Professional Documents
Culture Documents
NALAR FIQH
Jurnal Hukum Islam
Penanggung Jawab:
Muhamad Hasbi Umar
Dewan Redaksi
Ketua:
Illiyanti
Penyunting Pelaksana:
Sucipto
Anggota:
Tata Usaha:
Alamat Redaksi:
Fakultas Syari’ah Insitut Agama Islam Negeri
Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Jl. Jambi-muara Bulian Simp. Sungai Duren Mendalo Muaro Jambi
Telf/fak. 0741 5802021 Email: Nalarfiqih@yahoo.com
DAFTAR ISI
MASNIDAR
ABSTRAK
Today, the development of financial investments (financial
investment) all emerging Sharia in the world, particularly in
countries with majority Muslim population, including in Indonesia.
Observing the development of Islamic banking industry in
Indonesia is in the last years is so exciting, it also brings a positive
impact on the development of the investment system in accordance
with basic principles of Sharia in the capital markets sector in
Indonesia or better known as the Islamic capital market. Through
a review of the literature, this paper will further highlight the
application of Shariah principles in Islamic investment activities
in Indonesia and the capital market development.
Pendahuluan
Di tengah pertumbuhan kegiatan ekonomi Syariah di Indonesia
yang semakin marak sejak berdirinya Bank Muamalat Indonesia tahun
1992, kegiatan investasi Syariah di pasar modal Indonesia justru belum
mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Walaupun kegiatan investasi
Syariah telah mulai dan diperkenalkan sejak pertengahan tahun 1997
melalui instrumen reksa dana Syariah dan sejumlah fatwa DSN-MUI
berkaitan dengan kegiatan investasi Syariah di pasar modal juga telah
diterbitkan, hingga saat ini pihak-pihak yang melakukan kegiatan investasi
Syariah di pasar modal masih tergolong minim.
Hasil studi Tim Penelitian Investasi Syariah pada Badan Pengawas
Pasar Modal Departemen Keuangan RI tahun 2004 mensinyalir bahwa
kendala utama lambatnya perkembangan investasi Syariah di pasar modal
Indonesia tersebut adalah masih belum meratanya pemahaman dan atau
pengetahuan masyarakat Indonesia tentang investasi di pasar modal yang
berbasis Syariah. Selain itu ada juga anggapan bahwa untuk melakukan
investasi di pasar modal Syariah dibutuhkan biaya yang lebih mahal apabila
dibandingkan dengan investasi pada sektor keuangan lainnya.
Disamping hal di atas, beberapa Emiten/Perusahaan Publik juga
menyatakan bahwa kewajiban penggunaan dana yang dibatasi hanya
untuk kegiatan yang sesuai dengan prinsip Syariah merupakan hal yang
menghambat perkembangan investasi Syariah. Sementara dari pihak
Penjamin Emisi Efek (PEE) terdapat kendala dalam hal tingkat kemampuan
pengembangan kegiatan investasi Syariah di pasar modal. Sedangkan pada
sisi permintaan (demand) dari pihak Manajer Investasi mengalami kendala
dengan ketersediaan efek yang terbatas untuk dijadikan portofolio.
Sementara itu, dalam dunia usaha, investasi merupakan unsur penting
yang tidak bisa dinafikan, termasuk dalam perekonomian Islam. Investasi
sangat berperan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat,
karena dana tidaklah boleh mengendap dan harus terus berputar. Setiap
orang yang memiliki kelebihan dana harus diinvestasikan agar menjadi
produktif, sehingga dapat memberikan keseimbangan ekonomi di
masyarakat dan kesejahteraan dapat merata. Jika dana tersebut mengendap,
maka dapat menimbulkan efek perekonomian yang tidak sehat.
Oleh karena itu, meskipun hingga tahun 2004 iklim investasi Syariah
di Indonesia mengalami cukup banyak hambatan, namun para pelaku
dan pemikir ekonomi Islam di Indonesia terus mengupayakan untuk
mendorong investasi Syariah, termasuk investasi Syariah di pasar modal.
Tulisan ini akan menyoroti permasalahan seputar pandangan Islam
tentang investasi, khususnya mengenai penerapan prinsip Syariah dalam
kegiatan investasi Syariah di pasar modal Indonesia dan perkembangan
investasi Syariah di pasar modal Indonesia pada akhir-akhir ini.
Iggi H. Achsien, Investasi Syaiah di Pasar Modal, Jakarta: Graedia, 2003, h. 49 fd.
Ibid.
Anonim, Kebijakan Umum Pasar Modal Syariah, www.investasiSyariah.com
Istilah-istilah seputar Pasar Modal merujuk H. Karnaen, Dok Investasi Syariah (ppt), Bahan
Kuliah PPs IAIN STS Jambi Tahun 2009
Ibid.
adalah salah satu bentuk riba, maka bank umum konvensional tidak
bisa menjadi Emiten. Tetapi mengingat kondisi riil dari kegiatan
usaha di Indonesia, maka perusahaan non lembaga keuangan yang
memiliki pendapatan bunga dalam prosentase yang marjinal terhadap
pendapatan usaha masih dapat menjadi Emiten.
3. Halal Cara Perolehan (prinsip keterbukaan). Emiten harus menjalankan
kegiatan usaha dengan cara yang baik, memenuhi prinsip keterbukaan.
Dalam penawaran perdana, Emiten harus menyatakan dengan jelas
pada kegiatan usaha spesifik yang mana hasil emisi akan digunakan.
Kemudian Emiten harus memberikan informasi yang jelas dan tidak
menyesatkan –baik dalam bentuk prospektus ataupun bentuk lainnya-
mengenai fakta material termasuk peluang hasil dan kemungkinan
risiko yang ada, sehingga Investor dapat mengadakan analisis dan
menentukan apakah peluang hasil sesuai dengan harapannya dan
kemungkinan risiko masih dalam batas kemampuannya untuk
mengatasi.
4. Halal Cara Pemakaian (Manajemen Usaha). Emiten harus mempunyai
manajemen yang berperilaku Islami, menghormati hak azazi manusia,
menjaga lingkungan hidup, melaksanakan good corporate governance,
serta tidak spekulatif dan memegang teguh prinsip kehati-hatian.
Emiten dilarang melakukan tindakan yang mengganggu mekanisme
pasar dalam memasarkan produknya, baik gangguan dalam penawaran
(ikhtikar) maupun dalam permintaan (najasy). Emiten juga harus
mencegah adanya benturan antara kepentingan Emiten dengan
kepentingan pribadi pengurus dan pemegang saham mayoritas.
Emiten juga dilarang mengambil risiko yang berlebihan, termasuk
risiko mengambil pembiayaan eksternal terhadap modal maupun rasio
piutang terhadap pendapatan, yang berlebihan dibandingkan dengan
kelayakan pada industri.
5. Halal Cara Pemakaian (Hubungan dengan Investor). Emiten harus
mempunyai pembukuan yang jelas –dan sebaiknya terpisah- mengenai
kegiatan usaha yang dibiayai, sehingga dapat dinyatakan dengan
transparan dan adil dari manfaat atau hasil usaha yang diperoleh
pada kegiatan usaha yang dibiayai. Emiten juga tidak boleh terlibat
dalam kegiatan yang dapat mengganggu mekanisme pembentukan
harga dari efek yang diterbitkannya, baik dari segi penawaran maupun
permintaan. Juga dilarang membuat gangguan pada pengambilan
keputusan para pemegang efek dalam rapat umum pemegang efek.
10
Anonim, Kebijakan Umum Pasar Modal Syariah, www.investasiSyariah.com
16,000.00
14,000.00
12,000.00
10,000.00
(Rp. miliar)
8,000.00
6,000.00
4,000.00
2,000.00
0.00
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
11
Agus Salim, CFA, Invstasi Syariah: Tren Produk, Tantangan dan Peluang, Jakarta: Paramadina,
2009
12
Adiwarman A. Karim, Tren Produk Keuangan dan Investasi Syariah di Indonesia, Jakarta:
Paramadina, 2009.
Tantangan - Tantangan
Di tengah perkembangan tersebut, pengembangan investasi Syariah
pada pasar modal di Indonesia mengalami problematika sebagai berikut:
1. Arus uang dan modal sebenarnya diperlukan untuk transaksi
perdagangan internasional dan kebutuhan modal untuk investasi
13
Dewan Syariah Nasional, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Jakarta (Bank
Indonesia-Dewan Syariah Nasional: 2003, Edisi 2) h 263
Penutup
Investasi merupakan instrumen perekonomian yang amat vital bagi
kesejahteraan suatu bangsa dan kemajuannya. Oleh karena itu, kegiatan
investasi tak terhindarkan dalam semua sistem perekonomian, termasuk
Islam. Terkait dengan itu, ekonom Islam telah mengembangkan berbagai
produk investasi yang diterapkan sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah,
agar dapat dipraktikkan umat Islam dalam kegiatan pasar modal, tanpa
harus melanggar ajaran agamanya. Keabsahan investasi Syariah itu pun
sudah difatwakan Dewan Syariah Nasional MUI pada tahun 2003.
Terhitung sejak terbitnya fatwa tersebut, mengikuti krisis global
yang melanda pasar modal dunia, kegiatan investasi Syariah di Indonesia
berkembang cukup pesat. Namun demikian, berbagai tantangan untuk
pengembangannya di masa depan tetap ada menyangkut sistem dan
mekanisme produknya dalam konteks perekonomian global. Oleh karena
itu, masih diperlukan upaya-upaya lanjutan untuk memperkuat regulasinya
sesuai dengan prinsip Syariah, tanpa terisolasi dari tren perkembangan
ekonomi dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Achsien, Iggi H., Investasi Syaiah di Pasar Modal, Jakarta: Gramedia, 2003
Anonim, Kebijakan Umum Pasar Modal Syariah, www.investasiSyariah.
com
Dewan Syariah Nasional, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional,
Jakarta: Bank Indonesia-Dewan Syariah Nasional: 2003, Edisi 2
Jusmaliani, dkk., Investasi Syari’ah; Implementasi Konsep pada Kenyataan
Empirik, Jakarta: Kreasi Wacana, 2008
Karim, Adiwarman A., Tren Produk Keuangan dan Investasi Syariah di
Indonesia, Jakarta: Paramadina, 2009
15
Mulya E. Siregar, Tren Produk Perbankan Syariah, Jakarta: Paramadina, 2009
Abstrak :
Islamic financial institutions like Islamic banking, the financial
intermediaries in money markets in a way different from conventional
banks, because he had more features PLS (profit and loss sharing) in
trade and investment financing. Intermediaries facilitate peedagangan
goods and services by acting as intermediaries for the principals of
financial transactions. Financial intermediaries can be equated with
a company that mediates between borrowers and lenders.
Pendahuluan
Eksistensi lembaga keuangan khususnya sektor perbankan menempati
posisi sangat strategis dalam menjembatani kebutuhan modal kerja dan
investasi di sektor riil dengan pemilik dana (agent of economic development).
Dengan demikian, fungsi utama sektor perbankan dalam infrastruktur
kebijakan makro ekonomi memang diarahkan dalam konteks how to make
money effective and efficient to increase economic value.
Perkembangan sektor perbankan di Indonesia tidak terlepas dari
penerapan strategi pembangunan ekonomi Indonesia yang dikemas dalam
formulasi Trilogi Pembangunan, yang meliputi Pertumbuhan Ekonomi,
Stabilitas nasional dan Pemerataan. Doktrin trilogi tersebut menjadi
acuan utama diluncurkannya berbagai kebijakan pemerintah, baik di
bidang ekonomi maupun politik. Peluncuran kebijakan deregulasi 10
Oktober 1988 (Pakto 88) menjadi momentum besar bagi perkembangan
sektor perbankan. Sedangkan di sektor riil, berbagai kebijakan deregulasi
investasi seperti pemangkasan perizinan, kemudahan dan intensif, batas
waktu investasi dan penurunan daftar negatif investasi menjadi landasan
pertumbuhan industri-industri baru.
Muhammad, Bank Syari’ah Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman,
Yogyakarta, Penerbit Ekonosia, 2004, h. 65.
A. Karakteristik Mudharabah
Bank Islam pada hakekatnya adalah mitra bagi para deposannya
kecuali dalam hal rekening lancar dan layanan-layanan bank yang tidak
didanai, disatu sisi dan juga mitra bagi para nasabahnya, disisi lain sebagai
pengelola dana para deposan. Bank menghimpun dana dari masyarakat
melalui kontrak mudharabah yang dapat dibatasi oleh waktu, atau tujuan
dan dengan demikian menjadi mitra kelola selama berlakunya perjanjian.
Begitu bank Islam menjalin kontrak mudharabah dengan deposan,
ia akan menggunakan dana-dana itu melalui berbagai macam perjanjian
yang dibolehkan syari’ah : mudharabah, musyarakah, murabahah, ijarah
dan sebagainya. Dalam perjanjian mudharabah berlaku sayarat-syarat
berikut 10:
1. Bank menyediakan seluruh modal yang diperluakn untuk menjalankan
suatu proyek.
2. Pengusaha hanya menyediakan tenaga dan usaha. Kekayaannya
tidak dihitung sama sekali sehingga ia tak dapat memberikan agunan
apapun.
3. Perjanjian antara bank dan pengusaha merupakan perjanjian ekslusif,
yakni pengusaha tidak dibolehkan terlibat dalam aktivitas lainnya.
4. Kompensasi yang dibayarkan kepada pengusaha adalah bagian dari
laba bersih (net profit0 proyek yang dijalankan. Rasio pembagian ini
telah ditetapkan sebelumnya.
5. Kalau terjadi hasil negatif (kerugian) bank kehilangan sebagian atau
seluruh modalnya dan pengusaha tidak menerima imbalan apa pun
atas kerja dan usahanya.
6. Segera setelah perjanjian disepakati kedua belah pihak, bank tidak bisa
memonitor atau memaksa pengusaha lewat perangkat hukum untuk
melakukan tindakan lain apa pun.
10
Mervyn and Latifah, Log. Cit. h. 107.
r = P1 - P0
Π = φ E ( R – C ) = φ E ( PL )
B. Persoalan Insentif
Karakteristik kontrak mudharabah vis-à-vis kontrak pinjaman
berbunga menciptakan atau setidaknya berpotensi menimbulkan tiga
problem insentif pada kedua sisi neraca dan dapat diinterpretasikan dari
sisi problem principal-agent (pemodal-agen/wakil) sebagai berikut 12:
1. Tidak adanya kemestian agunan semakin memperburuk problem
adverse selection. Menurut teori perbankan Islam, dana yang disediakan
berdasarkan sistem bagi hasil harus diberikan tanpa agunan apapun.
11
Karsten, I, Islam dan Intermediasi Keuangan, IMF Staff Papers, 1982, h. 29.
12
Mervyn and Latifah, Log. Cit. h. 109.
Kontrak investasi tanpa agunan seperti ini tentu saja beresiko tinggi.
Untuk mengatasi problem adverse selection dan diskriminasi antara
proyek beresiko tinggi dan proyek beresiko rendah, ketiadaan agunan
mengharuskan sebuah bank Islam untuk menjatah persediaan dana
bagi permodalan semacam ini.
2. Kontrak mudharabah menitikberatkan pada masalah moral hazard,
karena bank tak bisa memaksa pengusaha untuk mengambil tindakan
yang sesuai (atau tingkat usaha yang dibutuhkan). Menurut kontrak
mudharabah, pengusaha akan mendapatkan kompensasi berupa
bagian (saham) yang telah ditetapkan sebelumnya.
3. Karena pengeluaran perusahaan seluruhnya ditanggung oleh bank,
kontrak ini mendorong pengusaha untuk mengeluarkan biaya lebih
banyak dari yang dibutuhkan guna memaksimalkan laba. Kontrak
ini mendorong pengusaha untuk meningkatkan konsumsi sehingga
mendapatkan selisih keuntungan meski tidak berupa uang. Pengusaha
melakukan itu karena sebagian dari kenaikan konsumsi ditanggung oleh
bank, sedangkan keuntungan seluruhnya dihabiskan oleh pengusaha.
Pengusaha punya peluang untuk meningkatkan konsumsi sambil
bekerja dan mendapatkan hasil tambahan yang menguntungkannya,
seperti mengurangi atau menambah pegawai, memperluas ruang
kantor, memberikan layanan eksekutif dan lain sebagainya.
Banyak pengeluaran yang sama muncul di sisi liabilitas (utang), tetapi
dalam kasus ini bank merupakan wakil (mudharib) dan deposan adalah
pemilik modal (prinsipal). Jika bank mencetak laba, deposan pemegang
saham berhka menerima sebagiannya. Dilain pihak, jika bank merugi,
deposan pun mesti sama-sama menanggung kerugian itu, dan menerima
pengembalian negatif. Jadi, dari perspektif deposan, bertransaksi dengan
bank Islam dalam banyak hal sama dengan berinvestasi dalam kontrak
dana-bersama (mutual fund) atau perwakilan investasi (investment trust).
13
Diamond, D., dan P. Dybvig, Bank Runs, Asuransi Deposito dan Likuiditas, Journal
of Political Economy, 1983, h. 91.
14
Khan, M.S., dan A. Mirakhor, Theoretical Studies in Islamic Banking and Finance,
Houston: Institute for Research and Islamic Studies, 1987, dan Khan, WM., Toward and
Interest-Free Islamic Economic System, Leicester: The Islamic Foundation. And Iqbal,
Sistem Keuangan Islam : Finance and Development, 1997, h. 34.
pemegang saham yang tidak punya suara hanya punya sedikit “jalan keluar”
dan “tidak punya suara”.17
Yang jelas, para deposan bank Islam punya lebih banyak insentif untuk
memonitor kinerja bank dibandingkan para deposan bank konvensional.
Dan yang lebih penting, dalam lingkup perbankan Islam adalah transparansi
informasi.
19
Khan, M.A., Rural Development Throught Islamic Banks,,Leceister: The Islamic
Foundation, 1994.
Modigliani, F. dan M.H. Miller, Biaya Modal, Dana Korporasi dan Teori Investasi,
20
F. Kesimpulan
Berdasarkan keempat isu di atas, yaitu biaya intermediasi, sikap dan
perilaku deposan, biaya monitoring dalam kontrak dan peran ajaran
agama dalam mengurangi problem insentif, merupakan hal yang sentral
bagi keberhasilan pembiayaan Islam yang khas.
Dalam ketiadaan mekanisme seperti itu, sebuah bank Islam mungkin
membatasi penerapan kontrak mudharabah dan kontrak musyarakah dan
sebagai gantinya menyediakan instrumen pembiayaan lain yang tidak
begitu kental diwarnai masalah insentif. Instrumen keuangan lain yang
dapat digunakan bank Islam seperti ; mark-up (murabahah), leasing (sewa),
dan lease-purchase (sewa beli atau ijarah, ijarah wa iqtina’).
DAFTAR PUSTAKA
Diamond, D., dan P. Dybvig, Bank Runs, Asuransi Deposito dan Likuiditas,
Journal of Political Economy, 1983.
Diamond, D, Intermediasi Keuangan dan Monitoring Yang Didelegasikan,
Review of Economic Studies, 1984 Diamond, D, Intermediasi
Keuangan dan Monitoring Yang Didelegasikan, Review of Economic
Studies, 1984
Gale, D dan M. Hellwig, Perjanjian Utang dengan Insentif yang Kompatibel;
Problem Suatu Periode, Review of Economic Studies, 1985
Haque, Nadeem UI dan A. Mirakhor, Perjanjian Bagi Hasil yang Optimal
dan Investasi dalam Perekonomian Islam Bebas Bunga, IMF
Working Paper, No. 12, Washington DC: International Monetary
Fund.
Hirschman, A.O., Exit, Voice and Loyalty, Cambridge, Mass: Harvard
University Press, 1970.
Khan, M.S.,Perbankan Bebas Bunga Islami: Sebuah Analisis Teoritis, IMF
Staff Papers, 1986.
Khan, M.S., dan A. Mirakhor, Theoretical Studies in Islamic Banking and
Finance, Houston: Institute for Research and Islamic Studies, 1987,
dan Khan, WM., Toward and Interest-Free Islamic Economic System,
Leicester: The Islamic Foundation. And Iqbal, Sistem Keuangan
Islam : Finance and Development, 1997.
Khan, M.A, Rural Development Throght Islamic Banks, Leicester, The
Islamic Foundation, 1994.
juga adalah makhluk biologis, karena itu juga tunduk pada hukum-hukum
biologis. Guna melestarikan manusia
keturunannya mempunyai
alat
reproduksi dalam dirinya yang ditandai oleh kecendrungan berupa seks
dan berkembang biak. Sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an surat Ali
Imran : 14 sebagai berikut :
Artinya: “Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha
Perkasa atas segala sesuatu”.
Manusia juga makhluk sosial yang didorong oleh watak aslinya untuk
bergaul dengan manusia lainnya. Keinginan alamiah untuk menjalin
hubungan permanent antara pria dan wanita, ketergantungan anak
manusia akan perlindungan orang tuanya, keinginan manusia untuk
membela kepentingan keturunannya dan mempertahankan kasih sayang
antara saudara sedarah, kesemuanya itu merupakan kecenderungan alami
yang mengarahkan mereka dalam membangun kehidupan sosialnya.
Sadono Sukirno, Mikro Ekonomi Teori Pengantar, (Jakarta, PT.RajaGrafindo
Persada), h.54
Tati Suhartati Joesron,DR, Teori Ekonomi Mikro , ( Jakarta, Salemba Empat,2003),
h.45
Ci
Ket : Terdapat hubungan positif antara pencapaian tujuan
falah dengan kebutuhan konsumsiCiibadah. Semakin tinggi tujuan
F falah yang ingin dicapai semakin dituntut untuk memperbesar
konsumsi kebutuhan ibadah.
F
CW
CW
Ket : Terdapat hubungan negative antara pencapaian tujuan
falah dengan kebutuhan konsumsi duniawi. Semakin tinggi tujuan
falah yang ingin dicapai, semakin dituntut untuk mengurangi
konsumsi kebutuhan duniawi. 1
Seorang muslim yang rasional, yaitu orang yang
beriman,semestinya akan mengalokasikan anggaran lebih banyak 1
dalam konsumsi untuk ibadah dibandingkan dengan konsumsi
duniawi karena tujuan maksimasi falah. Dengan pencapaian
tujuan falah yang tinggi maka akan memperoleh utilitas yang
lebih bernilai dibandingkan dengan utilitas dunia. Semakain
Ci
Ci
CW
CW
Ket : Semakin rasional (beriman) seorang muslim maka budget
linenya akan semakin condong vertikan (inelastis)
Ci
Ci
CW
CW
Ket : Semakin tidak rasional (kufur) seorang muslim maka
budget linenya akan semakin condong harisontal (elastis).
2. Konsisten dalam Prioritas Pemenuhannya.
Seorang muslim harus mengalokasikan anggarannya secara
urut sesuai dengann tingkatan prioritasnya secara konsisten.
Kebutuhan pada tingkat daruriyah harus dipenuhi terlebih dahulu,
baru kemudian hajiyah dan terakhir tahsiniyah. Konsumsi setelah
prioritas-prioritas ini dapat diperkenankan sepanjang tidak
dilarang oleh syariah Islam. Prioritas ini semestinya diterapkan
5. Prinsip Moralitas.
Pada akhirnya konsumsi seorang muslim secara keseluruhan
harus dibingkai oleh moralitas yang dikandung dalam Islam
sehingga tidak semata – mata memenuhi segala kebutuhan.
Menurut Yusuf Qardhawi, ada beberaa norma dasar yang
menjadi landasan dalam berprilaku konsumsi seorang muslim
antara lain :
1. Membelanjakan harta dalam kebaikan dan menjauhi sifat
kikir.
Harta diberikan Allah SWT kepada manusia bukan untuk
disimpan , ditimbun atau sekedar dihitung-hitung tetapi digunakan
bagi kemaslahatan manusia sendiri serta sarana beribadah kepada
Allah. Konsekuensinya, penimbunan harta dilarang keras oleh
Islam dan memanfaatkannya adalah diwajibkan.
2. Tidak melakukan kemubadziran.
Seorang muslim senantiasa membelanjakan hartanya untuk
kebutuhan-kebutuhan yang bermanfaat dan tidak berlebihan
(boros/israf). Sebagaimana seorang muslim tidak boleh
memperoleh harta haram, ia juga tidak akan membelanjakannya
untuk hal yang haram. Beberapa sikap yang harus diperhatikan
adalah :
a. Menjauhi berutang.
Setiap muslim diperintahkan untuk menyeimbangkan pendapatan
dengan pengeluarannya. Jadi sberutang sangat tidak dianjurkan,
kecuali untuk keadaan yang sangat terpaksa.
b. Menjaga asset yang mapan dan pokok.
Tidak sepatutnya seorang muslim memperbanyak belanjanya
dengan cara menjual asset-aset yang mapan dan pokok, misalnya
tempat tinggal. Nabi mengingatkan, jika terpaksa menjual asset
maka hasilnya hendaknya digunakan untuk membeli asset lain
agar berkahnya tetap terjaga.
c. Tidak hidup mewah dan boros.
Kemewahan dan pemborosan yaitu menenggelamkan diri dalam
kenikmatan dan bermegah-megahangat ditentang oleh ajaran
Islam. Sikap ini selain akan merusak pribadi-pribadi manusia juga
Daftar Pustaka
Hendri Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, Yogyakarta : 2003
Karim, Adiwarman, Ekonomi Mikro Islam, 2003
J.Setiadi, Nugroho, Perilaku Konsumen, Jakarta : 2005
Muhammad, Ekonimi Mikro dalam Perspektif Islam, Yogyakarta : 2004
Suprayitno, Eko, Ekonomi Islam :Pendekatan EKonomi Makro Islam dan
Konvensional, Yogyakarta : 2005
Sukirno, Sadono, Mikro Ekonomi Teori Pengantar, Jakarta : 1994
Syahruddin, Teori Ekonomi Mikro, Jakarta : 1989
Suhartati, Tati, Teori Ekonomi Mikro, Jakarta 2003
Pendahuluan
Ketika Francis Fukuyama Analisis Fukuyama tidak hanya terhenti
pada Kapitalisme Karena pembacaan beliaupun berdasarkan kemunculan
Karl Marx (Menggusung Marxisme kemudian menjadi bibit Sosialisme)
yang membuat sebuah ”skenario” ekonomi masa depan dengan sebuah
ketegangan dialektis yang terjadi antar kelas sosial. Dan ini selalu
berkembang menuju tahap kesempurnaan seperti perkembangan dari
masayarakat purba menjadi masyarakat feodal yang pada gilirannya
bermuara pada masyarakat sosialis/komunis.
Lalu bagaimana dengan Ekonomi Islam setelah fase kemunduran pasca
runtuhnya Khilafah?. Bagaimana sejarah kebangkitannya?. Benarkah islam
sebagai agama memunculkan tokoh pemikiran dalam bidang ekonomi?.
Karena dalam beberapa sejarah ekonomi modern tokoh islam tidak
mempunyai kontribusi pemikiran dalam bidang ekonomi. Tulisan ini akan
memuat pemetaan ulang sejarah pemikiran ekonomi yang selama ini
cenderung menapikan kontribusi tokoh-tokoh Islam klasik.
Pada bagian ini, saya tidak akan berdiskusi terlalu lebar tentang
persoalan klasik yang simplistis meskipun cukup metodologis di tengah
perkembangan ekonomi Islam di Indonesia, Persolan tersebut berputar
sekitar “apakah ekonomi islam itu ilmu yang berbeda dengan ekonomi
Francis Fukuyama adalah seorang akademisi, komentator politik dan penasehat
pemerintah Amerika Serikat yang menggemparkan politik Internasional. Pada awal
tahun 1990-an beliau mendeklarasikan telah berakhirnya sejarah. Dengan tegas beliau
menyatakan bahwa runtuhnya Unisoviet dan ambruknya tembok Berlin adalah dua
diantara sekian banyak pertanda signifikansi telah terjadinya perubahan dramatis pasca
perang dingin yang mempresentasikan secara akuratkemenangan Kapitalisme dan
demokrasi liberaldiseluruh dunia. Dengan mendasarkan argument-argumennya pada
tulisan Kant, Hegel,dan pembacaan kritis terhadap Marx, beliau meramalkan bahwa
di penghujung sejarahdan masa depan tidaka akan pernah lagi tesedia ruang bagi
pertarungan antar ideology besar.
Prancis Fukuyama, of.Cit.Bandingkan dengan Anthony Giddens, Kapitalisme dan
teori sosial Modern: suatu Analisis karya tulis Marx, Durkheim dan Max Weber Jogjakarta:
UI Press, 1986
Lihat, Nejatullah Siddiqie, Some Aspects of The Islamic Economy, Deli: Markaz
Maktaba Islami,1992
Menurut Akram Khan, Islamic Economics aims the study of the human
falah (well being) achieaved by organizing the resources of the earth on
the basic of cooperation and participation. Atau dapat dipahami sebagai
ilmu yang bertujuan untuk melakukan kajian tentang kebahagiaan hidup
manusia yang dicapai dengan mengorganisasikan sumberdaya alam atas
dasar bekerjasama dan partisipasi. Defenisi Akram khan ini terkesan lebih
menekankan dimensi normative (kebahagiaan hidup dunia dan akherat)
serta dimensi positif (mengorganisasi sumberdaya alam).
Sementara menurut Muhammad Abdul Mannan, Ekonomi Islam
merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari maslah-masalah ekonomi
rakyat yang berazaskan norma dan nilai-nilai Islam.
Defenisi yang dikemukakan MA.Mannan tidak jauh berbeda dengan
defenisi yang dikemukan Metwally yang menitik beratkan pada usaha
dalam mempelajari maslah-masalah masyarakat Islam dalam memenuhi
kebutuhannya. Metwally mengatakan: Ekonomi islam adalah ilmu yang
mempelajari perilaku muslim yang beriman dalam suatu masyarakat islam
yang mengikuti al-Qur’an Hadits, Ijma’ dan Qiyas.
Sementara Khursid Ahmad, mendefenisikan ekonomi Islam sebagai
sebuah usaha sistematis untuk memahami masalah-masalah ekonomi dan
tingkah laku manusia secara rasional dalam perspektif Islam.
Pada bagian lain Sayyed Nawab Haidar Naqvi menyebutkan Islamic
Economics is The representative Muslim’s behavior in a typical Muslim
Society. Yaitu representasi perilaku muslim dalam suatu masyarakat
muslim tertentu.
Pada bagian lain Louis Cantori dalam Chapra (2001) mengatakan,
Ekonomi Islam pada hakekatnya adalah upaya untuk memformulasikan
suatu ilmu ekonomi yang berorientasi kepada manusia dan masyarakat
yang tidak mengakui individualisme yang berlebih-lebihan sebagaimana
dalam ekonomi klasik
Pada konteks yang sama dalam hal ini Chapra, melihat ekonomi islam
bukan hanya sekedar tanggapan pemikir, tapi merupakan cabang ilmu
MA.Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam,ed. Terj. Yogyakarta:Dana Bakti
Wakaf,1993
Dawam raharjo, Of.Cit hal. 6
Sayyed Nawab Haedar Naqvi, Islam, Economics, and Society, NewYork: Keagan Pau
lInternational,1994,p.18
Lihat Umar Chapra, Masa Depan Ekonomi, sebuah tinjauan Islam, Jakarta: Gema
Insani Press, 2001
Lihat, Umar Chapra, Islam dan Pembangunan Ekonomi, Malaysia: IIT,1996
utama pemikiran ilmiah yang dianggap paling awal dan paling penting
dalam kritik metodologi yang berkembang di eropa setelah kemerosotan
peradaban Yunani-Romawi. Bahkan dalam padangannya, sejarah ekonomi
modern telah mengalami lompatan besar (great gap) selama lebih dari 500
tahun sebelum masa-masa scolastik barat, sehingga mengalami kisaran
kosong yang menghilangkan peran dan kontribusi tokoh dan intelektual
didalamnya.10
Tidak hanya sendirian, selain schumpheter juga banyak sarjana barat
lain yang ikut-ikutan melestarikan tesis great gap tersebut, diantaranya
adalah, Eric Roll dalam a History of Economic Thought (1956) yang
merefleksikan sepenuhnya tesis Schumpheter, Spengler dan Allen dalam
Essays in conomic Though : Aristotle to Marshall (1960) yang mengasumsikan
The Dark age melanda seluruh dunia, sepuluh tahun sesudahnya muncul
kembali Hendry Spiegel dalam The Growth of Economic thought (1971)
yang sama sekali tidak menyinggung kontribusi khazanah intlektual islam
abad pertengahan, Robert Eklund dan Robert Hebert dalam A History of
Econ omic Theory and Method (1975) yang melakukan survey menyeluruh
sejarah ekonomi, namun tidak menyentuh sama sekali pemikiran ekonomi
Arab (islam). Pada sepuluh tahun berikutnya kembali muncul penerus
generasinya, Harry landreth dan david Colander dalam The History of Eco
nomic Theory (1989) yang menganalisis sejarah ekonomi sejak abad ke XII
namun juga tidak mereferensikan kaitan arab dengan latin.11
Namun semua tudingan dan pemutar balikan fakta tersebut secara
perlahan mentah dengan sendirinya seiring dengan menjamurnya karya
tulis dan kajian ilmiah tentang ekonomi Islam dari berbagai aspeknya
yang terus mengalami proses penyempurnaan.12 Pada beberapa bagian
misalnya juga ditemukan tokoh sejarawan yang memberikan apresiasi
tinggi terhadap sumbangan pemikiran Islam dalam kajian ekonomi. Di
antara tokoh tersebut seperti: Butler, Capelston, Harris, Draper, Rescer,
Watt, yang semua tokoh ini menolak tesis Great Gap model Schumpheter
yang dipertanyakan tersebut.13
10
Informasi lebih jauh dalam analisis ini dapt dibaca; Arif Hutoro, Pengantar Analisis
Kesejarahan dan Metodologi, Malang: BPFE UNIBRAW
11
Lihat, Arif Hutoro, Ibid, 28-29
12
Kritikan terhadap tesis Schumpheter dan P.Samuelson ini dapat dibaca, M.Nazori
Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf dan Relevansinya dengan Masyarakat kekinian,
Jogjakarta: Islamic Banking School, 2003. Bandingkan, Arif Hutoro, Pengantar Analisis
Kesejarahan dan Metodologi, Malang: BPFE UNIBRAW
13
Of.Cit, 28-29
14
Arif Hutoro, Ibid, 29
15
Husin sawit, Metodologi Ekonomi Islam Perlukah Berbeda..? Makalah Seminar
Nasional Metodologi Ekonomi islam, Jogjakarta ,PPEI UII Jogjakarta,1997
16
Husin Sawit, Ibid
17
Namun dalam catatan Sri Edi Swasono jeritan Bung Hatta ini tetap diabaikan dan
pemerintah Indonesia tetap tunduk pada mainstream neo-klasik barat. Bahkan menurutnya
untuk mampu mempercayai pandangan Hatta ini sebagaian ekonom progresif Indonesia
harus menuggu dulu penegasan-penegasan dari sen, Heil Broner, Etzioni, Soros, Thurow,
Stiglitz, susan George dan mungkin masih banyak lagi yang lainnya.
18
Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi , Jakarta: raja Grapindo Persada,
1995,h.11
sejarah atau evolusi praktek dan pertimbangan etis. Gagasan plato tentang
ekonomi dalam hal ini meskipun secara kebetulan, namun dapat digaris
bawahi bahwa beliau berbicara tentag keadilan dan tatanan negara ideal.
Sehingga tidaklah berlebihan kalau belakangan ada juga yang menobatkan
ide dan teori Division of labour tersebut kepada diri beliau.
Jika pemikiran Plato diturut eskalasinya lebih jauh kebelakang, maka
akan terkesan tidak jauh beda dari apa yang tertuang dalam The Wealth
of Nation Adam Smit yang juga memuat Division of Labour tersebut. Jika
melihat ide awal dari pola pikir di atas, memang terkesan ada kesamaan
ide antara Plato yang memperjuangkan masyarakat sempurna, dan Adam
smith memperjuangkan masyarakat sejahtera. Hanya saja menurut
pandangan plato, untuk menciptakan suatu tatanan negara yang sempurna
maka yang pertama perlu dibangun adalah sumberdaya manusianya,
Karena pembangun SDM (moral manusianya) titik tolaknya adalah
keinginan, pilihan, preferensi, dan penilaian. Namun pengenalan kearah
ini pentingnya untuk memberi kita jalan kearah pembangunan yang lebih
sistemik atau merupakan dasar bagi sebuah kebahagiaan atau kesejhteraan.
Sementara Adam Smith dengan Division of Labour-nya dalam hal ini lebih
mengedepankan pertumbuhan Output dan pertumbuhan ekonomi.
Meskipun dua tokoh ini sejak awal telah berbicara tentang konsep
kemakmuran Negara, namun secara bersamaan dalam catatan Deliarnov,
pada masa ini juga orang sudah mengenal paham Hedonisme yang dapat
dikatakan cikal bakal paham materialistic yang belakangan dikembangkan
dari eropa pada abad 17 dan 18 dan kemudian berkembang menjadi
materialisme mekanistik, yang menganggap kenikmatan egoistic sebagai
tujuan akhir dari kehidupan manusia.19
Meskipun Plato dalam tulisannya sangat mengecam kekayaan dan
kemewahan, dengan harapan agar setiap orang bisa hidup sejahtera secara
merata, namun dikarenakan keinginan manusia memperoleh barang dan
jasa sangat besar dan susah dikendalikan maka semangat keserakahan yang
tak terkendali tersebutlah yang pada gilirannya menjadi akar munculnya
semangat Hedonisme tersebut.
Pendapat dan teori Plato diatas masih banyak yang relevan dengan
keadaan sekarang, pendapat tersebut diantaranya berkenaan dengan
tentang fungsi uang. bahkan Plato dalam bukunya Politica menjelaskan
bahwa selain sebagai alat tukar, uang juga berfungsi sebagai alat pengukur
19
Deliarnov, Ibid,h.11
nilai dan alat untuk menimbun kekayaan, sesuai dengan keadaan waktu
itu. Plato menganggap uang bersifat mandul, dan tak boleh untuk
dikembangkan atau diperanakkan (bunga).20
Itu bukanlah berarti bahwa pemikiran Plato hanya berakhir sampai
disitu, karena Plato sebagai seorang Filosuf moral pemikirannya bahkan
bermuara pada kebahagiaan dan kebaikan. Meskipun pernyataan tentang
kriteria akhir aturan moral seringkali menyisakan persoalan yang susah
untuk dicari jawabannya. Dan hal ini dilanjutkan oleh muridnya yang
sangat terkenal dalam dunia ilmu pengetahuan yaitu Aristoteles (384-
322 SM). Yang pemikirannya di bidang ekonomi bahkan jauh lebih maju
dari gurunya Plato. Bahkan menurut Deliarnov Aristoteleslah orang yang
pertama kali melihat bahwa ekonomi merupakan suatu bidang tersendiri
yang pembahasannya harus dipisahkan dengan bidang-bidang lain. Dan
dalam ilmu ekonomi Aristoteles juga merupakan orang pertama yang
meletakkan pemikiran tentang teori nilai(Value) dan harga (price).21
Tidak begitu sulit untuk kontribusi Aristoteles terhadap ilmu ekonomi,
setidaknya ia pernah melontarkan pemikiran tentang pertukaran barang,
(Exchange of Comodities) atau teori kebutuhan manusia, menurut beliau
kebutuhan manusia (man’s need) tidak terlalu banyak, tetapi keinginan
manusia,(man’s Desire) lah yang relataif tanpa batas. Pada kesempatan
yang sama Aristoteles juga memandang bahwa kegiatan produksi untuk
menghasilkan barang-barang untuk memenuhi kebutuhan manusia
bukanlah suatu yang salah, namun beliau mengecam keras jika produksi
tersebut terjebak pada pemenuhan kebutuhan manusia tanpa batas.
Dan inilah yang beliau maksudkan dengan sesuatu yang tidak alami
(Unnatural).
Meskipun persoalan ekonomi ini sudah banyak dibicarakan pada
era Yunani kuno, namun analisis yang mendalam tentang pencapaian
tujuannnya baru dimulai sejak masyarakat petani eropa memulai proses
industrialisasi yang secara bersamaan dengan kemunculan tokoh-tokoh
skolastik (scholasticism) yang berupaya memuat nilai-nilai etika dan
keadilan dalam ekonomi, dan era ini dalam sejarah ekonomi sering disebut
dengan era Skolastik.
Tokoh utama pemikiran aliran skolastik ini adalah St. Albertus Magnus
(1206-1280), beliau adalah seorang fhilosof religius dari jerman yang
20
Deliarnov, Ibid, 12
21
DeliarNov, Ibid ,12
mengedepankan pemikiran tentang harga yang adil dan pantas (just price)
dengan menggunakan etika agama sebagai filterisasinya. Selain Tokoh
di atas juga ada St.Thomas Aquinas (1225-1274), seorang fhilosof dan
theolog dari Italia. Thomas Aquinas dalam hal ini terkesan lebih luas, selain
mengikuti St. Albertus Magnus beliau juga banyak mempelajari ajaran
Aristoteles serta mendalami nilai-nilai dan etika ajaran Injil. Sehingga
dalam beberapa tulisannya beliau terkesan sangat anti terhadap bunga
dan menganggap bunga itu sebagai riba dan dosa yang harus dijauhi. Hal
ini terbukti dalam Summa theologika yang dijadikan mainstreem sejarah
ekonomi konvensional tersebut termuat bahwa membungakan uang yang
di pinjamkan adalah termasuk perbuatan yang tidak adil, karena sama
dengan menjual sesuatu yang tidak ada.22
Setelah melalaui era skolastik, sejarah ekonomi terus menapaki
perkembangannya pada era Merkantilisme, hal ini tandali dengan
dipraktekkannya sistem perdagangan yang mengitari waktu 1500-1750
M. Sesuai dengan namanya Merkantilisme berasal dari kata Merchan
yang berarti pedagang. Menurut paham Merkantilisme, tiap negara yang
berkeinginan untuk maju harus melakukan perdagangan dengan negara
lain, dari dari surplus perdagangan tersebutlah negara akan memperoleh
kekayaan. Sehingga tidak mengherankan bagi kalangan penganut paham
merkantilisme mengatakan bahwa sumber kekuasaan terkuat adalah
surplus perdagangan.23
Paham Merkantilisme ini abad ke-16 bayak berkembang di negara-
negara eropa seperti Portugis, Spanyol, Inggris, Prancis dan Blanda.
Mereka tidak hanya melakukan perdangan antara sesama negara eropa,
tetapi sampai juga ke Hindia Belanda (indonesia waktu itu).
Pada era Merkantilisme ini tidak hanya perdagangan dan perekonomian
yang mencuat kepermukaan, tapi perkembangan leteratur pun meningkat
pesat sekali, kemajuan dalam tulusan-tulisan ekonomi sangat maju,
baik dalam jumlah maupun mutu. Bahkan Menurut Launderth dalam
Deliarnov (1995), era ini juga ditandai dengan maraknya kemunculan
setiap orang menjadi ahli ekonomi bagi dirinya sendiri (Every man was
his own economist). Setiap orang mengeluarkan pendapat dan pandangan
tersendiri bahkan menulis tentang persoalan-persolan ekonomi yang
mereka hadapi. Meskipun tulisan dan ide yang berserakan ini tidak
dilatarbelakangi dengan pendidikan Universitas, namun tulisan–tulisan
22
Deliar Nov. Loc.cit, 14
23
Deliar Nov.Of.cit.,16
ini pada gilirannya juga memberi inspirasi bagi The Wealth of Nation karya
besar adam Smith tersebut.24
Diantara nama-nama tokoh Merkantilisme yang sering mengemuka
dalam pemikiran ekonomi konvensiaonal adalah Jean Boudin (1530-1596)
Beliau adalah ilmuan perancis yang pertamakali berbicara tentang uang
dan harga secara sitematis. Beliau berpendapat bahwa Praktek monopoli
dan pola hidup mewah kalangan bangsawan akan berpengaruh terhadap
kenaikan harga, dan begitu juga dengan bertambahnya uang akibat dari
kontak perdagangan luar negeri, hal ini dengan sendirinya juga akan
menyebabkan naiknya harga barang. Terinpirasi dari teori Boudin inilah
Irving frisher mengembangkan teri kuantitas uangnya.
Selain Boudin, juga ada Thomas Mun yang berkebangsaan Inggris dan
ahli perdagangan luar negeri, hal ini tergambar dari tulisannya A Discourse
of Trade, from englandunto The East-Indies (1621) serta satu buku yang
ditulis pada usia tuanya dengan judul England’s Treasure by foreign Trade or,
the Balance of Our forraign Trad is The Rule of Our Treasure (1664). Kedua
buku ini menggambarkan tentang manfaat dan pentingnya perdagangan
luar negeri.25
Tokoh berikutnya yang juga tidak dilupakan sejarah ekonomi adalah
Jean Babtiste Colbert (1619-1683), meskipun beliau bukanlah ahli ekonomi,
namun jabatannya sebagai menteri utama di bidang ekonomi dan keuangan
pada masa pemerintahan raja Louis XIV yang banyak melakukan kontak
ekonomi dengan para pedagang dan saudagar telah mengantarkannya
sebagai salah seorang tokoh pemikir ekonomi.26
Berbeda dengan tokoh sebelumnya, Sir William Petty (1623-1687)
adalah seorang akademisi yang mengajar di Oxford Ubniversity, dan banyak
menulis tentang ekonomi politik. Sehingga Freidrich Engels menyebutnya
sebagai The Founder of Modern political Economy.
Selain tokoh-tokoh di atas David Hume (1711-1776) yang notabenenya
lebih dikenal sebagai seorang fhilosof, ternyata juga telah memberi kontribusi
yang sangar besar bagi perkembangan sejarah pemikiran ekonomi. Hal ini
terbukti dari buku Of the Balance of Trade, yang mengupas tentang harga-
harga yang dipengaruhi oleh unang dan barang.27
24
Deliarnov, Loc.cit. 17
25
Deliarnov, Ibid.
26
Deliarnov, Ibid.
27
Mark Skousen, The Making of Modern Economics, ed Terj. Tri Wiboyo Budi Santoso,
Sang Maestro teori-teori Ekonomi modern, Jakart: Pranada, 2005
28
Mark Skousen, Ibid, 46
yang selama ini nama mereka sangat mendominasi dalam kajian ekonomi
dewasa ini.
Namun sejarawan barat telah menulis sejarah ekonomi dengan sebuah
asumsi bahwa periode yunani dan Scolasatik islam tidak memberikan
kontribusi penting dalam kajian ekonomi. Hal ini berawal dari tulisan
ekonom dan sekaligus sejarawan barat terkemuka Joseph Schumpheter
yang mengabaikan peran kaum muslimin selama lebih dari 500 tahun dari
starting point (Yunani Kuno) ke zaman Scolastik dengan kemunculan St.
Thomas Aquinas (1225-1274 M).
Pada hal jika diamati lebih jauh bentuk kajian rentang sejarah tersebut,
baik di dunia Islam maupun di dunia non-Islam prinsipnya tidak terlepas
dari sentuhan pemikiran tokoh klasik, kendatipun harus diakui pula bahwa
semua bentuk pikiran, baik itu filsafat, etika, moral, ekonomi maupun
lainnya pada gilirannya merupakan hasil sintesis kreatif antara ajaran Islam
dan pikiran Yunani Klasik yang berkembang pada masanya.
Adanya persentuhan pemikiran di atas diakui dengan jujur oleh
Roman A.Ohrenstein dan Barry Gordon (1992) yang mengatakan bahwa
Keberadaan ekonomi modern saat ini berakar pada perjalanan sejarah
yang sangat panjag, meskipun keberadaannya diakui pada abad ke delapan
belas, namun ide pemikirannya sudah ditemukan pada masa Yunani kuno,
Ilmuan Muslim, sarjana-sarjana abad pertengahan, dan tokoh-tokoh
merkantilis pada abad ke enambelas, juga tidak terlupakan sumbangan
leteratur Cina kuno dan India yang ikut menyumbangkan contoh-contoh
analisis ekonomi.29
Pembuktian diatas didilanjutkan Gazanfar dengan memaparkan
pendapat Butler, yang mengatakan bahwa tidak satupun mahasiswa
Sejarah Kebudayaan Eropa Barat yang dapat merekonstruksi nilai-nilai
intelektualitas abad-abad pertengahan akhir tanpa adanya kesadaran
tentang islam sebagai latar belakangnya.30
Jika para sejarawan barat seperti Capelston dan Harris terkesan
menapikan samasekali pemikiran Sinto Thomas Aquinas tentang ekonomi
dengan mengatakan sebagai suatu pemikiran yang patut diragukan tingkat
orisinilitasnya, setelah adanya perentuhan antara Aristoteles dan Ibnu
29
Husaini, Hamid, Understanding the Market Mechanism before Adam Smith: Economic
though and Medieval Islam dalam Ghazanfar SM. 2003. Medival Islamic Economic Though:
Filling the Gradgap in European Economic. London and New York, Routledge Curzon,
h.88
30
Husaini,Hamid, Ibid, 63
membaca dan menulis arab sefasih bahasa mereka sendiri, dan termasuk
juga didalamnya adalah Roger bacon (1214-1294). Bacon sering kali
merujuk kepada ibnu Rusyd, Ibnu Sina, dan al-Ghazali, sehingga tidaklah
berlebihan ketika Jeremiah Hackett mengatakan bahwa Fasl al-Maqol-nya
Ibnu Rusyd menjadi model bagi opus Maius Roger Bacon, yang disusun
sekitar tahun1266, dan dikirim kepada paus Clementus VI serta diedarkan
secara rahasia, kemudian baru diterbitkan setelah setelah penundaan yang
sangat lama. Oleh karena itu tidaklah aneh kalau Gordon Leff menyatakan
bahwa secara intelaktual, perbedaan yang tegas antara abad ke- XII dan
ke- XIII M. adalah perbedaan antara isolasi dari dunia islam dan menjalin
hubungan denagannya. Dengan kata lain, jika tidak bersentuhan dengan
dunia Islam maka besar kemungkinan Eropa barat tetap terisolasi dalam
kegelapan intelektualitasnya.
Keempat, transimisi lisan. Selain melalui tradisi tulis, ternyata
transimisi lisan juga telah lama dilakukan dan merupakan hubungan yang
permanen antara Muslim dan Kristen, karena kontak-kontak seperti itu
bukan merupakan kendala utama, mengingat bilingualisme telah menjadi
komunikasi yang umum di spanyol. Selama lebih dari delapan abad,
komunikasi yang intim tersebut terus berlangsung, sehingga wajar untuk
menegaskan interaksi dan kontinuitas cultural diantara dua suku bangsa
tersebut.
Kelima, Transmisi perdagangan. Transmisi ini terjadi melalui jalinan
perdagangan dari dunia Arab melalui Rusia ke polandia, daerah-daerah di
sekitar laut Baltik ke skandinavia, ke Eropa utara, dan bahkan ke Islandia.
Kontak perdangangan ini diikuti juga oleh difusi proses dan institusi-
institusi Ekonomi Islam, peredaran bebas mata uang Arab di eropa
pertengahan, serta berbagai tekhnik dan metode-metode perdagagngan
yang lebih maju. Lebih jauh sebagaimana yang ditemukan dalam Udovitch
(1970; dalam Gazanfar,2003;17) dimasa itu telah lama berkembang institusi
Commenda, yakni semacam kontrak-kontrak kerjasama yang bersal dari
dunia Arab dan menyebar luas ke Eropa latin melalui tulisan-tulisan
para sarjana dan ahli hukum Arab. Demikian pula denagan instrumen
dan institusi yang memberikan fasilitas bagi perkembagan perdagangan
di Eropa seperti rekening pertukaran (suftajah), surat kredit (hawala),
pusat-pusat perdaganan (Funduk) surat embrio bank swasta (ma’una).
Semua bukti ini jelas semakin menguatkan adanya transmisi pengetahuan
ekonomi dari dunia islam ke Eropa barat selama the Blank Centuries tersebut
dan menjadi bukti betapa dekatnya kerjasama antara kaum muslimin dan
kristen di masa itu.
Dan yang kelima adalah melalui difusi kultural sebelum dan sesudah
perang salib. Meskipun umat islam memenangkan perang salib antara
islasm dan Kristen, namun eropa lebih banyak memperoleh manfaatnya
ketimbang umat islam, dikarenakan perang dahsat itu berlangsung di
wilayah-wilayah kaum muslimin dengan segala macam kerusakan hebat
yang ditinggalkannya. Sebab itulah Henri Pienne, sejarawan ekonomi
perancis menyatkan bahwa dengan terjadinya perang salib barat pun
mengalami transformasi dari periode statik mereka ke era baru, yakni riset
dan re-interpretasi yang jelas-jelas merupakan hasil utama hubungan barat
dengan peradaban Arab islam.
Transmisi pengetahuan ekonomi melalui perang salib terjadi di
masa-masa damai, masa ini sebenarnya lebih panjang daripada masa
pertempuran. Dan selama masa itu, kaum muslimin dan kristen saling
bekerjasama dibidang sosial, ekonomi, dan akademik yang dengan
sendirinya memberikan saluran komunikasi yang intensif antara barat dan
timur. Orang-orang salib itupun kemudian memperoleh manfaat yang besar,
tidak hanya produk-produk komersial dari timur, tapi juga pemikiran-
pemikiran ekonomi dan ilmiah dari para sarjana muslim. menyadari
pentingnya saluran pengetahuan ini, Pribram dalm Hutoro (2007)
menyatakan bahwa: proses konsilidasi pandangan-pandangan ekonomi
yang berlangsung selama abad ke XIII M. Adalah sebagian besar muncul
karena orang-orang salib (Crusaders) membawa pengetahuan mengenai
metode-metode baru yang memiliki keterkaitan dengan pengorgnisasian
industri dan perdagangan ke kota-kota utama di Italia dan negeri-negeri
lainnya.33
35
Baca, Adiwarman A.Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Ed.Ketiga, Jakarta :
PT Raja Grapindo:2006,h.10
36
Arif Hutoro, Op.cit. 57-58
diturunkan oleh syariah, dan dalam konteks ini para fuqoha mendiskusikan
fenomena ekonomi. Tujuan mereka tidak terbatas pada penggambaran
dan penjelasan fenomena ini. Namun demikian dengan mengacu pada
al-Qur’an dan Hadits mereka mengekplorasi konsep Maslahah (utility)
dan konsep mafsadah (dis-utility) yang terkait dengan aktivitas ekonomi.
Pemikiran yang timbul terfokus pada apa manfaat sesuatu yang dianjurkan
dan apa kerugian bila melaksanakan sesuatu yang dilarang agama.
Pemaparan ekonomi fuqoha tersebut mayoritas bersifat normatif dengan
wawasan positif ketika berbicara tentang perilaku yang adil, kebijakan
yang baik, dan batasan-batasan yang diperoleh dalam kaitannya dengan
permasalahan dunia.
Sedangkan kontribusi utama tasauf terhadap pemikiran ekonomi
adalah pada keajegannya dalam mendorong kemitraan yang saling
menguntungkan, tidak rakus dalam memenfaatkan kesempatan yang
diberikan oleh Allah, dan secara tetap menolak penempatan tuntutan
kekeayaan dunia yang terlalu tinggi. Sementara itu philosof muslim tetap
berasaskan syari’ah dalam keseluruhan pemikirannya, mengikuti para
pendahulunya dari Yunani, terutama Aristoteles (367-322 SM) yang
fokus pembahasannya tertuju pada sa’adah (kebahagiaan) dalam arti luas.
Pendekatannya global dan rasional serta metodologinya syarat dengan
analisis ekonomi positif dan cenderung makro ekonomi. Hal ini berbeda
dengan para fuqoha yagn terfokus perhatiannya pada masalah-masalah
mikro ekonomi40.
Pada fase ini di ranah eropa tidak ditemukan para tokoh yang concern
terhadap ekonomi, bahkan sebaliknya dikalangan tokoh muslim muncul
para pemikir ekonomi Islam seperti Zaid bin Ali (w.80 H/738 M) Abu
Hanifah (w.150 H/767 M) Abu Yusuf (w.182 H/798 M) Al-Syaibani (w.189
H/804 M) Abu Ubayd Qosim bin Salam (w.224 H/838 M) Harits bin As’ad
al-Muhasibi (w.243 H/ 858 M), Junaid al-Bagdadi (297 H/ 910 M) Ibnu
Maskawaih (w. 421 H/ 1030 M) dan al-Mawardi (450 H/ 1058 M).
Pemikiran yang dominan berkembang pada masa itu adalah masalah
kebijakan piscal dan keuangan negara atau persoalan makro ekonomi.hal
ini dapat dibuktikan denagan kitab al-Kharaj yang ditulis oleh Abu Yusuf
yang menjelaskan tentang pajak tanah, selain itu juga ada kitab al-Amwal
yang ditulis oleh Abu Ubayd Qosim bin Salam yang membicarakan
pengelolaan APBN atau Keuangan Negara dalam Islam, kemudian juga
40
Adi Warman karim, Bulletin MA’AD ed. 1 Juni 2001, SEF UGM
Kesimpulan
Sejarah pemikiran ekonomi yang tidak mengikut sertakan peran
tokoh islam abad klasik dengan alasan adanya Dark age yang melanda
Eropa abad tengah merupakan suatu pemetaan sejarah yang keliru dan
tidak mempunya dasar yang kuat, bahkan terkesan menghapus jejak
pemikiran ekonomi Islam, karena pada masa-masa yang kontribusi tokoh
islam dianggap kosong dari pemikiran ekonomi tersebut, dunia islam telah
banyak melahirkan pemikir-pemikir ekonomi yang genune yang sampai
saat ini masih dapat disemukan jejak-jejaknya.
Penulisan ulang sejarah pemikiran ekonomi sangat urgen untuk
dilakukan, karena sejarah pemikiran mainstream ekonomi terlalu
eurocentris dan didekati dari perspektif barat, serta terkesan lebih
mengedepankan superioritas peradaban barat, sehingga terkesan ingin
menjadikan teori ekonomi barat berlaku secara universal.
DAFTAR PUSTAKA
Chapra,Umar, Masa Depan Ekonomi, sebuah tinjauan Islam, Jakarta: Gema
Insani Press, 2001
Chapra,Umar, Islam dan Pembangunan Ekonomi, Malaysia: IIT,1996
Deliarnov, Perkembangan Pemikiran ekonomi Islam, Jakarta: Raja Grafindo
peersada, cet.I 1995
Fukuyama, Francis, The End of History and The LastMan;Kemenangan
Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, ed.Terj.
MH.Amrullah,Jogjakarta:Qolam,2003
Ghazanfar SM.. Medival Islamic Economic Though: Filling the Gradgap in
European Economic. London and New York, Routledge Curzon,
2003
Giddens,Anthony, Kapitalisme dan teori sosial Modern: suatu Analisis karya
tulis Marx, Durkheim dan Max Weber Jogjakarta: UI Press, 1986
Hutoro, Arif, Pengantar Analisis Kesejarahan dan Metodologi, Malang:
BPFE UNIBRAW
Karim, Adiwarman A. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Ed.Ketiga, Jakarta
:PT Raja Grapindo:2006.
Karim, Adi Warman, Bulletin MA’AD ed. 1 Juni 2001, SEF UGM
Mannan, MA., Teori dan Praktek Ekonomi Islam,ed. Terj. Yogyakarta:Dana
Bakti Wakaf,1993
Majid, M.Nazori, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf dan Relevansinya
dengan Masyarakat kekinian, Jogjakarta: Islamic Banking School,
2003.
Sawit Husin, Metodologi Ekonomi Islam Perlukah Berbeda..? Makalah
Seminar Nasional Metodologi Ekonomi islam, Jogjakarta ,PPEI
UII Jogjakarta,1997
Siddiqie, Nejatullah, Some Aspects of The Islamic Economy, Deli: Markaz
Maktaba Islami,1992
Mark, The Making of Modern Economics, ed Terj. Tri Wiboyo Budi Santoso,
Sang Maestro teori-teori Ekonomi modern, Jakart: Pranada, 2005
Rahman, Afzalur, Muhammad as atreder, dalam Muhammad:Ensyclopedia
of seerah,ed.Terj.Dewi Nurjulianti,dkk.Muhammad sebagai seorang
pedagang, Vol.II buku ke-3, (Jakarta:Yayasan Swarna Bumu,1995)
Raharjo, Dawam, Proceedings Seminar Nasional Sistem Ekonomi Islami:
Perlukah ekonomi Islam Menggunakan metodologi yang berbeda?.
PPPEI UII,Yogyakarta:1997
Raharjo, Dawam, Metodologi Ekonomi Islam , Makalah seminar Nasional
Metodologi penelitian ekonomi Islam untuk mengembangkan
praktek Bisnis, PPPEI Fakultas Ekonomi UII Jogjakarta;1997
Siddiqie, M. Nejatullah, Recent Works on History of Economic Thought
in Islam:a Survey, dalam Abu Hasan M. Sadeq dan Aidit ghazali
(ed.) Readings in Islamic Thought (selangor Darul Ehsan:Longman
Malaysia,1992.
Abstract:
Some of problem dissatisfaction to discus land which this dichotomy
are neglect land. With this too narrow conception of tradition
assumed an equivalence between Islamic law and bases constitution
of land. Aspect the first and fundamental affect of Islamic law views
upon the condut of live an therefore upon economy activity was
generally about neglect land of human streteoping.
tahun 1960) diberlakukan 2 hukum, hukum adat dan hukum barat. Kedua
hukum tersebut satu sama lain sangat berbeda, satu hukum dibangun
berdasarkan pada nilai yang diadopsi dari hukum yang berlaku di negara-
negara Barat, sedangkan hukum adat dibangun berdasarkan kebiasaan
yang berlaku di Indonesia sejak dahulu.
Dibentuknya undang-undang agraria memperlihatkan beberapa hal
pertama, adanya koherensi antara manusia dengan Tuhan, bahwa bumi, air,
ruang angkasa dari bangsa Indonesia adalah karunia dari Tuhan yang maha
Esa kedua, hukum agraria yang berlaku sebelum tahun 1960 (pra UUPA)
adalah hukum agraria yang disadur dari hukum adat, sehingga tidak sesuai
dengan cita-cita bangsa Indonesia dan tidak menjamin kepastian hukum,
dan hukum agraria yang berdasarkan hukum adat.
Di samping hukum perdata dan hukum adat, hukum Islam pun
berlaku di Indonesia dalam bidang keperdataan yang berkaitan dengan
perkawinan, kewarisan, zakat dan perwakafan, seperti UU No. 38 Tahun
1999 dan Kompilasi Hukum Islam. Masalah pertanahan ini pun termasuk
ke dalam UU No. 38 Tahun 1999 dan ke dalam Kompilasi Hukum Islam.
Islam mengaturnya melalui dua sumber utama ajaran Islam, al-Qur’an dan
al-hadis. Salah satu bentuk pengaturan dalam Islam yaitu kepemilikan
tanah terlantar.
Dalam hukum Islam tanah terlantar lebih dikenal dengan al-mawat atau
tanah mati. Menurut Louis Ma’luf, al-mawat mempunyai 2 arti. Pertama,
sesuatu yang tidak mempunyai roh. Kedua, tanah yang tidak berpenduduk
dan tanah yang tidak dimanfaatkan.
Sedangkan dalam Hukum Agaria kepemilikan tanah terlantar adalah
tanah yang ditelantarkan oleh pemegang atas tanah. Pemegang hak
pengelolaan atau pihak yang tidak memperoleh dasar penguasaan atas
tanah tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Al-mawat memiliki arti yaitu sesuatu yang tidak mempunyai roh atau
tanah yang tidak berpenghuni atau tidak seorangpun memanfaatkannya).
Al-Mawat berarti sesuatu yang tidak mempunyai roh dan tanah tidak
berpenghuni atau berarti sesuatu yang tidak mempunyai roh, juga berarti
tanah yang tidak dimiliki serta tidak dimanfaatkan. Dalam buku Nataij al-
Afkar, tanah mati yaitu tanah yang tidak dimanfaatkan karena ketidakadaan
air, serta susah pula memanfaatkannya, tidak dimiliki, atau terdapat atas
tanah tersebut hak milik, tetapi tidak diketahui pemiliknya serta jauh dari
perkampungan.
Secara terminologi terdapat beberapa pengertian al-mawat yang
drkemukakan para ulama fikih, ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hambaliah
mengemukakan definisi al-mawat dalam persepsi tentang tanah yang
tidak dimiliki dan tidak dimanfaatkan oleh seseorang. Ulama Syafi’iyah
mendefinisikan sebagai lahan yang belum digarap orang dan tidak pula
terlarang untuk digarap baik lahan itu jauh dari pemukiman maupun
dekat).
Pengikut mazhab Hambali menyebutkan bahwa al-mawat adalah lahan
yang tidak diketahui pemiliknya). Di kalangan mazhab Hanafi, tanah al-
mawat tidak hanya diartikan sebagai tanah yang tidak dimiliki dan tidak
dimanfaatkan, tetapi tanah itu disyaratkan berada di luar perkampungan
penduduk. Sebagaimana pengertian al-mawat yang diungkapkan oleh
Hanafiyah bahwa tanah yang berada di luar perkampungan, tidak dimiliki
oleh siapapun, tidak pula terdapat hak khusus atasnya.
Berdasarkan definisi al-mawat yang dikemukakan oleh fuqaha di atas,
kriteria tanah yang tergolong al-mawat yaitu:
a. Tanah yang tidak dimiliki oleh seseorang atau tanah yang tidak terdapat
hak milik atasnya, baik hak milik orang Islam maupun hak milik non
nuslim.
Dalam suatu hadits yang pernah dijelaskan oleh rasul tentang siapa
yang menghidupkan tanah (lahan) mati, maka tanah tersebut menjadi
miliknya.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Tarmiziy).
Ibid.
Al-Ibrahim Bajuriy., Hasyiyah al-Bajuriy Ala’ Ibnu al-Ghazali, Juz II, Semarang:
Maktabah Matbu’ah Thaha Putra, t.th, hlm. 37.
Al-Kasaniy ‘Ala al-Din Abi Bakar ibn Mas’ud., Kitab Bada‘i al-Shana’i, Beirut: Dar
al-Kutub al-Alamiyah, t.th., Juz VI, hlm. 194.
Abi Abd Allah Muhammad Ibn Muflih, Kitab al-Furu’, Mesir: Allm al-Kutub, 1968,
Juz IV, hlm. 552.
Nasrun Harun., Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000, hlm. 23.
10
Ibn Rusyd., Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Semarang: Usaha
Keluarga, tth, Jilid II, hlm. 183.
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu tanah mati sebagai tanah yang
tidak diusahakan lagi. Adapun tanah yang telah diperoleh penguasaan
atasnya tetapi belum diperoleh hak atasnya sesuai dengan perundang-
undangan yang berlaku.11
Dalam buku “Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-hak Suku Melayu
atas Tanah di Sumatra Timur”, mengartikan tanah mati sebagai tanah hutan
yang dibiarkan menghutan, tidak dijamah oleh manusia. Dalam arti bahwa
tanah yang dikerjakan tadinya tapi kemudian ditinggalkan tanpa ada suatu
tanda bahwa orang yang bersangkutan berhajat kembali ke tanah itu.
Dilihat dari kriteria tanah mati yang diungkapkan oleh Mahadi yaitu
tanah hutan/tanah liar, tidak terdapat hak atas tanah dan tidak digarap.
Defenisi tanah mati yang diungkapkan di atas, membatasi pengertian
tanah mati hanya kepada dua pembagian, yaitu:
a. Tanah hutan yang dibiarkan menghutan, tidak dijamah oleh manusia.
b. Tanah yang pernah digarap kemudian ditinggalkan oleh
penggarapnya.12
Selain tanah terlantar, tanah tak bertuan, tanah bebas, tanah mati dan
tanan liar di atas juga terdapat tanah guntai (abstantee), yaitu tanah yang
pemiliknya berada di luar kecamatan di mana tanah itu berada.13
Pengklasifikasian terhadap tanah dalam UUPA dibedakan
berdasarkan penguasaan terhadap tanah. Penguasaan tanah Dalam UUPA
Terklasifikasikan dalam tiga kelompok besar, pertama, tanah adat adalah
tanah yang dimiliki oleh adat atau tanah yang dikuasai oleh adat. Tanah
adat di Indonesia telah ada sebelum berlakunya UUPA tanggal 4 September
1960. Oleh karena itu, Pengertian tentang tanah adat, dijelaskan dalam
hukum Agraria yang berlaku sebelum dikeluarkan Undang-undang no 5
tahun I960 (UUPA), karena sebelum Undang-undang No 5 tahun 1960,
ada dua hukum pertanahan yang berlaku di Indonesia, Hukum Adat dan
Hukum Barat. Dualisme hukum pertanahan ini melahirkan dua macam
tanah yaitu tanah adat yang disebut dengan tanah Indonesia, dan tanah
Barat yang dikenal dengan tanah Eropa. Tanah Adat atau tanah Indonesia
yang sepenuhnya tunduk pada hukum (Agraria) adat, sepanjang tidak
diadakan ketentuan yang khusus atau hak-hak tertentu. Misalnya Tanah
11
WJS Poerwadarminta., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
1991, hlm. 1289.
12
Mahadi., Sejarah Perkembangan Hak-hak Suku Melayu atas Tanah di Sumatra
Timur (Tahun 1800-1975), Medan, Skripsi Usu, 1987, hlm. 102.
13
Adiwinata., Status Hak dan Pembebasan Tanah. Jakarta: Sinar Grafika, 1984, hlm.
16.
Ulayat, Tanah Kaum, Tanah Gadai, dan Iain-lain. Sedangkan tanah Barat
yaitu Tanah yang tunduk pada hukum Eropa, misalnya Tanah Grand,
Tanah Eigendom, dan lain-lain, kedua, tanah negara adalah tanah yang
negara berkuasa penuh terhadap semua jenis tanah sebagaimana tercantum
dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yaitu bumi, air. dan ruang angkasa dan
kekayaan yang terkandung didalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai
oleh negara. Pasal 2 ayat (1) UUPA menyebutkan atas ketentuan pasal
33 ayat (3) UUD 1945, dan ketiga, tanah hak adalah hak atas tanah yang
diatasnya terdapat hak orang atau badan bukum. Hak yang terdapat pada
tanah dinamakan hak atas tanah.
Sebagai penjelasan dari pasal 16 tersebut, pada pasal 53 ayat (1),
disebutkan bahwa “hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana yang
dimaksud pasal 16 ayat (1) huruf h ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil,
hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian, diatur dan dibatasi
sifatnya yang bertentangan dengan undang-undang ini dan hak-hak
tersebut diusahakan hapusnya dalam waktu yang singkat”. Hak atas
tanah dalam pasal 16 ayat (1) dan pasal 53 (1), secara umum dapat dibagi
menjadi dua kategori, yaitu pertama, semua hak yang diperoleh langsung
dari negara, disebut hak primer. Hak yang tergolong ke dalam kategori ini
ada enam macam hak, diantaranya hak pakai, hak milik, hak guna usaha,
hak guna bangunan, hak membuka tanah dan memanfaatkan hasil hutan.
Kedua, semua hak yang berasal dari pemegang hak atas tanah orang lain
berdasarkan perjanjian bersama, disebut hak sekunder. Hak sekunder
ini dijelaskan oleh UUP A dalam pasal 53 ayat(l) yaitu, hak gadai, hak
guna usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian.
Kedua macam hak tersebut mempunyai persamaan, dimana pemegangnya
berhak untuk menggunakan tanah yang dikuasainya untuk dirinya atau
mendapatkan keuntungan dari orang lain melalui perjanjian, dimana satu
pihak memberikan hak-hak sekunder kepada pihak lain.14
berbagai cara yaitu dimulai dengan jalan memberi tanah, baik berbentuk
pagar, tembok, bangunan dan lain sebagainya. Selain itu pendayagunaan
terhadap tanah dapat pula dilakukan dengan jalan mengairi lahan tersebut,
serta menjadikannya sebagai sawah, ladang, perkebunan, atau mendirikan
bangunan atasnya.16 Mendayagunakan tanah terlantar antara lain pertama,
diurus sendiri, kedua, memberikan lahan tersebut kepada orang lain untuk
mengurusnya, ketiga, pengelola pertama tanah terlantar dikelola sehingga
ia menjadi miliknya.17
Penggarapan tanah terlantar tidak bisa dilakukan dengan sewenang-
wenang sebab, tanah terlantar adalah tanah yang tidak dimiliki, sedangkan
tanah yang tidak ada pemiliknya dikuasai oleh negara. Penggarapan tanah
yang dikuasai oleh negara harus ada izin dari negara. Dengan kata lain,
pendayaan tanah terlantar boleh dilakukan setelah mendapat izin dari
negara (pemerintah).
Menurut ayat 2 pasal 12 PP tentang pendayagunaan tanah terlantar,
tanah yang telah diambil haknya oleh pemerintah dan diserahkan tanah
orang lain, maka pendayagunaannya dilaksanakan oleh pemegang hak
dengan bimbingan instansi teknis yang berwenang di bidang penggunaan
tanah. Pendayagunaan tanah ini dilaksanakan melalui program kegiatan
instansi/dinas yang bertujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil
guna tanah tersebut.
Menurut pasal 13 ayat 1 setelah pemegang hak diberikan hak
penguasaan untuk mendayagunakan dikeluarkan maka pemegang hak
diberikan waktu 1 tahun sejak diterimanya surat tersebut yang bersangkutan
telah mulai menggunakan tanahnya. Apabila dia tidak mengelola dan
mendayagunakan tanah tersebut setelah dikeluarkannya surat peringatan
maka pemerintah mengeluarkan surat peringatan kedua dengan memberi
jangka waktu yang sama yaitu 1 tahun. Apabila si pemegang hak belum
mendayagunakan juga tanah tersebut, maka pemerintah mengeluarkan
lagi surat peringatan ketiga dengan jangka waktu yang sama pula. Apabila
jangka waktu yang telah ditentukan yaitu 3 tahun berturut-turut tanah
tersebut tidak didayagunakan, maka pemerintah berhak mengambil dan
menguasai tanah itu kembali karena tanah tersebut telah masuk ke dalam
kategori tanah terlantar.18
16
Al-As-Sayyid Abi al-Nashr Husniy., Al-Milkiyyah Fi al-lslam, Cairo: Dar al-Kutub
Al-Haditsah, tth, hlm. 43.
17
Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Jakarta: Gema Insani press,
1995, hlm, 122.
18
Harsono, Ibid, 48.
Untuk mendayagunakan tanah terlantar oleh pihak lain, maka izin dari
pemerintah sangatlah diperlukan, karena pendayagunaan tanah tidak bisa
dilakukan dengan sewenang-wenang karena sudah ada peruntukannya
sebagaimana yang disebut dalam pasal 14 ayat (2) UUPA yang berbunyi
bahwa pemerintah daerah mengatur kesediaan, peruntukan dan
penggunaan air serta ruang angkasa untuk daerahnya masing-masing”.
Tanah menurut pasal 6 UUPA, mempunyai fungsi sosial dan
pemanfaatannya harus meningkatkan kesejahteraan rakyat. Oleh karena
itu, sebelum penggarapan terhadap lahan dilakukan, seorang penggarap
harus mengetahui untuk apa tanah itu disediakan oleh pemerintah agar
tidak terjadi tumpang tindih kepentingan terhadap pendayagunaannya.19
Pendayagunaan tanah terlantar harus sesuai dengan kemampuan
lahannya berdasarkan beberapa ketentuan antara lain, pertama, yaitu
berdasarkan hak tata guna tanah. Tata guna tanah ini dapat diketahui
dengan adanya kegiatan pembuatan peta topografi. Keadaan tata guna
tanah proyek apa yang berlaku akan menentukan metode pembukaan tanah
yang bagaimana perlu dilakukan. Penggarap yang akan mendayagunakan
lahan terlanlar harus mengetahui untuk apa lahan tersebut akan
dikembangkan oleh pemerintah sehingga sesuai dengan perencanaan
pembangunan nasional, kedua, berdasarkan luas lahannya yaitu lahan
akan mempengaruhi skala usaha, dimana skala usaha ini pada akhirnya
akan mempengaruhi efisien atau tidaknya usaha suatu pertanian. Oleh
karena itu UUPA mengatur luasnya lahan yang akan didayagunakan untuk
menghindari monopoli pertanian, ketiga, berdasarkan kewarganegaraan
yaitu yang mengelola adalah warga negara Indonesia dan kepemilikannya
pun milik masyarakat Indonesia dan status kewarganegaraan Indonesia
menjadi syarat mutlak mendayagunakan tanah mati.20
Ada pendapat yang menyatakan berdasarkan keumuman hadis tentang
ihya al-mawat yang diriwayatkan oleh al-Tsalasah yang diriwayatkan
dari Jabir bahwa Nabi saw. bersabda bahwa siapa yang menghidupkan
lahan (tanah mati) terlantar, maka tanah tersebut menjadi miliknya.
(Diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Tirmidzi). Tinjauan atas pasal 2 ayat
(1) UUPA dikatakan bahwa atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3)
UUD dan hal-hal sebagaimana yang dmaksud dalam pasal 1, bumi, air dan
19
G. Kertasapoetra dkk., Hukum Tanah: Jaminan UUPA bagi Keberhasilan
Pendayagunaan Tanah, Jakarta: Rineka Cipta, 1985, hlm. 14.
20
Soekartawi, Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian: Teori dan Aplikasi, Jakarta: Rajawali
Pers, 1989, hlm, 14.
Penutup
Berdasarkan uraian-uraian di atas maka peneliti baru mengungkapkan
sebagian kecil tentang proses kepemilikan tentang tanah terlantar melalui
tinjauan perbandingan hukum Islam, hukum positif, dan kemaslahatan.
Karena itu belum mewakili untuk digeneralisir secara utuh sebagai konsep
hukum Islam yang sempuma. Penulis menyarankan dilakukan suatu kajian
mendalam (futher research sugesstion) dengan harapan penelitian terus
dilakukan oleh para peneliti berikutnya dengan tema dan konteks hukum
yang berbeda.
Kepada instansi terkait, di bidang Badan Pertanahan Nasional (BPN)
di daerah maupun pusat untuk melakukan konsilidasi dengan masyarakat
DAFTAR PUSTAKA
Adiwinata (1984). Status Hak dan Pembebasan Tanah. Jakarta: Sinar
Grafika
Bajuriy, Ibrahim, (tt), Hasyiyah al-Bajuriy Ala’ Ibnu al-Ghazali, Juz II,
Semarang: Maktabah Matbu’ah Thaha Putra.
Harun, Nasrun, (2000). Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama.
Harsono, Budi, (1988), Hukum Agraria Indonesia, Jakarta, Djambatan.
Husniy, As-Sayyid Abiy al-Nashr, (tt), Al-Milkiyyah Fi al-lslam, Kairo : Dar
al-Kutub Al-Haditsah.
Ibn Muflih, Abi Abd Allah Muhammad, (1968) Kitab al-Furu’, Mesir: Allm
al-Kutub, Juz IV
Kartasaputra, G., dkk, (1991) Hukum Tanah: Jaminan UUPA Bagi
Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, Jakarta: Rineka Cipta,
Kasaniy, Ala al-Din Abi Bakar ibn Mas’ud, Kitab Bada’i al-Shana’i, Beirut:
Dar al-Kutub al-Alamiyah, t.th., Juz VI
Khatib, Al-Syaibaniy, (1998), Mughniy al-Muhtaj, Beirut: Dar al-Fikr, Jilid
II.
Ma’luf, Louis, (1986) Al-Munjid: Fi al-Lughah wa al-A’lam, Beirut: Dar al-
Musyriq.
Mahadi, (1987). Sejarah Perkembangan Hak-hak Suku Melayu atas Tanah
di Sumatra Timur (Tahun 1800-1975), Skripsi USU Medan.
Parlidungan, A. P., (1998), Komentar Atas Undang-undang Pokok Agraria,
Bandung: Mandar Maju.
Poerwadarminta, WJS., (1991), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka.
Qardhawi, Yusuf, (1995), Etika dan Norma Ekonomi Islam, Jakarta: Gema
Insani Press.
Ridha, M. Rasyid, (1987) al-Manar, Mesir: Al-Bab al-Halabiy wa Awladuh,
Juz VII.
Rusyd, Ibn, (tt), Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Semarang:
Usaha Keluarga.
Shan’aniy, Al-Muhammad Isma’il al-Amir al-Yumna, (1991) Subul al-
Salam, Beirut: Dar al-Fikr. Juz III.
Soekartawi, (1989), Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian: Teori dan Aplikasi,
Jakarta: Rajawali Pers.
Abstrak
Zakat adalah Perintah Allah yang wajib dilaksanakan oleh semua
Umat Islam dan termasuk kedalam rukun Islam. Namun Zakat ini
banyak, bermacama-macam, ada yang disebut dengan zakat Fitrah,
Zakat mal (harta), Zakat emas, zakat, perak, Zakat pertanian, zakat
perkebunan dan lain-lain, dan itu semua dikeluarkan berdasarkan
aturan-aturan syari’at.
Kata Kunci: Zakat Fardhu, Zakat Perkebunan, Pendapat Para
Ulama
A. Pendahuluan
Zakat telah difardlukan Allah sejak permulaan Islam, sebelum Nabi
SAW berhijrah ke kota Madinah. Tidak heran urusan ini amat cepat
diperhatikan Islam, karena termasuk urusan tolong-menolong yang sangat
diperlukan oleh pergaulan hidup segala lapisan masyarakat.
Pada awalnya zakat difardukan tanpa ditentukan kadarnya dan tanpa
pula diterangkan dengan jelas harta-harta yang dikenakan zakatnya. Syara
hanya menyuruh mengeluarkan zakat. Banyak sedikitnya terserah kepada
kemanuan dan kebaikan para pemberi zakat. Hal ini berjalan hingga tahun
kedua Hijriah. Mereka yang menerima pada masa itu, dua golongan saja,
yaitu fakir dan miskin.
Pada tahun kedua Hijriah, barulan syara’ menentukan harta-harta
yang dizakatkan, serta kadarnya masing-masing.
Setengah ulama berpendapat “Sesungguhnya zakat itu difardukan
sejak dari tahun kedua Hijriah”. Tampaknya ini diambil dari firman Allah
SWT , Surat Al-Baqoroh ayat 29
Artinya : “Jika kamu menampakkan sedekahmu maka itu adalah bak
sekali dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan
kepada fakir , maka menyembunyikan itu lebih baik kamu.
Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-
Anonim. h. 68
B. Pengertian Zakat
Ditinjau dari segi bahasa, kata zakat merupakan kata dasar dari zaka
yang berarti berkah, tumbuh, bersih dan baik.
Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa zakat adalah nama/istilah bagi sesuatu
yang dikeluarkan seseorang yang termasuk dalam kategori hak Allah Ta’la
kepada segenap fuqara’. Dinamakan zakat, karena mengandung makna
berkembang, suci, dan keberkahan. Ini terlihat dari Firman Allah Ta’ala
dalam surart At Taubah ayat 103
Artinya : “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan dan mensucikan mereka….. “
Anonim. h. 655
Muhammad Yusuf Al-Qardawi, Fighu Al-Zakah, Penerjemah Salman Harun : PT.
Mizan, Bandung, 1996. h. 34
Anonim, 1971. h. 207
Muhammad Ismail Al-Sa’ani, Subul al-Salam, Cet. IV Darul Ihya Al Turats Al-
Arabi, Bairut 1379. h. 120
Abdullah bin Ahmad Al Qudamah, Al Mughny Jilid II, Darul Fikr, Beirut, 1405.
h. 433
Muhammad Yufuf Al-Qardlawy, Hukum Zakat, Studi Komperatif Mengenai Status
dan Filsafat Zakat berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Litera Antar Nusa Pustaka Mizan
1999 h. 34
Muhammad Yusuf Al-Qordawi, Op Cit, h. 325
10
Muhammad Al-Syaukani, Nailul Author, Darul Jiil, Beirut, 1973 . h. 170
23
Ibid. h. 336
24
Muhammad Hamid, Al-Gazali, Rahasia Puasa dan Zakat. Penerjemah Kharisma
Bandung 1998.h. 53-54
25
Ibid. h. 61
26
Muhammad Rifa’, Fiqih Islam Lengkap. CV. Thoha Putra Semarang 1978. h. 358
27
CD. Al-Mausu’ah Al-Hadis Al-Syarif, 1991 -1997. Op.Cit
28
Abdullah bin Ahmad Al-Qudamah, Al-Mughni, Jilid II Dar Al-Fikr Beirut 1405.
h. 692
29
Anonim. h.
disimpulkan pada dua kalimat yang terdiri dari beberapa huruf, akan
tetapi keduanya mengandung aspek yang banyak dari rahasia-rahasia
zakat dan tujuan-tujuan yang agung. Firman Allah dalam surat At
Taubah ayat 103
Artinya : “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat
itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka….. “30
Dua kalimat tersebut adalah taththir (membersihkan) dan
tazkiyah (mensucikan) yang meliputi segala bentuk pembersihan dan
pensucian, bagi harta dan kekayaannya.31
Pada sisi lain, zakat dapat pula membebaskan manusia dari
sesuatu yang menghinakan martabat mulia manusia dan merupakan
kegiatan tolong-menolong yang baik, dalam menghadapi problematika
kehidupan dan perkembangan zaman.
Pada prinsipnya, zakat dapat mengembangkan dan memberkahkan
harta. Terkadang orang menganggap aneh, zakat yang secara
lahiriah mengurangi harta, dengan mengeluarkan sebagiannya,
bagaimana mungkin akan berkembang dan bertambah banyak. Tetapi
sebenarnya di balik pengurangan yang bersifat zahir ini, hakikatnya
akan berkembang, akan menambah harta secara keseluruhan yang
beredar dari berbagai kalangan masyarakat dan pada gilirannya dapat
membangkitkan usaha di berbagai sektor.
Kita dapat melihat sebagian pemerintahan yang kaya, memberikan
sebagian hartanya kepada sebagian pemerintahan yang miskin, bukan
karena Allah, tetapi karena ingin menumbuhkan kekuatan yang
mendukungnya..32
Zakat sebagai ibadah praktis yang langsung dirasakan manfaatnya
oleh masyarakat golongan ekonomi lemah, demikian halnya keadilan
sosial secara praktis obyek utamanya meningkatkan kesejahteraan dan
status golongan dhua’fa dalam masyarakat.
Zakat yang dinyatakan seabgai hak fakir miskin, juga merupakan
hak masyarakat. Orang kaya yang berhasil mengumpulkan harta
kekayaan, sebenarnya hal ini tidak mungkin terwujud tanpa andil
saham, bantuan dan partisipasi orang lain, baik langsung maupun
tidak langsung terutama dari golongan dhua’afa, sebagaimana hadis
Nabi yang berbunyi :
30
Anonim. h. 297
31
Muhammad Yusuf Al Qardlawi, Op Cit. h. 848
32
Ibid. h. 866
33
Imam Ahmad bim Hanbal, Musnad. Juz I. Mu’assisah Qurtubah. Mesir. tt. h. 91
34
Muhammad Yusuf Al-Qardlawi, Op.Cit. h. 325
35
Hadi Purnomo Pendayagunaan Zakat, Panji Mas. Edisi Agustus 1986. No. 619
36
Anonim. h. 297
H. Kesimpulan
Setelah memaparkan berbagai pembahasan tentang zakat perkebunan,
penulis berusaha menyimpulkan sebagai berikut :
a. Ditinjau dari segi bahasa, kata zakat merupakan kata dasar dari
zakat yang berarti tumbuh, subur, bersih, baik, berkembang, suci
dan keberkahan. Zakat berwazan fa’alah, dan merupakan kata benda
bermakna ganda, sebagai kata benda yang meliputi kekayaan harta dan
benda dan sebagai kata kerja yang meliputi segala aktivitas pelaksanaan
zakat itu sendiri. Menurut istilah, zakat itu sebutan untuk pengambilan
tertentu dari harta yang tertentu menurut sifat-sifat yang tertentu
untuk diberikan kepada golongan yang tertentu. Zakat ini merupakan
beberapa istilah, shadaqa, haq, nafaqah, dan afuw.
b. Zakat itu menurut garis besarnya terbagi dua : zakat mal (harta) dan
zakat nafs (jiwa).
c. Landasan wajibnya zakat hasil perkebunan didasarkan kepada Al-
Quran (2 : 267, 6 : 14), hadis Rasulullah, dan ijma.
d. Para ulama berbeda pandangan dalam mengkategorikan hasil
tumbuhan apa saja yang wajib dikeluarkan zakatnya. Namun menurut
penulis, sesuai dengan keumuman nash yang menegaskan tentang zakat
menunjukkan kepada semua hasil tanaman yang bernilai ekonomis dan
dimaksudkan untuk memperoleh penghasilan dari penanamannya,
e. Jumhur ulam sepakat bahwa tanaman dan buah-buahan tidak
akan terkena wajib zakat jika belum sampai lima wasaq. Dan waktu
pelaksanannya adalah pada saat memetik atau memanen hasil
perkebunan.
f. Perenan zakat perkebunan dalam upaya meningkatkan ekonomi umat
dapat dilihat dari prinsip zakat itu sendiri yang dapat mengembangkan
dan memberkahkan harta. Zakat juga dapat meningkatkan
perekonomian umat jika dikelola secara profesional oleh suatu lembaga
DAFTAR BACAAN
Anonim, “CD Al-Quran Al-Karim, Keluaran Kelima 6.50, Perusahaan
Perangkat Lunak Sakti, 1997.
Ahmad bin Hanbal, Musnad, Juz I, Mu’assisah Qurtubah, Mesir , II.
Al-Ghazali, Muhammad, Rahasia Puasa dan Zakat. Pen, Karisma, Bandung,
1998.
Al-Qardlawy, Muhammad Yusuf, Prof. Dr… “Fiqhu al-zakah, penterjemahan,
Dr. Salman Harun, Mizan. Bandung : 1996
Al-Qardlawy, Muhammad Yusuf, Hukum Zakat : Studi Komperatif Mengenai
Status Dan Filsafat Zakat Berdasarkan Al-Quran dan AL-Hadis,
Litera Antar Nusa dan Pustaka Mizan. 1996.
Al-Qudamah, Abdullah bin Ahmad, Al-mughini, Jilid II, Dar Al-Fikr,
Beirut, 1405.
Al-Qurtubi, Abu Abdillah, Tafsir Al-Qurtubi. Jilid III, Cet, II, Dar Al-sa’ab
Kairo, 1372.
Al-Sayuti, Muhammad bin Ahmad, “Tafsir Jalalain, Jilid I, Dar al-Hadis,
Qairo, tt.
Al-Shan’any, Muhammad Bin Ismail, Subul al-Salam. Cet IV, Dar Ihya al-
Turats al-Araby, Beirut, 1379.
Al-Shiddieqy, Muhammad Hasbi, Pedomn Zakat, Semarang : PT. Pustaka
Rizki Putra, 1999.
Al-Syafi’I, Muhammad Bin Idris, Ahkamu Al-Quran, Juz I, Dar al-Kutub
al-Ilmiah, Beirut, 1400
Al-Syaukani, Muhammad bin Ali, Nailu al-Authar, Dar al-Jill, Beirut,
1973.
Al-Zarqani, Muhammad bin Abdul Baqy, Syarah al-Zarqani, Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, Beirut, 1411.
“CD al-Mausu’ah al-Hadis al-Syarif, Globalisasi Islamic Software Company,
1991-1997.
Purnomo, Drs. Syeh Hadi, SH, MA, Pendayagunaan Zakat, Dalam Panjimas,
edisi Agustus, 1989. No. 619, Pustaka Panjimas Jakarta.
Rifa’I, Moh,. Drs. .. Fiqh Islam Lengkap, CV. Thoha Putra, Semarang.
1978.
Abstrak
It is hard to deny that monopoly and unfairness in business bring
about any unexpected circumstances. Unfortunately, there are many
groups that are always control over some products and commodities
in order to monopolize the market. Negative impacts of monopoly
is not only to enervate the purchasing power of consumer by taking
profit as much as possible, but also to spoil the equilibrium of of
market mechanism due to the distortion created by that groups. This
article will discuss about monopoly on perspective of Islamic business
ethic.
Pendahuluan
Persaingan harus dipandang sebagai hal yang positif dan sangat
esensial dalam dunia usaha. Dengan persaingan, para pelaku usaha
akan berlomba-lomba untuk terus menerus memperbaiki produk dan
melakukan inovasi atas produk yang dihasilkan untuk memberikan yang
terbaik bagi pelanggan.
Dari sisi konsumen, mereka akan mempunyai pilihan dalam membeli
produk dengan harga murah dan kualitas terbaik. Dalam kondisi demikian,
yang harus dituntut adalah bentuk persaingan yang sehat (fair).
Karena kita tahu dalam praktek, banyak terjadi bentuk persaingan
yang tidak sehat (unfair), yang akan mematikan persaingan itu sendiri, dan
pada gilirannya memunculkan praktek monopoli.
Jika kita menyebutkan kata ‘monopoli’ terbayang dalam benak kita
adanya seorang atau sekelompok orang yang menguasai suatu bidang
148 dan al Maidah : 48). Oleh karena itu dalam etika bisnis Islam tidak
diperbolehkan melakukan kompetisi yang tidak sehat yang akhirnya
menjurus pada praktek monopoli.
Seorang pelaku usaha yang memaksakan kehendak agar tidak ada yang
menjual suatu barang kecuali dia, maka dengan perbuatan yang dilakukan
tersebut mengandung dua kedzaliman. Pertama, ia melarang orang
berdagang seperti barang yang ia jual; kedua, ia menjual barang tersebut
sesuai kehendaknya dengan harga yang tinggi. Hal tersebut bertentangan
dengan ayat al Qur’an yang artinya : ‘…. Dan janganlah kamu memakan
harta sebagian dari yang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil”. (QS
al Baqarah : 188) Dan juga surat an-Nisa yang artinya : “Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu,
sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu”. (QS An-Nisa : 29).
Kalau diilustrasikan “dosa-dosa” yang dilakukan oleh pelaku praktek
monopoli, antara lain : dosa pertama, beberapa perusahaan berkonspirasi
membentuk sindikat kartel bisnis yang tidak diperbolehkan oleh agama
dan undang-undang; dosa kedua, sindikat perusahaan melakukan
pembelian saham perusahaan secara monopsoni (istilah monopoli dalam
pembelian) yang juga tidak diperbolehkan oleh agama dan undang-
undang; dosa ketiga, kalau misalnya produk yang dihasilkan perusahaan
sejenis dengan perusahaan pembeli yang berakibat semakin dominannya
pangsa pasar terhadap produk sejenis tersebut, akan berkembang menjadi
monopoli penjualan; dosa keempat, timbul jika monopoli terjadi terhadap
jenis produk yang terkait erat dengan policy pemerintah tentang proteksi
barang dalam negeri. Misalnya terkait dengan produksi otomotif. Dengan
adanya monopoli dan penyatuan produsen mobil, harga mobil akan
melambung tinggi dan berlipatganda jika dibandingkan dengan Negara
asal mobil diproduksi; dosa kelima, monopoli akan memberi akses terhadap
perekonomian secara makro maupun mikro. Dengan kekuatan ekonomi
yang sangat besar mereka dapat mempengaruhi jalannya pemerintahan dan
mengatur seluk beluk dan sendi pemerintahan sesuai dengan kepentingan
mereka.
Secara sepintas terlihat, pelarangan praktik monopoli sebagai
tindakan semena-mena terhadap hak pribadi seseorang yang bebas
dalam menggunakan hartanya. Hal tersebut sebagaimana jawaban dua
pelaku monopoli ketika dihadapkan pada Khalifah Umar bin Khattab
Penutup
Berangkat dari analisis diatas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Dalam etika bisnis Islam, persaingan dipandang sebagai hal yang positif
manakala dengan persaingan tersebut bisa diwujudkan kemashlahatan
bagi peningkatan kesejahteraan ekonomi umat. Tetapi apabila persaingan
tersebut menjurus kepada perilaku tidak etis (tidak sehat) atau praktek
monopoli maka mengkategorikannya sebagai perbuatan bathil, melanggar
prinsip ekonomi syari’ah yang bersumber dari al Qur’an dan as-Sunnah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Kelib, Hukum Ekonomi Islam, Semarang UNDIP, 2005
Ahmad Yani dan Gunawan, Anti Monopoli, Jakarta : Radja Grafindo
Persada, 2002
Hikmahanto Yuwono, Sekilas Tentang Hukum Persaingan dan UU No.5
tahun 1999” Jurnal Magister Hukum UII, vol1. No.1, Yogyakarta
, 2000.
Muslich, Etika Bisnis Islami : Landasan Filosofis, Normatif dan Substansi
Implementatif, Yogyakarta : Ekonisia, 2004
Muhammad Ismail Yusanto dan Muhammad Karebet Widjayakusuma,
Menggagas Bisnis Islami, Jakarta Gema Insani Press. 2002
Nawab Naqvi, Ethict and Economics : An Islamic Syntesis. Terj. Etika dan
Ilmu Ekonomi Suatu Sintesis Islami, Bandung, Mizan. 1993
Rafik Isa Beekun, Islamic Business Ethict, Virginia. International Institute
of Islamic Thought, 1997
Sri Redjeki Hartono, Hukum Persaingan, Semarang, UNDIP, 2005
Shabri A. Madjid, Krisis Ekonomi Dalam Perspektif Islam” Makalah
Penelusuran Internet
Undang-Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat