You are on page 1of 2

”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada

NGKRITISI Muhammad),’Raa’ina’, tetapi katakanlah ‘Unzhurna’ dan ‘dengarlah’. Dan bagi


KONSEP THEO-DEMOKRASI orang-orang kafir siksaan yang pedih.” (QS Al Baqarah : 104)

“Raa’ina” artinya adalah “sudilah kiranya Anda memperhatikan kami.”


Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi Di kala para shahabat menghadapkan kata ini kepada Rasulullah, orang Yahudi
pun memakai kata ini dengan digumam seakan-akan menyebut “Raa’ina”,
Makna Theo-Demokrasi padahal yang mereka katakan adalah “Ru’uunah” yang artinya “kebodohan yang
Konsep theo-demokrasi merupakan konsep sistem politik Islam yang sangat.” Itulah sebabnya Allah menyuruh supaya para shahabat menukar
digagas oleh Abul A’la Al-Maududi (lahir 1903), ulama Pakistan yang mendirikan perkataan “Raa’ina” dengan “Unzhurna” yang sama artinya dengan “Raa’ina”.
gerakan Islam Jamaat-e-Islami pada tahun 1940-an. Konsep itu dituangkan Oleh Ihsan Sammarah dalam kitabnya Mafhum Al-Adalah Al-Ijtimaiyah fi Al-Fikri
dalam bukunya yang terkenal Al-Khilafah wa al-Mulk (Khilafah dan Kerajaan) Al-Islami Al-Mu’ashir (1991), ayat ini dijadikan dalil untuk menolak penggunaan
yang terbit di Kuwait tahun 1978. istilah yang dapat menimbulkan kerancuan atau bias, yang pengertiannya
Seperti dapat diduga dari istilahnya, konsep theo-demokrasi adalah kemungkinan berupa makna Islami atau makna yang tidak Islami. Karena itu,
akomodasi ide theokrasi dengan ide demokrasi. Namun, ini tak berarti al-Maududi penggunaan istilah demokrasi, theokrasi, atau theo-demokrasi tidak dapat
menerima secara mutlak konsep theokrasi dan demokrasi ala Barat. Al-Maududi diterima, karena pengertiannya mengandung ambivalensi antara yang
dengan tegas menolak teori kedaulatan rakyat (inti demokrasi), berdasarkan dua mengartikannya menurut perspektif sekular dan yang mengartikannya menurut
alasan. Pertama, karena menurutnya kedaulatan tertinggi adalah di tangan perspektif Islami (Abdullah, 1996:10-11).
Tuhan. Tuhan sajalah yang berhak menjadi pembuat hukum (law giver). Manusia
tidak berhak membuat hukum. Kedua, praktik “kedaulatan rakyat” seringkali justru Kedaulatan dan Kekuasaan
menjadi omong kosong, karena partisipasi politik rakyat dalam kenyataannya Catatan kritis kedua, bahwa konsep theo-demokrasi tidak secara
hanya dilakukan setiap empat atau lima tahun sekali saat Pemilu. Sedang kendali jernih membedakan “kedaulatan” dan “kekuasaan” dalam perspektif Islam. Ada
pemerintahan sehari-hari sesungguhnya berada di tangan segelintir penguasa, semacam kerancuan. Bahkan terkesan keduanya dicampuradukkan menjadi
yang sekalipun mengatasnamakan rakyat, seringkali malah menindas rakyat satu, karena kata “theo” mewakili konsep kedaulatan Tuhan (theokrasi), sedang
demi kepentingan pribadi (Amien Rais, 1988:19-21). kata “demokrasi” mewakili konsep kekuasaan rakyat. Meski disayangkan, namun
Namun demikian, ada satu aspek demokrasi yang diterima Al- hal ini wajar terjadi, karena dalam pemikiran politik Barat yang dominan di seluruh
Maududi, yakni dalam arti, bahwa kekuasaan (Khilafah) ada di tangan setiap dunia, kedua hal tersebut memang berasal dari satu sumber yang sama, yaitu
individu kaum mukminin. Khilafah tidak dikhususkan bagi kelompok atau kelas rakyat. Sebab rakyat menurut Barat adalah sumber legislasi (source of
tertentu. Inilah, yang menurut Al-Maududi, yang membedakan sistem Khilafah legislation) sekaligus sumber kekuasaan (source of power).
dengan sistem kerajaan. Dari sinilah al-Maududi lalu menyimpulkan,”Dan ini Meski demikian, sesungguhnya kedaulatan dan kekuasaan dapat
pulalah yang mengarahkan khilafah Islamiyah ke arah demokrasi, meskipun dibedakan. Kedaulatan (as-siyadah, sovereignty) merupakan konsep yang
terdapat perbedaan asasi antara demokrasi Islami dan demokrasi Barat...” (Al- berkaitan dengan kewenangan membuat hukum (legislasi). Sedang kekuasaan
Maududi, 1988:67). (as-sulthan, power) berkaitan dengan siapa yang berwenang menerapkan hukum
Mengenai theokrasi, yang juga menjadi akar konsep theo-demokrasi, itu dalam kekuasaan (Al-Khalidi, 1980:24; Al-Jawi, 2003:209-210).
sebenarnya juga ditolak oleh Al-Maududi. Terutama theokrasi model Eropa pada Berdasarkan pembedaan inilah, maka An-Nabhani (1990:38-40)
Abad Pertengahan di mana penguasa (raja) mendominasi kekuasaan dan merumuskan konsepnya mengenai kedaulatan dan kekuasaan dalam Islam.
membuat hukum sendiri atas nama Tuhan (Amien Rais, 1988:22). Meskipun Kedaulatan (as-siyadah) dalam Islam, adalah di tangan syara’ (as-siyadah li asy-
demikian, ada anasir theokrasi yang diambil Al-Maududi, yakni dalam pengertian syar’i), bukan di tangan rakyat. Rakyat tidak berhak membuat hukum, sebab yang
kedaulatan tertinggi ada berada di tangan Allah. Dengan demikian, menurut Al- menjadi Pembuat Hukum (Al-Musyarri’, Law Maker) hanyalah Allah SWT (lihat
Maududi, rakyat mengakui kedaulatan tertingggi ada di tangan Allah, dan misalnya QS Al-An’aam : 57). Adapun kekuasaan (as-sulthan), adalah di tangan
kemudian, dengan sukarela dan atas keinginan rakyat sendiri, menjadikan umat (as-sulthan li al-ummah), sebab umatlah yang berhak membaiat siapa saja
kekuasaannya dibatasi oleh batasan-batasan perundang-undangan Allah SWT yang dikehendakinya untuk menjadi penguasa (khalifah). Dengan pembedaan
(Al-Maududi, 1988:67). yang tegas antara konsep kedaulatan dan kekuasaan ini, seperti dirumuskan oleh
Walhasil, secara esensial, konsep theo-demokrasi berarti bahwa Islam An-Nabhani, kerancuan berpikir tidak akan terjadi. Ini tentu berbeda dengan
memberikan kekuasaan kepada rakyat, akan tetapi kekuasaan itu dibatasi oleh konsep theo-demokrasi yang menggabungkan konsep kedaulatan dan
norma-norma yang datangnya dari Tuhan. Dengan kata lain, theo-demokrasi kekuasaan menjadi satu, sehingga masih berpeluang merancukan dan
adalah sebuah kedaulatan rakyat yang terbatas di bawah pengawasan Tuhan. menggelincirkan pemahaman.
Atau, seperti diistilahkan Al-Maududi, a limited popular sovereignty under
suzerainty of God (Amien Rais, 1988:23-24). Dalam bukunya yang lain, yaitu Kedaulatan Tuhan
Islamic Law and Constitution (1962:138-139), Al-Maududi menggunakan istilah Catatan kritis ketiga, berkaitan dengan diakomodasinya konsep
divine democracy (demokrasi suci) atau popular vicegerency (kekuasaan suci “kedaulatan Tuhan” (theokrasi) dalam konsep theo-demokrasi Al-Maududi. Dalam
yang bersifat kerakyatan) untuk menyebut konsep negara dalam Islam hal ini perlu kiranya dicermati, bahwa An-Nabhani mengusulkan konsep
(Asshidiqie, 1995:17). “kedaulatan di tangan syara’”, dan bukannya konsep “kedaulatan Tuhan”. Secara
substansial memang tak ada perbedaan antara An-Nabhani dengan Al-Maududi
Penggunaan Istilah Theo-Demokrasi mengenai maknanya, yakni bahwa yang berhak membuat hukum hanya Allah
Catatan kritis pertama adalah penggunaan istilah theo-demokrasi itu semata dan manusia tidak berhak membuat hukum. Namun di sini terlihat dengan
sendiri. Bolehkah kita menggunakan istilah Barat yang maknanya bertentangan jelas bahwa An-Nabhani berusaha dengan amat hati-hati untuk tidak
dengan Islam, seperti theokrasi dan demokrasi, lalu diberi makna baru atau menggunakan istilah “kedaulatan Tuhan” yang bisa menimbulkan
catatan-catatan agar tidak bertentangan dengan Islam? kesalahpahaman.
Memang, Al-Maududi sendiri menolak konsep theokrasi dan Sikap An-Nabhani tersebut akan dapat dipahami karena dalam teori
demokrasi ala Barat yang sekuler. Benar pula bahwa dia pun lalu memberikan “kedaulatan Tuhan” terkandung konsep yang bertentangan dengan Islam. Teori
muatan makna baru yang Islami seraya menolak muatan makna yang sekuler. “kedaulatan Tuhan” tak dapat dilepaskan dari konsep theokrasi yang berkembang
Namun dia sendiri tidak pernah menjelaskan argumentasi yang membolehkan di Barat pada Abad Pertengahan (abad ke-5 s/d ke-15 M). Menurut The Concise
pemaknaan ulang suatu istilah asing seperti yang dia lakukan. Inilah kiranya satu Oxford Dictionary, hal. 1321, istilah theokrasi dikaitkan dengan pemerintahan
celah kelemahan konsep theo-demokrasi. atau negara yang diperintah oleh Tuhan, baik secara langsung maupun melalui
Menurut Taqiyuddin An-Nabhani, jika suatu istilah asing mempunyai kelas kependetaan (Asshidiqie, 1995:23). Dalam theokrasi Barat ini, konsep
makna yang bertentangan dengan Islam, istilah itu tidak boleh digunakan. “kedaulatan Tuhan” mempunyai arti bahwa yang memiliki kekuasaan tertinggi
Sebaliknya jika maknanya terdapat dalam khazanah pemikiran Islam, istilah atau kedaulatan adalah Tuhan. Selanjutnya, Tuhan mewakilkan kekuasaan-Nya
tersebut boleh digunakan (An-Nabhani, 2001: 85-86). Dalam hal ini, Islam telah kepada raja atau Paus (Amiruddin, 2000:103-104). Oleh karena mewakili Tuhan,
melarang umatnya untuk menggunakan istilah-istilah yang menimbulkan maka segala perilaku raja atau Paus selalu terjaga dari kesalahan atau suci
kerancuan, apalagi kerancuan yang menghasilkan pengertian-pengertian yang (ma’shum, infellible). Jadi, negara theokrasi --yang menjalankan teori kedaulatan
bertolak belakang antara pengertian yang Islami dan yang tidak Islami. Allah Tuhan-- merupakan negara yang dipimpin oleh gerejawan atau raja yang
SWT berfirman : menganggap segala perilaku mereka terjaga dari kesalahan dan suci. Maka dari
itu, apa yang mereka halalkan di bumi, tentu halal pula di langit. Apa yang
mereka haramkan di dunia, tentu diharamkan pula di langit (lihat Dr. Yusuf
Qardhawy, Fiqih Daulah, hal. 81). Bahkan menurut Imam Khomeini, tokoh kaum
Syiah yang sangat terpengaruh dengan konsep theokrasi Eropa, kesucian para
pemimpin/penguasa, berada pada martabat yang sangat tinggi yang bahkan tak
bisa dijangkau oleh para nabi maupun malaikat muqarrabin (lihat Al-Imam Al-
Khomeini, “Al-Wilayah At-Takwiniyah”, Al-Hukumah Al-Islamiyah, hal. 52).
Dari uraian sekilas ini, nampak teori “kedaulatan Tuhan” sungguh tak
dapat dilepaskan dari konsep theokrasi yang bertentangan dengan Islam.
Setidaknya ada tiga poin krusial yang menunjukkan kontradiksi teori “kedaulatan
Tuhan” (theokrasi) dengan Islam. Pertama, dalam teori kedaulatan Tuhan,
penguasa adalah wakil Tuhan di muka bumi. Sedang dalam Islam, seorang
khalifah dalam negara Khilafah adalah wakil umat -–bukan wakil Tuhan-- dalam
urusan kekuasaan dan penerapan hukum-hukum Syariah Islam (An-Nabhani,
1990:48). Kedua, dalam teori kedaulatan Tuhan, penguasa bersifat ma’shum.
Sedang dalam Islam seorang khalifah bukan orang ma’shum. Bisa saja dia
berbuat dosa dan kesalahan. Karena itulah, amar ma’ruf nahi munkar
disyariatkan (An-Nabhani, 1990:119-121). Ketiga, dalam teori kedaulatan Tuhan,
penguasa atau gerejawan membuat undang-undang atau hukum yang berasal
dari dirinya sendirinya, tanpa suatu acuan dan pedoman yang jelas dari wahyu
Tuhan. Sedang dalam Islam, penguasa mengadopsi hukum-hukum syara’
berdasarkan ijtihad yang sahih dengan acuan dan pedoman yang jelas, yaitu
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya (Djaelani, 1994:86-87). Walhasil, adanya
kontradiksi tajam antara “kedaulatan Tuhan” dengan Islam inilah yang
kemungkinan membuat An-Nabhani berhati-hati merumuskan konsepnya sebagai
“kedaulatan di tangan syara’ “ (as-siyadah li asy-syar’i), bukan kedaulatan di
tangan Allah (as-siyadah li-llah), demi kejernihan pemikiran.

Penutup
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa konsep theo-demokrasi lebih
banyak mendatangkan masalah dan kerumitan baru, daripada mendatangkan
kecemerlangan dan penyelesaian berbagai masalah. Dalam beberapa hal,
konsep theo-demokrasi cukup bisa membedakan dengan kontras sistem Khilafah
dan Kerajaan. Tapi konsep ini tidak bisa membedakan secara jelas perbedaan
sistem republik –atau republik Islam-- dengan sistem Khilafah. Ini tentunya wajar
karena konsep theo-demokrasi memang didasarkan pada sikap akomodatif
antara Islam dan ide demokrasi, sebagai dasar sistem republik. Jika ini yang
terjadi, maka terwujudnya sistem Khilafah akan mengalami hambatan dan akan
memakan waktu lebih lama, karena bisa jadi para aktivisnya terkecoh dengan
jalan perjuangan kooperatif melalui perbaikan sistem republik yang ada. Apalagi
kalau namanya sedikit diganti menjadi “republik Islam”, seperti misalnya Republik
Islam Pakistan.
Sudah selayaknya, kejernihan dan kecemerlangan berpikir selalu
dikedepankan dalam upaya menuju kebangkitan umat. Sebab umat Islam tidak
akan mungkin mengalami kebangkitan pemikiran, kecuali dengan kembali
mengambil pemikiran-pemikiran yang cemerlang (mustanir). Konsep yang kabur
atau kurang jelas sudah selayaknya dikesampingkan, untuk menuju konsep yang
lebih jernih dan cemerlang. Bukankah Nabi SAW telah bersabda : “Tinggalkan
apa yang meragukanmu (untuk) menuju apa yang tidak meragukanmu.” (HR.
Ahmad, An-Nasa`i, dan Ath-Thabrani) [ ]

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Muhammad Husain. 1996. Mafahim Islamiyah. Juz II. Cetakan I.Beirut :
Darul Bayariq.
Al-Jawi, M. Shiddiq. 2003. “Must Islam Accept Democracy?” dalam David
Bourchier & Vedi R. Hadiz (Editor). Indonesian Politics and Society : A Reader.
London-New York : RoutledgeCurzon. hal. 207-211
Al-Khalidi, Mahmud Abdul Majid. 1980. Qawaid Nizham Al-Hukm fi Al-Islam.
Cetakan I. Kuwait : Darul Buhuts Al-‘Ilmiyah.
Al-Maududi, Abul A’la. 1988. Khilafah dan Kerajaan (Al-Khilafah wa Al-Mulk). Alih
Bahasa Muhammad al-Baqir. Cetakan II. Bandung : Mizan.
Amiruddin, M. Hasbi. 2000.”Teori Kedaulatan Tuhan”. Konsep Negara Islam
Menurut Fazlur Rahman. Cetakan I. Yogyakarta : UII Press. hal. 103-105.
An-Nabhani, Taqiyuddin. 2001. Nizham Al-Islam. Cetakan VI. t.tp. : t.p.
Asshidiqie, Jimly. 1995. Islam dan Kedaulatan Rakyat. Cetakan I. Jakarta : Gema
Insani Press.
Djaelani, Abdul Qadir. 1994. “Kedaulatan Tertinggi dalam Negara”. Sekitar
Pemikiran Politik Islam. Jakarta : Media Dakwah. Hal. 83-87.
Khomeini, Imam. Tanpa tahun. Al-Hukumah Al-Islamiyah. T.tp. : t.p.
Rais, Amien. 1988. “Kata Pengantar”. Khilafah dan Kerajaan (Al-Khilafah wa Al-
Mulk). Alih Bahasa Muhammad al-Baqir. Cetakan II. Bandung : Mizan.
Sammarah, Ihsan. 1991. Mafhum Al-Adalah Al-Ijtimaiyah fi Al-Fikri Al-Islami Al-
Mu’ashir. Cetakan II. Beirut : Dar An-Nahdhah Al-Islamiyah

You might also like