Professional Documents
Culture Documents
Abstract
In this era democracy is assumed is the only good government system, in
fact, in few centuries ago, al-Faraby criticized democracy as a bad government
system. According to Faraby; democracy is a good system between bad systems.
So that he proposed “the prime city (Madinah al-Fadlilah)” system.
The prime city is the government system giving direction to the people to achieve
‘highest happiness’, for that it must have good leader who has excellent quality
and best vision of the achievement. It means that the leader bases on a quality not
popularity such as in democracy.
Key words: Social nature, weakness of democracy, Madinah al-Fadlilah.
Saat ini, ketika sistem demokrasi menjadi idaman dan tolok ukur
peradaban manusia modern, didorong keinginan untuk menghadirkan Islam
sebagai idiologi modern dan sistem pemerintahan progresif, para pemikir muslim
kontemporer seperti berlomba menafsirkan kembali teori politik dan yuridis Islam
dalam istilah-istilah demokrasi. Paham-paham seperti “kesejajaran manusia
dihadapan Tuhan tanpa membedakan ras, warna kulit dan etnis”, “kebebasan
berpikir dan berkepercayaan bagi manusia, muslim maupun non-muslim”,
“pengakuan atas otoritas (bai`ah), musyawarah (syura) dan konsensus (ijma)”,
adalah bukti-bukti yang diajukan untuk menyatakan bahwa Islam yang humanistik
juga mengenal dan berwatak demokratis.1
Padahal, sistem demokrasi bukan tanpa cela dan bukan segalanya. Al-
Farabi mengkritik beberapa kelemahan sistem demokrasi dan menyatakan bahwa
demokrasi hanya terbaik diantara sistem-sistem pemerintahan yang jelek. Ia
menulis al-Madinah al-Fadilah (Negara Utama) sebagai sistem pemerintahan
alternatif, sebagai sistem pemerintahan post-demokrasi.
Bukhari, tetapi jabatan itu kemudian di tinggalkan dan lebih memilih mendalami
filsafat.2 Pada tahun 922 M, ia pindah ke Baghdad untuk melanjutkan pendidikan
ilmu-ilmu filsafat pada Matta ibn Yunus (w. 939 M) dan Ibn Hailan (w. 932 M).
Selanjutnya, bersama gurunya, Ibn Hailan, ia pergi dan menetap di
Konstantinopel selama 8 tahun guna lebih mendalami filsafat. Sekembalinya dari
Konstantinopel dan ketika Baghdad dilanda pergolakan politik, al-Farabi pergi ke
Damaskus kemudian ke Aleppo. Di Aleppo inilah, dengan dukungan penuh
kerabat istana yang memang gandrung filsafat, ia mencurahkan segala pikirannya
untuk mengajar dan menulis buku, dan ini adalah masa produktif al-Farabi.
Akhirnya, ia meninggal di Damaskus tahun 950 M, dan dimakamkan disana
dengan penuh kebesaran.3
Al-Farabi banyak menulis buku yang secara garis besar bisa dibagi dalam
beberapa tema: logika, fisika, metafisika, politik, astrologi, musik dan beberapa
tulisan yang berisi sanggahan terhadap pandangan filosof tertentu.4 Khusus
tentang buku Madinah al-Fadilah yang mendiskusikan tentang sistem
pemerintahan ini, menurut Abd Wahid Wafa,5 tidak ditulis dalam satu waktu
melainkan dalam berbagai tempat dan kurun waktu. Ditulis pertama kali di
Baghdad, dengan judul “Negara utama, negara jahiliyah, negara fasiqah, negara
mubaddilah dan negara sesat” yang semua kemudian menjadi sub-bahasan dalam
buku ini. Selanjutnya dibawa ke Damaskus dan diselesaikan disana, tahun 942 M,
dengan dibagi dalam beberapa bab. Pada tahun 948 M, ketika berada di Mesir, al-
Farabi mengedit dan menyempurnakan buku ini dan membaginya dalam beberapa
pasal, mengikuti permintaan masyarakat.
Buku Madinah al-Fadilah ini diterbitkan pertama kali di Leiden, Belanda,
tahun 1895 M, kemudian baru di Kairo, Mesir, tahun 1906 M. Buku ini terdiri
atas dua bagian besar, (1) membahas persoalan metafisika dan (2) persoalan sosial
politik. Pembahasan tentang metafisika terdiri atas 15 sub-bab. Antara lain,
membahas tentang Tuhan, malaikat, penghuni-penghuni langit, alam indera,
binatang dan lainnya. Disini juga membahas cara penurunan (emanasi atau faidl)
dari Tuhan Yang Maha Ghaib sampai terwujudnya alam indera. Juga membahas
tentang akal (rasio), macam-macamnya dan tingkatannya.
Bagian kedua, berbicara tentang politik, terdiri atas 12 sub-bahasan.
Antara lain, membahas kehendak sosial dari manusia, persyaratan sebagai seorang
pemimpin, pemimpin negara utama, sistem negara-negara non-utama, industri dan
kebahagiaan dan lainnya.
Osman Bakar, Hierarki Ilmu, 39-47; George Zidan, Tarikh Adab al-Lughah al-Arabiyah,
(Beirut, Dar al-Fikr, 1996), 238-9.
5 Abd Wahid, Mabadi` Ara Ahl al-Madinah li al-Farabi, (Kairo, Alam al-Kutub,
1973), 18.
3
Fitrah Sosial.
Sebelum membahas persoalan politik, dalam al-Madinah al-Fadilah,
pertama kali, al-Farabi mendiskusikan masalah psikologi manusia. Menurutnya,
setiap manusia mempunyai fitrah sosial, fitrah untuk berhubungan dan hidup
bersama orang lain. Dari fitrah ini kemudian lahir apa yang disebut masyarakat
dan negara.6 Dalam kaitannya dengan kemampuan mengatur dan mengapai
keutamaan, al-Farabi membagi masyarakat dalam dua bagian; masyarakat
sempurna (al-mujtama` al-kamil) dan masyarakat kurang sempurna (al-mujtama`
ghair al-kamil). Masyarakat sempurna adalah masyarakat yang mampu mengatur
dan membawa dirinya sendiri untuk mengapai kebaikan tertinggi, sedang
masyarakat kurang sempurna adalah masyarakat yang tidak bisa mengatur dan
membawa dirinya pada keutamaan tertinggi. Kebaikan dan keutamaan tertinggi
adalah kebahagiaan dan kebahagiaan yang dimaksud adalah tercapainya
kemampuan untuk aktualisasi potensi jiwa dan pikiran.7
Selanjutnya, dari sisi cakupan dan luas teritorial, al-Farabi membagi negara
dalam tiga bagian; besar, sedang dan kecil. (1) Negara besar adalah negara yang
berdaulat dan luas, membawai negara-negara bagian, (2) negara sedang adalah
negara bagian, (3) negara kecil adalah pemerintahan daerah atau daerah otonom.
Selanjutnya, al-Farabi masyarakat dalam 4 bagian. (1) Masyarakat desa (ahl al-
qaryah), (2) masyarakat dusun (ahl al-mahlah), (3) masyarakat yang hidup bersama
dalam satu jalur, jalan atau gang (ahl al-sikkah), dan (4) keluarga (usrah), dan
keluarga merupakan bagian terkecil dari masyarakat.8
Menurut al-Farabi, diantara tiga macam negara diatas: besar, sedang dan
kecil, hanya negara yang diatur dengan sistem pemerintahan utama (fadilah) yang
mampu mengantarkan masyarakatnya pada kesejahteraan dan kebahagiaan.
Sistem pemerintahan utama ini, dalam mengantarkan masyarakatnya mencapai
kebahagiaan adalah sama seperti kerjasama anggota tubuh dalam menjaga
kesehatan dan keselamatan dirinya.9
Ketidaksempurnaan Demokrasi.
Dari sistem pemerintahan dan kemungkinan pencapaian kebaikan
(kebahagiaan), al-Farabi membagi negara dalam empat kategori; negara jahiliyah,
negara fasik, negara mubadilah, dan negara sesat (dlalah). (1) Pemerintahan
jahiliyah adalah rezim yang tidak tahu dan tidak mampu mengarahkan rakyatnya
pada kebahagiaan; (2) pemerintahan fasik adalah rezim yang --sebenarnya-- tahu
6 Dikemudian hari, gagasan tentang fitrah sosial ini diulangi oleh Jean-Jacques
Rousseau (1712-1778 M) dengan konsep “kembali ke alam” (retur a la nature) yang
kemudian melahirkan konsep Sosial Contrat (kontrak sosial); kemauan untuk bekerjasama
demi tercapainya kebutuhan bersama diantara individu. Lihat Frans Magnis Suseno,
Etika Politik, (Jakarta, Gramedia, 1994), 238-239.
7 Abd Wahid, Mabadi` Ara Ahl al-Madinah, 35. Konsep kebahagiaan al-Farabi ini
10 Ibid, 82-4.
11 Ibid, 78-79.
12 Al-Farabi, Mabadi Ara Ahl al-Madina al-Fadilah, dalam Richard Welzer (ed),
Dengan dua prinsip ini, terutama kebebasan, sistem demokrasi tidak hanya
mendorong lahirnya ilmu dan peradaban tinggi tetapi bersamaan itu juga
membuka peluang bagi berkembangnya kekuatan-kekuatan jahat, minimal yang
secara moral bertentangan dan menghambat tercapainya kebahagiaan masyarakat,
karena tidak ada otoritas atau rasa tanggung jawab untuk mengendalikan nafsu
jahat (amoral) dan harapan-harapan warga negara. Inilah ketidak-sempurnaan
sistem demokrasi. Karena itu, meski demokrasi diakui sebagai negara paling besar,
paling berperadaban, paling produktif dan paling sejahtera, ia juga merupakan
negara yang paling banyak mengandung kejahatan dan keburukan.13
13 Fauzi M. Najjar, “Demokrasi dalam Filsafat Politik Muslim”, dalam Jurnal al-
gambarkan, bahwa yang fitrah adalah watak-watak atau tindakan-tindakan yang ada
sebelumnya. Arttinya, sebelum diangkat sebagai pemimpin, seseorang harus ditelusuri
riwayat hidupnya, perilakunya dan kemampuannya dalam memimpin masyarakat
dalam lingkungan atau organisasinya. Sementara persyaratan yang bersifat muktasab
bersambung ⇒
6
1. Dari sisi hati atau jiwa, mempunyai kelebihan dalam soal kesalehan dan
ketaqwaan, sebagai representasi manusia sempurna yang telah mencapai tahap
akal aktif (al-`aql al-fa`al) dalam menangkap dan menterjemahkan isyarat-
isyarat ilahiyah. Disamping itu, juga terbukti mempunyai akhlak atau moral
yang baik dan terpuji.
2. Dari segi kecerdasan, mempunyai keunggulan dalam hal representasi
imanjinatif.
3. Dari segi politik, mempunyai kebijaksaan yang sempurna dalam menjalankan
policy dan menangani persoalan-persoalan yang timbul. Juga mempunyai
keunggulan persuasif serta sifat tegas dan lugas dalam menghadapi
penyelewengan dan ketidakadilan
4. Dari sisi menejerial, mempunyai keunggulan dalam retorika, sehingga bisa
menjelaskan persoalan-persoalan penting dengan baik dan mudah, pada
masyarakat.16
Tentang persyaratan yang bersifat pengayaan (muktasab), antara lain,
1. Mengerti dan paham tentang hukum-hukum atau ketetapan-ketetapan
sebelumnya untuk kemudian mampu merevisi dan menyelaraskan dengan
tuntutan zaman.
2. Mengerti strategi dan pertahanan negara, karena ia berkewajiban untuk
menjaga kedaulatan dan integritas negara.17
Jika pemimpin utama semacam itu tidak ada, negara harus dipimpin oleh
gabungan orang-orang yang mengkombinasikan kualifikasi-kualifikasi tersebut,
yang disebut pemimpin-pemimpin terpilih (al-ru’asa al-akhyar).18 Kombinasi ini
mungkin sama dengan model “kabinet pelangi” pada masa Gus Dur dahulu, tetapi
bukan atas dasar perbedaan partai yang lebih demi mempertemukan berbagai
kepentingan dan golongan, melainkan kombinasi dari kaum profesional, ilmuan,
pemikir, birokrat, dan lainnya yang secara bersama-sama bekerja demi tercapainya
kebahagiaan bangsa. Jika gabungan orang-orang semacam ini juga tidak
ditemukan, maka pemimpin negara harus diberi bekal tentang tradisi, ketetapan
dan hukum-hukum yang telah dipancangkan para pendahulunya (atau oleh
dewan legislatif yang arif dan kredible), dengan syarat bahwa pemimpin tersebut
harus memiliki kesalehan dan kebenaran opini untuk menafsirkan dan
menetapkan hukum-hukum dan ketetapan tersebut dalam situasi baru yang
dihadapinya.19
Walhasil, negara utama atau setidaknya pemerintahan terbaik adalah
rezim dimana orang-orang saleh dan profesional merupakan yang paling banyak
____________________________
adalah kondisi-kondisi yang bisa dan harus dipelajari setelah seseorang menjadi
pemimpin.
16 Abd Wahid, Mabadi` Ara Ahl al-Madinah, 66; Lihat pula Abbas Halimi al-Huli,
Penutup.
Dari paparan tentang pemikiran politik al-Farabi diatas, ada beberapa hal
yang perlu disampaikan,
1. Gagasan tentang negara utama al-Farabi ini agaknya diadopsi dan diramu dari
pemikiran “Republic”-nya Plato dan konsep kebahagiaannya Aristoteles. Al-
Farabi sendiri beberapa kali merujukkan pikirannya ini pada pemikiran kedua
tokoh tersebut. Hanya saja, al-Farabi kemudian memberi ruh atau spirit pada
pemikiran kedua tokoh diatas yang murni pemikiran dengan konsep-konsep
yang diambil dari ajaran Islam. Ini tampak jelas, misalnya, dalam konsepnya
manusia sempurna yang diartikan sebagai representasi Tuhan, setidaknya
sebagai manusia yang sangat dekat dengan Tuhan. Konsep ini tidak ada dalam
pemikiran Plato dan Aristoteles.21
2. Asumsinya bahwa masyarakat tidak ubahnya jasad yang setiap gerak geriknya
senantiasa dikontrol dan dikomando bisa memberi peluang pada penguasa
untuk bersikap otoriter. Ini juga memberikan kesan yang kurang menghargai
pada tingkat “kecerdasan” masyarakat. Padahal, pada era modern, rakyat
justru diharapkan bisa mengontrol pemerintah, setidak ada dialok yang
seimbang antara fihak penguasa dengan rakyat. Makna zakat, dimana muzakki
mempunyai wewenang mengontrol tugas amil yang dalam hal ini dilakukan
pemerintah, sesungguhnya, tidak berbeda dengan konsep kedaulatan di tangan
rakyat seperti yang di pahami dalam teori politik modern.22
20 Ibid, 93.
21 Lihat juga, Abd Wahid, Mabadi` Ara Ahl al-Madinah, 64.
22 Masdar F. Mas`udi, Agama Keadilan Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, (Jakarta,
Daftar Pustaka
Dimuat dalam Jurnal PSIKOISLAMIKA, Fakultas Psikologi UIN Malang, Vol. IV/
No. 2 Juli 2007.