You are on page 1of 12

KEBIJAKAN PENATAAN RUANG UNTUK

PENGELOLAAN PERSAMPAHAN

Oleh : A Hermanto Dardak


Direktur Jenderal Penataan Ruang
Departemen Pekerjaan Umum

1. PENDAHULUAN

Proses globalisasi membawa efek yang sangat signifikan yaitu membuat dunia ini seperti
seakan tanpa batas (“borderless”), hal ini membuat keterkaitan antar negara, antar kota
maupun antar bangsa menjadi semakin erat, terjalin dalam suatu ikatan kerjasama, bahkan
sering kita mendengar adanya kerjasama antar pemerintah kota (”sister city”) seperti antara
Pemerintah Kota DKI Jaya dengan Pemerintah Kota Tokyo dan sebagainya.

Seiring dengan proses globalisasi tersebut kita melihat bahwa perkembangan kota-kota di
Indonesia tidak dapat terlepas dari perkembangan ekonomi global, dengan demikian perlu
kiranya diantisipasi bahwa pola perkembangan kota-kota di Indonesia akan
terpengaruh/dipengaruhi oleh situasi dan kondisi global tersebut, jumlah kota besar akan
bertambah banyak dan wilayah kota semakin melebar dan mendesak daerah-daerah pinggiran
kota.

Efek tersebut baik langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh pada perkembangan
kota-kota besar di Indonesia seperti : Jabodetabek, Bandung Raya, Kedungsepur (Semarang
dsk), Gerbangkertasusila (Surabaya dsk), Mebidang (Medan dsk), Palembang, Mamminasata
(Makassar dsk) dan Sarbagita (Denpasar dsk) yang berkembang semakin pesat kearah
kota/kawasan metropolitan.

Kota dan atau kawasan metropolitan merupakan perwujudan perkembangan yang alamiah dari
suatu permukiman perkotaan yang berkembang sangat pesat. Perkembangan tersebut
menyebabkan jumlah penduduk dan luas wilayah yang sangat besar, dengan karateristik dan
persoalan yang berbeda serta spesifik. Oleh karenanya suatu kota dan atau kawasan
metropolitan memerlukan pengelolaan tersendiri dalam hal pemecahan persoalan yang
dihadapi, penyediaan prasarana dan layanan perkotaan, serta pengelolaan lingkungannya.

Hal-hal tersebut menuntut pemikiran tersendiri bagi kota besar yaitu perlunya penyediaan
kesempatan kerja yang lebih baik, perlunya penyediaan permukiman/tempat tinggal yang
memadai, perlunya penyediaan prasarana dan sarana transportasi/ekonomi perkotaan dan
pelestarian lingkungan.
2. KEBIJAKAN PENATAAN RUANG

Indonesia dengan jumlah penduduk 215 juta jiwa pada tahun 2002, telah mencapai
pertumbuhan ekonomi yang mantap sejak akhir tahun 1990. Rata-rata PDB per kapita
mencapai Rp. 7.260.000 pada tahun 2003. Akan tetapi baik penduduk maupun ekonomi
terdistribusi tidak merata baik di tingkat regional maupun provinsi, sebagian besar
terkonsentrasi di P. Jawa. Kawasan Metropolitan utama di Jawa seperti Jakarta dan Surabaya
telah berkembang tanpa koordinasi yang memadai, dengan tingkat perpindahan penduduk
yang cukup mencolok ke kawasan metropolitan. Dalam rangka pencapaian perkembangan
sosial ekonomi secara keseluruhan, dan juga lebih harmonisnya pembangunan di kawasan
urban, semi urban dan rural maka Pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Penataan
Ruang Departemen PU telah menyusun perencanaan penataan ruang yang dilaksanakan
berdasarkan UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang, dimana pengertian penataan ruang
mencakup perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan
ruang. Perencanaan tata ruang merupakan proses penyusunan rencana tata ruang (RTR),
baik untuk wilayah administratif (provinsi, kabupaten dan kota), maupun untuk kawasan
fungsional (misal kawasan perkotaan dan perdesaan). Pemanfaatan ruang merupakan wujud
operasionalisasi RTR atau pelaksanaan pembangunan oleh berbagai sektor yang mengisi
fungsi-fungsi ruang; serta pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas proses pengawasan
(pemantauan, pelaporan, dan evaluasi) serta penertiban (pengenaan sanksi dan perizinan)
terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan rencana tata ruangnya. Upaya
pengendalian pemanfaatan ruang akan memberikan feedback bagi proses perencanaan tata
ruang dan pemanfaatan ruang. Ketiga unsur penataan ruang saling terkait erat satu sama lain
membentuk suatu siklus yang interaktif-dinamis seperti terlihat pada gambar 1.

PERENCANAAN PEM AN FAA TAN


TATA RUANG RUANG

• In d ik a s i
P E N G E N D A L IA N Program
PEM AN FAA TAN R UAN G S tr a te g is
• In v e s ta s i
• P e r ijin a n
• P en g aw asan :
- P e m a n ta u a n • In s e n tif &
- P e la p o r a n D is in s e n tif
- E v a lu a s i R ekom en d asi
• P e n e rtib a n : P e n i n ja u a n R T R W
- P eng enaan San ksi
- P e r i j i n a n Gambar 1
Gambar 1 - Siklus Penyelenggaraan Penataan Ruang
Melekat dalam setiap unsur perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang,
karakteristik penataan ruang sangat terkait erat dengan sistem politik, ekonomi, sosial,
budaya, lingkungan, dan bahkan pertahanan-keamanan. Oleh karenanya penataan ruang
menekankan pendekatan kesisteman yang kompleks berlandaskan 4 (empat) prinsip utama
yakni : (1). holistik dan terpadu, (2). keseimbangan antar fungsi kawasan (misal antar kota-
desa, lindung-budidaya, pesisir-daratan, atau hulu-hilir), (3). keterpaduan penanganan secara
lintas sektor/stakeholders dan lintas wilayah administratif, serta (4). pelibatan peran serta
masyarakat mulai tahap perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang.

Pada dasarnya upaya penataan ruang perlu diarahkan pada pencapaian visi strategis ke depan
yang akan menjiwai seluruh gerak langkah penyelenggaraannya. Visi strategis
penyelenggaraan penataan ruang dimaksud adalah “terwujudnya ruang Nusantara yang
nyaman, produktif, dan berkelanjutan untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat
Indonesia”.

Sejalan dengan perkembangannya baik tingkat pertumbuhan ekonomi, peningkatan penduduk


dengan data jumlah penduduk perkotaan di Indonesia menunjukkan perkembangan yang
cukup pesat dari 32,8 juta atau 22,3% dari total penduduk nasional (1980), meningkat menjadi
55,4 juta atau 30,9% (1990), menjadi 74 juta atau 37% (1998), menjadi 90 juta jiwa atau 44%
(2002), dan diperkirakan akan mencapai angka 150 juta atau 60% dari total penduduk
nasional (2015) dengan laju pertumbuhan penduduk kota rata-rata 4,49% (1990-1995).
Dengan jumlah penduduk perkotaan yang terus meningkat dari waktu ke waktu akan
memberikan implikasi pada meningkatnya tekanan pada pemanfaatan ruang kota seperti
pembangunan prasarana dan sarana di Kota-kota besar dan Kawasan Metropolitan, sehingga
penataan ruang kawasan perkotaan perlu mendapat perhatian yang khusus dan diberikan
perhatian yang lebih besar terhadap perlindungan lingkungannya. Karena polusi air dan udara
semakin bertambah dengan meningkatnya volume limbah cair domestik dan limbah padat
demikian pula kemacetan lalu lintas maka tindakan perlindungan lingkungan sangat
dibutuhkan, misalnya dengan mendorong penerapan zoning regulation, penerapan mekanisme
insentif dan disinsentif, prinsip-prinsip smart growth atau growth management, dan
sebagainya.

3. SISTEM PENATAAN RUANG


Dinamika dan perkembangan masyarakat bangsa Indonesia secara keseluruhan juga telah
mengalami perubahan terutama tuntutan otonomi daerah sejak tahun 1997, dimana pada tahun
1999 telah dikeluarkan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
yang kemudian telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, yang
menekankan otonomi daerah dan Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan
keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, yang kemudian diubah dengan Undang-undang
Nomor 33 tahun 2004. Perkembangan tersebut tentu saja membawa konsekuensi logis
terhadap UU 24 tahun 1992 yang harus dilakukan revisi agar Penataan Ruang dapat menjawab
setiap tantangan di bidang penataan ruang dalam era otonomi daerah.
Bila merujuk pada Undang-Undang 24 tahun 1992, kedudukan sistem penataan ruang
Nasional merupakan salah satu bagian dalam perwujudan tujuan sistem perencanaan
pembangunan Nasional, yaitu untuk menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan
sinergi antar pemanfaatan ruang di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam sistem perencanaan pembangunan Nasional maupun perencanaan tata ruang keduanya
menekankan suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat melalui urutan
pilihan (prioritas) secara berhierarki, dengan memperhitungkan sumberdaya yang tersedia.
Jika perencanaan pembangunan Nasional berwujud spasial dan non spasial, maka perencanaan
tata ruang lebih menekankan pada aspek spasial yang mencakup perencanaan struktur dan
pola pemanfaatan ruang, yang meliputi tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan
tata guna sumberdaya alam lainnya.
Adapun produk yang dihasilkan dari upaya/proses perencanaan tata ruang adalah Rencana
Tata Ruang. Pengertian Rencana Tata Ruang pada dasarnya merupakan bentuk intervensi
yang dilakukan agar interaksi manusia/makhluk hidup dalam aktivitas sosial-ekonomi dan
aktivitas lainnya dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk
tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan
keberlanjutan pembangunan (development sustainability). Produk RTR secara garis besar
terdiri atas RTRW Nasional, RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota untuk wilayah
administratif yang berhirarki, serta RTR Kawasan fungsional.
Secara konseptual, sistem perencanaan tata ruang di atas dapat diperlihatkan seperti pada
Gambar 2, dimana pada masing-masing hirarki akan dibedakan berdasarkan tingkat
kedalamannya (rencana umum, rencana operasional, hingga rencana operasional teknis).

Gambar 2 – Sistem Perencanaan Nasional


4. PELESTARIAN LINGKUNGAN DAN PENATAAN RUANG
Pelestarian lingkungan yang merupakan perhatian dari perencanaan tata ruang, bertujuan
untuk mendorong secara sistematis kesadaran masyarakat terhadap lingkungan, misalnya
dengan penerapan 3R (reduction-reuse-recycling) dari limbah padat dan pengelolaan
lingkungan yang tepat sangat dibutuhkan untuk menciptakan masyarakat berorientasi siklus di
kawasan perkotaan dan Kota-kota besar serta Kawasan Metropolitan. Dalam hal ini
pendekatan partisipatoris menjadi salah satu pilihan pendekatan, demikian pula untuk
perlindungan lingkungan. Tanpa pengelolaan lingkungan yang sesuai, Kota-kota besar dan
Kawasan Metropolitan dapat terjerumus menjadi wilayah yang tidak sehat dan tidak nyaman
untuk dihuni serta berpotensi memunculkan perkembangan kota yang semrawut dan tidak
terarah yang dibeberapa kota sudah terjadi, isu lainnya adalah menyangkut perkembangan
kota-kota yang tidak terarah, cenderung membentuk konurbasi antara kota inti dengan kota-
kota sekitarnya. Konurbasi dimaksud dicirikan dengan munculnya 9 kota metropolitan dengan
penduduk di atas 1 juta jiwa (Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Bekasi, Tangerang,
Semarang, Palembang dan Makassar) dan 9 kota besar (Bandar Lampung, Malang, Padang,
Samarinda, Pekanbaru, Banjarmasin, Solo, Yogyakarta, dan Denpasar). Konurbasi yang
terjadi pada kota-kota tersebut menimbulkan berbagai permasalahan kompleks, seperti
kemiskinan perkotaan, pelayanan prasarana dan sarana kota yang terbatas, kemacetan lalu
lintas, dan pencemaran lingkungan.

Sebagai salah satu contoh Kota Makassar dan pusat kota di Kawasan Metropolitan
Mamminasata (Makassar, Maros, Sungguminasa dan Takalar) misalnya, sudah menjadi kota-
kota yang tidak memiliki daya tarik lingkungan. Beberapa inisiatif telah dilakukan oleh sektor
pemerintah dan swasta seperti program keindahan kampung. Kassi-kassi dengan penghijauan
dan bunga-bunga, akan tetapi hasilnya masih belum maksimal. Sampah berserakan di mana-
mana, sepanjang jalan, kanal, sungai dan pantai yang menyebabkan terkontaminasinya air dan
perairan. Pemeliharaan selokan dan saluran drainase menurunkan kapasitas drainase dan
menyebabkan genangan dan banjir di tempat-tempat yang rendah. Karena tidak terdapat
Instalasi Pengolahan Air Limbah Domestik, maka kontaminasi akan semakin buruk jika tidak
segera diambil tindakan yang tepat, baik oleh pemerintah maupun oleh penduduk setempat.
Proyek pilot yang diujicobakan pada kawasan Metropolitan Mamminasata memperlihatkan
bahwa dengan sedikit investasi dan biaya rendah, pengelolaan limbah padat dapat
meningkatkan kesadaran masyarakat, mengurangi sampah dan meningkatkan kualitas
lingkungan Kota.

Dengan memperhatikan keseluruhan uraian di atas, untuk mengatasi berbagai permasalahan


aktual dalam pembangunan Kota dan Metropolitan, maka prinsip-prinsip penataan ruang tidak
dapat diabaikan lagi. Dalam konteks ini, upaya pengendalian pembangunan dan berbagai
dampaknya perlu diselenggarakan secara terpadu lintas sektor dan lintas wilayah melalui
instrumen penataan ruang. Melalui instrumen ini pula, maka daya dukung lingkungan dari
suatu wilayah menjadi pertimbangan yang sangat penting.

Kawasan Metropolitan Mamminasata yang dijadikan contoh di atas, terdiri dari Kota
Makassar, Kabupaten Maros, Gowa, dan Takalar memiliki luas sekitar 2,462 dengan estimasi
jumlah penduduk 2.25 juta jiwa (2005). Kawasan Metropolitan Mamminasata
menyumbangkan 36% dari PDB Sulsel, sedangkan Kota Makassar memberikan kontribusi
hampir 77% dari pertumbuhan ekonomi Mamminasata. Dengan mudah dapat dipahami peran
yang akan dijalankan oleh Mamminasata dalam pembangunan ekonomi Sulawesi Selatan.
Akan tetapi dengan peran yang penting tersebut Kawasan Mamminasata masih tergolong
kurang dinamis.

Misalnya penanganan masalah sampah sebagai wujud pelestarian lingkungan di Kawasan


Metropolitan Mamminasata direncanakan dengan Proyek peningkatan TPA untuk pengelolaan
limbah padat yang merupakan contoh model untuk mengatasi masalah persampahan di
Kawasan Perkotaan dan Kawasan Metropolitan lainnya. Desain awal untuk usulan TPA
sampah baru di Pattallassang, Kabupaten Gowa telah dirancang dengan penerapan Sistem
TPA semi-aerobic, dilengkapi dengan sarana-sarana yang memadai untuk pelindian,
pengendalian gas dan langkah-langkah perlindungan lingkungan lainnya. Proyek tersebut juga
memperlihatkan lokasi industri-industri daur ulang di Pattallassang. Keistimewaan pada
proyek ini adalah bahwa setelah masa penggunaan, TPA akan dimanfaatkan sebagai taman
rekreasi atau lapangan olah raga bagi sarana publik dengan dukungan fasilitas ruang terbuka
hijau (RTH) agar tetap terjaga keasrian lingkungannya.

Kekurangan dalam pembuangan limbah padat telah menjadi salah satu persoalan serius di
kawasan perkotaan, kota-kota kecil, sedang dan besar serta di Metropolitan, yang harus
ditangani secara terpadu untuk mengembalikan kawasan tersebut menjadi bersih. Persoalan
sampah yang sering ditemui di jalan-jalan, selokan dan kanal drainase serta lokasi Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) sampah yang sulit ditentukan merupakan tantangan masalah dalam
pelaksanaan konsep menjaga kelestarian lingkungan agar seimbang dan selaras. Hasil ujicoba
program proyek pilot pemilahan sampah berbasis komunitas dan barter sehat atau kanal bersih,
di Kawasan Metropolitan Mamminasata misalnya, memperlihatkan hasil yang baik dan perlu
direplikasi secara sistematis. Model pembangunan TPA sampah di Metropolitan
Mamminasata sekaligus merupakan contoh model proyek kerjasama regional bagi wilayah
lainnya di Indonesia.

Tempat Pembuangan Akhir sampah pada dasarnya merupakan akhir dari proses penanganan
sampah yang aman dan ramah lingkungan. Namun adanya keterbatasan biaya dan kapasitas
SDM serta andalan pola kumpul-angkut-buang yang ada selama ini, telah berdampak pada
pembebanan yang terlalu berat di TPA baik ditinjau dari kebutuhan lahan maupun beban
pencemaran lingkungan.

Permasalahan TPA sampah yang akhir-akhir ini telah mengemuka secara nasional antara lain
kasus longsornya TPA Leuwigajah yang menelan korban jiwa lebih dari 140 orang, friksi
TPA Bantar Gebang Bekasi dan TPST Bojong menunjukkan tingkat keterpurukan masalah
penanganan sampah. Tanpa adanya komitmen dan upaya yang sungguh-sungguh dari para
pelaksana pembangunan bidang persampahan, kondisi demikian dikhawatirkan hanya akan
menuai bencana demi bencana.

Persoalan TPA sampah pada dewasa ini terletak pada masalah pengelolaannya, untuk
mendorong pengelolaan TPA sampah secara baik misalnya melalui sistem sanitary landfill
dapat dilakukan dengan kerjasama antara pemerintah daerah terkait dalam bentuk usaha
bersama (badan usaha bersama atau BUB).

5. PENENTUAN LOKASI TPA

Penentuan lokasi TPA sampah, dapat berdasarkan SNI 03-3241-1994 tentang Tata Cara
Pemilihan Lokasi TPA Sampah dengan beberapa pertimbangan-pertimbangan antara lain;

1. TPA sampah tidak boleh berlokasi di danau, sungai dan laut;

2. Disusun berdasarkan 3 tahapan yaitu : pertama, Tahap regional yang merupakan tahapan
untuk menghasilkan peta yang berisi daerah atau tempat dalam wilayah tersebut yang
terbagi menjadi beberapa zona kelayakan. kedua, Tahap penyisih yang merupakan
tahapan untuk menghasilkan satu atau dua lokasi terbaik diantara beberapa lokasi yang
dipilih dari zona-zona kelayakan pada tahap regional. Ketiga, Tahap penetapan yang
merupakan tahap penentuan lokasi terpilih oleh Instansi yang berwenang.

3. Dalam hal suatu wilayah belum bisa memenuhi tahap regional, pemilihan lokasi TPA
Sampah ditentukan berdasarkan skema pemilihan lokasi TPA sampah ini dengan kriteria
pemilihan lokasi TPA sampah dibagi menjadi tiga bagian ;

A. Kriteria regional, yaitu kriteria yang digunakan untuk menentukan zona layak atau tidak
layak sebagai berikut ;

1) Kondisi geologi

a. tidak berlokasi di zona holocene fault

b. tidak boleh di zona bahaya geologi

2) Kondisi hidrogeologi

a. tidak boleh mempunyai muka air tanah kurang dari 3 meter


b. tidak boleh kelulusan tanah lebih besar dari 10-6 cm/det

c. jarak terhadap sumber air minum harus lebih besar dari 100 meter di hilir aliran

d. dalam hal tidak ada zona yang memenuhi kriteria-kriteria tersebut di atas, maka
harus diadakan masukan teknologi

3) kemiringan zona harus kurang dari 20 %

4) jarak dari lapangan terbang harus lebih besar dari 3.000 meter untuk penerbangan
turbo jet dan harus lebih besar dari 1.500 meter untuk jenis lain.

5) tidak boleh pada daerah lindung/cagar alam dan daerah banjir dengan periode ulang
25 tahun

B. Kriteria penyisih yaitu kriteria yang digunakan untuk memilih lokasi TPA terbaik yaitu
teridiri dari kriteria regional ditambah dengan kriteria berikut ;

1) iklim

a. hujan : intensitas hujan makin kecil dinilai makin baik

b. angin : arah angin dominan tidak menuju kepermukiman dinilai makin baik

2) utilitas : tersedia lebih lengkap dinilai lebih baik

3) lingkungan biologis

a. habitat : kurang bervariasi dinilai makin baik

b. daya dukung : kurang menunjang kehidupan flora dan fauna, dinilai makin baik

4) ketersediaan tanah

a. produktifitas tanah : tidak produktif dinilai lebih tinggi

b. kapasitas dan umur : dapat menampung lahan lebih banyak dan lebih lama dinilai
lebih baik

c. ketersediaan tanah penutup : mempunyai tanah penutup yang cukup, dinilai lebih
baik

d. status tanah : makin bervariasi dinilai tidak baik.

5) Demografi : kepadatan penduduk lebih rendah dinilai makin baik

6) batas administrasi : dalam batas administrasi dinilai semakin baik

7) Kebisingan : semakin banyak zona penyangga dinilai semakin baik

8) Bau : semakin banyak zona penyangga dinilai semakin baik

9) estetika : semakin tidak terlihat dari luar dinilai semakin baik


10) ekonomi : semakin kecil biaya satuan pengelolaan sampah (per m3/ton) dinilai
semakin baik

C. Produk yang dihasilkan

Produk yang dihasilkan sebagai berikut :

1) tahap regional yaitu peta dasar skala 1 : 25.000, yang berisi :

a. centroid sampah yang terletak di wilayah tersebut

b. kondisi hidrogeologi

c. badan-badan air

d. TPA sampah yang sudah ada

e. Pembagian zona-zona

- zona 1 = zona tidak layak

- zona 2 = zona layak untuk TPA sampah kota

2) tahap penyisih yaitu rekomendasi lokasi TPA sampah kota dilengkapi :

a. peta posisi calon-calon lokasi yang potensial

b. peta detail dengan skala 1 : 25.000 dari sedikitnya 2 lokasi yang terbaik

3) tahap penetapan yaitu keputusan penetapan lokasi TPA sampah kota

Pemilihan lokasi perlu mempertimbangkan aspek-aspek penataan ruang sebagai berikut :

1. Lokasi TPA sampah diharapkan berlawanan arah dengan arah perkembangan daerah
perkotaan (Urbanized Area).

2. Lokasi TPA sampah harus berada di luar dari daerah perkotaan yang didorong
pengembangannya (Urban Promotion Area)

3. Diupayakan transportasi menuju TPA sampah tidak melalui jalan utama menuju
perkotaan/daerah padat.

Selain hal-hal tersebut di atas, perencanaan TPA sampah perkotaan perlu memperhatikan hal-
hal sebagai berikut :

1. Rencana pengembangan kota dan daerah, tata guna lahan serta rencana pemanfaatan
lahan bekas TPA.

2. Kemampuan ekonomi pemerintah daerah setempat dan masyarakat, untuk menentukan


teknologi sarana dan prasarana TPA yang layak secara ekonomis, teknis dan lingkungan.
3. Kondisi fisik dan geologi seperti topografi, jenis tanah, kondisi badan air sekitarnya,
pengaruh pasang surut, angin iklim, curah hujan, untuk menentukan metode pembuangan
akhir sampah.

4. Rencana pengembangan jaringan jalan yang ada, untuk menentukan rencana jalan masuk
TPA.

5. Rencana TPA di daerah lereng agar memperhitungkan masalah kemungkinan terjadinya


longsor.

6. Tersedianya biaya operasi dan pemeliharaan TPA.

7. Sampah yang dibuang ke TPA harus telah melalui pengurangan volume sampah sedekat
mungkin dengan sumbernya.

8. Sampah yang dibuang di lokasi TPA adalah hanya sampah perkotaan yang bukan berasal
dari industri, rumah sakit yang mengandung B3.

9. Kota-kota yang sulit mendapatkan lahan TPA di wilayahnya, perlu melaksanakan model
TPA regional serta perlu adanya institusi pengelola kebersihan yang bertanggungjawab
dalam pengelolaan TPA tersebut secara memadai.

10. Aksesibilitas jalan menuju TPA sampah harus tersedia guna memudahkan kendaraan
pengangkut membuang limbah/sampah sampai ditempatnya, kebutuhan lahan yang relatif
cukup luas disesuaikan dengan konsep pengelolaan TPA sampah misalnya Buffer zone
untuk menghindari dampak dari bau, kebisingan, lalat dan vektor penyakit dengan
ditanami pohon pelindung dengan ketebalan berkisar antara 20 m sampai dengan 50 m
dari batas luar daerah operasional TPA yang didukung dengan penanaman jenis pohon
yang cepat tumbuh dalam waktu 1 tahun mencapai 4 m, dan tidak mudah patah akibat
pengaruh angin misalnya sengon, mahoni, tanjung dan lain-lain dengan kerapatan/jarak
antar pohon 2 m. Selain itu ditetapkan pula Free Zone yang merupakan zona bebas
dimana kemungkinan masih dipengaruhi leachate, sehingga harus merupakan Ruang
Terbuka Hijau dan apabila dimanfaatkan disarankan bukan merupakan tanaman pangan,
dengan ketebalan 50 sampai dengan 80 m dari batas luar buffer zone, sehingga TPA
sampah dapat difungsikan secara terpadu dengan pengelolaannya, sistem pengolahan
limbah organik dan non organik dilakukan secara terpisah agar setiap dampak/implikasi
limbah dapat disortir sesuai dengan sifat dan jenisnya sehingga dapat diketahui limbah
yang mengandung B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya) disertai penanganannya,
pengolahan limbah juga harus memperhatikan dampak terhadap lingkungan seperti air
buangan dari limbah organik, materi limbah padat yang tidak dapat diolah atau didaur
ulang sehingga perlu penanganan pemusnahan, pemisahan limbah padatpun harus sesuai
dengan sifat dan jenis limbah tersebut. Pendekatan pengelolaan sampah yang berasal dari
limbah organik dengan cara diproses menjadi pupuk atau kompos, merupakan pendekatan
yang perlu pula menjadi alternatif pilihan pengelolaan limbah, karena dapat memberikan
nilai tambah baik secara ekologis, psikologis dan ekonomis.

Oleh karenanya pula dengan mengacu pada PP 16 tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem
Penyediaan Air Minum yang di dalamnya mengatur masalah persampahan (bagian ketiga
pasal 19-22), bahwa penanganan sampah yang memadai perlu dilakukan untuk perlindungan
air baku air minum dan secara tegas dinyatakan bahwa TPA sampah wajib dilengkapi dengan
zona penyangga dan metoda pembuangan akhirnya dilakukan secara sanitary landfill untuk
kota besar dan metropolitan dan controlled landfill untuk kota kecil dan sedang. Selain itu
perlu pula dilakukan pemantauan kualitas hasil pengolahan leachate secara berkala.

Perhatian terhadap kelestarian lingkungan melalui penanganan dan pengelolaan TPA sampah
yang baik menjadi hal penting, TPA sampah yang didesain sesuai dengan ketentuan dapat
difungsikan pula menjadi kawasan hijau sehingga sejalan dengan kebijakan penataan ruang
yang menerapkan ketentuan bahwa setiap wilayah/kawasan menyediakan RTH minimal
sebesar 30 % dari luas wilayah/kawasan tersebut. RTH yang tersedia bukan hanya
mengandung nilai-nilai estetika tetapi juga mengandung nilai psikologis bagi masyarakat.
Dapat dibayangkan apabila setiap kawasan permukiman, perkotaan dan kota-kota besar
bahkan Metropolitan tidak terdapat ruang terbuka hijau yang bermanfaat untuk taman bermain,
kesegaran udara, dan keindahan lingkungan bagi masyarakat maka yang terjadi adalah
lingkungan permukiman kumuh, sensitivitas masyarakat sangat tinggi, polusi udara yang
berpengaruh pada psikologis dan lingkungan yang tidak asri karena tidak adanya penghijauan.

7. PENUTUP
- Rencana Tata Ruang (RTR) berperan mengintegrasikan kebijakan pembangunan ekonomi
dan pelestarian lingkungan.
- Penentuan lokasi TPA sampah harus mengacu pada RTR dan ketentuan lainnya yang terkait.
- Penataan Ruang sebelum dan sesudah penyelenggaraan TPA sampah perlu dikendalikan
secara ketat dan konsisten.
KEBIJAKAN PENATAAN RUANG UNTUK
PENGELOLAAN PERSAMPAHAN

Oleh : A Hermanto Dardak

Direktur Jenderal Penataan Ruang


Departemen Pekerjaan Umum

Disampaikan dalam acara Bimbingan Teknis Nasional


Pusat Kajian Strategis Pembangunan Nasional

Jakarta, 14 – 15 Maret 2007

You might also like