You are on page 1of 10

Tugas Makalah Pendidikan Agama

Islam

Disusun Oleh :
1. Febriyanto (8323097653)
2. Hekmah
3. Ibryandanu Pratama(
4. Iqbal Tawakal (8323097658)
5. Lidya Havita Sari (8323098144)
6. Weny Legiana (8323098141)
KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM

KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM

1. Pendahuluan

Makalah ini berisi pembahasan tentang salah satu segid ari ajaran Islam yang
seharusnya mendapat perhatian dan pengkajian kembali. Sebagian aspek
keimanan mendapat perhatian dan pengkajian yang begitu intensif, sehingga
muda didapat dan diketengahkan pada masyarakat. Aspek yang akan dikaji
dalam makalah ini adalah aspek kejiwaan dan nilai. Dalam aspek ini belum
tersingkap kebenaran nilai yang dikandungnya, atau belum mendapat perhatian
seperti perhatian terhadap aspek lainnya. Kecintaan kepada Allah, ikhlas
beramal hanya karena-Nya, serta mengabdikan diri dan tawakal sepenuhnya
kepada-Nya, merupakan nilai keutamaan yang perlu diperhatikan dan harus
diutamakan dalam menyempurnakan cabang-cabang keimanan.
Sesungguhnya amalan lahiriah berupa ibadah mahdhah dan muamalah tidak
akan mencapai kesempurnaan, kecuali jika di dasari dan diramu dengan nilai
keutamaan tersebut. Sebab nilai-nilai tersebut senantiasa mengalir dalam hati
dan tertuang dalam setiap gerak serta perilaku keseharian.
Pendidikan modern telah menyerbu dari berbagai arah dan pengaruhnya telah
sedemikian merasuki jiwa generasi penerus. Jika tidak pandai membina jiwa dan
akal budi mereka,” maka mereka tidak akan selamat dari pengaruh negative
pendidikan modern. Mungkin mereka meresakan ada yang kurang dalam
spiritualitasnya dan berusaha menyempurnakan dari sumber-sumber lain. Bila ini
terjadi, maka perlu segera diambil tindakan, agar pintu spiritualitas yang terbuka
tidak diisi oleh ajaran lain yang bukan berasal dari ajaran spiritualitas Islam.
Seorang muslim yang paripurna adalah yang nalar dan hatinya bersinar,
pandangan akal dan hatinya tajam, akal piker dan nuraninya berpadu dalam
berinteraksi dengan Allah dan dengan sesama manusia, sehingga sulit diterka
mana yang lebih dahulu berperan kejujuran jiwanya atau kebenaran akalnya.
Sifat kesempurnaan ini merupakan karakter Islam, yaitu agama yang
membangun kemurnian akidah atas dasar kejernihan akal dan membentuk pola
piker teologis yang menyerupai bidang-bidang ilmu eksakta, karena dalam segi
akidah, Islam hanya menerima hal-hal yang menurut ukuran akal sehat dapat
diterima sebagai ajaran akidah yang benar dan lurus.
Pilar akal dan rasionalitas dalam akidah Islam tercermin dalam aturan muamalat
yang ditawarkan pada manusia dan dalam memberikan solusi serta terapi bagi
persoalan yang dihadapi yang senantiasa muncul dari waktu ke waktu. Selain itu
Islam adalah agama ibadah. Ajaran tentang ibadah didasarkan atas kesucian hati
yang dipenuhi dengan keikhlasan, cinta, serta dibersihkan dari dorongan hawa
nafsu, egoisme, dan sikap ingin menang sendir. Agama seseorang tidak
sempurna, jika kehangatan spiritualitas yang dimiliki tidak disertai dengan
pengalaman ilmiah dan ketajaman nalar. Pentingnya akal bagi iman ibarat
pentingnya mata bagi orang yang sedang berjalan.

Aspek keimanan yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah aspek kejiwaan dan
nilai. Aspek ini belum mendapat perhatian seperti perhatian terhadap aspek
lainnya. Kecintaan kepada Allah, ikhlas beramal hanya karena Allah, serta
mengabdikan diridan tawakal sepenuhnya kepada-Nya, merupakan nilai
keutamaan yang perlu diperhatikan dan diutamakandalam menyempurnakan
cabang-cabang keimanan.
Sesungguhnya amalah lahiriah berupa ibadah mahdhah dan muamalah tidak
akan mencapai kesempurnaan, kecuali jika didasari dan diramu dengan nilai
keutamaan tersebut. Sebab nilai-nilai tersebut senantiasa mengalir dalam hati
dan tertuang dalam setiap gerak serta perilaku keseharian.
Pendidikan modern telah mempengaruhi peserta didik dari berbagai arah dan
pengaruhnya telah sedemikian rupa merasuki jiwa generasi penerus. Jika tidak
pandai membina jiwa generasi mendatang, “dengan menanamkan nilai-nilai
keimanan dalam nalar, pikir dan akal budi mereka”, maka mereka tidak akan
selamat dari pengaruh negatif pendidikan modern. Mungkin mereka merasa ada
yang kurang dalam sisi spiritualitasnya dan berusaha menyempurnakan dari
sumber-sumber lain. Bila ini terjadi, maka perlu segera diambil tindakan, agar
pintu spiritualitas yang terbuka tidak diisi oleh ajaran lain yang bukan berasal
dari ajaran spiritualitas Islam.
Seorang muslim yang paripurna adalah yang nalar dan hatinya bersinar,
pandangan akal dan hatinya tajam, akal pikir dan nuraninya berpadu dalam
berinteraksi dengan Allah dan dengan sesama manusia, sehingga sulit diterka
mana yang lebih dahulu berperan kejujuran jiwanya atau kebenaran akalnya.
Sifat kesempurnaan ini merupakan karakter Islam, yaitu agama yang
membangun kemurnian akidah atas dasar kejernihan akal dan membentuk pola
pikir teologis yang menyerupai bidang-bidang ilmu eksakta, karena dalam segi
akidah, Islam hanya menerima hal-hal yang menurut ukuran akal sehat dapat
diterima sebagai ajaran akidah yang benar dan lurus.
Pilar akal dan rasionalitas dalam akidah Islam tecermin dalam aturan muamalat
dan dalam memberikan solusi serta terapi bagi persoalan yang dihadapi. Selain
itu Islam adalah agama ibadah. Ajaran tentang ibadah didasarkan atas kesucian
hati yang dipenuhi dengan keikhlasan, cinta, serta dibersihkan dari dorongan
hawa nafsu, egoisme, dan sikap ingin menang sendiri. Agama seseorang tidak
sempurna, jika kehangatan spiritualitas yang dimiliki tidak disertai dengan
pengalaman ilmiah dan ketajaman nalar. Pentingnya akal bagi iman ibarat
pentingnya mata bagi orang yang sedang berjalan.
2. Filsafat Ketuhanan dalam Islam

Siapakah Tuhan itu?


Perkataan ilah, yang diterjemahkan “Tuhan”, dalam Al-Quran dipakai untuk
menyatakan berbagai obyek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia,
misalnya dalam QS 45 (Al-Jatsiiyah): 23, yaitu:
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
Tuhannya….?”
Dalam QS 28 (Al-Qashash):38, perkataan ilah dipakai oleh Fir’aun untuk dirinya
sendiri:
“Dan Fir’aun berkata: Wahai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan
bagimu selain aku.”
Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa
mengandung arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi
maupun benda nyata (Fir’aun atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja).
Perkataan ilah dalam Al-Quran juga dipakai dalam bentuk tunggal (mufrad:
ilaahun), ganda (mutsanna:ilaahaini), dan banyak (jama’: aalihatun). Bertuhan
nol atau atheisme tidak mungkin. Untuk dapat mengerti dengan definisi Tuhan
atau Ilah yang tepat, berdasarkan logika Al-Quran sebagai berikut:
Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia
sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya.
Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di dalamnya
yang dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan
kemaslahatan atau kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan
mendatangkan bahaya atau kerugian.
Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-ilah sebagai berikut:
Al-ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepada-Nya,
merendahkan diri di hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya
tempat berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdoa, dan bertawakal
kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari padanya, dan
menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya
(M.Imaduddin, 1989:56)
Atas dasar definisi ini, Tuhan itu bisa berbentuk apa saja, yang dipentingkan
manusia. Yang pasti, manusia tidak mungkin ateis, tidak mungkin tidak ber-
Tuhan. Berdasarkan logika Al-Quran, setiap manusia pasti ada sesuatu yang
dipertuhankannya. Dengan begitu, orang-orang komunis pada hakikatnya ber-
Tuhan juga. Adapun Tuhan mereka ialah ideologi atau angan-angan (utopia)
mereka.
Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “la ilaaha illa Allah”. Susunan kalimat
tersebut dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru
diikuti dengan penegasan “melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang
muslim harus membersihkan diri dari segala macam Tuhan terlebih dahulu,
sehingga yang ada dalam hatinya hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah.

1. Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan

a. Pemikiran Barat
Yang dimaksud konsep ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep
yang didasarkan atas hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah maupun
batiniah, baik yang bersifat penelitian rasional maupun pengalaman batin.
Dalam literatur sejarah agama, dikenal teori Evolusionisme, yaitu teori yang
menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang amat sederhana, lama-
kelamaan meningkat menjadi sempurna. Teori tersebut mula-mula dikemukakan
oleh Max Muller, kemudian dikemukakan oleh EB Taylor, Robertson Smith,
Lubbock dan Jevens. Proses perkembangan pemikiran tentang Tuhan menurut
teori Evolusionisme adalah sebagai berikut :

1. Dinamisme

Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitive telah mengakui adanya
kekuatan yang berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang
berpengaruh tersebut ditujukan pada benda. Setiap benda mempunyai pengaruh
pada manusia, ada yang berpengaruh positif dan ada pula yang berpengaruh
negate. Kekuatan yang ada pada benda disebut dengan nama yang berbeda-
beda, seperti mana (Melanesia), tuah (Melayu), syakti (India), dan kami dalam
bahasa Jepang.
Mana adalah kekuatan gaib yang tidak dapat dilihat atau diindera dengan
pancaindera. Oleh karena itu dianggap sebagai sesuatu yang misterius.
Meskipun mana itu tidak dapat diindera, tetapi ia dapat dirasakan pengaruhnya.

2. Animisme

Di samping kepercayaan dinamisme, masyarakat primitif juga mempercayai


adanya peran roh dalam hidupnya. Setiap benda yang dianggap benda baik,
mempunyai roh. Oleh masyarakat primitive, roh dipercayai sebagai sesuatu yang
aktif sekalipun bendanya telah mati. Oleh karena itu, roh dianggap sebagai
sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasa senang, rasa tidak senang, serta
mempunyai kebutuhan-kebutuhan. Roh akan senang apabila kebutuhannya
dipenuhi. Menurut kepercayaan ini, agar manusia tidak terkena efek negative
dari roh-roh tersebut, manusia harus berusaha memenuhi atau menyediakan
kebutuhan roh. Saji-sajian yang sesuai dengan advis dukun adalah salah satu
usaha untuk memenuhi kebutuhan roh.

3. Politeisme

Kepercayaan dinamisme dan kepercayaan animisme lama-lama tidak


memberikan kepuasan, karena terlalu banyaknya yang menjadi sanjungan dan
pujaan. Roh yang lebih dari yang lain kemudian disebut dewa. Dewa mempunyai
tugas dan kekuasaan tertentu sesuai dengan bidangnya. Ada dewa yang
bertanggungjawab terhadap cahaya, ada yang membidangi masalah air, ada
yang membidangi angina dan lain sebagainya.
Semula antara satu dewa dengan dewa yang lain mempunyai kedudukan yang
sama atau sederajat. Lambat-laun dianggap hanya satu dewa yang mempunyai
kelebihan dari dewa yang lain, meskipun dewa-dewa yang ada di bawahnya
tetap mempunyai pengaruh. Pada agama Hindu misalnya, ada tiga dewa yang
dianggap tinggi yaitu : Brahmana, Syiwa, dan Wisnu. Kepercayaan terhadap tiga
dewa senior tersebut dikenal dengan istilah Trimurti (Tiga sembahan). Di
samping trimurti, dikenal pula konsep Tritunggal (trinitas). Pada agam Kristen
yang diartikan Tuhan ialah Allah Bapak, Yesus Kristus, dan Roh Kudus.

4. Henoteisme

Politeisme tidak memberikan kepuasan terutama terhadap kaum cendekiawan.


Oleh karena itu dari dewa-dewa yang diakui diadakan seleksi, karena tidak
mungkin mempunyai kekuatan yang sama. Lama-kelamaan kepercayaan
manusia meningkat menjadi lebih definitif (tertentu). Satu bangsa hanya
mengakui satu dewa yang disebut dengan Tuhan, namun manusia masih
mengakui Tuhan (Allah) dari bangsa lain. Kepercayaan semacam ini yaitu satu
Tuhan untuk satu bangsa disebut dengan henoteisme (Tuhan tingkat Nasional).

5. Monoteisme

Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi monoteisme. Dalam


monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat
internasional. Bentuk monoteisme ditinjau dari filsafat ketuhanan terbagi dalam
tiga paham yaitu : deisme, panteisme, dan teisme.
a) Deisme yaitu suatu paham yang berpendapat bahwa Tuhan sebagai pencipta
alam berada di luar alam. Tuhan menciptakan alam dengan sempurna dank
arena telah sempurna, maka alam bergerak menurut hokum alam. Antara alam
dengan Tuhan sebagai penciptanya tidak tidak lagi mempunyai kontak. Ajaran
Tuhan yang dikenal dengan wahyu tidak lagi diperlukan manusia. Dengan akal
manusia mampu menanggulangi kesulitan hidupnya.
b) Panteisme berpendapat bahwa Tuhan sebagai pencipta alam ada bersama
alam. Di mana adal alam di situ ada Tuhan. Alam sebagai ciptaan Tuhan
merupakan bagian daripada-Nya. Tuhan ada di mana-mana, bahkan setiap
bagian dari alam adalah Tuhan.
c) Teisme (eklektisme) berpendapat bahwa Tuhan Yang Maha Esa sebagai
pencipta alam berada di luar alam. Tuhan tidak bersama alam dan Tuhan tidak
ada di alam. Namun Tuhan selalu dekat dengan alam. Tuhan mempunyai
peranan terhadap alam sebagai ciptaan-Nya. Tuhan adalah pengatur alam. Tak
sedikit pun peredaran alam terlepas dari control-Nya. Alam tidak bergerak
menurut hokum alam, tetapi gerak alam diatur oleh Tuhan.

Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan


oleh Max Muller dan EB. Taylor (1877), kemudian ditentang oleh Andrew Lang
(1898) yang menekankan adanya monoteisme dalam masyarakat primitif. Dia
mengemukakan bahwa orang-orang yang berbudaya rendah juga sama
monoteismenya dengan orang-orang Kristen. Mereka mempunyai kepercayaan
pada ujud yang Agung dan sifat-sifat yang khas terhadap Tuhan mereka, yang
tidak mereka berikan kepada wujud yang lain.
Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur golongan
evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana agama terutama di
Eropa Barat, mulai menantang Evolusionisme dan memperkenalkan teori baru
untuk memahami sejarah agama. Meraka menyatakan bahwa ide tentang Tuhan
tidak datang secara evolusi, tetapi dengan relevasi atau wahyu. Kesimpulan
tersebut diambil berdasarkan pada penyelidikan bermacam-macam kepercayaan
yang dimiliki oleh kebanyakan masyarakat primitif. Dalam penyelidikan itu
didapatkan bukti-bukti bahwa asal-usul kepercayaan masyarakat primitif adalah
monoteisme dan monoteisme adalah berasal dari ajaran wahyu Tuhan.
Wilhelm Schmidt dalam mengungkapkan hasil penyelidikannya tidak
mendasarkan, atau terpengaruh oleh fasal-fasal dalam Bible. Ia menulis dari segi
Antropologi dan mendasarkan alasannya pada data yang dikumpulkan oleh
berpuluh-puluh peneliti dan sarjana yang meng-alami hidup bersama-sama
dengan masyarakat primitif. Penelitian itu dilakukan antara lain terhadap suku
Negritos dari kepulauan Philipina, pelbagai suku dari Micronesia dan Polynesia,
dan suku Papua dari Irian.
Berdasarkan penelitian terhadap pelbagai masyarakat primitive tersebut, ia
mengambil kesimpulan bahwa kepercayaan tentang Tuhan Yang Maha Agung
dan Esa adalah bentuk tertua, yang ada sebelum kepercayaan lain seperti
dinamisme, animisme, dan politeisme.

b. Pemikiran Umat Islam

Pemikiran terhadap Tuhan yang melahirkan ilmu Tauhid, Ilmu Kalam, atau Ilmu
Ushuluddin di kalangan umat Islam, timbul sejak wafatnya Nabi Muhammad
SAW. Secara garis besar, ada aliran yang bersifat liberal, tradisional, dan ada
pula yang bersifat di antara keduanya. Ketiga corak pemikiran ini telah mewarnai
sejarah pemikiran ilmu ketuhanan dalam Islam.
Satu hal yang perlu diingat, bahwa masih-masing menggunakan akal pikiran
atau logika dalam mempertahankan pendapat mereka. Hal ini perlu ditekankan,
sebab satu hal pokok yang menyebabkan kemunduran umat Islam ialah
kurangnya penggunaan kemampuan akal pikirannya dalam mengkaji nilai-nilai
yang menurut pemikiran manusia atau nilai yang murni bersumber dari ajaran
Islam yakni al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Di antara aliran pemikiran tentang
Tuhan adalah :
1. Aliran Mu’tazilah yang merupakan kum rasionalis di kalangan muslim, serta
menekankan pemakaian akal pikiran dalam memahami semua ajarandan
keimanan dalam Islam. Orang Islam yang berbuat dosa besar, tidak kafir dan
tidak mukmin. Ia berada di antara posisi mukmin dan kafir (manzilah bainal
manzilatain).
Dalam menganalisis ketuhanan, mereka memakai bantuan ilmu logika Yunani,
satu sistem teologi untuk mempertahankan kedudukan keimanan. Hasil dari
paham Mu’tazilah yang bercorak rasional ialah muncul abad kemajuan ilmu
pengetahuan dalam Islam. Namun kemajuan ilmu pengetahuan akhirnya
menurun dengan kalahnya mereka dalam perselisihan dengan kaum Islam
ortodoks. Mu’tazilah lahir sebagai pecahan dari kelompok Qadariah, sedang
Qadariah adalah pecahan dari Khawariji.
2. Qadariah yang berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam
berkehendak atau berbuat. Manusia sendiri yang menghendaki apakah ia akan
kafir atau mukmin dan hal itu yang menyebabkan manusia harus
bertanggungjawab atas perbuatannya.
3. Berbeda dengan Qadariah, kelompok Jabariah yang merupakan pecahan dari
Murji’ah berteori bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam
berkehendak dan berbuat. Semua tingkah laku manusia ditentukan dan dipaksa
oleh Tuhan.
4. Kelompok yang tidak sependapat dengan Mu’tazilah mendirikan kelompok
sendiri, yakni kelompok Asy’ariyah dan Maturidiniayah yang pendapatnya
berada di antara Qadariah dan Jabariah.
Semua kelompok itu mewarnai kehidupan pemikiran ketuhanan dalam kalangan
umat Islam periode masa lalu. Menghadapi situasi dan perkembangan ilmu
pengetahuan sekarang ini, tiada lain bagi kita untuk mengadakan koreksi yang
berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnag Rasul, tanpa dipengaruhi oleh kepentingan
politik tertentu. Di antara aliran tersebut yang nampaknya lebih dapat
menunjang perkembangan ilmu pengetahuan dan meningkatkan etos kerja
adalah aliran Mu’tazilah dan Qadariah.

2. Pembuktian Adanya Tuhan

Metode Pembuktian Ilmiah

Persoalan tantangan zaman modern terhadap agama terletak dalam masalah


metode pembuktian. Metode ini menganal hakekat melalui percobaan dan
pengamatan, sedang akidah agama berhubungan dengan alam di luar indera,
yang tidak mungkin dilakukan percobaan (agama didasarkan pada analogi dan
induksi). Hal inilah yang menyebabkan menurut metode ini agama batal, sebab
agama tidak mempunyai landasan ilmiah.
Sebenarnya problema zaman modern ini juga batal, sebab juga tidak mempunyai
landasa ilmiah. Metode baru tidak mengingkari wujud sesuatu, walaupun berlum
diuji secara empiris. Di samping itu metode ini juga tidak menolak analogi antara
sesuatu yang tak terlihat dengan sesuatu yang telah diamati secara empiris.
Inilah yang disebut dengan “analogi ilmiah” dan dianggap sama dengan
percobaan empiris.
Suatu percobaan tidak dipandang sebagai kenyataan ilmiah hanya karena
percobaan itu dapat diamati secara langsung. Demikian pula suatu analogi tidak
dapat dianggap salah, hanya karena dia analogi. Kemungkinan benar dan salah
dari keduanya berada pada tingkat yang sama.

Kita mengetahui bahwa percobaan dan pengamatan bukanlah metode sains


yang pasti. Ilmu pengetahuan tidaklah terbatas pada persoalan yang dapat
diamati dengan hanya penelitian secara empiris saja. Teori yang disimpulkan
dari pengamatan merupakan hal-hal yang tidak punya jalan untuk
mengobservasinya. Orang yang mempelajari ilmu pengetahuan modern
hanyalah merupakan interpretasi terhadap pangamatan dan pandangan tersebut
belum dicoba secara empiris. Oleh karena itu banyak sarjana percaya adanya
hakekat yang tidak dapat diindera secara langsung. Sarjana manapun tidak
mampu melangkah lebih jauh tanpa memegangi kata-kata seperti : “Gaya”
(force), “energy”, “alam” (nature), dan “hokum alam”. Padahal tidak ada
seorang sarjana pun mengenal apa itu : “Gaya, energi, alam dan hokum alam”.
Sarjana tersebut tidak mampu memberikan penjelasan terhadap kata-kata
tersebut secara sempurna, sama seperti ahli theology yang tidak mampu
memberikan penjelasan tentang sifat Tuhan. Keduanya percaya sesuai dengan
bidangnya pada sebab-sebab yang tidak diketahui.
Dalam hal ini Prof. A.E. Mender berkata :
“Fakta yang dapat diketahui secara langsung disebut dengan “fakta yang dapat
diindera”, sedang fakta yang dikenal tidak terbatas pada fakta yang dapat
diindera saja. Banyak fakta lain yang tidak dapat diketahui secara langsung,
tetapi jelas telah dikenal. Adapun metode untuk mengetahui fakta ini adalah
dengan cara induksi. Bentuk fakta yang demikian disebut dengan “fakta yang
induktif”. Yang penting di sini ialah kita harus mengerti bahwa antara kedua
fakta tersebut tidak ada perbedaannya. Perbedaannya terletak pada
penamaannya, yang pertama diketahui secara langsung, sedangkan yang kedua
lewat perantara. Fakta tetaplah fakta, baik yang diketahui dengan pengamatan
ataupun dengan jalan induksi”.
Teori yang demikian kompleks misalnya hokum gravitasi yang sukar dimengerti
dan tidak ada cara untuk mengamatinya, dianggap sebagai kenyataan ilmiah
tanpa reserve, sebab teori tersebut dapat menjelaskan sebagian pengamatan
kita. Oleh karena itu tidak merupakan suatu keharusan bahwa suatu yang
dikenal secara langsung dan empiris sudah merupakan kenyataan. Dengan
demikian pernyataan yang mengatakan bahwa kepercayaan yang mengikat
sejumlah pengamatan dan menjelaskan kepada kita kandungannya secara
umum, dengan cara yang sama dapat pula dianggap sebagai kenyataan ilmiah.
Dengan demikian tidak berarti bahwa agama adalah “iman kepada yang ghaib”
dan ilmu pengetahuan adalah percaya kepada “pengamatan ilmiah”. Sebab, baik
agama maupun ilmu pengetahuan kedua-duanya berlandaskan pada keimanan
kepada yang ghaib. Hanya saja ruang lingkup agama yang sebenarnya adalah
ruang lingkup “penentuan hakekat” terakhir dan asli, sedangkan ruang lingkup
ilmu pengetahuan terbatas pada pembahasan cirri-ciri luar saja. Kalau ilmu
pengetahuan memasuki bidang penentuan hakekat, yang sebenarnya adalah
bidang agama, berarti ilmu pengetahuan telah menempuh jalan iman kepada
yang ghaib. Oleh sebab itu harus ditempuh bidang lain, seperti yang dikatakan
oleh Sir Arthur Eddington :
“Dengan demikian kita akan mendapatkan bahwa tiap sesuatu mempunyai satu
gambar dengan dua sisi. Pertama sisi yang dapat diindera dan sisi kedua
berbentuk ide yang tidak mungkin diamati, walaupun dengan mempergunakan
mikroskop atau teleskop.
Sisi yang pertama adalah sisi yang dapat diamati oleh ilmu pengetahuan dan
dapat disaksikan dari jarak yang jauh sekali. Namun demikian ilmu pengetahuan
tidak dapat menyatakan bahwa dia telah melihat sisi yang kedua. Metode ilmiah
modern hanya dapat memberikan pendapat tentang suatu benda., setelah
mengadakan pengamatan terhadap cirri-cirinya. Sedangkan ilmu pengetahuan
yang membahas “bidan kedua” yang berupa pengenalan dan penentuan
hakekat, adalah membahas sesuatu hakekat yang belum diketahui dengan
mempergunakan kenyataan yang dapat diindera.
Apa yang disebut fakta yang dapat diindera dalam dunia, sebetulnya bukan fakta
yang betul-betul telah diamati, tetapi merupakan penafsiran terhadap sebagian
pengamatan, sebab pengamatan manusia tidak mungkin bersifat sempurna.
Oleh karena itu semua penafsiran bersifat “tambahan” yang mungkin berubah
dengan berubahnya pengamatan.
Para sarjana masih menganggap bahwa hipotesis yang menafsirkan pengamatan
tidak kurang nilanya dari hakekat yang diamati. Mereka tidak dapat mengatakan
: Kenyataan yang diamati adalah satu-satunya “ilmu” dan semua hal yang
berada di luar kenyataan bukan ilmu, sebab tidak dapat diamati. Sebenarnya
apa yang disebut dengan iman kepada yang ghaib oleh orang Mukmin, adalah
iman kepada hakekat yang tidak dapat diamati. Hal ini tidak berarti satu
kepercayaan buta, tetapi justru merupakan interpretasi yang terbaik terhadap
kenyataan yang tidak dapat diamati oleh para sarjana.
Setelah membahas tentang kenyataan yang dapat diamati sampailah pada suatu
kesimpulan bahwa penafsiran agama terhadap alam merupakan kebenaran
mutlak yang tidak berubah sepanjang masa. Berbeda dengan teori yang dibuat
manusia sejak beberapa abad yang lalu, sedikit ataupun banyak ada yang
ditolah, bahkan menjadi sumber keraguan dewasa ini. Di samping itu setiap
langkah yang diambil dan setiap diadakan pengamatan justru semakin
menjelaskan kebenaran agama.
b. Keberadaan Alam Membuktikan Adanya Tuhan
Bukti yang paling jelas adanya Allah adalah ciptaan-Nya, serta hal itu merupakan
pengetahuan yang paling mantap. Bukti ini mendorong kita untuk beriman
bahwa tidak diragukan lagi alam ini mempunyai Tuhan. Kita tidak mampu
memahami diri kita dan memberikan penafsiran tentang kenyataan alam tanpa
adanya iman kepada Allah.
Adanya alam serta organisasinya yang menakjubkan dan rahasia-rahasianya
yang pelik, tidak boleh tidak semuanya memberikan penjelasan bahwa ada
sesuatu kekuatan yang telah menciptakannya, suatu “Akal” yang tidak ada
batasnya. Setiap manusia normal percaya bahwa dirinya “ada” dan percaya pula
bahwa ala mini “ada”. Dengan dasar itu dan dengan kepercayaan inilah dijalani
setiap bentuk kegiatan ilmiah dan kehidupan.
Jika kita percaya tentang eksistensi alam, secara logika kita harus percaya
tentang adanya pencipta alam. Pernyataan yang mengatakan : “Percaya adanya
makhluk, tetapi menolak adanya Khaliq, “adalah suatu pernyataan yang tidak
benar. Kita belum pernah mengetahui adanya sesuatu yang berasal dari tidak
ada tanpa diciptakan. Segala sesuatu bagaimana pun ukurannya, pasti ada
penyebabnya. Oleh karena itu bagaimana kita akan percaya bahwa alam
semesta yang demikian luasnya, ada dengan sendirinya tanpa pencipta?

You might also like