You are on page 1of 3

Nama: Athi’illah

NIM: 0710210049

Deontologi

Deontologi berasal dari kata Yunani “deon”, yang berarti


kewajiban. Karena itu, deontologi menekankan kewajiban
manusia untuk bertindak secara baik. Menurut para ahli etika
deontologi, suatu tindakan itu baik bukan dinilai dan dibenarkan
berdasarkan akibat atau tujuan baik dari tindakan itu, melainkan
berdasarkan tindakan itu sendiri sebagai baik pada dirinya
sendiri. Dengan kata lain, tindakan itu bernilai moral karena
tindakan itu dilaksanakan berdasarkan kewajiban yang memang
harus dilaksanakan terlepas dari tujuan atau akibat dari tindakan
itu. Contoh, suatu tindakan bisnis yang akan dinilai baik oleh
teori etika deontologi bukan karena tindakan itu mendatangkan
akibat baik bagi pelakunya, melainkan karena tindakan itu
sejalan dengan kewajiban si pelaku untuk, misalnya,
memberikan pelayanan yang baik kepada semua konsumen,
untuk mengembalikan utangnya sesuai dengan kesepakatan.

Etika ini sangat menekankan motivasi, kemauan baik dan


watak yang kuat dari pelaku. Teori etika ini sependapat dengan
Immanuel Kant (1734-1804) yang berkata, kemauan baik harus
dinilai baik pada dirinya sendiri terlepas dari apapun juga.
Menurut Kant, tindakan yang baik adalah tindakan yang tidak
saja sesuai dengan kewajiban melainkan juga yang dijalankan
demi kewajiban. Oleh karena itu, di dalam menilai seluruh
tindakan kita, kemauan baik harus selalu dinilai paling pertama
dan menjadi kondisi dari segalanya.

Ada tiga syarat yang harus dipenuhi yaitu:


• Supaya suatu tindakan punya nilai moral, tindakan itu harus
dijalankan berdasarkan kewajiban

• Nilai moral dari tindakan itu tidak tergantung pada tercapainya


tujuan dari tindakan itu melainkan tergantung pada kemauan
baik yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan itu

• Sebagai konsekuensi dari kedua prinsip itu, kewajiban adalah


hal yang niscaya dari tindakan yang dilakukan berdasarkan
sikap hormat pada hukum moral universal.

Jika utilitarisme meletakkan moralitas atau kualitas etis


pada konsekuensi-konsekuensinya, maka deontologi melepaskan
sama sekali moralitas dari konsekuensi perbuatan. Dalam
deontologi, yang menjadi dasar bagi baik atau buruknya
tindakan adalah kewajiban. Perbuatan itu baik karena
merupakan kewajiban manusia. Perbuatan tidak pernah menjadi
baik karena hasilnya baik, melainkan hanya karena wajib
dilakukan. Sadar atau tidak, orang beragama berpegang pada
pendirian deontologi ini. Misalnya: mengapa tidak boleh
berdusta, mencuri, membunuh? Karena dilarang oleh Tuhan
(agama).

Teori yang didasarkan pada tindakan dapat juga


merupakan teori deontologi, yang memeriksa konsep hak dan
kewajiban. Jika kita menggunakan gambaran berjalan sepanjang
lintasan kehidupan, seorang ahli teleologi mencoba melihat
kemana keputusan-keputusan akan menjurus, sementara
seorang ahli deontologi mengikuti arah yang direncanakan.

Sejumlah teori etika yang didasarkan pada agama berciri


deontologi karena mengikuti prinsip-pinsip atau hukum agama.
Kendati pandangan hidup keilmuan yang umum berlaku di antara
para akademia, penelitian sosiologi menunjukkan bahwa hampir
90% orang di dunia ini memandang agama merupakan sumber
petunjuk kehidupan yang jauh lebih penting dari ilmu
pengetahuan. Dalam persoalan etika, seringkali orang mengacu
pada norma dan nilai agama, atau etika deontologi. Teori
bioetika yang mana saja yang akan diterapkan pada penduduk
dunia harus diterima oleh kecenderungan umum pemikiran
agama utama, dan harus juga toleran tehadap perbedaan-
perbedaan.
Teori Hak merupakan suatu aspek dari teori deontologi, karena
berkaitan dengan kewajiban. Hak dan kewajiban bagaikan dua
sisi uang logam yang sama.

You might also like