You are on page 1of 6

Dept.

Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia 1


ISP 20015 Revolusi Sistem Persenjataan

Evolusi Persenjataan Pasca-Perang Dingin:


RMA Teknologi Informasi dan Komunikasi
Ghita Yoshanti, Riris Dwi Adianti, Tangguh
0706291281 0706291382 0706291426

Berbicara mengenai persenjataan pasca-Perang Dingin, kita akan dibawa


kepada beberapa episode perang yang sempat terjadi di dunia, dengan persenjataan
yang mutakhir. Sebelum menganalisis lebih lanjut mengenai karakteristik dan
dinamika persenjataan di masa ini, penulis ingin terlebih dahulu menyuguhkan
sekilas mengenai beberapa perang mutakhir tersebut, di antaranya Perang Teluk I
yang memfokuskan kepada Operation ‘Desert Storm’ , Perang Afghanistan, dan
Perang Irak.

Perang Teluk I, Kuwait dan Irak, 17 Januari-28 Februari 1991


Perang Teluk merupakan perang yang terjadi setelah berakhirnya perang
delapan tahun Irak-Iran, dengan Irak melakukan invasi terhadap Kuwait. Pada masa
ini Irak sedang dilanda masalah finansial dan politik, di mana harga minyak jatuh
akibat boom minyak di Kuwait dan Arab Saudi. Tindakan Irak ini kemudian
ditentang oleh koalisi PBB yang di dalamnya terdapat Amerika Serikat (AS) dan
sekutunya. Operasi yang dilakukan oleh koalisi PBB tersebut dipimpin oleh
komandan AS Norman Schwarzkopf yang lazim dikenal sebagai Operation Desert
Storm. Operasi ini berhasil memenangkan battle dan restorasi terhadap
pemerintahan yang berlegitimasi di Kuwait dalam artian berhasil mengusir mundur
pasukan Irak dari Kuwait.1
Operation Desert Storm dikenal sebagai perang mutakhir pada 1991.
Penyerangan dilancarkan dengan mengerahkan senjata-senjata mutakhir yang
dimiliki oleh AS beserta koalisinya dan dilaksanakan pada tengah malam.
Mengingat dilaksanakan pada tengah malam, senjata yang digunakan adalah senjata
yang memiliki kemampuan night vision, dengan serangan melalui udara, dari
markas militer AS di Arab Saudi. AS mengandalkan Air Force H-53 Pave Lows yang
ditumpangi oleh tentara bersenjata. Pave Lows yang beroperasi pada malam hari ini
dilengkapi dengan sistem navigasi satelit, night vision googles, dan radar.
Persenjataan lainnya di antaranya adalah US F-15, F 117A, cruise missile, Tomahawks,
smart bombs, laser, dan senjata-senjata berteknologi tinggi lainnya dengan presisi
yang bisa mengarahkan senjatanya dengan tepat ke target-target bangunan vital
musuh. Hasilnya dalam waktu singkat pusat telekomunikasi, istana presiden, dan
bangunan penting lainnya dapat dihancurkan dengan mudah. Bisa dikatakan bahwa
terdapat disparitas antara pasukan AS dan koalisinya yang memiliki tentara
profesional disertai dengan persenjataan yang berpresisi tinggi dengan pasukan
Irak, yang walaupun mendapatkan suplai senjata yang bagus yang berhasil dibeli
dengan kekayaan minyaknya, masih belum dilatih secara profesional.
AS dan sekutunya memang memenangkan battle dalam upayanya untuk
membuat Irak menarik mundur pasukannya dari Kuwait. Namun, jika dilihat

1
Edmund A. Ghareeb, Historical Dictionary of Iraq, (USA: Scarecrow Press Inc., 2004), hlm.144
Dept. Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia 2
ISP 20015 Revolusi Sistem Persenjataan

ambisi AS sendiri untuk menghancurkan Sadam Hussein, masih belum terlaksana


sampai Saddam berhasil ditangkap pada 2003. AS dianggap sebagai negara yang
senantiasa mengembangkan persenjataan yang berteknologi tinggi, namun pelatihan
dan pembelajaran untuk mengendalikan persenjataan tersebut secara layak oleh
pasukannya merupakan masalah lain. Dengan kata lain, institusionalisasi dalam
RMA-nya masih tidak sepesat perkembangan persenjataan yang dimilikinya. Seiring
dengan berjalannya waktu, berakhirnya Perang Teluk I, sebagai perang yang
mutakhir, dengan kemenangan battle di pihak koalisi AS, turut andil dalam
mengembangkan Information Age. Era dalam industri persenjataan ini memberikan
peluang bagi munculnya generasi perang asymmetric warfare, yang mampu
menimbulkan kerusakan yang besar terhadap lawan yang kuat seperti AS, dengan
menggunakan inconventional weapons.

Perang Afghanistan, Afghanistan, 7 Oktober-6 Desember 2001


Perang Afghanistan adalah suatu konflik koalisi yang berawal sejak AS
melancarkan Operation Enduring Freedom bersama tentara Inggris sebagai respon
terhadap peristiwa 11 September 2001. Inggris sendiri akhirnya memimpin operasi
militernya sendiri, Operation Herrick, sebagai bagian dari perang yang sama di
Afghanistan. Dalam perang ini, al Qaeda mengobarkan apa yang disebut sebagai
netwar2, yaitu konflik yang dikobarkan oleh organisasi yang memiliki jaringan dan
terdesentralisasi. Pada awal kebangkitan al Qaeda, respon AS lemah dan tak efektif
karena militer mereka belum beradaptasi dengan perubahan sifat ancaman pasca-
Perang Dingin. Maka, prioritas utama AS adalah meningkatkan kapabilitas mereka.
Perkembangan paling penting pada saat itu adalah utilisasi teknologi informasi,
yang termanifestasi dalam pengembangan Joint Direct Attack Munition (JDAM) dan
penggunaan unmanned aerial vehicles (UAVs) seperti RQ-1A Predator dan RQ-4
Global Hawk, serta integrasi digital berbagai sistem tersebut ke dalam jaringan
Secret Internet Protocol Router Network (Siprnet) yang mencakup seluruh dunia.
Perkembangan lainnya adalah penyebaran precision-guided munitions, karena apabila
di masa lalu korban sipil merupakan hal biasa, kini hal tersebut akan menjadi
skandal besar.
Dalam Perang Afghanistan ini, bantuan paling penting yang dapat
ditawarkan AS terhadap sekutu mereka yang berasal dari oposisi domestik terhadap
Taliban, Northern Alliance, adalah kekuatan udara, menghancurkan persenjataan
berat Taliban, meledakkan pusat komando mereka, serta mendemoralisasi para
tentara mereka. Kemenangan dalam perang ini membutuhkan kerjasama kekuatan
udara dan darat. Kekalahan Taliban ditentukan oleh serangan udara skala besar.

2
Netwar adalah suatu istilah yang dikembangkan oleh para peneliti RAND (Research ANd Development, lihat
http://www.rand.org/about/history/), John Arquilla dan David Ronfeldt, untuk menggambarkan suatu bentuk
konflik, kejahatan, dan aktivisme berintensitas rendah yang dikobarkan oleh para aktor yang memiliki jaringan
sosial. Aktor-aktor netwar khususnya termasuk teroris transnasional, organisasi kriminal, kelompok aktivis, dan
gerakan sosial yang memiliki struktur fleksibel yang terdesentralisasi. Lihat “Global Guerillas”,
http://globalguerrillas.typepad.com/globalguerrillas/, “Storytelling and globalization; The complex narratives of
netwar”, USC Annenberg School for Communication, E:CO Issue Vol. 7 Nos. 3-4 2005 hlm.74-84, http://www-
rcf.usc.edu/~monge/pdf/Storytelling_Netwar_ECO_2005.pdf, Paul de Armond, “Netwar in the Emerald City;
WTO Protest Strategy and Tactics”, Networks and Netwars: The Future of Terror, Crime, and Militancy,
http://www.rand.org/pubs/monograph_reports/MR1382/MR1382.ch7.pdf, dan Jay Taber, “Netwar at New
College”, Public Good Project, http://www.publicgood.org/reports/pdf/Netwar_at_New_College.pdf
Dept. Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia 3
ISP 20015 Revolusi Sistem Persenjataan

Perang Irak, Irak, 20 Maret 2003-1 Mei 2005


Perang Irak adalah suatu kampanye militer berupa invasi Irak oleh suatu
tentara multinasional yang dipimpin oleh tentara AS dan Inggris. Dalam Perang
Irak, tentara AS telah berkembang sejak Operation Desert Storm, baik dari segi
teknologi, doktrin, maupun organisasi. Penggunaan teknologi informasi telah
meningkat, sehingga proses pembuatan keputusan semakin cepat, transmisi pesan
pendek semakin berguna, dan pencarian lokasi musuh semakin mudah. Koordinasi
angkatan darat dan angkatan laut pun semakin baik. Pada 3 April 2003 pun tentara
koalisi menaklukkan Baghdad.
Namun, apa yang kemudian terjadi adalah kebalikan dari apa yang dicapai
tentara AS sebelumnya. Jatuhnya negara polisi Saddam Hussein menyebabkan
disintegrasi hukum dan tata tertib di Irak. Tentara koalisi pun gagal mencegah para
Baathis kabur dan membaur ke masyarakat. Kekurangan jumlah tentara koalisi pun
berakibat buruk: jumlah tersebut memungkinkan serangan konvensional yang cepat,
namun tak memungkinkan upaya rekonstruksi pascaperang. Banyak pihak yang
mengkritik tak adanya rencana bagi suatu Fase IV, operasi stabilitas pascakejatuhan
Saddam. Para Baathis pun mengorganisasi suatu gerakan perlawanan terhadap
pendudukan tentara koalisi dengan suatu “kampanye gerilya klasik”. Sementara itu,
tentara AS juga tak dilatih untuk upaya “nation-building” dan “peacekeeping”.
Tentara AS akhirnya menemui jalan buntu. Mereka terisolasi dalam wilayah
aman Green Zone. Ancaman improvised explosive devices (IEDs) menyebabkan lebih
dari separuh korban dari pihak AS. Sementara itu, tentara AS pun kekurangan
berbagai perlengkapan penting, seperti Humvee lapis baja, perbekalan, dan
perlengkapan-perlengkapan kecil seperti sistem Interceptor. Kebuntuan lainnya
disebabkan hierarki tentara AS, yang buntu di depan jaringan terdesentralisasi para
pemberontak. Stres ini menyebabkan tentara AS seringkali melampiaskannya
dengan memperlakukan para tahanan dengan kejam.3
Pertempuran di Irak dimenangkan, namun hasil politik yang diinginkan tak
dapat dicapai.

Analisis Karakteristik dan Dinamika Persenjataan Pasca-Perang Dingin


Berdasarkan pembahasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa ada
beberapa fakta yang mendorong terjadinya evolusi perang pasca-Perang Dingin.
Pada Perang Dingin, dunia terbagi menjadi dua polar, sehingga ancaman militer
menjadi lebih mudah diprediksi. Pasca-Perang Dingin, ancaman dating dari
berbagai arah, sehingga lebih sulit untuk diprediksi. Munculnya netwar didorong
oleh perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi modern. Pada masa lalu,
teroris di luar negeri hanya memiliki sedikit kemampuan untuk menyerang negara
yang berlokasi jauh dari negara asal mereka. Kini, mereka dapat dengan mudah
membentuk jaringan teroris yang terdesentralisasi berkat kemudahan teknologi
komunikasi, dan dapat dengan mudah berpindah ke lokasi sasaran aksi terorisme
mereka dengan bantuan teknologi transportasi modern.

3
Perlakuan kejam yang paling memperoleh perhatian media adalah yang terjadi di penjara Abu Ghraib pada
April 2004. Lihat S. Hersh, “Torture at Abu Ghraib”, The New Yorker 10 Mei 2004,
http://www.newyorker.com/fact/content/?040510fa_fact
Dept. Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia 4
ISP 20015 Revolusi Sistem Persenjataan

Peran teknologi persenjataan dalam evolusi perang adalah menciptakan


strategi manuver dengan adanya limited wars, mementingkan target yang dituju dan
ketepatan amunisi dalam penyerangan. Kebutuhan saat ini adalah untuk difokuskan
pada specialized mission dan lebih bersifat responsif, aktif, dapat mudah beradaptasi,
dan mempunyai kapabilitas ketahanan yang kuat, namun juga meminimalisasi
kerusakan baik terhadap masyarakat sipil dan non-combatant.4
Faktor utama yang mendorong terjadinya perkembangan persenjataan
pasca-Perang Dingin dapat dilihat melalui penemuan-penemuan dari beberapa
teknologi terbaru. Pertama, diciptakannya teknlogi komputer. Teknologi komputer
pertama kali ditemukan bukan oleh pihak militer, namun oleh beberapa peneliti
yang berasal dari Universitas Pensylvannia. Namun, penemuan komputer yang
masih tergolong belum mutakhir (karena memiliki kapabilitas yang terbatas dan
berukuran besar) ternyata telah menjadi incaran pihak pemerintah AS. Hingga
akhirnya, Departemen Penelitian dan Pengembangan dibentuk khusus untuk
mengembangkan teknologi komputer yang lebih adaptable dan efisien. Pada 1970,
ditemukan computer desktop. Ditemukannya komputer merupakan sebuah revolusi
baru pada bidang militer karena pemerintah jarang sekali memberikan funding
khusus hanya untuk mengembangkan sebuah penemuan yang dimanfaatkan untuk
keamanan nasional. Hal ini tercermin dengan penemuan-penemuan senjata
teknologi dan pengembangannya pada jaman dahulu lebih ditemukan oleh individu
atau lembaga independen sendiri.
Setelah ditemukannya komputer, mulai dikembangkan suatu alat
komunikasi, yaitu telepon seluler, yang pada saat itu dijual secara eksklusif oleh
perusahan telekomunikasi Motorola. Penemuan telepon seluler juga dikembangkan
untuk kebutuhan militer guna memperlancar komunikasi serta nantinya
dikembangkan menjadi alat yang terkoneksi ke GPS sebagai pelacakan. Selain itu,
penemuan lain yang saat ini telah memberikan kontribusi terhadap kemajuan
peradaban yaitu ditemukannya internet. Pada saat itu internet masih digunakan
hanya untuk keperluan militer saja dan pada awalnya disebut sebagai ARPANET
dengan konsep memecah pesan-pesan dari setiap komputer menjadi komponen
yang lebih kecil dan mengarahkan lewat koneksi tercepat ke komputer lain. Pada
saat itu ARPANET berkembang pesat dan akhirnya Pentagon memutuskan
memisahkan sistem ARPANET menjadi sistem yang digunakan untuk masyarakat
biasa dan pihak militer. Nantinya, sistem tersebut diberi nama internet bagi pihak
masyarakat dan milnet untuk pihak militer. ARPANET tersebut nantinya akan
berkembang menjadi HTML dan HTTP yang mengijinkan data untuk mengunduh
lebih banyak grafik dan data.
Penemuan teknologi lainnya adalah dikembangkan alat-alat yang mampu
memanfaatkan kecepatan cahaya dan kecepatan suara. Namun, yang lebih
dikembangkan di sini adalah kecepatan cahaya, karena kecepatan cahaya lebih besar
daripada kecepatan suara. Sinar laser dan radar juga dimanfaatkan untuk
mengembangkan fungsi senjata. Night vision juga dibutuhkan tidak hanya bagi
operasional tentara namun senjata dan beberapa peralatan perang lainnya. Selain
itu, pengembangan sensor panas juga dikembangkan hingga adanya teknologi

4
Nicholas D. Evans, Military Gadgets: How Advanced Technology is Transforming Today’s Battlefield and
Tomorrow’s (New Jersey: Pearson Education Inc., 2004), hlm.211
Dept. Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia 5
ISP 20015 Revolusi Sistem Persenjataan

human identification from distance (HumanID) untuk mengenali beberapa target yang
telah dimasukan datanya sesuai dengan bentuk wajah, tekstur hingga iris mata
melalui kamera-kamera yang telah diletakkan di beberapa tempat maupun yang
terkoneksi melalui satelit.
Evolusi lainnya yang dapat dilihat adalah mulai diperhatikan kemudahan
untuk beroperasi sehingga diciptakanlah senjata atau alat transportasi militer yang
ringan sehingga dapat memiliki kecepatan yang tinggi. Hal tersebut tercermin
dengan dikembangkannya kapal selam Virginia yang dianggap menjadi kapal selam
tercanggih, dengan muatan yang berat namun memiliki tingkat kebisingan yang
rendah sehingga kapal selam akan sulit terdeteksi.
Karakteristik perkembangan persenjataan pasca-Perang Dingin ikut
ditentukan oleh penemuan beberapa teknologi informasi dan elektronik.
Pengembangan persenjataan oleh negara-negara tidak lagi difokuskan hanya kepada
tingkat daya ledak yang massif seperti nuklir, namun juga memiliki ketepatan
dalam menembak serta kemudahan untuk meluncurkan serangan hingga terkadang
suatu serangan tidak lagi dilakukan secara face-to-face namun secara virtual dari
pangkalan. Kondisi tersebut mendorong negara yang ingin mengamankan
posisinya, khususnya dalam keamanan internasional, untuk memiliki kapabilitas
mengembangkan Revolutionary Military Affairs (RMA) yang difokuskan untuk
menciptakan senjata yang memiliki tingkat ketepatan yang tinggi, mengembangkan
pesawat mata-mata yang sulit untuk terdeteksi, sistem pengawasan melalui satelit
dengan tingkat resolusi yang tinggi, dan laser-guided smart bombs untuk mendeteksi
dan menyerang musuh sehingga serangan dapat dilakukan tepat sasaran.
Karakteristik yang dapat dilihat adalah senjata memiliki tingkat teknologi yang
tinggi dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi. Adanya kemajuan
teknologi informasi mendorong perubahan pada peningkatan kapabilitas senjata
untuk bergerak serta mampu memiliki tingkat ketepatan yang tinggi. Selain itu,
untuk memudahkan perpindahan senjata, mulai dibuat senjata yang memiliki
ukuran yang tidak terlalu besar sehingga dapat lebih mudah berpindah atau
dibawa, namun tetap memiliki daya ledak yang besar.
Yang menjadi permasalahan adalah penemuan dasar seperti internet, telepon
seluler, maupun GPS tidak hanya dimonopoli oleh pihak militer saja, namun hampir
semua orang memiliki teknologi tersebut. Kemajuan-kemajuan tersebut yang
akhirnya mendorong munculnya perang tidak hanya berpotensi oleh negara dengan
negara, namun pihak sipil juga memiliki kapabilitas yang hampir sama dalam
mengembangkan kemajuan teknologi tersebut. Sehingga, akhirnya terjadilah perang
yang bersifat non-state war seperti yang terjadi di Irak dan Afghanistan. Teroris
dapat menggunakan internet dan telepon seluler sebagai alat komunikasi
membentuk jaringan-jaringannya yang ada di seluruh dunia. Hal ini karena negara
tidak dapat mengontrol ruang dunia maya hanya menjadi privilege pihak militer;
internet telah menjadi salah satu kebebasan yang menyangkut hak-hak sipil. Selain
itu, ruang angkasa juga tidak bisa dimonopoli, karena satelit telah dikembangkan
juga oleh perusahaan-perusahaan swasta. Sehingga, untuk meluncurkan satelit,
tidak perlu mendapat persetujuan dari militer dan satelit dapat dikembangkan
secara terpisah. Kemudahan-kemudahan tersebut mempermudah transfer teknologi
persenjataan, sehingga negara tidak lagi harus fokus pada suatu teknologi tertentu.
Dept. Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia 6
ISP 20015 Revolusi Sistem Persenjataan

Namun, yang menjadi permasalahan adalah apakah suatu kelompok separatis atau
teroris tertentu mampu untuk memiliki teknologi untuk mengembangkan senjata
tersebut, mengingat tidak adanya ruang batas dalam dunia maya dan
telekomunikasi. Selain itu, dengan semakin berkembang teknologi untuk membuat
senjata dalam ukuran yang kecil, semakin meningkat pula potensi transfer senjata
kepada pihak yang tidak bertanggung jawab. Belum adanya regulasi yang jelas
mengenai small-arms transfer membuat senjata tersebut telah menyebar dengan
mudahnya dan dapat kita temukan banyak di dalam kasus konflik di Afrika
maupun teroris di Irak dan Afghanistan.

Secara keseluruhan, revolusi sistem persenjataan yang terjadi pasca-Perang


Dingin adalah suatu RMA Teknologi Informasi dan Komunikasi. Walaupun
demikian, perlu dicatat bahwa, walaupun negara seperti AS mampu memenangkan
battle dengan mendayagunakan seluruh teknologi persenjataan yang dimilikinya,
teknologi ternyata belum mampu menjadi faktor determinan dalam menentukan
kemenangan perang. Walaupun Kabul atau Kandahar telah dikuasai, hingga
sekarang para teroris di sana masih mampu menyerang tentara-tentara sekutu dan
AS belum mampu mengusir maupun melenyapkan teroris yang berada disana. Saat
upaya nation-building dilakukan, permasalahan mulai terlihat karena teroris telah
mampu menyusup dan berbaur ke dalam masyarakat. Hal ini sulit dideteksi oleh
teknologi manapun yang dimiliki oleh AS. AS belum mampu menciptakan alat yang
dapat memisahkan antara teroris maupun civilian. Sehingga, upaya untuk
memenangkan perang bukan lagi mengandalkan tingkat teknologi maupun
kecanggihan peralatan elektronik yang dimiliki, namun juga harus menggunakan
aspek politik, ekonomi, dan masyarakat sendiri.

BIBLIOGRAFI

Boots, Max. War Made New: Technology, Warfare, and the Course of History; 1500 to
Today. New York: Gotham Books, 2006
Evans, Nicholas D. Military Gadgets: How Advanced Technology is Transforming Today’s
Battlefield and Tomorrow’s. New Jersey: Pearson Education Inc., 2004
Ghareeb, Edmund A. Historical Dictionary of Iraq. USA: Scarecrow Press Inc., 2004

You might also like