You are on page 1of 7

From http://Luqmansastra.blogspot.

com
Terimakasih sudah mendownload

NYELAMA SAKAI Cerpen Amien Wangsitalaja

Petikan sampe mulai mendenting-denting. Kanjet nyelama sakai dimulailah sudah. Dan
kembali aku menyukai lagi keberadaanku di sini. Tarian itu menyambutku lagi. Dan seperti
dulu, aku selalu akan menunggu dengan hati berdenyar datangnya kanjet manyam tali, karena
tarian itu memiliki kekuatan tertentu untuk mengaduk-aduk rasa, seolah melemparkan tali
pengikat kepadaku untuk aku selalu berada di bawah pengaruh gendamnya sehingga tak bisa
keluar dari mencintai tempat ini.

Aku merasakan kenikmatan itu, kenikmatan diikat oleh sesuatu

yang samar-samar tapi terasa, agaknya, sungguh-sungguh eksotik. Aku bahkan


mengangankan suatu saat diriku betul-betul dilempari selendang oleh satu dari para penari itu
sehingga aku bisa merasakan aroma keringatnya dari dekat. Tapi, ini bukan ronggeng, dan
tentu saja karenanya di sini tak ada konsep nibakake sampur. Ah, sayang.

Jangan-jangan, aku sebetulnya memang ingin, suatu ketika, berkenalan dengan satu dari para
penari itu. Kami akan duduk diam berdua sambil masing-masing mencoba meraih pesona.
Atau, bercengkerama di lantai ulin. Kuharap ia akan membubuhkan buluh perindu ke gelas
minumku.

Betul, rupanya aku menyukai kota ini. Kukira Samarinda hanyalah kota yang kumuh. Di
banyak tempatnya terlalu berdebu, di banyak tempat yang lain terlalu banyak digenangi air
yang baunya busuk menyengat. Tapi, kutatap secara samar-samar warna eksotika. Betul.

Sebagaimana aku membayangkan dapat mencicip bau keringat penari itu atau merasakan
aroma napasnya yang tidak memburu, aku memang menyukai sesuatu yang eksotik. Penari
itu. Kota ini. Sedang kamu, Naf? Aku sering tersiksa sendiri jika sampai sekarang aku masih
saja gagal menemukan eksotika itu. Kamu.
Saat itu, enam bulan lalu, aku masih saja kesulitan mencari kemungkinan-kemungkinan
eksotik yang muncul dari auramu, ketika kamu dengan ringan meniupkan kata-kata yang
membuatku tersentak.

"Berpisah akan memungkinkan kita lebih mahir marajut angan dan kemungkinan-
kemungkinan!"

"Naf...?!"

"Percayalah, aku mendukung sepenuhnya rasa jijikmu terhadap instansi tempatmu bekerja,
lembaga riset itu."

"Naf...?!"

Kamu selalu pintar mengalihkan persoalan. Waktu itu aku memang sedang jijik dengan kota
ini. Bukan kota ini yang salah, tapi aku tiba-tiba merasa muak tinggal di dalamnya.

Aku mungkin tidak akan pernah menginjakkan kaki di kota ini jika bukan karena aku
diterima bekerja di sebuah lembaga riset milik negara, yang bergerak di bidang penelitian
bahasa. Aku sendiri seorang penikmat sastra dan budaya. Ketika beroleh berita akan
ditempatkan di wilayah timur Borneo, hatiku terlonjak. Aku telah mendengar di wilayah itu
terdapat beragam sikap dan hasil kebudayaan yang masing-masingnya didukung oleh
komunitas etnis tertentu dengan eksotikanya tersendiri.

Langsung kubayangkan asyiknya tantangan untuk menyelami wilayah etnis ini. Aku akan
bergumul dengan pekerjaan yang menuntut pelibatan diri yang tinggi. Ya. Kuakui, aku
terobsesi dengan grounded research. Aku akan menikmati keasyikan tinggal bersama
komunitas Kenyah, Tunjung, Kutai, Berusu, Benuaq, atau yang lainnya dan belajar hidup
bersama mereka sambil menyerap inspirasi kultural maupun estetik untuk kemudian mencoba
merumuskan apa yang bisa kutemukan dari pergaulan dengan mereka itu. Aku menyukai
pedalaman dan eksotika. Selain itu, aku pastilah juga tidak akan lupa meneliti masyarakat
Banjar yang banyak diam di perkotaan. Amboi.

Kekecewaan demi kekecewaan mulai menghampiriku. Bagaimanapun, aku kembali


tersadarkan bahwa diriku sedang berada di sebuah lembaga milik negara, aku pegawai
negara, orang bilang PNS. Dan meskipun lembaga yang kutempati ini bergerak di bidang
riset dan keilmuan, tetaplah ia instansi negara. Dan instansi negara, kamu tahu, selalu saja
banyak memiliki catatan reputasi moral yang tidak mengasyikkan. Aku harus mulai mengerti,
seilmiah apa pun nama lembaga ini, praktik-praktik korupsi, pungli, dan manipulasi akan
banyak terjadi.

"Dana untuk penelitian mandiri kalian memang dua juta empat ratus ribu rupiah, yang harus
kalian tanda-tangani di kuitansi nanti. Tapi, harap kalian bisa memahami jika uang yang nanti
diterima oleh kalian hanya maksimum separonya. Kantor mengambil sekian rupiah dari dana
itu untuk membayar penilai proposal dan membayar konsultan. Selain itu, kantor juga akan
memungut biaya pengetikan laporan...."

Padahal, aku tahu, pos pemotongan dana untuk penilaian proposal, pengonsultasian, maupun
pengetikan laporan itu sama sekali tidak ada dasar hukumnya. Itu semata retorika pejabat
melakukan eufemisme terhadap praktik pungli. Pada intinya, birokrasi ingin mengambil uang
pungutan dan supaya tidak terkesan liar maka dibuatlah pos-pos penarikan dengan istilah
yang sepintas lalu terlihat rasional. Aku sempat menanyakan ke kawan-kawan di lembaga
riset sejenis di kota lain dan mereka menjawab di tempat mereka tidak ada pos pemotongan
untuk biaya penilaian proposal, sementara untuk menghadirkan konsultan juga tidak
diwajibkan.

"Percayalah, aku mendukung sepenuhnya rasa jijikmu terhadap instansi tempatmu bekerja,
lembaga riset itu."

"Naf...?!"

Rupanya kamu pintar membaca emosiku. Dan kamu tampak lebih dewasa hari itu,
sebagaimana aku bisa merasakannya dari napasmu yang tidak memburu. Saat itu, aku sedang
belajar meraba dan merasakan kemungkinan-kemungkinan eksotik yang muncul dari auramu.
Tapi....

Barangkali, memang aku jijik dengan instansiku: lembaga riset, lembaga ilmiah, tapi
suasananya sama sekali tidak ilmiah. Tepatnya, diksi-diksi ilmiah seringkali dipakai hanya
sebagai tudung dari yang sebenarnya hanyalah semata "proyek penghabisan anggaran
negara". Peneliti murni yang bekerja untuk motivasi ilmiah justru akan banyak menderita
sakit hati di sini.

"Kantor ini tidak membutuhkan orang yang pandai, tapi kantor ini membutuhkan orang yang
sopan!"
Itulah statemen paling menjijikkan yang tak mungkin kulupakan. Kamu boleh tersenyum
nyinyir jika statemen semacam itu keluar dari seseorang yang mengendalikan sebuah
lembaga riset. Saat itu aku memang dibenci oleh atasanku karena dianggap tidak berdisiplin.
Disiplin, dalam pemaknaannya yang verbalistik-lipstik, kamu tahu, adalah salah satu kata
kunci yang sering dipakai oleh birokrasi Orde Baru untuk membekukan akal sehat dan
mematikan apresiasi intelektual. Dan itu masih berlaku di sini.

Bagiku, sebagai peneliti aku harus banyak menggali pengetahuan dan inspirasi dari
lingkungan dan masyarakat yang akan diteliti. Peneliti juga harus terlibat dengan wacana
yang tengah berkembang di masyarakat. Artinya, peneliti harus menggelandang dan banyak
bertandang. Peneliti harus berinteraksi dengan objek yang ditelitinya. Itulah kedisiplinan dan
tanggung-jawab seorang peneliti, menurutku. Disiplin bagi seorang peneliti tentu berbeda
dengan disiplin bagi pegawai administrasi.

"Ini bukan tawaran. Peraturan mengharuskan kalian untuk memenuhi 38 jam masuk kerja
untuk setiap bulan. Jadi setiap pukul 7.30 pagi kalian harus ikut apel pagi dan baru pulang
setelah pukul 16.00."

Kamu juga tahu, di kantorku tidak ada buku-buku referensi kecuali buku-bukuku sendiri.
Komputer juga cuma satu. Kamu jangan tertawa mengejek dulu, ini kenyataan. Kamu
mungkin heran ke mana larinya uang proyek senilai sekian M itu. Jangan heran, pengadaan
fasilitas komputer dan buku referensi, yang sebetulnya teramat primer bagi seorang peneliti,
bukanlah yang diutamakan di sini. Begitulah, dan ini memang lembaga riset. Dan disiplin
bagi peneliti di lembaga riset adalah apel pagi dengan memakai seragam rapi, duduk bengong
di ruangan sampai sore (bagi yang perempuan sambil sesekali memperbaiki dandanan dan
menebalkan ulang warna lipstik yang hilang), pulang, ke mal sebentar, tidur, bangun pagi-
pagi, apel pagi, bengong lagi.... Sekali-kali jangan sok berdiskusi yang ilmiah, itu tidak sopan
di mata atasan.

Kamu pasti marah kalau aku dibilang bukan orang yang suka kedisiplinan, karena kamu tahu
sendiri, aku lebih sering cerewet mengingatkanmu untuk segera sembahyang atau segera
menyelesaikan membaca sebuah novel. Yah, rasanya aku sangat sering beropini di depanmu,
kedisiplinan adalah penegakan komitmen keilmuan dan pengabdian pada rakyat, penegakan
nilai moral, penjunjungan hukum, penanaman kejujuran dan keadilan, bla bla bla.... Tapi,
kenaifan-kenaifan memang selalu sering terjadi, Naf. Peneliti yang dianggap berdisiplin
ternyata adalah peneliti yang rajin ikut apel pagi, meski ia tidak memiliki komitmen pada
dunia keilmuan, meski orientasi yang ada di kepalanya hanyalah bagaimana bisa
menghabiskan anggaran dana rutin atau dana proyek.
Bukankah seorang intelektual harusnya lebih mengejar peran sebagai moral oracle, orang
bijak penjaga moral? Opinimu waktu itu. Aku tak membalahmu. Dan kau mengumpat bahwa
banyak dari mereka yang bergerak di dunia intelektual tergelincir menjadi tak lebih dari
servant of power, budak-budak kekuasaan. Nah, kau pintar, Naf. Dan kepintaranmu makin
mendorongku untuk muyak dengan semua ini.

Akhirnya, aku memang mulai jengah dengan kota ini. Apalagi hubunganku denganmu selalu
saja belum bisa seasyik yang kubayangkan. Aku mengangankan penari itu. Eksotika. Aku
menginginkan ada yang membubuhkan buluh perindu di gelas minumku. Tapi, kamu telah
dengan lancang nyelonong mencuri hatiku. Naf...

Betapa akrabnya canda kita setiap menaiki taksi kuning itu. Dan kamu selalu senang
mengantarku ke lamin Pampang, menengok tarian. Betapa akrabnya diam kita setiap prosesi
tarian bermula dari nyelama sakai. Aku suka penari-penari itu, tapi candamu menjebakku.
Setiap pulang dari lamin kamu selalu memastikanku untuk meneruskan keakraban itu di
rumahmu. Kita berdiskusi banyak hal. Dan napasmu tidak memburu. Tapi, aku sering
khawatir setiap aku belajar mencari-cari warna eksotik dari inner beauty-mu. Aku
mengangankan penari-penari itu. Betapa tidak asyiknya aroma kota dari bau mandimu, meski
ketika berdiskusi banyak hal aku selalu bisa mencicipi asyiknya napasmu yang tidak
memburu.

Kamu mengasyikkan justru ketika kamu terlalu cepat memutuskan.

"Berpisah akan memungkinkan kita lebih mahir marajut angan dan kemungkinan-
kemungkinan!"

"Naf...?!"

Aku memang jengah dengan kota ini hanya karena rasa muakku setelah idealismeku sebagai
peneliti dibunuh justru oleh lembaga kepenelitian tempatku bekerja di kota ini. Etika ilmiah
dibunuh oleh instansi yang mengatasnamakan lembaga ilmiah. Aku memang risih bergaul
dengan para pemuja "proyek" yang mencampakkan intelektualitas. Aku mungkin memang
harus melupakan dulu kota ini. Tapi, apakah harus aku melupakan kecerdasan yang selalu
meriah yang kuasyiki dari napasmu yang tidak memburu itu? Naf...?

Petikan sampe telah lama berhenti. Pengunjung juga sudah beranjak, sebagian keluar lamin,
sebagian menuju sisi kiri lamin dan mulai menawar-nawar aksesori ataupun ramuan-ramuan
a la Kenyah yang dijajakan di lantai lamin. Aku mulai beranjak. Aku sebetulnya masih ingin
berlama mencuri cium aroma keringat penari-penari itu, tapi kamu sudah akan menunggu di
taman di tepi sungai, sore ini. Mahakam.... Naf....
Aku juga heran, kenapa kamu hari ini tidak mau menyambutku dengan menemaniku
mengulang memori ini. Menengok penari-penari. Padahal, sudah enam bulan kita tidak
pernah bersama-sama melakukannya sejak aku harus memutuskan meninggalkan kota ini dan
menyembunyikan alamatku di pulau seberang. Aku masih meninggalkan nomor ponselmu.
Dan aku betul terlonjak ketika dua hari lalu kau menghubungi nomorku, meminta bertemu.

Mulanya aku agak ragu untuk kembali menginjak kota ini. Rasa kecewa dengan instansiku
dulu, dengan ketidakintelektualan birokrasinya, masih kusimpan. Tapi, aku memang diam-
diam selalu digelisahkan rindu. Kecerdasanmu. Napasmu yang tidak memburu. Dan, o,
barangkali kita masih akan berbalah soal keringat penari-penari itu, juga buluh perindu.

Aku telah mencapai taman di tepian sungai ini setelah harus berganti taksi tiga kali. Seperti
anak kecil, aku berlari-lari kecil menyusuri wajah-wajah yang sedang bersantai. Pastilah
kamu, Naf, akan kujumpa lagi. Dan memang aku tidak sulit untuk menandaimu. Kira-kira
sepuluh kaki di sebelah kiri kulihat kamu duduk menyendiri.

Aku mengumpat dalam hati karena rupanya kamu selalu saja memulai pertemuan dengan
canda. Ya, pastilah kamu bercanda dengan menyembunyikan kejutan hadiah di sebalik
jubahmu itu. Teramat besar rupanya volume hadiah yang akan kamu kejutkan untukku itu
sehingga seolah kamu sedang mendekap sebuah bantal kecil di perutmu. Ayo, keluarkan,
Naf, kutebak itu boneka penari atau....

Akan tetapi, senyummu menampakkan canda yang serius. Dan aku betul-betul terkejut.

"Naf...?!"

"Ya, penari kecilmu."

"Naf...?!"

"Ya, tujuh bulan."

"Naf...?!"

Aku tidak sempat membalah kenapa kamu tidak mengatakannya sejak enam bulan lalu. Aku
terpaku dalam sugun. Sekali ini aku telah benar-benar bisa meraba dan merasakan
kemungkinan-kemungkinan eksotik yang muncul dari auramu. Keringatmu melebihi keringat
para penari itu, melebihi buluh perindu. Napasmu juga tidak memburu. Aku terjebak dalam
eksotisme yang akut. Kukira aku telah begitu saja melupakan kekesalanku atas penolakanmu
siang tadi untuk menemaniku menengok nyelama sakai dan mencuri bau keringat para penari.

"Aku akan mempersembahkan nyelama sakai dan manyam tali sekaligus, khas untukmu sore
nanti. Kita bertemu saja di taman itu. Ingat, jangan dulu datang ke rumah. Tarian
penyambutanku itu lebih nyaman kauasyiki di taman. Nanti sore, pukul lima, jangan
terlambat."

"Naf...."

Samarinda, 2005

You might also like