Professional Documents
Culture Documents
FIKIH ISLAM*
Irwan Masduqi**
© 2006
"Untuk menciptakan kehidupan yang diridhai Allah –sesuai dengan persoalan dan kebutuhan
lingkungannya– manusia menciptakan konsep-konsep, ide-ide, dan simbol-simbol. Semuanya
adalah hasil ijtihad yang meliputi macam-macam aspek kehidupan. Konsep-konsep, ide-ide
atau simbol-simbol tadi kadang diberi atribut Islam, walau sudah jelas tidak abadi
sebagaimana abadinya Islam.
Berlainan dengan wahyu Islam yang sakral, konsep-konsep ini setiap saat bisa diragukan.
(Namun kemudian) konsep-konsep dari manusia Muslim telah disamakan dengan wahyu
Islam. Perubahan konsep dianggap perubahan agama.
Kekeliruan umum di atas mungkin sekali disebabkan oleh kebiasaan memasang atribut Islam
pada konsepsi-konsepsi manusia Muslim yang temporer tersebut."
Selaras dengan diskursus ini, De Santillana, orientalis asal Itali, adalah pionir yang
menegaskan keterpengaruhan Fikih oleh tradisi kehukuman Romawi. Namun, setelah
meyakini kelemahan hipotesa-hipotesa di atas dan tidak menemukan argumen tendensius,
akhirnya ia berikrar:
"Percuma kami berusaha mencari titik temu antara hukum Islam dengan undang-
undang Ramawi... Syari'at Islam memang memiliki karakteristik spesifik dan dasar-
dasar konstan yang tidak mungkin disamakan dengan undang-undang kita, karena
syari'at Islam adalah syari'at keagamaan yang sama sekali berbeda dengan pemikiran
kita."[4]
Oleh sebab itu, bagi para pemikir kontemporer, aplikasi Fikih secara komprehensif
di bumi realitas kekinian tidak mungkin dilakukan tanpa pembaharuan Fikih, sementara
pembaharuan Fikih tidak dapat direalisasikan kecuali melalui dekonstruksi sekaligus
rekonstruksi terlebih dahulu terhadap struktur paradigma dan epistemologi Fikih itu
sendiri. Untuk menyahuti panggilan ilmiah tersebut, maka tulisan ini merupakan ikhtiar
eksploratif yang diproyeksikan mengelaborasi kerja rekonstruksi paradigma Fikih klasik
agar ia mampu ‘berdansa’ sesuai ritme kebutuhan manusia masa kini. Tulisan ini akan
lebih fokus pada wilayah irisan pembenahan problem-problem internal paradigma Fikih,
ketimbang melacak akar historis faktor eksternal berupa hegemoni dan penetrasi Barat
terhadap dunia Islam. Ringkasnya, tulisan ini hendak membredeli titik-titik error
(kesalahan—ed.) dalam pendekatan tafsir, pembacaan ulang status sunnah, revitalisasi
kritik matan hadits dan kritik transmisi, dekonstruksi dan rekonstruksi struktur
konsensus, menguak rapuhnya analogi yang tercirikan dengan relativitas, membendung
bibliolatri Fikih yang merefleksikan sentralitas teks an sich, aktualisasi maqashid al-
syariah, mengusung etos Fikih sebagai perlawanan atas Fikih formalistik-simbolistik,
pembacaan ulang fikih politik, dan lain-lain. Elan (semangat—ed.) vital dari semua kajian
ini agar Fikih dapat menjadi aturan-aturan yang hidup dan applicable (qâbil li tathbîq). []
Sketsa Pembacaan Kedua
Paradigma Fikih
Teori nasikh-mansukh pada dasarnya muncul setelah masa Nabi. Kemapanan teori
ini didorong faktor sosial-politik yang menghegemoni dan mengintervensi pengembangan
Fikih menuju zona ijtihad yang cenderung ahistoris.[9] Latar belakang kehadiran teori
tersebut ialah karena ‘kebingungan’ ulama klasik ketika berhadapan dengan kontradiksi
antar teks-teks keagamaan. Ulama-ulama berhadapan dengan teks-teks universal
Makiyyah di satu sisi, dan di sisi lain berhadapan dengan teks-teks partikular Madaniyyah.
Tersebab tidak menemukan solusi lain untuk mensingkronkan kontradiksi, maka ulama
menganggap ayat yang turun akhir mengamandemen ayat-ayat sebelumnya. Teori nasikh-
mansukh biasanya diaplikasikan ketika masing-masing dari ayat-ayat tersebut diketahui
kepastian waktu turunnya. Jika tidak diketahui, maka mereka menggunakan solusi
alternatif berupa teori kompromistis (takhshish/jam'u). Apabila masih tidak
memungkinkan, maka ulama pasrah bongkokan dengan membiarkan kontradiksi tersebut
tetap terjadi. Teori terakhir ini populer dengan term (istilah—ed.) tawaquf. Dengan
dioperasikannya teori nasikh-mansukh, teks-teks universal Makiyyah menjadi tidak
berfungsi dan impoten lantaran dianulir oleh teks-teks partikular Madaniyyah.
Konsekuensinya, hukum-hukum Fikih akhirnya terbangun di atas teks-teks partikular
Madaniyyah, sehingga hukum Fikih tidak mampu lagi mencerminkan elastisitas seiring
tersingkirnya ayat-ayat universal Makiyyah.[10]
Syahdan, setelah membenahi problem penafsiran al-Quran, maka tulisan berikut ini
hendak menyoal kembali problem supremasi sunnah sebagai dasar hukum kedua setelah
al-Quran. []
Sealur dengan spektrum perbincangan ini, Abu Hanifah melemparkan ide distingtif
antara kalam sabda yang merepresentasikan beberapa kapasitas Muhammad. Inti dari ide
distingtif mengandaikan bahwa perkataan, perilaku, dan persetujuan Nabi yang muncul
mewakili kapasitas Muhammad sebagai Rasul memiliki peran tasyri' al-'am, sementara
yang mewakili kapasitas Muhammad sebagai kepala negara hanya berfungsi dalam tataran
legislasi partikular (tasyri' al-khash) yang hanya mengikat masyarakat di bawah
kekuasaannya.[21] Pada abad ke-7, konsep distingtif semakin mapan dalam paradigma
hermeneut klasik yang bernama al-Qarafi (w. 684 H). Al-Qarafi memandang Muhammad
selaku author teks-teks sabda memiliki kapasitas kompleks.[22]
Sekedar mencari sample, misalnya, pendapat ulama klasik dan fatwa sebagian
ulama di Indonesia mengharamkan presiden perempuan adalah merupakan hasil ijtihad
yang berangkat dari ketidakhirauan terhadap konsep distingtif. Argumen mereka adalah
hadits la yufliha qawmun wallaw amrahum imra'atan (sebuah komunitas yang
mengangkat pemimpin perempuan tidak akan jaya). Hadits yang merupakan respon
Muhammad saw terhadap kepemimpinan ratu Persia, Buran binti Syairawaih bin Kisra
Anusyirwan, sejatinya adalah statemen Muhammad yang mewakili kapasitas beliau
sebagai kepala negara, sehingga pengharaman perempuan menjadi presiden adalah fatwa
yang mengabaikan konsep distingtif.[23] Pengabaian terhadap konsep itu tentunya sangat
berbahaya lantaran akan mengakibatkan pensakralan terhadap pragmatisme politik yang
profan. Dengan aplikasi konsep distingtif secara radikal, kita dapat melihat betapa konsep
tersebut mampu menyuguhkan penafsiran ulang terhadap Fikih yang lebih
mengedepankan nilai-nilai emansipatoris.
Lebih dalam lagi, status sunnah sebagai basis hukum kedua setelah al-Quran masih
menyisakan kerumitan tertentu yang menjadikannya debatable, sehingga masih terbuka
peluang adanya pembacaan ulang terhadapnya. Selaras dengan ini, Ahmad Wahib,
pemikir progresif Tanah Air, menawarkan pembacaan ulang yang menukik terhadap status
sunnah. Ia menyatakan:
Gagasan yang dituangkan Ahmad Wahib dan Syahrur mewanti-wanti bahwa proyek
rekonstruksi Fikih harus dimulai dengan mendesakralisasi sunnah Nabi. Berangkat dari
start desakralisasi, sunnah Nabi akan kehilangan absolusitasnya, sehingga terbukalah
prospek terbangunnya hukum yang sama sekali baru, meski bertentangan dengan dengan
sunnah. Lebih menohok lagi, desakralisasi akan mengantarkan pada satu kesimpulan
bahwa sunnah bersifat temporal dan relatif, sehingga tidak ada salahnya jika hukum yang
diputuskan pada masa sekarang berbeda dengan nilai ideal sunnah Nabi pada masa lalu.
[25]
Sementara itu, dalam pandangan Jamal Banna, proyek rekonstruksi Fikih harus
dibarengi penyulihan ulang hadits-hadits. Hadits-hadits yang secara konvensional telah
menjadi basis Fikih harus direverifikasi (diperiksa benar tidaknya—ed.) dengan cara
mengaplikasikan kritik matan (teks hadits—ed.) secara lebih radikal. Penilaian dan
penyulihan hadits dapat dilakukan melalui cara mengkomparasikannya dengan
kandungan nilai fundamental al-Quran. Penilaian ini akan mengantarkan pada
‘pembekuan’ terhadap sejumlah hadits seperti berikut ini:
• Hadits-hadits tentang hal-hal ghaib, karena pengetahuan akan hal tersebut semata-
mata merupakan hak eksklusif Allah swt. Hadits-hadits yang membicarakan
kematian, hari kiamat, surga, neraka, al-Mahdi, Dajjal, siksa kubur, hari
kebangkitan, dan lain-lain, adalah hadits yang bertentangnan dengan al-Quran
yang menegaskan bahwa pengetauan tentang hal-hal tersebut adalah hak eksklusuf
Allah.
• Hadits-hadits tentang penafsiran ayat-ayat yang tidak jelas artinya (mubham) dan
tentang pengapusan ayat dalam al-Quran (naskh). Pembekuan terhadap hadits-
hadits tersebut karena dua alasan; alasan substantif dan formal. Pertama, alasan
substantifnya adalah karena Allah swt mengehendaki ayat-ayat tersebut tetap
mubham. Kedua, alasan formal karena hadits-hadits tersebut menggambarkan
riwayat-riwayat yang sebagian besarnya adalah lemah, cacat, dan tidak jelas.
• Hadits-hadits tentang penyiksaan mayat karena tangis keluarganya. Hadits ini
bertentang dengan prinsip al-Quran tentang penegasan tanggung-jawab individual.
• Hadits-hadits tentang perempuan, mulai dari hadits tentang penciptaannya dari
tulang iga sampai hadits hijab yang menutupi sekujur tubuh kecuali mata, hadits-
hadits perkawinan, penceraian, perbudakan, harta rampasan perang, dengan
menganggapnya hanya berlaku khusus bagi kondisi masa lalu. Saat ini segala
permasalahan yang berhubungan dengan hal tersebut harus diselesaikan dengan
beberapa ketetapan al-Quran.
• Hadits-hadits yang bermuatan fanatisme geografis, sukuisme, dan keistemawaan
individu-individu, karena bertentangan dengan prinsip al-Quran yang menegaskan
bahwa keistimewaan hanya dapat diperoleh melalui tingkat ketakwaan. Terkait
dengan konteks ini, maka hadits al-aimmah min Quraisy masuk dalam daftar
hadits yang harus dibekukan.
• Hadits-hadits yang senafas dengan terorisme dan yang bertentangan dengan ayat-
ayat kebebasan berakidah; la ikraha fi al-dîn. Di antara hadits populer yang masuk
daftar pembekuan adalah: "Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai
mereka mau menyatakan: la ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah, jika mereka
telah mengucapkannya maka mereka telah memelihara dariku darah dan harta
mereka" dan hadits: "Barang siapa mengganti agamanya maka bunuhlah dia".
Dua hadits ini tersebar dalam kitab-kitab Fikih, terutama dalam topik eksekusi
terhadap orang murtad. Dengan dibekukannya hadits-hadits tersebut maka Fikih
akan memiliki perwajahan yang humanis, pluralis, dan jauh dari ruh terorisme.
Jammal al-Banna menambahkan bahwa eksekusi terhadap orang murtad tidak
mempunyai dasar dari al-Quran dan hadits. Hukum eksekusi orang murtad adalah
semata-mata buatan fuqaha. Hukum seperti itu telah mencemarkan citra baik Islam
dan merusak nilai-nilai iman yang harus dilandasi dengan pilihan bebas.
• Hadits tentang rajam karena bertentangan dengan ayat al-Quran tentang zina
sekaligus menggambarkan siksaan yang lebih keras dibandingkan yang disebutkan
dalam al-Quran. Perajaman yang pernah dipraktekkan oleh Nabi adalah semata-
mata bentuk aplikasi terhadap apa yang terdapat dalam Taurat, terutama bahwa
pelaksanaan awalnya adalah terhadap orang Yahudi. Lebih jauh lagi, menurut
Jammal al-Banna, apa yang dipraktekkan Rasulullah adalah bentuk ijtihadnya
sendiri. Adapun hadits yang menisbatkan perbuatannya tersebut kepada wahyu
kebanyakan adalah hadits maudhu' (palsu—ed.).
• Hadits-hadits yang mengancam perempuan dengan siksa pedih jika ia memakai
parfum, berhias, dan keluar dari rumahnya, karena sebenarnya Rasulullah sendiri
menyukai perempuan yang berhias. Hadits-hadits seperti ini banyak sekali terdapat
dalam kitab-kitab Fikih yang kemudian menyebabkan munculnya hukum-hukum
patriarkis. Dengan dibekukannya hadits-hadits tersebut maka Fikih akan
mempunyai cita egalitarinisme.
• Hadits-hadits tentang ketaatan mutlak terhadap pemimpin. Tujuan pemalsuan
hadits tersebut adalah untuk menjinakkan manusia agar tidak melakukan oposisi.
Hal ini bertubrukan dengan hadits-hadits lain yang memerintahkan melakukan
oposisi terhadap pemimpin tiran dan despotis (sewenang-wenang—ed.) [26]
Doktrin ini dipandang oleh Fuad Jabali sebagai doktrin yang amat janggal, karena
Ibn Abd al-Bar, dalam karyanya tentang biografi para sahabat, menceritakan bahwa di
antara para sahabat ada yang berprofesi sebagai pencuri, pelaku zina, dan lain-lain. Fakta
sejarah ini memberikan sorot terang bahwa upaya muhaditsin men-generalisasi integritas
dan kredibilitas sahabat Nabi dengan amunisi doktrin di atas adalah tidak tepat.[29]
Bagaimanapun, sahabat Nabi adalah manusia biasa yang riwayat haditsnya terbuka untuk
dikritik. Uraian ini menjadi acuan bahwa rekonstruksi Fikih amat membutuhkan
reverifikasi hadits melalui pembaharuan teori kritik transmisi dan kritik substansi hadits
yang bebas dari kepentingan ideologis serta politis, bukan melalui teori kritik hadits
konvesional yang problematik. []
Gagasan tentang konsensus hanyalah wilayah ijtihadi yang tidak abadi, karena tidak
ada yang abadi kecuali Yang Maha Abadi. Konsensus sejatinya hanyalah aklamasi yang
bersifat relatif-historis dan tidak rigid (kaku—ed.), sehingga boleh diabaikan jika sudah
tidak lagi mencerminkan nilai-nilai kemaslahatan. Dalam pandangan Syahrur, supremasi
konsensus sahabat Nabi hanya relevan untuk mereka dan komunitas mereka sendiri. Jika
konsensus adalah ijtihadi yang bersifat elastis dan terus bergerak dari kondisi berada (das
Sein; Being) menuju kondisi berproses (der prozes; the process) kemudian kondisi
menjadi (das Werden; Becoming), maka—dalam konteks masa kini—konsensus adalah
kesepakatan orang-orang semasa yang masih hidup di majlis-majlis perwakilan rakyat dan
parlemen-parlemen. Orang-orang yang masih hidup dan bersepakat atas masalah krusial
dalam lingkup perjalanan sejarah yang mereka alami adalah orang-orang yang mampu
memahami dan mengatasi varian problematika mereka. Mereka tidak membutuhkan para
sahabat, tabi'in, dan apalagi ulama klasik. Seandainya secara kebetulan di dalam hukum-
hukum yang ditetapkan oleh para sahabat dan tabi'in terdapatkan hal-hal yang selaras
dengan problematika kontemporer, maka tidak ada salahnya untuk diambil. Jika tidak ada
yang sesuai dengan denyut nadi pesoalan kontemporer, maka harus diselesaikan dengan
kesepakatan dalam lingkup batas-batas perjalanan sejarah yang kita lewati.[32]
Relativitas hukum yang muncul akibat relativitas ratio-legis tak ayal jika pada
gilirannya mengusik Ibn Hazm (348-456 H). Tampilnya Ibn Hazm di atas altar pergulatan
Fikih di satu sisi terstimulasi oleh upaya penentangan terhadap epistemologi gnostik sekte
Syi’ah dan kaum sufi, dan di sisi lain menentang konsep analogi a`immah madzâhib al-
arba’ah yang dianggap rapuh. Penentangan Ibn Hazm terhadap analogi disebabkan oleh
faktor ‘kesewenang-wenangan’ praktik analogi. Kesewenang-wenangan itu dinilai telah
mengakibatkan kian jauhnya hasil inferensi (kesimpulan—ed.) hukum (istinbath al-hukm)
dari prinsip fundamental al-Quran dan hadits. Untuk merespon rapuhnya analogi, Ibn
Hazm berkata:
Ibn Hazm menolak analogi ala fuqaha yang terkonstruk berdasarkan ratio-legis. Ibn
Hazm kemudian menawarkan ide al-dalîl yang diharapkan dapat menggantikan posisi
analogi versi fuqaha. Secara epistemologis, konstruksi al-dalîl dalam gagasan Ibn Hazm
tak lain adalah meminjam konstruksi syllogismos Aristoteles yang mengadaikan penarikan
konklusi dari dua premis. Ibn Hazm menyadari pentingnya aplikasi logika Aristoteles
dalam tradisi Fikih demi terwujudnya pendasaran ulang epistemologi retoris dengan pisau
analisis demonstratif.[36] Ibn Hazm benar, ratio-legis ala fuqaha yang ia kritik memang
mempunyai kelemahan metodologis yang sangat mendasar. Ratio-legis ala fuqaha alih-alih
menyelesaikan masalah, malahan yang terjadi adalah munculnya konflik-konflik baru
berupa menganganya perselisihan pendapat antar ahli hukum.[37]
Fakta historis dan teoritis di muka adalah tanda bahwa perdebatan Ushul Fikih
telah terseret ke dalam perdebatan teologis. Ushul Fikih telah menjadi kawasan empuk
bersinggahnya pertikaian ahli kalam dalam persoalan ta'lil, sehingga nalar Ushul Fikih
tergiring pada aroma teosentris. Runutan sejarah tidak berhenti di sini, eksplorasi yang
lebih tegas mungkin dapat dibahasakan dengan uraian bahwa Fikih dan Ushul Fikih telah
terperangkap dalam upaya teologisasi konflik politik. Konflik politik pada masa tragedi
arbitrasi (tahkîm) oleh Muawiyyah kemudian diteologisasi demi menjustifikasi sikap-sikap
politiknya. Muawiyyah dituding oleh Abi Ali al-Juba`i sebagai politikus yang harus
bertanggungjawab atas upaya teologisasi pragmatisme politik. Muawiyyah merupakan
tokoh yang mengemukakan bahwa segala sikap politiknya adalah semata-mata kehendak
Tuhan, sementara Muktazilah berada pada posisi penolak fatalisme.
Penyempitan wilayah ijtihad ini menunjukkan tradisi Fikih pasca al-Syafi'i tidak lagi
satu genre dengan progresivitas ijtihad para sahabat Nabi. Jika ijtihad Umar ra. berani
merangsek ke dalam wilayah teks-teks qath'i-permanen dan mengotak-atiknya, maka
ijtihad fuqaha hanya berkutat dalam teks-teks ambigu yang non-permanen (dhanni). Nah,
perbandingan antara wilayah ijtihad versi sahabat dan fuqaha ini setidaknya memberikan
warning bahwa seharusnya penyempitan wilayah ijtihad menurut al-Syafi'i harus ditinjau
ulang. Tidak ada tujuan lain dari peninjauan ulang ini selain mempersoalkan sentralitas
teks dan memperluas kembali wilayah ijtihad.[44]
Setalah dipersempit, ijtihad dalam Fikih tak lain hanyalah suatu bentuk upaya
penundukkan segala problematika di bawah kungkungan hegemoni teks al-Quran dan
hadits. Kemudian menjadi sangat naif jika ijtihad dalam Fikih hanyalah kerja ilmiah yang
bergerak dalam teks (al-ijtihad fi al-nash) yang -tanpa disadari- tengah memperkecil peran
nalar dalam mengukur laju realita kehidupan. Pengungkungan kreasi nalar manusia dalam
wilayah teks semakin menancap dalam tradisi kehukuman Islam, karena di-endorse dan
disokong doktrin dogmatis bahwa tidak ada persoalan apapun kecuali dalam syari'at
ditemukan jawabannya.[45] Teks-teks keagamaan dianggap oleh ulama sebagai gudang
jawaban bagi seabrek persoalan, meskipun dengan tersipu malu mereka mengakui
keterbatasan teks-teks tersebut. Paradigma ini kemudian semakin mapan lantaran
didukung oleh postulat (hipotesis/dugaan yang telah dibuktikan—ed.) ‘parameter hukum
adalah universalitas teks’ (al-'ibrah bi 'umum al-lafdhi).
Dalam tradisi kehukuman, kaidah ini memberikan semacam darah segar bagi
mengangkangnya supremasi teks yang hegemonik, lebih-lebih ketika ia ditopang oleh
munculnya wawasan ultra-teosentris teologi Sunni. Teks kemudian menjadi aksis bagi
seluruh pemecahan persoalan, sehingga, tanpa bisa dihindari, mengakibatkan pereduksian
terhadap pengalaman riil manusia yang menjadi konteks historis teks. Kaidah
universalitas teks tidak hanya menyebabkan hasil ijtihad terjerembap dalam ahistorisitas,
tetapi juga menjadi benteng bagi mencuatnya konsep tsumuliyyat al-nash yang
mengandaikan bahwa teks-teks keagamaan diyakini mengatasi dan mengabstraksikan
segala pengalaman konkret manusia. Kaidah universalitas teks digunakan ulama untuk
men-generalisasi teks-teks keagamaan yang terbatas ketika berhadapan dengan
meruyaknya problem kemasyarakatan yang tak terbatas, meskipun dengan cara
mensubordinasikan konteks historis.
Produk Fikih fuqaha memang memiliki warna lain dibandingkan corak hukum pada
era kenabian. Dalam telaah al-Jabiri, pemikir dekonstruksionis, kaidah hukum pada era
kenabian sangat sederhana. Hukum-hukum pada masa itu bergerak secara dinamis dan
elastis sesuai takaran pertimbangan kemaslahatan yang berperan mendialogkan dan
mengharmonisasikan antara bunyi teks dengan suara realitas. Dalam setiap proses
afirmasi (penegasan—ed.) hukum, para kolega Nabi belum terperangkap dalam
perdebatan apakah parameter inferensi hukum adalah partikularitas konteks atau
universalitas teks. Postulat al-'ibrah bi 'umum al-lafdhi dan al-'ibrah bi khushush al-
sabab sama sekali belum menjadi diskursus yang dipertentangkan oleh mereka dalam
ranah hukum. Dua postulat tersebut baru muncul pada era kodifikasi.[46]
Meskipun demikian, ada juga ulama yang berapologi dengan mencoba mencari-cari
akar kaidah universalitas teks dalam tradisi kehukuman pada masa Nabi. Ibn al-Qudamah
(w. 620 H), penulis Raudh al-Nadhir fi Ushul al-Fiqh, kitab Ushul Fikih tertua madzhab
Hanbali, meneguhkan bahwa kaidah al-'ibrah bi 'umum al-lafdhi (universalitas teks—ed.)
pernah diaplikasikan oleh Nabi pada era kenabian. Bagi Ibn Qudamah, kaidah ini
merupakan parameter hukum yang dipakai oleh mayoritas pakar hukum Islam dan tidak
ada yang menentangnya kecuali Imam Malik dan minoritas Syafi'iyyah. Pakar-pakar
hukum pro postulat universalitas teks mencoba meyakinkan bila kaidah tersebut
mempunyai dasar normatif-historis yang kuat. Menurut mereka, kaidah tersebut muncul
berlandaskan kronologi pertanyaan seorang sahabat play boy tentang mekanisme
bertaubat sesaat setelah ia mencium perempuan ajnabiyyah. Dus, maka turunlah ayat
"inna al-hasanât yudzhibna al-sayyiât" (amal-amal kebajikan dapat melebur amal-amal
buruk). Sahabat itu kemudian bertanya: "wahai Rasulullah, apakah ketentuan itu hanya
berlaku bagiku, karena akulah penyebab turunnya ayat tersebut"? Spontan Rasul
menjawab: "ayat tersebut berlaku umum, tidak hanya bagimu, karena yang menjadi
ukuran adalah universalitas kata-kata "inna al-hasanât yudzhibna al-sayyiât' bukan
partikularitas konteks".[47]
Berpijak pada dasar normatif ini, postulat universalitas teks semakin mantap
mendapatkan supremasi, sementara manusia hanya dijadikan mukallaf tak berdaya yang
harus tunduk patuh di bawah hegemoni teks. Kaidah hukum al-'adah muhakkamah dan
taghayyur al-hukm bi taghayyur al-zaman wa al-makan –yang sejatinya memberikan
apresiasi terhadap budaya adiluhung manusia- juga harus bertekuk lutut di bawah
kungkungan teks-teks keagamaan. Sentralitas teks-teks keagamaan seakan-akan menjadi
algojo bagi etnosentrisme. Hal ini kemudian mengakibatkan munculnya dikotomi antara
tradisi dan budaya yang legal karena senada dengan bunyi teks dengan tradisi dan budaya
ilegal lantaran tidak sejalan dengan bunyi teks. Al-'adah muhakkamah hanyalah jargon-
teoritis yang disetting untuk memunculkan citra bahwa Fikih ramah lingkungan, Fikih
apresiatif terhadap tradisi dan kultur, dan Fikih tak abai terhadap realitas, tetapi secara riil
segala bentuk tradisi, kultur, dan realitas hidup tetap ditundukkan kepada literalitas teks.
Tegasnya, tradisi dan budaya dalam tradisi Fikih merupakan objek yang dihakimi, bukan
menghakimi, karena aksis pemecahan hukum adalah berpulang pada ‘bunyi’ teks.[48]
Sebagai tambahan, slogan hukum yang merefleksikan sentralitas teks yang perlu
ditinjau ulang adalah “hukum diciptakan demi kemaslahatan manusia” (al-ahkâm
wudhi'at li mashâlih al-'ibâd). Selantang apapun fuqaha dan ushuliyyin mendengungkan
adagium itu, namun secara empiris adagium itu hanya diukur dengan standar bunyi teks.
Peran nalar dalam merumuskan konsep kemaslahatan berada dalam posisi subordinate
(tertindas, di bawah—ed.), lebih-lebih dalam konsepsi Juwayni, di mana kemaslahatan
selalu ditundukkan di bawah hegemoni teks, atau hegemoni teks dan konsensus menurut
al-Ghazali. Syathibi secara tegas juga mengatakan: "tidak ada peran nalar dalam maqâshid
al-syari'ah".[50] Aktivitas penyeruputan nilai kemaslahatan selalu digerakkan di dalam
lipatan-lipatan huruf. Implikasinya, ijtihad seputar maqâshid yang tidak berkutat pada
teks adalah ilegal, sebab teks merupakan poros dari seluruh cara pemecahan problematika.
Lalu, sebagai konsekuensi logis, muncullah dikotomi antara kemaslahatan legal yang
didukung oleh teks (mashalih mu'tabarah) dan kemaslahatan ilegal yang tidak didukung
oleh teks (mashalih ghayr mu'tabar/mulghah). Sentralitas teks mengandaikan bahwa
pemetikan nilai-nilai kemaslahatan harus berpulang pada teks, bukan pada pertimbangan
realitas hidup manusia yang berubah-ubah.[51] Eksistensi hegemoni, supremasi, dan
sentralitas teks dalam tradisi Islam ini tidak mengherankan jika pada gilirannya
mengantarkan Abu Zaid untuk menyatakan bahwa peradaban Islam adalah peradaban
yang berpusing-pusing dalam wilayah teks.[52]
Dus, dengan demikian maka rekonstruksi paradigma Fikih meniscayakan
pembendungan sentralitas teks dan memperluas gerak nalar dalam memilih dan memilah
kemaslahatan. Selaras dengan proyek ini, Najmuddin al-Thufi meneguhkan kompetensi
nalar dalam menentukan kemaslahatan keduniaan. Inti teorinya dikerangkakan
memberikan supremasi terhadap kemasalahatan dan menolak dikotomi antara
kemaslahatan legal dan ilegal, sebab, menurutnya, tujuan syariat adalah kemaslahatan
yang senantiasa harus digapai, baik didukung maupun tidak oleh teks-teks ilahiyyah. Nalar
berfungsi menentukan kemaslahatan dan kemudaratan bidang muamalat duniawi.
Sesuatu dinilai maslahat atau tidak cukup didasarkan pada pertimbangan nalar intelektual
secara independen, tanpa harus didukung oleh teks al-Quran maupun hadits.[53]
Nah, pada abad ke-6 Hijriyyah, Fikih hampa etos kemudian menjadi raison d' etre
buah karya Ihya` 'Ulûm al-Din yang mengejawantahkan ide genial dalam proyek
menghidupkan ilmu-ilmu keagamaan. Ihya` 'Ulûm al-Dîn merupakan adikarya yang
digelindingkan al-Ghazali guna menyegarkan kembali pemikiran Islam yang tengah
tercebur dalam formalisme dan simbolisme. Bagi al-Ghazali, keringnya Fikih harus
dibendung dengan cara merestrukturisasi epistemanya. Proyek ini berhasil dilakukan oleh
al-Ghazali melalui harmonisasi antara epistemologi retoris dan gnostik sufi.[58] Lewat
karyanya itu, al-Ghazali secara eklektik memasukkan nilai-nilai sufistik ke dalam disiplin
Fikih, sehingga, sejak saat itu, hukum-hukum Fikih tidak hanya melulu berorientasi pada
nilai legal formal an sich dalam kesadaran teoritis, melainkan telah menjelma menjadi
aturan-aturan yang lebih berorientasi pada nilai-nilai kontemplatif dalam kesadaran
praksis.
Pada masa silam, pasca perpecahan umat Islam yang ditandai oleh munculnya
sekte-sekte, para teolog menyeret masalah politik ke dalam wilayah wacana teologi.
Persoalan politik tidak lagi semata-mata urusan duniawi, melainkan dimodifikasi
sedemikian rupa agar menjadi perdebatan bernuansa agama. Upaya ini tidak sunyi dari
motif yang melatarinya. Sejarah bercerita bahwa pengangkatan isu imâmah ke atas
panggung perhelatan teologi adalah didorong oleh upaya para teolog Sunni untuk menolak
sikap Syi'ah yang menafikan ke-khilâfah-an Abu Bakar ra., Umar ra. dan Utsman ra. Syi'ah
bersikukuh dengan ideologinya bahwa imâmah merupakan hak eksklusif keluarga Nabi
berdasarkan wasiat Nabi.[60] Dalam pergolakan politik tersebut, setidaknya ada tiga
paradigma yang muncul ke permukaan:
Kedua, paradigma integralistik. Dalam perspektif ini, relasi antara agama dan
negara berkait-kelindan. Cakupan ajaran agama meliputi aturan politik dan tatanan
negara, sehingga, Islam sebagai sebuah agama, dapat diartikan pula sebagai lembaga
politik dan kenegaraan dengan doktrin "inna al-Islâm Dîn wa Dawlah". Penganut paham
ini adalah sekte Syi‘ah. Mereka mengkategorikan imâmah sebagai salah satu dari rukun
iman.
Ketiga, paradigma simbiotik. Menurut pandangan ini, relasi antara agama dan
negara adalah bersifat timbal balik. Artinya, agama membutuhkan instrumen dakwah
berupa negara, karena melalui negara yang terbentuk secara formalistik-legalistik dalam
wadah negara Islam, maka agama bisa berkembang dalam mengekpresikan aturannya
dalam rangka aplikasi ajaran Islam. Penganut paradigma ini adalah mayoritas Ahli al-
Sunnah dan mayoritas Muktazilah serta Murji`ah.[61]
Perdebatan seputar wacana politik Islam hingga abad ke-3 Hijriyyah masih berkutat
dalam zona teologi dan belum merasuk menjadi bagian dari diskursus Fikih. Disiplin
Fikih, yang mencapai kemapanannya pada akhir abad ke-3 Hijriyyah pasca kematangan
empat madzhab, belum menyentuh area polity. Baru pada abad ke-5 Hijriyyah, diskursus
politik diseret dari wilayah teologi menuju wilayah perdebatan Fikih oleh al-Mawardi (w.
450 H/1059 M) dalam Ahkam al-Sulthaniyyah; karya eksotis yang concern membahas fiqh
siyasah yang menganut paradigma simbiotik. Sebagai seorang faqîh yang mempunyai
relasi erat dengan penguasa, konon ia menulis buku tersebut atas permintaan Sultan
Buwaihid yang memegang kendali kekuasaan pada masa itu.[62]
Karya al-Mawardi sangat kental dengan aroma ideologis, sebab pada chapter awal
bukunya ia menyatakan bahwa kewajiban memilih khalifah semata-mata berdasarkan
syara', bukan akal. Statemen ini merupakan ekspresi kegigihan al-Mawardi dalam
mengukuhkan doktrin Sunni-Asy'ari sekaligus menolak doktrin Muktazilah. Di sisi lain,
mekanisme pengangkatan khalifah oleh Ahl al-Hall wa al-'Aqd tidak lain merupakan teori
yang diproyeksikan untuk melegitimasi status quo sekaligus melawan prinsip wasiat dalam
doktrin tatanegara sekte Syi'ah.[63] Selain memendam dimensi ideologis, buku tersebut
juga bernuansa politis. Nuansa ini dapat dilihat dari kriteria seorang imam yang harus dari
klan Quraisy. Dikatakan politis karena sejatinya konsep tersebut di satu sisi dicanangkan
untuk melawan pandangan Khawarij yang memperbolehkan setiap muslim memegang
jabatan imam.[64] Sedangkan di sisi lain sekaligus untuk membendung pemberontakan
Persia dan Turki non-Quraisy yang tengah merongrong kekuasaan Abbasiyyah di Baghdad
yang notabene adalah klan Quraisy. Nuansa politis ini kemudian dikaburkan oleh al-
Mawardi dengan cara membungkusnya dengan aroma agamis melalui justifikasi dari
hadits al-Aimmah min Quraisy (dalam uraian sub tema sunnah, hadits ini dipandang
Jammal Banna masuk kategori hadits yang harus dibekukan).[65]
Ironisnya, teori politik yang sejatinya bersifat profan, tidak sakral, relatif, dinamis,
dan cepat berubah, oleh al-Mawardi dipoles sedemikian rupa dan dicarikan justifikasi dari
teks-teks keagamaan agar derajatnya meroket dari sekedar persoalan pragmatisme politik
menjadi isu sakral yang berefek siksa neraka. Upaya justifikasi dengan cara memerkosa
teks-teks keagamaan tersebut kemudian justru mengakibatkan pemikiran politik Islam
berubah menjadi teosentris, statis, dan permanen yang rawan terseok-seok ketika harus
berdinamika dengan perkembangan genre teori politik modern. Nalar teosentrisme fiqh
siyasah mengandaikan bahwa pengabdian kepada penguasa –meskipun lalim– adalah
pengabdian kepada Tuhan, bukan kepada rakyat. Kekuasaan semata-mata dipahami dari
dimensi teosentris tanpa menghiraukan dimensi antroposentris. Akibat fatalnya, politik
Islam terlalu berorientasi pada pihak kuasa dan kurang menyentuh problem kerakyatan
secara riil. Sehingga dampak negatifnya pun serius, pihak kuasa tidak mempunyai
pertanggungjawaban kepada rakyat, melainkan kepada Tuhan. Tak bisa dihindari jika
lantas muncul citra buruk bahwa negara Islam merupakan pemerintahan Tuhan langsung.
Tuhanlah yang memimpin negara tersebut dan senantiasa mengatur rakyatnya. Negara
Islam dipimpin oleh Tuhan, sampai-sampai pegawainya adalah pegawai Tuhan.[66]
Kendati perdebatan politik telah mewarnai disiplin teologi, Fikih, dan filsafat,
bukan berarti tiga disiplin tersebut mendekati obyek pemikiran politik dalam frame yang
sama. Jika hendak mengkomparasikannya, maka akan ada perbedaan mencolok antara
ketiga disiplin tersebut dalam mengkaji konsep politik. Konsep politik dalam tradisi Syi'ah,
misalnya, yang lekat dengan prinsip wasiat, sangat kental dengan nuansa fanatisme
terhadap Ahl al-Bait sehingga mengaburkan nilai keilmiahan konsep tersebut. Dalam
tradisi Sunni, pengangkatan isu imâmah dalam pagelaran debat teologis hanyalah sekedar
refleksi apologetik untuk mengukuhkan legitimasi empat khalifah. Dengan demikian,
konsep pemikiran politik bukanlah diskursus independen yang bebas dari konteks
dinamika politik umat Islam klasik.
Perselingkuhan Fikih dari nilai fundamental Islam, seperti sekelumit sample di atas,
tanpa dapat dibendung memunculkan beberapa pendekatan modern terhadap hukum
Fikih. Pada era kontemporer ini, hukum klasik perihal relasi antar umat beragama yang
memarginalkan non-muslim sebagai kaum minoritas coba digugat dengan takaran
egalitarianisme. Sementara terkait dengan perbudakan, para pemikir kontemporer
berusaha mereinterpretasikan ajaran Islam secara kontekstual sehingga menemukan
konklusi bahwa Islam sejatinya hendak membasmi praktik perbudakan secara gradual.
Dengan demikian, Islamic law sejatinya sejalan dengan international humanitarian law
dan ketentuan PBB menghapus segala praktek perbudakan. Dengan ijtihad baru, Islamic
law terbukti senada dengan standar humanisme modern. Kemudian hukum-hukum yang
mensobordinasikan kaum feminis di bawah superioritas kaum maskulin tak luput dari
sorotan pemikir saat ini. Para penarik gerbong Islam emansipatoris dengan pendekatan
feminis mencoba merobohkan otoritarianisme klasik yang mengungkung perempuan.
Pada tataran klimaksnya, hasil ijtihad fuqaha patriarkhis nyaris bahkan telah terpatahkan.
Perselingkuhan Fikih dari nilai asasi al-Quran secara riil memang terjadi, sehingga
menurut Muhammad Abduh, sang protagonis reformasi Islam, butuh penyelarasan
kembali pemahaman Islam dengan cara merujuk langsung kepada teks-teks otoritatif
keagamaan (baca: al-Quran dan hadits) tanpa me-refer (merujuk—ed.) kepada
pandangan-pandangan fuqaha masa lalu. Dalam perspektif Abduh, memahami Islam
dengan menggunakan parameter pendapat-pendapat ulama klasik hanya akan
memperkeruh dan memporak-porandakan penafsiran objektif. Untuk memahami ajaran
Islam secara tepat, Abduh tak mempunyai solusi alternatif kecuali dengan cara menggali
nilai-nilai otentik yang eksis pada masa sebelum terjadinya perpecahan umat Islam, baik
perpecahan sekte teologi, madzhab fiqih, maupun partai politik, karena menurutnya,
pemahaman terhadap Islam pasca perpecahan merupakan gagasan-gagasan yang tak bisa
lepas dari kepentingan teologis dan politis. Setuju dengan langkah revolusioner ini, Rasyid
Ridha memandang pendapat-pendapat fuqaha sudah tidak diperlukan lagi dalam setiap
penyelesaian persoalan keagamaan. Persoalan halal dan haram harus dikembalikan
kepada al-Quran dan Sunnah. Sedangkan persoalan keduniaan hendaknya diselesaikan
melalui permusyawaratan rakyat.[73]
Adalah sebuah aksioma, khususnya bagi muslim yang berpikir serius, jika Fikih
butuh penyegaran kembali melalui rekonstruksi dan restrukturisasi paradigmanya.
Bagaimana tidak? Tanpa melalui pembaharuan, maka umat Islam tidak akan mampu
beradaptasi dengan tuntutan masa kini. Di tengah-tengah kencangnya laju modernisasi,
umat Islam tidak akan eksis secara layak jika hanya berkutat mempelajari hukumnya
minyak samin yang kemasukan tikus (fa'rah). Ini hanya sekelumit contoh betapa
peradaban Islam sangat mundur. Untuk itu, sejak awal hingga akhir, tulisan ini hendak
mereformulasi hukum baru sebagai jalan keluar dari dekadensi hukum yang terjadi dalam
peradaban Islam.
Secara teknis, rekonstruksi Fikih harus dimulai dengan menjauhkan konsep naskh
dari proses penafsiran. Kencan interpretasi masa kini harus tampil nyentrik dan bebas dari
borgol-borgol konsep tersebut guna mendinamisasi dialektika teks-teks keagamaan
dengan realitas hidup secara kondisional. Ijtihad kontemporer, seperti didengungkan oleh
Mahmud Muhammad Thaha, tidak hanya melulu tertungkung dalam ayat-ayat partikular
Madaniyyah yang oleh ulama klasik dianggap menghapus ayat-ayat universal Makiyyah,
melainkan ijtihad sama sahnya dengan hanya merujuk pada ayat Makiyyah yang lebih
mengedepankan norma-norma universal, meski ayat-ayat itu dianggap terhapus menurut
versi mainstream.
Dus, runtuhnya teori ini akhirnya mengantarkan pada benang merah bahwa upaya
al-Syafi'i mengangkat sunnah —dengan bantuan sinonimitas— sebagai wahyu kedua
setelah al-Quran adalah absurd. Abu Zaid melalui telaah teks-teks secara kontekstual dan
Syahrur melalui teori anti sinonimitas sepakat bahwa sunnah bukanlah wahyu kedua.
Dengan demikian menjadi terang bahwa ijtihad kontemporer harus berangkat dari satu
pijakan memperlakukan sunnah sebagai penafsiran awal Nabi yang bersifat relatif,
temporal, non permanen, dan tidak sacred (sakral—ed.). Selain itu, rekonstruksi Fikih
meniscayakan adanya dekonstruksi jargon al-shahabat kulluhum 'udul dan pembaharuan
konsep jarh wa ta'dîl untuk mensterilkannya dari kepentingan ideologis dan politis. Tidak
mau ketinggalan, Jammal al-Banna menandaskan bahwa proyek membangun Fikih baru
harus dimelewati gerbang reverifikasi dan refilterisasi hadits-hadits Nabi serta revitalisasi
maqashid al-syari'ah dengan contoh-contoh relevan.
Pembacaan ulang terhadap Fikih yang tak kalah penting terletak pada pengendalian
relativitas hukum akibat kesewenang-wenangan analogi. Pemikir garda depan yang
berambisi menyelesaikan problem ini adalah Ibn Hazm. Dengan meminjam teori
syllogismos Aristoteles, Ibn Hazm berhasil melakukan pembasisan ulang terhadap
struktur Fikih guna meminimalisir ‘warna-warni corak hukum’. Selanjutnya, setelah ‘tour’
panjang mengintip nuansa-nuansa politis yang merasuk ke dalam perdebatan teologis
kemudian ke dalam diskursus ratio-legis, maka tulisan ini sampai pada tarikan
kesimpulan bahwa rekonstruksi Fikih juga membutuhkan konsepsi Ushul Fikih dan
konsepsi teologi baru yang bersih dari teologisasi pragmatisme politik. Rekonstruksi pada
titik ini sangat penting untuk mentransformasikan Fikih teosentris menjadi Fikih
antroposentris. Di sisi lain, transformasi Fikih formalistik-simbolistik menjadi Fikih
berdimensi etos juga merupakan perkembangan paradigma Fikih yang harus dicamkan
dan dikembangkan lebih lanjut. Dalam proyek rekonstruksi dan restrukturisasi ini, sosok
al-Ghazali, yang oleh Montgomery Watt dianggap sebagai tokoh muslim terbesar setelah
Nabi Muhammad, dipandang telah berhasil mensinergikan dan mengintegralkan Tasawuf
dan Fikih.
Lantas, memasuki wilayah bedah yang paling krusial, rekonstruksi Fikih menuntut
reposisi sentralitas teks. Pada masa silam, energi yang dikeluarkan oleh para raksasa
klasik Islam hanya berpusing-pusing di sekitar huruf-huruf agama. Parameter hukum
berupa tradisi adiluhung (al-'adah al-muhakamah) dan konsep kemaslahatan senantiasa
didudukkan di bawah hegemoni teks. Oleh sebab itu, ijtihad masa kini harus lebih berani
memposisikan teks-teks keagamaan dan realitas hidup dalam strata yang kongruen dan
sebangun. Teks dan realitas harus setara dan tidak boleh memperlakukan realitas hidup
sebagai entitas yang subordinate. Sebagai pamungkas, kita telah menyaksikan bagaimana
Muhammad Abduh, Rashid Ridha, dan Yusuf Qardhawi dengan getol melawan
perselingkuhan-perselingkuhan hukum klasik dan menawarkan tipologi (bentuk—ed.)
ijtihad kontemporer.
* Dipresentasikan dalam diskusi Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (LAKPESDAM
PCI NU Mesir) pada hari Senin, 21 Agustus 2006. Makalah ini kugubah untuk seseorang yang memotivasiku.
** Mahasiswa tingkat satu Ushuluddin al-Azhar Kairo.
[1] Muhammad Syahrur, Nahwa Ushûl Jadîdah li al-Fiqh al-Islâmi, Damaskus: al-Ahali, cet. I, 2000, h. 95.
[2] Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, disunting oleh Djohan
Effendi dan Ismed Natsir, LP3ES, Jakarta, 1988, h. 37-38.
[3] Gustave E. Von Grunebaum, Medieval Islam: A Study in Cultural Orientation, diarabkan oleh Abd al-Aziz
Taufiq dengan judul Hadharah al-Islâm, Maktabah al-Usrah, 1997, h. 187-195. Adam Mez, Die Renassance
des Islams, diarabkan oleh Muhammad Abd al-Hadi Abu Raydah dengan judul al-Hadharah al-Islamiyyah fi
al-Qurn al-Rabi' al-Hijri aw 'Ashr al-Nahdhah fi al-Islam, Cairo: Mathba'ah Lajnah al-Ta`lif wa al-Tarjamah
wa al-Nashr, cet. III, 1957, h. 369. Muhammad al-Dasuqi & Amina Jabir, Muqaddimah fi Dirâsah al-Fiqh al-
Islâmi, Dar al-Tsaqafah, cet. I, 1999, h. 236-242. ‘Athiyah Musyrifah, Al-Qadha` fi al-Islâm, Syirkah al-Syirq
al-Ausath, cet. II, 1966, h. 111-112.
[4] Abid al-Jabiri, Takwîn al-'Aql al-'Arabi, Beirut: Markaz Dirasah al-Wahdah al-'Arabiyyah, cet. VIII ,
2002, h. 96-97.
[5] Ibid, h. 97-98.
[6] Abdullah Ahmad Naiem, Towards an Islamic Reformation, diarabkan dengan judul Nahwa Tathwîr al-
Tasyrî' al-Islami, Sina li Nasyr, cet. I, 1994, h. 61. Bandingkan dengan Coulson, A History of Islamic Law,
diarabkan oleh Muhammad Ahmad Siraj dengan judul fi al-Tarîkh al-Tasyrî' al-Islâmi, al-Muassasah al-
Jami'ah li Dirasah wa al-Tawzi', cet. I, 1992, h. 209-210.
[7] Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin Farh al-Qurthubi Abu Abdillah, Tafsîr al-Qurthûbi, Dar al-
Sya‘bi, vol. II, h. 192 & 353.
[8] Muhammad Syahrur, op. cit., h. 229-230.
[9] Ibid, h. 88.
[10] Abdullah Ahmad al-Naiem, op. cit., h. 89, 90 & 91.
[11] Hasam Rusydi al-Ghali, bi al-Hujjah wa al-Burhan La Naskha fi al-Quran, Cairo: al-Maktab al-Arabi li
al-Ma'arif, cet. I, 2005, h. 6-11.
[12] Ibid.
[13] Zakaria Ouzon, al- Shafeii's Offense: Saving the Umma from the Scolarship of the Ulema, Beirut: Riad
El-Rayyes, cet. I, 2005, h. 33-329. Ouzon dengan pendekatan komparatif dan historis-kontekstual terhadap
teks-teks al-Quran sampai pada kesimpulan bahwa konsep nasikh-mansukh adalah absurd. Dia juga
menyatakan bahwa pemahaman al-Syafi'i terhadap konsep tersebut adalah pemahaman yang ahistoris dan
cenderung mencerabut teks-teks dari konteks-historisnya.
[14] Muhammad Syahrur, op. cit., h. 189.
[15] Abdullah Ahmad Naiem, op. cit, h. 92.
[16] Ibid, h. 85-89.
[17] Nashr Hamid Abu Zaid, al-Syafi'i wa Ta`sîs al-Ideologia al-Wasatiyyah, Cairo: al-Madbouli, cet. III,
2003, h. 14. Abid al-Jabiri, op. cit., h. 102.
[18] Abu Zaid, op. cit., h. 15, 54, 59 dst. Al-Jabiri, op. cit., h. 104.
[19] Zakaria Ouzon, op. cit., h. 54.
[20] Abu Zaid, op. cit., h. 32-35. Bandingkan dengan Zakaria Ouzon, op. cit., h. 62-63.
[21] Abd al-Rahim bin Hasan al-Asnawi Abu Muhammad, al-Tamhîd, Beirut: Muassasah al-Risâlah, cet. I,
vol. I, h. 509-510.
[22] N. J. Coulson, , h. 30.
[23] Ibn Hajar al-Asqalany, Fath al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri, Beirut: Dar al-Ma’rifat, vol. VIII, h. 128.
Bandingkan dengan Abu Ala al-Mabarkafury, Tuhfah al-Ahdzawy bi Syarh Jami’ al-Turmudzi, Beirut: Dar al-
Kutub al-‘Ilmiyyah, vol. VI, h. 447.
[24] Greg Barton, Ph. D, The Emergence of Neo-Modernism: A Progressive, Liberal Movement of Islamic
Thought in Indonesia, dialihbahasakan oleh Nanang Tahqiq, Paramadina & Pustaka Antara, cet. I, 1999, h.
315 & 317.
[25] Muhammad Syahrur, op. cit., h. 62-63.
[26] Jammal al-Banna, Nahwa Fiqh Jadid, Cairo: Dar al-Fikr al-Islami, t.t., h. 249-260. Bandingkan dengan
Jammal al-Banna, Qadhiyyah al-Fiqh al-Jadid, Dar al-Fikr al-Islami, t.t.,h. 129.
[27] Ahmad Amin, Fajr al-Islam, Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyyah, cet. XIV, 1994, h. 209-214.
[28] Ibid, h. 217.
[29] Wawancara Ulil Abshar-Abdalla dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) dengan Dr. Fuad Jabali.
[30] Abdullah Ahmad al-Naiem, op. cit., h. 51.
[31] Abid al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, Beirut: Markaz Dirasah al-Wahdah al-'Arabiyyah, cet. VII, 2004,
h. 128-129 & 526. Bandingkan dengan Jammal al-Banna, Qadhiyyah al-Fiqh al-Jadid, h. 170.
[32] Muhammad Syahrur, op. cit., h. 64.
[33] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-Mustasfa, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet.
I, 1413, CD Maktabah Fiqh wa Ushulihi, vol. I, h. 281. Bandingkan dengan Abid al-Jabiri, op. cit., h. 138.
[34] Abid al-Jabiri, op. cit., h. 541.
[35] Abid al-Jabiri, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabi, Markaz Dirâsah al-Wahdah al-‘Arabiyyah, cet. IV, 1989, h. 303-
304.
[36] Abid al-Jabiri, op. cit., h. 522.
[37] Konsepsi analogi ataupun al-dalil hanyalah bentuk pemahaman yang relatif, sehingga tidak menutup
kemungkinan munculnya ijtihad-ijtihad baru. Syahrur, yang berambisi melampaui capaian sarjana klasik,
menawarkan gagasan bahwa analogi harus didasari bukti-bukti material dan pembuktian ilmiah yang
diajukan oleh ahli ilmu alam, sosiolog, statistik, dan ekonom. Merekalah para penasehat bagi otoritas
pembentukan hukum-hukum, bukan ulama agama dan lembaga-lembaga fatwa. Sayangnya peninjauan
ulang Syahrur terhadap analogi tidak dibarengi dengan contoh-contoh apliaktif. (Muhammad Syahrur, op.
cit., h. 193).
[38] Ahmad Bu'ud, al-Ijtihad bayn Haqaiq al-Tarîkh wa Mutathalabât al-Wâqi', Cairo: Dar al-Salam, cet. I,
2005, h. 79-78.
[39] Muhammad bin 'Umar bin Husayn al-Razi, al-Mahshûl, Jami'ah al-Imam Muhammad bin Su'ud al-
Islamiyyah, cet. I, 1400, vol. V, h. 250.
[40] Al-Ghazali, al-Mustasfa, Cairo: al-Mathba'ah al-Amiriyyah, 1324 H, vol. II, h. 238.
[41] Al-Juwayni, al-Burhan fi Ushul al-Fiqh, Dar al-Wafa, t.t., vol. II, h. 551.
[42] Ahmad Bu'ud, loc. cit.
[43] Abid al-Jabiri, op. cit., h. 158-161, 513, & 571-572.
[44] Jammal al-Banna, op. cit., h. 76 & 79. Penolakan Umar ra. untuk membagi zakat kepada para muallaf
dan tidak memotong tangan pencuri dalam situasi krisis merupakan contoh ijtihad yang berani mengotak-
atik teks-teks qath'i.
[45] Ibid, h. 79 & 89.
[46] Abid al-Jabiri, al-Dîn wa al-Dawlah wa al-Tathbîq al-Syari'ah, Beirut: Markaz Dirasah al-Wahdah al-
Arabiyyah, cet. I, 1996, h. 13.
[47] Muhammad Amin bin Mukhtar al-Syanfiti, Mudzâkarah Ushûl al-Fiqh, Beirut: Dar al-Qalm, t.t., h. 207-
210.
[48] Yahya Muhammad, al-Qath'iyyah bayn al-Mutsaqaf wa al-Faqîh, al-Intisyar al-'Arabi, t.t., h. 106-107.
Bandingkan dengan Abd al-Karim Zaydan, al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh, Beirut: Muasasah al-Risalah, cet. V,
1996, h. 256.
[49] Muhammad 'Imarah, al-Khithab al-Din bayn al-Tajdîn al-Islami wa al-Tabdid al-Amirikani, Maktabah
al-syuruq al-Dauliyyah, cet. I, 2004, h. 14.
[50] Abid al-Jabiri, op. cit., h. 543.
[51] Irwan Masduqi, Metodologi Utilitarianistik, dalam buku Mengetuk Pintu Syariah; Sebuah Telaah
Diskursus Maqashid al-Syari'ah, KSW, cet. I, 2006, h. 28.
[52] Nashr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nash: Dirasat fi ‘Ulum al-Quran, Kairo: Al Hai’ah al Mishriyyah al
‘Ammah lil Kitab, 1993, hal. 11.
[53] Irwan Masduqi, loc. cit.
[54] Jammal al-Banna, Qadhiyyah al-Fiqh al-Jadid, h. 130.
[55] Abid al-Jabiri, op. cit., h. 277-178.
[56] Muhyiddin Ibn 'Arabi, Ruh al-Quds fi Munâshahat al-Nafsi, al-Haiah al-Mishriyyah al-'Ammah li al-
Kitab, 2005, h. 31 & 32.
[57] Jammal 'Athiyyah, Innovating the Islamic Jurisprudence, Dar al-Fikr, cet. I, 2000, h. 30-33.
[58] Ibid. Bandingkan dengan Abid al-Jabiri, op. cit., h. 490.
[59] Jammal 'Athiyah, loc. cit.
[60] Abid al-Jabiri, al-Dîn wa al-Dawlah wa al-Tathbîq al-Syari'ah, Beirut: Markaz Dirasah al-Wahdah al-
Arabiyyah, cet. I, 1996, h. 85.
[61] Ibid, h. 24-29.
[62] Luthfi as Saukani, Masih Relevankah Fikih Siyasah? dalam buku Islam, Negara & Civil Society,
Paramadina, cet. I, 2005, h. 252.
[63] Al-Mawardi, Ahkâm al-Sulthâniyyah, Beirut: Dar al-Fikr, cet. I, 1960, h. 5.
[64] Gustave E. Von Grunebaum, op. cit., h. 203.
[65] Abid al-Jabiri, al-Aql al-Siyasi al-Arabi, Beirut: Markaz al-Dirasah al-Wihdah al-Arabiyyah, cet. I,
2000, h. 362. Kriteria Quraisy bagi Ibn Khaldun adalah persyaratan yang berangkat dari penafsiran salah
atas hadits al-Aimmah min Quraisy. Ibn Khaldun menawarkan penafsiran hermeneutis bahwa munculnya
hadits tersebut karena pada masa awal Islam hanya klan Quraisy lah yang mempunyai power yang
berpotensi untuk ditaati rakyat dan menjadi representasi pemersatu umat. Oleh sebab itu kriteria Quraisy
tidak bersifat mutlak. Selain klan Quraisy pun boleh menjadi imam asalkan mampu mempersatukan umat.
(Detail lihat dalam Gustave E. Von Grunebaum, loc. cit. Bandingkan dengan Dr. Wahbah al-Zuhayli, Fiqh al-
Islamy wa Adilatihi, Beirut: Dar al-Fikr, vol. VI, h. 698).
[66] Ibid, h. 183.
[67] Nashri Nadir, al-Farabi wa Kitâb Âra` Ahl al-Madînah al-Fâdhilah, Beirut: Dar al-Masyriq, cet. IV,
1973, h. 27-29. Bandingkan dengan Fauzi Mitri Najjar, Abu Nashr al-Farabi wa Kitab al-Siyasah al-
Madaniyyah, Beirut: Dar al-Masyriq, cet. II, 1993, h. 69.
[68] Ibid.
[69] Gustave E. Von Grunebaum, op.cit., h. 203.
[70] Charles Adams, Islam and Modernism in Egypt, diarabkan oleh 'Abbas Mahmud dengan judul al-Islâm
wa al-Tajdîd fi al-Mishr, al-Hai`ah al-'Ammah, cet. II, 2006, h. 259.
[71] Rujuk dalam kitab-kitab Fikih, antara lain karya Abu Hamid al-Ghazali, al-Wasith, Cairo: Dar al-Salam,
cet. I, 1417, vol. VII, h. 80. Bandingkan dengan beberapa kitab berikut ini: Muhammad bin Muflih al-
Muqadas Abu Abdillah, al-Furu', Beirut: Dar al-Kutub al-'ilmiyyah, cet. I, 1418, vol. VI, h. 248. Musa bin
Ahmad bin Salim al-Muqadas al-Hanbali Abu al-Naja, Zad al-Mustaqnaq, Makkah: Dar al-Nahdhah al-
Haditsah, t.t., vol. I, h. 101. Manshur bin Yunus bin Idris al-Buwayhiti, Kasaf al-Qana', Beirut: Dar al-Fikr,
t.t., vol. III, h. 132. Ahmad Abd al-Halim bin Taymiyyah al-Harani Abu al-'Abasi, Kutub wa Rasail wa Fatawa
Ibn Taymiyyah fi al-Fiqh, Maktabah Ibn Taymiyyah, t.t., vol. XXVIII, h. 640. Muhammad bin Abi Bakar
Ayub al-Zara'i Abu Abdillah, Ahkam Ahl al-Dzimmah, Beirut: Dar Ibn al-Hazm, cet. I, 1997, vol. III, h. 1195.
[72] Jammal al-Banna, op. cit., h. 124-127.
[73] Yahya Muhammad, op. cit., h. 63, 64, & 66. Bandingkan dengan Abd al-Ghafar Abd al-Rahim, al-Imam
Muhammad Abduh wa Minhajuhu fi al-Tafsir, Cairo: Dar al-Anshar, t.t., h. 176-177.
[74] Yusuf Qardhawi, Kayf Nata’amalu ma’a al-Turâts wa al-Tamadzhub wa al-Ikhtilaf, Maktabah Wahbah,
cet. II, 2004, h. 12, 42 & 43.
[75] Irwan Masduqi dkk., dalam introduksi Kontekstualisasi Turats; Telaah Regresif dan Progresif, Kediri:
Kopral Lirboyo, cet. I, 2005.