Professional Documents
Culture Documents
(Tjipto Atmoko)
Abstrak
III. Penutup
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa implementasi partisipasi
masyarakat dalam pembangunan sangat tergantung pada sistem politik yang dianut
Negara itu, karena itu perubahan paradigma tata pemerintahan suatu Negara memiliki
konsekuensi terhadap perubahan pemaknaan dan mekanisme pelaksanaan partisipasi
publik dalam penyelengaaraan pemerintahan dan pembangunan.
Partisipasi masyarakat pada era orde baru diartikan sebagai mobilisasi
masyarakat, karena masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan
(top-down), Inisiatip perencanaan berasal dari atas (pemegang kekuasaan) dan peran serta
masyarakat sebatas pelaksana program dan dimanfaatkan pemerintah sebagai jastifikasi
program-program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah
Di Era Reformasi, partisipasi diberi makna sebagai keterlibatan masyarakat
dalam proses politik yang seluas-luasnya baik dalam proses pengambilan keputusan dan
monitoring kebijakan yang dapat mempengaruhi kehidupan mereka. Berbagai peraturan
yang memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat baik nasional maupun sektoral telah
disiapkan, namun secara substantive belum mengatur bagaimana partisipasi masyarakat
itu dilaksanakan, sehingga partisipasi hanya sebatas wacana tanpa diketahui secara jelas
bagaimana bentuk dan implementasinya.
Pelibatan masyarakat dalam Proses pembuatan kebijakan pembangunan diatur
secara bertahap sesuai dengan Surat Edaran Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Negara Perncanaaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas. Kondisi ini menunjukkan
bahwa proses penyusunan kebijakan pembangunan bersifat elitis, dalam arti
pemerintahlah yang menjadi penentu kebijakan pembangunan, sedangkan masyarakat
berperan memberikan masukan kepada pemerintah tentang apa yang dibutuhkan oleh
masyarakat.
Paling tidak ada tiga kendala yang dihadapi pemerintah untuk melibatkan
masyarakat dalam kebijakan pembangunan yaitu; (1) instrumen hukum yang memberikan
ruang terhadap partisipasi publik tidak mengatur secara eksplisit bagaimana, dimana dan
siapa yang dilibatkan dalam pengambilan keputusan publik: (2) banyak LSM-LSM dan
organisasi kemasyarakatan yang bergerak di berbagai bidang memiliki keterbatasan
dalam membawa aspirasi rakyat; (3) banyaknya organisasi kemasyarakatan dan LSM di
era reformasi menyulitkan untuk menentukan organisasi kemasyarakatan mana yang
dapat dianggap mewakili aspirasi masyarakat.
Jalan keluar yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala partisipasi agar
pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan publik dapat berjalan baik adalah:
(1) diperlukan instrument hukum yang secara subtantif mengatur pelibatan masyarakat,
sehingga mekanisme pelibatan masyarakat menjadi jelas; (2) perlu keterbukaan dan
akuntabilitas dari pihak pemerintah yang peka terhadap kepentingan publik; dan (3)
masyarakat perlu bersatu dalam suatu wadah yang terorgasisir dan independent yang
dapat digunakan sebagai saluran partisipasi.
Melalui wadah asosiasi yang terorganisir dan independent masyarakat dapat
menyusun visi dan misi untuk disampaikan kepada pemerintah sebagai masukan dalam
menyusun kebijakan pembangunan dan sekaligus sebagai kekuatan untuk melakukan
kontrol terhadap produk kebijakan maupun implementasi kebijakan apakah kebijakan
tersebut berpihak kepada kepentingan rakyat atau tidak.
Daftar Pustaka
Cleaver, Frances., dalam Cooke, Bill dan Kothari, Uma (2002), Participation: the New
Tyranny?. Zed Books, London.
Gaventa, Jhon dan Valderama, Camilo, 2001, Partisipasi, Kewargaan, dan Pemerintah
Daerah, dalam pengantar buku, Mewujudkan Partisipasi; Teknik, Partisipasi
Masyarakat Untuk Abad 21, The British Council dan New Economics
Fondation.
Peters, B. Guy, 1996, The Feuture of Governing; Four Emerging Models, University
Press Of Kansas.
Tony Bovaird & Elke Loffler (2004), "Public Management and Governance",
Perundang-Undangan