Professional Documents
Culture Documents
Jossy P. Moeis
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Abstrak
Tesis ini ditulis mengingat kondisi swasembada beras yang terwujud di Indonesia pada
tahun 1984 tidak bisa dipertahankan karena relatif rentan terhadap faktor-faktor internal dan
eksternal seperti iklim, serangan hama. Kebijakan pembangunan di bidang pangan selanjutnya
lebih diarahkan pada terwujudnya sistem ketahanan pangan. Ketahanan pangan tidak hanya
berorientasi pada beras saja, namun didukung pula oleh jenis-jenis komoditas strategis lainnya
sesuai kondisi daerah. Propinsi Jawa Barat 2005 merupakan propinsi dengan konsumsi beras
17,32 persen konsumsi beras nasional. Tingginya tingkat konsumsi beras tersebut dirasa perlu
untuk dicari kelompok makanan pengganti beras.
Kelompok kentang/jagung/talas merupakan kelompok makanan yang potensial
dikembangkan sebagai makanan pengganti beras. Nilai elastisitas harga dari kelompok ini adalah
positif terhadap beras, berarti kelompok ini merupakan barang substitusi dari beras. Kecilnya nilai
elastisitas harga disarankan dapat dinaikkan dengan penganekaragaman jenis masakan yang
berasal dari kentang/jagung/talas. Penganekaragaman menu dapat ditunjang dengan peningkatan
pendidikan baik formal maupun informal untuk dapat mengolah makanan.
I. PENDAHULUAN
Kebijakan pemerintah dalam meningkatkan produksi pangan secara nasional sejak tiga
Pelita pertama dititikberatkan pada padi atau beras dengan sasaran utama tercapainya
swasembada beras. Kebijakan pangan pada periode tersebut berhasil membawa Indonesia pada
tahun 1984 mencapai swasembada beras. Namun, dalam perkembangannya ternyata program
swasembada yang berorientasi pada beras tersebut relatif rentan terhadap faktor-faktor eksternal,
seperti iklim, serangan hama, gejolak pasar dan faktor internal seperti keterbatasan dalam
peningkatan produktivitas. Hal ini terlihat dari impor beras sekitar 2,5 juta ton per tahun yang
dilakukan sejak tahun 2001 sampai 2004 (Deptan).
Berdasarkan permasalahan yang dihadapi dalam upaya peningkatan produksi pangan
tersebut, maka kebijakan pembangunan di bidang pangan selanjutnya lebih diarahkan pada
terwujudnya sistem ketahanan pangan. Ketahanan pangan tidak saja di tingkat nasional tetapi
sampai ke tingkat rumahtangga. Ketahanan pangan, secara luas, dapat diartikan sebagai
kemampuan untuk memenuhi kecukupan pangan masyarakat dari waktu ke waktu. Kecukupan
pangan dalam hal ini tidak saja mencakup segi kuantitas tetapi juga dalam kualitas. Untuk
mengatasi krisis pangan, Kementrian Negara Riset dan Teknologi telah menyusun program
diversifikasi pangan. Langkah tersebut dilakukan sebagai alternatif untuk mengantisipasi harga
beras yang semakin tinggi serta untuk mengurangi impor beras yang telah menghabiskan devisa
negara dalam jumlah besar.
Permintaan beras meliputi konsumsi di dalam rumah, di luar rumah yang antara lain di
rumah makan, hotel, konsumsi makanan hasil industri pengolahan, dan kebutuhan beras untuk
cadangan rumahtangga. Disamping itu produk padi juga dipergunakan untuk benih dan campuran
pakan. Dari tabel Input/Output BPS tahun 1999 dapat diperkirakan komposisi penggunaan beras
yaitu: sekitar 76% di dalam rumah. Tingginya persentase penggunaan beras di dalam rumah
tersebut merupakan suatu hal yang menarik untuk diteliti lebih lanjut. Dari penelitian ini diharapkan
dapat memberikan solusi dari penentuan arah kebijakan pemerintah dalam mengatasi tingginya
permintaan beras. Kebijakan diharapkan dapat diterapkan di tingkat Nasional ataupun di tingkat
Propinsi Jawa Barat pada khususnya.
Diversifikasi pangan diterapkan dengan menggali potensi pangan daerah. Masyarakat
Jawa Barat diduga mempunyai kecenderungan pada makanan tertentu yang berpotensi untuk
menggantikan beras. Kecenderungan tersebut berbeda dengan daerah lain seperti masyarakat di
Maluku yang mengkonsumsi sagu, atau masyarakat di Madura yang mengkonsumsi jagung. Oleh
karena itu diperlukan penelitian untuk menemukan makanan pengganti beras di Jawa Barat.
Propinsi Jawa Barat dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia yaitu sebesar
39.960.869 jiwa (BPS, 2005) dengan karakteristik yang tidak dimiliki oleh daerah lain. Wilayah
Jawa Barat merupakan daerah penyangga Ibukota Indonesia, yang biasa dikenal dengan sebutan
Bodetabek. Daerah penyangga yang masuk dalam wilayah Propinsi Jawa Barat adalah Bogor,
Depok, dan Bekasi. Sentra bisnis dan ekonomi di Jabodetabek membuat kepadatan penduduk di
Bogor, Depok dan Bekasi sangat tinggi. Besarnya jumlah penduduk di Propinsi Jawa Barat
merupakan faktor pendorong untuk dilakukan penelitian ini. Dari data Susenas tahun 2005 dapat
dihitung konsumsi beras Propinsi Jawa Barat yaitu sebesar 17,32% dari konsumsi nasional.
Dengan mengambil daerah yang berpenduduk terbesar di Indonesia diharapkan dapat
memberikan sumbangan yang besar untuk estimasi secara umum di Indonesia.
Tujuan penelitian ini adalah menemukan kelompok atau komoditas sebagai pengganti
beras, menentukan seberapa efektif untuk dapat dilakukannya diversifikasi dan memberi masukan
usaha apa saja yang dapat dilakukan agar dapat tercapai diversifikasi pangan. Penelitian ini
diharapkan dapat bermanfaat dalam memberi masukan bagi pemerintah daerah Jawa Barat dalam
rangka meningkatkan ketahanan pangan tanpa harus bergantung kepada beras saja, memberikan
2
alternatif kepada masyarakat untuk bisa mengkonsumsi makanan pengganti beras yang potensial
di Jawa Barat, dan sebagai stimulan bagi penelitian selanjutnya untuk meneliti lebih jauh perihal
diversifikasi pangan dengan pengembangan lebih lanjut tentang komoditi yang bisa dikembangkan
khususnya di Jawa Barat.
Permintaan beras secara teori dihipotesakan dipengaruhi secara positif oleh pendapatan
dan secara negatif oleh harga beras itu sendiri. Selain itu permintaan beras dipengaruhi secara
positif oleh harga substitusinya yaitu kelompok kentang/jagung/talas. Pengaruh selanjutnya yang
dapat menentukan arah kebijakan dari penurunan permintaan beras adalah faktor sosial demografi
rumahtangga yang bisa berpengaruh positif maupun negatif.
Pada bagian kedua akan dijabarkan beberapa teori dan hasil penelitian empiris Kemudian
bagian ketiga dijabarkan metodologi penelitian. Bagian keempat hasil penelitian, terakhir bagian
kelima kesimpulan
Dalam Rahardja dan Manurung (1999) disebutkan bahwa faktor yang dapat
mempengaruhi permintaan suatu barang antara lain, yaitu:
1. Harga dari barang atau jasa itu sendiri
2. Tingkat pendapatan per kapita rumah tangga
3. Harga dari barang atau jasa lain yang terkait
4. Selera (cita rasa)
5. Jumlah penduduk
Menurut Deaton dan Muellbauer (1999) bahwa rumahtangga berbeda dalam jumlah
anggota rumahtangga, komposisi umur, tingkat pendidikan dan karakteristik yang lain yang
menyebabkan perbedaan dalam pengeluaran rumahtangga. Dengan perbedaan karakteristik
rumahtangga ini permintaan makanan tidak hanya ditentukan oleh harga dan total
pengeluaran, tetapi juga oleh berbagai karakteristik rumahtangga tersebut.
Dalam penelitan Engel terhadap petani, disebutkan bahwa rumahtangga yang
mempunyai jumlah anggota rumahtangga yang lebih banyak mempunyai pengeluaran untuk
makanan lebih banyak daripada rumahtangga dengan jumlah anggota rumahtangga lebih kecil
dengan golongan pendapatan yang sama. Pernyataan tersebut dimodelkan dalam bentuk
matematis :
m h = m (a h ) .
Dimana m h adalah biaya minimum dari rumahtangga ke-h, dan a h adalah vektor dari
karakteristik rumahtangga ke-h. Komponen dari a h seperti jumlah balita, jumlah anak-anak
usia sekolah, jumlah anggota rumahtangga dewasa, dll. Rumah tangga yang terdiri dari tiga
3
anggota rumahtangga dewasa akan berbeda pengeluarannya dengan rumahtangga dengan
dua anggota rumahtangga dewasa dan satu anak-anak. Masalah ini diselesaikan dengan
menciptakan variable adult equivalent dimana anak-anak hanya dihitung dengan skala kurang
dari satu. Pembedaan skala ini pada prinsipnya berdasarkan kebiasaan konsumsi mereka.
Dari persamaan Slutsky dinyatakan bahwa efek total dari perubahan harga terhadap
permintaan meliputi efek substitusi dan efek pendapatan. Nilai efek total tergantung dari
besarnya efek substitusi dan efek pendapatan. Untuk barang normal bernilai negatif, dan untuk
barang inferior bernilai positif.
Elastisitas permintaan dibedakan tiga jenis, yaitu: (i) elastisitas permintaan terhadap
harga sendiri, (ii) elastisitas permintaan terhadap pendapatan, dan (iii) elastisitas permintaan
terhadap harga barang lain atau elastisitas silang. Elastisitas permintaan terhadap harga sendiri
digunakan untuk mengetahui tingkat kepekaan perubahan permintaan suatu barang sebagai
akibat dari perubahan harga. Elastisitas permintaan dipresentasikan dalam bentuk koefisien
elastisitas yang didefinisikan sebagai suatu angka penunjuk yang menggambarkan sampai
seberapa besar perubahan jumlah barang yang diminta dibandingkan dengan perubahan
harga. Nilai koefisien elastisitas secara absolut berkisar antara nol dan tak terhingga.
Elastisitas nol apabila perubahan harga tidak akan mengubah jumlah yang diminta. Elastisitas
nol disebut juga tidak elastis sempurna. Koefisien elastisitas permintaan bernilai tak terhingga
apabila pada suatu harga tertentu pasar sanggup membeli semua barang yang ada. Koefisien
elastisitas yang tak terhingga ini disebut elastis sempurna. Elastisitas lainnya yang dianggap
sempurna adalah elastisitas dengan nilai sama dengan satu, yang disebut elastisitas uniter,
dimana perubahan harga akan selalu sama dengan perubahan permintaan.
Suatu permintaan bersifat tidak elastis apabila koefisien elastisitas permintaannya
berada diantara nol dan satu. Hal ini berarti prosentase perubahan harga lebih besar daripada
prosentase perubahan jumlah barang yang diminta. Sedangkan permintaan yang bersifat
elastis terjadi apabila permintaan mengalami perubahan dengan prosentase yang melebihi
prosentase perubahan harga. Nilai koefisien elastisitas permintaan yang bersifat elastis adalah
lebih besar dari satu.
Dalam Rahardja dan Manurung (1999) disebutkan bahwa Elastisitas pendapatan
mengukur berapa persen permintaan terhadap suatu barang berubah bila pendapatan berubah
sebesar satu persen. Untuk barang-barang normal, kenaikan pendapatan konsumen dapat
menyebabkan kenaikan permintaan. Terdapat hubungan yang searah antara perubahan
pendapatan dengan perubahan jumlah barang yang diminta, sehingga nilai koefisien elastisitas
pendapatan untuk barang-barang normal adalah positif. Pada barang-barang inferior, terjadi
pengurangan permintaan apabila pendapatan meningkat, sehingga nilai koefisiennya adalah
negatif.
Dalam Rahardja dan Manurung (1999), elastisitas permintaan silang merupakan suatu
koefisien yang menunjukkan besarnya perubahan permintaan suatu barang jika terjadi
perubahan terhadap harga barang lain. Barang Substitusi mempunyai elastisitas silang positif.
Bila harga barang substitusi naik, maka akan naik pula permintaan barang substitusinya.
Sebaliknya bila kedua barang mempunyai hubungan komplemen, nilai elastisitas silangnya
adalah negatif.
4
II.7. Tinjauan Penelitian Terdahulu
5
Tabel 2.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu (Lanjutan)
6
Tabel 2.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu (Lanjutan)
7
Tabel 2.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu (Lanjutan)
8
Dari beberapa penelitian diatas, terlihat bahwa banyak peneliti yang menggunakan AIDS.
Namun tidak semua melakukan perlakuan dalam mengatasi masalah bias simultan, selectiviti bias,
serta contemporeneaus correlation. Dalam penelitian Moeis (2003) telah dilakukan perlakuan untuk
mengatasi ketiga permasalahan tersebut dengan menggunakan data Indonesia tahun 1996 dan
1999. Dalam penelitian ini akan diterapkan dengan metoda yang sama namun dengan data Jawa
Barat tahun 2005. Karena keterbatasan, penelitian ini tidak dilakukan perlakuan untuk mengatasi
contemporeneaus correlation, tetapi diselesaikan masalah heteroskedastik.
Analisa permintaan makanan di Jawa Barat tahun 1999 pernah diteliti oleh Rahmi (2001),
namun tidak dilakukan perlakuan dalam mengatasi bias simultan, selectivity bias, dan
heteroskedastik Demikian juga pemilahan kelompok makanan dalam penelitian tersebut tidak
spesifik kepada beras. Selain itu, dalam penelitian Rahmi (2001) juga mempunyai kelemahan
seperti disebutkan dalam tesisnya bahwa tingkat pendapatan yang dianalisa hanya untuk makanan
saja, harga implisit yang digunakan diperoleh dengan membagi pengeluaran dengan jumlah unit
yang dikonsumsi atau yang disebut unit value, serta tidak memasukkan adult equivalent dalam
perhitungan permintaan makanan.
Kelemahan dalam penelitian Rahmi (2001) tersebut telah dilakukan dalam penelitian ini.
Pendapatan yang dianalisa dalam penelitian ini meliputi pendapatan yang digunakan untuk
makanan dan non makanan. Variabel harga yang digunakan tidak lagi berupa unit value yang
diperoleh dari pembagian pengeluaran dengan jumlah unit yang dikonsumsi, namun dengan
instrumenting harga. Variabel adult equivalent juga dimasukkan dalam penelitian ini.
Penelitian yang dilakukan Sabrina (2006) seperti telah disebutkan diatas, menghasilkan
kelompok padi/umbi merupakan barang giffen, hal ini kemungkinan disebabkan parameter yang
dihasilkan masih bias. Penelitian yang menggunakan data Susenas 2002 Propinsi Sumatera Barat
tidak dilakukan perlakuan untuk mengatasi bias simultan, dan selectivity bias. Kemungkinan lain,
dalam pengelompokan padi/umbi yang dilakukan dalam penelitian Sabrina (2006) terdapat jenis
makanan yang sangat inferior sehingga mempengaruhi jenis makanan dalam kelompok tersebut
secara keseluruhan. Seperti telah disebutkan diatas, dalam penelitian ini diselesaikan masalah bias
simultan, dan selectivity bias. Demikian juga pengelompokan makanan tidak lagi berupa padi/umbi,
tetapi khusus beras. Metode yang dipakai dalam penelitian ini akan dijelaskan dalam Bagian III.
Daerah yang diteliti adalah Propinsi Jawa Barat dan data yang digunakan untuk
mengestimasi permintaan adalah data pengeluaran konsumsi rumahtangga dalam satu minggu,
berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2005
dengan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) modul Konsumsi. Sedangkan data karakteristik
rumahtangga menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Kor yang dilakukan
BPS pada tahun 2005, serta data fasilitas transportasi dari survei Potensi Desa (Podes) 2006 yang
tidak lain adalah data yang ada di kelurahan/desa pada tahun 2005.
Susenas merupakan survei yang dirancang untuk mengumpulkan data sosial
kependudukan yang relatif sangat luas. Data yang dikumpulkan antara lain menyangkut bidang-
bidang pendidikan, kesehatan/gizi, perumahan, sosial ekonomi lainnya, kegiatan sosial budaya,
konsumsi/pengeluaran dan pendapatan rumahtangga, perjalanan, dan pendapat masyarakat
mengenai kesejahteraan rumahtangganya. Sejak tahun 1992, setiap tahun dalam Susenas
tersedia perangkat data yang dapat digunakan untuk memantau taraf kesejahteraan masyarakat,
merumuskan program pemerintah yang khusus ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan
sektor-sektor tertentu dalam masyarakat, dan menganalisis dampak berbagai program peningkatan
kesejahteraan penduduk (BPS, 2005).
BPS melakukan survey ini setiap tahun dan menggunakan proportional random sampling
pada saat memilih sampel rumahtangga, pada daerah survey yang disebut Blok Sensus.
9
Penentuan Blok Sensus ini didasarkan pada stratified sampling design. Pada rumahtangga yang
terpilih sampel, petugas BPS melakukan wawancara langsung dengan kuesioner yang telah
disediakan. Pertanyaan dijawab oleh kepala rumah tangga atau anggota rumahtangga yang
berumur 10 tahun ke atas. Ada beberapa pertanyaan yang sifatnya individu dan ada pertanyaan
yang hanya untuk anggota rumahtangga yang berumur 10 tahun keatas, dan ada pula yang
ditujukan untuk keseluruhan rumahtangga.
Walaupun Susenas dilakukan setiap tahun, namun pertanyaan rinci tentang pengeluaran
rumahtangga hanya dikumpulkan tiga tahun sekali. Survey ini disebut Susenas-Modul-Konsumsi,
dimana unit observasi adalah rumahtangga. Jumlah item pengeluaran rumahtangga dibagi ke
dalam lebih dari 200 komoditi makanan dan 100 komoditi bukan makanan. Kepala rumahtangga
diwawancarai tentang konsumsi makanan selama seminggu sebelum survey dan tentang komoditi
bukan makanan selama satu bulan dan satu tahun sebelum survey. Informasi ini digunakan dalam
penghitungan jumlah serta nilai pengeluaran masing-masing komoditi pada rumahtangga yang
disurvey.
Disamping pengeluaran dan pendapatan, ada beberapa data yang dikumpulkan yang
menggambarkan kondisi sosial demografi rumahtangga yang dilihat dari karakteristik individu
anggota rumahtangga. Tempat tinggal rumahtangga, jumlah anggota rumahtangga, sumber
pendapatan rumahtangga, jumlah balita, umur, jenis kelamin, lama sekolah, jenis pekerjaan, dan
karakteristik sosial demografi rumah tangga yang lain. Data karakteristik rumahtangga ini
dikumpulkan dalam Susenas-Kor dan ditanyakan kepada seluruh anggota rumahtangga dan
dilakukan setiap tahun.
Di samping itu, juga akan diteliti data yang berisi infrastruktur dan karakteristik desa yang
lain, yang didapat dari Podes, singkatan dari ”Potensi Desa”. Dari Podes tersebut dapat diperoleh
data tentang fasilitas standar dan kondisi desa yang tercakup dalam pertanyaan yang dikumpulkan,
seperti jumlah sekolah, pasar, sambungan listrik, alat komunikasi, bank, fasilitas publik seperti
pemadam kebakaran, transportasi, taman, pembuangan sampah dan data lainnya.
Variabel ini dinyatakan dalam fasilitas dummy variabel, yang nilainya sama untuk seluruh
rumahtangga yang tinggal di desa/kelurahan yang sama. Dummy variabel ini mencerminkan akses
desa ke infrastruktur transportasi darat saat survey. Misalnya, Dtrans bernilai 1 jika desa dapat
mempunyai akses menggunakan fasilitas infrastruktur tersebut dan 0 bila tidak. Data Podes
tersebut digabungkan dengan data Susenas dengan kode desa yang sama. Karena Susenas dan
Podes dikumpulkan oleh BPS, maka kode-kode daerahnya sama. Semua desa yang disurvey
dengan Susenas disurvey pula dengan Podes.
Jadi, dalam penelitian ini akan digunakan kedua survey Susenas, yaitu Susenas-Modul
dan Susenas-Kor serta survey PODES. Untuk kemudian dianalisa secara cross-section.
BPS mengklasifikasi konsumsi makanan di dalam Susenas Kor ke dalam 14 kelompok,
yaitu padi-padian, umbi-umbian, ikan/udang/cumi/kering, daging, telur dan susu, sayur-sayuran,
kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, bahan minuman, bumbu-bumbuan, konsumsi
lainnya, makanan dan minuman jadi, tembakau dan sirih. Namun dalam Susenas-modul Konsumsi
penggolongan ini dirinci lebih kecil lagi, hingga lebih dari 200 kelompok.
Dalam penelitian ini, dari 200 lebih komoditi makanan di dalam Susenas-Modul,
dikelompokkan kedalam 4 kelompok makanan dan 1 kelompok non makanan. Kelompok beras
dan produksi makanan dari beras menjadi sorotan utama. Dari penggolongan tersebut akan diteliti
faktor yang mempengaruhi permintaan beras, sehingga didapatkan barang substitusi dari beras
untuk selanjutnya diharapkan dapat dikembangkan di Propinsi Jawa Barat, sehingga masyarakat
Jawa Barat tidak terlalu tergantung kepada beras.
Pengelompokan makanan yang dilakukan dalam penelitian ini seperti halnya dilakukan
oleh Moeis (2003) dengan penyederhanaan yang diharapkan dapat mengidentifikasi kelompok
makanan yang diduga berfungsi sebagai substitusi dari beras.
Tabel 3.1.Klassifikasi Komoditas (Jenis Makanan)
10
No Golongan Jenis Makanan
1. Beras dan hasil Beras lokal, kualitas unggul, impor, beras ketan,
produksinya tepung beras
2. Ketela Ketela pohon/singkong, ketela rambat/ubi jalar,
gaplek, tepung gaplek(tiwul), tepung tapioka
3. Kentang, jagung, talas Jagung basah dengan kulit, jagung pipilan/beras
jagung, maizena, talas/keladi, kentang,
4. Lainnya Tepung terigu dan lainnya, sagu, dan umbi-umbian
lainnya, ikan/udang/ cumi/kerang, daging, telur dan
susu, sayur-sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan,
minyak dan lemak, bahan minuman, bumbu-bumbuan,
konsumsi lainnya, makan dan minuman jadi,
tembakau dan sirih
5. Bukan Makanan Perumahan, barang dan jasa, pakaian, pajak dll.
Sumber : Susenas, BPS (Dikelompokkan)
Model yang akan dikembangkan ini, diarahkan untuk mengatasi tiga hal, yaitu :
simultaneity bias, selectivity bias, dan heteroskedastik. Dalam penelitian Moeis (2003) disebutkan
bahwa variabel bebas dan tidak bebas mempunyai hubungan secara simultan. Kondisi ini
disebabkan karena unit value sebagai variabel bebas bukanlah harga yang sebenarnya. Unit value
diperoleh dari hasil pembagian antara pengeluaran rumahtangga untuk kelompok makanan
tertentu dengan jumlah unitnya. Sedangkan budget share sebagai variabel tidak bebas diperoleh
dari hasil pembagian antara pengeluaran rumahtangga untuk kelompok makanan tertentu dengan
pengeluaran total rumahtangga. Variabel bebas dan variabel tidak bebas mengandung unsur
pengeluaran rumahtangga. Suatu persamaan yang mengandung bias simultan jika digunakan
dalam ordinary least square akan menghasilkan estimator yang bias.
Bias simultan ini diatasi dengan istrumen variabel dengan mengoreksi unit value dengan
mempertimbangkan pengaruh kualitas barang yang dibeli (Cox dan Wohlgenant, Heien and
Wessells, 1990; Domdora, 1991 dalam Moeis, 2003) dan jumlah barang yang dibeli (Rao, 2000
dalam Moeis, 2003).
Selectivity Bias disebabkan oleh beberapa rumahtangga tidak mengkonsumsi kelompok
makanan tertentu, sehingga pengeluaran terhadap kelompok tersebut bernilai nol. Kondisi ini
menyebabkan budget share untuk beberapa rumahtangga juga bernilai nol. Artinya rumahtangga
tersebut tidak mengkonsumsi kelompok makanan tertentu kemungkinan disebabkan oleh : (a)
rumahtangga sedang ber diet, misalnya rumahtangga yang menderita diabetes melitus tidak
mengkonsumsi nasi, (b) rumahtangga memang tidak menyukai atau (c) referensi periode survey
konsumsi pangan yang pendek (1 minggu), sehingga dalam 1 minggu tersebut
rumahtangga kebetulan tidak mengkonsumsi jenis makanan beras.
Dengan mengelompokkan komoditi makanan, masalah ini dapat diminimalkan. Seperti
pada pengelompokan diatas, bahwa komoditi makanan yang lebih dari 200 jenis dikelompokkan
menjadi 4 kelompok. Namun bila sudah dilakukan pengelompokan masih terdapat rumahtangga
yang dengan budget share bernilai nol, maka perlu diberikan perlakuan khusus.
Untuk mengatasi selectivity bias dalam penelitian ini ditambahkan variabel bebas yang
dinamakan Invers Mill’s Ratio yang diperoleh dengan melakukan estimasi probit (konsumsi dan
tidak konsumsi).
11
Dalam penelitian ini digunakan estimasi OLS untuk mengestimasi sistem persamaan.
Persamaan yang baik dikatakan harus memenuhi asumsi homoskedastisitas. Menurut Manurung
dan Saragih (2005) bahwa asumsi homoskedastisitas dari disturbance term error adalah selisih
atau spread (scedasticity) sama atau equal (homo) atau varians sama ( σ 2 ). Adapun penyebab
varians antar variabel tidak sama dalam penelitian ini antara lain : pertama, rumahtangga
berpendapatan tinggi cenderung menunjukkan rata-rata konsumsi lebih tinggi daripada rata-rata
konsumsi rumahtangga pendapatan rendah, kedua akibat pencilan suatu data observasi tertentu
atau outliers, yaitu beberapa pengamatan yang mempunyai perbedaan besar dengan pengamatan
lainnya. Untuk mengatasi masalah heteroskedastik dalam penelitian ini digunakan koreksi standard
error yang diestimasi dengan Robust.
Tahapan estimasi dimulai dengan mengkoreksi unit value terhadap quantity premium dan
quality effect. Konsumsi rumahtangga mengasumsikan bahwa semua rumahtangga membeli
barang pada pasar yang sama dengan harga eceran yang sama untuk jenis barang tertentu.
Dalam penelitian ini mengasumsikan bahwa harga pasar tidak bervariasi dalam satu desa dalam
satu periode survey
Quantity premium terjadi karena rumahtangga membeli barang dengan jumlah yang
berbeda. Rumahtangga miskin mempunyai lebih banyak keterbatasan, maka pembelian pada
barang tertentu sangat sedikit jumlahnya, sehingga harga per unitnya lebih mahal. Quality effect
terjadi karena rumahtangga membeli barang dengan kualitas yang berbeda, sehingga harga per
unitnya juga berbeda.
Penyebab perbedaan harga yang dibeli konsumen akibat perbedaan jumlah dan kualitas
yang dibeli diduga disebabkan oleh variabel sosial demografi rumahtangga. Dalam penelitian ini
diasumsikan bahwa karakteristik sosial demografi rumahtangga mencerminkan proksi dari
preferensi rumahtangga yang tidak bisa diobservasi dari kualitas dan jumlah barang yang dibeli
rumahtangga yang tidak mengkonsumsi kelompok makanan tertentu. Secara empirik didekati
dengan karakteristik sosial demografi rumahtangga.
Dalam penelitian ini digunakan total pengeluaran rumahtangga (Etotalh), dan karakteristik
sosial demografi rumahtangga (Shi),. Mengikuti Cox dan Wohlgenant (1986), Domdom (1991),
Deaton (1996), dan Rao (2000), dalam Moeis (2003) digunakan estimasi least square untuk
mengestimasi dengan persamaan berikut :
I
LDVgvh = α 1g + α 2 g ln(Etotal h ) + ∑ α 3gi S hi + μ g , ∀g ..................................................(3.1)
i =1
Dimana LDVgvh adalah logaritma natural dari unit value deviasi dari daerah tempat tinggal
(Desa) ke-v; h = 1,2,....H adalah indeks dari rumahtangga; g = 1,2.....10 adalah indeks dari
kelompok komoditi dan i = 1,2 ...I adalah indeks dari variabel sosial demografi, μ g adalah error.
Deviasi unit value dihitung sebagai deviasi dari unit value rata-rata dalam desa
atau
LDVgvh = ln(Vgvh ) − ln(rgv+ ), .............................................................................(3.2)
dimana Vgvh adalah unit value komoditi kelompok ke-g yang dibayar oleh rumahtangga ke-h pada
daerah ke-v, dan rgv+ adalah unit value rata-rata di seluruh daerah ke-v. Semua rumahtangga yang
mempunyai pengeluaran untuk masing-masing kelompok komoditi digunakan dalam estimasi ini.
Dari parameter yang dihasilkan berdasarkan regresi persamaan (3.1.) dan (3.2.) digunakan
^
persamaan (3.3) di bawah ini untuk mendapatkan LD V gvh
^ I
LDVgvh = α 1g + α 2 g ln(Etotal h ) + ∑ α 3gi S hi + μ g , ∀g ..............................................(3.3)
i =1
12
Setelah penghitungan dengan persamaan (3.3), semua rumahtangga baik yang
^
mengkonsumsi maupun yang tidak mengkonsumsi mempunyai nilai LDVgvh . Dengan
^
didapatkannya nilai LDVgvh dapat dilanjutkan penghitungan instrumen variabel harga.
Selanjutnya dilakukan instrumenting variabel harga. Untuk rumah tangga yang memang
ada pengeluaran dalam komoditas tertentu dirumuskan secara singkat sebagai :
^
ln (Eh gvh ) = ln (Vgvh ) − LD V gvh ; ∀g dimana Vgvh ≠ 0 ...........………..........………(3.4)
Untuk rumahtangga yang tidak punya pengeluaran pada komoditas tertentu nilai nya
diestimasi dengan persamaan di bawah ini
^
ln (Eh gvh ) = ln (r gv+ ) − LD V gvh ; ∀g dimana Vgvh = 0 …………........….........………(3.5)
dimana Eh gvh adalah sebuah variabel harga instrumental untuk kelompok ke-g di daerah ke-v dan
rumahtangga ke-h. Nilai dari estimasi harga atau Eh gvh dituliskan sebagai berikut :
Eh gvh = e
ln( Eh gvh )
..........................................................................................................(3.6)
Setelah perlakuan tersebut, dalam penelitian ini didapatkan estimasi harga baik
rumahtangga yang mengkonsumsi maupun yang tidak mengkonsumsi kelompok makanan.
Dengan Instrumental variabel (Ehgh), yang akan dipakai untuk estimasi fungsi probit dan
persamaan budget share.
Dalam penelitian ini diasumsikan bahwa rumahtangga memutuskan apa yang dikonsumsi
sebelum menentukan berapa banyak yang akan dikonsumsi. Prosedur estimasi two-step
diterapkan berdasarkan kondisi ini. Pada langkah pertama diestimasikan persamaan seleksi atau
keputusan dan langkah kedua diestimasikan secara regresi dalam persamaan permintaan.
Permintaan adalah fungsi dari harga-harga, pendapatan, dan karakteristik sosial
demografi. Bila ditulis secara matematis :
Dari persamaan Q g∗ ( P1 ........PG , M , S 1 .....S I ) ∀g , .....................................(3.7)
Setelah melalui proses penurunan rumus (lihat Moeis, 2003) didapatkan persamaan budget share
dengan AIDS sebagai berikut :
[ ]
K
Wg = β1g + β 2g [ln(X) − ln(P)] + ∑ β 2 gk ln(P) + ε g , ∀g ..............................................(3.8)
k =1
untuk setiap kelompok makanan, atau bisa ditulis secara lebih singkat bahwa budget share adalah
fungsi dari Y, seperti dalam persamaan di bawah ini.
I
Wgh = ∑ (β gi Yghi ) + ε gh ; ∀g .……………………...........……….......……....(3.9)
i =1
dimana Wgh adalah budget share konsumsi dari rumahtangga ke-h untuk kelompok komoditi ke-g.
Yghi adalah variabel bebas ke-i dari rumahtangga ke-h kelompok makanan ke-g. β gi adalah
parameter yang dapat dari estimasi dan εgh adalah random error, dimana
ε gh ~ Normal( 0 ,σ 2 1 ) .
Budget share (Wgh) adalah hasil observasi. Ada dua kemungkinan, bahwa rumahtangga
mengkonsumsi jenis komoditi tertentu (positif) atau tidak mengkonsumsi (nol), kemudian dibentuk
dummy variabel Cwgh, dimana :
⎧1 jika Wgh > 0
CWgh = ⎨ , ∀g ..…………………………........….…...(3.10)
⎩0 jika Wgh = 0
CWgh memperlihatkan dependen variabel pada fungsi probit
13
J
CWgh = ∑ ( γ gj Z ghj ) + ζ gh , ∀g …………………………………..........….(3.11)
j=1
Dimana Zghj adalah regresor ke-j, rumahtangga ke-h, kelompok makanan ke-g, γ gj adalah
parameter, dan ζgh adalah residual. Dependent variabel CWgh adalah dummy variabel, dimana
CWgh=1 jika rumahtangga ke-h mengkonsumsi kelompok komodity ke-g, dan nol untuk yang tidak
mengkonsumsi. Persamaan (3.9), (3.10), (3.11) ketiga-tiganya adalah bentuk probit censored
demand system. Persamaan (3.9) disebut regresi atau persamaan level, dan persamaan (3.11)
disebut persamaan selection. Sistem ini adalah multivariate generalization dari Ameniya’s (1985)
dengan Heckman Model, Heckman (1976) sistem censored.
Hein dan Wessells (1990) dalam Moeis (2003), mengajukan modifikasi dari Heckman
(1976 dan 1979) dengan two step estimation dari persamaan (3.9), (3.10), (3.11). Metode H-W
mengimplikasikan conditional expectation dari Wgh dengan Wgh>0,
E( Wgh / C gh = 1) = Yh β g + E(ε gh / C gh = 1) = Yh β g + E(ε gh / ζ gh > − Z h γ g ) .................(3.12)
⎢ φ(Z h γ g / σ ) ⎥
E( Wgh / C gh = 1) = Yh β g + σ ⎢ ⎥ , ∀g ………………............(3.13)
⎣⎢ Φ (Z h γ g / σ )⎦⎥
Dimana φ / Φ adalah Inverse Mill’s Ratio (IMR). Didasari hanya pada pengamatan dimana
Wgh nya positif. Persamaan (3.13) memperlihatkan bahwa conditional mean dari Wgh tidak sama
dengan Yh β g seperti pada model linear klasik. Ini menunjukkan bahwa estimasi least square yang
sederhana dari Wgh pada Yh menghasilkan estimasi bias dari parameter β g . Bias ini disebut
censoring atau self-selectivity bias. IMR mempunyai fungsi menghilangkan selectivity bias
tersebut.
IMR dirumuskan secara matematis :
φ gh
Ω gh = , ∀ g , q gh > 0 ………………………………………............(3.14)
Φ gh
Dimana φ gh dan Φ gh adalah probability density function (PDF) dan Cumulative distribution Function
(CDF) dari standar normal. Setelah dapat diestimasi IMR dari semua nilai Wgh, maka dimasukkan
ke dalam persamaan utama dari model AIDS
Permintaan pangan adalah jumlah pangan yang ingin diminta oleh konsumen pada
berbagai tingkatan harga selama periode waktu tertentu. Fungsi permintaan pangan adalah
permintaan pangan yang dinyatakan dalam hubungan matematika dengan faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Faktor utama yang mempengaruhi permintaan pangan rumah tangga adalah
pendapatan rumahtangga, harga komoditas yang bersangkutan, dan harga komoditas lain yang
terkait, serta variabel demografi.
Bentuk umum dari model AIDS adalah sebagai berikut :
⎡X ⎤ K
[ ] [ ]
I
Wg = β1g + β 2 g ln ⎢ h ⎥ + Σ β 3gk ln(Pk ) + Σ β 4 gi (Si ) + β 5g Ω gh + μ g , ∀g ..................(3.15)
⎣ P ⎦ k =1 i =1
Dimana
Wg : Budget share pada kelompok makanan ke-g, g = 1,2,....9
Pk : harga kelompok pangan ke-k k = 1,2….9
X : Pengeluaran pangan
P : Indeks Stone
Si : Variabel demografi ke-i i = 1,2,…..jml variabel Demografi
β : Parameter regressi
Ω gh : Invers Mill’s Ratio (IMR) rumahtangga ke-h dan kelompok makanan ke-g
14
μg : Error
Indeks Stone atau indeks harga didefinisikan :
K
ln(P) = ∑ [Wk ln(Pk )] , ..............................................................................................(3.16)
k =1
Variabel harga yang digunakan adalah instrumen variabel yang sudah menghilangkan
bias simultan. Demikian juga variabel IMR telah diikutkan dalam persamaan untuk menghilangkan
selectivity bias. Untuk menghindari singular varian-covarians matrik satu persamaan perlu
dieliminasi dalam persamaan estimasi permintaan budget share (3.15), yaitu budget share
terhadap non makanan. Selanjutnya, untuk menghilangkan heteroskedastik digunakan Robust.
Setelah didapatkan parameter yang tidak bias simultan, tidak mengandung selectivity bias dan
tidak mengandung heteroskedastik, maka parameter tersebut digunakan untuk menghitung
elastisitas seperti di bawah ini.
Hubungan elastisitas, yaitu perubahan permintaan kelompok makanan tertentu dengan
pendapatan dan harga harga dirumuskan sebagai berikut (lihat Moeis, 2003) :
β 2g
Elastisitas Pendapatan : e g = 1 +
Q X
.......................................................................(3.17)
Wg
β 3 gg
= −1 + − β 2 g .......................................................(3.18)
Q g Pg
Elastisitas Harga Sendiri : e
Wg
β 3 gk β 2g Wk
= −
Q g Pk
Elastisitas Harga Silang : e ........................................................(3.19)
Wg Wg
Variabel yang digunakan dalam model secara keseluruhan dapat dijelaskan sebagi berikut.
Dependent variabel adalah Budget share pada semua kelompok makanan rumah tangga (Wg).
Variabel budget share didapat dari informasi jumlah dan nilai konsumsi di SUSENAS-modul
Konsumsi. Budget share rumah tangga-h untuk kelompok makanan-g (Wgh) dihitung dari :
Ig
Σ Eih
W gh = i =1
G
, ∀g .................................................................................................(3.20)
Σ E gh
g =1
dimana Eih dan Egh adalah nilai pengeluaran rumahtangga ke-h untuk komoditi ke-i dan kelompok
makanan ke-g.
Ada beberapa rumahtangga yang tidak mengkonsumsi salah satu atau beberapa
kelompok makanan. Kondisi ini diatasi dengan mendapatkan nilai pendekatan dari dependent
variabel dengan teknik estimasi persamaan budget share untuk menghindari selectivity bias yang
dihasilkan dengan adanya nilai konsumsi yang nol tersebut.
Dependent variabel lainnya yang diteliti adalah logarithma dari nilai deviasi dari rata-rata
per desa (LDVgvh). Variabel ini didapat dari variabel unit value (Vgh). Unit value dari kelompok
makanan ke-g yang dibayar oleh rumahtangga ke-h dihitung dengan nilai rata-rata unit value dari
komoditi kelompok ke-g , atau secara matematis ditulis :
⎡ ⎤
Ig ⎢
E ⎥
Vgh = ∑ ⎢Vih Igih ⎥ , ∀g ...................................................................................(3.21)
i =1 ⎢ ⎥
ΣE ih
⎢⎣ ⎥
i =1 ⎦
dimana unit value dari komoditi ke-i yang dibayar oleh rumahtangga ke-h (Vih) didefinisikan :
E
Vih = ih , ∀i .......................................................................................................(3.22)
Q ih
15
dimana Qih adalah jumlah komoditi ke-i yang dikonsumsi oleh rumahtangga ke h. Untuk kelompok
non makanan tidak dapat mengisikan variabel ini, sehingga unit value sama dengan pengeluaran
itu sendiri atau Vih = Eih.
16
2005 tersebut terjadi kesenjangan yang begitu besar antar rumahtangga yang mempunyai
pengeluaran terkecil dengan rumahtangga yang mempunyai pengeluaran terbesar.
Adult equivalent bernilai satu untuk anggota rumahtangga berumur 13 tahun keatas,
bernilai setengah untuk anggota rumahtangga berumur 7 sampai dengan 12 tahun, dan bernilai
0,25 untuk anggota rumahtangga berumur kurang dari 7 tahun. Adult equivalent dengan nilai
minimal 1 dan terbesar 11,75 dengan rata-rata 3,2345. Nilai 1 ini mempunyai arti bahwa di dalam
rumahtangga tersebut hanya terdiri dari satu rumahtangga dewasa (13 tahun ke atas). Sedangkan
nilai 11,75 mempunyai banyak kemungkinan jumlah anggota rumahtangga, dan rata-rata satu
rumahtangga terdiri dari dua orang dewasa ditambah tiga anak.
17
Tabel 4.1. Deskripsi Statistik dari Variabel Bebas di dalam Model
Kode Definisi Nilai Standar Min Maks
Rata2 Deviasi
Pengeluaran total rumahtangga 1.140.4 1,085.7 84.95 20.800.
Etotal (Rp./Bulan) 12 87 3 000
aduleq Adult equivalent 3,2345 1,2911 1 11,75
rlk0_5 Rasio ART laki-laki umur 0-5 tahun 0,0508 0,1073 0 0,75
rlk6_11 Rasio ART laki-laki umur 6-11 tahun 0,0564 0,1093 0 0,67
rlk12_17 Rasio ART laki-laki umur 12-17 tahun 0,0514 0,1069 0 1
rlk18_34 Rasio ART laki-laki umur 18-34 tahun 0,1407 0,1782 0 1
rlk35_54 Rasio ART laki-laki umur 35-54 tahun 0,1257 0,1493 0 1
rlk55_64 Rasio ART laki-laki umur 55-64 tahun 0,0335 0,1047 0 1
Rasio ART laki-laki umur 65 tahun
rlk65pls keatas 0,0329 0,1186 0 1
rpr0_5 Rasio ART perempuan umur 0-5 tahun 0,0485 0,1053 0 0,67
Rasio ART perempuan umur 6-11
rpr6_11 tahun 0,0551 0,1101 0 0,67
Rasio ART perempuan umur 12-17
rpr12_17 tahun 0,0480 0,1039 0 1
Rasio ART perempuan umur 18-34
rpr18_34 tahun 0,1435 0,1610 0 1
Rasio ART perempuan umur 35-54
rpr35_54 tahun 0,1270 0,1620 0 1
Rasio ART perempuan umur 55-64
rpr55_64 tahun 0,0429 0,1419 0 1
Rasio ART perempuan umur 65 tahun
rpr65pls keatas 0,0436 0,1647 0 1
Ratio ART yang bekerja di sektor
Rtani Pertanian 0,2269 0,3910 0 1
Ratio ART yang bekerja sbg tenaga
Rprof profesional 0,2184 0,3745 0 1
rbekerja Ratio ART yang bekerja 0,4194 0,2481 0 1
Sklist Lama Sekolah Istri (Tahun) 6,1204 4,0195 0 19
Dummy Variabel
Dummy sebagian besar ART bekrja
drprof profesional 0,2580 0,4375 0 1
dkrtlak Dummy KRT Laki-laki 0,8849 0,3191 0 1
dkrtkaw Dummy KRT berstatus Kawin 0,8656 0,3411 0 1
dktani Dummy KRT bekerja di pertanian 0,2347 0,4239 0 1
dkprof Dummy KRT Bekerja sbg Profesional 0,1978 0,3983 0 1
dmiskin Dummy Rumahtangga Miskin 0,1419 0,3489 0 1
Dummy rumahtangga bertempat tinggal
Dkota di kota 0,4971 0,5000 0 1
Dtrans Dummy fasilitas transportasi darat 0,9977 0,0478 0 1
18
Sumber : Susenas 2005, Podes 2006, BPS (Diolah)
Data terdiri dari 6978 rumahtangga sampel rumahtangga
Namun tidak seluruh variabel bebas yang ada di Tabel 4.3. bisa digunakan dalam analisa.
Estimasi Ordinary Least Square mensyaratkan tidak adanya kolinieritas yang tinggi untuk dapat
menduga parameter. Sehingga ada beberapa variabel yang terpaksa harus di hilangkan. Dalam
Manurung dan Saragih (2005) disebutkan bahwa koefisien korelasi antara variabel bebas tidak
boleh melebihi 0,8 bila ingin menghasilkan istimasi parameter yang baik.
19
Selain variabel bebas, variabel tidak bebas juga diambil dari pengolahan Susenas 2005
Propinsi Jawa Barat. Deskripsi data dari variabel tidak bebas terlihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Deskripsi Statistik dari Variabel Tidak Bebas di dalam Model
Nama Variabel dan Definisi Rata2 Std.Dev Min Maks % Nol
wberas Budget share dari Beras 0,1134 0,0722 0 0,5170 1,35
wketela Budget share dari Ketela 0,0034 0,0071 0 0,1109 65,76
wkentang Budget share dari Kentang 0,0028 0,0064 0 0,0732 74,52
wlain Budget share dari Makanan
Lain 0,4522 0,1157 0,0351 0,8286 0
cwberas Probit dari budget share beras,
1 Jika wberas > 0, dan 0 jika
lainnya 0,9865 0,1153 0 1 1,3471
cwketela Probit dari budget share ketela,
1 Jika wketela > 0, dan 0 jika 65,763
lainnya 0,3424 0,4745 0 1 8
cwkentan Probit dari budget share
g kentang,
1 Jika wkentang > 0,dan 0 jika 74,519
lainnya 0,2548 0,4358 0 1 9
Vberas Unit Value dari beras 2.774 789 0 10.000 1,3471
Vketela 65,763
Unit Value dari ketela 321 563 0 6.000 8
Vkentang Unit Value dari 74,519
kentang/Jagung/Talas 872 1.672 0 10.000 9
Vlain Unit Value dari Makanan
Lainnya 1.141 669 191 7.170 0
Vnon 562.58 17.600.0
Unit Value dari Non Makanan 2 827.832 26.167 00 0
Sumber : Susenas 2005 Propinsi Jawa Barat, BPS (Diolah)
Data terdiri dari 6978 rumahtangga sampel rumahtangga
Dari nilai probit budget share rumahtangga pada masing-masing kelompok makanan
terlihat bahwa pada masing-masing kelompok ada rumahtangga yang tidak mengkonsumsinya.
Beras tidak dikonsumsi oleh 1,35 persen rumahtangga, ketela tidak dikonsumsi oleh 65,76 persen
rumahtangga, dan kentang/jagung/talas tidak dikonsumsi oleh 74,52 persen rumahtangga di
Propinsi Jawa Barat 2005. Gambaran ini semakin menguatkan dugaan bahwa kecenderungan
konsumsi beras masyarakat Jawa Barat 2005 masih sangat besar dibandingkan dengan
kecenderungan konsumsi ketela serta kentang/jagung/talas.
Untuk mengatasi masalah bias simultan karena variabel unit value dipengaruhi oleh
pengeluaran dan budget share juga dipengaruhi oleh pengeluaran, maka digunakan instrument
variabel. Variabel tersebut berupa estimasi harga untuk seluruh rumahtangga, baik yang
mengkonsumsi maupun yang tidak mengkonsumsi. Preferensi unit value diduga dipengaruhi oleh
20
karakteristik rumahtangga yang menyebabkan perbedaan unit value yang bisa dibeli rumahtangga.
Unit value tersebut dipengaruhi oleh quantity premium dan quality effect.
Dari rumahtangga yang mengkonsumsi tersebut diperoleh variabel yang mempengaruhi
unit value yang mampu dibeli rumahtangga terhadap kelompok makanan yang dikonsumsi seperti
terlihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3. Estimasi OLS Koreksi dari Quantity Premium dan Quality Effect,
Jawa Barat 2005
Variabel LDV
Kentang/
Bebas Beras Ketela Jagung Lainnya Non Mkn
Konstanta -0.2664*** -0.7356* -0.6603** -2.0912*** -9.0729***
Ltotal 0.0185*** 0.0472*** 0.0375** 0.1463*** 0.5894***
rlk0_5 -0.0007 -0.0218 0.1715 -0.0022 0.1984***
rlk6_11 -0.0688** -0.0528 0.0953 -0.0551 0.2528***
rlk12_17 -0.0098 -0.0186 0.1411 -0.0977* 0.3434***
rlk18_34 -0.0317 -0.0248 0.0870 -0.0496 0.0468
rlk35_54 -0.0010 -0.0962 -0.0024 -0.0235 0.0534
rlk55_64 drop Drop -0.0817 drop drop
rlk65pls -0.0160 0.0161 0.1472 0.0667 0.0907
rpr0_5 -0.0332 -0.1381 0.1252 0.0219 0.1319*
rpr6_11 -0.0280 -0.0192 0.1775 -0.0994* 0.3064***
rpr12_17 -0.0064 0.0779 0.1430 -0.0345 0.4053***
rpr18_34 -0.0251 0.1171 0.1467 0.0400 0.2650***
rpr35_54 -0.0316 0.0764 0.0802 -0.0120 0.3413***
rpr55_64 -0.0391 0.0173 drop 0.0565 0.2133***
rpr65pls -0.0412 0.0675 -0.1831* 0.0459 0.0802
Aduleq -0.0019 -0.0027 -0.0037 -0.0073* 0.0257***
Sklist -0.0002 -0.0007 -0.0044 0.0034** -0.0036**
Rbekerja 0.0081 -0.0227 0.0408 0.0150 0.0085
Dkrtlak 0.0009 0.0428 0.0086 -0.1373*** 0.1374***
Dktani -0.0004 -0.0032 -0.0809*** 0.0144 0.0746***
Dkprof 0.0060 0.0429** 0.0180 0.0251** 0.0485***
Dmiskin 0.0057 0.0065 -0.0424 -0.0076 -0.0231
Dkota -0.0192*** -0.0166 -0.0004 -0.0910** -0.3498***
Dtrans 0.0352 0.0226 0.0331 0.1999*** 0.6000***
Adjusted R2 0.006 0.0048 0.0243 0.0709 0.4746
Sumber : Susenas Propinsi Jawa Barat, 2005, BPS (Diolah)
Keterangan :***, **, * masing-masing signifikan 1, 5, dan 10 persen.
Dari hasil regresi faktor-faktor yang mempengaruhi unit value yang mampu dibeli oleh
rumahtangga masing-masing komoditas diatas diperoleh estimasi harga yang dipengaruhi oleh
variabel-variabel pada Tabel 4.3. Selanjutnya, estimasi harga masing-masing komoditas disajikan
pada Tabel 4.4.
21
Tabel 4.4. Estimasi Harga menurut Golongan Makanan
Jawa Barat, 2005
Terlihat dalam Tabel 4.4. estimasi harga semua rumahtangga baik rumahtangga yang
mengkonsumsi kelompok makanan tertentu ataupun yang tidak mengkonsumsi. Tidak seperti pada
Tabel 4.2.. bila rumahtangga tidak mengkonsumsi kelompok makanan tertentu harganya bernilai
nol.
Hasil estimasi harga dalam Tabel 4.4. diatas digunakan untuk estimasi probit. Estimasi
Probit dengan memberi nilai 1 untuk rumahtangga yang mengkonsumsi masing-masing komoditas,
dan bernilai 0 untuk rumahtangga yang tidak mengkonsumsinya. Rumahtangga mengkonsumsi
atau tidak mengkonsumsi suatu jenis komoditas diduga dipengaruhi pendapatan, harga, dan
variabel sosial demografi lainnya. Hasil regresi tersebut terlihat pada Tabel 4.5.
Konsumsi beras dipengaruhi secara negatif sebesar -0,00016 oleh pendapatan. Bila
pendapatan rumahtangga bertambah maka kemungkinan konsumsi beras akan berkurang.
Semakin tinggi pendapatan rumahtangga, semakin banyak variasi pengeluaran rumahtangga
sehingga mempunyai banyak pilihan konsumsi, sehingga kemungkinan pengeluaran untuk
konsumsi beras berkurang. Selain itu, kemungkinan juga disebabkan oleh pengelompokan beras di
penelitian itu tidak membedakan beras kualitas rendah dan kualitas tinggi. Tidak menutup
kemungkinan rumahtangga dengan pendapatan lebih rendah lebih memilih mengkonsumsi beras
walaupun dengan kualitas rendah.
Estimasi harga beras tidak berpengaruh secara signifikan. Ini mengindikasikan masyarakat
Jawa Barat cenderung mengkonsumsi beras berapapun harganya. Rumahtangga dengan kondisi
ekonomi yang cukup atau berlebih akan memilih beras dengan kualitas bagus, demikian juga
rumahtangga dengan kondisi ekonomi terbatas juga tetap bertahan untuk mengkonsumsi beras
walaupun dengan kualitas rendah.
22
Golongan Makanan 2005
23
Setelah melalui tahapan estimasi probit, tahap selanjutnya adalah pembentukan IMR
dengan menggunakan two step estimation dari Heckman dengan sofware Stata SE Versi 8.0. IMR
untuk kelompok beras, ketela, kentang/jagung/talas signifikan sampai dengan taraf 10 persen.
Estimasi Variabel demografi yang mempengaruhi budget share setelah melalui proses
pembentukan instrumen variabel harga dan probit budget share serta IMR terlihat pada Tabel 4.6.
Untuk menghindari hasil estimasi yang tidak sempurna karena pengaruh heteroskedastik maka
dilakukan regresi dengan Robust.
Setelah variabel IMR masing-masing kelompok makanan ditemukan, dimasukkan ke
persamaan utama LA/AIDS. Dalam regresi dengan variabel terikat berupa budget share beras dan
ketela dan variabel bebas seperti dalam persamaan (3.15.), terjadi colinearity, sehingga variabel
rasio anggota rumahtangga laki-laki berumur 55-64. Sedangkan untuk penghitungan budget share
jagung, untuk menghindari colinearity variabel rasio anggota rumahtangga perempuan berumur 55
sampai dengan 64 tahun.
Pada persamaan budget share makanan lain yang dihilangkan adalah rasio anggota rumahtangga
laki-laki berumur 55 sampai dengan 64 tahun.
Adusted R2 beras sebesar 67,04 persen, artinya 67,04 persen budget share kelompok
beras dapat dijelaskan oleh variabel-variabel bebas dalam model. Sedangkan 42,96 persen
sisanya dipengaruhi oleh variabel lain di luar model. Sebagian besar variabel bebas berpengaruh
secara signifikan terhadap budget share kelompok makanan beras. Dari 29 variabel bebas dalam
model ada 16 variabel berpengaruh signifikan sampai dengan 10 persen.
24
Tabel 4.6. Estimasi Koefisien Budget Share, Kelompok Makanan Jawa Barat 2005
Variabel Beras Ketela Kentang +Jagung + Talas Makanan Lainnya
Bebas
Koefisien SE SE** Prop>t *) Koefisien SE SE** Prop>t *) Koefisien SE SE** Prop>t *) Koefisien SE SE** Prop>t *)
Konstanta 0.3874 0.035 0.035 0.000 0.039 0.015 0.016 0.013 0.0593 0.0153 0.0147 0.000 4.8054 0.0459 0.0490 0.000
lxstone -0.0434 0.002 0.002 0.000 -0.005 0.001 0.001 0.000 0.0083 0.0041 0.0041 0.043 0.1468 0.0020 0.0024 0.000
lehberas 0.0441 0.003 0.003 0.000 -0.003 0.001 0.001 0.014 0.0016 0.0009 0.0009 0.084 -0.0409 0.0034 0.0036 0.000
lehketela -0.0040 0.001 0.001 0.001 0.005 0.000 0.000 0.000 0.0031 0.0007 0.0008 0.000 0.0047 0.0014 0.0015 0.002
lehkentang 0.0028 0.001 0.001 0.031 0.000 0.000 0.001 0.736 -0.0046 0.0024 0.0024 0.056 -0.0013 0.0016 0.0017 0.419
lehlain 0.0018 0.001 0.001 0.184 0.001 0.000 0.001 0.006 0.0049 0.0012 0.0012 0.000 0.0041 0.0017 0.0018 0.021
lehnon -0.0351 0.002 0.002 0.000 -0.002 0.001 0.001 0.002 -0.0105 0.0024 0.0024 0.000 -0.3366 0.0024 0.0031 0.000
rlk0_5 -0.0103 0.007 0.008 0.200 -0.005 0.002 0.002 0.037 -0.0008 0.0025 0.0023 0.747 -0.0312 0.0099 0.0100 0.002
rlk6_11 0.0129 0.007 0.008 0.105 -0.002 0.002 0.002 0.294 -0.0069 0.0026 0.0027 0.010 -0.0943 0.0098 0.0100 0.000
rlk12_17 0.0041 0.008 0.009 0.627 -0.003 0.002 0.002 0.260 -0.0080 0.0032 0.0035 0.022 -0.1795 0.0101 0.0106 0.000
rlk18_34 -0.0044 0.006 0.007 0.515 -0.003 0.002 0.002 0.210 -0.0072 0.0033 0.0038 0.058 -0.0201 0.0081 0.0085 0.019
rlk35_54 0.0014 0.006 0.006 0.813 -0.004 0.002 0.002 0.032 -0.0045 0.0037 0.0043 0.302 -0.0017 0.0074 0.0074 0.817
rlk55_64 Drop Drop Drop Drop Drop Drop Drop Drop 0.0094 0.0041 0.0041 0.023 Drop Drop Drop Drop
rlk65pls 0.0028 0.006 0.007 0.696 0.000 0.002 0.002 0.908 0.0007 0.0038 0.0050 0.896 -0.0274 0.0084 0.0092 0.003
rpr0_5 -0.0057 0.007 0.008 0.494 -0.005 0.002 0.002 0.018 -0.0038 0.0025 0.0025 0.130 -0.0021 0.0100 0.0102 0.839
rpr6_11 0.0176 0.007 0.008 0.034 -0.001 0.002 0.002 0.573 -0.0109 0.0035 0.0038 0.004 -0.1272 0.0098 0.0102 0.000
rpr12_17 -0.0019 0.008 0.009 0.826 0.000 0.002 0.002 0.904 -0.0029 0.0025 0.0028 0.297 -0.1951 0.0103 0.0106 0.000
rpr18_34 -0.0241 0.007 0.008 0.003 0.000 0.002 0.002 0.949 -0.0028 0.0023 0.0028 0.314 -0.0888 0.0093 0.0098 0.000
rpr35_54 -0.0170 0.008 0.010 0.080 0.001 0.002 0.002 0.729 0.0024 0.0021 0.0021 0.260 -0.1437 0.0107 0.0118 0.000
rpr55_64 -0.0157 0.008 0.010 0.115 -0.002 0.002 0.002 0.324 Drop Drop Drop Drop -0.0970 0.0111 0.0122 0.000
rpr65pls -0.0061 0.008 0.009 0.495 0.003 0.002 0.003 0.198 -0.0031 0.0025 0.0030 0.298 -0.0402 0.0101 0.0115 0.000
25
Tabel 4.6. Estimasi Koefisien Budget Share, Kelompok Makanan Jawa Barat 2005 (Lanjutan)
Variabel Beras Ketela Kentang +Jagung + Talas Makanan Lainnya
Bebas *) *) *)
Koefisien SE SE** Prop>t Koefisien SE SE** Prop>t Koefisien SE SE** Prop>t Koefisien SE SE** Prop>t *)
aduleq 0.0119 0.001 0.001 0.000 Drop Drop Drop Drop 0.0003 0.0003 0.0002 0.147 Drop Drop Drop Drop
sklist 0.0000 0.000 0.000 0.973 0.000 0.000 0.000 0.119 0.0008 0.0003 0.0003 0.009 0.0013 0.0002 0.0002 0.000
rbekerja -0.0009 0.002 0.003 0.729 -0.001 0.001 0.001 0.186 -0.0063 0.0017 0.0015 0.000 0.0137 0.0032 0.0036 0.000
dkrtlak -0.0054 0.003 0.003 0.090 Drop Drop Drop Drop -0.0066 0.0024 0.0023 0.004 -0.0602 0.0036 0.0042 0.000
dktani 0.0100 0.001 0.002 0.000 Drop Drop Drop Drop 0.0025 0.0007 0.0007 0.001 -0.0468 0.0019 0.0020 0.000
dkprof -0.0020 0.001 0.001 0.077 Drop Drop Drop Drop -0.0011 0.0006 0.0006 0.051 -0.0147 0.0018 0.0017 0.000
dmiskin 0.0526 0.002 0.002 0.000 0.002 0.001 0.001 0.012 0.0002 0.0011 0.0012 0.843 -0.0826 0.0022 0.0027 0.000
dkota -0.0032 0.002 0.001 0.031 Drop Drop Drop Drop 0.0059 0.0022 0.0022 0.008 0.1343 0.0020 0.0021 0.000
dtrans -0.0331 0.011 0.006 0.000 Drop Drop Drop Drop -0.0165 0.0057 0.0054 0.002 -0.2369 0.0140 0.0103 0.000
IMR -0.0442 0.009 0.008 0.000 -0.003 0.002 0.002 0.085 0.0336 0.0119 0.0124 0.007 NA NA NA NA
26
Dari estimasi koefisien yang mempengaruhi budget share, dapat dihitung nilai elastisitas,
baik elastisitas pendapatan dan elastisitas harga. Dalam Tabel 4.7. diperlihatkan dari hasil regresi
kemudian dihitung dengan model LA/AIDS.
Tabel 4.7. Elastisitas Pendapatan dan Harga, Kelompok Makanan
Propinsi Jawa Barat 2005
27
Bila terjadi kenaikan/penurunan harga sebesar 1 persen, akan terjadi penurunan/kenaikan
permintaan kentang/jagung/talas sebesar 2,668 persen. Masyarakat Jawa Barat belum tergantung
pada kelompok kentang/jagung/talas ini.
Seperti halnya kelompok kentang/jagung/talas, kelompok makanan lainnya juga
mempunyai hubungan elastis antara permintaan dan harga sendiri dari kelompok makanan ini.
Nilai elastisitas sebesar 1,138 berarti bila terjadi kenaikan/penurunan harga kelompok makanan
lainnya sebesar 1 persen akan terjadi penurunan/kenaikan permintaan kelompok makanan lainnya
sebesar 1,138 persen. Interpretasi yang sama diduga menjadi alasan bahwa kelompok makanan
lainnya disini belum menjadi makanan pokok masyarakat Jawa Barat 2005.
Berbeda dengan ketiga kelompok diatas yang digolongkan ke dalam barang normal,
kelompok makanan ketela mempunyai nilai elastisitas pendapatan negatif, yaitu sebesar -0,338
dan elastisitas harga sendiri positif, yaitu sebesar 0,435. Kelompok ketela di Jawa Barat 2005
tergolong barang sangat inferior atau disebut juga barang giffen. Semakin kecil pendapatan
semakin tak berdaya semakin besar permintaan terhadap ketela ini. Argumen yang memperkuat
dugaan bahwa ketela adalah barang giffen di Jawa Barat adalah nilai positif dari parameter dummy
variabel miskin. Rumahtangga miskin di Jawa Barat 2005 mempunyai kecenderungan
mengkonsumsi ketela 0,2 persen lebih besar dibandingkan dengan rumahtangga tidak miskin.
Elastisitas silang antar kelompok makanan signifikan sampai dengan taraf 10 persen.
Elastisitas silang antara permintaan beras yang menunjukkan nilai positif adalah harga
kentang/jagung/talas. Nilai positif sebesar 0,025 menunjukkan bahwa kentang/jagung/talas
merupakan kelompok makanan yang berfungsi sebagai pengganti beras. Meskipun nilai
elastistasnya kecil, namun kelompok kentang/jagung/talas mempunyai potensi untuk
dikembangkan menjadi makanan pengganti beras.
Kondisi sebaliknya juga ditunjukkan oleh elastisitas permintaan kentang/jagung/talas
terhadap harga beras yang bernilai positif. Apabila terjadi kenaikan harga beras, masyarakat Jawa
Barat akan beralih ke kelompok kentang/jagung/talas. Elastisitas permintaan jagung terhadap
harga beras sebesar 0,245 memberi arti bahwa bila harga beras naik 1 persen maka permintaan
kentang/jagung/talas naik sebesar 0,245 persen.
Karena penelitian ini ingin melihat permintaan beras, maka yang dikaji lebih jauh adalah
elastisitas silang antara permintaan beras dengan harga barang substitusinya yaitu kelompok
kentang/jagung/talas. Kecilnya nilai elastisitas harga kentang/jagung/talas terhadap permintaan
beras diduga karena kurang menariknya makanan yang berasal dari kentang/jagung/talas.
Tidak mudah memang mengubah pola konsumsi masyarakat yang cenderung ke
kelompok beras untuk beralih ke kentang/jagung/talas. Perlu inovasi untuk membuat menu yang
menarik dengan rasa khas untuk dikonsumsi. Inovasi tersebut misalnya jagung dibuat sereal,
kripik, dan sebagainya.
Inovasi membuat menu makanan sehari hari, tidak terlepas dari peran istri dalam
rumahtangga. Istri sebagai pengatur menu rumahtangga bisa berinovasi apabila mempunyai
pengetahuan yang cukup. Hal ini dibuktikan dengan nilai parameter dari lama sekolah istri yang
mempunyai pengaruh positif 0,0008 terhadap perubahan budget share kelompok
kentang/jagung/talas ini.
Semakin tinggi pendidikan istri, semakin tinggi pula pengetahuan dalam mengatur menu
makanan rumahtangga. Dengan olahan yang beraneka ragam sehingga menyebabkan naiknya
permintaan kelompok kentang/jagung/talas tersebut.
28
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Tidak semua rumahtangga Propinsi Jawa Barat 2005 mengkonsumsi kelompok makanan
beras, ketela, dan kentang/jagung/talas. Namun semua rumahtangga mengkonsumsi makanan
lainnya dan non makanan. Rumahtangga yang tidak mengkonsumsi kelompok makanan dari beras
sebanyak 1,35 persen, kelompok makanan dari ketela sebanyak 65,76 persen, dan kelompok
kentang/jagung/talas sebesar 74,52 persen.
Penentuan Budget Share diperoleh dengan menambahkan variabel Invers Mill’s Ratio
(IMR) untuk menghilangkan selectivity bias akibat rumahtangga yang tidak mengkonsumsi
kelompok makanan tertentu. IMR signifikan untuk ketiga kelompok, yaitu beras, ketela dan
kentang/jagung, namun tidak bisa dihitung nilainya pada kelompok makanan lainnya.
Dari perhitungan budget share dengan menggunakan persamaan LA/AIDS diperoleh nilai
elastisitas masing-masing kelompok makanan baik terhadap pendapatan maupun terhadap harga
masing-masing kelompok makanan. Elastisitas permintaan beras bila dilihat dari harga-harga
kelompok makanan yang lain, yang menunjukkan nilai positif 0,025 dan signifikan adalah kelompok
kentang/jagung/talas. Dapat disimpulkan bahwa kelompok kentang/jagung/talas merupakan
substitusi dari beras.
Kecilnya nilai elastisitas tersebut diduga kerena selera masyarakat masih cenderung
mengkonsumsi beras daripada kentang/jagung/talas. Walaupun kecil, kelompok makanan
kentang/jagung/talas ini potensial untuk dikembangkan di Propinsi Jawa Barat.
Selera masyarakat Propinsi Jawa Barat yang masih cenderung konsumsi beras harus
disiasati agar tertarik untuk mengkonsumsi makanan yang berasal dari kentang/jagung/talas.
Penyajian menu makanan yang bervariasi dapat ditunjang oleh pengetahuan istri sebagai pengolah
makanan di rumahtangga agar bisa membangkitkan selera untuk mengkonsumsi kelompok
kentang/jagung/talas. Pengetahuan istri tercermin dari lama sekolah istri. Parameter dari variabel
lama sekolah istri menunjukkan korelasi positif 0,0008 terhadap kenaikan budget share
rumahtangga terhadap konsumsi kelompok makanan kentang/jagung/talas.
Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa bahan makanan substitusi dari beras
adalah kantang/agung/talas. Beberapa langkah dapat direkomendasikan. Pertama, mendorong
petani untuk memperbanyak produksi kentang/jagung/talas, sehingga dengan bertambahnya
supply kentang/jagung/talas maka harga kentang/jagung/talas akan turun, selanjutnya menurunkan
permintaan beras. Mendorong petani bisa dalam bentuk moral maupun material. Dengan moral
bisa dilakukan dengan penyuluhan lewat kepala desa, kelompok tani, ataupun pertemuan-
pertemuan di RT/RW. Sedangkan dorongan material bisa dalam bentuk subsidi bibit, pupuk,
pembasmi hama, membantu pemasaran dsb.
Kedua, peningkatan suply kelompok makanan kentang/jagung/talas bisa juga dalam
bentuk bantuan pengolahan makanan pasca panen. Karena kelompok makanan tersebut tidak
tahan lama bila tidak dilakukan pengolahan dengan baik. Dengan pengolahan makanan kelompok
kentang/jagung/talas tersebut diharapkan suply terjamin, harga tidak mahal dan selanjutnya dapat
meningkatkan konsumsi kelompok kentang/jagung/talas.
Ketiga, dari sisi konsumen perlu juga diberi pengarahan agar tidak terlalu tergantung
kepada beras sebagai makanan pokok. Masih ada jagung yang bisa dijadikan alternatif, sehingga
permintaan beras bisa lebih elastis terhadap harga beras itu. Penyuluhan ini bisa dalam bentuk
formal maupun non formal. Dalam bentuk formal misalnya dalam kurikulum mulai Sekolah Dasar,
siswa sudah dikenalkan dengan program diversifikasi pangan tersebut agar kelak bila sudah
dewasa bisa mempunyai wawasan yang luas dan mengurangi ketergantungan kepada beras.
29
Dengan jalur non formal bisa lewat pertemuan di kelurahan, RT/RW, lewat pengajian, radio,
televisi, dsb.
Bila dari sisi suply makanan pengganti beras sudah cukup, harga relatif rendah ditambah
dengan kesadaran tanpa harus menyandarkan hidup pada beras, maka permintaan beras bisa
ditekan. Berkurangnya permintaan beras ini penting artinya bagi perekonomian, sehingga tidak
terlalu banyak impor beras.
Untuk mengembangkan variasi makanan dari kentang/jagung/talas, agar masyarakat bisa
tertarik untuk mengkonsumsinya. Pengembangan variasi makanan dari bahan dasar
kentang/jagung/talas tersebut antara lain lewat peningkatan pengetahuan istri. Dengan
pengetahuan istri yang meningkat diharapkan dapat menyajikan menu makanan yang berasal dari
kentang/jagung/talas dengan lebih menarik untuk dikonsumsi.
Banyak variasi makanan yang berasal dari kentang/jagung/talas ini agar lebih menarik
untuk dikonsumsi. Kentang bisa dibentuk kripik kentang, stick, dsb. Demikian juga jagung bisa
dibentuk sereal yang siap saji, pop corn, dsb. Sedangkan talas bisa dibuat kripik, serta lainnya.
Makanan tersebut yang sudah biasa ada di masyarakat, tidak menutup kemungkinan ada inovasi
baru dalam penyajian makanan tersebut.
Ada beberapa keterbatasan dalam penelitian ini pertama, pendapatan didekati dengan
pengeluaran, karena estimasi pendapatan yang ada kurang dapat dipercaya jika digunakan dalam
konsumsi. Kedua, dalam penelitian ini hanya dianalisa permintaan beras ditinjau dari dampak
perubahan harga beras dan barang yang diduga menjadi substitusi kelompok beras tersebut yang
dikelompokkan dalam 3 kelompok besar yaitu ketela, kentang dan makanan lainnya, dan non
makanan. Pengelompokan ini menentukan sekali, sehingga dalam penelitian ini tidak bisa melihat
pengaruh permintaan beras dari pengaruh makanan yang lebih detail. Ketiga, harga dari komoditas
makanan dihitung dari pengeluaran per kelompok makanan dibagi dengan jumlah satuan yang
dikonsumsi yang selanjutnya disebut unit value. Hanya saja dalam penelitian ini sudah dilakukan
penyesuaian sehingga dapat diperoleh proxy terhadap harga dengan teknik instrumenting.
Keempat, harga dari komoditas non makanan diasumsikan sama dengan pengeluaran untuk
barang non makanan itu sendiri, karena banyak ragam dari barang non makanan tersebut
sehingga satuan unit value dari masing-masing jenis tidak mungkin disamakan. Keterbatasan yang
kelima adalah permintaan beras yang dianalisa hanya permintaan di dalam rumahtangga,
sedangkan yang bentuknya makanan jadi yang dijual di warung makan yang berupa nasi atau
lainnya, tidak diikutkan. Keenam, dalam penelitian ini tidak diselesaikan masalah contemporeneaus
correlation. Ketujuh, dalam penelitian ini tidak dilakukan restriksi dalam memperoleh fungsi
permintaan baik simetri, homogenitas, maupun Adding-up.
30
DAFTAR PUSTAKA
31