maupun luar negeri. Negara sebagai pihak yang mengurus kepentingan
umat, sementara umat berperan melakukan koreksi terhadap pemerintah. Dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Hakim dan al-Khatib dari Hudzaifah ra,
disebutkan bahwa ”barangsiapa yang bangun pagi dan tidak memperhatikan
urusan kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum
muslimin).” Hadits ini menunjukkan bahwa aktivitas mengurusi urusan umat adalah
kewajiban seluruh kaum muslimin. Hal ini juga mengindikasikan wajibnya setiap
muslim untuk berpolitik.

Di dalam Islam, seorang politikus tidak harus mereka yang memegang wewenang
kekuasaan atau jabatan pemerintahan. Politikus juga bukan berarti mereka yang
sarjana lulusan ilmu politik atau pemerintahan. Politikus adalah setiap mereka yang
memiliki kepedulian dan kepekaan terhadap problematika umat. Politikus adalah
mereka yang memiliki kesadaran bahwa pengaturan seluruh urusan umat
seharusnya dilaksanakan sesuai hukum-hukum syariat Islam. Politikus berarti
mereka yang terjun langsung mengurusi urusan umat dan mengetahui bagaimana
seharusnya penguasa mengatur umatnya sesuai syariat Islam.

Beberapa hal yang merupakan aktivitas politik adalah: 1) Menentang kebijakan


penguasa yang zholim, meluruskan mereka agar tidak menyimpang dari penerapan
syariat Islam; 2) menegakkan amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa yang
zholim; 3) memberikan kesadaran politik kepada masyarakat agar segala urusan
mereka tegak di atas aqidah Islam dan bersandarkan pada syariat Islam. Dalam
kondisi belum tegaknya Daulah Islam/ Khilafah Islamiyah, aktivitas politik yang
paling penting adalah memperjuangkan tegaknya Khilafah Islamiyah, sebagai
institusi yang berwenang menerapkan hukum-hukum Allah Swt. Rasulullah Saw
telah memberikan suri tauladan bagaimana perjuangan politik menegakkan negara
Islam. Diawali dari upaya membangun benih dakwah di Mekah, selanjutnya dakwah
menyebar hingga menemukan tempat yang kondusif untuk menjadi benih negara
Islam yang menerapkan seluruh hukum-hukum Allah Swt, dan yang menjadi negara
pengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.

Dengan demikian, seorang politikus bisa jadi adalah para pedagang di pasar, petani
di sawah, karyawan di pabrik, guru di sekolah, sopir-sopir angkutan, penjual sayur
keliling bahkan para ibu rumah tangga. Dengan catatan mereka adalah orang-orang
yang memiliki kesadaran politik Islam (sudut pandang berdasarkan aqidah Islam),
memiliki kepedulian terhadap urusan umat dan melakukan aktivitas politik.

Para shahabat dalam perjuangan politik bersama Rasulullah Saw di Mekah, juga
menjadi pemanggul dagangan mereka ke pasar sebagaimana yang dilakukan Abu
Bakar, menggembala ternak dan menempa besi-besi. Namun mereka senantiasa
aktif menyampaikan dakwah Islam kepada masyarakat, mendebat pemuka-pemuka
Quraisy atau mengungkap makar mereka kepada masyarakat. Mereka adalah
politikus sejati yang menjadikan kehidupan dakwah sebagai poros seluruh aktivitas
kehidupan.

Para Politikus Muslimah dalam Sejarah

Telah tercatat dengan tinta emas sejarah, beberapa aktivitas politik para
shahabiyah. Antara lain yang pernah dilakukan oleh Asma’ binti Abu Bakar. Ia
dengan beraninya telah mengantarkan perbekalan kepada ayahnya Abu Bakar dan
Rasulullah Saw yang saat itu bersembunyi di Gua Tsur dalam perjalanan hijrah
mereka ke madinah. Apa yang dilakukan Asma’ memiliki resiko yang sangat besar
apabila diketahui oleh orang-orang Kafir Quraisy. Asma’ telah melakukan tugas
politik yang penting, karena saat itu Rasulullah Saw telah dinanti-nanti oleh
penduduk Madinah untuk menjadi pemimpin Negara Madinah, negara Islam
pertama yang menjadi benih pertama Peradaban Islam.

Asma’ binti Yazid al-Asyhaliyah, juru bicara kaum wanita telah menyampaikan isi
hati kaum wanita kepada Rasulullah Saw yang saat itu menjadi Kepala Negara
Islam. Asma menanyakan tentang kedudukan dan nilai peran wanita di hadapan
kaum laki-laki. Saat itu Asma’ berbicara di hadapan forum yang juga dihadiri oleh
para shahabat (laki-laki). Apa yang dilakukan Asma’ mendapatkan pujian Rasulullah
Saw.

Seorang muslimah di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab telah


mengkritik kebijakan Umar tentang pembatasan jumlah mahar. Muslimah ini
menyampaikan apa yang ada dalam al-Qur’an tentang tidak adanya batasan mahar
bagi kaum wanita. Saat itu pula Khalifah Umar langsung mencabut kembali
kebijakannya dan mengatakan,”wanita ini benar dan umar yang salah.”

Demikianlah masih banyak lagi tauladan para shahabiyah dalam melakukan


aktivitas politik. Merekalah tauladan politikus perempuan. Mereka menyampaikan
pendapat, menegakkan ’amar ma’ruf nahi munkar, mengkritik kebijakan penguasa,
melakukan pembinaan kaum muslimah dan yang lebih penting lagi melahirkan
generasi pemimpin Islam yang cerdas, tangguh dan gemilang. Sebagaimana yang
telah dibuktikan dengan kecemerlangan kepemimpinan Hasan dan Husain bin Ali
bin abi Thalib, Abdullah bin Zubair, Umar bin Abdul Aziz dan pemimpin-pemimpin
muslim lainnya, melalui kerja keras pembinaan anak usia dini dari para ibu mereka.
Sebuah peran berdimensi politik yang tak tergantikan oleh sekolah kependidikan
politik manapun [Ir. Lathifah Musa, April 2009]
Puisi “Kapitalisme di Ujung Tanduk”
Oleh Lathifah Musa

Krisis besar menghadang dunia


Bayangan kehidupan yang merana
Perekonomian sarat manipulasi
Jual beli yang tidak pasti menjadi Biang keladi
Geliat perbankan ribawi dan pasar saham
Sumber perekonomian yang suram
Kebebasan kepemilikan
Individu serakah kuasai lahan
Jurang kesejahteraan melebar
Rakyat miskin kian terkapar
Sementara pemilik modal bergelimang kekayaan
Perbanyak mengeruk keuntungan
Dollar disembah
Padahal ia hanya kertas sampah
Tak ada nilai perak ataupun emas
Sumber inflasi dan hyperinflasi dunia yang membuat cemas
Hari ini KAPITALISME telah membuka wajah aslinya
Dengan tipu daya dan keburukan-keburukan yang disandangnya.
Hari ini KAPITALISME menggali lubang kuburnya
Dengan kerusakan seluruh kaki dan tangannya
PLURALISME, HAK ASASI MANUSIA, LIBERALISME, KESETARAAN GENDER DAN
DEMOKRASI
Mereka bilang inilah kaki-kaki
Membawa kesejahteraan sejati
Mereka juga bilang slogan-slogan ini
Menjaga dunia dan antarnegara agar tetap damai
Tapi meskipun mata manusia bisa buta
Telinga tak lagi mendengar suara
Pandangan keimanan sejati tak bisa dibohongi
Karena sejarah dunia menjadi saksi
KAPITALISME berwajah buruk
Tubuh busuk dan badan membungkuk
Langkah-langkah kian tersaruk
Dan Kematiannya DI UJUNG TANDUK
Peradaban rusak akan segera punah
Beralih ke Tatanan yang mulia, adil dan sejahtera
“Wa takuunu Khilafatan ‘ala minhajin nubuwwah
Khilafah di atas Manhaj Kenabian kelak akan segera ada
ALLAHU AKBAR!
Realistis Terhadap Fakta Demokrasi

“Tidak ada yang memperdebatkan Ayat – ayat Allah, kecuali orang yang kafir” Al Mu’min : 4

MITOS DEMOKRASI

Ada saat dimana Allah menguji kita dengan kemiskinan, atau mungkin saat di mana tidak kau
dapati sekerat rotipun di rumahmu. Sering pada saat itu kita seperti melihat gemerlap dunia
membuai dalam rayuan “Ayolah ambillah realitas ini, tidak ada salahnya sesekali mengalah toh
kamu tetap terlabel Islam dengan atau tanpa kontain di dalam label itu”. Begitu mungkin
pernyataan pernyataan mereka yang di urat nadi dan pembuluh darahnya telah ‘menghalalkan’
mitos dari bid’ah besar demokrasi dalam aqidah islam mereka.

Ya persis seperti kisah nyata dari seorang sahabat yang mencoba menasehati sahabatnya.
“Sudahlah akhi, ideologis itu baik, namun realistis itu juga tidak kalah penting, demokrasi adalah
keniscayaan, kita harus merebut kekuasaan agar dakwah kita menjadi kuat”

“Maaf kawan, realistis yang kamu maksud itu pragmatis, karena realistis bagi saya adalah tegar
di tengah badai, karena saya sangat realistis dengan keyakinan saya jika Allah dapat memberikan
makan burung – burung maka tak mungkin Ia menelantarkan orang – orang yang berpegang
teguh di jalan dan tidak merendahkan SyariatNya untuk di voting sejajar dengan hukum Kafir”
Jawab sahabat yang satu lagi.

“Tidakkah kau perhatikan orang – orang yang telah menukar ni’mat (perintah dan ajaran –
ajaran) Allah dengan kekafiran Dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan? Yaitu
neraka jahannam : mereka masuk ke dalamnya; dan itulah seburuk buruknya tempat kediaman”
Ibrahim : 28 - 29

Kadang mendengar gumaman retorika dari setiap halaqoh pengajian hingga perdebatan
demokrasi warung kopi memang tidak ada habisnya. Bahkan tidak aneh juga di zaman ketika
Syuro berarti DPR yang salah satu isinya adalah kafirun dari partai damai sejahtera, dan lusinan
makhluk sosialis opportunis sejenis Budiman Sudjatmiko bisa duduk sejajar dengan ustad –
ustad berlabel LC, MA dan sejenisnya untuk menggarap sebuah hukum final dibawah naungan
patung baru Latta dan Uzza bernama Pancasila.

“Katakanlah: ‘Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang – orang yang lebih buruk
pembalasannya, dari (orang – orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang – orang yang di kutuki
dan dimurkai Allah diantara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan orang – orang
yang menyembah Thagut?’. Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang
lurus”. Al Maaidah : 60

Yang bahkan hukum itu jauh lebih berharga dari Al Quran dan As Sunnah. Seberharga
berbahayanya Poligami dan carut marutnya orisinalitas undang – undang anti pornografi dan
pornoaksi. Seperti ‘Semengerikannya’ Dua Istri Aa Gym hingga Poligami Shaikh Puji daripada
menghabisi lusinan diskotik yang menghalalkan pelacuran, sepelacur gangster Islam Liberal
yang berkoalisi dengan Ahmadiyah. Menelanjangi wajah toleransi diatas nama nasionalisme
yang hari ini masih eksis menjadi ‘lebih halal’ dari perlawanan Nahi Munkar Front Pembela
Islam di setiap tempat kemaksiatan yang di babatnya, namun FPI selalu saja disebut biang
kekerasan, organisasi rendahan, dan tetek bengeknya, yang tidak kalah menyedihkannya
pendapat itu juga sering terlontar tidak sedikit dari para kader – kader partai Islam. Atas nama
eleganitas, kearifan, dan retorika lainnya. Maka yakinlah :

“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan
menyesatkan kamu dari jalan Allah, mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka,
dan mereka tidak lain hanya berdusta (terhadap Allah)” Al An’aam : 116

ISLAM ITU REALISTIS, TAPI REALISTIS TIDAK SELALU ISLAM

Ya hari ini kita memang tidak perlu bicara lagi


tentang Ideologi, Sejak Hidayat Nur Wahid menyolati legenda Abdullah Bin Ubay Nurcolish
Madjid sambil mengharamkan Golput dan duduk bersama Ruyandi Hutasoit, lalu orang sekaliber
Din Syamsudinpun pernah berdoa bersama dalam sebuah perayaan natal. Maka jika demokrasi
adalah kendaraan menegakkan Syariat Islam, ketahuilah tak ada Syariat Islam yang berdiri dari
voting suara – suara manusia. Apalagi jika diantara manusia tersebut terdapat golongan yang
tidak beriman kepada Allah Swt dan Rasulullah SAW, dan itulah Dewan Perwakilan Rakyat!
Bagaimana mungkin keridhoan dan keberkahan Allah Swt datang atas negeri jika pada hari
dimana pemungutan suara dilakukaan diseantero negeri, para panitianya lebih sibuk menghitung
lembaran suara pemilu daripada berangkat ke masjid tepat waktu untuk menunaikan sholat
fardhu. Bayangkan berapa banyak pada hari pemungutan suara orang – orang lebih memilih
duduk duduk menyaksikan proses pemilu dan mengurusnya berwaktu – waktu di TPS – TPS
menjadi lebih menarik daripada menjawab suara adzan ketika waktu sholat dzuhur, ashar,
maghrib bahkan Isya untuk segera ke berangkat sholat berjamaah di Masjid.

Namun ternyata di masa pemilu thagut ini, kita tidak hanya menemukan dosen yang
meninggalkan mahasiswanya, melalaikan kewajiban mengajar demi kampanye, namun kita juga
menemukan begitu rendahnya Syariat Allah dibandingkan sebuah pesta thagut bernama
demokrasi. Ya…kalaupun ada yang menghargai Adzan ia hanya beristirahat untuk membiarkan
suara adzan berkumandang lalu mengumumkan bahwa waktunya istirahat karena sudah masuk
Ashar, namun itu tidak menjamin bahwa mereka menegakkan sholat tersebut, kecuali mereka
hanya bersantai – santai di pos TPS tersebut.

“Sesungguhnya beruntunglah orang – orang yang beriman, (yaitu) orang – orang yang khusyu’
dalam sholatnya, dan orang – orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang
melalaikan”
Al Mu’minuun : 1 – 3

Maka sebaik – baiknya definisi realistis harusnya adalah bicara apa adanya, katakanlah yang
benar sekalipun itu menyakitkan. Katakanlah bahwa yang benar adalah benar dan yang salah
adalah salah. Tanpa harus mencari dalil untuk di cocok – cocokkan. Tanpa harus mengelabui
kebodohan dengan pembodohan demi pembodohan selanjutnya.

REALISTIS ATAU PRAGMATIS?

Ambillah cerita menarik ini, suatu ketika di sebuah Mabit seorang mad’u muda bertanya tentang
alasan kenapa sosok Presiden Suharto harus di masukkan menjadi bagian dari Pahlawan
Indonesia. Maka di keluarkanlah dalil Hudaibiyah oleh Si Pembicara Mabit. Katanya “
Rasulullah saja mau mengalah”. Bahkan dalam kasus yang lain ada juga ustad yang bicara “
Coba antum lihat bagaimana Umar Bin Khatab Ra patuh pada keputusan syuro di kisah
perjanjian Hudaibiyah”.

Dari kisah ini, kita bisa belajar membedakan antara definisi realistis dengan definisi pragmatisme
dakwah. Orang – orang yang realistis Insya Allah bisa memahami bahwa kondisi keputusan
‘gencatan senjata’ di Hudaibiyah bukan berdasarkan sebuah hasil Syuro atau musyawarah.
Namun keputusan Rasulullah Saw untuk menahan diri dan menghindari pertumpahan darah
dengan kaum musyrikin bukan karena sebuah hasil syuro manusia, namun lebih kepada
keputusan seorang Mulia bernama Rasulullah Saw yang setiap keputusannya selalu bersinergi
dengan wahyu - wahyu yang diturunkan oleh Allah Swt.

“Bagaimana mungkin ada perjanjian (aman) di sisi Allah dan RasulNya dengan orang – orang
musyrik, kecuali dengan orang – orang yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan
mereka)di dekat masjidil Haram (hudaibiyah), maka selama mereka berlaku jujur kepadamu
hendaklah kamu berlaku jujur (pula) terhadap mereka. Sungguh Allah menyukai orang – orang
yang bertakwa” At Taubah : 7

Jadi sikap realistis terhadap perjanjian hudaibiyah jelas berbeda dengan konsep ‘rekonsiliasi
terhadap tirani soehartoisme’. Ini salah satu contoh bagaimana seharusnya kita membaca jelaga
dari gejala. Ada beberapa kasus yang jika secara detail kita telusuri makna – makna Hudaibiyah
memiliki ‘kelas tersendiri’ yang tidak bisa di cocok – cocokkan dengan fakta untuk dijadikan
dalil manuver politik pragmatis sebuah partai politik berlabel dakwah dan Islam. Karena setiap
orang yang menggunakan dalil Al Quran dan As Sunnah harus memperhatikan kaidah
penggunaan dalil, yaitu salah satunya hukum As Sunnah tidak boleh bertentangan dengan dalil
Al Quran. Kita tidak bisa menggunakan sebuah hadist sebagai hujjah jika ia bertentangan dengan
Al Qur’an. Jika Al Quran sudah menjelaskan dengan tegas bahwa :

“Dan Sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Qur’an bahwa apabila kamu
mendengar ayat – ayat Allah di ingkari dan diperolok – olokkan (oleh orang – orang kafir),
maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang
lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan
mereka, sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang – orang munafik dan orang –
orang kafir di dalam Jahannam” An Nisa : 140

Perhatikan sinkronisasi surat At Taubah ayat 7 yang berkata ‘selama mereka berlaku jujur’
dengan surat An Nisa : 140 dimana Allah mengharamkan kita jangankan bekerja sama, duduk
bersama dengan orang – orang yang mengingkari dan mengolok – olok ayat Allah saja tidak
boleh!

Inilah indahnya Islam, setiap muslim atau setiap mujahidin diharamkan melakukan aniaya,
pendzoliman dan bersikap tidak adil terhadap mereka para kafir yang tidak memerangi islam
( tidak mengolok olokkan) Syariat Allah. Mereka di golongkan ke dalam Kafir Dzimmi,
Rasulullah SAW bahkan dengan tegas akan menghukum umat Islam yang mengganggu
kehidupan komunitas kafir dzimmi pada masanya. Hingga di dapati bahwa para kafir dzimmi itu
melakukan olok – olokkan terhadap ayat Allah Swt, melakukan usaha pemurtadan terhadap
kaum muslimin, maka sungguh mereka telah termasuk Kafir Harbi (kafir yang memerangi
Islam), maka mereka wajib di perangi.

“Orang – orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti
agama mereka, katakanlah : ‘Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)’. Dan
sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu,
maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu” Al Baqoroh : 120

Tinggal kita kaji fakta – fakta di dalam demokrasi, benarkah di dalam institusi Pancasila semua
elemen adalah orang – orang jujur (menghargai Syariat Allah Swt)?, benarkah di dalam DPR
semua komponen adalah orang – orang yang beriman kepada Allah Swt dan Rasulullah SAW?,
Benarkah di dalam Konstitusi negeri thagut ini para pemimpin tidak hanya menempatkan Syariat
Islam hanya di KTP semata? Dan yang paling penting Syariat Islam tidak ditegakkan menunggu
mayoritas masyarakat memintanya di tegakkan, ia di tegakkan karena mutlak kewajiban dari
Allah Swt bagi setiap muslim menegakkannya, dengan atau tanpa suara terbanyak di situ.
APAKAH DEWAN SYURO ANDA SEKELAS ALI BIN ABU THALIB RA?

Jadi jelas pada perjanjian hudaibiyah ‘bersabarnya’ Rasulullah Saw untuk melakukan perjanjian
damai dengan kaum musyrikin adalah karena tuntunan dari skenario Allah Swt untuk memberi
pelajaran kepada umat Islam sendiri juga para musyrikin, saya pribadi melihat seperti sebuah
kesempatan dari Allah Swt agar para musyrikin itu bisa belajar memahami bahwa Islam bukan
agama terror, ia tidak mengganggu sebuah kemaslahatan masyarakat, sekalipun ada orang –
orang tidak beriman selama mereka tidak mengolok – olokkan Syariat Allah SWT. Namun
ketika mereka kaum musyrikin dan kaum kafirun itu mengolok – olok ayat Allah sekali lagi
sudah jelas bagaimana surat An Nisa : 140 menjelaskan pada kita haram berkompromi dengan
mereka. Juga di beberapa ayat Al Qur’an yang lain :

“dan apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada hokum Allah bagi mereka yang yakin?” At Taubah : 50

Ada pelajaran yang juga saya petik dari kisah Perjanjian Hudaibiyah. Ketika Rasulullah Saw
menerima Suhail sebagai utusan kaum musyrikin untuk bernegosiasi, Rasulullah Saw akhirnya
hendak menulis poin – poin kesepakatan damai atau gencatan senjata. Ketika itu Ali Bin Abu
Thalib Ra adalah sahabat yang hendak menulis.

Ketika Rasulullah berkata “Bismillahirrahmanirrahim”, Suhail keberatan sambil berkata “tentang


Ar Rahman, demi Allah aku tidak tahu siapa dia? Tetapi tulislah: Bismika Allahumma.”

Maka Rasulullah memerintahkan Ali Bin Abu Thalib untuk menulis seperti itu. Ada perbedaan
pendapat tentang hal apakah Ali menuruti kemauan Rasulullah atau tidak, namun kebanyakan
ulama menyakini bahwa Ali Bin Abu Thalib menolak menulis Bismika Allahumma hingga
Rasulullah Saw merubahnya sendiri.

Yang kedua Rasulullah mendikte “Ini perjanjian yang ditetapkan Muhammad, Rasul Allah”,
Suhail kembali keberatan sambil berkata “Jika kamu memang utusan Allah, tentunya kami tidak
akan menghalangimu untuk masuk masjidil Haram, tidak pula memerangimu, tetapi tulislah
Muhammad Bin Abdullah” itulah salah satu keberatan dan permintaan Suhail. Akhirnya
Rasulullahpun mengalah, lalu meminta Ali Bin Abu Thalib Ra untuk mengubah tulisan “SAW”
menjadi Muhammad Bin Abdullah. Dalam hal ini ulama sepakat Ali Bin Abu Thalib kembali
menolak karena keimanannya. Akhinya Rasulullah Saw sendiri yang mengubah nama itu.

KEDUSTAAN DALIL HUDAIBIYAH DAN REKONSILIASI PAK HARTO


Mari kita petakan terlebih beberapa poin penting
dalam masalah hudaibiyah dan kecocokannya dengan fenomena iklan (rekonsiliasi) Pak Harto.

1. Keputusan Damai dalam peristiwa Hudaibiyah memang di dasari dari peristiwa


keinginan berhaji Rasulullah Saw dan para sahabat. Jadi memang tidak mungkin sebuah
niat untuk berhaji dilakukan sambil memancing sebuah peperangan selain itu hanyalah
sebuah kesiagaan untuk membela diri ketika di serang terlebih dahulu oleh musuh Islam.
Keputusan damai ini bukan keputusan pengampunan dosa Abu Sufyan dan Hindun
beserta Kafir Quraisy lainnya.

Rasulullah memaafkan kesalahan (mengampuni dosa) Abu Sufyan dan Hindun yang telah
membunuh Hamzah Ra paman Rasulullah dan lain sebagainya bukan pada perjanjian
Hudaibiyah. Tapi ketika peristiwa Futuh Mekkah.

Pengampunan terhadap seorang manusia yang telah berbuat dzalim terhadap syariat dan
umat islam harus melalui 4 mekanisme dasar yaitu 1. Tabayyun : orang tersebut harus
mengakui dosa – dosa masa lalunya, 2. Bertobat : orang tersebut harus bertobat kepada
Allah Swt, 3. Islah : orang tersebut harus memperbaiki diri dari kejahiliyan dan dari
kemaksiyatan masa lalunya dan berhijrah kepada Syariat Allah Swt, 4. Berpegang teguh
pada Al Qur’an dan As Sunnah : Orang tersebut harus hidup berpegang teguh pada Al
Quran dan As Sunnah. Sudahkah Pak Harto melakukan keempat hal di atas? Sudahkah
pak harto mengakui kedzalimannya kepada para ulama dan mujahid di zaman orde baru?
Sudahkah bung karno mengakui pengkhianatan dia terhadap Daud Bereuh dan umat
islam pada Orde Lama?

Dan pengampunan itu hanya antar manusia dan manusia bukan antara Allah dan
Manusia, pengampunan Allah kepada manusia jawabannya hanya di Yaumul Hisab.

“Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapakku dan sekalian orang – orang
mu’min pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)” Ibrahim : 41

2. Kebijakan Rasulullah untuk melakukan gencatan senjata juga dalam bingkai tuntunan
skenario Allah Swt dalam wahyu – wahyu Allah Swt yang turun di surat Al Fath.
Kalau memang perjanjian hudaibiyah adalah hasil keputusan Syuro, harusnya logikanya
adalah Rasulullah Saw mengajak Abu Bakar As Shidiq, Umar Bin Khatab, Ustman Bin
Affan dan sahabat terdekatnya untuk mengadakan rapat musyawarah bersama dalam
mengambil kebijakan dalam perjanjian hudaibiyah tersebut. Namun faktanya tidak ada
syuro disana yang ada adalah keputusan Rasulullah Saw yang selalu berada dalam
tuntunan Allah Swt secara langsung.

Jadi jelas ini bukan sebuah keputusan Syuro, tapi ini murni sebuah keputusan Rasulullah
Saw secara personal yang di benarkan oleh Allah dalam wahyu di surat Al Fath.

Adakah keputusan Syuro untuk mengangkat Suharto sebagai pahlawan diputuskan oleh
seorang Rasul (baru) saat ini? Ada kebijakan itu merupakan sebuah wahyu baru? Bukan!
Semua itu tidak lebih dari sebuah usaha untuk mencocok – cocokkan dalil bagi
sekumpulan aktivis yang mulai kehilangan jati diri ideologis dalam simalakarma
demokrasi! Persaksian palsu apalagi yang harus di dengarkan oleh umat ini? maka
tinggalkanlah semua kepalsuan demokrasi itu!

“Dan orang – orang yang tidak memberi kesaksian palsu, dan apabila mereka bertemu
dengan (orang – orang) yang mengerjakan perbuatan – perbuatan yang tidak berfaedah,
mereka lalui (saja) dengan menjaga harga dirinya” Al Furqaan : 72

3. Rasulullah tidak melakukan gencatan senjata karena ketakutan kaum muslimin kepada
thagut musyrikin seperti apa yang terjadi saat ini dimana begitu banyak aktivis dakwah
lebih memilih menjual Aqidahnya dengan berkata Pancasila Sudah Final karena
ketakutan – ketakutan mereka kepada hal – hal yang sebenarnya membuktikan keraguan
mereka kepada kebesaran Allah. Dan itulah yang di maksud Rasulullah sebagai WAHN
walau mereka tidak mengakuinya.

Mereka seperti buih di lautan, dan itulah faktanya!

4. Ali Bin Abu Thalib tidak mau menghapus kata Bismillahir rahmanir rahim dan
Muhammad, Rasul Allah karena sikap Al Wala Wal Baranya kepada Allah dan
RasulNya. Coba kita bayangkan seorang sahabat seperti Ali Bin Abu Thalib Ra saja
begitu takut merendahkan Allah dan RasulNya, hatta (sekalipun) Rasulullah memintanya.

Bagaimanakah dengan dakwah saat ini dimana begitu mudahnya para ustad – ustad
berlabel LC. MA, Doktor Aqidah dan sebagainya mengedit – edit dalil Al Quran dan As
Sunnah semau mereka untuk di cocok cocokkan demi sebuah pembenaran Ijtihad dan
Tahrir kontemporer. Tidak ada ijtihad yang benar jika ia bertentangan dengan Al Quran
juga As Sunnah.

Sekali lagi tanyakan secara logis terlebih dahulu, adakah di zaman ini orang yang sejajar
derajatnya dengan kemuliaan Ali Bin Abu Thalib ra yang menolak merubah dua kata
sederhana dalam surat perjanjian hudaibiyah? Jika tidak ada, Ali Bin Abu Thalib saja
tidak berani bagaimana mungkin para ustad – ustad yang makin mengacung pada thagut
pancasila itu berani melakukan ‘hal yang tidak berani dilakukan’ oleh Ali Bin Abu Thalib
Ra, dan Bagaimana mungkin dalil hudaibiyah ini cocok dengan dengan dalil
‘kepahlawanan’ Suharto bahkan bung karno yang jelas jelas mensejajarkan Pancasila dan
UUD 45 dengan Al Quran dan As Sunnah.

5. Keputusan Rasulullah untuk merubah kedua kata itu adalah kebijakan otoritas seorang
Rasulullah Saw, yang kebijakan itu bersifat Sunnah Khususiyat, yaitu Sunnah yang tidak
bisa dilakukan oleh orang lain kecuali Rasulullah Sendiri ( dan sikap Rasul itu
dibenarkan oleh Allah Swt dengan di turunkannya surat Al Fath ).

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata”


Al Fath : 1

Jadi hakikat gencatan senjata dalam Perjanjian Hudaibiyah memiliki unsur wahyu dimana
Allah berperan secara langsung disana. Dan harusnya kita sepakat bahwa setiap ustad
yang memaksakan ijtihadnya bahwa dalil hudaibiyah ini bisa menjadi dasar argumen
terhadap penempatan manuver rekonsiliasi rezim dan pengangkatan kepahlawan Suharto,
sungguhlah ia telah masuk ke teritori sunnah khususiyat atau mensejajarkan dirinya
seperti Rasulullah saw.

Jangan mensejajarkan diri seperti Rasulullah Saw, Selevel Ali Bin Abu Thalib saja
mereka tidak pantas dan tidak akan pernah layak. Pantaskah ustad – ustad yang bahkan
levelnya jauh dari Ali Bin Abu Thalib ra itu lancang menempatkan cara mereka
mengambil ijtihad secara tidak langsung sejajar dengan Rasulullah Saw. Yang ketika
mereka dikritik atas kekhilafannya mereka mengelak sambil berkata “kami bukan jamaah
malaikat”, ya benar kalian bukan jamaah malaikat karena itu kalian janganlah berlagak
layaknya dewan syuro kalian dipimpin oleh seorang Rasulullah Saw yang lebih sempurna
dari Malaikat dalam mengambil sebuah ijtihad keputusan Syuro.

“Katakanlah :’sesungguhnya aku (berada) diatas hujjah yang nyata (Al Qur’an) dari
Rabbku sedang kamu mendustakannya. Bukanlah wewenangku untuk menurunkan azab
yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah
hak Allah, Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling
baik” Al An’aam : 57

6. Perhatikan baik – baik bagaimana Rasulullah Saw menjawab kegelisahan Umar Bin
Khatab Ra yang kurang bisa mencerna dengan baik strategi jangka Panjang dari
Perjanjian hudaibiyah.

“Wahai Ibnul Khaththab, aku adalah Rasul Allah dan tidak akan mendurhakaiNya, Dia
adalah penolongku dan sekali – kali tidak akan menelantarkan aku.” Jawab Rasulullah
Saw kepada Umar Bin Khaththab.

Dalam riwayat yang lain Rasulullah juga berkata “Aku adalah Rasul Allah mana
mungkin aku menyesatkanmu”
Dalam hal ini, perlu kita telaah bahwa maqom (level kualitas) Rasulullah memang jelas
berbeda. Beliau adalah Rasulullah Saw. Tidak akan mungkin beliau berbohong apalagi
mengakali umat Islam demi kepentingan pribadinya. Dan setiap keterlibatan beliau dalam
mengambil sebuah keputusan pastilah diketahui oleh Allah Swt.

Sedangkan pada kasus pak harto, apakah gerangan jawaban para pemimpin itu ketika di
tanyakan penjelasan tentang mengangkat Pak Harto sebagai pahlawan selain sebuah
keputusan syuro (dari sebuah kumpulan pemimpin jamaah yang makin pragmatis). Yang
pada akhirnya tidak lebih dari sebuah usaha mencari simpati untuk mengumpulkan suara
bagi persiapan pemilu 2009. Jelas ini bukan sebuah sikap yang dicontohkan Rasulullah
saw selain sebuah usaha menjilat dalam konteks salah satu bukti ‘menghalalkan’ segala
cara demi sebuah kemenangan pemilu. Dan itulah fakta betapa jalan demokrasi bukanlah
jalan yang benar di syariatkan oleh Allah dan RasulNya.

Maka jelas penempatan dalil hudaibiyah pada kasus pak harto adalah hal yang tidak
nyambung dan sangat jelas hanyalah upaya untuk mencocok cocokkan dalil atau hanya
mengutip dalil sepotong sepotong. Inilah yang saya maksud pragmatis itu! Karena
kebijakan hudaibiyah bukan kebijakan Syuro tapi kebijakan dari arahan Allah dan
RasulNya (wahyu langsung) bukan dari analisa, klaim logika dan asumsi dari segelintir
manusia biasa berlabel Dewan Syuro.

“Dan janganlah kamu menukar ayat – ayatKu dengan harga yang sedikit. Barangsiapa
tidak memutuskan perkara menurut apa yang di turunkan Alloh, maka mereka itu adalah
orang – orang yang kafir” Al Maaidah : 44

7. Rasulullah memang mengalah, tapi ia tetap tidak membenarkan finalitas berhala – berhala
kaum musyrikin seperti Latta, Uzlah dan ratusan berhala lainnya. Berbeda dengan
Indonesia dimana para praktisi partai Islam lebih banyak sepakat bahwa Pancasila
merupakan sebuah hal yang final. Pancasila itu berhala berbentuk burung garuda,
menempatkan Pancasila lebih tinggi dari Al Quran dan As Sunnah merupakan sebuah
kemusyrikan!

“Katakanlah : ‘Sesungguhnya aku dilarang menyembah tuhan – tuhan yang kamu


sembah selain Allah’. Katakanlah : ‘Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh
tersesatlah aku jika berbuat demikian dan tidaklah (pula) aku termasuk orang – orang
yang mendapat petunjuk”
Al An’aam : 56

Sungguh aneh jika ada orang mengatakan tidak apa – apa menggunakan Nama Pancasila
yang penting isinya tetap Syariat Islam. Jangankan bicara Syariat Islam di dalam
Pancasila, menjebol system kuffur UUD 45 untuk mensahkan RUU APP yang 100%
sesuai Al Qur’an dan As Sunnah saja harus babak belur di kerjain voting dengan budaya
dan tradisi kafir, sehingga UU APP yang hadir sekarang memang Pancasilais tapi ia tidak
100 % Al Qur’an dan As Sunnah. Ini fakta bahwa mitos contain Islam dalam pancasila
tidak lebih sebuah banyolan kosong dan lucu dan jelas sekali pragmatismenya, karena
disitu yang ada justru kita mengolok – olok syariat Allah Swt. Dan itu baru satu contoh
saja.

“Dan Sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Qur’an bahwa apabila
kamu mendengar ayat – ayat Allah di ingkari dan diperolok – olokkan (oleh orang –
orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki
pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah
kamu serupa dengan mereka, sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang –
orang munafik dan orang – orang kafir di dalam Jahannam” An Nisa : 140

8. Yang harus diketahui juga permasalahan lain selain kafir Quraisy dan sekutunya, Umat
Islam saat itu memiliki kepentingan untuk menaklukkan benteng Khaibar, salah satu
keuntungan dari perjanjian hudaibiyah adalah kesempatan menyolidkan dakwah di
Madinah semakin besar, karena salah satu kekuatan kafir yang memusuhi islam sudah
melepaskan diri dari peperangan terhadap kaum muslimin. Dalam hal ini manuver
dakwah dan jihad kaum muslimin menjadi jauh lebih leluasa untuk sementara karena
salah satu kendala dakawah yaitu kaum quraisy di Mekkah sudah ‘takluk’ dalam
perjanjian (sementara) Hudaibiyah.

Ini juga dijadikan kesempatan Oleh Rasulullah untuk mempersiapkan pasukan untuk
menaklukkan benteng Khaibar yang merupakan markas Yahudi lainnya yang sudah
hengkang dari Madinah. Benteng Khaibar adalah salah satu titik kekuatana kafir harbi
Yahudi untuk mengkonsolidasikan konspirasi mereka dan menyusun agenda agenda
makar terhadap Rasulullah Saw.

9. Lalu juga perlu kita pahami gencatan senjata dalam perjanjian Hudaibiyah bukan sekedar
karena kelemah lembutan namun juga kecemerlangan agenda jangka panjang Rasulullah
Saw untuk menaklukkan musuh – musuh Islam yang hidup dalam hokum hokum thagut
satu persatu tanpa harus menjilat mereka dengan puji – pujian apalagi sampai
mengagungkan kaum kafir itu sebagai pahlawan.

Dan momentum itulah yang ditunggu Rasulullah Saw. Setelah menaklukkan Benteng
Khaibar, kesepakatan damai selama 10 Tahun menjadi batal, karena pengkhianatan Bani
Bakr yang merupakan koalisi Kafir Quraisy yang melakukan penyerangan terhadap Bani
Khuza’ah yang merupakan bagian dari kaum muslimin. Serangan dari Bani Bakr itu jelas
telah melanggar kesepakatan gencatan senjata Hudaibiyah selama 10 tahun.

Setelah peristiwa itu, Rasulullah Saw menampakkan sikap tegasnya sebagai seorang pemimpin.
Momentum pengkhianatan itu bukan hanya membatalkan perjanjian Hudaibiyah, namun itulah
momen yang tepat untuk ‘menyelesaikan’ urusan dengan kafir Quraisy di Makkah. Itulah saat
dimana Kaum Muslimin memiliki alasan untuk bersiap siap untuk bergegas melakukan
perlawanan balik terhadap pengkhianatan Bani Bakr terhadap Perjanjian Hudaibiyah dan
kedzaliman mereka yang telah menyerang Bani Khuza’ah. Maka serangan Ke Mekkah harus
segera dipersiapkan. Islam tidak memulai perang, tapi pengkhianatan kafirlah yang memulainya.
“Bagaimana mungkin ada perjanjian (aman) di sisi Allah dan RasulNya dengan orang – orang
musyrik, kecuali dengan orang – orang yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan
mereka)di dekat masjidil Haram (hudaibiyah), maka selama mereka berlaku jujur kepadamu
hendaklah kamu berlaku jujur (pula) terhadap mereka. Sungguh Allah menyukai orang – orang
yang bertakwa” At Taubah : 7

Ketidakjujuran (baca: pengkhianatan) kaum Quraisy telah memberikan sebuah kesempatan


penting bagi umat Islam untuk menaklukkan Mekkah setelah mereka menaklukkan Khaibar. Dan
yang tidak kalah pentingnya, Kesempatan untuk menghancurkan Kafir Quraisy di Makkah justru
berubah menjadi sebuah pemfutuhan, dimana lebih dari 200 berhala di dalam kabah di hancurkan
oleh Rasulullah Saw.

Penghancuran 200 Berhala jelas berbeda dengan memposisikan dalil Hudaibiyah sebagai hujjah
untuk membenarkan usaha rekonsiliasi kacangan untuk menempatkan Pak Harto sebagai guru
bangsa, jelas sangat ngawur! Karena untuk orang – orang yakin yang pada Al Qur’an dan As
Sunnah tentunya mengerti tidak ada yang final bagi Pancasila selain Al Qur’an dan As Sunnah.
Kalau Rasulullah saja mengajarkan kita tidak ada kompromi terhadap lebih dari 200 berhala di
dalam kabah, maka tidak ada yang final bagi 1 berhala bernama Pancasila, dan Suharto adalah
seorang Pancasilais yang juga sudah banyak melakukan kedzaliman terhadap para ulama,
mujahid dalam sejarah Indonesia tempo dulu.

“Dan katakanlah, ‘yang benar telah datang dan yang bathil telah lenyap’. Sesungguhnya yang
bathil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap” Al Isra : 84

“Katakanlah, ‘Kebenaran telah datang dan yang bathil itu tidak akan memulai dan tidak (pula)
akan mengulangi’.” Saba :49

Jadi jelaslah sudah bahwasanya fakta – fakta dalil hudaibiyah ini tidak lebih dari prinsip
pragmatis para aktivis Demokrasi, ini tidak lebih dari upaya mencocok cocokkan dalil untuk
melegalkan pragmatisme dan opportunism mereka, agar terlihat legal di mata umat seakan sesuai
syariat padahal hanyalah sebuah kebohongan belaka….

NABI YUSUF DI PARLEMEN FIRAUN


Banyak dari kita mungkin sering mendengar dalil
– dalil dari para aktivis dakwah di dalam parlemen demokrasi thagut, dalam membenarkan usaha
mereka berdemokrasi mereka menggunakan dalil :

“Nabi Yusuf As aja masuk ke parlemen Firaun” atau yang lebih dangkal lagi “Nabi Musa As aja
cari makan dari Firaun”. Jujur untuk masalah nabi Musa As cari makan dari Firaun belum saya
temukan dalilnya sejak Nabi Musa As diangkat menjadi Nabi oleh Allah. Karena setahu saya
Nabi Musa memang tumbuh dari keluarga kerajaan Firaun, namun sejak dia diangkat menjadi
Nabi beliau tidak pernah berkompromi dengan parlemen Firaun.

Sedangkan untuk permasalahan Nabi Yusuf di Parlemen Firaun, memang bisa di terima bahwa
Nabi Yusuf pernah diangkat menjadi bagian dari parlemen Firaun. Namun menjawab hal ini
mudah untuk menemukan bantahan ilmiahnya, bahwasanya hujjah tentang nabi Yusuf ini
bukanlah alasan yang tepat untuk mengatakan bahwa Demokrasi adalah bagian dari Islam.

Karena risalah Nabi Yusuf bukanlah Risalah yang sempurna, karena itulah Allah selalu
mengutus nabi – nabi selanjutnya sejak masa Nabi Adam As hingga ke Nabi Yusuf, lalu hingga
ke zaman Nabi Isa As dan berakhir di Nabi Penutup yaitu Muhammad Saw. Dimana tidak ada
satupun Nabi yang sempurna risalahnya selain Nabi Muhammad Saw.

Dan perlu di kaji apakah Nabi Yusuf memvoting hokum Allah di hadapan Firaun? Jawabannya
adalah TIDAK!

Karena itulah dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Saibah & Al
Bazar, suatu ketika Rasulullah Saw melihat Umar Bin Khatab Ra membawa kitab Taurat, lalu
Rasulullah Saw langsung marah seraya berkata :

“Wahai Umar, bukankah engkau tahu bahwa aku membawa kertas putih bersih, seandainya
saudaraku musa melihatku tidak akan dia melakukan apa – apa selain mengikutiku”

Maka jelaslah sudah hadist diatas bahwasanya tidak layak seorang muslim mengambil contoh
dari para Nabi Sebelum Muhammad Saw, karena sejatinya semua Risalah sudah ditutup dan
kitab kitab telah disempurnakan melalui kehadiran lelaki mulia yang sempurna dan
disempurnakan yaitu Muhammad Saw.
“Dan kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa
yang sebelumnya, yaitu kitab – kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap
kitab – kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan
(Al Quran & As Sunnah) dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran (Al Qur’an dan As Sunnah) yang telah datang kepadamu” Al Maaidah
: 48

“dan apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada hokum Allah bagi mereka yang yakin?” At Taubah : 50

“Katakanlah: ‘Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang – orang yang lebih buruk
pembalasannya, dari (orang – orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang – orang yang di kutuki
dan dimurkai Allah diantara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan orang – orang
yang menyembah Thagut?’. Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang
lurus”. Al Maaidah : 60

Jadi jelaslah sudah bahwa semua dalil pembenaran demokrasi yang tidak berdasarkan pada Al
Quran dan As Sunnah apalagi mengeluarkan dalil ‘nostalgia’ dari sebuah risalah yang tak
sempurna dari Nabi – nabi sebelum Muhammad Saw adalah kedustaan belaka, yang tidak lebih
dari sebuah usaha mencocok – cocokkan dalil yang pada akhirnya amat sangat tidak nyambung.

PEMILIHAN UMUM DALAM PENGANGKATAN KHALIFAH USTMAN BIN AFFAN

Benarkah Pemilihan Umum Terjadi pada masa


pengangkatan Khalifah Ustman Bin Affan? Bisakah Syuro para sahabat setelah Syahidnya Umar
Bin Khatab untuk menentukan siapa Khalifah selanjutnya sama dengan Pemilihan Umum?

Dalil yang satu ini memang sering juga di gunakan sebagai alasan pembenaran ‘halal’nya pemilu
demokrasi di mata Syariat Islam. Namun pada faktanya jelas 180 persen tidak nyambung.
Kenapa?

1. Proses pengangkatan Khalifah baik dari Zaman Abu Bakar As Shidiq Ra, Umar Bin
Khatab Ra hingga ke Zaman berikutnya berdasarkan Syuro bukan Pemilihan Umum
dalam system demokrasi yang menggunakan pengangkatan dari suara terbanyak. Dalam
syuro pendapat masyarakat hanyalah masukan bukan sebuah rujukan sebuah keputusan.
Sedangkan dalam Pemilihan Umum system demokrasi suara terbanyak adalah pemenang
sebuah pemilu.
Di dalam Syuro jika dua orang calon akan diangkat menjadi pemimpin suara terbanyak
bukanlah patokan layak atau tidaknya. Namun ketakwaan dan kesholehannya. Ketakwaan
dan kesholehan ini di lihat dari: 1. Siapa dulu yang masuk Islam. Jika dua – duanya
bersamaan masuk Islam, maka yang ke 2. Di lihat lagi bagaimana Hafalan Al Qur’annya,
yang terbanyaklah yang lebih layak memimpin, namun jika sama maka dilihat lagi hal 3.
Yaitu siapa yang lebih tua. Dan seterusnya dan seterusnya.

Jadi jelas, sebuah syuro menetapkan sebuah pemimpin yang Sholeh dan bertakwa kepada
Allah Swt dan Rasulullah Saw bukan kepada suara terbanyak. Namun seorang calon
pemimpin yang akan memimpin umat Islam haruslah memiliki tingkat kesholehan dan
ketakwaan yang kesholehan dia itu memang di rasakan oleh masyarakat sekitarnya lebih
dari sekedar bias bias retorika.

2. Perbedaan Pemilihan Umum dan Syuro jelas berbeda, perbedaan antara Demokrasi dan
Syuro jelas berbeda. Dalam pemilihan umum pemimpin tidak hanya dipilih suara
terbanyak tapi juga mereka berhak membuat undang – undang baru. Disinilah letak salah
satu kekuffurannya.

Sedangkan dalam system syuro (system islam) seorang pemimpin tidak berhak membuat
undang – undang baru selain Al Quran dan As Sunnah. Al Quran dan As Sunnah-lah
hokum yang sudah absolute dan tidak boleh dirubah, apalagi di voting.

Kalaupun membuat undang – undang baru, itu boleh – boleh saja. Contoh untuk bab Lalu
Lintas Udara, di Zaman Rasulullah tidak ada pesawat terbang, jadi tidak ada nash yang
menjelaskan masalah ini. Maka sangat di bolehkan seorang muslim membuat aturan baru
tentang ini dengan dasar Al Quran dan As Sunnah.

Sedangkan pada bab – bab yang sudah jelas aturannya seperti bab aurat yang di tolak
oleh Undang – Undang anti pornografi. Haram bagi seorang muslim memvoting hokum
Allah lalu terlibat dalam perubahannya atas dasar kemaslahatan dari suara terbanyak. Ini
letak dimana salah satu contohnya RUU APP yang gagal total untuk bisa membuktikan
bahwa jalan demokrasi bisa menjadi jalan penegakan syariat islam melalui parlemen pada
akhir terlihat jelas mandul. Karena pengesahan UU APP justru sangat jauh dari nilai –
nilai syariat Islam.

“Sesungguhnya Allah tidak suka setiap orang yang tetap dalam kekuffuran dan selalu
berbuat dosa” Al Baqarah : 276

Jadi jelas berbeda ketika pengangkatan Khalifah ustman, disitu Khalifah ustman hanya
menjadi pemimpin untuk menjalankan Undang undang dasar yang sudah di tetap oleh
Allah Swt dan Rasulullah Saw selamanya! Bukan menjalankan undang – undang baru
yang di buat sekumpulan manusia dari beraneka ragam kenyakinan ada yang muslim,
kafir Kristen, kafir budha, kafir hindu, kafir sosialis, kafir katolik, kafir kapitalis yang
merumuskan bersama sebuah hokum masyarakat yang ujungnya menyepakati berdasar
voting dan suara terbanyak. Disinilah salah satu alasan kenapa demokrasi adalah system
KAFIR!
“Dan Sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Qur’an bahwa apabila
kamu mendengar ayat – ayat Allah di ingkari dan diperolok – olokkan (oleh orang –
orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki
pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah
kamu serupa dengan mereka, sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang –
orang munafik dan orang – orang kafir di dalam Jahannam” An Nisa : 140

DEMOKRASI BIKIN USTAD JADI OPPORTUNIS

Inilah adalah sebuah kesaksian dari seorang anak ulama, ulama besar itu bernama Abdullah
Hanafi Rahimahullah. Ulama besar ini tidak setenar Muhammad Natsir atau bahkan Abu Bakar
Ba’asyir dan Rahmat Abdullah. Namun tentunya jika Rahmat Abdullah masih hidup ia akan
mengangkat topi jika bertemu beliau. Itulah yang dilakukan Abu Bakar Ba’asyir.

Abdullah Hanafi adalah pendiri sebuah pesantren sederhana Missi Islam. Rahmat Abdullah dan
Abu Bakar Ba’asyir adalah salah satu murid beliau. Salah satu anak Abdullah Hanafi
memberikan sebuah kesaksian kepada saya. Ustad Hasyim Abdullah bin Abdullah Hanafi
mengatakan kepada saya sebelum Rahmat Abdullah meninggal dunia beliau sempat bertemu
dengan ustad Rahmat di sebuah toko obat. Lalu Ustad Hasyim bertanya kepada Rahmat
Abdullah : “Bagaimana kabar Dakwah Parlemen ustad?” .

Ustad Rahmat Abdullah menjawab lusuh “Susah


akhi, kita sulit bicara Syariat Islam di sana, ana saja berencana untuk keluar dari PKS”. Cerita ini
mengingatkan saya dalam sebuah mabit paman saya bertanya kepada Ustad Habibullah Lc.
Dalam sebuah pertanyaannya itu Paman saya Ustad Raden Ahmad Qudratu terkutip sebuah
kalimat “ Ustad Rahmat Abdullah saja sudah lebih dari satu kali mengajukan pengunduran diri
dari dakwah Partai”.

Maka cocoklah apa yang saya dengar dari paman saja dengan kesaksian ustad Hasyim Abdullan
Bin Abdullah Hanafi itu. Sungguh jika orang besar seperti Rahmat Abdullah saja hendak
mengundurkan diri dari PKS, maka mungkin semua itu menjadi tidak jika hari ini saya
mendengar beberapa pendiri Masyumi tempo dulu menceritakan bagaimana demokrasi itu tidak
akan pernah bisa menjadi jalan untuk menegakkan Syariat Islam. Apalagi jika dalam proses
kampanye menggunakan jalan dengan menghalalkan segala cara.
Coba kalian perhatikan kampanye perumpamaan dibawah ini:

“Memang Hijau bisa Thufail Al Ghifari? Untuk Indonesia yang lebih baik mengapa tidak?”

“Memang Biru bisa Thufail Al Ghifari? Untuk Indonesia yang lebih baik mengapa tidak?”

“Memang Hijau bisa Thufail Al Ghifari? Untuk Indonesia yang lebih baik mengapa tidak?”

“Memang Kuning bisa Thufail Al Ghifari? Untuk Indonesia yang lebih baik mengapa tidak?”

“Memang Katolik bisa Thufail Al Ghifari ? Untuk Indonesia yang lebih baik mengapa tidak?”

“Memang Budha bisa Thufail Al Ghifari ? Untuk Indonesia yang lebih baik mengapa tidak?”

“Memang Hindu bisa Thufail Al Ghifari? Untuk Indonesia yang lebih baik mengapa tidak?”

“Memang Kristen bisa Thufail Al Ghifari? Untuk Indonesia yang lebih baik mengapa tidak?”

Islam tidak mengajarkan menjadi bunglon, yang menclak sana dan menclak sini dan berbangga
dengan menjual jati diri sambil hidup sebagai penjilat thagut. Islam tidak mengajarkn menjadi
abu – abu apalagi taklid seperti kerbau yang mau dituntun oleh anak kecil yang tidak berbaju.
Islam adalah kemuliaan yang sempurna dan tidak perlu dikebiri toleransi atas dasar kemaslahatan
hanya untuk duduk bersama dengan para kafir musrik dan munafik.

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku cukupkan kepadamu
ni’matku, dan telah Ku ridhai Islam itu jadi agama bagimu” Al Maaidah:3

Rasulullah tidak pernah mengajarkan kita menjual hal – hal prinsip demi sebuah kemaslahatan
muamallah. Ia telah menolak matahari dan bulan demi Aqidah mulia ini, ia telah bersabar Di
Thaif dan dihadapan panah – panah Perang Uhud.

Selain itu, sekalipun ada dalil dari zaman sebelum Rasulullah Saw, ia hanya bisa kita jadikan
Ibroh (pengajaran/pelajaran) untuk membuat kita lebih bertakwa kepada Allah dan tetap
mengembalikan semua kepada Al Qur’an dan As Sunnah.

“Sungguh, pada kisah – kisah mereka itu terdapat ibroh (pelajaran) bagi orang – orang yang
mempunyai akal. (Al Qur’an) itu bukanlah cerita yang di buat buat, tetapi membenarkan (kitab
– kitab) yang sebelumnya, menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk rahmat bagi orang
– orang beriman” Yusuf:12

Namun Ibroh bukanlah alasan untuk dijadikan dalil hukum menyangkut metode – metode gerak
dakwah dan jihad Islam. Karena sejatinya setiap manuver dakwah dan jihad haruslah mencontoh
kepada Rasulullah Saw. Ketika nabi Yusuf As masuk ke dalam Parlemen dan Nabi Muhammad
Saw, maka setiap muslim wajib mengikuti apa yang di contohkan oleh Rasulullah Saw karena
Syariat Nabi Yusuf telah disempurnakan dengan kedatangan Rasulullah Saw.
Beginilah setiap pilihan dan argument harus memiliki kekuatan dalil yang bisa dipertanggung
jawabkan. Maka sudah seharusnya setiap muslim realistis terhadap fakta demokrasi. Pada
akhirnya tak ada lagi bantahan bahwasanya Demokrasi bukan jalan yang benar dan bukanlah
bagian dari metode perjuangan kebangkitan Islam.

“Dan kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa
yang sebelumnya, yaitu kitab – kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap
kitab – kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan
(Al Quran & As Sunnah) dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran (Al Qur’an dan As Sunnah) yang telah datang kepadamu” Al Maaidah
: 48

“dan apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada hokum Allah bagi mereka yang yakin?” At Taubah : 50

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku cukupkan kepadamu
ni’matku, dan telah Ku ridhai Islam itu jadi agama bagimu” Al Maaidah:3

Di riwayatkan oleh Ibnu Katsir, Suatu ketika di


zaman Nabi Isa Alaihisalam hidup seorang Ashabul Ukhdud bernama Faimiyyun. Faimiyyun
adalah salah satu orang sholeh yang istiqomah dengan Risalah Nabi Isa As.

Namun setelah kepergian Nabi Isa As meninggalkan bumi, perang antara komunitas Tauhid dan
Syirik juga terjadi. Para penyihir tumbuh subur menyemai doktrin doktrin kontra tauhid di
masyarakat.

Di saat itu juga, hiduplah seorang pemuda yang haus Ilmu yaitu Abdullah Bin Ats Tsamir.
Abdullah ingin sekali mempelajari ilmu spiritual. Setelah menyaksikan beberapa penyihir beliau
sempat ingin belajar kepada penyihir. Namun suatu ketika Abdullah melihat Faimiyyun
melakukan sholat, hingga akhirnya ia tertarik kepada Faimiyyun untuk belajar agama Tauhid,

Bahkan Abdullah penasaran siapakah lebih hebat apakah Faimiyyun atau para penyihir. Suatu
ketika Faimiyyun berduel dengan Penyihir. Si penyihirpun mengeluarkan seekor ular, namun
seketika itu juga ular itu mati dengan batu yang di lempar Faimiyyun.

Sejak saat itu Abdullah Bin At Tsamir serius belajar ilmu – ilmu kesholehan Nabi Isa As kepada
Faimiyyun juga ilmu menyembuhkan orang dari Faimiyyun.
Suatu ketika ada kerabat raja yang sakit. Lalu Abdullah membantu menyembuhkan orang itu
dengan pertama menawarkan Tauhid terlebih dahulu. Setelah kerabat tersebut menyakini Tauhid
lalu Abdullah berdoa pada Allah dan akhirnya Allah menyembuhkan kerabat raja tersebut.

Akhirnya tiba di saat dimana sang rajalah yang sakit. Lalu si kerabat raja ini menawarkan kepada
raja bahwa ia tahu siapa yang bisa menyembuhkannya. Si raja bertanya kepada kerabat itu:

Raja : Siapakah yang akan menyembuhkan?

Kerabat : Rajaku (maksudnya Allah Swt)

Raja : Siapa rajamu?

Kerabat menjelaskan tentang Allah Swt, lalu si Raja marah dan bertanya siapa yang
mengajarkan. Akhirnya setelah tahu tentang Faimiyyun dan Abdullah Bin At Tsamir, Raja
langsung menangkap kedua orang itu lalu menyuruh keduanya menghadap si Raja.

Setelah bertanya siapa Rajanya, Faimiyyun dengan lantang menyebut nama Allah Swt. Begitu
juga kepada Abdullah Bin At Tsamir, Abdullah juga menjawab hal yang sama. Lalu raja
mengancam Faimiyyun, jika ia tidak berubah pendirian maka Raja akan membunuhnya. Namun
Faimiyyun tidak berubah, maka raja membunuhnya.

Lalu raja menawarkan si Kerabat untuk bertanya kembali siapa rajanya. Namun si kerabat tetap
menyebut nama Allah Swt. Maka si kerabatpun di bunuh oleh si raja.

Begitu pula ketika si raja berhadap dengan Abdullah bin At Tsamir. Abdullah tidak berubah ia
juga lantang dan tegas menyebut nama Allah Swt. Lalu raja hendak membunuhnya dan
memanggil pasukan agar membawa Abdullah Bin At Tsamir ke bawah gunung dan
membunuhnya.

Namun ketika para pasukan kerajaan ingin membunuhnya, gunung bergetar. Dan takutlah para
pasukan kerajaan tersebut dan segera melaporkannya ke raja.

Lalu raja memerintahkan kepada Pasukan agar membunuh Abdullah Bin At Tsamir di tengah
lautan. Namun setelah di bawah ketengah laut, terjadi badai dan perahupun terbalik. Dan
Abdullahpun tidak jadi di bunuh.

Kembalilah para pasukan membawa Abdullah menghadap Raja. Setelah si raja kebingungan,
Abdullahpun berkata:

“Demi Allah kalian tidak akan bisa membunuhku sebelum kalian mentauhidkan Allah, dan saya
tahu caranya”

“Bagaimana caranya” Tanya raja.

“Yang pertama Kumpulkanlah rakyatmu”


“Baiklah” jawab si raja

Setelah Rakyat dikumpulkan, Abdullah kembali bicara di depan raja dan Rakyat yang
berkumpul.

“ Gantunglah aku dan panahlah aku sambil mengucapkan Bismillahirrohmannirrohim”

Lalu si raja itupun memperaktekkan itu. Maka benarlah seketika itu Abdullah itupun Syahid.
Dan seketika itu juga ribuan rakyat yang menyaksikan itupun beriman kepada Allah Swt. Makin
pusinglah si raja ini, maka ia hendak membunuh semua rakyatnya yang menyakini Tauhid.

Lalu rajapun membangun parit – parit dan isinya adalah kayu yang dibakar. Siapa saja rakyatnya
yang tidak berpaling dari Tauhid maka akan di lempar ke dalam parit yang terbakar. Lebih dari
20.000 orang memilih melompat bahkan secara sukarela daripada harus berpaling dari Tauhid.
Hingga ada seorang ibu yang yakin pada Tauhid namun ragu untuk melompat, dengan anaknya
ibu ini sempat terdiam di depan api. Namun saat itu juga anaknya berkata “Ibu tahanlah sakitnya
demi kebenaran” maka lompatlah ibu dan anak itu menyusul kesyahidan yang lainnya.

Cerita ini diriwayatkan dari Ibnu Ishak, Wahab Bin Munabbih, Imam Ahmad, Imam Muslim dan
Nasa’i.

maka lihatlah saudaraku sekalian, jauh dari zaman Nabi Muhammad Saw, Jauh dari zaman
Hasan Al Banna, Sayyid Qutb, Taqiyuddin An Nabhani, Abu Ala Al Maududi dan sebagainya,
telah begitu banyak orang sholeh berpegang teguh. Beribu – ribu orang mati demi Tauhid.
Mereka menolak berkompromi apalagi memvotingnya, namun kematian mereka tidak membuat
dakwah mulia ini berhenti dan hancur.

“Hai orang –orang beriman, barang siapa murtad dari agamaNya, maka kelak Allah akan
mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya. Yang
bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang kafir.
Yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak taku kepada celaan orang – orang yang suka
mencela” Al Maaidah:54

Demi Allah..yang hidupku ada di tanganNya, aku pertanggungjawab tulisan ini di hadapanNya
kelak. Wahai saudaraku jika engkau masih berada dalam pengajian pengajian pragmatis yang
masih menjadikan Demokrasi sebagai jalan maka segera tinggalkanlah pengajian – pengajian itu,
karena begitu banyak kedustaan yang telah disebarkan oleh mereka tentang Demokrasi!
Tahukah Anda

Tahukah Anda,sekularisme?
Sekularisme, yakni paham pemisahan agama dari kehidupan. Agama tidak diingkari secara total,
tapi masih diakui walau pun secara terbatas, yaitu hanya mengatur hubungan manusia dengan
Tuhan.
Lalu hubungan manusia dengan manusia siapakah yang megatur dan membuat hukumnya?
Jawabnya, tentu manusia itu sendiri, bukan Tuhan atau agama.
Tahukah Anda,Syariah Islam?
Syariah Islam (al-hukm al-syar'iy) adalah segala ketentuan Allah SWT yang berkaitan dengan
aktivitas manusia (khithab al-syaari' al-muta'alliqu bi af-al al-'ibad). Maka segala aktivitas
manusia, apa pun juga, tidak ada yang terlepas dari ketentuan Syariah Islam yang mencakup
hukum-hukum ibadah, makanan, minuman, pakaian, akhlaq, mu'amalat, dan 'uqubat [sistem
pidana] (an-Nabhani, Nizham al-Islam, 2001).
Tahukah Anda,Pelaksanaan Syariah?
Pelaksanaan Syariah Islam dibebankan kepada 3 (pihak) :
(1) Individu, misalnya sholat, puasa, dan haji;
(2) Kelompok (jama'ah), misalnya amar ma'ruf nahi mungkar (lihat QS 3 : 104);
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang
beruntung.” (QS 3 : 104)
(3) Negara, misalnya sistem pidana (nizham 'uqubat), sistem pemerintahan (nizham al-hukm),
dan sistem ekonomi (nizham al-iqtishad).
Pelaksanaan Syariah Islam yang mengatur urusan privat dan kelompok tidak mensyaratkan
keberadaan negara secara mutlak. Berbeda dengan itu, pelaksanaan Syariah Islam yang mengatur
urusan publik, jelas mensyaratkan keberadaan
negara, secara mutlak. Tanpa eksistensi negara, tidak mungkin hukum-hukum publik seperti
sistem pidana dan pemerintahan Islam akan dapat terlaksana dengan sempurna. Tentu negara ini
bukan sembarang negara, melainkan hanya negara yang didirikan di atas asas Aqidah Islamiyah,
sehingga siap melaksanakan Syariah Islam. Negara inilah yang disebut dengan Khilafah
(Imamah).
Tahukah Anda,Syariah bagi seorang muslim?
Bagi seorang muslim, mengikatkan seluruh aktivitasnya dengan Syariah Islam adalah wajib
hukumnya (lihat misalnya QS 4:59).
”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS
4:59)
Lebih dari itu, keterikatan muslim dengan Syariah Islam adalah konsekuensi dari keimanannya
terhadap islam.
”Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam
hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya.” (QS 4:65)
Sebaliknya seorang muslim haram hukumnya melaksanakan hukum selain Syariah Islam,
” ..Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka
itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS 5:45)
”.. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka
itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS 5:47)
dan bahkan jika ia mengingkari Syariah Islam serta menganggap selain Syariah Islam adalah
lebih baik, ia menjadi kafir (murtad).
”..Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang kafir.” (QS 5:44)

Tahukah Anda,Urgensi Syariah?


Urgensi Syariah Islam adalah untuk memberikan solusi terhadap problem-problem manusia
(mu'aalajaat li masyaakil alinsaan). Dalam konteks Indonesia, problem-problem ekonomi (seperti
Freeport, Exxon, Newmont) dan problem sosial (seperti pornografi dan pornoaksi), misalnya,
akan dapat diselesaikan dengan baik dan benar andaikata saja
diselesaikan dengan Syariah Islam.
Wallahu a’lam! (Asseifff)

You might also like