You are on page 1of 124

Masnidar, Analisis Perkembangan...

Volume 1, Nomor 1, Juni 2009 ISSN : 2086-5058

NALAR FIQH
Jurnal Hukum Islam

Penanggung Jawab:
Muhamad Hasbi Umar

Dewan Redaksi
Ketua:
Illiyanti

Penyunting Pelaksana:
Sucipto

Anggota:

Tata Usaha:

Alamat Redaksi:
Fakultas Syari’ah Insitut Agama Islam Negeri
Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Jl. Jambi-muara Bulian Simp. Sungai Duren Mendalo Muaro Jambi
Telf/fak. 0741 5802021 Email: Nalarfiqih@yahoo.com

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

DAFTAR ISI

Daftar Isi ..................................................................................... ii

Analisis Perkembangan Investasi Syariah


pada Pasar Modal Indonesia
Masnidar ..................................................................................... 1-17

Perbankan Islam dan Peranannya sebagai


Intermediasi Keuangan
Agustina Mutia, SE ..................................................................... 18-34

Perilaku Konsumsi dalam Perspektif


Ekonomi Islam
Rafidah , SE,MEI ........................................................................ 35-49

Rekonstruksi Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam


(Menggugat Anakronisme Sejarah Mainstream Ekonomi)
M. Nazori Majid ......................................................................... 50-78

Tanah Terlantar dalam Hukum dan Kemaslahatan


Ambok Pangiuk .......................................................................... 79-92

Zakat Hasil Perkebunan


(Sebagai Upaya Peningkatan Ekonomi Umat)
Masburiyah,S.Ag, M.Fil.I ........................................................... 93-108

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat


(Studi Terhadap Etika Bisnis Islam)
Rahmi Hidayati .......................................................................... 109-122

ii Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Masnidar, Analisis Perkembangan...

ANALISIS PERKEMBANGAN INVESTASI SYARIAH


PADA PASAR MODAL INDONESIA

MASNIDAR

ABSTRAK
Today, the development of financial investments (financial
investment) all emerging Sharia in the world, particularly in
countries with majority Muslim population, including in Indonesia.
Observing the development of Islamic banking industry in
Indonesia is in the last years is so exciting, it also brings a positive
impact on the development of the investment system in accordance
with basic principles of Sharia in the capital markets sector in
Indonesia or better known as the Islamic capital market. Through
a review of the literature, this paper will further highlight the
application of Shariah principles in Islamic investment activities
in Indonesia and the capital market development.

Kata Kunci : Investasi Syariah, Pasar Modal.

Pendahuluan
Di tengah pertumbuhan kegiatan ekonomi Syariah di Indonesia
yang semakin marak sejak berdirinya Bank Muamalat Indonesia tahun
1992, kegiatan investasi Syariah di pasar modal Indonesia justru belum
mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Walaupun kegiatan investasi
Syariah telah mulai dan diperkenalkan sejak pertengahan tahun 1997
melalui instrumen reksa dana Syariah dan sejumlah fatwa DSN-MUI
berkaitan dengan kegiatan investasi Syariah di pasar modal juga telah
diterbitkan, hingga saat ini pihak-pihak yang melakukan kegiatan investasi
Syariah di pasar modal masih tergolong minim.
Hasil studi Tim Penelitian Investasi Syariah pada Badan Pengawas
Pasar Modal Departemen Keuangan RI tahun 2004 mensinyalir bahwa
kendala utama lambatnya perkembangan investasi Syariah di pasar modal
Indonesia tersebut adalah masih belum meratanya pemahaman dan atau
pengetahuan masyarakat Indonesia tentang investasi di pasar modal yang

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

berbasis Syariah. Selain itu ada juga anggapan bahwa untuk melakukan
investasi di pasar modal Syariah dibutuhkan biaya yang lebih mahal apabila
dibandingkan dengan investasi pada sektor keuangan lainnya.
Disamping hal di atas, beberapa Emiten/Perusahaan Publik juga
menyatakan bahwa kewajiban penggunaan dana yang dibatasi hanya
untuk kegiatan yang sesuai dengan prinsip Syariah merupakan hal yang
menghambat perkembangan investasi Syariah. Sementara dari pihak
Penjamin Emisi Efek (PEE) terdapat kendala dalam hal tingkat kemampuan
pengembangan kegiatan investasi Syariah di pasar modal. Sedangkan pada
sisi permintaan (demand) dari pihak Manajer Investasi mengalami kendala
dengan ketersediaan efek yang terbatas untuk dijadikan portofolio.
Sementara itu, dalam dunia usaha, investasi merupakan unsur penting
yang tidak bisa dinafikan, termasuk dalam perekonomian Islam. Investasi
sangat berperan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat,
karena dana tidaklah boleh mengendap dan harus terus berputar. Setiap
orang yang memiliki kelebihan dana harus diinvestasikan agar menjadi
produktif, sehingga dapat memberikan keseimbangan ekonomi di
masyarakat dan kesejahteraan dapat merata. Jika dana tersebut mengendap,
maka dapat menimbulkan efek perekonomian yang tidak sehat.
Oleh karena itu, meskipun hingga tahun 2004 iklim investasi Syariah
di Indonesia mengalami cukup banyak hambatan, namun para pelaku
dan pemikir ekonomi Islam di Indonesia terus mengupayakan untuk
mendorong investasi Syariah, termasuk investasi Syariah di pasar modal.
Tulisan ini akan menyoroti permasalahan seputar pandangan Islam
tentang investasi, khususnya mengenai penerapan prinsip Syariah dalam
kegiatan investasi Syariah di pasar modal Indonesia dan perkembangan
investasi Syariah di pasar modal Indonesia pada akhir-akhir ini.

Prinsip Syariah Dalam Investasi


Prinsip Syariah sebenarnya cukup jelas dan berkeadilan, sehingga
sangat sesuai untuk meningkatkan kesejahteraan manusia dalam menjaga
keimanan, kehidupan, akal, keturunan dan harta benda mereka. Sayangnya
banyak konsep yang baik dari Solusi Syariah ini belum difahami oleh

Tim Studi Investasi Syariah, Investasi Syariah di Pasar Modal Indonesia, Badan Pengawas
Pasal Modal Departemen Keuangan RI, 2004, h. 84

Ibid.

Jusmaliani, dkk., Investasi Syari’ah; Implementasi Konsep pada Kenyataan Empirik, Jakarta:
Kreasi Wacana, 2008, h. 3

 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Masnidar, Analisis Perkembangan...

masyarakat. Aqad-aqad Syariah penunjang transaksi ekonomi juga


mempunyai rentang cakupan yang cukup luas dan layak diterapkan. Dalam
hal investasi pada Efek berupa Saham maupun Obligasi pada hakekatnya
juga sesuai dengan prinsip Syariah, kecuali pada hal-hal tertentu yang
memerlukan penyesuaian, khususnya pada kegiatan usaha dan hasil usaha
Emiten yang harus memenuhi prinsip halal dan baik (thoyib).
Mengingat hutang menurut Syariah tidak berhak atas tambahan atau
hasil dari pengembalian hutang, maka kewajiban dalam Syariah dapat
timbul dari perdagangan yang tidak tunai atau akibat kegiatan investasi.
Istilah Obligasi sebenarnya bisa menyesatkan karena menurut ketentuan
yang umum berlaku Obligasi adalah surat hutang jangka panjang. Karena
itu, untuk pengembangan Obligasi Syariah diperlukan inovasi aqad yang
tetap harus dalam koridor Syariah Islam. Obligasi Syariah sangat diperlukan
untuk membina semangat investasi Syariah karena sifat kepastian hasil dan
kemungkinan pengembalian modal awal investasi.
Mekanisme perdagangan Bursa Efek melalui sistem lelang menerus
(continuous auction) juga sesuai dengan prinsip Syariah. Namun ketentuan
yang ada masih memungkinkan terciptanya kondisi gharar dan maysir
dengan praktek tadlis (ketidak sempurnaan informasi), ikhtikar (gangguan
pada penawaran) dan najasy (gangguan pada permintaan). Oleh karena
itu perlu diterapkan tambahan ketentuan bagi Efek yang dicatat mengikuti
prinsip Syariah (Efek Syariah). Ketentuan ini akan berlaku baik bagi Emiten
maupun bagi Investor. Dengan demikian sebenarnya tidak perlu dibentuk
bursa efek terpisah sebagai Bursa Efek Syariah. Namun bila dapat didirikan
bursa efek terpisah sebagai Bursa Efek Syariah tentunya penerapan prinsip
Syariah di Pasar Modal dapat lebih mudah dilaksanakan.
Di Indonesia, fatwa ulama mengenai transaksi keuangan Syariah
diberikan oleh Majelis Ulama Indonesia melalui Dewan Syariah Nasional
(DSN) dan penerapannya dilaksanakan dengan bantuan Dewan Pengawas
Syariah (DPS). Dan karena sebagian besar ulama tidak memiliki
pengetahuan praktis mengenai keuangan dan investasi, sementara jenis
usaha, kondisi usaha dan kondisi keuangan perusahaan dapat berubah
dengan cepat, maka diperlukan kerjasama antara ulama, praktisi dan
lembaga independen, seperti: self regulating organization (SRO) maupun
organisasi praktisi dan akademisi seperti Masyarakat Ekonomi Syariah.
Ulama –melalui Dewan Syariah Nasional– akan menentukan fatwa yang


Iggi H. Achsien, Investasi Syaiah di Pasar Modal, Jakarta: Graedia, 2003, h. 49 fd.

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

berlaku umum berdasarkan masukkan dari praktisi. Praktisi, khususnya


unit riset dan analis, akan memberikan data dan analisis. Sementara
lembaga independen akan mengolah data dan mengadakan monitoring
berdasarkan fatwa DSN dan informasi dari praktisi.
Pengawasan pelaksanaan untuk kegiatan investasi dalam pasar modal
sebaiknya dilakukan melalui DPS yang ditempatkan di Manajer Investasi
(untuk pengelolaan investasi Syariah dan Reksa Dana Syariah) dan di Bursa
Efek (untuk pencatatan dan perdagangan Efek Syariah). Pendanaan operasi
DPS dan DSN dapat diperoleh berupa: bagian dari imbal jasa pengelolaan
(management fee) Manajer Investasi, biaya pencatatan dan perdagangan
(listing fee dan transaction fee) untuk Bursa Efek, serta hak fisabilillah dari
zakat yang dipungut dari penerima manfaat atas kegiatan yang berkaitan
dengan Efek dan Reksa Dana Syariah.
Kegiatan investasi keuangan menurut Syariah pada prinsipnya adalah
kegiatan yang dilakukan oleh Pemilik Harta (Investor) terhadap Pemilik
Usaha (Emiten), guna memberdayakan Emiten dalam melakukan kegiatan
usahanya, dimana Investor berharap untuk memperoleh manfaat tertentu.
Karena itu, kegiatan pembiayaan dan investasi keuangan adalah termasuk
kegiatan usaha dari pemilik harta namun secara pasif. Sehingga prinsip
Syariah dalam pembiayaan dan investasi keuangan pada dasarnya sama
dengan pada kegiatan usaha lainnya yaitu prinsip kehalalan dan keadilan.
Secara umum prinsip tersebut adalah:
1. Pembiayaan dan investasi hanya dapat dilakukan pada aset atau kegiatan
usaha yang halal, dimana kegiatan usaha tersebut adalah spesifik dan
bermanfaat sehingga atas manfaat yang timbul dapat dilakukan bagi
hasil.
2. Karena uang adalah alat bantu pertukaran nilai dan Pemilik Harta
akan menerima bagi hasil dari manfaat yang timbul dari kegiatan
usaha, maka pembiayaan dan investasi harus pada mata uang yang
sama dengan pembukuan kegiatan usaha.
3. Aqad yang terjadi antara Pemilik Harta (Investor) dengan Pemilik Usaha
(Emiten), dan tindakan maupun informasi yang diberikan Pemilik
Usaha (Emiten), serta mekanisme pasar (Bursa dan Self Regulating
Organization lainnya) tidak boleh menimbul kondisi keraguan yang
dapat menyebabkan kerugian.


Ibid.

 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Masnidar, Analisis Perkembangan...

4. Pemilik Harta (Investor) dan Pemilik Usaha (Emiten) tidak boleh


mengambil risiko yang melebihi kemampuan (maysir) yang dapat
menimbulkan kerugian yang sebenarnya dapat dihindari.
5. Pemilik Harta (Investor), Pemilik Usaha (Emiten) maupun Bursa dan
Self Regulating Organization lainnya tidak boleh melakukan hal-hal
yang menyebabkan gangguan yang disengaja atas mekanisme pasar,
baik dari segi penawaran (supply) maupun dari segi permintaan
(demand).

Penerapan Prinsip Syariah Di Pasar Modal


Bentuk ideal dari pasar modal dapat dicapai dengan terpenuhinya
empat pilar pasar modal, yaitu:
1. Emiten dan efek yang diterbitkannya memenuhi kaidah keadilan,
kehati-hatian dan transparansi;
2. Pelaku pasar (investor) yang telah memiliki pemahaman yang baik
tentang risiko dan manfaat transaksi di pasar modal;
3. Infrastruktur informasi bursa efek yang transparan dan tepat waktu
yang merata di publik yang ditunjang oleh mekanisme pasar yang
wajar;
4. Pengawasan dan penegakan hukum oleh otoritas pasar modal dapat
diselenggarakan secara efisien, efektif dan ekonomis.
Dari penjelasan tersebut di atas, terlihat bahwa prinsip-prinsip Syariah
sudah meliputi semua prinsip dari pasar modal yang ideal. Namun prinsip-
prinsip Syariah juga memberikan penekanan (emphasis) pada:
1. Kehalalan produk/jasa dari kegiatan usaha, karena menurut
prinsip Syariah manusia hanya boleh memperoleh keuntungan atau
penambahan harta dari hal-hal yang halal dan baik.
2. Adanya kegiatan usaha yang spesifik dengan manfaat yang jelas,
sehingga tidak ada keraguan akan hasil usaha yang akan menjadi obyek
dalam perhitungan keuntungan yang diperoleh.
3. Adanya mekanisme bagi hasil yang adil baik dalam untung maupun
rugi menurut penyertaan masing-masing pihak.


Anonim, Kebijakan Umum Pasar Modal Syariah, www.investasiSyariah.com

Istilah-istilah seputar Pasar Modal merujuk H. Karnaen, Dok Investasi Syariah (ppt), Bahan
Kuliah PPs IAIN STS Jambi Tahun 2009

Ibid.

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

4. Penekanan pada mekanisme pasar yang wajar dan prinsip kehati-


hatian baik pada emiten maupun investor.
Namun sesuai dengan kaidah dasar atau hukum asal dari muamalah,
maka penerapan ketentuan halal ini harus sesuai dengan kondisi aktualnya.
Pada situasi yang tidak mempengaruhi kondisi halal dan thoyib dari hasil,
maka situasi tersebut tidak bisa menggagalkan kehalalan hasil.

Emiten Yang Sesuai Dengan Prinsip Syariah


Investasi keuangan yang sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah
hanya dapat diberikan kepada perusahaan yang kegiatan usahanya tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip Syariah. Kegiatan perdagangan
dan usaha yang sesuai dengan Syariah Islam adalah kegiatan yang tidak
berkaitan dengan produk atau jasa yang haram (misalnya makanan haram,
perjudian, maksiat) dan menghindari cara perdagangan dan usaha yang
dilarang (termasuk riba, gharar, maysir). Karena itu tidak semua perusahaan
dapat memenuhi kualifikasi sebagai emiten Syariah, sehingga diperlukan
fatwa ulama untuk memastikan pemenuhan kualifikasi tersebut.
Secara umum dapat dikatakan bahwa Syariah menghendaki kegiatan
ekonomi yang halal, baik dari produk yang menjadi obyek, dari cara
perolehannya, serta dari cara penggunaannya. Sehingga ketentuan umum
mengenai Emiten yang sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah adalah:
1. Halal Produk (dan jasa). Emiten dilarang mempunyai obyek usaha
yang haram seperti makanan-minuman yang tergolong haram, hal-hal
yang berkaitan dengan maksiat dan pornografi, narkoba, begitu juga
yang lebih banyak mudharat dibanding dengan manfaatnya misalnya
senjata dan rokok. Bahkan Emiten yang bergerak pada dunia hiburan
serta perusahaan jasa hospitality yang memudahkan terjadinya
maksiat juga umumnya dihindari oleh Investor. Setelah menerbitkan
efek Syariah dan selama efek Syariah tersebut masih efektif, Emiten
dilarang melakukan penggabungan, peleburan atau pengambil alihan
usaha yang mengakibatkan produk (dan jasa) Emiten tidak lagi
memenuhi ketentuan halal.
2. Halal Cara Perolehan (terhidar dari riba). Emiten harus mendapat
penghasilan usaha dari usaha ekonomi secara ridho sama ridho serta
tidak bertindak zholim dan tidak boleh diperlakukan zholim. Riba
adalah salah satu hal yang dilarang oleh Syariah, karena bunga bank

Ibid.

 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Masnidar, Analisis Perkembangan...

adalah salah satu bentuk riba, maka bank umum konvensional tidak
bisa menjadi Emiten. Tetapi mengingat kondisi riil dari kegiatan
usaha di Indonesia, maka perusahaan non lembaga keuangan yang
memiliki pendapatan bunga dalam prosentase yang marjinal terhadap
pendapatan usaha masih dapat menjadi Emiten.
3. Halal Cara Perolehan (prinsip keterbukaan). Emiten harus menjalankan
kegiatan usaha dengan cara yang baik, memenuhi prinsip keterbukaan.
Dalam penawaran perdana, Emiten harus menyatakan dengan jelas
pada kegiatan usaha spesifik yang mana hasil emisi akan digunakan.
Kemudian Emiten harus memberikan informasi yang jelas dan tidak
menyesatkan –baik dalam bentuk prospektus ataupun bentuk lainnya-
mengenai fakta material termasuk peluang hasil dan kemungkinan
risiko yang ada, sehingga Investor dapat mengadakan analisis dan
menentukan apakah peluang hasil sesuai dengan harapannya dan
kemungkinan risiko masih dalam batas kemampuannya untuk
mengatasi.
4. Halal Cara Pemakaian (Manajemen Usaha). Emiten harus mempunyai
manajemen yang berperilaku Islami, menghormati hak azazi manusia,
menjaga lingkungan hidup, melaksanakan good corporate governance,
serta tidak spekulatif dan memegang teguh prinsip kehati-hatian.
Emiten dilarang melakukan tindakan yang mengganggu mekanisme
pasar dalam memasarkan produknya, baik gangguan dalam penawaran
(ikhtikar) maupun dalam permintaan (najasy). Emiten juga harus
mencegah adanya benturan antara kepentingan Emiten dengan
kepentingan pribadi pengurus dan pemegang saham mayoritas.
Emiten juga dilarang mengambil risiko yang berlebihan, termasuk
risiko mengambil pembiayaan eksternal terhadap modal maupun rasio
piutang terhadap pendapatan, yang berlebihan dibandingkan dengan
kelayakan pada industri.
5. Halal Cara Pemakaian (Hubungan dengan Investor). Emiten harus
mempunyai pembukuan yang jelas –dan sebaiknya terpisah- mengenai
kegiatan usaha yang dibiayai, sehingga dapat dinyatakan dengan
transparan dan adil dari manfaat atau hasil usaha yang diperoleh
pada kegiatan usaha yang dibiayai. Emiten juga tidak boleh terlibat
dalam kegiatan yang dapat mengganggu mekanisme pembentukan
harga dari efek yang diterbitkannya, baik dari segi penawaran maupun
permintaan. Juga dilarang membuat gangguan pada pengambilan
keputusan para pemegang efek dalam rapat umum pemegang efek.

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

Kegiatan Pasar Modal Menurut Syariah


1. Investasi Saham
Investasi menurut definisi adalah menanamkan atau menempatkan
aset, baik berupa harta maupun dana, pada sesuatu yang diharapkan akan
memberikan hasil pendapatan atau akan meningkat nilainya di masa
mendatang. Sedangkan investasi keuangan adalah menanamkan dana
pada suatu surat berharga yang diharapkan akan meningkat nilainya di
masa mendatang.
Investasi keuangan menurut Syariah dapat berkaitan dengan kegiatan
perdagangan atau kegiatan usaha, dimana kegiatan usaha dapat berbentuk
usaha yang berkaitan dengan suatu produk atau aset maupun usaha
jasa. Namun investasi keuangan menurut Syariah harus terkait secara
langsung dengan suatu aset atau kegiatan usaha yang bersifat spesifik dan
menghasilkan manfaat, karena hanya atas manfaat tersebut dapat dilakukan
bagi hasil. Karena itu salah satu bentuk investasi yang sesuai dengan Syariah
adalah membeli saham perusahaan, baik perusahaan non publik (private
equity) maupun perusahaan publik/terbuka.
Untuk perusahaan publik, pemilikan saham dapat dilakukan secara
langsung dengan menempatkan modal ke dalam perusahaan pada saat
penawaran perdana, maupun melalui transaksi perdagangan sekunder di
bursa saham. Baik dalam hal penawaran perdana ataupun pasar sekunder,
para pemegang saham secara kelompok bertindak sebagai Pemilik Harta
sedangkan perusahaan bertindak sebagai Mudharib karena sebagian besar
pemegang saham tidak ikut aktif dalam pengelolaan perusahaan. Walaupun
demikian, ikatan atau aqad yang terjadi bukanlah aqad Mudharabah murni
karena pemegang saham selaku Pemilik Harta tidak dapat sewaktu-waktu
menarik dananya dari perusahaan.
Dalam hal investasi keuangan melalui penempatan modal pada
perusahaan non publik, jumlah pemegang saham dibatasi maksimal 50
pihak. Oleh karena itu sebagian besar pemegang saham umumnya ikut
terlibat dalam pengurusan perusahaan. Sehingga ikatan yang terjadi antar
pemegang saham dapat dikatakan sebagai aqad Musyarakah.
Pada penawaran perdana untuk perusahaan publik, investor
menempatkan dana secara langsung ke dalam perusahaan dan mendapat
saham sebagai bukti kepemilikan pada perusahaan. Sehingga pada
penawaran perdana, dana hasil penjualan saham diterima oleh perusahaan
dan dicatatkan sebagai modal. Sedangkan pada pasar sekunder, Investor

 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Masnidar, Analisis Perkembangan...

pembeli adalah pihak yang menjadi pemegang saham dengan cara


mengambil alih saham perusahaan yang dimiliki oleh Investor penjual.
Dengan demikian tidak terdapat penempatan dana ke dalam perusahaan
dan harga transaksi pengalihan hak atas perusahaan –dalam bentuk saham-
tidak harus berkaitan secara langsung dengan nilai perusahaan.
2. Investasi Reksa Dana
Disamping investasi secara mandiri atau secara langsung, Investor juga
dapat meminta pihak lain yang dipercaya dan dipandang lebih memiliki
kemampuan untuk mengelola investasi. Sehingga timbul kebutuhan
akan Manajer Investasi yang memahami investasi secara Syariah dan
kebutuhan akan Reksa Dana Syariah. Manajer Investasi, dengan aqad
Wakalah, akan menjadi wakil dari Investor untuk kepentingan dan atas
nama Investor. Sedangkan Reksa Dana Syariah akan bertindak dalam
aqad Mudharabah sebagai Mudharib yang mengelola dana/harta milik
bersama dari para Pemilik Harta. Sebagai bukti penyertaan, Pemilik Dana
akan mendapat Unit Penyertaan dari Reksa Dana Syariah. Tetapi Reksa
Dana Syariah sebenarnya tidak bertindak sebagai Mudharib murni karena
Reksa Dana Syariah akan menempatkan kembali dana ke dalam kegiatan
Emiten melalui pembelian Efek Syariah. Dalam hal ini Reksa Dana Syariah
berperan sebagai Mudharib dan Emiten berperan sebagai Mudharib. Oleh
karena itu hubungan ini disebut sebagai ikatan Mudharabah Bertingkat.
Dalam kedua situasi tersebut Manajer Investasi akan memberikan
jasa secara langsung atau tidak langsung kepada Pemilik Harta (Investor)
yang ingin melakukan investasi mengikuti prinsip Syariah. Oleh karena
itu, disamping harus memahami investasi yang mengikuti prinsip Syariah,
Manajer Investasi juga harus mampu melakukan kegiatan pengelolan yang
sesuai dengan Syariah. Sehingga diperlukan adanya panduan mengenai
norma-norma yang harus dipenuhi oleh Manajer Investasi agar investasi
dan hasilnya tidak melanggar ketentuan Syariah, termasuk ketentuan yang
berkaitan dengan gharar dan maysir.
3. Obligasi
Pembiayaan usaha berjangka panjang dalam bentuk bukan ekuitas
dalam pasar modal dikenal sebagai pembiayaan dengan menerbitkan
Obligasi. Menurut definisi, Obligasi adalah surat berharga (efek) hutang
jangka panjang yang diterbitkan oleh sebuah perusahaan atau pemerintah
(emiten) dengan ketentuan suku bunga dan tanggal jatuh tempo tertentu.

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

Prinsip Syariah melarang untuk meminta atau memberi tambahan


(imbalan) atas pemberian hutang karena hutang dikategorikan sebagai
kegiatan tolong menolong yang lebih sarat unsur sosialnya. Sehingga
dalam transaksi ekonomi Syariah tidak dikenal adanya hutang. Namun
prinsip Syariah mengenal Kewajiban yang hanya timbul akibat adanya
transaksi atas aset/produk (maal) atau jasa (amal) yang tidak tunai,
sehingga terjadi transaksi pembiayaan. Kewajiban ini umumnya berkaitan
dengan transaksi perniagaan dimana kondisi tidak tunai tersebut dapat
terjadi karena penundaan pembayaran atau penundaan penyerahan obyek
transaksi (maal atau amal).
Dalam hal kegiatan investasi ini dapat mengikuti ikatan atau aqad
Mudharabah, kewajiban akan timbul bila (1) Investor berhak atas pembagian
hasil yang positif, atau bila (2) Investor ingin menarik kembali (sisa) dana
yang telah diinvestasikan. Kegiatan investasi ini juga dapat mengikuti aqad
Ijarah dimana kewajiban akan timbul atas (1) pembayaran sewa/upah atas
pemakaian manfaat dari obyek pembiayaan serta (2) pembayaran nilai
jual obyek pembiayaan pada akhir masa sewa atas eksekusi aqad jaiz dari
Emiten untuk membeli obyek pembiayaan pada akhir masa pembiayaan.
Baik dalam hal pembiayaan untuk memfasilitasi transaksi perdagangan
maupun pembiayaan investasi, ikatan dan mekanisme pembiayaan harus
mengikuti prinsip Syariah.

Perkembangan Investasi Syariah Di Pasar Modal Indonesia


Secara umum, Pasar Modal dapat diidentikkan dengan sebuah tempat
dimana modal diperdagangkan antara pihak yang memiliki kelebihan
modal (investor) dengan orang yang membutuhkan modal (issuer) untuk
mengembangkan investasi. Dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1995,
pasar modal didefinisikan sebagai “kegiatan yang bersangkutan dengan
Penawaran Umum dan perdagangan Efek, Perusahaan Publik yang
berkaitan dengan Efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang
berkaitan dengan Efek”.
Keberadaan pasar modal di Indonesia merupakan salah satu faktor
terpenting dalam membangun perekonomian nasional, terbukti telah
banyak industri dan perusahaan yang menggunakan institusi pasar modal
ini sebagai media untuk menyerap investasi dan media untuk memperkuat
posisi keuangannya. Secara faktual, pasar modal telah menjadi financial
nerve centre (saraf finansial dunia) pada dunia ekonomi modern dewasa

10 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Masnidar, Analisis Perkembangan...

ini, bahkan perekonomian modern tidak akan mungkin bisa eksis


tanpa adanya pasar modal yang tangguh dan berdaya saing global serta
terorganisir dengan baik.
Sebagai upaya dalam mendukung terwujudnya Pasar Modal Indonesia
menjadi penggerak ekonomi nasional yang tangguh dan berdaya saing
global sebagaimana tertuang dalam cetak biru pasar modal Indonesia,
perlu dilakukan secara terus menerus untuk menyempurnakan dan
mengembangkan infrastruktur pasar modal menuju ke arah yang lebih
baik lagi. Salah satu faktor bagi terciptanya pasar modal Indonesia yang
tangguh dan berdaya saing global dimaksud adalah dengan tersedianya
fasilitas dan instrumen pasar modal Indonesia yang mampu bersaing
dengan instrumen pasar modal negara-negara lain. Sehubungan dengan
itu, ditengah kemerosotan tingkat pertumbuhan ekonomi nasional, yang
juga berimbas ke sektor pasar modal selaku subsistem dari perekonomian
nasional Indonesia, kini industri pasar modal Indonesia mulai melirik
pengembangan penerapan prinsip-prinsip Syariah Islam sebagai alternatif
instrumen investasi dalam kegiatan pasar modal.
Bangkitnya ekonomi Islam di Indonesia dewasa ini menjadi fenomena
yang menarik dan menggembirakan terutama bagi penduduk Indonesia
yang mayoritas beragama Islam. Perbedaan secara umum antara pasar
modal konvensional dengan pasar modal Syariah dapat dilihat pada
instrumen dan mekanisme transaksinya, sedangkan perbedaan nilai
indeks saham Syariah dengan nilai indeks saham konvensional terletak
pada kriteria saham emiten yang harus memenuhi prinsip-prinsip dasar
Syariah. Secara umum konsep pasar modal Syariah dengan pasar modal
konvensional tidak jauh berbeda meskipun dalam konsep pasar modal
Syariah disebutkan bahwa saham yang diperdagangkan harus berasal dari
perusahaan yang bergerak dalam sektor yang memenuhi kriteria Syariah
dan terbebas dari unsur ribawi, serta transaksi saham dilakukan dengan
menghindarkan berbagai praktik spekulasi. Langkah awal perkembangan
pasar modal Syariah di Indonesia dimulai dengan diterbitkannya Reksa
Dana Syariah pada 25 Juni 1997 diikuti dengan hadirnya Jakarta Islamic
Index (JII) pada Juli 2000, kemudian diikuti pula dengan diterbitkannya
obligasi Syariah pada akhir 2002. Instrumen-instrumen investasi Syariah
tersebut kemudian mengalami perkembangan sejalan dengan maraknya
pertumbuhan bank-bank nasional yang membuka “window” Syariah.10

10
Anonim, Kebijakan Umum Pasar Modal Syariah, www.investasiSyariah.com

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 11


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

Sesuai dengan peraturan Bapepam dan LK No. IX.A.13 tanggal 23


November 2006, efek Syariah di Indonesia mencakup Saham Syariah,
Sukuk, Reksa Dana Syariah, Efek Beragunan Aset Syariah. Perkembangan
investasi Syariah dapat diilustrasikan dari perkembangan nilai obligasi
Syariah. Pada awal penerbitan obligasi Syariah di tahun 2002 (Indosat
Syariah Mudharabah) nilai emisinya sebesar Rp. 175 Miliar. Namun pada
Mei 2009 nilai outstanding obligasi Syariah (sampai dengan akhir Mei
2009) tercatat sebesar Rp. 14,9 Triliun, terdiri dari 23 obligasi Syariah/
sukuk korporasi senilai Rp. 4,67 Triliun dan 3 sukuk negara senilai Rp.
10,25 Triliun. Tingkat Perkembangannya dapat digambarkan pada grafik
berikut:11
Nilai Emisi Obligasi Syariah/Sukuk
(s.d Mei 09)

16,000.00
14,000.00
12,000.00
10,000.00
(Rp. miliar)

8,000.00
6,000.00
4,000.00
2,000.00
0.00
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Nilai Emisi Obligasi Syariah/Sukuk

Sementara sukuk korporasi di Indonesia telah mencapai 26 buah,


dengan gambaran perkembangan sebagai berikut:12

11
Agus Salim, CFA, Invstasi Syariah: Tren Produk, Tantangan dan Peluang, Jakarta: Paramadina,
2009
12
Adiwarman A. Karim, Tren Produk Keuangan dan Investasi Syariah di Indonesia, Jakarta:
Paramadina, 2009.

12 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Masnidar, Analisis Perkembangan...

No. Name Issuer Year Amount (Rp.) Tenor Rating


1 OS Subordinasi I Bank Muamalat PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk 2003 200 miliar 7 tahun idBBB+
2 OS Mudharabah PTPN VII PT. Perkebunan Nusantara VII (Persero) 2004 75 miliar 5 tahun idBBB+
3 OS Ijarah I Matahari Putra Prima PT. Matahari Putra Prima Tbk 2004 100 miliar 5 tahun A+
4 OS Ijarah Sona Topas Tourism PT. Sona Topas Tourism Industry Tbk 2004 50 miliar 5 tahun A+
5 OS Ijarah Indorent I PT. CSM Corporatama 2004 100 miliar 5 tahun Baa2.id
6 OS Ijarah Berlina I PT. Berlina Tbk 2004 75 miliar 5 tahun A
7 OS Ijarah I Humpuss Intermoda Transportasi PT. Humpuss Intermoda Transportasi Tbk 2004 100 miliar 5 tahun A+
8 OS Ijarah Apexindo Pratama Duta I PT. Apexindo Pratama Duta 2005 240 miliar 5 tahun idA-
9 OS Ijarah Indosat PT. Indosat Tbk 2005 285 miliar 5 tahun idAA+
10 OS Ijarah Ricky Putra Globalindo PT. Ricky Putra Globalindo 2005 125 miliar 5 tahun idBBB+
11 OS Ijarah PLN I PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) 2006 200 miliar 10 tahun BB-
12 Sukuk Ijarah Indosat II PT. Indosat Tbk 2007 400 miliar 7 tahun idAA+(sy)
13 Sukuk Ijarah Berlian Laju Tanker PT. Berlian Laju Tanker Tbk 2007 200 miliar 5 tahun idAA-(sy)
14 Sukuk Mudharabah I Adhi PT. Adhi Karya (Persero) Tbk 2007 125 miliar 5 tahun idA-(sy)
15 Sukuk Ijarah PLN II PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) 2007 300 miliar 10 tahun A1.id
16 Sukuk Ijarah Indosat III PT. Indosat Tbk 2008 570 miliar 5 tahun idAA (sy)
17 Sukuk Mudharabah I Mayora Indah PT. Mayora Indah Tbk 2008 200 miliar 5 tahun idA+(sy)
18 Sukuk Ijarah I Summarecon Agung PT. Summarecon Agung Tbk 2008 200 miliar 5 tahun idA-(sy)
19 Sukuk Ijarah Metrodata Electronics I PT. Metrodata Electronics 2008 90 miliar 5 tahun A3.id
20 Sukuk Ijarah Aneka Gas Industri I PT. Aneka Gas Industri 2008 160 miliar 5 tahun A3.id
21 Sukuk Subordinasi Bank Muamalat PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk 2008 314 miliar 10 tahun A-(idn)
22 Sukuk Ijarah PLN III seri A PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) 2009 293 miliar 5 tahun idAA-(sy)
23 Sukuk Ijarah PLN III seri B PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) 2009 467 miliar 7 tahun idAA-(sy)
24 Sukuk Ijarah Matahari Putra Prima II seri A PT. Matahari Putra Prima Tbk 2009 90 miliar 3 tahun idA+(sy)
25 Sukuk Ijarah Matahari Putra Prima II seri B PT. Matahari Putra Prima Tbk 2009 136 miliar 5 tahun idA+(sy)
26 Sukuk Ijarah Berlian Laju Tanker II PT. Berlian Laju Tanker Tbk 2009 100 miliar 5 tahun idA+(sy)

Hal tersebut menunjukan tren perkembangan yang pada tahun-tahun


terakhir ini begitu menggembirakan bagi pertumbuhan pasar modal
Syariah. Pasar modal Syariah dikembangkan guna rangka mengakomodir
kebutuhan umat Islam Indonesia yang ingin berinvestasi pada produk-
produk pasar modal yang sesuai dengan prinsip dasar Syariah. Dengan
semakin beragamnya sarana dan produk investasi di Indonesia, diharapkan
masyarakat akan memiliki alternatif investasi yang sesuai dengan
keinginannya, disamping investasi yang selama ini sudah dikenal dan
berkembang di sektor perbankan.
Tren perkembangan tersebut semakin kuat berkat terbitnya Fatwa
DSN Nomor: 40/DSN-MUI/X/2003 tanggal 4 Oktober 2003 tentang Pasar
Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar
Modal,13 sehingga polemik tentang keabsahan investasi Syariah relatif
dapat diatasi.

Tantangan - Tantangan
Di tengah perkembangan tersebut, pengembangan investasi Syariah
pada pasar modal di Indonesia mengalami problematika sebagai berikut:
1. Arus uang dan modal sebenarnya diperlukan untuk transaksi
perdagangan internasional dan kebutuhan modal untuk investasi
13
Dewan Syariah Nasional, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Jakarta (Bank
Indonesia-Dewan Syariah Nasional: 2003, Edisi 2) h 263

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 13


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

jangka panjang. Tetapi di pasar uang dan modal sekarang ternyata


hanya dipakai sebagai sarana investasi jangka pendek yang bersifat
spekulatif guna mendapatkan keuntungan (gain) yang cepat dan
besar.
2. Pasar modal (stock market) sebenarnya didirikan dengan tujuan agar
terjadi pertemuan antara orang yang membutuhkan modal dengan para
investor yang ingin menanamkan modalnya dalam suatu perusahaan
yang diminatinya. Meskipun disebut pasar modal (stock market),
ternyata segala transaksi yang terjadi di bursa efek tidak merupakan
pertemuan antara orang yang membutuhkan modal dengan para
investor yang ingin menanamkan modalnya dalam suatu perusahaan
yang diminatinya.
3. Pertemuan antara pihak yang memerlukan modal dengan pihak yang
memberikan modal hanya terjadi sekali di pasar perdana yakni pada
saat IPO (Initial Public Offering). Setelah IPO ternyata para investor
mempunyai kebebasan memilih apakah memegang saham yang
dibelinya sebagai suatu bentuk investasi jangka panjang atau kemudian
menjualnya di pasar sekunder ketika melihat pergerakan harga saham
menunjukkan adanya margin.
4. Setelah IPO para investor seharusnya tetap memegang saham yang
dibelinya sebagai suatu bentuk investasi jangka panjang. Tindakan
umum yang secara terus menerus terjadi di pasar modal adalah
keinginan untuk meraih capital gain dalam jumlah yang besar dan
dalam waktu yang singkat.14
Selain itu terdapat pula tantangan dalam hal pengembangan produk
menyangkut hal-hal sebagai berikut:
1. Perkembangan produk-produk investasi Syariah yang masih
didominasi oleh “conventional alike product”. Hal ini tidak lepas dari
kebutuhan masyarakat yang masih dalam tahapan tersebut (masih
mengambil perbandingan utama dengan jasa, layanan & keunggulan
produk konvensional).
2. Purifikasi produk, bagaimana mengkonstruksi produk yang digali dari
khazanah perbendaharaan fiqh Islam dan bukan semata-mata hanya
replikasi produk konvensional belaka.
3. Menyelaraskan perbedaan penafsiran, baik atas aspek regulasi hukum
positif, maupun aspek fiqh.
14
H. Karnaen, Kajian Kritis terhadap Pasar Modal: Dok Investasi Syariah (ppt), Bahan Kuliah
PPs IAIN STS Jambi Tahun 2009

14 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Masnidar, Analisis Perkembangan...

4. Bagaimana meningkatkan daya tarik produk berbasis Syariah melalui


strategi sosialisasi dan edukasi publik yang intensif.
5. Ketersediaan tenaga praktisi yang kompeten dan memiliki penguasaan
yang unggul, baik pada aspek Syariah maupun dalam aspek teknis
keuangan.
6. Bagaimana mendorong terobosan produk yang mampu memberikan
maslahat yang lebih besar bagi umat.

Solusi Dan Prospek


Berpijak dari tantangan di atas, maka pengembangan produk investasi
Syariah pada garis besarnya dapat diimplementasikan melalui dua
pendekatan utama :
1. Memajukan penafsiran baru atas praktek keuangan komersial yang ada
saat ini dengan berbasis pada sumber hukum Islam. Dengan kata lain,
pendekatan ini akan memfokuskan pada perbaikan terhadap produk
konvensional yang telah ada, mengeliminir hal-hal yang bertentangan
dengan Syariah, serta memberikan nilai tambah sehingga mampu
menghasilkan manfaat yang lebih besar dengan mudharat yang lebih
minimal.
2. Melakukan telaah kritis atas produk konvensional yang ada, dengan
mempertanyakan dan menilai aspek kesyariahannya. Pendekatan ini
memiliki tujuan akhir berupa purifikasi, melahirkan suatu alternatif/
terobosan produk atau konsep baru yang berbeda dari existing
product.
Sedangkan peluang pengembangannya masih sangat besar berdasarkan
empat faktor, yaitu:
1. Captive market yang masih luas dan terus bertumbuh seiring dengan
kebutuhan masyarakat;
2. Produk yang semakin variatif;
3. Dukungan regulasi; dan
4. Semakin bertambahnya sumber daya insani yang baik.
Keempat faktor tersebut diharapkan dapat mendorong pertumbuhan
investasi Syariah di Indonesia sebagai sumber pengembangan sektor
riil demi kemasalahatan yang lebih besar bagi umat. Oleh karena itu,
menurut Mulya E. Siregar, pengembangan produk sebaiknya fokus pada
pengembangan sektor riil, sehingga perlu pembatasan pada investasi yang

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 15


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

berorientasi pada motif liquidity management, seperti sukuk, SIMA &


SBIS. Sementara investasi yang hanya real sector camouflage (Conventional
Mimicry) seperti Bay’ Bithaman Ajil, Bay’ Al Innah, Bay’ Ad Dayn dan
Commodity Murabaha/Tawarruq, sebaiknya dihindari.15

Penutup
Investasi merupakan instrumen perekonomian yang amat vital bagi
kesejahteraan suatu bangsa dan kemajuannya. Oleh karena itu, kegiatan
investasi tak terhindarkan dalam semua sistem perekonomian, termasuk
Islam. Terkait dengan itu, ekonom Islam telah mengembangkan berbagai
produk investasi yang diterapkan sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah,
agar dapat dipraktikkan umat Islam dalam kegiatan pasar modal, tanpa
harus melanggar ajaran agamanya. Keabsahan investasi Syariah itu pun
sudah difatwakan Dewan Syariah Nasional MUI pada tahun 2003.
Terhitung sejak terbitnya fatwa tersebut, mengikuti krisis global
yang melanda pasar modal dunia, kegiatan investasi Syariah di Indonesia
berkembang cukup pesat. Namun demikian, berbagai tantangan untuk
pengembangannya di masa depan tetap ada menyangkut sistem dan
mekanisme produknya dalam konteks perekonomian global. Oleh karena
itu, masih diperlukan upaya-upaya lanjutan untuk memperkuat regulasinya
sesuai dengan prinsip Syariah, tanpa terisolasi dari tren perkembangan
ekonomi dunia.

DAFTAR PUSTAKA

Achsien, Iggi H., Investasi Syaiah di Pasar Modal, Jakarta: Gramedia, 2003
Anonim, Kebijakan Umum Pasar Modal Syariah, www.investasiSyariah.
com
Dewan Syariah Nasional, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional,
Jakarta: Bank Indonesia-Dewan Syariah Nasional: 2003, Edisi 2
Jusmaliani, dkk., Investasi Syari’ah; Implementasi Konsep pada Kenyataan
Empirik, Jakarta: Kreasi Wacana, 2008
Karim, Adiwarman A., Tren Produk Keuangan dan Investasi Syariah di
Indonesia, Jakarta: Paramadina, 2009
15
Mulya E. Siregar, Tren Produk Perbankan Syariah, Jakarta: Paramadina, 2009

16 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Masnidar, Analisis Perkembangan...

Perwataatmadja, Karnaen Anwar, Kajian Kritis terhadap Pasar Modal: Dok


Investasi Syariah (ppt), Bahan Kuliah PPs IAIN STS Jambi Tahun
2009
----, Dok Investasi Syariah (ppt), Bahan Kuliah PPs IAIN STS Jambi Tahun
2009
Salim, Agus, CFA, Invstasi Syariah: Tren Produk, Tantangan dan Peluang,
Jakarta: Paramadina, 2009
Siregar, Mulya E., Tren Produk Perbankan Syariah, Jakarta: Paramadina,
2009
Tim Studi Investasi Syariah, Investasi Syariah di Pasar Modal Indonesia,
Badan Pengawas Pasal Modal Departemen Keuangan RI, 2004

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 17


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

PERBANKAN ISLAM DAN PERANANNYA SEBAGAI


INTERMEDIASI KEUANGAN
Oleh : Agustina Mutia, SE

Abstrak :
Islamic financial institutions like Islamic banking, the financial
intermediaries in money markets in a way different from conventional
banks, because he had more features PLS (profit and loss sharing) in
trade and investment financing. Intermediaries facilitate peedagangan
goods and services by acting as intermediaries for the principals of
financial transactions. Financial intermediaries can be equated with
a company that mediates between borrowers and lenders.

Keywords: Intermediation, profit and loss sharing.

Pendahuluan
Eksistensi lembaga keuangan khususnya sektor perbankan menempati
posisi sangat strategis dalam menjembatani kebutuhan modal kerja dan
investasi di sektor riil dengan pemilik dana (agent of economic development).
Dengan demikian, fungsi utama sektor perbankan dalam infrastruktur
kebijakan makro ekonomi memang diarahkan dalam konteks how to make
money effective and efficient to increase economic value.
Perkembangan sektor perbankan di Indonesia tidak terlepas dari
penerapan strategi pembangunan ekonomi Indonesia yang dikemas dalam
formulasi Trilogi Pembangunan, yang meliputi Pertumbuhan Ekonomi,
Stabilitas nasional dan Pemerataan. Doktrin trilogi tersebut menjadi
acuan utama diluncurkannya berbagai kebijakan pemerintah, baik di
bidang ekonomi maupun politik. Peluncuran kebijakan deregulasi 10
Oktober 1988 (Pakto 88) menjadi momentum besar bagi perkembangan
sektor perbankan. Sedangkan di sektor riil, berbagai kebijakan deregulasi
investasi seperti pemangkasan perizinan, kemudahan dan intensif, batas
waktu investasi dan penurunan daftar negatif investasi menjadi landasan
pertumbuhan industri-industri baru.

Muhammad, Bank Syari’ah Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman,
Yogyakarta, Penerbit Ekonosia, 2004, h. 65.

18 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Agustina Mutia, SE., Perbankan Islam...

Digulirkannya Pakto 1988 telah mempercepat peningkatan jumlah


bank dari tahun ke tahun. Pesatnya perkembangan perbankan telah berhasil
mempercepat sirkulasi tabungan masayarakat dan usaha. Tersedianya
sumber dana untuk dunia usaha dan didukung oleh kemudahan investasi
mendorong ekspansi usaha khususnya oleh grup-grup berskala besar.
Dampaknya, permintaan kredit terus meningkat, khususnya untuk sektor
perindustrian, perdagangan dan jasa-jasa. Selain itu, perkembangan usaha
tersebut dipercepat oleh relokasi industri-industri (export of company) dari
negara-negara maju yang sudah tidak ekonomis lagi untuk beroperasi.
Dalam sistem perbankan konvensional, selain berperan sebagai
jembatan antara pemilik dana dan dunia usaha, perbankan juga masih
menjadi penyekat antara keduanya karena tidak adanya transferability
risk and return. Tidak demikian halnya dengan sistem perbankan syari’ah
dimana perbankan syari’ah menjadi manajer investasi, wakil atau pemegang
amanat (custodian) dari pemilik dana atas investasi di sektor riil. Dengan
demikian, seluruh keberhasilan dan resiko dunia usaha atau pertumbuhan
ekonomi secara langsung diditribusikan kepada pemilik dana sehingga
menciptakan suasana harmoni.
Berdasarkan hal-hal tersebut maka penulis mencoba untuk mengkaji
bagaimana lembaga keuangan dalam hal ini perbankan, bekerja sebagai
intermediator keuangan di pasar uang, yang membedakan cara kerjanya
dengan perbankan konvensional.

Pasar dan Intermediasi Keuangan


Intermediator keuangan merupakan pihak yang memfasilitasi
perdagangan barang dan jasa dan bertindak sebagai perantara bagi para
pelaku transaksi. Intermediasi keuangan dapat disamakan dengan
perusahaan yang menengahi antara peminjam dan pemberi pinjaman dan
ia sendiri sering terlibat dalam proses akuisisi serta penjualan sekuritas
finansial (surat berharga).
Pasar juga harus mengatasi kebutuhan terhadap likuiditas apabila
investasi riilnya berumur panjang dan para pemberi kredit menghadapi
permintaan konsumsi yang tak terduga. Para intermediator keuangan
memasok informasi dan layanan likuiditas ini. Dengan begitu mereka
memiliki kedudukan yang penting dalam kelancaran operasi pasar uang
yang efisien.

Mervyn K Lewis & Latifa M. Algoud, Perbankan Syari’ah : Prinsip, Praktik dan
Prospek, Jakarta, Serambi, 2001, h. 87

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 19


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

Kadang-kadang intermediasi keuangan dibedakan dari pembiayaan


langsung lewat pasar uang. Perbedaan seperti itu menyebabkan pertukaran
dana antara penabung dan investor dilaksanakan dengan cara pertukaran
kredit langsung antara peminjam dan pemberi pinjaman atau dengan cara
pertukaran tidak langsung melalui sebuah institusi keuangan.
Ada perbedaan lain antara intermediasi keuangan yang tidak
memerlukan perubahan pada instrumen yang dipertukarkan dan
intermediasi keuangan yang melibatkan perubahan portofolio. Intermediasi
jenis pertama dilakukan oleh para bankir dan pialang investasi, yang
memberikan konsultasi, mengolah informasi untuk menjual kembali dan
mengevaluasi resiko kredit tanpa mengubah aset yang dialihkan. Sebaliknya
intermediator yang kedua mengubah portofolio dengan mengganti liabilitas
(utang) mereka dengan utang para peminjam terakhir dalam portofolio
pemberi pinjaman.
Dasar perbedaan antara dua kelompok intermediator keuangan ini
adalah konsepsi tentang pasar uang yang terdiri dari dua kategori : pasar
terorganisasi, yaitu pasar yang semua kontrak dan transaksi perdagangannya
relatif telah terstandarisasi (misalnya untuk obligasi, saham, valuta asing,
pinjaman singkat antar bank/call money) dan pasar informal atau pasar
berbasis bank lainnya.

Teori Intermediasi Keuangan


Analisis tradisional terhadap bank berpusat pada perannya sebagai
perantara di antara berbagai pilihan berbeda yang berkaitan dengan
batas waktu dan likuiditas para pemberi pinjaman dan peminjam, serta
pada kemampuannya sebagai intermediator khusus untuk mendapatkan
keuntungan dari economies of scale (perekonomian skala).
Menurut Gurley dan Shaw dalam kajian mereka tentang intermediasi
keuangan, membicarakan eksistensi bank dan menyebut economies of scale
dalam manajemen investasi, pengurangan resiko melalui diversifikasi
dan kemampuan bank bertumpu pada hukum jumlah besar (law of large
numbers) ketika mengelola likuiditas sebagai faktor penyokong operasi
mereka.

Ibid, h. 90.a

Gurley, J.G. dan E.S. Shaw, Intermediator Keuangan dan Proses Investasi Tabungan,
Journal of Finance, Cetak Ulang dalam M.K. Lewis (ed.), Financial Intermediaries;The
International Library of Critical Writings in Economics, Aldershot, UK dan Brookfield,
As, Edward Elgar, 1956, h. 11.

20 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Agustina Mutia, SE., Perbankan Islam...

Pada perkembangan berikutnya, muncul kecenderungan baru dalam


kajian perbankan yang secara khusus menganalisa alasan keberadaan
bank atau kondisi seperti apa yang diperlukan agar intermediasi dapat
berjalan dan bagaimana bentuknya. Menurut teori ini yang disebut Teori
Intermediasi Keuangan, beberapa faktor seperti; biaya transaksi, masalah
informasi yang tidak lengkap, dan isyarat pasar merupakan faktor yang
sangat penting. Maksudnya, kehadiran bank dan perannya sebagai
intermediator harus dijelaskan dan kedudukannya termasuk dalam biaya
transaksi atau yang disebut biaya informasi.
Asal mula teori “eksistensi” ini dapat ditelusuri dari Coase yang
mempertanyakan; jika mekanisme harga dianggap paling efisien untuk
mengalokasikan sumber daya dalam sebuah perekonomian pasar, lantas
mengapa perusahaan-perusahaan tetap eksis ? Menurutnya bahwa
agen-agen ekonomi mengeluarkan biaya transaksi ketika menggunakan
mekanisme harga dan perusahaan dapat dianggap sebagai alternatif untuk
transaksi pasar yang mengorganisir berbagai aktivitas, karena sebagian
prosedur seperti pembagian tugas dan kordinasi kerja berdasarkan perintah
(peraturan) ketimbang berdasarkan harga.
Agen analisis atau koalisi para agen dikenal sebagai bank atau
intermediator keuangan muncul sebagai reaksi terhadap ketidaksempurnaan
pasar dengan cara memberikan layanan informasi. Fungsi penting dari
intermediasi keuangan adalah untuk mengetahui hasil nilai proyek dan
nilai aset, serta berusaha mengetahui integritas dan kemampuan klien.
Ada beberapa macam biaya informasi yang seringkali menghambat
pemberian dana yaitu :
a) biaya pencarian, para calon pelaku transaksi harus mencari, memperoleh
dan memilih informasi, kemudian bertemu dan bernegosiasi dengan
pihak lain yang terlibat kontrak.
b) Biaya pembuktian, yaitu pengujian proposal pinjaman apabila
pemberi pinjaman tidak dapat menilai secara akurat prospek seorang
peminjam.
c) Biaya monitoring, yang dikeluarkan untuk mengawasi konsistensi
perilaku si peminjam terhadap isi kontrak dan memastikan setiap
kegagalan untuk memberikan suatu komoditas yang dijanjikan
disebabkan oleh alasan yang benar.

Ibid, h. 43.

Coase, R.H.,Alam Perusahaan, Economica, (NS), 1937, h. 4.

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 21


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

d) Biaya pelaksanaan, akan naik jikan peminjam tidak mampu memenuhi


kontrak dan harus dicarikan solusi seperti memunculkan aspek lain
dalam kontrak (misalnya keharusan adanya agunan).
Keberadaan bank/lembaga keuangan ini memungkinkan para
pemegang sekuritas potensial mengetahui informasi yang disediakan
para agen penilaian. Tetapi informasi yang terperinci tentang prospek
perusahaan sulit diperoleh dan biayanya terlalu mahal .

Monitoring yang Diwakilkan


Karena bank punya akses terhadap sumber informasi tingkat tinggi
menjadikan bank lebih unggul dari partisipan pasar lainnya, sehingga dapat
memberikan kredit atau jaminan peningkatan pasar (market enhancing)
untuk aktivitas-aktivitas yang akibat mahalnya biaya perolehan informasi.
Dengan ikut serta dalam pendanaan tidak langsung, penabung tidak perlu
mengawasi kondisi dan kinerja keuangan peminjam karena tugas ini
diwakilkan kepada intermediator (bank).
Kontrak perjanjian yang optimal antara deposan dan bank mengikuti
model skrinning (penyaringan) yang didelegasikan yang melibatkan bank
dalam pembiayaan kepada para deposan yang tak mungkin lalai. Mereka
tidak akan lalai karena bank telah melakukan skrinning dan monitoring yang
seksama terhadap pinjaman dan investasi dan mengurangi kemungkinan
bangkrut dengan memanfaatkan keuntungannya dari sisi ukuran dan
diversifikasi.

Verifikasi yang Mahal


Verifikasi atau monitoring yang mahal meniscayakan optimalisasi
kontrak utang yang diantaranya mengatur bahwa peminjam mesti
membayar secara tetap (fixed payment) kepada pemberi pinjaman jika hasil
usahanya baik. Namun peminjam harus menyerahkan seluruh pendapatan
jika hasil usahanya buruk atau jika tidak mampu mengembalikan pinjaman
atau bangkrut.
Meskipun pengusaha dapat melihat hasil investasi tanpa mengorbankan
apapun, pemberi pinjaman dapat melihat hasilnya hanya dengan cara
menyatakan kebangkrutan si peminjam yang akan merugikan pihak

Diamond, D, Intermediasi Keuangan dan Monitoring Yang Didelegasikan, Review of
Economic Studies, 1984, h. 51.

Ibid, h.43.

22 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Agustina Mutia, SE., Perbankan Islam...

pemberi pinjaman (seperti jatuhnya nilai bisnis karena kehilangan


reputasi). Berdasarkan asumsi ini muncul kontrak yang optimal dengan
insentif yang layak.
Dengan demikian model perjanjian Gale dan Hellwig menuntut
beberapa syarat berikut :
a) Pembayaran suatu jumlah tertentu apabila perusahaannya solvent
(sanggup membayar hutangnya)
b) Perusahaan akan dinyatakan bangkrut jika tidak sanggup membayar
jumlah yang ditetapkan
c) Bila perusahaan bangkrut, pemberi pinjaman menerima actual revenue
(pendapatan aktual) perusahaan dan aset-aset sisa dikurangi biaya
kebangkrutan.

Adverse Selection (Seleksi yang Merugikan)


Dalam kondisi tertentu, kontrak utang berperan sangat optimal ketika
ada problem seleksi proyek yang merugikan. Problem muncul apabila ada
hal penting dari proyek tidak diperhatikan oleh investor. Adverse selection
dapat terjadi juga pada tingkat resiko proyek investasi dan dalam hal ini
kontrak utang tak lagi optimal. Perjanjian ekuitas banyak menggunakan
kontrak utang untuk menghapus (setidaknya mengurangi) peluang
pengusaha untuk menimpakan kerugian kepada investor. Melalui kontrak
ekuitas, investor mendapat proporsi tertentu dari pendapatan bersih
proyek sehingga pengusaha tidak bisa mempermainkan laba atau rugi
dengan memilih suatu proyek untuk memaksimalkan laba. Jadi kontrak
ekuitas dapat mengatasi problem yang ditimbulkan oleh adverse selection
dan memberikan hasil yang terbaik.
Untuk mengurangi resiko adverse selection dan moral hazard, bankir
berusaha mengevaluasi nilai proyek dan kemampuan si peminjam
untuk membayar utang selama periode tertentu dengan menggunakan
pengetahuan pribadi dan catatan masa lampau.

Perbankan Islam dan Problem Insentif


Dari sudut pandang Islam, keseluruhan faktor-faktor di atas bukanlah
suatu keadaan yang menggembirakan. Sebab, perjanjian utang (riba)

Gale, D dan M. Hellwig, Perjanjian Utang dengan Insentif yang Kompatibel; Problem
Suatu Periode, Review of Economic Studies, 1985, h. 52.

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 23


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

standar, persyaratan agunan, kontrak pinjaman, pekerjaan yang dipaksakan


atau langkah-langkah lain untuk menghindari adverse selection dan moral
hazard semuanya dilarang dalam Islam. Pada saat yang sama bank Islam
bekerja melampaui intermediasi keuangan murni, serta berpartisipasi
langsung dalam bisnis dan investasi dengan prinsip Profit and Loss Sharing
(PLS) untuk seluruh ekuitas (modal). Bagaimana bank Islam mengatasi
problem insentif dan teori mana yang dianjurkan untuk diikuti ?

A. Karakteristik Mudharabah
Bank Islam pada hakekatnya adalah mitra bagi para deposannya
kecuali dalam hal rekening lancar dan layanan-layanan bank yang tidak
didanai, disatu sisi dan juga mitra bagi para nasabahnya, disisi lain sebagai
pengelola dana para deposan. Bank menghimpun dana dari masyarakat
melalui kontrak mudharabah yang dapat dibatasi oleh waktu, atau tujuan
dan dengan demikian menjadi mitra kelola selama berlakunya perjanjian.
Begitu bank Islam menjalin kontrak mudharabah dengan deposan,
ia akan menggunakan dana-dana itu melalui berbagai macam perjanjian
yang dibolehkan syari’ah : mudharabah, musyarakah, murabahah, ijarah
dan sebagainya. Dalam perjanjian mudharabah berlaku sayarat-syarat
berikut 10:
1. Bank menyediakan seluruh modal yang diperluakn untuk menjalankan
suatu proyek.
2. Pengusaha hanya menyediakan tenaga dan usaha. Kekayaannya
tidak dihitung sama sekali sehingga ia tak dapat memberikan agunan
apapun.
3. Perjanjian antara bank dan pengusaha merupakan perjanjian ekslusif,
yakni pengusaha tidak dibolehkan terlibat dalam aktivitas lainnya.
4. Kompensasi yang dibayarkan kepada pengusaha adalah bagian dari
laba bersih (net profit0 proyek yang dijalankan. Rasio pembagian ini
telah ditetapkan sebelumnya.
5. Kalau terjadi hasil negatif (kerugian) bank kehilangan sebagian atau
seluruh modalnya dan pengusaha tidak menerima imbalan apa pun
atas kerja dan usahanya.
6. Segera setelah perjanjian disepakati kedua belah pihak, bank tidak bisa
memonitor atau memaksa pengusaha lewat perangkat hukum untuk
melakukan tindakan lain apa pun.
10
Mervyn and Latifah, Log. Cit. h. 107.

24 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Agustina Mutia, SE., Perbankan Islam...

7. Terakhir, perjanjian secara otomatis batal bila salah satu pihak


meninggal, gila atau keluar dari Islam.
Ada perbedaan penting antara perjanjian ini dan perjanjian uang
standar, yang dapat dirumuskan sebagai berikut :11

r = P1 - P0

P0 adalah jumlah modal yang dipinjamkan kepada peminjam selama


t0 dan P1 adalah jumlah modal disetujui yang harus dikembalikan pada t1.
Jika P1 > P0 maka selisih antara P1 dan P0 adalah jumlah tambahan (riba)
atau bunga menurut pengertian Islam ortodoks.
Profits dan losses (PL-laba dan rugi) meliputi unsur ketidakpastian
(uncertainty). Tiap-tiap mitra (partner) dalam bisnis mudharabah sama-
sama mendapatkan bagian φ yang disetujui dari selisih antara pendapatan
total (total revenue [R] dan total biaya/total cost [C]). Maka laba yang
diharapkan dari partisipasi dalam sebuah usaha bersama adalah :

Π = φ E ( R – C ) = φ E ( PL )

E adalah nilai yang diharapkan. Pendapatan dapat dibagi secara pro


rata diantara berbagai unit produksi setelah dikurangi biaya. Distribusi
keuntungan ditentukan lewat proses tawar menawar antara investor
(peminjam) dan bank, dan pada gilirannya, antara penabung dan bank
di bawah sistem mudharabah “dua deret” atau “tiga deret”. Tetapi berbeda
dengan bunga, keuntungan tidak ditetapkan atau dipastikan sebelumnya,
melainkan berubah-ubah, bahkan bisa jadi negatif (rugi).

B. Persoalan Insentif
Karakteristik kontrak mudharabah vis-à-vis kontrak pinjaman
berbunga menciptakan atau setidaknya berpotensi menimbulkan tiga
problem insentif pada kedua sisi neraca dan dapat diinterpretasikan dari
sisi problem principal-agent (pemodal-agen/wakil) sebagai berikut 12:
1. Tidak adanya kemestian agunan semakin memperburuk problem
adverse selection. Menurut teori perbankan Islam, dana yang disediakan
berdasarkan sistem bagi hasil harus diberikan tanpa agunan apapun.
11
Karsten, I, Islam dan Intermediasi Keuangan, IMF Staff Papers, 1982, h. 29.
12
Mervyn and Latifah, Log. Cit. h. 109.

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 25


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

Kontrak investasi tanpa agunan seperti ini tentu saja beresiko tinggi.
Untuk mengatasi problem adverse selection dan diskriminasi antara
proyek beresiko tinggi dan proyek beresiko rendah, ketiadaan agunan
mengharuskan sebuah bank Islam untuk menjatah persediaan dana
bagi permodalan semacam ini.
2. Kontrak mudharabah menitikberatkan pada masalah moral hazard,
karena bank tak bisa memaksa pengusaha untuk mengambil tindakan
yang sesuai (atau tingkat usaha yang dibutuhkan). Menurut kontrak
mudharabah, pengusaha akan mendapatkan kompensasi berupa
bagian (saham) yang telah ditetapkan sebelumnya.
3. Karena pengeluaran perusahaan seluruhnya ditanggung oleh bank,
kontrak ini mendorong pengusaha untuk mengeluarkan biaya lebih
banyak dari yang dibutuhkan guna memaksimalkan laba. Kontrak
ini mendorong pengusaha untuk meningkatkan konsumsi sehingga
mendapatkan selisih keuntungan meski tidak berupa uang. Pengusaha
melakukan itu karena sebagian dari kenaikan konsumsi ditanggung oleh
bank, sedangkan keuntungan seluruhnya dihabiskan oleh pengusaha.
Pengusaha punya peluang untuk meningkatkan konsumsi sambil
bekerja dan mendapatkan hasil tambahan yang menguntungkannya,
seperti mengurangi atau menambah pegawai, memperluas ruang
kantor, memberikan layanan eksekutif dan lain sebagainya.
Banyak pengeluaran yang sama muncul di sisi liabilitas (utang), tetapi
dalam kasus ini bank merupakan wakil (mudharib) dan deposan adalah
pemilik modal (prinsipal). Jika bank mencetak laba, deposan pemegang
saham berhka menerima sebagiannya. Dilain pihak, jika bank merugi,
deposan pun mesti sama-sama menanggung kerugian itu, dan menerima
pengembalian negatif. Jadi, dari perspektif deposan, bertransaksi dengan
bank Islam dalam banyak hal sama dengan berinvestasi dalam kontrak
dana-bersama (mutual fund) atau perwakilan investasi (investment trust).

C. Sistem Perbankan Dana- Bersama (Mutual Fund)


Dari berbagai segi, kita dapat menarik perbedaan yang signifikan
antara pembiayaan bank Islam dan mutual fund. Meskipun dalam beberapa
hal dianggap sebagai penyimpangan, patut diketahui bahwa model dana-
bersama, dalam konteks sistem perbankan konvensional, dianggap sebagai
satu solusi untuk mengatasi kegagalan yang disebabkan oleh bank runs
(penarikan dana tabungan secara massal).

26 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Agustina Mutia, SE., Perbankan Islam...

Menurut Diamond dan Dybvig yang mencontohkan ketentuan bank


tentang “jaminan likuiditas” dan berbagai kesulitan yang dihadapi bank
dalam penarikan awal saldo-saldo tabungan. Namun, dalam model
mereka itu tidak ada satu hal pun yang mencegah bank untuk mengadakan
perjanjian jenis-ekuitas (equity-type) dan perjanjian deposito jenis utang
benar-benar ditentukan secara semaunya. Perjanjian jenis ekuitas bisa jadi
seperti mutual fund dan telah dibuktikan bisa memicu terjadinya bank
runs. Alasannya, bank akan menilai dan menebus deposito-deposito di
bawah sistem akuntansi nilai pasar dan pada nilai pasar lancar aset-aset
mereka (yang bisa lebih atau kurang dari nominal)13.
W.M. Khan, M.S. Khan dan Mirakhor dan Iqbal menyatakan bahwa
sistem perbankan Islam secara efektif dibangun mengikuti gagasan ini
karena resiko portofolio bank dipikul oleh para pemegang deposito dan
juga pemegang saham14. Dengan begitu, sistem ini kemungkinan besar
lebih stabil dibanding sistem perbankan konvensional. Argumen mereka
adalah sebagai berikut ; jika ada penurunan dalam nilai aset bank maka
hal itu tidak akan menjadi kesempatan bagi deposan untuk menarik uang
mereka, karena akan menjatuhkan saham mereka. Juga, posisi keuangan
seorang deposan tidak bergantung pada sepak terjang para deposan lain
karena masing-masing mendapat bagiannya dalam nilai bank yang tidak
tergantung pada apakah sebagian orang memutuskan untuk menarik saldo
mereka dan sebagian lainnya tidak.
Argumen ini sama dengan argumen pendukung sistem mutual
fund, tetapi sangat bergantung pada sifat portofolio investasi bank. Jika
portofolionya merupakan aset-aset jangka pendek yang beresiko kecil,
seperti treasury bill (surat utang jangka pendek), ada batas-batas yang
jelas terhadap resiko sampingan dari konversi-konversi awal. Ketika ada
aset-aset jangka panjang atau aset-aset yang sulit diperjualbelikan, masih
ada dorongan untuk “memukul pasar” pada saat menghadapi penurunan
harga. Sepanjang dilakukan transformasi yang matang (pemberian modal
jangka pendek, penanaman modal jangka panjang), resiko bank-runs akan
tetap ada.

13
Diamond, D., dan P. Dybvig, Bank Runs, Asuransi Deposito dan Likuiditas, Journal
of Political Economy, 1983, h. 91.
14
Khan, M.S., dan A. Mirakhor, Theoretical Studies in Islamic Banking and Finance,
Houston: Institute for Research and Islamic Studies, 1987, dan Khan, WM., Toward and
Interest-Free Islamic Economic System, Leicester: The Islamic Foundation. And Iqbal,
Sistem Keuangan Islam : Finance and Development, 1997, h. 34.

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 27


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

D. Sistem Berdasarkan Ekuitas ?


Dalam persoalan insentif, antara bank Islam dan sistem dana-bersama
atau agen investasi (investment trust) bersifat instruktif. Di samping
kesamaan, ada beberapa perbedaan mendasar di antara dua bentuk
investasi ini. Pada perusahaan investasi, para pemegang saham punya
bagian modal ekuitas perusahaan yang sebanding dan patut mendapatkan
beberapa hak, termasuk termasuk menerima arus informasi berskala
tentang perkembangan bisnis perusahaan dan punya hak suara, sesuai
dengan daham mereka, terhadap hal-hal penting, seperti perubahan
dalam kebijakan investasi. Dengan demikian mereka berada dalam posisi
untuk mengambil keputusan investasi, memonitor kinerja perusahaan
dan mempengaruhi keputusan-keputusan strategis. Jika mereka merasa
tidak puas dengan kinerja perusahaan, mereka bisa keluar dengan menjual
saham di bursa saham.
Bank-bank Islam, sebaliknya menerima simpanan dari masyarakat,
bukan menerbitkan dan menjual saham (meskipun mereka menerbitkan
“prospektus” yang berisi syarat-syarat pengaturan investasi). Para deposan
berhak mendapat bagian laba sesuai dengan rasio PLS yang ditetapkan
dalam kontrak, tetapi tidak punya hak suara karena mereka tidak memiliki
modal ekuitas bank sedikitpun, dan di bawah kontrak mudharabah mereka
tidak dapat mempengaruhi kebijakan investasi bank. Deposito investsi
tidak dapat ditarik kembali setiap saat, tetapi hanya pada saat jatuh tempo.
Dalam deposisto Islami yang menjadi masalah bukanlah nilai pasar, dalam
sistem Islam tidak ada nilai pasar karena deposito tidak diperjual belikan.
Nilai pasar pun tidak sama dengan nilai pokok aset yang dimodali bank,
kecuali kalau aset-aset ini berupa deposito. Poin penting dalam deposito
Islami adalah probabilitas investasi.15
Singkatnya, sistem perbankan Islam pada dasarnya didasarkan atas
ekuitas (modal sendiri); para deposan diperlakukan seolah-olah mereka
merupakan pemegang saham bank.16 Namun para deposan adalah pemegang
saham spesial, yakni pemegang saham yang tidak punya hak suara.
Biasanya orang yang punya hak kepemilikan dalam sebuah perusahaan
dapat mengungkapkan kekecewaannya terhadap kinerja perusahaan
dengan cara menarik saham mereka, atau kalau tidak mengungkapkannya
dengan cara tertentu. Hirschman menyebutnya sebagai dikotomi antara
“jalan keluar” dan “suara”. Maksudnya, para deposan Islami bersama para
15
Mervyn and Latifah, Log. Cit. h 113.
16
Khan, M.S.,Perbankan Bebas Bunga Islami: Sebuah Analisis Teoritis, IMF Staff
Papers, 1986, h. 33.

28 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Agustina Mutia, SE., Perbankan Islam...

pemegang saham yang tidak punya suara hanya punya sedikit “jalan keluar”
dan “tidak punya suara”.17
Yang jelas, para deposan bank Islam punya lebih banyak insentif untuk
memonitor kinerja bank dibandingkan para deposan bank konvensional.
Dan yang lebih penting, dalam lingkup perbankan Islam adalah transparansi
informasi.

E. Praktik Perbankan Islam


Berbagai masalah insentif yang diahdapi bank Islam dan atau para
deposannya, diapndang dari teori intermediasi keuangan konvensional,
memunculkan pertanyaan penting : “Apakah sistem seperti ini dapat
berjalan ?” Untuk menjawab pertanyaan itu, maka akan dicoba untuk
mengkaji mengenai perbankan Islam dan merumuskan berbagai hal yang
berhubungan dengan hal ini.
1. Biaya intermediasi
Pertama, untuk menghindari problem adverse selection, bank
Islam mungkin harus menguji secara ekstensif dan menghimpun
berbagai informasi yang dibutuhkan mengenai suatu proyek yang
hendak didanai. Akibatnya, ia butuh biaya intermediasi yang lebih
tinggi dibanding perbankan konvensional karena biaya monitoring
menjadi lebih besar.
Evaluasi dan monitoring yang intensif seperti itu tentu saja sangat
bagus. Seandainya bank konvensional melakukan langkah ini secara
lebih serius, sebagian besar bencana akibat pemberian pinjaman pada
beberapa dasawarsa ini mungkin dapat dihindari.
Dalam lingkungan perekonomian yang kurang berkembang,
yang menitikberatkan pada pembiayaan pedesaan, beberapa efek
eksternal kemungkinan akan mengalir dari aktivitas evaluasi yang
lebih intensif, yang memberikan semacam pengganti kerugian untuk
biaya monitoring. Namun, di lingkunag seperti itu, biasanya jarang
ditemukan keahlian teknis dan ekonomis. Kelangkaan ini, ditambah
biaya informasi yang tinggi, bisa menyebabkan lemahnya kinerja
pada banyak proyek. Untuk menilai kelangsungan hidup proyek, bank
harus mempekerjakan para ahli. Keahlian mereka dapat digunakan
tidak hanya untuk menilai proyek, tetapi juga untuk membimbing dan
17
Hirschman, A.O., Exit, Voice and Loyalty, Cambridge, Mass: Harvard University
Press, 1970

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 29


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

menasehati manajemen proyek, apakah langsung melalui partisipasi


atau melalui pelimpahan (spillover).18
M.A. Khan menggambarkan sejumlah model pembiayaan
pedesaan melalui teknik-teknik yang Islami, yang menunjukkan
bagaimana bank-bank Islam dapat memberikan bantuan dalam bentuk
perencanaan kelayakan, manajemen proyek dan pelatihan keahlian. Ia
juga mengemukakan pendapat yang menarik bahwa hukum auditing
dapat dirubah menjadi perintah kepada perusahaan yang menerima
dana dari bank Islam untuk mengadakan “auditing kerja” sebelum
menuntaskan laporan mereka, baik untuk memperbaiki kinerja
manajemen maupun untuk mengurangi biaya monitoring bank.
Melalui berbagai langkah ini diharapkan biaya administrasi yang lebih
mahal dapat diimbangi dengan kinerja yang lebih baik.19
2. Resiko Para Deposan
Kedua, kemestian bank Islam untuk melakukan monitoring
secara lebih ekstensif berdampak pada perilaku para deposan jika
fokus perhatiannya dialihkan dari hubungan bank-peminjam kepada
hubungan deposan bank. Fakta bahwa bank-bank Islam tidak
memberikan secara langsung pembayaran yang bisa disamakan
dengan bunga tetap kepada para deposannya, tetapi menjalankan
kontrak bagi-resiko dengan para peminjam, menunjukkan bahwa para
deposan harus menanggung lebih banyak kesulitan untuk memilih
dan memonitor akivitas bank mereka, dan tidak hanya menghindari
jangan sampai menyimpan dana mereka di bank yang gagal tetapi juga
bagaimana mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
Namun, dari segi keselamatan, benar jika dikatakan bahwa bank
Islam mungkin lebih stabil dibanding bank konvensional. Dalam
sebuah sistem berbasis bunga, terjadinya penarikan uang secara
beramai-ramai (bank runs) mungkin disebabkan oleh kenyataan bahwa
aset bank dapat berubah-ubah nilanya sedangkan nominal utang
mereka tetap. Dalam sistem perbankan Islami, kecuali untuk rekening
lancar, deposito didasarkan atas sistem PLS dan setiap penurunan
pendapatan bank yang disebabkan, misalnya oleh kegagalan atau
kerugian perusahaan, akan dengan segera diimbangi (kalau tidak

Mervyn and Latifah, Op. Cit. h 115.


18

19
Khan, M.A., Rural Development Throught Islamic Banks,,Leceister: The Islamic
Foundation, 1994.

30 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Agustina Mutia, SE., Perbankan Islam...

dilengkapi dengan cadangan yang telah disiapkan sebelumnya) oleh


penurunan yang sama dalam perolehan laba atas utang-utang bank,
dengan nilai deposito investasi yang berubah-ubah sebagai cerminan
setiap kerugian yang dipikul oleh bank. Dalam kasus seperti ini, bank
Islam bisa dikatakan mirip dengan sistem mutual fund ketimbang bank
konvensional yang menawarkan bentuk perjanjian “berbasis ekuitas”
(equity-based) meskipun dari jenis yang agak khusus.
3. Resiko para deposan
Ketiga, kita ingat bahwa dari sudut pandang efisiensi sektor
finansial, kontrak utang yang baku tetap saja bukan merupakan
aransemen keuangan yang optimal, semua tergantung pada besarnya
biaya monitoring dan apakah ada economics scale (perekonomian skala)
dalam pengumpulan informasinya. Dan isu ini telah disampaikan
oleh W.M. Khan, dimana ia membandingkan “fixed return scheme”
(FRS-skema keuntungan tetap) dalam kontrak utang dengan “variable
return scheme” (VRS-skema keuntungan berubah-ubah) dalam sistem
mudharabah. Pada awalnya ia berasumsi bahwa biaya monitoring
sama dengan nol, yakni baik pemberi pinjaman maupun pengusaha
dapat secara gratis mengetahui keuntungan yang didapat sebuah
proyek dan bahwa keuntungan itu tidak tergantung pada bagaimana
proyek itu didanai. Selain itu, ada sejumlah besar proyek investasi yang
tidak saling berhubungan dan kemampuan pihak pemberi pinjaman
untuk mendiversifikasi semua resiko sehingga jika tingkat bunga
dan rasio bagi-hasil ditetapkan sedemikian rupa sehingga hasilnya
sama antara FRS dan VRS, tentu para pemberi pinjaman tidak akan
melihat perbedaan antara keduanya. Kecenderungan para peminjam,
menentukan pilihan diantara kedua model pembiayaan itu. Bagi
peminjam yang netral resiko (risk-neutral) pilihan tidak menjadi
masalah.20 Namun jika bersikap melawan resiko (risk-adverse) , maka
VRS lebih unggul dari FRS dan ekuitas penuh juga lebih unggul dari
kombinasi utang dan ekuitas apapun, karena ekuitas menyebarkan
resiko lebih optimal daripada utang. VRS lebih unggul dari FRS kaena
di bawah VRS pemberi pinjaman benar-benar berbagi resiko yang di
bawah FRS ditanggung sepenuhnya oleh pengusaha.
Kesimpulannya, pembandingan menyeluruh antara dua skema

Modigliani, F. dan M.H. Miller, Biaya Modal, Dana Korporasi dan Teori Investasi,
20

American Economic Review, 1958, h. 48.

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 31


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

kontrak itu meliputi pertukaran antara biaya monitoring yang lebih


rendah menurut syarat-syarat FRS dan bagi resiko yang lebih baik
menurut skema VRS. Tetapi suatu saat pasti muncul situasi ketika posisi
ini terbali, yang memberi alasan teoritis untuk menjalankan praktek
perbankan Islam pada jenis proyek tertentu, yang memungkinkan
monitoring dan evaluasi dengan mudah. Satu cara agar ini bisa terjadi
adalah dengan pengembangan musyarakah, yang membolehkan
bank untuk memberikan bantuan teknis dalam bentuk penyiapan
studi kelayakan, perencanaan, pengordinasian dan pengelolaan
pembangunan proyek. Cara lainnya adalah dengan meletakkan pada
tempatnya prosedur-prosedur auditing pengaturan yang lebih canggih,
misalnya kita mengetahui proposal awal dari Khan, mengenai auditing
kinerja yang bersifat perintah.21
4. Aturan-aturan agama
Keempat, kita harus memperhatikan variabel agama dan pendapat
bahwa suatu analisis tentang pembiayaan Islami tidak dapat dilakukan
dari sudut pandang yang sepenuhnya ekonomis. Sesungguhnya
bebrapa ekonom muslim telah membuktikan bahwa dalam
lingkungan ekonomi Islam yang benar, problem insentif tidak akan
muncul. Sebetulnya, ideologi keagamaan yang Islami berlaku sebagai
mekanisme pelaksanaan itu sendiri untuk mengurangi inefisiensi
yang diakibatkan oleh informasi asimetris dan moral hazard. Ada dua
argumen, yang pertama; bahwa bank Islam akan mengatasi masalah
ini dengan cara mendapatkan sejumlah informasi yang benar sebelum
menyepakati sebuah kontrak mudharabah yang menetapkan langkah-
langkah apa yang harus diambil pengusaha.22 Dan karena bank Islam
dapat mengatasi problem moral hazard. Kedua; bahwa dalam sebuah
masyarakat Islami, setiap tindakan pengusaha ditentukan oleh sistem
normatif Islam yang akan mencegah dari melakukan tindakan yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Sesungguhnya bahwa
ideologi Islam bekerja dengan cara yang dapat meminimalisasi biaya
transaksi yang muncul dari problem insentif, karena pengusaha muslin
akan selalu bertindak jujur.
21
Khan, M.A, Rural Development Throght Islamic Banks, Leicester, The Islamic
Foundation, 1994.
22
Haque, Nadeem UI dan A. Mirakhor, Perjanjian Bagi Hasil yang Optimal dan
Investasi dalam Perekonomian Islam Bebas Bunga, IMF Working Paper, No. 12, Washington
DC: International Monetary Fund.

32 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Agustina Mutia, SE., Perbankan Islam...

F. Kesimpulan
Berdasarkan keempat isu di atas, yaitu biaya intermediasi, sikap dan
perilaku deposan, biaya monitoring dalam kontrak dan peran ajaran
agama dalam mengurangi problem insentif, merupakan hal yang sentral
bagi keberhasilan pembiayaan Islam yang khas.
Dalam ketiadaan mekanisme seperti itu, sebuah bank Islam mungkin
membatasi penerapan kontrak mudharabah dan kontrak musyarakah dan
sebagai gantinya menyediakan instrumen pembiayaan lain yang tidak
begitu kental diwarnai masalah insentif. Instrumen keuangan lain yang
dapat digunakan bank Islam seperti ; mark-up (murabahah), leasing (sewa),
dan lease-purchase (sewa beli atau ijarah, ijarah wa iqtina’).

DAFTAR PUSTAKA
Diamond, D., dan P. Dybvig, Bank Runs, Asuransi Deposito dan Likuiditas,
Journal of Political Economy, 1983.
Diamond, D, Intermediasi Keuangan dan Monitoring Yang Didelegasikan,
Review of Economic Studies, 1984 Diamond, D, Intermediasi
Keuangan dan Monitoring Yang Didelegasikan, Review of Economic
Studies, 1984
Gale, D dan M. Hellwig, Perjanjian Utang dengan Insentif yang Kompatibel;
Problem Suatu Periode, Review of Economic Studies, 1985
Haque, Nadeem UI dan A. Mirakhor, Perjanjian Bagi Hasil yang Optimal
dan Investasi dalam Perekonomian Islam Bebas Bunga, IMF
Working Paper, No. 12, Washington DC: International Monetary
Fund.
Hirschman, A.O., Exit, Voice and Loyalty, Cambridge, Mass: Harvard
University Press, 1970.
Khan, M.S.,Perbankan Bebas Bunga Islami: Sebuah Analisis Teoritis, IMF
Staff Papers, 1986.
Khan, M.S., dan A. Mirakhor, Theoretical Studies in Islamic Banking and
Finance, Houston: Institute for Research and Islamic Studies, 1987,
dan Khan, WM., Toward and Interest-Free Islamic Economic System,
Leicester: The Islamic Foundation. And Iqbal, Sistem Keuangan
Islam : Finance and Development, 1997.
Khan, M.A, Rural Development Throght Islamic Banks, Leicester, The
Islamic Foundation, 1994.

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 33


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

Muhammad, Bank Syari’ah Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan


Ancaman, Yogyakarta, Penerbit Ekonosia, 2004.
Mervyn K Lewis & Latifa M. Algoud, Perbankan Syari’ah : Prinsip, Praktik
dan Prospek, Jakarta, Serambi, 2001.

34 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Rafidah, SE, MEI., Perilaku Konsumsi...

PERILAKU KONSUMSI DALAM PERSPEKTIF


EKONOMI ISLAM
Oleh : Rafidah , SE,MEI

Studying economics is to learn all matters relating to domestic life.


The essence of life does have a lot of philosophies different. Life may be
defined as the human ability to survive for any conditions in various
situations. Here, the strategy of how to sustain human life dealing
with property. Human Penyikapan property characteristic of Islamic
economics. In a letter of An-Nisa: 5 God Almighty says: “And do not
leave it to people who have not perfect reason, which is used as God’s
property as a principal of life ...”

Keyword : perilaku, ekonomi dan Islam

1. Kebutuhan Fitrah Manusia sebagai Dasar Ekonomi Islami


Manusia adalah makhluk multi dimensional, di dalam diri manusia
terdapat aspek-aspek yang menggerakkan manusia bertindak dan
membutuhkan sesuatu. Beberapa aspek tersebut biasanya memberikan
dasar pijakan bagi pengembangan sesuatu.
Manusia itu terdiri dari unsur jasmani dan rohani yang dilengkapi
dengan akal dan hati. Unsur – unsur manusia itu memiliki kebutuhannya
masing-masing. Guna mempertahankan hidupnya manusia perlu makan,
minum dan perlindungan. Seperti dalam al-Qur’an surat al-A’raaf : 31

        

       



Artinya : “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)
mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-
lebihan”.
      
Tetapi manusia bukanlah semata-mata terdiri dari tubuh saja, sehingga
persoalan
semua  tidak
 dapat
dengan
   fisik
hokum-hukum   Manusia
semata. 

         


Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 35
 
        
Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

juga adalah makhluk biologis, karena itu juga tunduk pada hukum-hukum
biologis. Guna melestarikan  manusia
keturunannya   mempunyai
    
alat
reproduksi dalam dirinya yang ditandai oleh kecendrungan berupa seks
dan berkembang biak. Sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an surat Ali
Imran : 14 sebagai berikut :

       

      


        
         
       
 

Artinya : ”Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-
apa diingini,
 yang  
emas,  
kuda  binatang-binatang
  ternak
yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak

 dan
 sawah ladang.
 Itulah   hidup
 kesenangan di di
dan  
dari jenis perak, pilihan,
dunia, sisi Allah-lah
      
tempat kembali yang baik (surga)”.

 dan   


kemampuan  memikirkan
 berbagai
rahasia
 dari

Manusia juga memiliki akal yang membutuhkan sarana berupa ilmu
pengetahuan untuk
ciptaan Allah yang ada di langit dan dibumi. Sebagai makhluk rasional
ilmu
maka
sifat akal selalu menuntut kepuasan. Dari sudut pandang ini 
pengetahuan adalah merupakan tuntutan kebutuhannya. Seperti yang
tercantum dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 189 sebagaimana berikut :

          
Artinya: “Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha
Perkasa atas segala sesuatu”.

Manusia juga makhluk sosial yang didorong oleh watak aslinya untuk
bergaul dengan manusia lainnya. Keinginan alamiah untuk menjalin
hubungan permanent antara pria dan wanita, ketergantungan anak
manusia akan perlindungan orang tuanya, keinginan manusia untuk
membela kepentingan keturunannya dan mempertahankan kasih sayang
antara saudara sedarah, kesemuanya itu merupakan kecenderungan alami
yang mengarahkan mereka dalam membangun kehidupan sosialnya.

36 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Rafidah, SE, MEI., Perilaku Konsumsi...

Agar manusia selalu terdorong untuk berusaha memenuhi


kebutuhannya, Allah menghiasi pula dengan nafsu dan keinginan, baik
untuk memperoleh kesenangan biologis maupun kesenangan lainnya
seperti kecintaan kepada harta yang banyak, dari jenis emas dan perak ,
binatang ternak dan sawah ladang.
Nafsulah yang merupakan motivator bagi manusia untuk selalu
berusaha memenuhi keinginannya tersebut. Guna memenuhi keinginannya
itu, sang nafsu lalu meminta bantuan akal untuk mencari cara yang paling
cepat dan mudah untuk mendapatkannya. Akal akan menawarkan berbagai
alternative, sesuai dengan kapasitasnya. Kualitas akal ini akan tergantung
pada pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya, sedangkan tawaran
alternative metode yang disarankan oleh akal tersebut bisa bersifat rasional
atau irrasional.
Manusia juga merupakan makhluk moral spiritual, yang mampu
membedakan antara kebaikan dan kejahatan, memiliki dorongan bawaan
untuk mencapai realitas di luar pengertian akal. Fungsi dari moral spiritual
ini diperankan oleh hati. Dalam hal ini, hati berfungsi memberikan
pertimbangan kepada nafsu, apakah jenis kebutuhan yang diinginkannya
itu halal atau haram, bermanfaat ataukah membahayakan dirinya,
jumlah kebutuhan yang diinginkannya itu wajar ataukah berlebihan dan
cara mendapatkannya itu layak ataukah tidak untuk diperturutkan dan
dilaksanakan.
Kualitas dari pertimbagan hati itu akan tergantung kepada system
nilai yang dianutnya dan intensitasnya mengingat Illahi yang diimaninya.
Apabila hati beriman kepada Allah dan selalu mengingat-Nya dengan
intensitas yang tinggi, maka nilai pertimbangannya pun semakin baik
sesuai dengan norma-norma etika yang telah ditetapkan oleh Allah.
Akumulasi interaksi antara nafsu, akal dan hati inilah yang akan
menentukan kualitas nilai diri manusia tersebut. Diri yang simbang
hanya akan memenuhi kebutuhan yang sesuai dengan fitrahnya saja, yaitu
kebutuhan yang dihalalkan oleh Allah SWT.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa manusia yang terdiri dari
keseluruhan sifat-sifat tersebut ( fisik, biologis, intelektual, spiritual dan
sosiologis) memiliki kebutuhan masing-masing yang dipadukan bersama-
sama. Keseimbangan pemenuhan kebutuhan masing-masing unsur
tersebut akan sangat bergantung kepada lemah kuatnya dorongan nafsu
dan kualitas pengendalian yang diperani oleh akal dan hati. Akal dan hati

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 37


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

yang berkualitas pasti akan membatasi konsumsinya sebatas kebutuhan


fitrahnya. Konsumsi yang melebihi kebutuhan fitrah adalah kebutuhan
palsu, yang justru akan merusak dirinya.

2. Teori perilaku konsumsi konvensional


Perilaku konsumen timbul akibat adanya kendala keterbatasan
pendapatan di satu sisi dan adanya keinginan untuk mengkonsumsi barang
dan jasa sebanyak-banyaknya agar diperoleh kepuasan maksimal. Teori
tingkah laku konsumen dapat dibedakan dalam dua macam pendekatan
yaitu pendekatan nilai guna (utility) cardinal dan pendekatan nilai guna
ordinal.
a. Pendekatan nilai guna (utility) kardinal.
Pendekatan nilai guna kardinal dianggap manfaat atau kenikmatan
yang diperoleh seorang konsumen dapat dinyatakan secara kuantitatif,
konsumen akan memaksimumkan kepuasan yang dapat dicapainya.
Kalau kepuasan itu semakin tinggi maka makin tinggilah nilai gunanya
atau utilitinya.
Nilai guna dibedakan dengan dua pengertian yaitu nilai guna
total dan nilai guna marginal. Nilai guna total dapat diartikan sebagai
jumlah seluruh kepuasan yang diperoleh dari mengkonsumsi sejumlah
barang tertentu. Sedangkan nilai guna marginal berarti penambahan
(atau pengurangan ) kepuasan sebagai akibat dan pertambahan (atau
pengurangan) penggunaan satu unit barang.
Hipotesa utama teori nilai guna atau lebih dikenal sebagai
hukum nilai guna marginal yang semakin menurun, menyatakan
bahwa tambahan nilai guna yang akan diperoleh seseorang dari
mengkonsumsikan suatu barang akan menjadi semakin sedikit apabila
orang tersebut terus menerus menambah konsumsinya ke atas barang
tersebut. Pada akhirnya tambahan nilai guna akan menjadi negative
yaitu apabila konsumsi ke atas barang tersebut ditambah satu unit lagi
maka nilai guna total akan menjadi semakin sedikit.
Asumsi dari pendekatan ini adalah :


Sadono Sukirno, Mikro Ekonomi Teori Pengantar, (Jakarta, PT.RajaGrafindo
Persada), h.54

Tati Suhartati Joesron,DR, Teori Ekonomi Mikro , ( Jakarta, Salemba Empat,2003),
h.45

38 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Rafidah, SE, MEI., Perilaku Konsumsi...

1. Konsumen rasional. Konsumen bertujuan memaksimalkan


kepuasannya dengan batasan pendapatannya.
2. Diminishing Marginal Utility artinya tambahan utilitas yang
diperoleh konsumen makin menurun dengan bertambahnya
konsumsi dari komoditas tersebut.
3. Pendapatan konsumen tetap.
4. Constant Marginal Utility of Money artinya uang mempunyai nilai
subjektif yang tetap.
Setiap orang akan berusaha untuk memaksimumkan nilai
guna dari barang-barang yang dikonsumsikannya. Apabila yang
dikonsumsikannya hanya satu barang saja, tidak sukar untuk
menentukan pada tingkat mana nilai guna dari menikmati barang
itu akan mencapai tingkat yang maksimum. Tingkat itu dicapai pada
waktu nilai guna total mencapai tingkat maksimum. Tetapi kalau
barang yang digunakan adalah berbagai-bagai jenisnya, cara untuk
menentukan corak konsumsi barang-barang yang akan menciptakan
nilai guna yang maksimum menjadi lebih rumit.
Dalam keadaaan dimana harga-harga berbagai baranng adalah
berbeda syarat yang harus dipenuhi agar barang-barang yang
dikonsumsikan akan memberikan nilai guna yang maksimum adalah
setiap rupiah yang dikeluarkan untuk membeli unit tambahan
berbagai jenis barang akan memberikan nilai guna marginal yang
sama besarnya.
Walaupun teori ini telah berhasil menyusun formulasi fungsi
permintaan secara baik tetapi pendekatan ini masih dianggap
mempunyai beberapa kelemahan. Kelemahan dan kritik terhadap
pendekatan ini adalah :
1. Sifat subjektif dari daya guna dan tidak adanya alat ukur yang tepat
dan sesuai, maksudnya asumsi dasar bahwa kepuasan konsumen
dapat diukur dengan satuan rupiah atau util penerapannya akan
sulit dilakukan. Di samping itu nilai dari daya guna suatu barang
sangat bergantung pada penilainya, sehingga akan sulit untuk
membuat generalisasi dari analisis seseorang atau sekelompok
orang.
2. Constant Marginal Utility of money. Biasanya makin banyak
seseorang memiliki uang maka penilaian terhadap satuan uang
itu makin rendah. Oleh sebab itu nilai uang yang tetap masih
diragukan .

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 39


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

3. Diminishing marginal utility sangat sulit diterima sebagai aksioma


sebab penilaiannya dari segi psikologis yang sangat sukar.
b. Analisis kurva kepuasan sama.( pendekatan ordinal)
Pendekatan ini diperkenalkan oleh J.Hicks dan R.J.Allen. Dalam
pendekatan ini daya guna suatu barang tidak perlu diukur, cukup untuk
diketahui dan konsumen mampu membuat urutan tinggi rendahnya
daya guna yang diperoleh dari mengkonsumsi sekelompok barang.
Pendekatan yang diapakai dalam teori ordinal adalah Indefernce
Curve yakni kurva yang menunjukkan kombinasi 2 (dua) macam
barang konsumsi yang memberikan tingkat kepuasan yang sama.
Asumsi dari pendekatan ini adalah :
1. Konsumen rasional.
2. Konsumen mempunyai pola preferensi terhadap barang yang
disusun berdasarkan urutan besar kecilnya daya guna.
3. Konsumen mempunyai sejumlah uang tertentu.
4. Konsumen selalu berusaha mencapai kepuasan maksimum.
5. Konsumen konsisten, artinya bila A lebih dipilih daripada B karena
A lebih disukai daripada B, dan tidak berlaku sebaliknya B lebih
dipilih daripada A;
6. Berlaku hokum transitif, artinya bila A lebih disukai daripada B,
dan B lebih disukai daripada C maka A lebih disukai daripada C.
Dasar pemikiran dari pendekatan ini adalah semakin banyak
barang yang dikonsumsi semakin memberikan kepuasan terhadap
konsumen. Pilihan konsumen tersebut banyak sekali, sehingga dapat
dibangun indefernce curve yang tidak terhingga banyaknya. Titik
kepuasan konsumen yang paling tinggi adalah titik T (bliss point)
yang menggambarkan bahwa konsumen telah mengkonsumsi jumlah
barang X dan Y tidak terhingga.
Indefernce Curve mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1. Turun dari kiri atas ke kanan bawah. Implikasinya apabila
konsumen ingin menambah konsumsi barang X harus mengurang
barang Y apabila kepuasannya yang diperoleh tetap sama. Jadi,
antar barang harus terjadi trade off atau saling meniadakan.
2. Cembung kearah titik origin. Ini disebabkan kesediaan konsumen
untuk melepaskan satu satuan barang X untuk mendapatkan satu
satuan barang Y dengan tingkat kepuasan yang sama.

40 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Rafidah, SE, MEI., Perilaku Konsumsi...

3. Tidak saling berpotongan.


4. Kurva tersebut menunjukkan kombinasi barang yang dikonsumsi
lebih banyak sehingga memberikan kepuasan yang lebih tinggi
dan lebih disukai oleh konsumen rasional.
Walaupun metode ini juga telah menghasilkan kurva permintaan
yang cukup sederhana, ternyata juga masih banyak mengandung
kelemahan. Kritik terhadap pendekatan ordinal antara lain sebagai
berikut :
1. Adanya asumsi convexity dari indeference curve masih
diragukan.
2. Rasionality dari konsumen dalam membuat ranking atau
order dari kepuasan atau daya guna yang diperoleh juga masih
dipertanyakan.
3. Tidak menganalisis efek adanya advertising, perilaku masa lampau,
persediaan perilaku konsumsi yang irrasional yang nantinya akan
menambah efek yang ditimbulkan permasalahan yang irrasional
ini sangat penting bagi para pembuat keputusan, misalnya dalam
penentuan harga dan output dari produsen.
4. Merupakan pengembangan dari teori perilaku konsumen cardinal
dengan mengganti asumsi yang sangat lemah.

3. Teori konsumsi dalam perspektif ekonomi Islam.


a. Konsep Islam tentang kebutuhan
Kebutuhan adalah senilai dengan keinginan. Di mana keinginan
ditentukan oleh konsep kepuasan. Dalam perspektif Islam kebutuhan
ditentukan oleh konsep maslahah.
Teori ekonomi konvensional menjabarkan kepuasan seperti
memiliki barang dan jasa untuk memuaskan keinginan manusia.
Kepuasan ditentukan secara subyektif. Tiap-tiap orang memiliki atau
mencapai kepuasannya menurut ukuran atau kriterianya sendiri.
Suatu aktivitas ekonomi untuk menghasilkan sesuatu adalah didorong
karena adanya kegunaan dalam suatu barang. Jika sesuatu itu dapat
memenuhi kebutuhan maka manusia akan melakukan usaha untuk
mengkonsumsi sesuatu itu.
Menurut Syatibi, maslahah adalah pemilikan atau kekuatan
barang dan jasa yang mengandung elemen-elemen dasar dan tujuan

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 41


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

kehidupan umat manusia di dunia ini . Syatibi membedakan maslahah


menjadi tiga yaitu : kebutuhan (daruriyah), pelengkap ( hajiyah),
perbaikan (tahsiniyah).
Daruriyah , yaitu sesuatu yang wajib adanya yang menjadi pokok
kebutuhan hidup untuk menegakkan kemaslahatan manusia. Hal-hal
yang bersifat darury bagi manusia dalam pengertian ini berpagkal pada
memelihara lima hal yaitu : agama, jiwa , akal, kehormatan, dan harta.
Dalam hal ini Qardhawi menambahkan satu hal daarury yaitu anak
atau keturunan . Jadi memelihara satu dari lima hal itu merupakan
kepentingan yang bersifat primer bagi manusia.
Hajiyah, ialah suatu yang diperlukan oleh manusia dengan maksud
untuk membuat ringam,lapang dan nyaman dalam menanggulangi
kesulitan-kesulitan kehidupan. Faktor eksternal dalam hal ini
berpangkal pada tujuan menghilangkan kesulitan dan beban hidup
sehingga memudahkan mereka dalam merealisasikan tata cara
pergaulan, perubahan zaman dan menempuh kehidupan.
Tahsiniyah ialah sesuatu yang diperlukan oleh normal atau
tatanan hidup serta berperilaku menurut jalan yang lurus. Hal yang
bersifat tahsiniyah berpangkal dari tradisi yang baik dan segala tujuan
peri kehidupan manusia menurut jalan yang paling baik.
Jadi semua barang dan jasa yang memiliki kekuatan untuk
memenuhi lima elemen pokok telah dapat dikatakan memiliki
maslahah bagi umat manusia.
Beberapa keunggulan konsep maslahah adalah sebagai berikut :
1. Maslahah adalah obyektif karena bertolak dari pemenuhan need.
Karena need ditentukan berdasarkan pertimbangan rasional
normative dan positif, maka akan terdapat suatu criteria yang
obyektif tentang apakah sesuatu benda ekonomi memiliki
maslahah atau tidak. Sementara dalam utilitas orang mendasarkan
pada criteria yang bersifat subyektif, karenanya dapat berbeda di
antara orang yang satu dengan yang lain.
2. Maslahah individual akan terisi dengan maslahah social dan tidak
seperti kepuasan individual yang seringkali akan menimbulkan
konflik kepuasan social.
3. Konsep maslahah ditekankan pada semua aktivitas ekonomi
dalam suatu masyarakat. Tidak seperti pada teori konvensional

Hendrie Anto,Pengantar Ekonomi Mikro Islam, ((Yogyakarta, Ekonosia,2003),
h.126

42 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Rafidah, SE, MEI., Perilaku Konsumsi...

dimana kepuasan hanya berkaitan dengan masalah konsumsi dan


keuntungan bersinggungan dengan masalah produksi.
4. Dalam hal ini tidak mungkin membandingkan kepuasan yang diperoleh
orang A pada saat mengkonsumsi suatu makanan yang baik dengan
kepuasan yang didapat oleh orang B yang mengkonsumsi barang yang
sama dalam waktu yang sama.
b. Preferensi Konsumsi yang Islami.
Dalam ekonomi konvensional , pada dasarnya satu jenis benda
ekonomi merupakan substitusi sempurna bagi benda ekonomi lainnya
sepanjang memberikan utilitas yang sama sepanjang utilitasnya
maksimum. Tidak ada benda ekonomi yang lebih berharga daripada
benda ekonomi lainnya, yang membedakan adalah tingkat kepuasan
diperoleh akibat mengkonsumsi benda tersebut. Karenanya, benda
yang memberikan utilitas lebih tinggi akan menjadi lebih berharga
dibandingkan yang memberikan utilitas yang rendah.
Dalam perspektif Islam, antara benda ekonomi yang satu dengan
lainnya bukan merupakan substitusi yang sempurna. Terdapat benda
ekonomi yang lebih berharga dan bernilai sehingga akan diutamakan
dibandingkan pilihan konsumsi lainnya. Sebaliknya terdapat benda
ekonomi yang kurang/ tidak bernilai, bahkan terlarang, sehingga akan
dijauhi. Selain itu juga terdapat prioritas-prioritas dalam pemenuhannya
berdasarkan tingkat kemaslahatan yang dibutuhkan untuk menunjang
kehidupan yang Islami. Dengan demikian, preferensi konsumsi dan
pemenuhannya akan memiliki pola sebagai berikut :
1. Mengutamakan akhirat daripada dunia.
Pada tataran paling dasar, seorang muslim akan dihadapkan
pada pilihan di antara mengkonsumsi benda ekonomi yang
bersifat duniawi belaka (Cw) dan yang bersifat ibadah (Ci).
Konsumsi untuk ibadah bernilai lebih tinggi dibandingkan dengan
konsumsi untuk duniawi sehingga keduanya bukan merupakan
substitusi sempurna. Konsumsi untuk ibadah bernilai lebih tinggi
karena orientasinya kepada falah yang akan mendapatkan pahala
dari Allah, sehingga lebih berorientasi kepada kehidupan akhirat
kelak.
Konsumsi untuk ibadah pada hakekatnya adalah konsumsi
untuk masa depan, sementara konsumsi duniawi adalah konsumsi

Ibid

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 43


       

  Volume


 1,Nomor
 1,  2009
Juni  

untuk masa sekarang. Semakin besar konsumsi untuk ibadah maka


 tinggi
semakin  pula
 falah
 yang  , demikianpula
dicapai     
sebaliknya.
Semakin besar konsumsi duniawi maka semakin rendah falah yang
 Hubungan
dicapainya.   antara
  falah
  dengan
kedua
 konsumsi
jenis  
ini dapat dilihat dalam gambar berikut ini :
F

Ci
Ket : Terdapat hubungan positif antara pencapaian tujuan
falah dengan kebutuhan konsumsiCiibadah. Semakin tinggi tujuan
F falah yang ingin dicapai semakin dituntut untuk memperbesar
konsumsi kebutuhan ibadah.
F

CW

CW
Ket : Terdapat hubungan negative antara pencapaian tujuan
falah dengan kebutuhan konsumsi duniawi. Semakin tinggi tujuan
falah yang ingin dicapai, semakin dituntut untuk mengurangi
konsumsi kebutuhan duniawi. 1
Seorang muslim yang rasional, yaitu orang yang
beriman,semestinya akan mengalokasikan anggaran lebih banyak 1
dalam konsumsi untuk ibadah dibandingkan dengan konsumsi
duniawi karena tujuan maksimasi falah. Dengan pencapaian
tujuan falah yang tinggi maka akan memperoleh utilitas yang
lebih bernilai dibandingkan dengan utilitas dunia. Semakain

44 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Rafidah, SE, MEI., Perilaku Konsumsi...

tidak rasional, maka seseorang akan semakin kufur karena alokasi


anggarannya sebagian besar hanya untuk kepentingan dunia saja
daripada akhirat.
Allah membolehkan hambaaNya menikmati kekayaan dunia
sebagai wujud syukur kepadaNya dan sekaligus sebagai sarana
untuk ibadah. Apabila anggaran seseorang sangat kecil sehingga
hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum
sehingga terpaksa tidak terdapat alokasi konsumsi untuk ibadah.
Di bawah ini terlihat hubungan antara keimanan dengan pola
budget line :

Ci
Ci

CW
CW
Ket : Semakin rasional (beriman) seorang muslim maka budget
linenya akan semakin condong vertikan (inelastis)

Ci
Ci

CW
CW
Ket : Semakin tidak rasional (kufur) seorang muslim maka
budget linenya akan semakin condong harisontal (elastis).
2. Konsisten dalam Prioritas Pemenuhannya.
Seorang muslim harus mengalokasikan anggarannya secara
urut sesuai dengann tingkatan prioritasnya secara konsisten.
Kebutuhan pada tingkat daruriyah harus dipenuhi terlebih dahulu,
baru kemudian hajiyah dan terakhir tahsiniyah. Konsumsi setelah
prioritas-prioritas ini dapat diperkenankan sepanjang tidak
dilarang oleh syariah Islam. Prioritas ini semestinya diterapkan

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 45


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

pada semua jenis kebutuhannya, yaitu kehidupan, harta, kebenaran,


ilmu pengetahuan dan kelangsungan keturunan.
3. Memperhatikan etika dan norma.
Syariah Islam memiliki seperangkat etika dan norma yang
harus dipegang manakala seseorang berkonsumsi. Beberapa etika
menurut M.A. Manan adalah :
1. Prinsip Keadilan
Berkonsumsi tidak boleh menimbulkan kedzaliman, berada
dalam koridor aturan atau hokum agama, serta menjunjung tinggi
kepantasan atau kebaikan. Islam memiliki berbagai ketentuan
tentang benda ekonomi yang boleh dikonsumsi dan yang tidak
boleh dikonsumsi.
2. Prinsip Kebersihan
Bersih dalam arti sempit adalah bebas dari kotoran atau
penyakit yang dapat merusak fisik dan mental manusia, sementara
dalam arti luas adalah bebas dari segala sesuatu yang diberkahi
Allah. Tentu saj benda yang dikonsumsi memiliki manfaat bukan
kemubaziran atau bahkan merusak.
3. Prinsip Kesederhanaan
Sikap berlebih-lebihan (israf) sangat dibenci oleh Allah dan
merupakan pangkal dari berbagai kerusakan di muka bumi. Sikap
berlebih-lebihan ini mengandung makna melebihi dari kebutuhan
yang wajar dan cenderung memperturutkan hawa nafsu atau
sebaliknya terlampau kikir sehingga justru menyiksa diri sendiri.
Islam menghendaki suatu kuantitas dan kualitas konsumsi yang
wajar bagi kebutuhan manusia sehingga tercipta pola konsumsi
yang efesien dan efektif secara individual maupun sosial.
4. Prinsip Kemurahan hati.
Dengan mentaati ajaran Islam maka tidak ada bahaya
atau dosa ketika mengkonsumsi benda-benda ekonomi yang
halal yang disediakan Allah karena kemurahanNya. Selama
konsumsi ini merupakan upaya pemenuhan kebutuhan yang
membawa kemanfaatan bagi kehidupan dan peran manusia
untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah maka Allah elah
memberikan anugrahNya bagi manusia.

46 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Rafidah, SE, MEI., Perilaku Konsumsi...

5. Prinsip Moralitas.
Pada akhirnya konsumsi seorang muslim secara keseluruhan
harus dibingkai oleh moralitas yang dikandung dalam Islam
sehingga tidak semata – mata memenuhi segala kebutuhan.
Menurut Yusuf Qardhawi, ada beberaa norma dasar yang
menjadi landasan dalam berprilaku konsumsi seorang muslim
antara lain :
1. Membelanjakan harta dalam kebaikan dan menjauhi sifat
kikir.
Harta diberikan Allah SWT kepada manusia bukan untuk
disimpan , ditimbun atau sekedar dihitung-hitung tetapi digunakan
bagi kemaslahatan manusia sendiri serta sarana beribadah kepada
Allah. Konsekuensinya, penimbunan harta dilarang keras oleh
Islam dan memanfaatkannya adalah diwajibkan.
2. Tidak melakukan kemubadziran.
Seorang muslim senantiasa membelanjakan hartanya untuk
kebutuhan-kebutuhan yang bermanfaat dan tidak berlebihan
(boros/israf). Sebagaimana seorang muslim tidak boleh
memperoleh harta haram, ia juga tidak akan membelanjakannya
untuk hal yang haram. Beberapa sikap yang harus diperhatikan
adalah :
a. Menjauhi berutang.
Setiap muslim diperintahkan untuk menyeimbangkan pendapatan
dengan pengeluarannya. Jadi sberutang sangat tidak dianjurkan,
kecuali untuk keadaan yang sangat terpaksa.
b. Menjaga asset yang mapan dan pokok.
Tidak sepatutnya seorang muslim memperbanyak belanjanya
dengan cara menjual asset-aset yang mapan dan pokok, misalnya
tempat tinggal. Nabi mengingatkan, jika terpaksa menjual asset
maka hasilnya hendaknya digunakan untuk membeli asset lain
agar berkahnya tetap terjaga.
c. Tidak hidup mewah dan boros.
Kemewahan dan pemborosan yaitu menenggelamkan diri dalam
kenikmatan dan bermegah-megahangat ditentang oleh ajaran
Islam. Sikap ini selain akan merusak pribadi-pribadi manusia juga

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 47


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

akan merusak tatanan masyarakat. Kemewahan dan pemborosan


akan menenggelamkan manusia dalam kesibukan memenuhi
nafsu birahi dan kepuasan perut sehingga seringkali melupakan
norma dan etika agama karenanya menjauhkan diri dari Allah.
Kemegahan akan merusak masyarakat karena biasanya terdapat
golongan minoritas kaya yang menindas mayoritas miskin.
3. Kesederhanaan.
Membelanjakan harta pada kuantitas dan kualitas secukupnya
adalah sikap terpuji bahkan penghematan merupakan salah satu
langkah yang sangat dianjurkan pada saat krisis ekonomi terjadi.
Dalam situasi ini sikap sederhana yang dilakukan untuk menjaga
kemaslahatan masyarakat luas.
4. Penutup.
Dengan melihat tujuan utama berkonsumsi sertametode alokasi
preferensi konsumsi dan anggaran maka dapat disimpulkan bahwa
penggerak awal kegiatan konsumsi dalam ekonomi konvensional
adalah adanya keinginan (want) . Seseorang berkonsumsi karena
ingin memenuhi keinginannya sehingga dapat mencapai kepuasan
yang maksimal.
Islam menolak perilaku manusia untuk selalu memenhi
segala keinginannya, karena pada dasarnya manusia memiliki
kecendrungan terhadap keinginan yang baik dan keinginan yang
buruk sekaligus. Keinginan manusia didorong oleh suatu kekuatan
dari dalam diri manusia yang bersifat pribadi dan karenanya
seringkali berbeda dari satu orang dengan orang lain. Keinginan
seringkali tidak selalu sejalan dengan rasionalitas, karenanya
berifat tidak terbatas dalam kuantitas dan kualitasnya. Kekuatan
dari dalam diri disebut jiwa atau hawa nafsu yang memang menjadi
penggerak utama seluruh perilaku manusia. Dalam ajaran Islam
manusia harus mengendalikan dan mengarahkan keinginannya
sehingga dapat membawa kemanfaatan dan bukan kerugian bagi
kehidupan dunia dan akhirat.
Keinginan yang sudah dikendalikan dan diarahkan sehingga
membawa kemanfaatan ini dapat disebut dengan kebutuhan.
Kebutuhan lahir dari suatu pemikiran secara obyektif atas berbagai
sarana yang diperlukan untuk mendapatkan suatu manfaat bagi
kehidupan. Kebutuhan dituntun oleh rasionalitas normative dan

48 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Rafidah, SE, MEI., Perilaku Konsumsi...

positif yaitu rasionalitas ajaran Islam sehingga bersifat terbatas


dan terukur dalam kuantitas dan kualitasnya.Hal ini meruapakan
dasar dan tujuan dari syariah Islam yaitu maslahat al ibad (
kesejahteraan hakiki bagi manusia) dan sekaligus sebagai cara
untuk mendapatkan falah yang maksimum.

Daftar Pustaka
Hendri Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, Yogyakarta : 2003
Karim, Adiwarman, Ekonomi Mikro Islam, 2003
J.Setiadi, Nugroho, Perilaku Konsumen, Jakarta : 2005
Muhammad, Ekonimi Mikro dalam Perspektif Islam, Yogyakarta : 2004
Suprayitno, Eko, Ekonomi Islam :Pendekatan EKonomi Makro Islam dan
Konvensional, Yogyakarta : 2005
Sukirno, Sadono, Mikro Ekonomi Teori Pengantar, Jakarta : 1994
Syahruddin, Teori Ekonomi Mikro, Jakarta : 1989
Suhartati, Tati, Teori Ekonomi Mikro, Jakarta 2003

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 49


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

REKONSTRUKSI SEJARAH PEMIKIRAN


EKONOMI ISLAM
(Menggugat Anakronisme Sejarah Mainstream Ekonomi)
Oleh : M. Nazori Majid

Pendahuluan
Ketika Francis Fukuyama Analisis Fukuyama tidak hanya terhenti
pada Kapitalisme Karena pembacaan beliaupun berdasarkan kemunculan
Karl Marx (Menggusung Marxisme kemudian menjadi bibit Sosialisme)
yang membuat sebuah ”skenario” ekonomi masa depan dengan sebuah
ketegangan dialektis yang terjadi antar kelas sosial. Dan ini selalu
berkembang menuju tahap kesempurnaan seperti perkembangan dari
masayarakat purba menjadi masyarakat feodal yang pada gilirannya
bermuara pada masyarakat sosialis/komunis.
Lalu bagaimana dengan Ekonomi Islam setelah fase kemunduran pasca
runtuhnya Khilafah?. Bagaimana sejarah kebangkitannya?. Benarkah islam
sebagai agama memunculkan tokoh pemikiran dalam bidang ekonomi?.
Karena dalam beberapa sejarah ekonomi modern tokoh islam tidak
mempunyai kontribusi pemikiran dalam bidang ekonomi. Tulisan ini akan
memuat pemetaan ulang sejarah pemikiran ekonomi yang selama ini
cenderung menapikan kontribusi tokoh-tokoh Islam klasik.
Pada bagian ini, saya tidak akan berdiskusi terlalu lebar tentang
persoalan klasik yang simplistis meskipun cukup metodologis di tengah
perkembangan ekonomi Islam di Indonesia, Persolan tersebut berputar
sekitar “apakah ekonomi islam itu ilmu yang berbeda dengan ekonomi

Francis Fukuyama adalah seorang akademisi, komentator politik dan penasehat
pemerintah Amerika Serikat yang menggemparkan politik Internasional. Pada awal
tahun 1990-an beliau mendeklarasikan telah berakhirnya sejarah. Dengan tegas beliau
menyatakan bahwa runtuhnya Unisoviet dan ambruknya tembok Berlin adalah dua
diantara sekian banyak pertanda signifikansi telah terjadinya perubahan dramatis pasca
perang dingin yang mempresentasikan secara akuratkemenangan Kapitalisme dan
demokrasi liberaldiseluruh dunia. Dengan mendasarkan argument-argumennya pada
tulisan Kant, Hegel,dan pembacaan kritis terhadap Marx, beliau meramalkan bahwa
di penghujung sejarahdan masa depan tidaka akan pernah lagi tesedia ruang bagi
pertarungan antar ideology besar.

Prancis Fukuyama, of.Cit.Bandingkan dengan Anthony Giddens, Kapitalisme dan
teori sosial Modern: suatu Analisis karya tulis Marx, Durkheim dan Max Weber Jogjakarta:
UI Press, 1986

50 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


M. Nazori Majid, Rekonstruksi Sejarah...

lainnya?, Apakah ekonomi Islam itu hanya kumpulan ajaran-ajaran


normative atau juga di dalamnya menyangkut ekonomi positif ?. Atau
ia hanya mempelajari gejala-gejala ekonomi masyarakat muslim?. Jika
demikian apakah ia juga menggunakan metodologi khusus yang berbeda
dengan metodologi ekonomi pada umumnya ?.
Meskipun diskusi tersebut terus berkembang ke arah status keilmuan
ekonomi Islam ketika kata tersebut diterapkan untuk ilmu fisis pada
determinasi materi atas fakta objektif, atau pada penetapan ilmiah yang
memungkinkan kita untuk memastikan prediksi. Namun ekonomi islam
harus disebut sebagai ilmu jika yang kita maksud adalah penyelidikan
sistematik yang dilakukan dengan aturan rasional. Ia juga bukan hanya opini,
yang di dalamnya hanya satu pernyataan sebagai benar atau salah atau tidak
bermakna sama sekali, atau juga tidak dapat diverifikasi seperti pernyataan
yang lain. Singkatnya jika ilmu yang dimaksud hanya sebagai penyelidikan
rasional yang bertujuan untuk mencapai deduksi dan kesimpulan yang
padu dan sistematik, maka ekonomi islam itu merupakan suatu ilmu. Baik
ekonomi islam disebut sebagai ilmu ataupun bukan, sebagaimana yang
ditunjukkan di atas, namun secara luas persoalan simantik kiranya perlu
juga dipertimbangkan, karena jawaban yang kita berikan akan memiliki
akibat penting pada perkembangan berikutnya.

Kilas Balik Terminologi Ekonomi Islam

SM.Hasanuzzaman dalam ”Definition of Islamic Economics”


sebagaimana yang dikutip oleh Dawam Raharjo adalah ”Pengetahuan
dan penerapan perintah-perintah dan tatacara yang ditetapkan oleh
syari’at dengan tujuan mencegah ketidakadilan dalam penggalian dan
penggunaan sumberdaya material guna memenuhi kebutuhan manusia
yang memungkinkan mereka melaksanakan kewajiban kepada Allah dan
Masyarakat.
Berbeda dengan Hasanuzzaman, Nejatullah Siddiqie melihat ekonomi
Islam hanya sebagai tanggapan pemikir-pemikir muslim terhadap tantangan
ekonomi pada zamannya dimana dalam upaya ini mereka dibantu oleh al-
Qur’an dan Sunnah yang disertai dengan argumentasi dan pengalaman
yang empirik
Dawam raharjo, Of.Cit hal. 6


Lihat, Nejatullah Siddiqie, Some Aspects of The Islamic Economy, Deli: Markaz


Maktaba Islami,1992

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 51


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

Menurut Akram Khan, Islamic Economics aims the study of the human
falah (well being) achieaved by organizing the resources of the earth on
the basic of cooperation and participation. Atau dapat dipahami sebagai
ilmu yang bertujuan untuk melakukan kajian tentang kebahagiaan hidup
manusia yang dicapai dengan mengorganisasikan sumberdaya alam atas
dasar bekerjasama dan partisipasi. Defenisi Akram khan ini terkesan lebih
menekankan dimensi normative (kebahagiaan hidup dunia dan akherat)
serta dimensi positif (mengorganisasi sumberdaya alam).
Sementara menurut Muhammad Abdul Mannan, Ekonomi Islam
merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari maslah-masalah ekonomi
rakyat yang berazaskan norma dan nilai-nilai Islam.
Defenisi yang dikemukakan MA.Mannan tidak jauh berbeda dengan
defenisi yang dikemukan Metwally yang menitik beratkan pada usaha
dalam mempelajari maslah-masalah masyarakat Islam dalam memenuhi
kebutuhannya. Metwally mengatakan: Ekonomi islam adalah ilmu yang
mempelajari perilaku muslim yang beriman dalam suatu masyarakat islam
yang mengikuti al-Qur’an Hadits, Ijma’ dan Qiyas.
Sementara Khursid Ahmad, mendefenisikan ekonomi Islam sebagai
sebuah usaha sistematis untuk memahami masalah-masalah ekonomi dan
tingkah laku manusia secara rasional dalam perspektif Islam.
Pada bagian lain Sayyed Nawab Haidar Naqvi menyebutkan Islamic
Economics is The representative Muslim’s behavior in a typical Muslim
Society. Yaitu representasi perilaku muslim dalam suatu masyarakat
muslim tertentu.
Pada bagian lain Louis Cantori dalam Chapra (2001) mengatakan,
Ekonomi Islam pada hakekatnya adalah upaya untuk memformulasikan
suatu ilmu ekonomi yang berorientasi kepada manusia dan masyarakat
yang tidak mengakui individualisme yang berlebih-lebihan sebagaimana
dalam ekonomi klasik
Pada konteks yang sama dalam hal ini Chapra, melihat ekonomi islam
bukan hanya sekedar tanggapan pemikir, tapi merupakan cabang ilmu

MA.Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam,ed. Terj. Yogyakarta:Dana Bakti
Wakaf,1993

Dawam raharjo, Of.Cit hal. 6

Sayyed Nawab Haedar Naqvi, Islam, Economics, and Society, NewYork: Keagan Pau
lInternational,1994,p.18

Lihat Umar Chapra, Masa Depan Ekonomi, sebuah tinjauan Islam, Jakarta: Gema
Insani Press, 2001

52 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


M. Nazori Majid, Rekonstruksi Sejarah...

yang membantu merealisasikan kesejahtaraan manusia melalui alokasi


dan distribusi sumberdaya yang langka dan sejalan dengan syari’ah islam
tanpa membatasi kreativitas individu ataupun menciptakan suatu ekonomi
makro atau ekologis.
Pengertian di atas pada dasarnya berangkat dari persoalan perilaku
manusia dalam usaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan dengan alat
pemenuhan kebutuhan yang terbatas dalam kerangka syariah. Meskipun
dua defenisi pertama mengandung kelemahan karena terkesan
menghasilkan konsep yang tidak kompetible dan universal, karena
bias terhadap keputusan yang mesti menerima tanpa mengedepankan
pertimbangan benar dan salah (Apriory Judgement), Namun Pengertian
terakhir yang dikemukakan Chapra, kiranya telah mengakomodasikan
sejumlah prasyarat dan karakteristik dari pandangan hidup Islam. Pada
pengertian tersebut ilmu ekonomi islam terposisikan sebagai ilmu sosial
yang tentu saja tidak bebas nilai dan moral.
Dari beberapa pengertian di atas dapatlah disimpulkan bahwa ilmu
ekonomi merupakan studi tentang bagaimana individu atau masayrakat
memilih dan memanfaatkan sumberdaya yang ada sesuai dengan aturan
yang ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani tanpa
adanya ekploitasi, sehingga dapat mewujudkan falah (kesejahteraan) bagi
individu maupun masyrakat.
Meskipun demikian, ekonomi Islam yang belakangan ini banyak
diminati bayak orang, seringkali mendapat hujatan dan kritikan sebagai
sistem ekonomi yang tidak berdiri pada akar sejarah yang jelas, karena
dianggap hanya perilaku keberagamaan masyarakat yang terjalin dalam
luapan emosi sesaat dan sebagai bagian dari fenomena masyarakat
moderen. Joseph Alois Schumpheter (1883-1950) misalnya yang telah
memutarbalikkan sejarah dengan menghilangkan peran dan kontribusi
tokoh islam dalam perkembangan sejarah dan bangunan ekonomi
dunia. Dalam History of Economic Analysis, yang dipublikasikan
isterinya pada tahun 1954, Schumpheter memulai kajian ekonomi dari
pemikiran ekonomi Yunani kuno hingga pemikiran – pemikiran ekonomi
berkembang semasa hidupnya. Namun yang menjadi petaka bagi sejarah
perkembangan ekonomi dalam dunia islam adalah pembahasannya
ketika sampai pada pemikiran ekonomi abad ke VIII, Schumpeter terlalu
mengagungkan Summa Theologika St. Thomas Aquinas sebagai kunci


Lihat, Umar Chapra, Islam dan Pembangunan Ekonomi, Malaysia: IIT,1996

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 53


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

utama pemikiran ilmiah yang dianggap paling awal dan paling penting
dalam kritik metodologi yang berkembang di eropa setelah kemerosotan
peradaban Yunani-Romawi. Bahkan dalam padangannya, sejarah ekonomi
modern telah mengalami lompatan besar (great gap) selama lebih dari 500
tahun sebelum masa-masa scolastik barat, sehingga mengalami kisaran
kosong yang menghilangkan peran dan kontribusi tokoh dan intelektual
didalamnya.10
Tidak hanya sendirian, selain schumpheter juga banyak sarjana barat
lain yang ikut-ikutan melestarikan tesis great gap tersebut, diantaranya
adalah, Eric Roll dalam a History of Economic Thought (1956) yang
merefleksikan sepenuhnya tesis Schumpheter, Spengler dan Allen dalam
Essays in conomic Though : Aristotle to Marshall (1960) yang mengasumsikan
The Dark age melanda seluruh dunia, sepuluh tahun sesudahnya muncul
kembali Hendry Spiegel dalam The Growth of Economic thought (1971)
yang sama sekali tidak menyinggung kontribusi khazanah intlektual islam
abad pertengahan, Robert Eklund dan Robert Hebert dalam A History of
Econ omic Theory and Method (1975) yang melakukan survey menyeluruh
sejarah ekonomi, namun tidak menyentuh sama sekali pemikiran ekonomi
Arab (islam). Pada sepuluh tahun berikutnya kembali muncul penerus
generasinya, Harry landreth dan david Colander dalam The History of Eco
nomic Theory (1989) yang menganalisis sejarah ekonomi sejak abad ke XII
namun juga tidak mereferensikan kaitan arab dengan latin.11
Namun semua tudingan dan pemutar balikan fakta tersebut secara
perlahan mentah dengan sendirinya seiring dengan menjamurnya karya
tulis dan kajian ilmiah tentang ekonomi Islam dari berbagai aspeknya
yang terus mengalami proses penyempurnaan.12 Pada beberapa bagian
misalnya juga ditemukan tokoh sejarawan yang memberikan apresiasi
tinggi terhadap sumbangan pemikiran Islam dalam kajian ekonomi. Di
antara tokoh tersebut seperti: Butler, Capelston, Harris, Draper, Rescer,
Watt, yang semua tokoh ini menolak tesis Great Gap model Schumpheter
yang dipertanyakan tersebut.13

10
Informasi lebih jauh dalam analisis ini dapt dibaca; Arif Hutoro, Pengantar Analisis
Kesejarahan dan Metodologi, Malang: BPFE UNIBRAW
11
Lihat, Arif Hutoro, Ibid, 28-29
12
Kritikan terhadap tesis Schumpheter dan P.Samuelson ini dapat dibaca, M.Nazori
Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf dan Relevansinya dengan Masyarakat kekinian,
Jogjakarta: Islamic Banking School, 2003. Bandingkan, Arif Hutoro, Pengantar Analisis
Kesejarahan dan Metodologi, Malang: BPFE UNIBRAW
13
Of.Cit, 28-29

54 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


M. Nazori Majid, Rekonstruksi Sejarah...

Meskipun belakangan ini muncul kembali tulisan terbaru Steven G.


Medema dan Warren J. Samuel (2003) dalam The History of Economic
Thought: a reader yang sama sekali tidak mau mengakui adanya kontribusi
pemikiran ekonomi muslim abad pertengahan. Anehnya dalam buku yang
sama, Medemma mengangkat pikiran-pikiran ekonomi yang diwariskan
oleh peradaban Sumeria, Babilonia, Assyria, Mesir, Persia, dan Israel
(Yahudi). Karenanya Penguatan tesis Great Gap semacam ini dan sekaligus
penafian kontribusi pemikiran ekonomi dimasa Islam klasik tersebut dalam
pandangan Arif Hutoro memang sengaja dimitoskan secara sistematik.14
Pada bagian lain Arief dalam To Ward the shariah Paradigm of islamic
Economic: the Beginning of Scientific revolution, seperti yang dikutip
oleh Husin Sawit mengkategorikan kelompok yang mengkritik ekonomi
islam kepada dua aliran, yaitu The Adjusted Capitlism School dan The
Comventional Scholl. Kelompok pertama cenderung mengklaim ekonomi
islam hanya sebagai penyesuaian dari system ekonomi kapitalis yang ada,
hanya saja ekonomi islam menyingkirkan hal-hal yang haram dalam ajaran
agama (Islam) dan tetap mempertahankan hal-hal yang halal dari ekonomi
kapitalis.15 Kelompok kedua, adalah kelompok yang mengakui adanya
perbedaan antara sisten Ekonomi Islam dengan Ekonomi Kapitalis, akan
tetapi mereka sering memandang rendah (look down) terhadap ekonomi
islam16.
Terlepas dari semua bentuk tudingan dan kritikan tersebut, yang pasti
dua aliran besar ekonomi, baik itu Kapitalis maupun Sosialis telah gagal
menciptakan Negara kesejahteraan seperti yang mereka idamkan. Bahkan
Adam Smith dengan laissez faire justeru telah memperbesar mana yang kuat
dan menghancur mana yang lemah. Dan inilah yang merupakan bagian
dari kegelisahan akademik Bung Hatta yang selalu beliau peringatkan sejak
masa kemerdekaan sampai masa orde baru.17

14
Arif Hutoro, Ibid, 29
15
Husin sawit, Metodologi Ekonomi Islam Perlukah Berbeda..? Makalah Seminar
Nasional Metodologi Ekonomi islam, Jogjakarta ,PPEI UII Jogjakarta,1997
16
Husin Sawit, Ibid
17
Namun dalam catatan Sri Edi Swasono jeritan Bung Hatta ini tetap diabaikan dan
pemerintah Indonesia tetap tunduk pada mainstream neo-klasik barat. Bahkan menurutnya
untuk mampu mempercayai pandangan Hatta ini sebagaian ekonom progresif Indonesia
harus menuggu dulu penegasan-penegasan dari sen, Heil Broner, Etzioni, Soros, Thurow,
Stiglitz, susan George dan mungkin masih banyak lagi yang lainnya.

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 55


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

Pemikiran Ekonomi Pada Masa Pra Klasik


Buku Sejarah ekonomi modern hampir selalu berangkat dari The wealth
of Nation karya Adam Smith 1776, yang selalu dinobatkan sebagai kitab
suci ekonomi, atau juga sering berangkat pada dua masa sebelumnya yaitu
era merkantilis dan fisiokrasi. Namun jika dirunut lebih jauh kebelakang,
sebenarnya persoalan ekonomi itu sama tuanya dengan keberadaan manusia
itu sendiri. Tapi jangkauan study ilmiah dalam hal ini hanya sampai pada
masa Yunani kuno, hal ini terbukti dari istilah Ekonomi itu sendiri yang
bersal dari kata Oikos dan Nomos yang secara etimologi dapat dimaknai
sebagai pengaturan atau pengelolaan rumah tangga.
Istilah Oikos dan Nomos dalam dunia ekonomi pertama kali dicetus
oleh seorang tokoh yang bernama Xenophon (440-355 SM) seorang tokoh
ekonomi kepariwisataan yang mengemukakan teori pleyanan prima bagi
setiap pengunjung. Dalam karya utamanya yang berjudul On The Means of
Improving the revenue of the state of Athens, Xeneophon menguraikan bahwa
Negara Athena yang mempunyai beberapa kelebihan dapat dimanfaatkan
untuk meningkatkan pendapatan Negara. Athena waktu itu selain sebagai
salah satu pusat perdagangan yang dikelilingi dengan laut dan kaya dengan
ikan juga memilki pelabuhan laut yang alami dan memiliki tanah yang
subur serta mengandung deposit emas dan perak yang abanyak.
Selain itu, bukti lain yang dapat dikedapankan dalam upaya menun
jukkan adanya istilah ekonomi sebelum 1776 maupun sebelum era
merkantilis dan fisiokrat diatas adalah ditemukannya sebuah buku
Reszxpublika yang ditulis oleh Plato (427-347 SM) sekitar 400 tahun
sebelum masehi, dalam buku tersebut sudah ada bagian tertentu yang
menceritakan tentang teori bunga, uang, jasa dan tenaga kerja manusia
mulai dari perbudakan sampai perdagangan. Meskipun dalam buku ini
Plato tidak bercerita secara khusus tentang kajian ekonomi, namun dari
pemikiran yang terpenggal tersebut cukup memberi inspirasi bahwa cikal
bakal dari kesejahteraan suatu masyarakat dan negara dalam pandangan
beliau ekonomi memegang peran penting18.
Pada masa-masa awal ini semua ilmu masih dalam wilayah kajian
filsafat, khususnya filsafat moral. Pemikiran spekulatif muncul belakangan
dari sejarah umat manusia. Oleh karena itu pada kesan pertama akan
tampak lazim dan logis untuk memulai studi ekonomi dari penyelidikan

18
Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi , Jakarta: raja Grapindo Persada,
1995,h.11

56 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


M. Nazori Majid, Rekonstruksi Sejarah...

sejarah atau evolusi praktek dan pertimbangan etis. Gagasan plato tentang
ekonomi dalam hal ini meskipun secara kebetulan, namun dapat digaris
bawahi bahwa beliau berbicara tentag keadilan dan tatanan negara ideal.
Sehingga tidaklah berlebihan kalau belakangan ada juga yang menobatkan
ide dan teori Division of labour tersebut kepada diri beliau.
Jika pemikiran Plato diturut eskalasinya lebih jauh kebelakang, maka
akan terkesan tidak jauh beda dari apa yang tertuang dalam The Wealth
of Nation Adam Smit yang juga memuat Division of Labour tersebut. Jika
melihat ide awal dari pola pikir di atas, memang terkesan ada kesamaan
ide antara Plato yang memperjuangkan masyarakat sempurna, dan Adam
smith memperjuangkan masyarakat sejahtera. Hanya saja menurut
pandangan plato, untuk menciptakan suatu tatanan negara yang sempurna
maka yang pertama perlu dibangun adalah sumberdaya manusianya,
Karena pembangun SDM (moral manusianya) titik tolaknya adalah
keinginan, pilihan, preferensi, dan penilaian. Namun pengenalan kearah
ini pentingnya untuk memberi kita jalan kearah pembangunan yang lebih
sistemik atau merupakan dasar bagi sebuah kebahagiaan atau kesejhteraan.
Sementara Adam Smith dengan Division of Labour-nya dalam hal ini lebih
mengedepankan pertumbuhan Output dan pertumbuhan ekonomi.
Meskipun dua tokoh ini sejak awal telah berbicara tentang konsep
kemakmuran Negara, namun secara bersamaan dalam catatan Deliarnov,
pada masa ini juga orang sudah mengenal paham Hedonisme yang dapat
dikatakan cikal bakal paham materialistic yang belakangan dikembangkan
dari eropa pada abad 17 dan 18 dan kemudian berkembang menjadi
materialisme mekanistik, yang menganggap kenikmatan egoistic sebagai
tujuan akhir dari kehidupan manusia.19
Meskipun Plato dalam tulisannya sangat mengecam kekayaan dan
kemewahan, dengan harapan agar setiap orang bisa hidup sejahtera secara
merata, namun dikarenakan keinginan manusia memperoleh barang dan
jasa sangat besar dan susah dikendalikan maka semangat keserakahan yang
tak terkendali tersebutlah yang pada gilirannya menjadi akar munculnya
semangat Hedonisme tersebut.
Pendapat dan teori Plato diatas masih banyak yang relevan dengan
keadaan sekarang, pendapat tersebut diantaranya berkenaan dengan
tentang fungsi uang. bahkan Plato dalam bukunya Politica menjelaskan
bahwa selain sebagai alat tukar, uang juga berfungsi sebagai alat pengukur

19
Deliarnov, Ibid,h.11

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 57


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

nilai dan alat untuk menimbun kekayaan, sesuai dengan keadaan waktu
itu. Plato menganggap uang bersifat mandul, dan tak boleh untuk
dikembangkan atau diperanakkan (bunga).20
Itu bukanlah berarti bahwa pemikiran Plato hanya berakhir sampai
disitu, karena Plato sebagai seorang Filosuf moral pemikirannya bahkan
bermuara pada kebahagiaan dan kebaikan. Meskipun pernyataan tentang
kriteria akhir aturan moral seringkali menyisakan persoalan yang susah
untuk dicari jawabannya. Dan hal ini dilanjutkan oleh muridnya yang
sangat terkenal dalam dunia ilmu pengetahuan yaitu Aristoteles (384-
322 SM). Yang pemikirannya di bidang ekonomi bahkan jauh lebih maju
dari gurunya Plato. Bahkan menurut Deliarnov Aristoteleslah orang yang
pertama kali melihat bahwa ekonomi merupakan suatu bidang tersendiri
yang pembahasannya harus dipisahkan dengan bidang-bidang lain. Dan
dalam ilmu ekonomi Aristoteles juga merupakan orang pertama yang
meletakkan pemikiran tentang teori nilai(Value) dan harga (price).21
Tidak begitu sulit untuk kontribusi Aristoteles terhadap ilmu ekonomi,
setidaknya ia pernah melontarkan pemikiran tentang pertukaran barang,
(Exchange of Comodities) atau teori kebutuhan manusia, menurut beliau
kebutuhan manusia (man’s need) tidak terlalu banyak, tetapi keinginan
manusia,(man’s Desire) lah yang relataif tanpa batas. Pada kesempatan
yang sama Aristoteles juga memandang bahwa kegiatan produksi untuk
menghasilkan barang-barang untuk memenuhi kebutuhan manusia
bukanlah suatu yang salah, namun beliau mengecam keras jika produksi
tersebut terjebak pada pemenuhan kebutuhan manusia tanpa batas.
Dan inilah yang beliau maksudkan dengan sesuatu yang tidak alami
(Unnatural).
Meskipun persoalan ekonomi ini sudah banyak dibicarakan pada
era Yunani kuno, namun analisis yang mendalam tentang pencapaian
tujuannnya baru dimulai sejak masyarakat petani eropa memulai proses
industrialisasi yang secara bersamaan dengan kemunculan tokoh-tokoh
skolastik (scholasticism) yang berupaya memuat nilai-nilai etika dan
keadilan dalam ekonomi, dan era ini dalam sejarah ekonomi sering disebut
dengan era Skolastik.
Tokoh utama pemikiran aliran skolastik ini adalah St. Albertus Magnus
(1206-1280), beliau adalah seorang fhilosof religius dari jerman yang

20
Deliarnov, Ibid, 12
21
DeliarNov, Ibid ,12

58 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


M. Nazori Majid, Rekonstruksi Sejarah...

mengedepankan pemikiran tentang harga yang adil dan pantas (just price)
dengan menggunakan etika agama sebagai filterisasinya. Selain Tokoh
di atas juga ada St.Thomas Aquinas (1225-1274), seorang fhilosof dan
theolog dari Italia. Thomas Aquinas dalam hal ini terkesan lebih luas, selain
mengikuti St. Albertus Magnus beliau juga banyak mempelajari ajaran
Aristoteles serta mendalami nilai-nilai dan etika ajaran Injil. Sehingga
dalam beberapa tulisannya beliau terkesan sangat anti terhadap bunga
dan menganggap bunga itu sebagai riba dan dosa yang harus dijauhi. Hal
ini terbukti dalam Summa theologika yang dijadikan mainstreem sejarah
ekonomi konvensional tersebut termuat bahwa membungakan uang yang
di pinjamkan adalah termasuk perbuatan yang tidak adil, karena sama
dengan menjual sesuatu yang tidak ada.22
Setelah melalaui era skolastik, sejarah ekonomi terus menapaki
perkembangannya pada era Merkantilisme, hal ini tandali dengan
dipraktekkannya sistem perdagangan yang mengitari waktu 1500-1750
M. Sesuai dengan namanya Merkantilisme berasal dari kata Merchan
yang berarti pedagang. Menurut paham Merkantilisme, tiap negara yang
berkeinginan untuk maju harus melakukan perdagangan dengan negara
lain, dari dari surplus perdagangan tersebutlah negara akan memperoleh
kekayaan. Sehingga tidak mengherankan bagi kalangan penganut paham
merkantilisme mengatakan bahwa sumber kekuasaan terkuat adalah
surplus perdagangan.23
Paham Merkantilisme ini abad ke-16 bayak berkembang di negara-
negara eropa seperti Portugis, Spanyol, Inggris, Prancis dan Blanda.
Mereka tidak hanya melakukan perdangan antara sesama negara eropa,
tetapi sampai juga ke Hindia Belanda (indonesia waktu itu).
Pada era Merkantilisme ini tidak hanya perdagangan dan perekonomian
yang mencuat kepermukaan, tapi perkembangan leteratur pun meningkat
pesat sekali, kemajuan dalam tulusan-tulisan ekonomi sangat maju,
baik dalam jumlah maupun mutu. Bahkan Menurut Launderth dalam
Deliarnov (1995), era ini juga ditandai dengan maraknya kemunculan
setiap orang menjadi ahli ekonomi bagi dirinya sendiri (Every man was
his own economist). Setiap orang mengeluarkan pendapat dan pandangan
tersendiri bahkan menulis tentang persoalan-persolan ekonomi yang
mereka hadapi. Meskipun tulisan dan ide yang berserakan ini tidak
dilatarbelakangi dengan pendidikan Universitas, namun tulisan–tulisan
22
Deliar Nov. Loc.cit, 14
23
Deliar Nov.Of.cit.,16

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 59


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

ini pada gilirannya juga memberi inspirasi bagi The Wealth of Nation karya
besar adam Smith tersebut.24
Diantara nama-nama tokoh Merkantilisme yang sering mengemuka
dalam pemikiran ekonomi konvensiaonal adalah Jean Boudin (1530-1596)
Beliau adalah ilmuan perancis yang pertamakali berbicara tentang uang
dan harga secara sitematis. Beliau berpendapat bahwa Praktek monopoli
dan pola hidup mewah kalangan bangsawan akan berpengaruh terhadap
kenaikan harga, dan begitu juga dengan bertambahnya uang akibat dari
kontak perdagangan luar negeri, hal ini dengan sendirinya juga akan
menyebabkan naiknya harga barang. Terinpirasi dari teori Boudin inilah
Irving frisher mengembangkan teri kuantitas uangnya.
Selain Boudin, juga ada Thomas Mun yang berkebangsaan Inggris dan
ahli perdagangan luar negeri, hal ini tergambar dari tulisannya A Discourse
of Trade, from englandunto The East-Indies (1621) serta satu buku yang
ditulis pada usia tuanya dengan judul England’s Treasure by foreign Trade or,
the Balance of Our forraign Trad is The Rule of Our Treasure (1664). Kedua
buku ini menggambarkan tentang manfaat dan pentingnya perdagangan
luar negeri.25
Tokoh berikutnya yang juga tidak dilupakan sejarah ekonomi adalah
Jean Babtiste Colbert (1619-1683), meskipun beliau bukanlah ahli ekonomi,
namun jabatannya sebagai menteri utama di bidang ekonomi dan keuangan
pada masa pemerintahan raja Louis XIV yang banyak melakukan kontak
ekonomi dengan para pedagang dan saudagar telah mengantarkannya
sebagai salah seorang tokoh pemikir ekonomi.26
Berbeda dengan tokoh sebelumnya, Sir William Petty (1623-1687)
adalah seorang akademisi yang mengajar di Oxford Ubniversity, dan banyak
menulis tentang ekonomi politik. Sehingga Freidrich Engels menyebutnya
sebagai The Founder of Modern political Economy.
Selain tokoh-tokoh di atas David Hume (1711-1776) yang notabenenya
lebih dikenal sebagai seorang fhilosof, ternyata juga telah memberi kontribusi
yang sangar besar bagi perkembangan sejarah pemikiran ekonomi. Hal ini
terbukti dari buku Of the Balance of Trade, yang mengupas tentang harga-
harga yang dipengaruhi oleh unang dan barang.27
24
Deliarnov, Loc.cit. 17
25
Deliarnov, Ibid.
26
Deliarnov, Ibid.
27
Mark Skousen, The Making of Modern Economics, ed Terj. Tri Wiboyo Budi Santoso,
Sang Maestro teori-teori Ekonomi modern, Jakart: Pranada, 2005

60 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


M. Nazori Majid, Rekonstruksi Sejarah...

Tidak hanya terhenti sampai di situ, perjalanan sejarah pemikiran


ekonomi berikutnya menempuh era fisiokrasi, yang berpandangan bahwa
sumber kekayaan yagn sebenarnya adalah sumber daya alam. Hal ini
sesuai dengan namanya Physic yang berarti alam dan Cratain, atau cratos
yang berarti kekuasaan, artinya mereka percaya hokum alam (believe in the
rule of nature), dan pemerintah tidak perlu campur tangan dan intervensi
dalam mengatur tindakan ekonomi, karena ekonomi akan tetap berjalan
harmonis sesuai dengan keselarasan alam. Dan ide inilah belakangan yang
belakangan dikembangkan oleh Adam Smit sebagai fhilosofi ekonomi
kapitalis yang dikenal dengan Laissez faire atau juga sering disebut dengan
Lasses Passer.
Tokoh utama kelompok ini adalah Francis Quesnay (1694-1774).
Quesnay membagi masyarakat ke dalam empat golongan, yaitu: kelas
masyarakat produktif, kelas tuan tanah, kielas yang tidak produktif atau
steril, dan kelas masyarakat buruh. Dalam pandangannya Quesnay lebih
mengedepankan tanah, pertanian, peternakan dan pertambangan sebagai
sumber kemakmuran msyarakat.28

Meluruskan Sejarah ekonomi


Bila ditelusuri catatan sejarah dan pemikiran dalam kajian ekonomi,
maka kita akan menemukan beberapa kealpaan yang terkesan sangat
merugikan kajian hazanah intelektual muslim. Hal itu dikarenakan sangat
langkanya nama para tokoh muslim yang dimunculkan ke permukaan,
padahal kontribusi kaum muslimin terhadap kelangsungan dan
perkembangan pemikiran ekonomi dan peradaba muslim pada umumnya,
tidak bisa dilupakan begitu saja, diantara para tokoh tersebut seperti
seperti Abu Yusuf, Yahya bin Adham, Muhammad bin Hasan al-Syaibani,
Abu Ubayd Qosim bin salam, Haris Ibnu As’ad, Al- Muhadibi, Junaid al-
Baghdadi, Ibnu Maskawaih, al-hariri, al-Mawardi, Ibnu Hazm, Nizhamul
Mulk, al-Ghazali, dan tokoh lainnya, yang kesemuanya hidup dalam
kurun waktu (113 H./ 731M. - 450H/1058 M), dan jika ditelusuri beberapa
pandangan pemikiran mereka dalam bidang ekonomi kiranya tidak kalah
istimewanya dengan hasil pemikiran para tokoh lain seperti Adam Smith,
Karl Mark, John Maynar Keynes, Fichte, Lasalle, atau beberapa tokoh lain
yang pernah mendapat hadiah nobel seperti Paul A. Samuelson, Milton
Friedman, James Buchanan, atau Amartya K.Sen dan beberapa tokoh lain

28
Mark Skousen, Ibid, 46

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 61


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

yang selama ini nama mereka sangat mendominasi dalam kajian ekonomi
dewasa ini.
Namun sejarawan barat telah menulis sejarah ekonomi dengan sebuah
asumsi bahwa periode yunani dan Scolasatik islam tidak memberikan
kontribusi penting dalam kajian ekonomi. Hal ini berawal dari tulisan
ekonom dan sekaligus sejarawan barat terkemuka Joseph Schumpheter
yang mengabaikan peran kaum muslimin selama lebih dari 500 tahun dari
starting point (Yunani Kuno) ke zaman Scolastik dengan kemunculan St.
Thomas Aquinas (1225-1274 M).
Pada hal jika diamati lebih jauh bentuk kajian rentang sejarah tersebut,
baik di dunia Islam maupun di dunia non-Islam prinsipnya tidak terlepas
dari sentuhan pemikiran tokoh klasik, kendatipun harus diakui pula bahwa
semua bentuk pikiran, baik itu filsafat, etika, moral, ekonomi maupun
lainnya pada gilirannya merupakan hasil sintesis kreatif antara ajaran Islam
dan pikiran Yunani Klasik yang berkembang pada masanya.
Adanya persentuhan pemikiran di atas diakui dengan jujur oleh
Roman A.Ohrenstein dan Barry Gordon (1992) yang mengatakan bahwa
Keberadaan ekonomi modern saat ini berakar pada perjalanan sejarah
yang sangat panjag, meskipun keberadaannya diakui pada abad ke delapan
belas, namun ide pemikirannya sudah ditemukan pada masa Yunani kuno,
Ilmuan Muslim, sarjana-sarjana abad pertengahan, dan tokoh-tokoh
merkantilis pada abad ke enambelas, juga tidak terlupakan sumbangan
leteratur Cina kuno dan India yang ikut menyumbangkan contoh-contoh
analisis ekonomi.29
Pembuktian diatas didilanjutkan Gazanfar dengan memaparkan
pendapat Butler, yang mengatakan bahwa tidak satupun mahasiswa
Sejarah Kebudayaan Eropa Barat yang dapat merekonstruksi nilai-nilai
intelektualitas abad-abad pertengahan akhir tanpa adanya kesadaran
tentang islam sebagai latar belakangnya.30
Jika para sejarawan barat seperti Capelston dan Harris terkesan
menapikan samasekali pemikiran Sinto Thomas Aquinas tentang ekonomi
dengan mengatakan sebagai suatu pemikiran yang patut diragukan tingkat
orisinilitasnya, setelah adanya perentuhan antara Aristoteles dan Ibnu
29
Husaini, Hamid, Understanding the Market Mechanism before Adam Smith: Economic
though and Medieval Islam dalam Ghazanfar SM. 2003. Medival Islamic Economic Though:
Filling the Gradgap in European Economic. London and New York, Routledge Curzon,
h.88
30
Husaini,Hamid, Ibid, 63

62 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


M. Nazori Majid, Rekonstruksi Sejarah...

Sina, maka sebagai tokoh yang sama, Rescher berusaha mendudukan


persoalannya dengan pemaparan sejarah abad ke XII dan XIII tulisan
filsafat-filsafat arab telah meberi stismulus dan pengaruh signifikan
terhadap sintesis besar Aristotelianisme dikalangan Kristen yaitu St.
Albertus magnus dan St. Thomas Aquinas.31
Kenyataan diatas sebenarnya sudah cukup memberi bukti bahwa
ada sesuatu yang aneh dalam penulisan sejarah ekonomi yang ditulis
oleh Joshep alois Schumpheter (1883-1950) dalam Ensiklopedi History of
Economic Analysis yang dipublikasikan isterinya pada tahun 1954. dalam
pemetaan tersebut, Schumpheter memetakan sejarah ekonomi mulai dari
ekonomi Yunani Kuno sampai generasi modern, namun amat disayangkan
setelah Plato dan Aristoteles sebagai perwakilan generasi pra Kalasik, dalam
catatan beliau terjadi lompatan sejarah yang sangat jauh sekali bahkan lebih
dari 500 tahun dengan memasuki langsung era skolastik (1206- 1274) dan
meninggalkan kontribusi Islam dalam kajian ekonomi.
Pemetaan Schumpheter di atas pada gilirannya mendapat dukungan
dari kelompoknya, landerth (1976) misalnya yang mengatakan bahwa
meskipun persoalan ekonomi sudah ada sejak zman purbakala, namun
analisis yang rinci tentang usaha mencapai tujuan ekonomi tersebut baru
nampak hingga abd ke 15, waktu masyarakat petani eropa memulai proses
industrialisasi, cabang ilmu social dan yang berhubungan dengan ilmu
ekonomi baru muncul dengan lahirnya pemikiran-pemikiran ekonomi
kaum scolastik, yang ditandai dengan kuatnya hubungan ekonomi dengan
masalah etis serta besarnya perhatian pada masalah keadilan.
Pada pernyataan sejarah di atas jelas sekali terlihat adanya upaya
kesengajaan untuk menghilangkan kontribusi Islam dalam kajian ekonomi.
Hal ini dikarenakan jauh sebelumnya yaitu pada (abad ke VII M) Islam telah
menata kehidupan ekonomi dengan norma-norma etis yang termuat dalam
al-Qur’an dan ajaran-ajaran nabi Muhammad, SAW. Namun sepertinya
Schumpheter sangat ambisi mempertahankan tradisi superioritas barat
yang sudah dimulai sejak William J. Ashly (1888)32 dan mengabaikan
sumbangan intelektualitas muslim pada abad keemasan Islam.
Jika merujuk pada sejarah perkembangan intelektual islam yang
bermula sejak (750-950 M) dan berlanjut dengan masa penerjemahan
31
Arief Hutoro, Ekonomi Islam: Pengantar Analisis Kesejarahan dan Metodologi,
Malang: BPFE UNBRAW, 2007, h. 29-30
32
William J.Ashly dalam An Introductio to English Economic History and Theory
(1888) terlalu mengagungkan superioritas barat dan meremehkan sumbagan islam pada
abad pertengahan, analisis lebih jauh tentang ini dapat dibaca, Arif Hutoro,…Ibid, h. 27

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 63


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

karya-karya Yunani pada masa khalifah al-Ma’mun (813-833 M) maka


akan kelihatan adanya kontak islam dengan aliran filsafat Hellenisme
yang pada gilirannya memposisikan prioritas utama kegiatan intelektual
adalah filsafat dan ilmu pengetahuan islam, namun bukanlah berarti
bahwa pengetahuan islam baru berkembang setelah adanya persentuhan
deanmgan filsafat Yunani, karena jauh sebelum adanya gelombang
Hellenisme, dikalangan islam juga telah muncul banyak pemikiran
keagamaan yang bersumber dari ajaran al-Qur’an dan hadits. Hal ini dapat
dibuktikan dengan adanya sejarah terjadinya perpecahan kelompok dalam
islam yang pada gilirannya memunculkan terminologi ilmu kalam dalam
islam. Dan diantara kelompok tersebut adalah Mu’tazilah yang berupaya
memahami al-Qur’an dengan akal rasional, bahkan dalam pandangan
aliran ini antara akal dan wahyu mempunyai kedudukan yang sama dalam
memahami agama.
Meskipun para tokoh islam pada masa-masa awal tidak berbicara
secara sistematis tentang kajian ekonomi, namun dari beberapa tulisan
tenang ajaran ulama-ulama tersebut seperti Imam Maliki, imam Hanafi,
safi’I, Hambali, akan terlihat adanya muatan-muatan ekonomi, terlebih lagi
jika dikaitkan dengan etika dan aturan manusia memenuhi kenbutuhan
hidupnya sehari-hari. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena tradisi islam
abad pertengahan adalah merupakan bangunan intelektualisme yang
memadukan pemikiran rasional dan doktrin keagamaan atas dasar prinsip
pengetahuan, keimanan, dan kemaslahatan.
Meskipun demikian bukanlah berarti bahwa tidak ditemukannya
tulisan-tulisan yang focus terhadap persoalan ekonomi, karena dalam
khazanah intelektual islam juga ditemukan seperti Abu yusuf, Abu ubayd
dan al-maqrizi.
Jika dalam tradisi barat Schumpheter terlalu mengagungkan Summa
Thelogica St. Thomas Aquinas, itupun bukanlah buku khusus yang berbicara
tentag ekonomi, karena buku tersebut adalah buku teologi Kristen yang
memuat tentang rekeonsiliasi filsafat Aristotelian. Di dunia Islam karya
seperti ini juga banyak ditemukan, sebagai contoh adalah Ihya’Ulumuddin
sebagai magnum opusnya al-Ghazali, yang memuat tentang banyak aspek
kehidupan, mulai dari prinsip tauhid, etika, akhlak fiqh dan ekonomi.
Yang menjadi persoalan adalah kenapa justru pemikiran seperti ini oleh
Schumpheter tidak dianggap sebagai sumbangan pemikiran Islam..? untuk
melihat lebih jauh kelemahan tesis Schumpeter tersebut pada bagian

64 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


M. Nazori Majid, Rekonstruksi Sejarah...

berikut akan diuraikan sejarah kontak pemikiran ekonomi dalam Islam


dan dunia Eropa.

Kontak Pemikiran Islam dan Eropa


Ketika kajian sain dan filsafat mulai dilirik di dunia Eropa (abad ke
XI dan XII M). Justeru di dunia islam disiplin ilmu ini tengah berada di
puncak kejayaannya, sehingga terjadilah proses transmisi ilmu pengetahuan
antara dunia Islam dan Barat. Ghazanfar Seperti yang dikutip Arip Hutoro
(2007), mengangkat lima bukti historis dari bentuk transmisi pengetahuan
tersebut.
Pertama, selama abad XI dan XII awal, para sarjana eropa, seperti
Constantin dan Bath melakukan perjalanan panjang ke negeri-negeri Arab,
belajar bahasa dan kebudayaan Arab, serta selanjutnya membawa pulang
ke Eropa pengetahuan yang baru saja mereka peroleh.
Kedua, pada periode abad XI dan XII tersebut tidak sedikit pula
mahasiswa-mahasiswa baik dari Italia, Spanyol, dan Prancis selatan
mendatangi pengajian-pengajian muslim untuk belajar matematika,
filsafat, kedokteran, kosmografi, dan subyek-subyek pengetahuan lainnya.
Dan ilmu ini mereka kembangkan pada Universitas –universitas yang baru
saja didirikan di kota-kota penting Eropa, seperti Naples, Padua,Salerno,
Toulouse, Salamanca, Oxford, montpellier, dan Paris. Selanjutanya pada
tahun 1311 Council of Vienna mendirikan beberapa pusat studi bahasa-
bahasa Oriental atas permintaan Raymond Lull (1232-1315 M) dan pada
gilirannya banyak menulis buku dengan bahasa Arab, mekipun tujuan
utamanya adalah menyebarkan misi Kristen dikalangan orang-orang
Saracen dan yahudi.
Ketiga, Selama Abad ke XIII hingga ke XIV M. Muncul adanya
kegiatan-kegiatan penerjemahan yang sangat masip atas karya Arab ke
dalam bahasa Latin, dan ini tidak hanya ditulis dalam bahasa Arab, tapi
diterjemahkan lebih dahulu dari bahasa arab ke bahasa Ibrani. Gerakan
penerjemahan seperti ini memperoleh tempat yang kondusif di Spanyol,
Italia, Prancis dan kota-kota utama lainnya di Eropa. Diantara mereka
yang paling berjasa dalam kegiatan penerjemahan karya-karya sarjana
muslim itu adalah Adelard of Bart, Constantine the Aprican, Michael
Scot, Herman the German,Gominic Gundisilavi, John of Seville, Plato
of Trivolli, William of Luna, Gerard of Cremona, Alfred of Sareshel, dan
tokoh-tokoh lainnya. Mereka ini tentu saja srjana-sarjana yang biasa

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 65


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

membaca dan menulis arab sefasih bahasa mereka sendiri, dan termasuk
juga didalamnya adalah Roger bacon (1214-1294). Bacon sering kali
merujuk kepada ibnu Rusyd, Ibnu Sina, dan al-Ghazali, sehingga tidaklah
berlebihan ketika Jeremiah Hackett mengatakan bahwa Fasl al-Maqol-nya
Ibnu Rusyd menjadi model bagi opus Maius Roger Bacon, yang disusun
sekitar tahun1266, dan dikirim kepada paus Clementus VI serta diedarkan
secara rahasia, kemudian baru diterbitkan setelah setelah penundaan yang
sangat lama. Oleh karena itu tidaklah aneh kalau Gordon Leff menyatakan
bahwa secara intelaktual, perbedaan yang tegas antara abad ke- XII dan
ke- XIII M. adalah perbedaan antara isolasi dari dunia islam dan menjalin
hubungan denagannya. Dengan kata lain, jika tidak bersentuhan dengan
dunia Islam maka besar kemungkinan Eropa barat tetap terisolasi dalam
kegelapan intelektualitasnya.
Keempat, transimisi lisan. Selain melalui tradisi tulis, ternyata
transimisi lisan juga telah lama dilakukan dan merupakan hubungan yang
permanen antara Muslim dan Kristen, karena kontak-kontak seperti itu
bukan merupakan kendala utama, mengingat bilingualisme telah menjadi
komunikasi yang umum di spanyol. Selama lebih dari delapan abad,
komunikasi yang intim tersebut terus berlangsung, sehingga wajar untuk
menegaskan interaksi dan kontinuitas cultural diantara dua suku bangsa
tersebut.
Kelima, Transmisi perdagangan. Transmisi ini terjadi melalui jalinan
perdagangan dari dunia Arab melalui Rusia ke polandia, daerah-daerah di
sekitar laut Baltik ke skandinavia, ke Eropa utara, dan bahkan ke Islandia.
Kontak perdangangan ini diikuti juga oleh difusi proses dan institusi-
institusi Ekonomi Islam, peredaran bebas mata uang Arab di eropa
pertengahan, serta berbagai tekhnik dan metode-metode perdagagngan
yang lebih maju. Lebih jauh sebagaimana yang ditemukan dalam Udovitch
(1970; dalam Gazanfar,2003;17) dimasa itu telah lama berkembang institusi
Commenda, yakni semacam kontrak-kontrak kerjasama yang bersal dari
dunia Arab dan menyebar luas ke Eropa latin melalui tulisan-tulisan
para sarjana dan ahli hukum Arab. Demikian pula denagan instrumen
dan institusi yang memberikan fasilitas bagi perkembagan perdagangan
di Eropa seperti rekening pertukaran (suftajah), surat kredit (hawala),
pusat-pusat perdaganan (Funduk) surat embrio bank swasta (ma’una).
Semua bukti ini jelas semakin menguatkan adanya transmisi pengetahuan
ekonomi dari dunia islam ke Eropa barat selama the Blank Centuries tersebut
dan menjadi bukti betapa dekatnya kerjasama antara kaum muslimin dan
kristen di masa itu.

66 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


M. Nazori Majid, Rekonstruksi Sejarah...

Dan yang kelima adalah melalui difusi kultural sebelum dan sesudah
perang salib. Meskipun umat islam memenangkan perang salib antara
islasm dan Kristen, namun eropa lebih banyak memperoleh manfaatnya
ketimbang umat islam, dikarenakan perang dahsat itu berlangsung di
wilayah-wilayah kaum muslimin dengan segala macam kerusakan hebat
yang ditinggalkannya. Sebab itulah Henri Pienne, sejarawan ekonomi
perancis menyatkan bahwa dengan terjadinya perang salib barat pun
mengalami transformasi dari periode statik mereka ke era baru, yakni riset
dan re-interpretasi yang jelas-jelas merupakan hasil utama hubungan barat
dengan peradaban Arab islam.
Transmisi pengetahuan ekonomi melalui perang salib terjadi di
masa-masa damai, masa ini sebenarnya lebih panjang daripada masa
pertempuran. Dan selama masa itu, kaum muslimin dan kristen saling
bekerjasama dibidang sosial, ekonomi, dan akademik yang dengan
sendirinya memberikan saluran komunikasi yang intensif antara barat dan
timur. Orang-orang salib itupun kemudian memperoleh manfaat yang besar,
tidak hanya produk-produk komersial dari timur, tapi juga pemikiran-
pemikiran ekonomi dan ilmiah dari para sarjana muslim. menyadari
pentingnya saluran pengetahuan ini, Pribram dalm Hutoro (2007)
menyatakan bahwa: proses konsilidasi pandangan-pandangan ekonomi
yang berlangsung selama abad ke XIII M. Adalah sebagian besar muncul
karena orang-orang salib (Crusaders) membawa pengetahuan mengenai
metode-metode baru yang memiliki keterkaitan dengan pengorgnisasian
industri dan perdagangan ke kota-kota utama di Italia dan negeri-negeri
lainnya.33

Pemikiran Ekonomi Islam


Pembuktian terahadap hal tersebut dapat dilihat dari praktek-prakatek
ekonomi pada masa Rasulullah Saw.dan Khulafau al-Rasidin yang pada
gilirannya menjadikan pijakan dan bagi cendikiawan muslim berikutnya
dalam melahirkan teori-teori ekonomi islam. Suatu hal yang jelas bagi
Sidiqie adalah fokus perhatian mereka saat itu adalah pemenuhan
kebutuhan, efesiensi, etika, keadilan, keadailan dan kebebasan yang
merupakan sasaran utama kajian pemikiran ekonomi islam pada generasi
awal34. Berkenaan dengan hal tersebut, Siddiqie seperti yang dikutip oleh
33
Lihat, Arif Hutoro, op.cit.h.35-38
34
M. Nejatullah Siddiqie, Recent Works on History of Economic Thought in Islam:a
Survey, dalam Abu Hasan M. Sadeq dan Aidit ghazali (ed.) Readings in Islamic Thought
(selangor Darul Ehsan:Longman Malaysia,1992,h.33

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 67


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

Adiwarman Karim memetakan sejarah perkembangan pemikiran ekonomi


Islam dalam tiga fase, yaitu fase dasar –dasar ekonomi Islam, fase kemajuan
dan fase stagnasi.35 Berbeda dengan Siddiqie, Arif Hutoro klasifikasikan
fase perkembangan pemikiran ekonomi ini kepada empat bagian, yaitu:
Fase Pertama, adalah periode Starting poin, yaitu masa kehidupan
nabi Muhammad (569-632)atau disebut juga masa kewahyuan.Fase Kedua,
adalah periode awal formasi, yaitu periode pengembangan pemikiran
ekonomi pasca wahyu hingga masa awal-awal kekhalifahan setelah para
Khulafa al-Rasyidin (632-718 M). Fase Ketiga, adalah periode Penerjemahan
pemikiran-pemikiran diluar Islam ke dalam bahasa arab yang selanjutnya di
elaborasi oleh sarjana muslim sebagai karya intelektual yang bercorak islam
(abad VIII-XI M) Meskipun demikian, pada fase ini juga banyak pemikir-
pemikir muslim yang mendiskusikan masalah ekonomi tanpa mengacu
kepada warisan intelektualisme Yunani. Diantaranya al-Ghazali dengan
Ihya Ulumuddin. Fase Keempat, adalah periode penerjemahan ulang dan
transmisi oleh sarjana-sarjana eropa Barat, yaitu ketika peradaban barat
menjalin kontakyang intensif dengan peradaban Islam selama abad ke XII
hinga abad ke-XV M. Fase ini dalam catatan Hutoro muncul setelah barat
menyadari ketertinggalannya dari peradaban Islam, sehingga memacu
mereka untuk mempelajari karya-karya ilmiah Islam.36

Fase pertama / starting point (569-632 M)


Fase pertama merupakan fase abad awal sampai dengan fase abad
kelima Hijriah atau Abad ke sebelas Masehi yang dikenal dengan fase
dasar Ekonomi Islam. Pada periode ini ekonomi Islam dimapankan oleh
Nabi sendiri terutama setelah peradaban madinah berhasil dibangun oleh
Nabi.
Timur tengah yang menjadi wilayah kelahiran nabi, pada kurun sejarah
yang berbeda-beda selalu tercatat sebagai salahsatu pusat perdagangan
dunia, dan ini berlangsung sejak awal kelahiran Muhammad abad (ke-VI
M) dan terus berlanjut sampai masa-masa islam diperkenalkan sebagai
suatu ajaran agama pada abad (ke-VII M). Pada masa ini Rasulullah
memang tidak berbicara ekonomi secara rinci, tapi dari beberapa ajaran
yang dimuat dalam kitab suci al-Qur’an dan hadits maupun sunnah rasul
telah memberikan suatu ajaran etika yang menata kehidupan manusia

35
Baca, Adiwarman A.Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Ed.Ketiga, Jakarta :
PT Raja Grapindo:2006,h.10
36
Arif Hutoro, Op.cit. 57-58

68 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


M. Nazori Majid, Rekonstruksi Sejarah...

dalam segala bentuk perilaku termasuk didalamnya yang berkenaan


dengan perilaku ekonomi. Dan ini merupakan suatu landasan yang dapat
dijadikan sebgai poin of fiew dalam menyikapi segala bentuk perilaku
perekonomian yang ada. Hal ini terbukti dari beberapa ungkapan al-
Qur’an yang tidak sedikit mangajak manusia untuk lebih hati-hati dalam
segala bentuk kegiatan ekonominya, baik itu dalam bnisnis, transaksi jual
beli, kredit, untung rugi maupun isyarat lain yang memuat kajian dalam
aspek ekonomi.37
Walaupun pada masa ini praktek perekonomian dan muatan prinsip
fundamentalnya semata-mata mengacu kepada al-Qur’an dan perilaku
nabi (sunnah), namun interpretasi dari semua tindakan pada masa ini
dapat dikembangkan oleh generasi berikutnya tanpa mengabaikan aspek
politik, sosial dan budaya. Pada masa ini hukum islam (syari’ah) tetap
eksis untuk berevolusi dan berkembang dalam menghadapi segala bentuk
problematika dan tuntutan masyarakat. Gambaran yang lebih jauh dan
mendalam lagi dapat dilihat dalam kajian sejarah yang telah mencatat
bahw Muhammad adalah seorang pedagang, yang tentunya tidak sedikit
dari sikap, tindakan dan perilakunya yang mencerminkan beliau sebagai
seorang praktisi ekonomi.38
Dalam perjalan hidupnya, Muhammad telah memberi teladan terbaik
untuk menjadi pedangang yang berhasil. Beliau selalu bersikap jujur dalam
segala aktivitass perdagangan, sehigga integritas dan kejujuran yang beliau
miliki telah mengantarkannya sampai kepada puncak kesuksesan dalam
mengelola perekonomian yang bermula dari ekonomi rumahtangganya
sampai kepada sistem perekonomian negara.
Jika melihat kajian dan perilaku ekonomi yang selalu dikaitkan
dengan untung dan rugi, maka dapatlah dikatakan bahwa perdagangan
merupakan bagian dari induk keuntungan, kedudukannya menjadi lebih
tinggi jika dibandingkan dengan industri pertanian dan jasa, sehinggga
hampir semua bangsa di dunia muncul dari latar belakang perdagangan
dan perniagaan.
37
Isyarat-isyarat al-Qur’an tentang ekonomi dapat dilihat misalnya pada QS. 62:20,
QS.2:168, QS.35:9, QS. 6:141, QS. 17:27, QS.7:31, QS.5:87, QS.2:173, QS.16:-12, QS.32:27,
QS.69:30-32, QS.35:29, QS.59:7, QS.6:141, QS.2,261, QS.2:272, QS.2:274, QS.4:36-37,
QS.11:15, QS.2:29, QS.41:10, QS.16:71 dan banyak lagi ayat-ayat al-Qur’an yang meberi
isyarat ekonomi.
38
Baca, Afzalurrahman, Muhammad as atreder, dalam Muhammad:Ensyclopedia of
seerah,ed.Terj.Dewi Nurjulianti,dkk.Muhammad sebagai seorang pedagang, Vol.II buku
ke-3, (Jakarta:Yayasan Swarna Bumu,1995)

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 69


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

Diawali dengan karir sebagai seorang pedagang, Muhammad juga


telah berhasil mendirikan kerajaan dan negara, maka tidak terlalu
berlebihan kalau dikatakan perdagangan merupakan tulang punggung
untuk memperoleh kekayaan. Lebih jauh, ekonomi dan perdagangan yang
diajarkan Muhammad pada masa itu juga implimentasi dari ajaran al-
Qur’an (QS. 178:11) yang mengajarkan: ”Dan kami jadikan siang untuk
mencari kehidupan” serta (QS. 62:20) yang artinya: ”Tidak ada dosa bagi
kamu untuk mendapatkan kekayaan dari Tuhanmu.....Bertebaranlah kamu
di muka bumi dan carilah rahmat Allah”. Namun semua itu dijalankan
Muhammad pada garis-garis yang ditentukan Allah dengan memahami
(QS. 2:275) yang artinya: ”Allah Menghalalkan Jual-beli dan mengharamkan
riba” Petunujuk-petunjuk inilah yang dipedomani Muhammad dalam
menjalakan aktivitas perdaganan dalam memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari.
Prestasi yang dicapai Muhammad sebagai seorang pedagang ini,
merupakan prestasi yang sangat luar biasa dengan menata perdaganan
dengan norma dan etika. Selain itu, prestasi tersebut juga merupakan
bagaian dari serangkaian penegakan sistem ketuhanan didunia yang
dikaitkan dengan Nizamul al-Rububiyyat dalam kajian fiqih.
Kendatipun demikian, tidak begitu bijak kiranya jika memperbincangkan
presatasi yang dicapai Muhammad dengan melihatnya sebagai hasil
perjuangan pribadi semata tanpa melihat dukungan-dukungan orang-
orang disekitarnya. Namun padangan dogmatis dan agamis telah membawa
pada kesimpulan bahwa iman dan wahyulah yang membimbingnya untuk
tetap bertindak dalam koridor kebenaran,etis dan manusiawi.
Kalau saja agama Islam tidak diturunkan ke dunia sebagai
penyempurna dari semua ajaran agama, maka belum tentu kronologis
perjalanan historisnya akan demikian. Karena Islam dan wahyu lah yang
telah membentuk pribadi Muhammad, dan al-qur’an lah yang telah
menyampaikan ideologi terbaik untuk diyakini dan diterapkan, sehingga
Muhammad menjadi sosok yang ideal untuk diteladani dalam berbagai
aspek.
Islam dan wahyu telah melahirkan Muhamad ditengah puak-puak
politik dan kesukuan yang bertentangan, karena masing-masing menganut
kepercayaan yang berbeda dan sama sekali tidak memiliki pengetahuan
di bidang politik, ekonomi, sosial maupun keagamaan. Di tengah kondisi
seperti inilah Muhammad tampil seabgai seorang Nabi, pemimpin
dan negarawan. Presatasi sebagai pemimpin dapat dibuktikan dengan
berhasilnya Muhammad mendirikan madinatu al-Nabi, beliau telah

70 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


M. Nazori Majid, Rekonstruksi Sejarah...

mengirimkan beberapa gubernur ke berbagai negeri untuk merealisasikan


ajaran-ajaran Islam terutama yang erat kaitannya denga n ekonomi dan
keuangan negara. Hal ini dilihat dari ketetapan nabi yang yang mewajibkan
bagi setiap kaum muslimin untuk membayar zakat ke Madinah. Zakat
pada masa itu merupakan pajak yang dikumpulkan oleh para petugas yang
ditunjuk oleh pemimpin negara. Pajak ini kemudian dikirim ke Madinah
dan dinbagikan oleh rasulullah kepada para pemimpin untuk dibelanjakan
sesuai dengan ajaran al-Qur’an.
Dalam penataan ekonomi, Muhammad selalu menekan kan azaz
kejujuran dalam setiap transaksi, tidak boleh ada kebohongan dan penipuan,
baik dalam transaksi jual beli maupun dalam tansaksi lainnya. Dalam
persoalan dagang, Muhammad juga selalu menghindari sumpah yang
berlebihan, beliau selalu berusaha mencari kesepakatan anra pedangan dan
pembeli, beliau sangat menekankan ketegasan dalam timbangan, melarang
monopoli dan dalin seabgainya.
Praktek perekonomian yang diajarkan Muhammad ini sungguh
merupakan tatanan nilai yang dapat diteladani bagi seluruh sitem ekonomi
yang ada, meskipun beliau belum sempat memberi gambaran terhadap
kondisi perekonomian negara secara keseluruhan, namun muatan-muatan
dari ajaran sosial, politik dan ekonomi tealah termuat dalam dokumen
nabi antara kaum Muhajirin, Ansor dan Yahudi tentang Undang-undang
dan aturan kenegaraan yang belakangan ini sering disebut dengan
Piagam madinah.39 Meskipun dalam perjanjian tersebut tidak termuat
secara utuh, namun setidaknya ide dan pengembangan yang lebih jauh
ke arah kehidupan dan perekonomian yang adil dan berperadaban telah
dipraktekkan nabi, hal ini dapat dibuktikan dari tindalkan nabi yang telah
memberikan sebagian dari harta bani Nadhir kepada para fakir miskin
dari kalangan Muhajirin.
Gagasan fondamenal ekonomi yang dibangun nabi di kota madinah
adalah kaiatan antara tawhid dan problematika keadilan ekonomi.
Hal ini dapat dilihat dari kaderisasi dari peradaban madinah yang telah
melahirkan tokoh-tokoh seperti Abdul Rahman bin Auf, Usman bin Affan
seorang saudagara kaya raya dan banyak mendermakan hartanya di jalan
aallah. Selain itu juga ditemukan sahabat seperti Abuzar al-Ghifari yang
belakangan dikenal sebagai perintis gerakan sosialis dalam Islam.
39
Akram Diauddin Umari, Madinan Society at The time of The Prophet:Its
Characteristic an Organization, Ed. Terj. Mun’Im a.Sirry; Masyarakata Madani: Tinjauan
Historis kehidupan zaman nabi, Cet.1 (Jakarta:Gema Insani Press,1999) hal.118-122

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 71


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

Pada paroan pertama Muhammad juga telah berhasil memberantas


kebiasaan yahudi yang mencampurkan riba dan perdagangan. Hal ini
dapat dibuktikan dengan firman Allah dalam QS. Al-Baqorah 275. yang
artinya:
”Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata
(berpendapat) sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal
allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”

Gerakan pemberantasan semangat egoistik yahudi ini semakin hari


semakin dipertajam dengan jihad memberantas kapitalisme, walaupun
pada waktu itu faham kapitalisme belum mempunyai bentuk yang tegas
dan tidak terorganisasi sebagaimana 12 abad kemudian di tanah eropa,
namun jauh sebelum itu nabi Muhammad telah telah memberi isyarat
tentang bahanyanya kapitalisme tersebut, hal ini dapat dilihat dari QS.
Al-Humazah yang menyebut istilah ”Jama’a maalan” yang dinamakan
konsentrasi kapital atau pemusatan modal, dan ”Wa’ddadah” yang artinya
adalah perhitungan rasional dengan sedikit tenaga dan sedikit ongkos
untuk mendapat hasil yang sebesar-besarnya, kemudian dikuti ”Yahsabu
anna maalahu ahladah” yang maksudnya adalah Usaha yang dikuasai
sendiri untuk selama-lamanya, dengan menutup kesempatan kepada orang
lain, dan ini disebut dengan monopoli.
Pada lain ayat al-Qur’an juga menggariskan dalam QS.al-Takatsur , ”Al-
Hakum al-Takatsur, Hatta zurtum al-Maqobir” yang artinya dimaksudkan
bahwa menumpuk-numpukkan harta itu sangat melalaikan kewajiban
kemanusiaan dan ketuhanan hingga menghadapi kematian. Senada dengan
hal tersebut Muhammad juga mengecam kapital dengan sabdanya: ”Sangat
celaka orang-orang yang diperhamba oleh harta (kapital) baik berupa uang
mas (dinar) uang perak (dirham) atau lainnya”.
Kesuksesan nabi inilah yang menjadi acuan bagi perkembangan
berikutnya dengan sahabat sebagi perpanjangan tangannya. Untuk
menelussuri hal tersebut pada bagian ini akan dijelasakan fase-fase setelah
masa Muhammad.

Fase Kedua 113 H /731M s.d 450 H/1058 M


Fase ini dirintis oleh para fuqoha, diikuti oleh sufi dan kemudian
oleh para filosuf. Pada awalnya pemikian mereka berasal dari orang
yang berbeda, tetapi di kemudian hari, para ahli harus mempunyai dasar
pengetahuan dari ketiga disiplin tersebut. Fokus fiqh adalah apa yang

72 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


M. Nazori Majid, Rekonstruksi Sejarah...

diturunkan oleh syariah, dan dalam konteks ini para fuqoha mendiskusikan
fenomena ekonomi. Tujuan mereka tidak terbatas pada penggambaran
dan penjelasan fenomena ini. Namun demikian dengan mengacu pada
al-Qur’an dan Hadits mereka mengekplorasi konsep Maslahah (utility)
dan konsep mafsadah (dis-utility) yang terkait dengan aktivitas ekonomi.
Pemikiran yang timbul terfokus pada apa manfaat sesuatu yang dianjurkan
dan apa kerugian bila melaksanakan sesuatu yang dilarang agama.
Pemaparan ekonomi fuqoha tersebut mayoritas bersifat normatif dengan
wawasan positif ketika berbicara tentang perilaku yang adil, kebijakan
yang baik, dan batasan-batasan yang diperoleh dalam kaitannya dengan
permasalahan dunia.
Sedangkan kontribusi utama tasauf terhadap pemikiran ekonomi
adalah pada keajegannya dalam mendorong kemitraan yang saling
menguntungkan, tidak rakus dalam memenfaatkan kesempatan yang
diberikan oleh Allah, dan secara tetap menolak penempatan tuntutan
kekeayaan dunia yang terlalu tinggi. Sementara itu philosof muslim tetap
berasaskan syari’ah dalam keseluruhan pemikirannya, mengikuti para
pendahulunya dari Yunani, terutama Aristoteles (367-322 SM) yang
fokus pembahasannya tertuju pada sa’adah (kebahagiaan) dalam arti luas.
Pendekatannya global dan rasional serta metodologinya syarat dengan
analisis ekonomi positif dan cenderung makro ekonomi. Hal ini berbeda
dengan para fuqoha yagn terfokus perhatiannya pada masalah-masalah
mikro ekonomi40.
Pada fase ini di ranah eropa tidak ditemukan para tokoh yang concern
terhadap ekonomi, bahkan sebaliknya dikalangan tokoh muslim muncul
para pemikir ekonomi Islam seperti Zaid bin Ali (w.80 H/738 M) Abu
Hanifah (w.150 H/767 M) Abu Yusuf (w.182 H/798 M) Al-Syaibani (w.189
H/804 M) Abu Ubayd Qosim bin Salam (w.224 H/838 M) Harits bin As’ad
al-Muhasibi (w.243 H/ 858 M), Junaid al-Bagdadi (297 H/ 910 M) Ibnu
Maskawaih (w. 421 H/ 1030 M) dan al-Mawardi (450 H/ 1058 M).
Pemikiran yang dominan berkembang pada masa itu adalah masalah
kebijakan piscal dan keuangan negara atau persoalan makro ekonomi.hal
ini dapat dibuktikan denagan kitab al-Kharaj yang ditulis oleh Abu Yusuf
yang menjelaskan tentang pajak tanah, selain itu juga ada kitab al-Amwal
yang ditulis oleh Abu Ubayd Qosim bin Salam yang membicarakan
pengelolaan APBN atau Keuangan Negara dalam Islam, kemudian juga

40
Adi Warman karim, Bulletin MA’AD ed. 1 Juni 2001, SEF UGM

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 73


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

ditemukan kitab al-Ahkam al-Sulthoniyyah yang banyak berbicara tentang


pemerintahan dan Administrasi. Selain itu juga dikembangkan teori pasar
dalam Islam yang mencakup banyak hal, misalnya persoalan yang tidak
diperbolehkan dalam Islam, seperti mekanisme pasar dengan berbagai
permasalahannya.

Pase ketiga 450 H/ 1058 M. s.d 850 H/1446 M


Pase ketiga ini meskipun perkembangan pemikiran ekonomi Islam
dihadapkan dengan realitas politik yang ditandai dengan dis integrasi dari
penguasa sentral Abbasid dan pembagian kerajaan Islam menjadi kekuatan
regional, namun geliat intelektual tidak terhenti dan terus berlanjut, hal ini
ditandai dengan adanya perluasan kerajaan Islam di wilayah barat mulai
dari Maroko dan Spanyol sampai India di wilayah timur. Dan disetiap
wilayah pada perluasan ini juga ditemui pusat-pusat kegiatan intelektual.
Pada pase ketiga ini tidak sedikit ditemukan para pemikir ekonomi
Islam, di antaranya adalah Abu Hamid al-Ghazali, Taqiyuddin Ibnu
Taymiyyah (Damaskus), Ibnu Khaldun (Magribi), Ibnu Qoyyim (murid
Ibnu Taymiyyah), Para tokoh tersebut setidaknya telah banyak menulis
tentag kebijakan moneter dan uang. Hal ini dapat dibuktikan dengan
tulisan al-Ghazali yang mengupas tentag riba Fadl dan kaitannya dengan
penggunaan dan penimbunan uang. Sementara Ibnu Taymiyah lebih
banyak mengupas tentang manajemen uang, peraturan tentang timbangan
dan ukuran, pengawasan harga dan pada beberapa kesempatan juga
memuat tentang pertimbangan pajak. Namun suatu pemikiran yang luar
biasa ketika Ibnu taymiyah mengedepankan teori permintaan (dimand)
dan penawaran (supply) yang bermain pada penentuan harga, karena hal
ini termasuk dalam teori pasar.41
Dalam pandangannya teori pasar dalam Islam pada intinya adalah
mencari sebab mengapa terjadi kenaikan harga. Kalau disebabkan adanya
pergeseran kurva penawaran, maka output nya adalah Market intervention.
Di masa Umar bin Khattab pernah terjadi kenaikan harga gandum karena
peceklik di daerah hijaz, maka di infor-lah gandum dari Fuztadz, (mesir).
Kebijakan yang mereka lakukan adalah menambah jumlah penawaran
gandum, sehingga harga kembali pada titik keseimbangan awal. Akan
tetapi jika penyebab pergeseran tersebut bukan disebakan pergeseran kurva
penawaran, maka islam tidak memberlakukan cara seperti di atas. Ketika
41
Ibid,

74 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


M. Nazori Majid, Rekonstruksi Sejarah...

diketahui terjadainya kenaikan harga adalah distorsi pasar atau seperti


monopoli atau penimbunan maka islam menolak intervensi pasar.

Fase ke empat (850 H/1446M- 1350 H/1932M)


Meskipun pada Fase ini di dunia eropa muncul banyak muncul
para ekonom, namun tidak berarti di dunia muslim tidak muncul para
tokoh, karena di dunia muslim juga muncul figur seperti shah waliyullah,
Muhammad Iqbal, dan jamaluddin al-Afgani. Hal ini dapat dibuktikan dari
buku Shah waliyullah yang berjudul Hujjatullah al-Balighah menjelaskan
tentang jalan pikiran ketentuan syari’ah un tuk perilakupribadi dan
organisasi sosial. Di eropa pada fase ini muncul para ekonomom seperti
Adam Smith (1776),JS. Mill (1848) W.Marshal (1890) yang membentuk
mazhab kapitalis dan ilmu ekonomi neo-Klasik. Kemudian pada fase ini
juga muncul tokoh seperti KarlMark (1876) dan V.Lenin (1914) yang
membentuk mazhab Sosialisme Komunisme baru, kemudian berikutnya
muncul kembali figur Keynes dkk.(1936) dengan ekonomi neo Klasiknya.
Pada fase ini pengaruh eropa lebih dominan dan pemikiran ekonomi islam
terkesan stagnan.

Fase kelima (1932-sekarang)


Pada fase ini pemikiran ekonomi islam kembali mencuat ke permukaan,
meskipun pada periode awalnya pola pemikiran ekonomi islam terkesan
fiqhian seperti yang dipelopori oleh Sayyid qutub, al-Maududi, Yusuf
Qordawi, dll. Pola seperti ini terus berlanjut sampai pada tahun 1975 seiring
dikeluarkannya deklerasi mekkah. Namun pada tahun 1980-an ekonomi
Islam mulai tampil dengan bentuknya yang lebih realistis dimana pada masa
ini pendekatan yang digunakan sudah mulai beranjak dari pendekatan
fiqh kepada pendekatan ekonomi. Hal ini ditandai dengan munculnya tiga
corak pemikiran ekonomi Islam yang dikenal dengan Mazhab Baqir al-
sadr, mazhab mainstream, dan mazhab alternatif. Dan pada masa ini telah
kuncul tokoh-tokoh seperti MA. Mannan, Khursyid Ahmad, Moh. Anas
Zarqo, Nejatullah Siddiqie, Hasanuzzaman, Safe’i Antonio, Adi warman
karim, dll.
Dari beberapa pemetaan fase perkembang tersebut, setidaknya ilmu
ekonomi islam telah melalui proses perkembangan yang dimulai dari masa
awal keislaman, yaitu dasar-dasar muamalat yang diletakkan oleh rasulullah
SAW. Kemudian formasi pembentukan oleh para fuqoha masa klasik,

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 75


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

yang menulis persoalan-persoalan ekonomi dalam menjawab persoalan-


persoalan agama yang kemudian dikenal sebagai fiqh muamalat, seperti
hukum jual beli, larangan riba, zakat, pajak dan urusan-urusan lain yang
terkait dengan urusan keagamaan umat islam. Meskipun tulisan-tulisan
tersebut belum tersistimatisasikan dan terbentuk secara final sebgai ilmu
ekonomi, namun sumbangan pemikirannya sangat kaya dengan muatan-
muatan ekonomi. Setelah itu proses tersebut melalui muslim modernis,
yang berupaya menghidupkan kembali kejayaan islam masa lalu di alam
pemikiran modern, dan terus berkembang pada masa muslim yang terdidik
dengan tradisi ekonomi barat, yang berupaya memadukan pengetahuan
yang mereka dapati di dunia barat dengan ajaran-ajaran islam. Dan proses
tersebut sampai kepada ekonom-ekonom yang terdidik dalam tradisi
pendidikan islam modern.

Kesimpulan
Sejarah pemikiran ekonomi yang tidak mengikut sertakan peran
tokoh islam abad klasik dengan alasan adanya Dark age yang melanda
Eropa abad tengah merupakan suatu pemetaan sejarah yang keliru dan
tidak mempunya dasar yang kuat, bahkan terkesan menghapus jejak
pemikiran ekonomi Islam, karena pada masa-masa yang kontribusi tokoh
islam dianggap kosong dari pemikiran ekonomi tersebut, dunia islam telah
banyak melahirkan pemikir-pemikir ekonomi yang genune yang sampai
saat ini masih dapat disemukan jejak-jejaknya.
Penulisan ulang sejarah pemikiran ekonomi sangat urgen untuk
dilakukan, karena sejarah pemikiran mainstream ekonomi terlalu
eurocentris dan didekati dari perspektif barat, serta terkesan lebih
mengedepankan superioritas peradaban barat, sehingga terkesan ingin
menjadikan teori ekonomi barat berlaku secara universal.

DAFTAR PUSTAKA
Chapra,Umar, Masa Depan Ekonomi, sebuah tinjauan Islam, Jakarta: Gema
Insani Press, 2001
Chapra,Umar, Islam dan Pembangunan Ekonomi, Malaysia: IIT,1996
Deliarnov, Perkembangan Pemikiran ekonomi Islam, Jakarta: Raja Grafindo
peersada, cet.I 1995
Fukuyama, Francis, The End of History and The LastMan;Kemenangan
Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, ed.Terj.

76 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


M. Nazori Majid, Rekonstruksi Sejarah...

MH.Amrullah,Jogjakarta:Qolam,2003
Ghazanfar SM.. Medival Islamic Economic Though: Filling the Gradgap in
European Economic. London and New York, Routledge Curzon,
2003
Giddens,Anthony, Kapitalisme dan teori sosial Modern: suatu Analisis karya
tulis Marx, Durkheim dan Max Weber Jogjakarta: UI Press, 1986
Hutoro, Arif, Pengantar Analisis Kesejarahan dan Metodologi, Malang:
BPFE UNIBRAW
Karim, Adiwarman A. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Ed.Ketiga, Jakarta
:PT Raja Grapindo:2006.
Karim, Adi Warman, Bulletin MA’AD ed. 1 Juni 2001, SEF UGM
Mannan, MA., Teori dan Praktek Ekonomi Islam,ed. Terj. Yogyakarta:Dana
Bakti Wakaf,1993
Majid, M.Nazori, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf dan Relevansinya
dengan Masyarakat kekinian, Jogjakarta: Islamic Banking School,
2003.
Sawit Husin, Metodologi Ekonomi Islam Perlukah Berbeda..? Makalah
Seminar Nasional Metodologi Ekonomi islam, Jogjakarta ,PPEI
UII Jogjakarta,1997
Siddiqie, Nejatullah, Some Aspects of The Islamic Economy, Deli: Markaz
Maktaba Islami,1992
Mark, The Making of Modern Economics, ed Terj. Tri Wiboyo Budi Santoso,
Sang Maestro teori-teori Ekonomi modern, Jakart: Pranada, 2005
Rahman, Afzalur, Muhammad as atreder, dalam Muhammad:Ensyclopedia
of seerah,ed.Terj.Dewi Nurjulianti,dkk.Muhammad sebagai seorang
pedagang, Vol.II buku ke-3, (Jakarta:Yayasan Swarna Bumu,1995)
Raharjo, Dawam, Proceedings Seminar Nasional Sistem Ekonomi Islami:
Perlukah ekonomi Islam Menggunakan metodologi yang berbeda?.
PPPEI UII,Yogyakarta:1997
Raharjo, Dawam, Metodologi Ekonomi Islam , Makalah seminar Nasional
Metodologi penelitian ekonomi Islam untuk mengembangkan
praktek Bisnis, PPPEI Fakultas Ekonomi UII Jogjakarta;1997
Siddiqie, M. Nejatullah, Recent Works on History of Economic Thought
in Islam:a Survey, dalam Abu Hasan M. Sadeq dan Aidit ghazali
(ed.) Readings in Islamic Thought (selangor Darul Ehsan:Longman
Malaysia,1992.

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 77


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

Umari, Akram Diauddin, Madinan Society at The time of The Prophet:


Its Characteristic an Organization, Ed. Terj. Mun’Im a.Sirry;
Masyarakata Madani: Tinjauan Historis kehidupan zaman nabi,
Cet.1 (Jakarta:Gema Insani Press,1999)

78 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Ambok Pangiuk, Tanah Terlantar...

TANAH TERLANTAR DALAM HUKUM DAN


KEMASLAHATAN
Oleh: Ambok Pangiuk*

Abstract:
Some of problem dissatisfaction to discus land which this dichotomy
are neglect land. With this too narrow conception of tradition
assumed an equivalence between Islamic law and bases constitution
of land. Aspect the first and fundamental affect of Islamic law views
upon the condut of live an therefore upon economy activity was
generally about neglect land of human streteoping.

Kata Kunci: Tanah Terlantar, Hukum Agraria, Hukum Islam.

Kepemilikan tanah terutama yang terlantar adalah salah satu persoalan


penting yang harus mendapat perhatian serius di zaman sekarang. Sering
terjadi tumpang tindih antara satu kepemilikan dengan kepemilikan
lainnya, ini disebabkan dua bukti sertifikat yang sama-sama kuat dan
dimiliki oleh dua orang dengan satu lahan. Hal ini disebabkan tidak
lain adalah masih terdapatnya bidang-bidang tanah yang ditelantarkan,
sehingga ada kecenderungan bagi masyarakat yang tidak memiliki lahan
untuk menggarapnya. Jika tidak ditangani dengan penuh perhatian,
hal ini pada gilirannya akan mengganggu jalannya pembangunan,
mengingat persediaan tanah yang semakin terbatas dan kebutuhan tanah
untuk pembangunan yang semakin meningkat. Bila berada di pedesaan
tanah terlantar akan mengganggu kelestarian swasembada di bidang
pangan, sedangkan di daerah perkotaan, keberadaan tanah terlantar
akan menyebabkan tumbuhnya daerah-daerah kumuh yang mengurangi
keindahan perkotaan dan mengurangi efisiensi penggunaan tanah serta
dapat menyebabkan masalah-masalah sosial.
Di samping itu keberadaan kepemilikan tanah yang terlantar baik
di daerah pedesaan maupun di daerah perkotaan akan mengurangi arti
dan peran tanah yang berfungsi sosial. Hukum pertanahan di Indonesia
dikenal hukum agraria, adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang
meliputi bumi, tanah, air dari bangsa Indonesia. Pada awalnya (sebelum

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 79


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

tahun 1960) diberlakukan 2 hukum, hukum adat dan hukum barat. Kedua
hukum tersebut satu sama lain sangat berbeda, satu hukum dibangun
berdasarkan pada nilai yang diadopsi dari hukum yang berlaku di negara-
negara Barat, sedangkan hukum adat dibangun berdasarkan kebiasaan
yang berlaku di Indonesia sejak dahulu.
Dibentuknya undang-undang agraria memperlihatkan beberapa hal
pertama, adanya koherensi antara manusia dengan Tuhan, bahwa bumi, air,
ruang angkasa dari bangsa Indonesia adalah karunia dari Tuhan yang maha
Esa kedua, hukum agraria yang berlaku sebelum tahun 1960 (pra UUPA)
adalah hukum agraria yang disadur dari hukum adat, sehingga tidak sesuai
dengan cita-cita bangsa Indonesia dan tidak menjamin kepastian hukum,
dan hukum agraria yang berdasarkan hukum adat.
Di samping hukum perdata dan hukum adat, hukum Islam pun
berlaku di Indonesia dalam bidang keperdataan yang berkaitan dengan
perkawinan, kewarisan, zakat dan perwakafan, seperti UU No. 38 Tahun
1999 dan Kompilasi Hukum Islam. Masalah pertanahan ini pun termasuk
ke dalam UU No. 38 Tahun 1999 dan ke dalam Kompilasi Hukum Islam.
Islam mengaturnya melalui dua sumber utama ajaran Islam, al-Qur’an dan
al-hadis. Salah satu bentuk pengaturan dalam Islam yaitu kepemilikan
tanah terlantar.
Dalam hukum Islam tanah terlantar lebih dikenal dengan al-mawat atau
tanah mati. Menurut Louis Ma’luf, al-mawat mempunyai 2 arti. Pertama,
sesuatu yang tidak mempunyai roh. Kedua, tanah yang tidak berpenduduk
dan tanah yang tidak dimanfaatkan.
Sedangkan dalam Hukum Agaria kepemilikan tanah terlantar adalah
tanah yang ditelantarkan oleh pemegang atas tanah. Pemegang hak
pengelolaan atau pihak yang tidak memperoleh dasar penguasaan atas
tanah tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Tanah Terlantar Dalam Konteks Wacana


Tanah terlantar dalam Islam dikenal dengan tanah mati atau ihya al-
mawat. Al-Mawat secara etimologi berarti yang mati atau lawan dari hidup.

Budi Harsono., Hukum Agraria Indonesia, Jakarta: Jembatan, 1988, hlm. 2.

A. P. Parlidungan., Komentar Atas Undang-undang Pokok Agraria, Bandung: Mandar
Maju, 1991, hlm. 20.

Louis Ma’luf., Al-Munjid: Fiy al-Lughah wa al-A ‘lam, Beirut: Dar al-Musyriq, 1986,
hlm. 779.

80 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Ambok Pangiuk, Tanah Terlantar...

Al-mawat memiliki arti yaitu sesuatu yang tidak mempunyai roh atau
tanah yang tidak berpenghuni atau tidak seorangpun memanfaatkannya).
Al-Mawat berarti sesuatu yang tidak mempunyai roh dan tanah tidak
berpenghuni atau berarti sesuatu yang tidak mempunyai roh, juga berarti
tanah yang tidak dimiliki serta tidak dimanfaatkan. Dalam buku Nataij al-
Afkar, tanah mati yaitu tanah yang tidak dimanfaatkan karena ketidakadaan
air, serta susah pula memanfaatkannya, tidak dimiliki, atau terdapat atas
tanah tersebut hak milik, tetapi tidak diketahui pemiliknya serta jauh dari
perkampungan. 
Secara terminologi terdapat beberapa pengertian al-mawat yang
drkemukakan para ulama fikih, ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hambaliah
mengemukakan definisi al-mawat dalam persepsi tentang tanah yang
tidak dimiliki dan tidak dimanfaatkan oleh seseorang. Ulama Syafi’iyah
mendefinisikan sebagai lahan yang belum digarap orang dan tidak pula
terlarang untuk digarap baik lahan itu jauh dari pemukiman maupun
dekat). 
Pengikut mazhab Hambali menyebutkan bahwa al-mawat adalah lahan
yang tidak diketahui pemiliknya). Di kalangan mazhab Hanafi, tanah al-
mawat tidak hanya diartikan sebagai tanah yang tidak dimiliki dan tidak
dimanfaatkan, tetapi tanah itu disyaratkan berada di luar perkampungan
penduduk. Sebagaimana pengertian al-mawat yang diungkapkan oleh
Hanafiyah bahwa tanah yang berada di luar perkampungan, tidak dimiliki
oleh siapapun, tidak pula terdapat hak khusus atasnya.
Berdasarkan definisi al-mawat yang dikemukakan oleh fuqaha di atas,
kriteria tanah yang tergolong al-mawat yaitu:
a. Tanah yang tidak dimiliki oleh seseorang atau tanah yang tidak terdapat
hak milik atasnya, baik hak milik orang Islam maupun hak milik non
nuslim.
Dalam suatu hadits yang pernah dijelaskan oleh rasul tentang siapa
yang menghidupkan tanah (lahan) mati, maka tanah tersebut menjadi
miliknya.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Tarmiziy).

Ibid.

Al-Ibrahim Bajuriy., Hasyiyah al-Bajuriy Ala’ Ibnu al-Ghazali, Juz II, Semarang:
Maktabah Matbu’ah Thaha Putra, t.th, hlm. 37.

Al-Kasaniy ‘Ala al-Din Abi Bakar ibn Mas’ud., Kitab Bada‘i al-Shana’i, Beirut: Dar
al-Kutub al-Alamiyah, t.th., Juz VI, hlm. 194.

Abi Abd Allah Muhammad Ibn Muflih, Kitab al-Furu’, Mesir: Allm al-Kutub, 1968,
Juz IV, hlm. 552.

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 81


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

b. Tanah yang tidak digarap


Lahan yang tidak digarap dapat dibuktikan dengan tanda-tanda pada
lahan tersebut seperti pemagaran, bekas penggarapan dan tanda-tanda
lainnya yang biasa dipakai oleh masyarakat setempat.
c. Tanah yang berada jauh di luar perkampungan
Menurut Hanafiyah bahwa lahan yang berada di kawasan masyarakat
muslim adalah hak kaum muslim.
Tanah terdiri dari banyak jenis, tanah liat, tanah tandus, tanah basah,
dan lain-lain. Disin akan diuraikan penbagian tanah menurut Fuqaha
yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh dan peraturan-peraturan yang
pernah berlaku dari zaman Rasulullah sampai zaman Khalifah Rasyidin.
Pembagian tanah disini bukan dari zat tanahnya, tapi dari segi hukum
yang melekat pada tanah.
Pembagian tanah dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu, ditinjau dari
segi:
1. Kepemilikannya terbagi dua, pertama, tanah yang terdapat atasnya
hak milik (ardh mamlukah). Tanah yang terdapat hak milik atasnya
ada dua macam, tanah yang telah digarap dan bekas digarap. Tanah
yang sudah digarap tidak dibolehkan orang lain untuk mengolahnya
kecuali ada izin dari pemilik hak, kedua, tanah yang tidak dimiliki
(ardh ghair al-mamlukah). Tanah yang tidak dimiliki terdiri dari tanah
untuk kepentingan umum dan tanah yang belum digarap serta tidak
diketahui pemiliknya atau tanah tidak diketahui pemiliknya dikenal
dengan istilah al-mawat.
2. Tanah pemberian khalifah kepada rakyat.
Terdiri dari pertama, tanah taklukkan, kedua, tanah kontrak ketiga,
tanah milik kaum muslimin, keempat, tanah negara.

Cikal Bakal Munculnya Hak Atas Tanah


Al-Qur’an dan Hadist serta buku-buku fiqh klasik maupun modern,
tidak memperinci bentuk-bentuk hak atas tanah menurut hukum Islam.
Namun dalam pembahasan mengenai hak dan kewajiban menusia
terhadap harta benda, terdapat beberapa bentuk hak manusia terhadap
harta benda yang dikuasainya, seperti hak milik, hak manfaat, hak sewa.

M. Rasyid Ridha., al-Manar, Mesir: al-Bab al-Halabiy wa Awladuh, 1987, Juz VII,
hlm. 161.

82 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Ambok Pangiuk, Tanah Terlantar...

Bertitik tolak dari macam-macam hak seseorang terhadap benda yang


dikuasainya tersebut, peneliti akan menguraikan beberapa bentuk hak atas
tanah menurut hukum Islam, sebagai berikut:
1. Hak milik atas tanah secara etimologi berasal dari bahasa Arab al-
milk yang berarti penguasaan terhadap sesuatu. Hak milik atas tanah
didefinisikan sebagai wewenang atau kekuasaan yang ditetapkan oleh
syara’.
2. Hak manfaat atas tanah adalah secara hak manfaat atas tanah dalam
bahasa Arab dikenal dengan haq al-intifa’. Kewenangan itu terjadi
disebabkan oleh beberapa hal yang disyari’atkan dalam ajaran Islam
yaitu terdiri dari pinjam-meminjam, sewa menyewa, wakaf, wasiat atas
tanah, pembolehan atas tanah,hak bagi hasil atas tanah.
3. Hak bagi hasil atas tanah menurut hukum Islam terjadi dari beberapa
bentuk, diantaranya: al-muzara’ah dan al-musaqah. Sedangkan
Malikiyyah, Hanabilah, Syafi’iyah dan sebagian Fuqaha’ Hanabilah
membolehkan transaksi dalam bentuk musaqah.10
4. Hak sewa atas tanah atau ijarah merupakan salah satu bentuk dari hak
manfaat atas tanah atau hak milik tidak sempurna atas tanah.
Dalam pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah RI No. 36 Tahun 1998
hal 816, tanah terlantar itu adalah tanah yang dibiarkan terbengkalai
oleh pemegang hak atas tanah, atau pihak yang telah memperoleh dasar
penguasaan atas tanah tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai
dengan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini juga diatur di dalam
UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA),
tanah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai dapat
dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanah tersebut dengan sengaja
tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau
sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik.
Tanah terlantar dapat menghapuskan hak atas tanah yang telah dimiliki
seseorang, lalu tanah tersebut dikuasai kembali oleh negara. Hal ini sesuai
dengan pasal 27 UUPA yang menyatakan bahwa hak atas tanah akan hapus
apabila tanah tersebut jatuh kepada negara karena ditelantarkan. Dalam
hukum agraria tersebut dikenal tanah tak bertuan/tanah mati. Sejalan
dengan pengertian tanah mati dalam Islam, dalam hukum agraria diartikan


Nasrun Harun., Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000, hlm. 23.
10
Ibn Rusyd., Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Semarang: Usaha
Keluarga, tth, Jilid II, hlm. 183.

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 83


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu tanah mati sebagai tanah yang
tidak diusahakan lagi. Adapun tanah yang telah diperoleh penguasaan
atasnya tetapi belum diperoleh hak atasnya sesuai dengan perundang-
undangan yang berlaku.11
Dalam buku “Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-hak Suku Melayu
atas Tanah di Sumatra Timur”, mengartikan tanah mati sebagai tanah hutan
yang dibiarkan menghutan, tidak dijamah oleh manusia. Dalam arti bahwa
tanah yang dikerjakan tadinya tapi kemudian ditinggalkan tanpa ada suatu
tanda bahwa orang yang bersangkutan berhajat kembali ke tanah itu.
Dilihat dari kriteria tanah mati yang diungkapkan oleh Mahadi yaitu
tanah hutan/tanah liar, tidak terdapat hak atas tanah dan tidak digarap.
Defenisi tanah mati yang diungkapkan di atas, membatasi pengertian
tanah mati hanya kepada dua pembagian, yaitu:
a. Tanah hutan yang dibiarkan menghutan, tidak dijamah oleh manusia.
b. Tanah yang pernah digarap kemudian ditinggalkan oleh
penggarapnya.12
Selain tanah terlantar, tanah tak bertuan, tanah bebas, tanah mati dan
tanan liar di atas juga terdapat tanah guntai (abstantee), yaitu tanah yang
pemiliknya berada di luar kecamatan di mana tanah itu berada.13
Pengklasifikasian terhadap tanah dalam UUPA dibedakan
berdasarkan penguasaan terhadap tanah. Penguasaan tanah Dalam UUPA
Terklasifikasikan dalam tiga kelompok besar, pertama, tanah adat adalah
tanah yang dimiliki oleh adat atau tanah yang dikuasai oleh adat. Tanah
adat di Indonesia telah ada sebelum berlakunya UUPA tanggal 4 September
1960. Oleh karena itu, Pengertian tentang tanah adat, dijelaskan dalam
hukum Agraria yang berlaku sebelum dikeluarkan Undang-undang no 5
tahun I960 (UUPA), karena sebelum Undang-undang No 5 tahun 1960,
ada dua hukum pertanahan yang berlaku di Indonesia, Hukum Adat dan
Hukum Barat. Dualisme hukum pertanahan ini melahirkan dua macam
tanah yaitu tanah adat yang disebut dengan tanah Indonesia, dan tanah
Barat yang dikenal dengan tanah Eropa. Tanah Adat atau tanah Indonesia
yang sepenuhnya tunduk pada hukum (Agraria) adat, sepanjang tidak
diadakan ketentuan yang khusus atau hak-hak tertentu. Misalnya Tanah
11
WJS Poerwadarminta., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
1991, hlm. 1289.
12
Mahadi., Sejarah Perkembangan Hak-hak Suku Melayu atas Tanah di Sumatra
Timur (Tahun 1800-1975), Medan, Skripsi Usu, 1987, hlm. 102.
13
Adiwinata., Status Hak dan Pembebasan Tanah. Jakarta: Sinar Grafika, 1984, hlm.
16.

84 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Ambok Pangiuk, Tanah Terlantar...

Ulayat, Tanah Kaum, Tanah Gadai, dan Iain-lain. Sedangkan tanah Barat
yaitu Tanah yang tunduk pada hukum Eropa, misalnya Tanah Grand,
Tanah Eigendom, dan lain-lain, kedua, tanah negara adalah tanah yang
negara berkuasa penuh terhadap semua jenis tanah sebagaimana tercantum
dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yaitu bumi, air. dan ruang angkasa dan
kekayaan yang terkandung didalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai
oleh negara. Pasal 2 ayat (1) UUPA menyebutkan atas ketentuan pasal
33 ayat (3) UUD 1945, dan ketiga, tanah hak adalah hak atas tanah yang
diatasnya terdapat hak orang atau badan bukum. Hak yang terdapat pada
tanah dinamakan hak atas tanah.
Sebagai penjelasan dari pasal 16 tersebut, pada pasal 53 ayat (1),
disebutkan bahwa “hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana yang
dimaksud pasal 16 ayat (1) huruf h ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil,
hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian, diatur dan dibatasi
sifatnya yang bertentangan dengan undang-undang ini dan hak-hak
tersebut diusahakan hapusnya dalam waktu yang singkat”. Hak atas
tanah dalam pasal 16 ayat (1) dan pasal 53 (1), secara umum dapat dibagi
menjadi dua kategori, yaitu pertama, semua hak yang diperoleh langsung
dari negara, disebut hak primer. Hak yang tergolong ke dalam kategori ini
ada enam macam hak, diantaranya hak pakai, hak milik, hak guna usaha,
hak guna bangunan, hak membuka tanah dan memanfaatkan hasil hutan.
Kedua, semua hak yang berasal dari pemegang hak atas tanah orang lain
berdasarkan perjanjian bersama, disebut hak sekunder. Hak sekunder
ini dijelaskan oleh UUP A dalam pasal 53 ayat(l) yaitu, hak gadai, hak
guna usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian.
Kedua macam hak tersebut mempunyai persamaan, dimana pemegangnya
berhak untuk menggunakan tanah yang dikuasainya untuk dirinya atau
mendapatkan keuntungan dari orang lain melalui perjanjian, dimana satu
pihak memberikan hak-hak sekunder kepada pihak lain.14

Pembukaan Lahan Dalam Konteks Kekinian


Pendayagunaan lahan terlantar dalam bahasa Arab digunakan istilah
ihya al-mawat atau immar al-ardh sebagaimana yang jelaskan dalam defenisi
lahan terlantar yang dijadikan tanah itu menjadi miliknya sepanjang umur.15
Menurut fuqaha pendayagunaan tanah terlantar dapat dilakukan dengan
Ibid, hlm, 10-14.
14

Al-Syihab al-Din dan Amirah Qalyubi., Qalyubiy wa Amirah, Semarang: Maktabah


15

Thoha Putra, tth., Juz III, 88.

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 85


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

berbagai cara yaitu dimulai dengan jalan memberi tanah, baik berbentuk
pagar, tembok, bangunan dan lain sebagainya. Selain itu pendayagunaan
terhadap tanah dapat pula dilakukan dengan jalan mengairi lahan tersebut,
serta menjadikannya sebagai sawah, ladang, perkebunan, atau mendirikan
bangunan atasnya.16 Mendayagunakan tanah terlantar antara lain pertama,
diurus sendiri, kedua, memberikan lahan tersebut kepada orang lain untuk
mengurusnya, ketiga, pengelola pertama tanah terlantar dikelola sehingga
ia menjadi miliknya.17
Penggarapan tanah terlantar tidak bisa dilakukan dengan sewenang-
wenang sebab, tanah terlantar adalah tanah yang tidak dimiliki, sedangkan
tanah yang tidak ada pemiliknya dikuasai oleh negara. Penggarapan tanah
yang dikuasai oleh negara harus ada izin dari negara. Dengan kata lain,
pendayaan tanah terlantar boleh dilakukan setelah mendapat izin dari
negara (pemerintah).
Menurut ayat 2 pasal 12 PP tentang pendayagunaan tanah terlantar,
tanah yang telah diambil haknya oleh pemerintah dan diserahkan tanah
orang lain, maka pendayagunaannya dilaksanakan oleh pemegang hak
dengan bimbingan instansi teknis yang berwenang di bidang penggunaan
tanah. Pendayagunaan tanah ini dilaksanakan melalui program kegiatan
instansi/dinas yang bertujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil
guna tanah tersebut.
Menurut pasal 13 ayat 1 setelah pemegang hak diberikan hak
penguasaan untuk mendayagunakan dikeluarkan maka pemegang hak
diberikan waktu 1 tahun sejak diterimanya surat tersebut yang bersangkutan
telah mulai menggunakan tanahnya. Apabila dia tidak mengelola dan
mendayagunakan tanah tersebut setelah dikeluarkannya surat peringatan
maka pemerintah mengeluarkan surat peringatan kedua dengan memberi
jangka waktu yang sama yaitu 1 tahun. Apabila si pemegang hak belum
mendayagunakan juga tanah tersebut, maka pemerintah mengeluarkan
lagi surat peringatan ketiga dengan jangka waktu yang sama pula. Apabila
jangka waktu yang telah ditentukan yaitu 3 tahun berturut-turut tanah
tersebut tidak didayagunakan, maka pemerintah berhak mengambil dan
menguasai tanah itu kembali karena tanah tersebut telah masuk ke dalam
kategori tanah terlantar.18
16
Al-As-Sayyid Abi al-Nashr Husniy., Al-Milkiyyah Fi al-lslam, Cairo: Dar al-Kutub
Al-Haditsah, tth, hlm. 43.
17
Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Jakarta: Gema Insani press,
1995, hlm, 122.
18
Harsono, Ibid, 48.

86 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Ambok Pangiuk, Tanah Terlantar...

Untuk mendayagunakan tanah terlantar oleh pihak lain, maka izin dari
pemerintah sangatlah diperlukan, karena pendayagunaan tanah tidak bisa
dilakukan dengan sewenang-wenang karena sudah ada peruntukannya
sebagaimana yang disebut dalam pasal 14 ayat (2) UUPA yang berbunyi
bahwa pemerintah daerah mengatur kesediaan, peruntukan dan
penggunaan air serta ruang angkasa untuk daerahnya masing-masing”.
Tanah menurut pasal 6 UUPA, mempunyai fungsi sosial dan
pemanfaatannya harus meningkatkan kesejahteraan rakyat. Oleh karena
itu, sebelum penggarapan terhadap lahan dilakukan, seorang penggarap
harus mengetahui untuk apa tanah itu disediakan oleh pemerintah agar
tidak terjadi tumpang tindih kepentingan terhadap pendayagunaannya.19
Pendayagunaan tanah terlantar harus sesuai dengan kemampuan
lahannya berdasarkan beberapa ketentuan antara lain, pertama, yaitu
berdasarkan hak tata guna tanah. Tata guna tanah ini dapat diketahui
dengan adanya kegiatan pembuatan peta topografi. Keadaan tata guna
tanah proyek apa yang berlaku akan menentukan metode pembukaan tanah
yang bagaimana perlu dilakukan. Penggarap yang akan mendayagunakan
lahan terlanlar harus mengetahui untuk apa lahan tersebut akan
dikembangkan oleh pemerintah sehingga sesuai dengan perencanaan
pembangunan nasional, kedua, berdasarkan luas lahannya yaitu lahan
akan mempengaruhi skala usaha, dimana skala usaha ini pada akhirnya
akan mempengaruhi efisien atau tidaknya usaha suatu pertanian. Oleh
karena itu UUPA mengatur luasnya lahan yang akan didayagunakan untuk
menghindari monopoli pertanian, ketiga, berdasarkan kewarganegaraan
yaitu yang mengelola adalah warga negara Indonesia dan kepemilikannya
pun milik masyarakat Indonesia dan status kewarganegaraan Indonesia
menjadi syarat mutlak mendayagunakan tanah mati.20
Ada pendapat yang menyatakan berdasarkan keumuman hadis tentang
ihya al-mawat yang diriwayatkan oleh al-Tsalasah yang diriwayatkan
dari Jabir bahwa Nabi saw. bersabda bahwa siapa yang menghidupkan
lahan (tanah mati) terlantar, maka tanah tersebut menjadi miliknya.
(Diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Tirmidzi). Tinjauan atas pasal 2 ayat
(1) UUPA dikatakan bahwa atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3)
UUD dan hal-hal sebagaimana yang dmaksud dalam pasal 1, bumi, air dan
19
G. Kertasapoetra dkk., Hukum Tanah: Jaminan UUPA bagi Keberhasilan
Pendayagunaan Tanah, Jakarta: Rineka Cipta, 1985, hlm. 14.
20
Soekartawi, Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian: Teori dan Aplikasi, Jakarta: Rajawali
Pers, 1989, hlm, 14.

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 87


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya


itu pada tingkat tertipggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi seluruh
rakyat Indonesia.21 Kata “dikuasai oleh negara” dalam pasal 2 ayat (1) ini
dijelaskan dalam pasal 2 ayat (2) UUPA yang mengatakan bahwa wewenang
hak menguasai dari negara ini dalam tingkat tertinggi, mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan persediaan dan pemeliharaan,
mengatur dan menentukan hak-hak yang dapat dipunyai (bagian dari)
bumi, air dan ruang angkasa.22
Bagi orang yang menghidupkan tanah terlantar dalam komentar
atas UUPA diberikan kemungkinan untuk memperoleh hak atas tanah
setelah jangka waktu ditentukan (sampai 3 tahun berturut-turut setelah
itu diusahakan). Hak membuka tanah ini berasal dari hukum hukum adat
kedalam UUPA. Pembukaan tanah terlantar dalam hukum adat dilakukan
dengan meminta izin dari kepada suku, kemudian tanah itu bam bisa.
Andaikata tanah yang sudah digarapnya itu dibiarkan terbengkalai, maka
sipenggarap harus menyerahkan tanah tersebut kembali agar dapat digarap
oleh orang lain.23
Dalam hukum agraria, izin pendayagunaan tanah terlantar merupakan
syarat mutlak. Izin akan dikeluarkan oleh pejabat yang benvenang dan apabila
pendayagunaan tanah terlantar sesuai dengan perencanaan pemerintah.
Izin dari pemerintah Indonesia ini bertujuan pertama, untuk menjamin
kepastian hukum, sebagaimana yang telah diungkapkan oleh pasal 19 ayat
(1) UUPA, “untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan
identifikasi/pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia
menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah
kedua, mencegah terjadinya sengketa atas tanah, ketiga, mencegah
terjadinya monopoli atas tanah keempat, agar pemanfaatan tanah dapat
dilakukan secara efektif.
Setelah mendapat izin dari penguasa, dalam hukum Islam penggarap
lahan terlantar dapat memulainya dengan melakukan pemugaran aias
tanah, membersihkan lahan, mengairinya, menanam bibit dan Iain-lain.
Begitupun dalam hukum agraria pendayagunaan lahan terlantar dapat
dilaksanakan berdasarkan tata guna tanah, artinya pemanfaatan tanah harus
sesuai dengan tata guna tanah apakah untuk areal pertanian, pembangunan,
industri, dan Iain-lain. Sehingga dalam hukum Islam, pemerintah dapat
21
Harsono, Ibid., 6-7
22
Ibid.
23 A.P. Parlindungan., Ibid.

88 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Ambok Pangiuk, Tanah Terlantar...

menarik kembali tanah yang diberikan kepada penggarap, bila ia tidak


mengusahakan tanah tersebut. Begitu pula dengan hukum agraria yang
memberikan batasan waktu 3 tahun kepada penggarap.
Perbedaan dan Persamaan antara UUPA dan hukum Islam tentang
akibat hukum dari pendayagunaan kepemilikan terhadap tanah terlantar
mayoritas ulama mengatakan bahwa pendayagunaan tanah terlantar
melahirkan hak milik bagi penggarapnya. Dengan kata lain, penggarap
lahan terlantar akan mendapatkan hak milik atas tanah garapannya.
Dalam UUPA penggarapan lahan terlantar atau membuka lahan terlantar
tidak langsung mendapatkan hak milik atas tanah. Hak atas tanah terlantar
diberikan setelah 3 tahun berturut-turut penggarapan dilakukan. Hak atas
tanah ini tidak hanya hak milik, juga terdapat hak guna bangunan, hak
guna usaha, hak pakai dan Iain-lain.
Perbedaan antara kemaslahatan hukum Islam dan hukum agraria
tentang hak atas tanah yang diperoleh lahan terlantar ini akan menimbulkan
konsekuensi hukum yang berbeda pula, apabila ditetapkannya hak
milik bagi penggarapnya, ia dapat menjual, menghibahkan, bahkan
mewariskannya. Berbeda dengan UUPA yang memberikan pada
penggarap untuk memberikan hak apa yang diinginkannya dari berbagai
macam hak atas tanah dalam UUPA. Bagi penggarap memilih hak milik,
maka hukum yang berkaitan dengan hak miliklah yang berlaku baginya.
Namun jika ia memilih hak pakai, maka ia tidak dapat menghibahkannya
atau mengalihtangankan kepada orang lain. Penggarapnya hanya bisa
memanfaatkannya serta mengambil hasil darinya.
Sedangkan menurut hukum agraria, penggarap lahan terlantar
tidak berhak mendapatkan lahan di sekitar tanah terlantar. Batasan-
batasan dalam mendayagunakan tanah terlantar ditentukan melalui izin
pemerintah. Batasan-batasan tersebut membatasi areal tanah yang boleh
didayagunakan. Tanah yang berada di luar batasan itu dikuasai oleh negara
apabila tidak ada hak orang lain di atasnya. Pembatasan tanah yang telah
ditentukan oleh UUPA ini telah termasuk ke dalamnya sarana penunjang
untuk mendayagunakan lahan ini. Seperti tanah untuk bangunan,
penggarap boleh membuat bangunan termasuk sarana pcnunjangnya seperti
halaman rumah, pekarangan lahan pemugaran dan lain-lain, sehingga
pada pasal 5 UUPA menyatakan bahwa UUPA yang berlaku sekarang
adalah hukum adat. Walaupun UUPA tidak membolehkan adanya hak atas
tanah harim, bukan berarti UUPA menyalahi hukum adat tentang tanah
harim yang berlaku dalam hukum Islam. Ketentuan batasan-batasan bagi

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 89


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

tanah terlantar yang dimaksud untuk menghindari terjadinya monopoli


atas penggunaan tanah, meningkatkan efisiensi pendayagunaan lahan,
memberikan kepastian hukum batas tanah yang tidak boleh digunakan
orang lain, menghindari sengketa tanah.
Uraian di atas menunjukkan bahwa hak yang diperoleh penggarap
lahan berupa hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai,
dan lain-lain, yang diungkapkan oleh UUPA tidak bertentangan dengan
hukum, meskipun dalam hukum Islam hanya menyebutkan hak yang
diperoleh penggarap tanah terlantar hanya hak milik. Karena hak milik
dalam UUPA adalah hak terpenuh dan terkuat. Begitu pula dengan
ketetapan UUPA yang tidak menentukan batasan tanah yang berada di
sekitar lahan terlantar (harim) yang boleh digunakan penggarap sebagai
lahan penunjang keberhasilan pendayagunaan tanah terlantar, juga tidak
bertentangan dengan hukum Islam. Karena batasan tanah mati yang
boleh didayagunakan oleh penggarap, sebagaimana yang telah ditetapkan
oleh UUPA, telah tercakup ke dalamnya tanah sebagai sarana penunjang
pendayagunaan tanah terlantar.
Banyak permasalahan yang tidak memuaskan dalam pembahasan
tentang perbedaan sudut pandang tanah terlantar. Konsep yang ditujukan
ini pada anggapan tradisi yang menganggap sama antara pandangan hukum
Islam dan undang-undang pokok agraria. Aspek yang pertama dan sangat
mendasar tersebut sangat mempengaruhi terhadap pandangan hukum
Islam yang dihubungkan dalam kehidupan yang kemudian membentuk
secara umum masalah tanah terlantar dalam segala aktivitas ekonomi
manusia.

Penutup
Berdasarkan uraian-uraian di atas maka peneliti baru mengungkapkan
sebagian kecil tentang proses kepemilikan tentang tanah terlantar melalui
tinjauan perbandingan hukum Islam, hukum positif, dan kemaslahatan.
Karena itu belum mewakili untuk digeneralisir secara utuh sebagai konsep
hukum Islam yang sempuma. Penulis menyarankan dilakukan suatu kajian
mendalam (futher research sugesstion) dengan harapan penelitian terus
dilakukan oleh para peneliti berikutnya dengan tema dan konteks hukum
yang berbeda.
Kepada instansi terkait, di bidang Badan Pertanahan Nasional (BPN)
di daerah maupun pusat untuk melakukan konsilidasi dengan masyarakat

90 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Ambok Pangiuk, Tanah Terlantar...

yang akan menghidupkan tanah agar tidak lagi terdapat tanah-tanah


terlantar yang akan mengancam kesejahteraan masyarakat di pedesaan
lebih-lebih kepemilikan tanah terlantar di perkotaan yang belum terjamah
namun memiliki patok ukur batu yang jelas, banyak tersebar didaerah
perkotaan dan sering menimbulkan permasalahan. Ini menjadi perhatian
serius bagi semua orang khususnya pemerintah agar masalah pertanahan
tidak menjadi kepentingan tertentu dan membuat masyarakat merasa
tenang dan merasa memiliki hak atas tanah tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Adiwinata (1984). Status Hak dan Pembebasan Tanah. Jakarta: Sinar
Grafika
Bajuriy, Ibrahim, (tt), Hasyiyah al-Bajuriy Ala’ Ibnu al-Ghazali, Juz II,
Semarang: Maktabah Matbu’ah Thaha Putra.
Harun, Nasrun, (2000). Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama.
Harsono, Budi, (1988), Hukum Agraria Indonesia, Jakarta, Djambatan.
Husniy, As-Sayyid Abiy al-Nashr, (tt), Al-Milkiyyah Fi al-lslam, Kairo : Dar
al-Kutub Al-Haditsah.
Ibn Muflih, Abi Abd Allah Muhammad, (1968) Kitab al-Furu’, Mesir: Allm
al-Kutub, Juz IV
Kartasaputra, G., dkk, (1991) Hukum Tanah: Jaminan UUPA Bagi
Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, Jakarta: Rineka Cipta,
Kasaniy, Ala al-Din Abi Bakar ibn Mas’ud, Kitab Bada’i al-Shana’i, Beirut:
Dar al-Kutub al-Alamiyah, t.th., Juz VI
Khatib, Al-Syaibaniy, (1998), Mughniy al-Muhtaj, Beirut: Dar al-Fikr, Jilid
II.
Ma’luf, Louis, (1986) Al-Munjid: Fi al-Lughah wa al-A’lam, Beirut: Dar al-
Musyriq.
Mahadi, (1987). Sejarah Perkembangan Hak-hak Suku Melayu atas Tanah
di Sumatra Timur (Tahun 1800-1975), Skripsi USU Medan.
Parlidungan, A. P., (1998), Komentar Atas Undang-undang Pokok Agraria,
Bandung: Mandar Maju.
Poerwadarminta, WJS., (1991), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka.
Qardhawi, Yusuf, (1995), Etika dan Norma Ekonomi Islam, Jakarta: Gema

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 91


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

Insani Press.
Ridha, M. Rasyid, (1987) al-Manar, Mesir: Al-Bab al-Halabiy wa Awladuh,
Juz VII.
Rusyd, Ibn, (tt), Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Semarang:
Usaha Keluarga.
Shan’aniy, Al-Muhammad Isma’il al-Amir al-Yumna, (1991) Subul al-
Salam, Beirut: Dar al-Fikr. Juz III.
Soekartawi, (1989), Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian: Teori dan Aplikasi,
Jakarta: Rajawali Pers.

92 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Masburiyah, S.Ag, M.Fil.I., Zakat Hasil...

ZAKAT HASIL PERKEBUNAN


(Sebagai Upaya Peningkatan Ekonomi Umat)
Oleh : Masburiyah,S.Ag, M.Fil.I

Abstrak
Zakat adalah Perintah Allah yang wajib dilaksanakan oleh semua
Umat Islam dan termasuk kedalam rukun Islam. Namun Zakat ini
banyak, bermacama-macam, ada yang disebut dengan zakat Fitrah,
Zakat mal (harta), Zakat emas, zakat, perak, Zakat pertanian, zakat
perkebunan dan lain-lain, dan itu semua dikeluarkan berdasarkan
aturan-aturan syari’at.
Kata Kunci: Zakat Fardhu, Zakat Perkebunan, Pendapat Para
Ulama

A. Pendahuluan
Zakat telah difardlukan Allah sejak permulaan Islam, sebelum Nabi
SAW berhijrah ke kota Madinah. Tidak heran urusan ini amat cepat
diperhatikan Islam, karena termasuk urusan tolong-menolong yang sangat
diperlukan oleh pergaulan hidup segala lapisan masyarakat.
Pada awalnya zakat difardukan tanpa ditentukan kadarnya dan tanpa
pula diterangkan dengan jelas harta-harta yang dikenakan zakatnya. Syara
hanya menyuruh mengeluarkan zakat. Banyak sedikitnya terserah kepada
kemanuan dan kebaikan para pemberi zakat. Hal ini berjalan hingga tahun
kedua Hijriah. Mereka yang menerima pada masa itu, dua golongan saja,
yaitu fakir dan miskin.
Pada tahun kedua Hijriah, barulan syara’ menentukan harta-harta
yang dizakatkan, serta kadarnya masing-masing.
Setengah ulama berpendapat “Sesungguhnya zakat itu difardukan
sejak dari tahun kedua Hijriah”. Tampaknya ini diambil dari firman Allah
SWT , Surat Al-Baqoroh ayat 29
Artinya : “Jika kamu menampakkan sedekahmu maka itu adalah bak
sekali dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan
kepada fakir , maka menyembunyikan itu lebih baik kamu.
Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 93


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

kesalahanmu dan Allah maha mengetahu terhadap apa yang


kamu kerjakan”.
Ayat ini diturunkan dalam tahun kedua Hijriah. Dengan
memperhatikan tahun turunya, kita mendapat kesan bahwa secara umum,
zakat itu diperintahkan dalam tahun kedua Hijriah.
Pada beberapa tahun berikutnya, zakat telah mendapatkan aturan-
aturan yang lebih terinci dengan sunnah Rasul sebagai penjelas bagi
ketetapan-ketetapan umum yang digariskan Al-Quran sesuai dengan
situasi dan kondisi Arab saat itu. Meskipun kita ketahui bahwa penjelasan
yang diberikan Rasul itu pun hanya sebagai gambaran yang masih dan
perlu untuk dijabarkan dalam bentuk yang lebih luas sesuai dengan
perkembangan zaman.
Pada prinsipnya, Rasulullah tidak menginginkan umatnya hidup
dalam ruang kefakiran dan kemiskinan dari sisi ekonomi, terlebih bagi
dalam hal ibadah, ini terlihat dari sabdanya : “ Sesungguhnya kefakiran
itu lebih mendekatkan kepada kekafiran”. Dengan hadirnya sistem zakat
yang ditandaskan oleh Islam, sebenarnya, merupakan suatu sistem yang
mengandung berbagai tujuan universal yang jika dilaksanakan secara baik,
sangat memungkinkan untuk terjadinya kehidupan yang mapan dengan
dan dapat menjaring segala lapisan untuk berbagai rasa dan mengangkat
harkat serta martabat baik secara individual maupun segenap umat Islam
secara keseluruhan di atas dunia ini.
Pada masa Rasulullah, di negeri Arab hanya terdapat beberapa jenis
barang atau harta yang wajib dizakati, maka setelah meluasnya Islam ke
daerah-daerah lain, tentunya berbagai jenis harta dan jenis-jenis lainnuya
yang sebenarnya termasuk dalam kategori wajib zakat. Dalam hal ini, kita
lihat bahwa pada masa Rasul masih banyak jenis tumbuh-tumbuhan yang
tidak terkena wajib zakat. Yang mungkin saat itu belum memiliki nilai
ekonomis yang berarti bagi masyarakat.
Banyaknya jenis tumbuh-tumbuhan yang hidup di luar daerah Arab,
melahirkan berbagai problimatika baru yang membutuhkan jawaban
untuk diaplikasikan di tengah masyarakat. Hal ini, membuat para mujtahid
merasa perlu untuk menggali hukum yang berkenaan dengan hal tersebut
sejalan dengan kebutuhan umat.
Kalau sebelumnya, orang hanya berkebun dengan berbagai pohon
yang buahnya dapat dikonsumsi oleh masyarakat, maka saat ini, di era

Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, CV. Jaya Sakti Surabaya ,
1971. h. 68

94 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Masburiyah, S.Ag, M.Fil.I., Zakat Hasil...

modern ini perkebunan berkembang menjadi salah pusat sentral yang


dapat memberikan masukan dana yang sangat besar bagi negara. Kita lihat
hasil kayu yang diberikan oleh perkebunan “Kayu Kalimantan” Sawit Jambi,
Kelapa Kopra, dan berbagai perkebunan lainnya yang telah menghasilkan
income daerah begitu besar yang dapat meningkatkan ekonomi masyarakat
“Menengah Kebawah” jika pengelolaan zakatnya dilakukan dengan baik
dan benar yakni yang sesuai dengan petunjuk agama.
Ini menunjukkan bahwa produktivitas dan ekonominya perkebunan
menjadi salah satu hal penting sebagai bahan kajian di dalam zakat
perkebunan. Karena disisi ini akan menimbulkan kesenjangan ekonomi
dikalangan umat apalagi jika pemanfaatan atau pendayagunaan zakat
hanya ditunjukakn pada kalangan tertentu atau hanya bersifat belaka.
Penggalangan penanaman komoditas perkebunan di kalangan umat Islam
yang bernilai strategis, diharapkan dapat meningkatkan penghasilan
para pekerja kebun dan menambah devisa negara dari ekspor proeduksi
perkebunan, kewajiban mengeluarkan zakat bagi para pengelola perkebunan
tentunya akan meningkatkan perolehan zakat, dan pendayagunaan zakat
dalam berbagai kegiatan yang bersifat produktif di kalangan fakir miskin
sehingga dapat mengentaskan kemiskinan dikalangan umat Islam.
Disamping beberpa hal diatas, penulis kira rendahnya kesadaran
pengamalan ajaran agama yang berkenaan dengan zakat yang disebabkan
oleh kurangnya pemahaman orang tentang konsep zakat secara universal
yang memiliki tujuan-tujuan sosial yang tinggi disertai dengan jiwa
keadilan dalam hidup bermasyarakat. Ini menjadi salah satu sebab
terjadinya kemelaratan dan kemiskinan di tengah umat Islam, khususnya
di Indonesia dewasa ini.
Pada sisi lain, Allah SWT telah menjelaskan segala ciptaannya yang ada
di muka bumi dan mengharuskan manusia untuk mengelolanya dengan
baik yaitu dengan segenap ilmu dan pengalamannya agar dapat bermanfaat
bagi lingkungan sekitarnya. Disinilah sebenarnya fungsi manusia terlebih
umat Islam yang bersyukur atas segala ciptaan Allah, sebagaimana firman-
Nya : Al-Baqoroh ayat 29
Artinya : “Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk
kamu dan dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya
tujuh langit, dan dia maha mengetahui segala sesuatu”.


Anonim. h. 68

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 95


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

Kemudian dalam surat Luqman ayat 20 Allah Berfirman


Artinya : “Tidaklah kamu perhatikan sesungguhn ya Allah telah
menundukkan untuk (Kepentingan) mu apa yang di langit dan
apa yang dibumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya
lahir dan batin. Diantara manusia ada yang membantah tentang
(keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa
kitab yang memberi penerangan”.
Dari beberapa informasi di atas, tentunya dapat diketahui berapa
banyak nikmat Allah yang diberikan kepada manusia, yang diantaranya
ciptaan-ciptaan yang berkaitan dengan sumber alam. Begitu pula dengan
hasil perkebunan yang dapat dimanfaatkan dengan cara yang tepat dan
benar sebagai manifestasi rasa syukur terhadap Allah Ta’la.
Karena Allah yang telah menciptakan segalanya serta mengharuskan
manusia untuk mengelola dan menikmati hasilnya. Maka tentunya cara
yang paling logis dalam mensosialisasikan nikmat tersebut adalah dengan
mengikuti apa yang telah ditetapkan-Nya. Dan di antara cara tesebut
adalah dengan mengeluarkan zakat sebagai satu bentuk kesadaran jiwa
yang tinggi, baik dipandang dari sisi sosial kemanusiaan dan sisi mana kita
sebagai hamba yang bersukur.
Bertitik tolak dari itu semua, penulis mencoba membahas hal-hal
yang berkenaan dengan zakat perkebunan yang ditinjau dari berbagai
aspek serta keterkaitannya dengan upaya pengentasan kemiskinan dalam
kalangan umat Islam.

B. Pengertian Zakat
Ditinjau dari segi bahasa, kata zakat merupakan kata dasar dari zaka
yang berarti berkah, tumbuh, bersih dan baik.
Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa zakat adalah nama/istilah bagi sesuatu
yang dikeluarkan seseorang yang termasuk dalam kategori hak Allah Ta’la
kepada segenap fuqara’. Dinamakan zakat, karena mengandung makna
berkembang, suci, dan keberkahan. Ini terlihat dari Firman Allah Ta’ala
dalam surart At Taubah ayat 103
Artinya : “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan dan mensucikan mereka….. “

Anonim. h. 655

Muhammad Yusuf Al-Qardawi, Fighu Al-Zakah, Penerjemah Salman Harun : PT.
Mizan, Bandung, 1996. h. 34

Anonim, 1971. h. 207

96 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Masburiyah, S.Ag, M.Fil.I., Zakat Hasil...

Al-Imam Al-Nawawi mengatakan, bahwa zakat mengandung kamna


kesuburan. Kata zakat dipakai untuk dua arti : subur dan suci. Zakat
digunakan untuk sedekah yang wajib. Sedekah sunnat, nafakah, kemaafan
dan kebenaran. Demikianlah Ibnu Arabi menjelaskan pengertian kata
zakat
Abu Muhammad Ibnu Qutaibah mengatakan, bahwa : lafadz zakat
diambil dari kata zakah yang berarti nama’ kesuburan dan penambahan”.
Harta yang dikeluarkan disebut zakat, karena menjadi sebab bagi kesuburan
harta.
Abul Hasan Al-Wahidi mengatakan bahwa zakat adalah mensucikan
harta dan memperbaikinya, serta menyuburkannya. Menurut pendapat
yang lebih nyata, zakat itu bermakna kesuburan dan penambahan serta
perbaikan. Asal maknanya, penambahan kebajikan.
Sedangkan menurut istilah syara’ terdapat beragam pernyataan ulama
tentang zakat, diantaranya :
Zamakhsyari menjelaskan, sebagaimana yang dikutip oleh Yusuf Al-
Qardlawy, bahwa zakat seperti halnya sedekah, berwazan fa’alah, dan
merupakan kata benda bermakna ganda, dipakai untuk pengertian benda
tertentu yaitu sejumlah benda yang menzakatkan itu. Dengan kata lain,
bahwa zakat itu memiliki dua pengertian sebagai kata benda yang meliputi
kekayaan harta dan benda dab sebagai kata kerja yang meliputi segala
aktivitas pelaksanaan zakat itu sendiri.
Al-Mawardi dalam kitab Al-Hawi mengatakan “ Zakat itu sebutan
untuk pengambilan tertentu dari harta yang tertentu menurut sifat-sifat
yang tertentu umtuk diberikan kepada golongan yang tertentu.”
Al-Syaukani menjelaskan : “ Memberi suatu bagian dari harta yang
sudah sampai hisab kepada orang fakir dan sebagainya. Yang tidak bersifat
dengan sesuatu halangan syara’ yang tidak membolehkan kita memberikan
kepadanya.10


Muhammad Ismail Al-Sa’ani, Subul al-Salam, Cet. IV Darul Ihya Al Turats Al-
Arabi, Bairut 1379. h. 120

Abdullah bin Ahmad Al Qudamah, Al Mughny Jilid II, Darul Fikr, Beirut, 1405.
h. 433

Muhammad Yufuf Al-Qardlawy, Hukum Zakat, Studi Komperatif Mengenai Status
dan Filsafat Zakat berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Litera Antar Nusa Pustaka Mizan
1999 h. 34

Muhammad Yusuf Al-Qordawi, Op Cit, h. 325
10
Muhammad Al-Syaukani, Nailul Author, Darul Jiil, Beirut, 1973 . h. 170

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 97


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

Al-Zarqani dalam syarah Al-Muwatha’ menerangkan bahwa zakat itu


mempunyai rukun dan syarat. Rukunnya ialah khas dan syaratnya ialah
sebab. Cukup setahun dimiliki. Zakat diterapkan kepada orang-orang
tertentu dan dia mengandung sanksi hukum terlepas dari kewajiban dunia
dan mempunyai pahala diakhirat dan menghasilkan suci dari kotoran
dosa.11
Zakat ini mempunyai beberapa istilah :
a. Zakat yang terdapat dalam surat Al-baqoroh ayat 43.
b. Shadaqah yang terdapat dalam surat Attaubah ayat 104.
c. Haq yang terdapat dalam surat Al-An’am ayat 34.
d. Nafaqah yang terdapat dalam surat At taubah ayat 34
e. ‘Afw yang terdapat dalam surat Al-A’rof ayat 199.
Dan Perlu pula diperhatikan bahwa kata sedekah kerap kali
dipergunakan Al-Quran dan Al-Sunnah dengan makna zakat. Sebagaimana
yang ditegaskan oleh Al-Mawardi. Hanya saja ‘urf telah mengurangi nilai
kata sedekah karena digunakan untuk pemberian yang diberikan kepada
perminta-minta. Sebenarnya kata sedekah melembangkan kebenaran
iman dan melambangkan pula bahwa orang yang memberi sedekah itu
membenarkan adanya hari pembalasan.12

C. Harta Yang Wajib Dizakati


Di dalam Al-Quran hanya dijumpai beberapa bentuk kekayaan yang
secara umum dikenalkn zakat, namun tidak ditemukan adanya ketegasan
yang dapat merinci berbagai hal yang berkaitan dengan zakat, seperti
mengenai harta benda yang wajib dizakati serta syarat-syarat yang harus
dipenuhi dan jumlah harta yang harus dizakatkan. Di sinilah Allah memberi
legilitas bagi Rasulnya untuk memberi gambaran ketetapan penzakatan
melalui sunnahnya.
Zakat itu menurut garis besarnya terbagi dua :
a. Zakat Mal (harta), Emas, Perak, Binatang, tumbuh-tumbuhan (Buah-
buahan dan biji-bijian) dan barang perniagaan.
b. Zakat nafs, zakat jiwa yang disebut juga “zakat fithrah”.13
11
Muhammad Bin Abdul Baqi Al-Zarkani, Syarah Al Zaqani, Darul Khutub Al-
Ilmiah, Beirut 1411. h. 41
12
Hasbi Asy-Shiddieqy, Pedoman Zakat, Semarang PT. Pustaka Rizki Putra 1999.
h. 5
13
Ibid. h. 9

98 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Masburiyah, S.Ag, M.Fil.I., Zakat Hasil...

Namun dengan tidak akan berkomentar panjang, penulis mencoba


membahas salah satu bentuk zakat di atas, yaitu zakat tumbuh-tumbuhan
yang masih termasuk dalam jenis zakat mal.

D. Landasan Wajibnya Zakat Hasil Perkebunan


1. Firman Allah, Al Baqoroh ayat 267
Artinya : “Hai oranr-orang yang beriman nafkahkanlah hartamu
dijalan Allah sebagian dari seabgian dari usahamu yang
baik-baik dan sebagian dari apa yang kamu keluarkan dari
dari buni untu kamu, dan janganlah kamu memilih yang
buruk buruk lamu kamu nafkahkan dari padanya, padahal
kamu sendiri tidak mau mengammbilnya melainkan dengan
memicingkan mata terhadapnya . Dan ketahuilah bahwa
Allah maha mengetahui dan lagi terpuji14
Perintah berarti wajib dilaksanakan, pengeluaran sebagian dari
perolehan itu ditetapkan oleh Allah sebagai konsekuensi iman,
sedangkan Al-Quran banyak sekali mengungkapkan zakat dengan
ungkapan “Mengeluarkan sebagaian dari perolehan” itu. Jashash
mengatakan bahwa makna “Sebagian dari perolehan” itu adalah
zakat, landasanya adalah firman Allah, “Menafkahkan” diatas yang
maksudnya adalah “Menzakatkan”. Dalam hal itu tidak ada perbedaan
pendapat antara para ulama terdahulu dan para ulama yang datang
kemudian, yaitu yang dimaksudkan adalah “zakat”.15
Al-Qurtubi menjelaskan bahwa atau diatas ditunjukan kepada
segenap umat Muhammad SAW, para ulama berbeda pendapat dalam
memahami kata “anfiqu”. Ali bin Abi Thalib, Ubaidah Al-Salmani, dan
Ibnu Sirin menjelaskan bahwa itu adalah “wajib zakat”.
Diantara kata “ “ adalah tumbuh-tumbuhan,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Daruqutnhi dari Aisyah ra.
Berkata : Diantara sunnah Rasul adalah “Tidak ada sedekah (zakat)
pada biji dan kurma, kecuali apabila mencapai lima wasaq…
……..Meskipun Abi Hanifah berpendapat ayat tersebut bersifat
umum yang berarti setiap yang keluar (tumbuh) dari muka bumi baik
sedikit maupun banyak adalah wajib untuk dizakatkan.16
14
Anonim, h. 67
15
Al-Jashas, Ahkamul Qur’an. Jilid I Darul Ihya Al-Turats Arabi, Beirut. tt. h. 543
16
Abu Abdillah Al-Qurtubi, Tasfsir Al-Qurtubi Jilid III, Cet. II. Darul As-Saab. Kairo
1372. h. 320-321

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 99


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

Adapun perbedaan pandangan di kalangan ulama mengenai status


ayat tersebut, diantara mereka ada yang menganggap batal (nasakh) dan
ada yang menyatakan tidak, maka Al-Qardlawi menganggap bahwa
ayat tersebut tidaklah dibatalkan oleh hadis shahih yang mewajibkan
zakat 10 % atau 5 %, melainkan adanya hubungan antara yang mujmal
“samar” dengan mufassal “tegas” atau yang mebham “global” dengan
mufassar “terperinci”.17
Al-Sayuthi menjelaskan bahwa pada ayat ini, Allah memerintahkan
untuk berzakat pada dua hal : yaitu zakat mal dan zakat biji-bijian dan
tumbuh-tumbuhan (hubb dan tsimar).18
Ditempat lain, Allah berfirman dalam surat Al-An’ am ayat 14
artinya :
“Katakanlah apakah akan aku jadikan pelindung selain Allah yang
menjadikan langit dan bumi, padahal Dia memberi makan dan tidak
diberi makan. Dan katakanlah sesungguhnya aku diperintah supaya aku
menjadi orang yang pertama sekali menyerahkan diri kepada Allah dan
jangan sekali-kali kamu masuk kedalam golongan orang musyrik.19
Banyak ulama terdahulu berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan “hak”nya dalam ayat tersebut di atas adalah “zakat wajib” : 10
% atau 5 %.
Ja’far Al-Thabari berpendapat, yang bersumber dari anas bin
Malik, dalam menafsirkan ayat tersebut, bahwa maksudnya adalah
“zakat wajin” “ Ibnu Abbas yang dilaporkan dari berbagai sumber juga
berpendapat bahwa maksudnya adalah “zakat sebesar 10 % atau 5 %,
dan maksud panen itu ditimbang dan diketahui berapa banyaknya.20
2. Hadis:
Diriwayatkan dari Jabir, bahwa Rasulullah SAW bersabda :21
“Sesungguhnya Rasul berkata : “Yang diairi dengan sungai
atau hujan, zakatnya 10 % sedangkan yang diairi penyiraman
zakatnya 5%.
Hadis yang sejalan dengan ini hadits Bukhari yang artinya
“……Tanaman yang diairi dengan air hujan, mata air, atau
17
Muhammad Yusuf Al-Qardhawi, Op Cit. h. 329
18
Muhammad Ahmad bin Sayuti, Tafsir Jalalain. Jilid I. Darul Hadis. Kairo. tt.59
19
Anonim,
20
Muhammad Yusuf Al-Qardhawi, Op Cit. h. 327
21
CD, Al-Mausu’ah Al-Hadis Al-Syarif, Global Islamic Sofware Company 1991-1997

100 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Masburiyah, S.Ag, M.Fil.I., Zakat Hasil...

air tanah, zakatnya 10 % dan yang diairi dengan penyiraman,


zakatnya 5%/.
Disamping hadis diatas, masih terdapat beberapa kontek hadis lain
yang berkaitan dengan perhitungan waktu zakat.
3. Ijma’
Para ulama sepekat tentang wajibnya zakat sebesar 10 % atau 5 %
keseluruhan hasil tani. Sekalipun mereka berbeda pendapat tentang
ketentuan-ketentuan lain.

E. Hasil Pertanian Yang Wajib Zakat


Setelah dipaparkan tentang dasar-dasar yang mewajibkan zakat
tanaman dan buah-buahan, maka selanjutnya akan dijelaskan apa saja
yang termasuk dalam kategori wajib zakat 10% atau 5% tersebut.
1. Ibnu Umar dan sebagian Tabi’in serta sebagian ulama setelah mereka
berpendapat bahwa zakat hanya wajib atas dua jenis biji-bijian yaitu
gandum (hinthah0 dan sejenis gandum lain (syair dan dua jenis buah-
buahan yaitu kurma dan anggur.
2. Ahmad memiliki pendapat yang beragam, yang terkenal dan terpenting
adalah pandagannya yang terdapat dalam kitab Al-Mughni, zakat
wajib atas bijian dan buahan yang memiliki sifat-sifat ditimbang, tetap,
dan kering yang menjadi perhatian manusia bila tumbuh di tanahnya,
tahan disimpan lama :
- Berupa makanan pokok seperti gandum, sorgum, jagung, padi
- Berupa kacang-kacangan
- Berupa bumbu-bumbuan
- Berupa biji-bijian
- Berupa buah-buahan yang kesemuanya memiliki sifat-sifat diatas.
3. Malik dan Syafi’I berpendapat bahwa zakat wajib atas segala makanan
yang dimakan dan disimpan, bijian dan buahan kering seperti gandum,
bijinya, jagung, padi, dan sejenisnya.22 dengan kata lain, adalah semua
makanan pokok adalah wajib dizakati dan selain itu tidak termasuk
wajib zakat.
4. Abu Hanifah berpendapat bahwa semua hasil tanaman, yaitu yang
dimaksudkan untuk mengeksploitasi dan memperoleh penghasilan
22
Muhammad Yusuf Al-Qardlawi,. Op Cit. h. 333

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 101


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

dari penanamannya, wajib zakatnya sebesar 10 % atau 5 %.23


Bahwa Al-Ghazali yang berdiri dalam mazhab Syafi’i, menjelaskan
bahwa :
Wajib dikeluarkan sepersepuluh (10%) dari setiap hasil biji-bijian yang
mengenyangi, apabila telah mencapai delapan ratus mann. Kurang dari itu,
tidak ada zakat padanya. Juga tidak diwajibkan zakat atas buah-buahan
dan kapas, selain biji-bijian yang mengenyangkan (makanan pokok) serta
kurma dan kismis (anggur yang dikeringkan). Nishabnya, sebanyak delapan
ratus mann dihitung dari kurma yang telah masak dan buah anggur yang
telah dikeringkan.24
Selanjutnya ia menyatakan bahwa hendaknya orang yang membayar
zakat telah menggantikannya dengan memperhitungkan harganya,
melainkan mengeluarkannya dari jenis harta itu sendiri. Maka tidak
boleh mengeluarkan uang untuk zakat emas sebagaimana tidak boleh
mengeluarkan emas untuk zakat uang, meski mungkin nilanya lebih besar.
Mungkin saja orang tidak mengerti tujuan Imam Syafi’I dalam menetapkan
hukum seperti itu, akan menganggap enteng ketentuan tersebut. Dikiranya
bahwa yang penting adalah menghilangkan kebutuhan si penerima zakat
saja.25
Sementara Muhammad Rifa’I menjelaskan bahwa hisab bumi yang
sudah dibersihkan ialah lima wasaq ( 700 kg), sedangkan yang masih
berkulit ialah sepuluh wasaq (1.400 kg), zakatnya 10 % (sepuluh persen)
jika diairi dengan air hujan, air sungai dan lainnya yang tidak mengeluarkan
biaya produksi. Jika diairi dengan air yang diperoleh dengan pembelian,
maka zakatnya 5 % (lima persen)..26
Penulis memandang bahwa pendapat Abu Hanifah dalam masalah ini,
adalah cukup relevan dengan perkembangan masa dan kemajuan yang ada
dewasa ini. Ini dilihat dari keumuman nash yang menegaskan tentang zakat
tersebut, di samping sejalan dengan tujuan syara’ di tengah arus kemajuan
peradaban manusia di segala bidang kehidupan.

23
Ibid. h. 336
24
Muhammad Hamid, Al-Gazali, Rahasia Puasa dan Zakat. Penerjemah Kharisma
Bandung 1998.h. 53-54
25
Ibid. h. 61
26
Muhammad Rifa’, Fiqih Islam Lengkap. CV. Thoha Putra Semarang 1978. h. 358

102 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Masburiyah, S.Ag, M.Fil.I., Zakat Hasil...

F. Pandangan Ulama Tentang Besar Nishab dan Waktunya


Jumhur ulama sepakat bahwa tanaman dan buah-buahan tidak akan
terkena wajib zakat jika belum sampai lima wasaq. ini didasarkan pada
konteks hadis shahih yang diriwayatkan oleh jama’ah muhadisin27
Sementara Abu Hanifah memiliki pandangan yang lain bahwa tanaman
dan buahan itu wajib dizakati tanpa melihat sedikit atau banyaknya. Ia
mendasarkan pandangan ini dengan keumuman pengertiahadis “
….” Tanaman yang diairi dengan air hujan,
mata air, atau air tanah, zakatnya 10 % dan yang diairi dengan penyiraman
zakatnya 5 %. (HR. Bukhari) ini disebabkan tidak adanya persyaratan yang
menyatakan masa pemberlakuannya.28
Sehubungan dengan waktu pelaksanaan zakat ini, sebagaimana yang
dijelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 141 :
Artinya : “Dan dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung
dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang
bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa
(bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah
dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah,
dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan
dikeluarkan zakatnya) dan janganlah kamu berlebih-lebihan,
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-
lebihan”.29
Ayat di atas lebih banyak dipakai jumhur ulama dalam menjelaskan
waktu pelaksanaan zakat perkebunan, yaitu pada saat memetik atau
memanen hasil perkebunan.

G. Peranan Zakat Perkebunan Dalam Upaya Meningkatkan Ekonomi


Mampukah zakat menjadi salah satu faktor penopang meningkatkan
perekonomian umat ?
a. Zakat Dapat Mengembangkan Harta
Al-Quran telah membuat ibarat tentang tujuan zakat, dihubungkan
dengan orang-orang kaya yang diambil dari padanya zakat, yaitu

27
CD. Al-Mausu’ah Al-Hadis Al-Syarif, 1991 -1997. Op.Cit
28
Abdullah bin Ahmad Al-Qudamah, Al-Mughni, Jilid II Dar Al-Fikr Beirut 1405.
h. 692
29
Anonim. h.

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 103


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

disimpulkan pada dua kalimat yang terdiri dari beberapa huruf, akan
tetapi keduanya mengandung aspek yang banyak dari rahasia-rahasia
zakat dan tujuan-tujuan yang agung. Firman Allah dalam surat At
Taubah ayat 103
Artinya : “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat
itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka….. “30
Dua kalimat tersebut adalah taththir (membersihkan) dan
tazkiyah (mensucikan) yang meliputi segala bentuk pembersihan dan
pensucian, bagi harta dan kekayaannya.31
Pada sisi lain, zakat dapat pula membebaskan manusia dari
sesuatu yang menghinakan martabat mulia manusia dan merupakan
kegiatan tolong-menolong yang baik, dalam menghadapi problematika
kehidupan dan perkembangan zaman.
Pada prinsipnya, zakat dapat mengembangkan dan memberkahkan
harta. Terkadang orang menganggap aneh, zakat yang secara
lahiriah mengurangi harta, dengan mengeluarkan sebagiannya,
bagaimana mungkin akan berkembang dan bertambah banyak. Tetapi
sebenarnya di balik pengurangan yang bersifat zahir ini, hakikatnya
akan berkembang, akan menambah harta secara keseluruhan yang
beredar dari berbagai kalangan masyarakat dan pada gilirannya dapat
membangkitkan usaha di berbagai sektor.
Kita dapat melihat sebagian pemerintahan yang kaya, memberikan
sebagian hartanya kepada sebagian pemerintahan yang miskin, bukan
karena Allah, tetapi karena ingin menumbuhkan kekuatan yang
mendukungnya..32
Zakat sebagai ibadah praktis yang langsung dirasakan manfaatnya
oleh masyarakat golongan ekonomi lemah, demikian halnya keadilan
sosial secara praktis obyek utamanya meningkatkan kesejahteraan dan
status golongan dhua’fa dalam masyarakat.
Zakat yang dinyatakan seabgai hak fakir miskin, juga merupakan
hak masyarakat. Orang kaya yang berhasil mengumpulkan harta
kekayaan, sebenarnya hal ini tidak mungkin terwujud tanpa andil
saham, bantuan dan partisipasi orang lain, baik langsung maupun
tidak langsung terutama dari golongan dhua’afa, sebagaimana hadis
Nabi yang berbunyi :
30
Anonim. h. 297
31
Muhammad Yusuf Al Qardlawi, Op Cit. h. 848
32
Ibid. h. 866

104 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Masburiyah, S.Ag, M.Fil.I., Zakat Hasil...

Artinya : “Sesungguhnya keberhasilan dan kecukupan yang diperoleh


orang kaya itu adalah berkat orang-orang yang lemah
diantara kamu”.33
Pada prinsipnya, zakat hasil perkebunan memiliki perbedaan
dengan zakat kekayaan lainnya. Ini terlihat pada pengeluaran zakatnya
yang tidak tergantung dari berlalunya tempo satu tahun, oleh karena
benda yang dizakatkan itu merupakan produksi atau hasil yang
diberikan oleh tanah, artinya kewajiban zakat terjadi bila produksi
itu diperoleh. Dalam istilah modern sekarang, zakat itu merupakan
pajak produksi yang diperoleh dari eksploitasi tanah. Sedangkan zakat
atas kekayaan-kekayaan yang lain merupakan pajak yang dikenakan
atas modal atau pokok kekayaan itu sendiri, berkembang atau tidak
berkembang.34
b. Zakat Dapat Meningkatkan Perekonomian Umat
Sebenarnya, jika ditinjau dari berbagai sudut betapa hebatnya
sumbangan yang dapat diberikan oleh pelembagaan zakat, jika dapat
dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Negara Indonesia yang demikian luas dengan daerah-daerah
daratan merupakan saham terbesar bagi tumbuhnya berbagai
komoditi perkebunan baik ekspor maupun impor yang pasti akan
memasukkan pendapatan daerah dan bangsa dengan skala besar. Kita
dapat bayangkan bagaimana seandainya perekonomian Indonesia
ini dipegang oleh umat Islam. Pada konglomerat dan pengusaha
yang bergerak dibidang perkebunan dan pertanian, pertanahan dan
sebagainya memiliki jiwa dan kesadaran agama yang tinggi tentunya
alangkah besar angka-angka yang dapat di urai menjadi sumber
dana bagi segala aspek kehidupan masyarakat, khususnya dibidang
perekonomian umat dari hasil zakat perkebunan yang dikeluarkan.
Pada kenyataannya perekonomian Indonesia berada di tangan
non muslim dimana mereka tidak mengenal zakat dengan segala
konsepnya. Oleh karenanya perlu adanya campur tangan pemerintah
dan masyarakat. Yang secara bersama menegakkan sistem zakat yang
benar dan sesuai dengan syariat Islam yang hidup di alam kemiskinan
umat Islam Indonesia.

33
Imam Ahmad bim Hanbal, Musnad. Juz I. Mu’assisah Qurtubah. Mesir. tt. h. 91
34
Muhammad Yusuf Al-Qardlawi, Op.Cit. h. 325

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 105


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

Meskipun demikian, sebenarnya cukup banyak juga para


pengusaha perkebunan yang beragama Islam dan wajib mengeluarkan
zakat dalam setiap penghasilan produksinya. Jika ini dapat dikelola
secara profesional oleh suatu lembaga yang didukung oleh pemerintah
dan segenap masyarakat, maka tentunya akan sangat bermanfaat bagi
perekonomian umat dimana jumlah dana yang cukup besar tersebut
akan dapat diberikan kepada para mustahiq yang dengan suatu sistem
sehingga dapat menjadi sektor-sektor ekonomi kerakyatan yang
lebih mantap dan berkembang serta dapat meningkatkan income
daerah yang pada gilirannya dapat dirasakan oleh masyarakat secara
keseluruhan. Ini sejalan dengan pandangan Dr. Hadi Purnomo yang
menyatakan bahwa pembagian zakat harus bersifat edukatif produktif
dan ekonomis, sehingga pada akhirnya penerima zakat menjadi tidak
memerlukan zakat lagi, bahkan menjadi wajib zakat.35
Penulis berpendapat bahwa untuk menerapkan sistem zakat di
Indonesia saat ini adalah dengan kembali kepada firman Allah dalam
surat At taubah ayat 103 yang berbunyi
Artinya : “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat
itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka….”36
Perintah ini ditujukan kepada para amil/pengurus badan zakat untuk
memungut zakat dari mereka yang diwajibkan untuk mengeluarkan
zakat. Namun dalam hal ini kekuasaan terletak pada pemerintah
oleh karenanya pemerintah pun diharuskan untuk membentuk serta
memberi wewenang yang kuat kepada badan tersebut, baik secara
hukum maupun berbagai kebutuhan lainnya. Badan tersebut harus
terdiri dari mereka yang terpercaya dan memenuhi persyaratan serta
representatif, sehingga diharapkan mampu melaksanakan dengan
penuh tanggun jawab kepada masyarakat dan Allah SWT.
Sebenarnya, keberadaan lembaga pengelola zakat merupakan
hal terpenting dilihat dari eksistensinya sebagai lembaga yang dapat
dipegang dari keseluruhan aspeknya sebagai suatu lembaga yang benar-
benar berjalan di bawah bendera keberadaan dan keadilan dalam
melaksanakan dan menjabarkan konsep zakat yang diperintahkan
Allah dan Rasulnya.

35
Hadi Purnomo Pendayagunaan Zakat, Panji Mas. Edisi Agustus 1986. No. 619
36
Anonim. h. 297

106 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Masburiyah, S.Ag, M.Fil.I., Zakat Hasil...

Dengan demikian, prinsip zakat sebagai salah satu faktor yang


penting dalam memberdayakan umat untuk meningkatkan taraf hidup
menuju umat yang makmur akan terlaksana.
Suatu konsep (zakat) yang benar tidak dapat berjalan baik mencapai
tujuannya jika tidak dilaksanakan oleh suatu sistem (Penzakatan) yang
benar dan dukungan dari kalangan dari berbagai faktor internal dan
eksternal lainnya.

H. Kesimpulan
Setelah memaparkan berbagai pembahasan tentang zakat perkebunan,
penulis berusaha menyimpulkan sebagai berikut :
a. Ditinjau dari segi bahasa, kata zakat merupakan kata dasar dari
zakat yang berarti tumbuh, subur, bersih, baik, berkembang, suci
dan keberkahan. Zakat berwazan fa’alah, dan merupakan kata benda
bermakna ganda, sebagai kata benda yang meliputi kekayaan harta dan
benda dan sebagai kata kerja yang meliputi segala aktivitas pelaksanaan
zakat itu sendiri. Menurut istilah, zakat itu sebutan untuk pengambilan
tertentu dari harta yang tertentu menurut sifat-sifat yang tertentu
untuk diberikan kepada golongan yang tertentu. Zakat ini merupakan
beberapa istilah, shadaqa, haq, nafaqah, dan afuw.
b. Zakat itu menurut garis besarnya terbagi dua : zakat mal (harta) dan
zakat nafs (jiwa).
c. Landasan wajibnya zakat hasil perkebunan didasarkan kepada Al-
Quran (2 : 267, 6 : 14), hadis Rasulullah, dan ijma.
d. Para ulama berbeda pandangan dalam mengkategorikan hasil
tumbuhan apa saja yang wajib dikeluarkan zakatnya. Namun menurut
penulis, sesuai dengan keumuman nash yang menegaskan tentang zakat
menunjukkan kepada semua hasil tanaman yang bernilai ekonomis dan
dimaksudkan untuk memperoleh penghasilan dari penanamannya,
e. Jumhur ulam sepakat bahwa tanaman dan buah-buahan tidak
akan terkena wajib zakat jika belum sampai lima wasaq. Dan waktu
pelaksanannya adalah pada saat memetik atau memanen hasil
perkebunan.
f. Perenan zakat perkebunan dalam upaya meningkatkan ekonomi umat
dapat dilihat dari prinsip zakat itu sendiri yang dapat mengembangkan
dan memberkahkan harta. Zakat juga dapat meningkatkan
perekonomian umat jika dikelola secara profesional oleh suatu lembaga

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 107


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

yang didukung oleh pemerintah dan segenap masyarakat dengan


konsep dan sistem yang sesuai dengan ketentuan syara’.

DAFTAR BACAAN
Anonim, “CD Al-Quran Al-Karim, Keluaran Kelima 6.50, Perusahaan
Perangkat Lunak Sakti, 1997.
Ahmad bin Hanbal, Musnad, Juz I, Mu’assisah Qurtubah, Mesir , II.
Al-Ghazali, Muhammad, Rahasia Puasa dan Zakat. Pen, Karisma, Bandung,
1998.
Al-Qardlawy, Muhammad Yusuf, Prof. Dr… “Fiqhu al-zakah, penterjemahan,
Dr. Salman Harun, Mizan. Bandung : 1996
Al-Qardlawy, Muhammad Yusuf, Hukum Zakat : Studi Komperatif Mengenai
Status Dan Filsafat Zakat Berdasarkan Al-Quran dan AL-Hadis,
Litera Antar Nusa dan Pustaka Mizan. 1996.
Al-Qudamah, Abdullah bin Ahmad, Al-mughini, Jilid II, Dar Al-Fikr,
Beirut, 1405.
Al-Qurtubi, Abu Abdillah, Tafsir Al-Qurtubi. Jilid III, Cet, II, Dar Al-sa’ab
Kairo, 1372.
Al-Sayuti, Muhammad bin Ahmad, “Tafsir Jalalain, Jilid I, Dar al-Hadis,
Qairo, tt.
Al-Shan’any, Muhammad Bin Ismail, Subul al-Salam. Cet IV, Dar Ihya al-
Turats al-Araby, Beirut, 1379.
Al-Shiddieqy, Muhammad Hasbi, Pedomn Zakat, Semarang : PT. Pustaka
Rizki Putra, 1999.
Al-Syafi’I, Muhammad Bin Idris, Ahkamu Al-Quran, Juz I, Dar al-Kutub
al-Ilmiah, Beirut, 1400
Al-Syaukani, Muhammad bin Ali, Nailu al-Authar, Dar al-Jill, Beirut,
1973.
Al-Zarqani, Muhammad bin Abdul Baqy, Syarah al-Zarqani, Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, Beirut, 1411.
“CD al-Mausu’ah al-Hadis al-Syarif, Globalisasi Islamic Software Company,
1991-1997.
Purnomo, Drs. Syeh Hadi, SH, MA, Pendayagunaan Zakat, Dalam Panjimas,
edisi Agustus, 1989. No. 619, Pustaka Panjimas Jakarta.
Rifa’I, Moh,. Drs. .. Fiqh Islam Lengkap, CV. Thoha Putra, Semarang.
1978.

108 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Rahmi Hidayati, Praktek Monopoli...

PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN


USAHA TIDAK SEHAT
(Studi Terhadap Etika Bisnis Islam)
Rahmi Hidayati

Abstrak
It is hard to deny that monopoly and unfairness in business bring
about any unexpected circumstances. Unfortunately, there are many
groups that are always control over some products and commodities
in order to monopolize the market. Negative impacts of monopoly
is not only to enervate the purchasing power of consumer by taking
profit as much as possible, but also to spoil the equilibrium of of
market mechanism due to the distortion created by that groups. This
article will discuss about monopoly on perspective of Islamic business
ethic.

Kata Kunci : Monopoli, Mekanisme Pasar, Persaingan Tidak Sehat


dan Distorsi Ekonomi

Pendahuluan
Persaingan harus dipandang sebagai hal yang positif dan sangat
esensial dalam dunia usaha. Dengan persaingan, para pelaku usaha
akan berlomba-lomba untuk terus menerus memperbaiki produk dan
melakukan inovasi atas produk yang dihasilkan untuk memberikan yang
terbaik bagi pelanggan.
Dari sisi konsumen, mereka akan mempunyai pilihan dalam membeli
produk dengan harga murah dan kualitas terbaik. Dalam kondisi demikian,
yang harus dituntut adalah bentuk persaingan yang sehat (fair).
Karena kita tahu dalam praktek, banyak terjadi bentuk persaingan
yang tidak sehat (unfair), yang akan mematikan persaingan itu sendiri, dan
pada gilirannya memunculkan praktek monopoli.
Jika kita menyebutkan kata ‘monopoli’ terbayang dalam benak kita
adanya seorang atau sekelompok orang yang menguasai suatu bidang

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 109


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

tertentu secara mutlak tanpa memberikan kesempatan kepada pihak lain


untuk ikut ambil bagian.
Dengan monopoli suatu bidang, berarti terbuka kesempatan untuk
mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya bagi kepentingan kantong
sendiri. Disini monopoli diartikan sebagai kekuasaan menentukan harga,
kualitas dan kuantitas produk yang ditawarkan kepada masyarakat.
Masyarakat tidak pernah diberi kesempatan untuk menentukan pilihan,
baik mengenai harga, mutu maupun jumlah. Kalau mau silakan dan kalau
tidak mau tidak ada pilihan lain. Itulah citra kurang baik yang ditimbulkan
oleh keserakahan pihak tertentu yang memonopoli suatu bidang.
Dengan berlakunya hukum alam survival of the fittest, monopoli akan
selalu ada dan muncul. Kita tidak dapat menghilangkan tetapi hanya
dapat mengeliminir pengaruhnya. Pendapat tersebut bukan tanpa alasan,
karena wabah monopoli selalu melingkupi praktek dunia usaha di Negara
manapun dalam sistem ekonomi apapun. Misalnya, dalam sistem ekonomi
kapitalis, dengan adanya instrument kebebasan pasar, kebebasan keluar
masuk tanpa restriksi, serta informasi dan bentuk pasarnya yang otomistik
monopolistik telah melahirkan monopoli sebagai anak kandungnya.
Adanya persaingan tersebut mengakibatkan lahirnya perusahaan-
perusahaan yang secara naluriah ingin mengalahkan pesaing-pesaingnya
agar menjadi yang paling besar, paling hebat dan paling kaya.
Masih dalam wacana di atas, di Negara dengan sistem ekonomi sosialis
dan komunis, monopoli lahir dalam bentuknya yang khas. Dengan nilai
instrumental perencanaan ekonomi yang sentralistik mekanistik serta
pemilikan faktor produksi secara kolektif, segalanya dimonopoli Negara
dan diatur dari pusat.
Sedangkan di Indonesia, dengan sistem ekonomi Pancasila secara
implisit justru mengakui adanya monopoli oleh Negara, yaitu terdapat
dalam pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945. .
Suatu pasar dikatakan terjadi monopoli apabila : pelaku usaha sebagai
price maker mutlak; tidak ada persaingan; adanya entry barrier bagi pelaku
usaha lain yang ingin masuk pasar yang sudah di monopoli.
Dengan demikian, praktik monopoli akan menguasai pangsa pasar
secara mutlak sehingga pihak-pihak lain tidak memiliki kesempatan lagi
untuk berperan serta.

Hikmahanto Yuwono, Sekilas Tentang Hukum Persaingan dan UU No.5 tahun 1999”
Jurnal Magister Hukum UII, vol1. No.1, Yogyakarta , 2000, hal. 31

110 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Rahmi Hidayati, Praktek Monopoli...

Sebuah atau beberapa perusahaan yang melakukan monopoli produk


tertentu menentukan harga suatu produk sesuka hatinya, karena mekanisme
pasar sudah tidak berjalan lagi.
Apalagi kalau produk yang dimonopoli itu merupakan kebutuhan
primer, dapat dipastikan mereka akan mengeruk keuntungan yang sebesar-
besarnya (Sri Redjeki Hartono, 2005 : 4).
Dalam kondisi yang demikian, masyarakat tidak mempunyai alternatif
lain kecuali membeli produk yang dimonopoli tersebut dan akan terjadi
pula inefisiensi dalam menghasilkan produk.
Dalam berbagai kasus, biasanya praktek monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat tumbuh karena adanya kolaborasi atau ‘persekongkolan”
antara penguasa /birokrasi dengan pelaku usaha. Pemerintah tidak bisa
mengawasi tindakan pelaku usaha dan mengontrol tindakannya sendiri.
Alih-alih pejabat/birokrat telah “dibungkam “atau “disuap” oleh para
pelaku usaha dengan berbagai fasilitas dan kemudahan yang didapat
karena jabatannya.
Budaya pelaku usaha yang negative ini, telah mencemari birokrasi atau
bahkan sebaliknya dan para birokrat akhirnya bertindak seperti seorang
pelaku usaha yang mencari keuntungan dari jabatannya. Bahkan untuk
mendukung kerjasama tersebut, penguasa biasanya membuat kebijakan
yang tidak fair dan memberi peluang dalam melakukan praktek monopoli,
misalnya : kebijakan pemberian lisensi ekslusif; pemberian subsidi dan
keringanan pajak pada perusahaan tertentu; membuat peraturan yang
bersifat adhoc; rintangan perdagangan antar daerah; diijinkannya merger
antar perusahaan sejenis dan lain-lain.
Berangkat dari pemikiran bahwa praktek monopoli tidak hanya
menimbulkan distorsi ekonomi yang menggannggu mekanisme
perekonomian suatu Negara, tetapi juga membawa dampak buruk bagi
moral dan mental pejabat seperti yang telah diuraikan diatas, maka dalam
tulisan ini akan dibahas mengenai praktek monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat dalam perspektif etika bisnis Islam.

Sekilas Tentang Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat


Berbicara mengenai monopoli dan persaingan usaha tidak sehat,
maka hal yang perlu menjadi perhatian adalah siapa pelaku usaha, siapa
konsumen serta apa produk barang dan jasa. Pelaku usaha adalah setiap
orang atau badan usaha , baik yang berbentuk badan hukum maupun

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 111


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

bukan badan hukum yang didirikan untuk menyelenggarakan berbagai


kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
Konsumen adalah setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau
jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun orang lain. Barang adalah
setiap benda yang berwujud maupun tidak berwujud; bergerak maupun
tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau
dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. Jasa adalah setiap layanan
yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam
masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.  .
Dalam Black’s Law Dictionary, monopoli diartikan sebagai a privilege
or peculiar adcantage vested in one or more persons or companies consisting
in the exclusive right (or power) to carry on a particular business or trade,
manufacture a particular article, or control the sale of the whole supply of a
particular commodity (Campbell, 1990 : 12).
Sedangkan pengertian monopoli dalam peraturan perundangan kita
adalah bentuk penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan
atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku atau satu kelompok
pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) UU No.5/1999). Praktek monopoli adalah
pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang
mengakibatkan dikuasaninya produksi dan atau pemasaran atas barang
dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat
dan merugikan kepentingan umum. (pasal 1 ayat (2) UU No. 5/1999).
Dari definisi yang diberikan diatas dapat diketahui bahwa pada
dasarnya ada empat hal penting yang dapat dikemukakan terkait dengan
praktek monopoli, antara lain : pertama, adanya pemusatan kekuatan
ekonomi; kedua, pemusatan kekuatan tersebut berada pada satu atau
lebih pelaku usaha; ketiga, pemusatan kekuatan tersebut menimbulkan
persaingan usaha tidak sehat; keempat, pemusatan kekuatan tersebut
merugikan kepentingan umum.
Selanjutnya yang dimaksud dengan persaingan usaha tidak sehat
adalah persaingan antara para pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan
cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha
(pasal 1 (6) UU No.5/1999).
Macam-macam kegiatan yang terkait dengan monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat biasanya berupa : pertama, perjanjian yang bertujuan
untuk melakukan praktek oligopoly, menetapkan harga, membagi wilayah

Sri Redjeki Hartono, Hukum Persaingan, Semarang, UNDIP, 2005. hal. 7

112 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Rahmi Hidayati, Praktek Monopoli...

pasar, pemboikotan, kartel, trust, ologopsoni, perjanjian tertutup dan


integrasi vertikal; kedua, kegiatan monopsoni, penguasaan pasar dan
persekongkolan; ketiga monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dapat
terjadi juga karena adanya posisi dominan dari pelaku usaha dengan tujuan
menguasai pasar.
Monopoli sendiri dapat terjadi atau muncul dalam berbagai cara.
Misalnya, ia dapat terjadi karena memang dikehendaki oleh hukum,
sehingga timbul apa yang disebut dengan monopoly by law. Pasal 33 ayat (2)
dan (3) yang berbunyi “cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara
dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh
Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Inilah
yang disebut dengan istilah monopoly by law. 
Kedua adalah monopoly by nature, yaitu monopoli yang lahir dan
tumbuh secara alamiah karena didukung oleh iklim dan lingkungan yang
cocok. Kita dapat melihat tumbuhnya perusahaan-perusahaan yang karena
memiliki keunggulan dan kekuatan tertentu dapat menjadi raksasa bisnis
yang menguasai seluruh pangsa pasar yang ada. Mereka menjadi besar
karena memiliki sifat-sifat yang cocok dimana mereka tumbuh. Selain itu
biasanya didukung oleh bibit unggul yang mempunyai posisi dominant.
Bentuk monopoli yang ketiga adalah monopoly by licence. Monopoli
ini terjadi karena “superior skill” yang diperoleh melalui lisensi dengan
menggunakan mekanisme kekuasaan. Selain itu ada juga yang dikenal
dengan adanya “trade secref” walaupun tidak memperoleh ekslusifitas dari
Negara, namun dengan teknologi “rahasia”-nya mampu membuat produk
superior. Monopoli jenis inilah yang paling besar dan sering menimbulkan
distorsi ekonomi karena kehadirannya mengganggu keseimbangan pasar
yang sedang berjalan dan bergeser kearah yang diingini oleh pihak yang
memiliki monopoli tersebut.

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Perspektif Etika Bisnis


Islam
Sejak 15 abad yang lalu, Nabi Muhammad saw telah mengharamkan
perilaku monopoli.  Nabi bersabda : “barang siapa melakukan monopoli,
maka ia bersalah, berdosa” (HR Muslim dari Mu’amar bin Abdillah).

Ahmad Yani dan Gunawan, Anti Monopoli, Jakarta : Radja Grafindo Persada, 2002.
hal. 5

Abdullah Kelib, Hukum Ekonomi Islam, Semarang UNDIP, 2005. hal. 1

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 113


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

Perilaku monopoli termasuk perbuatan sewenang-wenang dalam


menggunakan hak (al-ta’ssuf fi al-isti’mal al-haq). Karena untuk
mewujudkan keuntungan pribadi, seorang pelaku monopoli telah
menyebabkan timbulnya kerugian yang besar pada hak publik (haq al
jama’ah), masyarakat.
Islam, memiliki nilai-nilai prinsipil terhadap semua aktivitas kehidupan,
begitu juga terhadap aktivitas kehidupan ekonomi kita, dus monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat. Tujuan aktivitas ekonomi dalam Islam adalah:
mewujudkan kesejahteraan ekonomi dalam kerangka moral Islam (QS 2 :
6, 168:87, 62:10); mewujudkan persaudaraan dan keadilan universal (QS
7: 158); terwujudnya pendapatan dan kekayaan yang merata dan adil (QS
6 : 165, 16 : 71) dan; terwujudnya kebebasan individual dalam konteks
kemashlahatan sosial (QS 13 : 36, 31 : 22).
Dengan demikian aktivitas ekonomi dalam Islam harus diawali
dari keyakinan normative terhadap kelangsungan dalam mengolah,
memproduksi, memasarkan dan memanfaatkan nilai ekonomis demi
pemenuhan kebutuhan hajat hidup bersama. Keyakinan normative
tersebut adalah : manusia merupakan khalifah dan pemakmur bumi (QS
2 : 30); setiap harta yang dimiliki ada bagian orang lain (QS 70: 24-25);
penghapusan praktek riba dan berbagai hal yang meracuni kebaikan dan
kehalalan harta dan usaha kita (QS 2 : 275) dan dilarang memakan harta
secara bathil, kecuali dengan perniagaan secara suka sama suka (QS, 4 :
29-30).
Hal tersebut dipertegas oleh Haidar Naqvi, bahwa setiap aktivitas usaha
sekaligus merupakan cerminan tujuan untuk ikut memecahkan masalah
yang dihadapi oleh masyarakat secara luas. .
Konsep bisnis dalam Islam banyak dijelaskan dalam al Qur’an dengan
menggunakan beberapa terma, seperti : tijarah, al-bai, isytara dan
tadayantum. Dari kesemua term tersebut menunjukkan bahwa bisnis dalam
perspektif Islam pada hakikatnya tidak semata-mata bersifat material yang
tujuannya hanya semata-mata mencari keuntungan duniawi, tetapi juga
bersifat immaterial yang tujuannya mencari keuntungan dan kebahagiaan
ukhrawi.
Untuk itu bisnis dalam Islam disamping harus dilakukan dengan cara
professional yang melibatkan ketelitian dan kecermatan dalam proses
manajemen dan administrasi agar terhindar dari kerugian, ia juga harus

Shabri A. Madjid, Krisis Ekonomi Dalam Perspektif Islam” Makalah Penelusuran
Internet, 2006. hal. 3

114 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Rahmi Hidayati, Praktek Monopoli...

terbebas dari unsur-unsur penipuan (gharar), kebohongan, riba dan


praktek-praktek lain yang dilarang oleh syari’ah.
Karena pada dasarnya aktivitas bisnis tidak hanya dilakukan antara
sesama manusia tetapi juga dilakukan antara manusia dengan Allah. Dalam
konteks inilah al Qur’an menawarkan keuntungan dengan suatu bisnis yang
tidak pernah mengenal kerugian yang oleh al Qur’an diistilahkan dengan
“tijaratan lan tabura”. Karena walaupun seandainya secara material pelaku
bisnis Muslim merugi, tetapi pada hakikatnya ia tetap beruntung karena
mendapatkan pahala atas komitmennya dalam menjalankan bisnis yang
sesuai dengan syari’ah.
Bisnis dalam Islam bertujuan untuk mencapai empt hal utama : (1)
target hasil : profit-materi dan benefit-nonmateri, (2) pertumbuhan, (3)
keberlangsungan, (4) keberkahan.
Target hasil : profit-materi dan benefit-nonmateri, artinya bahwa bisnis
tidak hanya untuk mencari profit (qimah madiyah atau nilai materi)
setinggi tingginya, tetapi juga harus dapat memperoleh dan memberikan
benefit (keuntungan atau manfaat) non materi kepada internal organisasi
perusahaan dan eksternal (lingkungan), seperti terciptanya suasana
persaudaraan, kepedulian sosial dan sebagainya.
Benefit, yang dimaksudkan tidaklah semata memberikan manfaat
kebendaan, tetapi juga dapat bersifat nonmateri.
Islam memandang bahwa tujuan suatu amal perbuatan tidak hanya
berorientasi pada qimah madiyah. Masih ada tiga orientasi lainnya, yakni
qimah insaniyah, qimah khulqiyah dan qimah ruhiyah. Dengan qimah
insaniyah, berarti pengelola berusaha memberikan manfaat yang bersifat
kemanusiaan melalui kesempatan kerja, bantuan sosial (sedekah), dan
bantuan lainnya. Qimah khulqiyah, mengandung pengertian bahwa nilai-
nilai akhlak mulia menjadi suatu kemestian yang harus muncul dalam
setiap aktivitas bisnis sehingga tercipta hubungan persaudaraan yang Islami,
bukan sekedar hubungan fungsional atau professional. Sementara itu qimah
ruhiyah berarti aktivitas dijadikan sebagai media untuk mendekatkan diri
kepada Allah swt. 
Pertumbuhan, jika profit materi dan profit non materi telah diraih,
perusahaan harus berupaya menjaga pertumbuhan agar selalu meningkat.
Upaya peningkatan ini juga harus selalu dalam koridor syari’ah, bukan
menghalalkan segala cara.

Muhammad Ismail Yusanto dan Muhammad Karebet Widjayakusuma, Menggagas
Bisnis Islami, Jakarta Gema Insani Press. 2002. hal. 18

Ibid, hal. 19

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 115


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

Keberlangsungan, target yang telah dicapai dengan pertumbuhan


setiap tahunnya harus dijaga keberlangsungannya agar perusahaan dapat
exis dalam kurun waktu yang lama.
Keberkahan, semua tujuan yang telah tercapai tidak akan berarti apa-apa
jika tidak ada keberkahan di dalamnya. Maka bisnis Islam menempatkan
berkah sebagai tujuan inti, karena ia merupakan bentuk dari diterimanya
segala aktivitas manusia. Keberkahan ini menjadi bukti bahwa bisnis yang
dilakukan oleh pengusaha muslim telah mendapat ridha dari Allah swt
dan bernilai ibadah.
Dalam Islam menekankan empat sifat sekaligus yang harus diemban
oleh para pelaku usaha. Pertama, Unity (Keesaan Allah/Tauhid) adalah
suatu interaksi sosial yang bermuara pada Keesaan Allah atau Tauhid.
Artinya segala upaya yang dilakukan oleh manusia berpulang pada fungsi
tugas ibadah dan tanggungjawab kepada Allah SWT sebagai Pemberi
Amanah dan sebagai Pemilik Sumber Daya yang sesungguhnya.
Manusia sebagai pemegang amanah akan diminta
pertanggungjawabannya atas pengelolaam sumber daya yang ada dimuka
bumi kepada Allah swt sebagai Pemilik Sumber Daya;
Konsep tauhid merupakan dimensi vertikal Islam sekaligus horizontal
yang memadukan segi politik, sosial ekonomi kehidupan manusia menjadi
kebulatan yang homogen yang konsisten dari dalam dan luas sekaligus
terpadu dengan alam luas. 
Kedua, equilibrium, keseimbangan (Keadilan). Ajaran Islam berorientasi
pada terciptanya karakter manusia yang memiliki sikap dan prilaku yang
seimbang dan adil dalam konteks hubungan antara manusia dengan diri
sendiri, dengan orang lain (masyarakat) dan dengan lingkungan. 10
Keseimbangan ini sangat ditekankan oleh Allah dengan menyebut
umat Islam sebagai ummatan wasathan. Umatan wasathan adalah umat
yang memiliki kebersamaan, kedinamisan dalam gerak, arah dan tujuannya
serta memiliki aturan-aturan kolektif yang berfungsi sebagai penengah atau
pembenar. Dengan demikian keseimbangan, kebersamaan, kemodernan
merupakan prinsip etis mendasar yang harus diterapkan dalam aktivitas
maupun entitas bisnis.11

Ibid. hal. 20

Nawab Naqvi, Ethict and Economics : An Islamic Syntesis. Terj. Etika dan Ilmu
Ekonomi Suatu Sintesis Islami, Bandung, Mizan. 1993. hal. 50-51
10
Muslich, Etika Bisnis Islami : Landasan Filosofis, Normatif dan Substansi
Implementatif, Yogyakarta : Ekonisia, 2004. hal. 37
11
Muhammad Ismail, Op. Cit. hal. 13

116 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Rahmi Hidayati, Praktek Monopoli...

Dalam al Qur’an dijelaskan bahwa pembelanjaan harta benda harus


dilakukan dalam kebaikan atau jalan Allah dan tidak pada sesuatu
yang dapat membinasakan diri. Harus menyempurnakan takaran dan
timbangan dengan neraca yang benar. Dijelaskan juga bahwa cirri-ciri
orang yang mendapat kemuliaan dalam pandangan Allah adalah mereka
yang membelanjakan harta bendanya tidak secara berlebihan dan tidak
pula kikir, tidak melakukan kemusyrikan, tidak membunuh jiwa yang
diharamkan, tidak berzina, tidak memberikan kesaksian palsu, tidak tuli
dan tidak buta terhadap ayat-ayat Allah.
Agar keseimbangan ekonomi dapat terwujud maka harus terpenuhi
syarat-syarat berikut : (1) produksi, konsumsi dan distribusi harus
berhenti pada titik keseimbangan tertentu demi menghindari pemusatan
kekuasaan ekonomi dan bisnis dalam genggaman segelintir orang. (2)
setiap kebahagiaan individu harus mempunyai nilai yang sama dipandang
dari sudut sosial, karena manusia adalah makhluk teomorfis yang harus
memenuhi ketentuan keseimbangan nilai yang sama antara nilai social
marginal dan individual dalam masyarakat. (3) tidak mengakui hak milik
yang tak terbatas dan pasar bebas yang tak terkendali.(Nawab Naqvi, 1993:
99)
Ketiga, free will, (kehendak bebas) memberikan keleluasaan terhadap
manusia untuk menggunakan segala potensi sumber daya yang dimiliki,
termasuk kebebasan dalam melaksanakan aktivitas usaha. Tetapi kebebasan
yang dimiliki manusia dalam menggunakan potensi sumber daya pastinya
memiliki batas-batas tertentu yaitu koridor hukum, norma dan etika
(Manhaj al-Hayat) yang tertuang dalam al Qur’an dan sunnah rasul;
Berdasarkan aksioma kehendak bebas ini, dalam bisnis manusia
mempunyai kebebasan untuk membuat suatu perjanjian atau tidak,
melaksanakan aktivitas bisnis tertentu, berkreasi mengembangkan potensi
bisnis yang ada.12
Dalam mengembangkan kreasi terhadap pilihan-pilihan, ada dua
konsekuensi yang melekat. Di satu sisi ada niat dan konsekuensi buruk
yang dapat dilakukan dan diraih, tetapi di sisi lain ada niat dan konsekwensi
baik yang dapat dilakukan dan diraih. Konsekwensi baik dan buruk sebagai
bentuk resiko dan manfaat yang bakal diterimanya yang dalam Islam
berdampak pada pahala dan dosa.13
12
Rafik Isa Beekun, Islamic Business Ethict, Virginia. International Institute of Islamic
Thought, 1997. hal. 24
13
Muslich, Op. Cit. hal. 42

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 117


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

Keempat Responsibility, (Pertanggung jawaban). Segala kebebasan


dalam melakukan bisnis oleh manusia tidak lepas dari pertanggung jawaban
yang harus diberikan atas aktivitas yang dilakukan sesuai dengan apa yang
ada dalam al Qur’an “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah
diperbuatnya”. Kebebasan yang dimiliki manusia dalam menggunakan
potensi sumber daya pastinya memiliki batas-batas tertentu yaitu koridor
hukum, norma dan etika (Manhaj al-Hayat) yang tertuang dalam al Qur’an
dan sunnah rasul yang harus dipatuhi dan dijadikan referensi atau acuan
dan landasan dalam menggunakan potensi sumber daya yang dikuasai.
Pertanggungjawaban ini secara mendasar akan mengubah perhitungan
ekonomi dan bisnis karena segala sesuatunya harus mengacu pada
keadilan. Hal ini diimplementasikan minimal pada tiga hal, yaitu : (1)
dalam menghitung margin, keuntungan nilai upah harus dikaitkan dengan
upah minimum yang secara sosial dapat diterima oleh masyarakat. (2)
economic return bagi pemberi pinjaman modal harus dihitung berdasarkan
pengertian yang tegas bahwa besarnya tidak dapat diramalkan dengan
probabilitas nol dan tak dapat lebih dahulu ditetapkan (seperti sistem
bunga). (3) Islam melarang semua transaksi alegotoris yang dicontohkan
dengan istilah gharar.
Berangkat dari pemikiran tersebut, dalam konteks persaingan usaha
dikembangkan prinsip bersaing yang sehat dan benar. Prinsip persaingan
yang sehat dan benar menurut Islam, antara lain : memberikan yang terbaik
kepada konsumen; tidak berlaku curang dan kerjasama positif.14.
Prinsip memberikan yang terbaik kepada konsumen dapat berupa
memberikan kualitas produk terbaik, memberikan harga yang kompetitif
dibandingkan dengan yang lain dan memberikan pelayanan terbaik
kepada konsumen. Dalam konsep ini, segala aktivitas bisnis mulai dari
kegiatan produksi sampai kegiatan barang tiba di pasar, ditujukan untuk
merebut hati atau membangun image konsumen dengan memberikan
yang terbaik.
Keuntungan dalam bersaing untuk memberikan pelayanan terbaik
bagi konsumen dapat dilakukan dengan cara : bekerja atau beroperasi
dengan cara yang lebih efisien : membuat barang dan jasa lebih bermutu
dan memberikan pelayanan yang terbaik. Logikanya, jika kita beroperasi
lebih efisien dipastikan biaya dapat dicapai lebih rendah. Dengan biaya
rendah maka harga bisa ditekan. Sesuai dengan ajaran Islam, yang artinya
“berlomba-lombalah kamu sekalian dalam kebajikan” (QS al Baqarah
14
Ibid. hal. 108

118 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Rahmi Hidayati, Praktek Monopoli...

148 dan al Maidah : 48). Oleh karena itu dalam etika bisnis Islam tidak
diperbolehkan melakukan kompetisi yang tidak sehat yang akhirnya
menjurus pada praktek monopoli.
Seorang pelaku usaha yang memaksakan kehendak agar tidak ada yang
menjual suatu barang kecuali dia, maka dengan perbuatan yang dilakukan
tersebut mengandung dua kedzaliman. Pertama, ia melarang orang
berdagang seperti barang yang ia jual; kedua, ia menjual barang tersebut
sesuai kehendaknya dengan harga yang tinggi. Hal tersebut bertentangan
dengan ayat al Qur’an yang artinya : ‘…. Dan janganlah kamu memakan
harta sebagian dari yang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil”. (QS
al Baqarah : 188) Dan juga surat an-Nisa yang artinya : “Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu,
sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu”. (QS An-Nisa : 29).
Kalau diilustrasikan “dosa-dosa” yang dilakukan oleh pelaku praktek
monopoli, antara lain : dosa pertama, beberapa perusahaan berkonspirasi
membentuk sindikat kartel bisnis yang tidak diperbolehkan oleh agama
dan undang-undang; dosa kedua, sindikat perusahaan melakukan
pembelian saham perusahaan secara monopsoni (istilah monopoli dalam
pembelian) yang juga tidak diperbolehkan oleh agama dan undang-
undang; dosa ketiga, kalau misalnya produk yang dihasilkan perusahaan
sejenis dengan perusahaan pembeli yang berakibat semakin dominannya
pangsa pasar terhadap produk sejenis tersebut, akan berkembang menjadi
monopoli penjualan; dosa keempat, timbul jika monopoli terjadi terhadap
jenis produk yang terkait erat dengan policy pemerintah tentang proteksi
barang dalam negeri. Misalnya terkait dengan produksi otomotif. Dengan
adanya monopoli dan penyatuan produsen mobil, harga mobil akan
melambung tinggi dan berlipatganda jika dibandingkan dengan Negara
asal mobil diproduksi; dosa kelima, monopoli akan memberi akses terhadap
perekonomian secara makro maupun mikro. Dengan kekuatan ekonomi
yang sangat besar mereka dapat mempengaruhi jalannya pemerintahan dan
mengatur seluk beluk dan sendi pemerintahan sesuai dengan kepentingan
mereka.
Secara sepintas terlihat, pelarangan praktik monopoli sebagai
tindakan semena-mena terhadap hak pribadi seseorang yang bebas
dalam menggunakan hartanya. Hal tersebut sebagaimana jawaban dua
pelaku monopoli ketika dihadapkan pada Khalifah Umar bin Khattab

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 119


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

yang melarang pelaku monopoli : “Wahai pemimpin mengapa engkau


melarang kami sedang kami hanya melakukan perbuatan jual beli dengan
harta kami sendiri” ? Tetapi, justru penolakan terhadap praktik monopoli
disebabkan karena hak dan ruang berkarya orang lain menjadi sulit dan
terbatas. Padahal kekayaan merupakan amanah Allah dan tidak boleh
dimiliki secara mutlak, dan Islam memberi ruang gerak yang sangat luas
kepada kita untuk melakukan aktivitas ekonomi selama tidak melanggar
ketentuan syari’ah, etika bisnis Islam.
Berangkat dari pemikiran tersebut, inti dari praktek monopoli dalam
Islam sebenarnya adalah sebagai aktivitas usaha yang dipenuhi oleh
kebathilan. Kebathilan tersebut berupa : penindasan (eksploitasi) terhadap
rakyat kecil dengan cara menaikan harga di luar kewajaran dengan
menggunakan kekuatan yang dimilikinya ; bohong dan tidak jujur dalam
berusaha (bisnis). Misalnya : terhadap kualitas barang, harga barang,
perjanjian dan usaha, berlaku curang terhadap sesama pelaku usaha; dan
lain-lain.
Oleh karena itu praktek monopoli merupakan suatu tindakan yang
tidak hanya merugikan diri sendiri tetapi juga akan merusak sendi-sendi
kehidupan ekonomi umat dan tentunya bertentangan dengan prinsip-
prinsip syari’at. Karena setiap aturan Ilahiah senantiasa mengandung
kemaslahatan bagi umat baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Islam memandang bahwa berusaha atau bekerja mencari rizki
merupakan bagian integral dari ajaran Islam. Tentu mencari rezeki dalam
konteks ajaran Islam bukan untuk semata-mata memperkaya diri sendiri.
Karena Islam mengajarkan bahwa kekayaan itu mempunyai fungsi
sosial. Secara tegas al Qur’an melarang penumpukan harta dalam arti
penimbunan (hoarding), melarang mencari kekayaan dengan jalan tidak
benar, dan memerintahkan membelanjakan harta secara baik.

Penutup
Berangkat dari analisis diatas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Dalam etika bisnis Islam, persaingan dipandang sebagai hal yang positif
manakala dengan persaingan tersebut bisa diwujudkan kemashlahatan
bagi peningkatan kesejahteraan ekonomi umat. Tetapi apabila persaingan
tersebut menjurus kepada perilaku tidak etis (tidak sehat) atau praktek
monopoli maka mengkategorikannya sebagai perbuatan bathil, melanggar
prinsip ekonomi syari’ah yang bersumber dari al Qur’an dan as-Sunnah.

120 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam


Rahmi Hidayati, Praktek Monopoli...

Dalam bisnis Islam disamping harus dilakukan dengan cara professional


yang melibatkan ketelitian dan kecermatan dalam proses manajemen dan
administrasi agar terhidar dari kebohongan, riba dan praktek-praktek lain
yang dilarang oleh syari’ah

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Kelib, Hukum Ekonomi Islam, Semarang UNDIP, 2005
Ahmad Yani dan Gunawan, Anti Monopoli, Jakarta : Radja Grafindo
Persada, 2002
Hikmahanto Yuwono, Sekilas Tentang Hukum Persaingan dan UU No.5
tahun 1999” Jurnal Magister Hukum UII, vol1. No.1, Yogyakarta
, 2000.
Muslich, Etika Bisnis Islami : Landasan Filosofis, Normatif dan Substansi
Implementatif, Yogyakarta : Ekonisia, 2004
Muhammad Ismail Yusanto dan Muhammad Karebet Widjayakusuma,
Menggagas Bisnis Islami, Jakarta Gema Insani Press. 2002
Nawab Naqvi, Ethict and Economics : An Islamic Syntesis. Terj. Etika dan
Ilmu Ekonomi Suatu Sintesis Islami, Bandung, Mizan. 1993
Rafik Isa Beekun, Islamic Business Ethict, Virginia. International Institute
of Islamic Thought, 1997
Sri Redjeki Hartono, Hukum Persaingan, Semarang, UNDIP, 2005
Shabri A. Madjid, Krisis Ekonomi Dalam Perspektif Islam” Makalah
Penelusuran Internet
Undang-Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam 121


Volume 1, Nomor 1, Juni 2009

122 Nalar Fiqh Jurnal Hukum Islam

You might also like