You are on page 1of 3

Geometri sakral 6: Batik Solo

Leo Sutrisno
Dalam tulisan Minggu lalu (10 januari 2010, di sajikan lselayang pandang tentang batik
dan sejumlah motif batik gaya Yogyakarta. Ada pembaca yang menyarankan agar
diturunkan tulisan tentang batik Solo.

Secara umum batik digolongkan ke dalam dua kelompok tradisi ‘kasultanan’ dan tradisi
‘pasisiran’. Dalam tradisi kasultanan ada dua kelompok yang kuat coraknya, yaitu:
Yogyakarta dan Surakarta (Solo). Batik tradisi kasultanan mudah dikenali karena
warnanya yang didominasi dengan coklat tua, hitam atau putih. Dalam tradisi pasisiran
terdapat corak Pekalongan, Lasem, Tuban, Cirebonan, Garut, Madura, dan Ponorogo.
Batik pasisiran juga mudah dikenali dari warnanya yang ’meriah’.

Sekitar 40-50 tahun yang lalu, di wilayah ’mataraman’, secara tradisional pemakai kain
batik masih terbatas pada para priyayi dan para abdi negara. Orang kebanyakan pada
umumnya memakai kain lurik. Namun, seiring dengan perubahan jaman, pemakai kain
batik dewasa ini adalah semua lapisan masyarakat. Gambar 1.

Pola geometri batik corak Surakarta ada lima macam, yaitu: ceplok, kawung, nitik, garis
miring dan tumpal. Sebagian besar Pola Ceplok (Gambar 2) merupakan pola-pola batik
kuno yang terdapat pada hiasan arca di Candi dengan bentuk kotak-kotak, lingkaran,
binatang, bentuk tertutup serta garis-garis miring

Pola dasar yang terdapat pada candi Hindu di arca Ganesha dari Banon Borobudur, arca
Hari Hara dari Blitar, Ganesha dari Kediri dan arca arca Parwati dari Jawa merupakan
pola dasar dari pola Kawung. Dasar pola Ceplok terdapat di arca Budha antara lain
Budha Mahadewa dari Tumpang dan arca Brkhuti dari candi Jago.

’Ceplok’ berarti ’tunas’. Pola ceplok mewakili bentuk-bentuk bunga, buah, bahkan
kadang-kadang muncul gambar binatang. Tentu bentuk-bentuknya tidak nyata. Gambar
tetumbuhan dan binatang yang tidak persis sama dengan bentuk aslinya itu mengikuti
ajaran Islam. Para pembatik Jawa memodifikasi bentuk-bentuk tetumbuhan dan binatang
iu menjadi gambar stilis.

Pola Kawung (Gambar 3) merupakan pola ceplok tertua dan terdiri dari empat ragam hias
elips atau lingkaran yang disusun sedemikian rupa sehingga keempatnya besinggungan
satu sama lainnya dan ditengahnya terdapat ragam hias Mlinjon. Elips atau lingkaran ini
dimodifikasi dimodifikasi dengan menambah ragam hias isen atau mengubah bentuknya.

‘Kawung’ disebutkan berasal dari dari kata ‘kolang-kaling’, buah pohon aren yang
berwarna hitam (jika sudah tua). Tetapi, ada juga yang menyebutkan berasal dari
’kwangmung’, binatang serangga termasuk kelompok ’binatang berkaki delapan’. Pola
ini mengarak pada arah mata angin dengan titik tengah sebagai acuannya.
Pola Nitik (Gambar 4).dibuat berbentuk titik-titik. Pada awalnya nitik berkembang di
daerah pesisiran sebelum masuk ke kasultanan. Para pedagang dari Gujarat datang di
pantai utara pulau Jawa, menjajakan kain tenun dan bahan sutera. Motif dan kain tersebut
berbentuk geometris dibuat dengan teknik dobel ikat yang disebut "Patola" (di Jawa
dikenal sebagai kain "cinde").

Pola garis miring (Gambar 5) berupa garis-garis diagonal (miring0 dalam bidang gambar.
Isi dari garis miring ini berupa ’parang’ atau ’pedang’ sebagai lambang keberanian,
kejayaan.

Pola tumpal (Gambar 6) berupa bangun segitiga. Pola ini termasul tua tetapi hingga kini
masih popular. Bangun segitiga menjadi lambang akan kekuatan hidup. Jika ’dihapankan’
ke atas, berarti menuju ’Sang Pencipta’. Jika di hadapkan ke bawah menuju ‘Sang
Pendukung’ dan jika dimiringka merujuk “Sang Motivator”.

Inilah garis besar bangun geometri dalam batik tradisi Surakarta. Semoga dapat
dikembangkan lebih luas dan mendalam. Om Tris.

INCLUDEPICTURE "http://lh5.ggpht.com/_CN7H6_O9DaY/SsTeEg0qr5I/AAAAAAAABl0/RGqpm2HYSwc/s144/batik_n

Gambar 4

Gambar 1

Gambar 3

Gambar 2
Gambar 5
Gambar 6

You might also like