You are on page 1of 73

Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxp;;;;;;;;;;;;;;;;;;;

;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
---------------------

RISALAH SIDANG
PERKARA NOMOR 140/PUU-VII/2009

PERIHAL
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 PNPS
TAHUN 1965 TENTANG PENYALAHGUNAAN
DAN/ATAU PENODAAN AGAMA
TERHADAP
UNDANG-UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

ACARA
MENDENGARKAN KETERANGAN
AHLI YANG DIHADIRKAN MK,
DAN KETERANGAN PIHAK TERKAIT
(IX)

JAKARTA
JUMAT, 12 MARET 2010
MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
--------------
RISALAH SIDANG
PERKARA NOMOR 140/PUU-VII/2009

PERIHAL

Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang


Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

PEMOHON

Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan


(Imparsial) dkk.

ACARA

Mendengarkan Keterangan Ahli yang dihadirkan MK dan Keterangan


Pihak Terkait (IX)

Jumat, 12 Maret 2010, Pukul O9.00 – 15.25 WIB


Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi RI,
Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat.

SUSUNAN PERSIDANGAN

1) Prof. Dr. Moh. Mahfud MD., S.H. (Ketua)


2) Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H. (Anggota)
3) Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. (Anggota)
4) Dr. H.M. Akil Mochtar, S.H., M.H. (Anggota)
5) Hamdan Zoelva, S.H., M.H. (Anggota)
6) Dr. Muhammad Alim, S.H., M.Hum. (Anggota)
7) Dr. Harjono, S.H., MCL. (Anggota)
8) Drs. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum. (Anggota)

Fadzlun Budi SN, S.H., M.Hum. Panitera Pengganti

1
Pihak yang Hadir:

Kuasa Hukum Pemohon:

- M. Chairul Anam, S.H.


- Putri Kanesia, S.H.
- Vicky Sillvanie, S.H.
- Judianto Simanjuntak, S.H.
- Adam. M. Pantauw, S.H.
- Muhammad Sodik
- Siti Aminah, S.H.

Pemerintah:

- Cholilah, S.H., M.H. (Direktur Litigasi Kementerian Hukum dan Hak


Asasi Manusia)
- H. Mubarok (Kepala Biro Hukum Kementerian Agama)
- Mashuri (Kementerian Agama)
- Abdul Jamil (Kementerian Agama)
- Mualimin Abdi (Kabag dari Menkumham untuk Penyajian pada Sidang
MK)
- Radita Aji (Staf Litigasi)

Ahli yang dihadirkan MK

- Pastor Dr. F.X. Mudji Sutrisno, SJ.


- Dr. Ulil Abshar Abdalla, M.A.
- Emha Ainun Nadjib.

Pihak Terkait (Forum Kerukunan Umat Beragama)

- H. Ahmad Syafi’i Mufid, MA.


- Drs. Rudy Pratikno, S.H.
- Pdt. M.E. Raitung, S.Si., MM.
- Xs. Djaengrana Ongawijaya
- Pdt. Liem Wirawijaya
- H.M.E. Sja’roni

Pihak Terkait (Komnas Perempuan)

- Dr. Yunianti Chuzaifah


- Dr. Kunthi Triewiyanti
- Tumbu Saraswati, S.H.

2
Pihak Terkait (Forum Umat Islam)

- Wirawan Adnan, S.H. (Kuasa Hukum)


- Muhammad Al Khotob (Sekjen FUI)

Pihak Terkait (Dewan Masjid Indonesia)

- H. Sutito, S.H., M.H.


- Drs. H.M. Hatsir Zubaidi

Pihak Terkait (PBNU):

- Asrul Sani (LBH NU)

Kuasa Hukum Pihak Terkait (Dewan Dakwah Islamiyah):

- Abdul Rahman Tardjo, S.H.


- Zamhan

Pihak Terkait (Majelis Ulama Indonesia/MUI):

- H.M. Lutfi Hakim, S.H., M.H. (Anggota)

Pihak Terkait (BKOK):

- Arnold Panahal

DPP PPP:

- Muhammad Naril Ilham (Kuasa Hukum)

Pihak Terkait (Hizbut Tahrir Indonesia)

- M. Mahendradatta, S.H., M.A., M.H., Ph.D.


- Achmad Michdan, S.H.
- A. Kholid, S.H.

Pihak Terkait (Front Pembela Islam)

- Munarman, S.H.

3
SIDANG DIBUKA PUKUL 09.00 WIB

1. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Assalamualaikum wr. wb.


Sidang Mahkamah Konstitusi untuk mendengarkan keterangan
Ahli dan mendengar tanggapan Pihak Terkait dalam Perkara Nomor
140/PUU-VII/2009 dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum.

KETUK PALU 3 X

Silakan Pemohon untuk memperkenalkan yang hadir dari Pihak


Pemohon, silakan.

2. KUASA HUKUM PEMOHON : M. CHOIRUL ANAM, S.H.

Terima kasih, Yang Mulia.


Sampai saat ini yang hadir saya sendiri Muhammad Choirul Anam,
paling ujung kiri Putri, di sebelahnya Vicky, di sebelahnya Judianto,
Adam, Sodik, dan Siti Aminah, ada yang masih di jalan.
Terima kasih.

3. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Pemerintah, silakan.

4. PEMERINTAH : DR. MUALIMIN ABDI, S.H., M.H. (KABAG


PENYAJIAN PADA SIDANG MK)

Terima kasih, yang Mulia.


Assalamualaikum wr. wb.
Pemerintah hadir saya sendiri Mualimin Abdi dari Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia, sebelah kiri saya Pak Mubarok dari
Kementerian Agama, di sebelah kirinya Ibu Cholilah juga dari
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, di sebelah kirinya lagi Pak
Abdul Jamil dari Kementerian Agama dan Pak Mashuri dari Kementerian
Agama juga, Yang Mulia.
Terima kasih.

5. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H..

Pihak Terkait, Forum Kerukunan Umat Beragama.

4
6. PIHAK TERKAIT (FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA) :
H. AHMAD SYAFI’I MUFID, M.A.

Assalamualaikum wr. wb.


Forum Kerukunan Umat beragama saya sendiri Ahmad Syafi’i
Mufid, di sebelah kanan saya Rudy Pratikno mewakili Keuskupan Agung
Jakarta, di samping kiri saya Pendeta Raitung mewakili PGI wilayah DKI
Jakarta, di belakang saya Xs. Ongawijaya mewakili Matakin, Pendeta
Liem Wirawijaya mewakili WALUBI, Sja’roni mewakili MUI, dan masih
ada yang diperjalanan.
Terima kasih, Yang Mulia.

7. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Kemudian Pihak Terkait, Komnas Perempuan.

8. PIHAK TERKAIT (KOMNAS PEREMPUAN) : DR. YUNIANTI


CHUZAIFAH

Ya, terima kasih Yang Mulia. Saya sendiri Yunianti Chuzaifah


mewakili Komnas Perempuan sebagai Ketua, sebelah kiri saya Ibu Dr. Tri
Kunthi Dewiyanti Ketua Sub Komisi Reformasi Hukum dan Kebijakan dan
Ibu Tumbu Saraswati, S.H. mantan Anggota Dewan dan sekarang
menjadi Komisioner Komnas Perempuan.
Terima kasih.

9. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Kemudian, Forum Umat Islam.

10. PIHAK TERKAIT (FORUM UMAT ISLAM) : WIRAWAN ADNAN,


S.H.

Assalamualaikum wr. wb.


Yang Mulia, kami Forum Umat Islam pada sidang hari ini adalah
diwakili oleh saya sendiri Wirawan Adnan dan dalam perjalanan
menyusul adalah dari Sekjen FUI Muhammad Al Khotob dan hadir juga
pada sidang hari ini adalah H. Muhammad Mursalin dari Hisbut Dakwah
Indonesia.
Terima kasih, Yang Mulia.

11. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H..

Kemudian Dewan Masjid, Pihak Terkait Dewan Masjid Indonesia


sudah hadir? Sudah ada yang hadir, dewan Masjid? Silakan
memperkenalkan diri siapa yang hadir mewakili Dewan Masjid hari ini.

5
12. PIHAK TERKAIT (DEWAN MASJID INDONESIA) : H. SUTITO,
S.H., M.H.

Assalamualaikum wr.wb.
Saya nama Sutito dari Departemen Hukum dan Wakaf Dewan
Masjid, kemudian bersama ada Hatsir Zubaidi, Sekjen Dewan Masjid
Indonesia.

13. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H..

Ya, baik. Kemudian dari Pihak Terkait PBNU.

14. PIHAK TERKAIT (PBNU) : ASRUL SANI

Terima kasih, Yang Mulia.


Assalamualaikum wr. wb. Selamat pagi, saya Asrul Sani mewakili
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.

15. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Dari Dewan Dakwah Islamiyah.

16. PIHAK TERKAIT (DEWAN DAKWAH ISLAMIYAH) : ZAMHAN

Assalamualaikum wr. wb.


Yang Mulia, kami dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia yang
hadir mewakili 2 orang saya Zamhan dan Bapak Abdul Rahman Tardjo di
sebelah saya.
Terima kasih.

17. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Baik, Pihak Terkait yang tidak punya jadwal memberi keterangan


khusus yang paling rajin itu PBNU dan Dewan Dakwah ini ya, yang tidak
pernah tidak hadir, bagus. Dan Majelis Ulama, bertiga. Tapi yang lain
kadang datang kadang tidak, tapi memang tidak punya jadwal. Yang hari
ini punya jadwal bicara itu Dewan Masjid, Forum Umat Islam, Komnas
Perempuan dan Forum Kerukunan Umat Beragama.

18. PIHAK TERKAIT (MAJELIS ULAMA INDONESIA) : H.M. LUTFI


HAKIM, S.H., M.H.

Dari MUI belum, Yang Mulia.

6
19. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Dari MUI sudah datang? Oh, ya tidak lihat tadi. Silakan.


Pak Lutfi, silakan.

20. PIHAK TERKAIT (MAJELIS ULAMA INDONESIA) : H.M. LUTFI


HAKIM, S.H., M.H.

Baik, terima kasih Yang Mulia. Saya sendiri Muhammad Lutfi


Hakim, kemudian ada satu anggota yang sekarang sedang mewakilli
tugasnya Forum Umat Islam Saudara Wirawan Adnan dan kebetulan
Bapak Amidhan belum sampai di tempat.
Terima kasih, Yang Mulia.

21. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H..

Masih ada lagi, ndak?


Dari mana itu? Oh, dari Penghayat, silakan kenalkan diri, Pak.

22. PIHAK TERKAIT (BKOK) : ARNOLD PANAHAL

Saya Arnold Panahal dari BKOK.


Assalamualaikum wr. wb., Rahayu.

23. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H..

Baik. Badan Koordinasi Organisasi Kepercayaan.


Oke.

24. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT (PPP) : M. NARIL ILHAM

Masih satu lagi, Yang Mulia.

25. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Satu lagi? Mana?

26. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT (PPP) : M. NARIL ILHAM

Baik, Assalamualaikum wr. wb.


Saya Muhammad Naril Ilham, Kuasa Hukum dari Dewan Pimpinan
Pusat Partai Persatuan Pembangunan.

7
27. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Partai Persatuan Pembangunan, baik. Saudara kita hari ini Ahli-


Ahli yang diajukan oleh Pemohon maupun Pemerintah itu sudah habis,
kecuali satu, Durham ya, yang nanti akan kita periksa melalui
teleconference (…..)

28. PEMERINTAH : DR. MUALIMIN ABDI, S.H., M.H. (KABAG


PENYAJIAN PADA SIDANG MK)

Izin Yang Mulia, Pemerintah belum habis, Yang Mulia. Mungkin


Pemerintah hari Rabu (…..)

29. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Ya, tapi begini ya kalau nanti pada jadwal yang ditentukan tidak
bisa, ya jangan minta hari lain. Sidang ini dijadwalkan berakhir pada 24
Maret. Kalau di dalam kurun waktu itu tidak bisa juga tidak usah
diajukan. Nah, hari ini ada 3 Ahli yang diundang khusus oleh Mahkamah
Konstitusi, bukan karena diajukan oleh pihak tapi diundang khusus oleh
Mahkamah Konstitusi, Cak Nun/Emha Ainun Nadjib, silakan berdiri Pak,
biar dilihat, Pak. Kemudian Bapak FX. Mudji Sutrisno dan Bapak Ulil
Abshar Abdalla. Kita dengar dulu ketiga Ahli ini dengan terlebih dulu
mengambil sumpah. Bagi yang beragama Islam maju dulu untuk
mengambil sumpah.

30. IKUASA HUKUM PIHAK TERKAIT (DEWAN DAKWAH


ISLAMIYAH) : ABDUL RAHMAN TARDJO, S.H., M.H.

Mohon maaf, Yang Mulia (…..)

31. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Siapa ini yang berbicara?

32. IKUASA HUKUM PIHAK TERKAIT (DEWAN DAKWAH


ISLAMIYAH) : ABDUL RAHMAN TARDJO, S.H., M.H.

Dari Dewan Dakwah, sebentar, 2 detik, mohon maaf ini, ada


baiknya jika Yang Mulia Mahkamah Konstitusi menanyakan kepada Ulil
Abshar apakah ikhlas mau disumpah secara Islam.
Terima kasih.

8
33. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Saudara tidak boleh begitu, ini pengadilan, tidak boleh


memprovokasi.
Silakan, Pak Alim.

34. HAKIM ANGGOTA : DR. MUHAMMAD ALIM, S.H., M.HUM.

Kepada kedua Ahli ikuti lafaz sumpah yang akan saya tuntunkan.
“Bismillahirrohmanirohim, Demi Allah saya bersumpah sebagai
Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan
keahlian saya”.

35. AHLI (YANG DIHADIRKAN OLEH MK) : DR. ULIL ABSHAR


ABDALLA, M.A. DAN EMHA AINUN NADJIB

“Bismillahirrohmanirohim, Demi Allah saya bersumpah sebagai


Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan
keahlian saya”.

36. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Silakan duduk.
Romo Mudji. Bu Maria.

37. HAKIM ANGGOTA : PROF. DR. MARIA FARIDA INDRATI, S.H.,


M.H.

Ikuti lafal janji yang saya ucapkan.


“Saya berjanji sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang
sebenarnya sesuai dengan keahlian saya, semoga Tuhan menolong
saya”. Terima kasih.

38. AHLI (YANG DIHADIRKAN OLEH MK) : DR. F.X. MUDJI


SUTRISNO, S.J.

“Saya berjanji sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang


sebenarnya sesuai dengan keahlian saya, semoga Tuhan menolong saya.

39. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Silakan duduk. Baik, kita mulai dulu dari 3 Ahli ini. Jadi isu
pokoknya begini, Saudara-Saudara Ahli, ada Undang-Undang Nomor 1
PNPS Tahun 1965 yang isinya itu mengatur larangan penodan terhadap
agama, sedangkan penodaan terhadap agama itu seperti disebutkan di
dalam undang-undang itu antara lain menyampaikan, mengumumkan

9
ajaran yang menyimpang dari ajaran pokok, kemudian di dalam undang-
undang itu juga disebut agama-agama tertentu yang dianut di Indonesia
yang oleh pemerintah dianggap diakui di Indonesia tetapi undang-
undang itu juga menyebut agama-agama lain juga diakui dan dibiarkan
adanya. Dibiarkan itu artinya dibiarkan seperti yang lain tidak dihalangi,
bukan dibiarkan itu dibiarkan lepas tapi tidak dihalang-halangi.
Nah, lalu persoalannya sekarang kepada Saudara bertiga tidak
ditanya aspek hukum dari ini karena apakah ini sah atau tidak, bukan
sah atau tidak, karena itu sudah dibahas soal hubungannya dengan
konstitusi, tetapi persoalnnya apakah negara perlu mengatur hal seperti
itu? Bukankah itu urusan masing-masing orang atau sekurang-kurangnya
urusan masyarakat yang tidak perlu diatur oleh negara? Pasti Saudara
sudah mengikuti di berbagai media massa bahwa ada yang mengatakan
itu tidak perlu seperti dari Pemohon, tapi ada yang mengatakan justru
itu perlu karena tanpa aturan itu justru masyarakat akan bikin aturan
sendiri kalau terjadi konflik sesuka-sukanya lalu tidak ada hukum yang
mengatur. Antara lain seperti itu. Terutama dari aspek HAM Cak Nun
punya umat di bawah banyak, kira-kira seperti itu perlu apa tidak? Kalau
berdasar pengalaman di bawah tentu juga sebagai budayawan, Pak FX
Mudji juga, Pak Ulil Abshar juga punya pandangan-pandangan terutama
kaitannya dengan hak asasi manusia yang tentu boleh menyinggung
aspek-aspek yuridis tetapi yang pokok mau didengar dari Bapak bertiga
yang kami anggap sebagai Ahli di sini adalah hal-hal seperti itu. Nah,
Bapak bertiga diberi waktu masing-masing 15 menit untuk nanti
kemudian sesudah itu akan ada semacam pertanyaan atau minta
penjelasan dari Pemohon maupun dari Pihak Terkait atau Pemerintah,
sesudah itu kita masuk ke yang lain. Nah, untuk itu di persilakan Cak
Nun, maju saja ke podium. Mau maju atau mau duduk?

40. AHLI (YANG DIHADIRKAN OLEH MK) : EMHA AINUN NADJIB

Saya mohon maaf, kami tadi ada kesepakatan di antara yang


disebut para Ahli, bahwa saya belakangan karena saya yang paling tidak
menguasai masalah soal itu.

41. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Oh, gitu. Jadi yang mau duluan siapa? Pak ulil atau Pak Mudji?
Romo Mudji, silakan maju.

42. AHLI (YANG DIHADIRKAN OLEH MK) : DR. F.X. MUDJI


SUTRISNO, S.J.

Selamat pagi, yang saya hormati Ketua dan Majelis Hakim


Mahkamah Konstitusi dan para hadirin semua yang duduk di sini.
Pertama, saya akan mengatakan diri dalam posisi saya yaitu sebagai Ahli

10
yang diminta untuk memberikan penilaian dalam soal bahwa posisi saya
adalah saya memberikan semacam deskripsi, membeberkan fenomena-
fenomena agama tapi juga dalam ranah kebudayaan termasuk juga
ketika bangsa ini dari awalnya adalah masyarakat multikultur,
masyarakat yang beragam etnik, agama, dan golongannya, dengan
menghormati masing-masing dengan toleransi kuat kemudian mulai
bernegara. Dan ketika bernegara di situ masuklah wilayah publik wilayah
negara.
Jadi hukum negara datang sesudahnya dan merupakan konsensus
dari masyarakat-masyarakat masing-masing Indonesia itu sehingga kalau
kita mau katakan bahwa justru dalam multikultur masyarakat Indonesia
yang beragama ini toleransi hormat satu sama lain terhadap agama atau
terhadap perbedaan itu harus masuk di sana. Jadi istilah Yang Mulia
akan saya paparkan pendekatan saya adalah pendekatan fenomenologis
deskriptis, jadi pembeberan pada fenomen-fenomen itu.
Sampai sekarang kalau saya melihat dan tadi ditanya oleh Bapak
Yang Mulia Bapak Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi mengenai
penilaian saya, itu sampai sekarang ada 3 posisi saya kira, yang tadi
dijelaskan dengan bagus yaitu Pemohon untuk mencabut Undang-
Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965, yang kedua mempertahankan
karena merupakan minimal legal law (aturan hukum minimal) dan itu
akan mengurangi mencegah anarki dan seterusnya, tapi di sini sudah
ada pertanyaan kritis, apakah kalau minimal legal law itu dicabut lalu
pasti akan terjadi anarki? Atau social riot itu hanya asumsi psikologis?
Lalu yang ketiga adalah revisi sampai sekarang ini terutama pada Pasal 1
dan Pasal 4.
Nah, saya akan mulai dengan istilah. Jadi yang untuk saya
menjadi penting ada 3 kata kunci di situ dalam seluruh perundangan ini,
yaitu kebebasan beragama itu tempat terjadinya proses ini, yang kedua
adalah apa arti penodaan itu, dan yang ketiga adalah bagaimana hal
menyimpang sebagai penafsiran dari agama itu masuk ke sana. Singkat
saja, hakikat kebebasan beragama adalah pengakuan bahwa setiap
orang berhak untuk meyakini serta hidup beribadat dan menghayati
komunikasinya dengan yang mutlak yang Illahi itu. Jadi setiap orang
memang wajib mutlak untuk taat kepada apa yang disadarinya sebagai
tuntutan Allah. Di sini Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 menulis
secara formal positifisme hukum mengenai hak ini. Nah, di sini negara
melindungi tiap warganya untuk menghayati kebebasan beragama itu
dan di sini saya mau mengatakan problem yang pertama kira-kira yang
saya bawa pagi ini adalah sejauh mana sesungguhnya bahasa-bahasa
dari masyarakat kultural yang sudah menghormati satu sama lain
dengan keberbedaan itu ketika diberi bahasa hukum akhirnya akan
meniadakan hak-hak lain atau kebebasan yang ada di dalam. Taruh saja
sebuah contoh dalam sebuah keluarga, kalau keluarga itu otonominya
diserahkan pada kesadaran masing-masing anak, ibu dan bapak dalam
keluarga itu tapi kemudian bapak dan ibu menetapkan karena ada

11
masalah untuk anak-anak dan segala macam itu bukan mentoleransi
kebebasannya, bukan membiarkan pemekaran kesadaran masing-
masing, tapi diberi hukum di dalam keluarga itu, tidak boleh bicara jam
sekian, makan harus demikian, tidak boleh keluar rumah jam sekian, apa
jadinya keluarga itu dalam sebuah perkembangan kultural yang
mengandaikan kesadaran untuk kearah sana?
Jadi problem yang pertama yang mau saya jawab untuk
pertanyaan Yang Mulia Bapak Ketua Mahkamah Konstitusi adalah ketika
masyarakat majemuk plural ini dan punya otonominya mengenai soal-
soal agama dan di dalamnya, serahkan yang dikatakan mengenai
penodaan agama dan yang dalam hukum ini dikatakan menyimpang, itu
serahkan saja pada masing-masing dari otonomi masyarakat kultural itu.
Dan istilah menyimpang sendiri sesungguhnya adalah istilah orang
dalam, jadi hanya masyarakat itu, karena kalau dari orang luar itu akan
dikatakan berbeda saja, dan ketika dalam hal menghayati kebebasan
beragama, kita misalnya Saudara saya Ulil maupun Saudara saya M.H.
Ainun Nadjib saya lihat cara menghayati agama dan liturginya atau
ibadatnya saya melihat itu berbeda saja. Jadi tidak bisa saya intervensi
ke sana apalagi negara.
Dengan kata lain pada pokok yang nomor 2 negara tugas paling
pokok adalah pada wilayah publik, menjaga ketertiban dan melindungi
tiap warga negara untuk melaksanakan hak kebebasan beragamanya
sesuai dengan Pasal 9, itu adalah bunyi hukum konstitusi dan konstitusi
negara ini bukan konstitusi agama. Kalau mau dikatakan secara tegas
ayat-ayat dalam bernegara Republik Indonesia dengan Undang-Undang
Dasar 1945 adalah ayat-ayat konstitusi maka dalam wilayah di situ
persoalan yang terjadi intern masing-masing agama diberikan kalau
terjadi penyimpangan penodaan dan segala macam wilayahnya di sana
silakan untuk diselesaikan dan seperti dalam ruang ini diajak bicara,
dialog dan negara tidak boleh masuk ke wilayah dan melarang itu.
Pertanyaannya, bagaimana kalau keluar dan menodai betul? Kalau
keluar misalnya dengan katakan menjelekkan misalnya dalam soal seni
dan segala macam, lalu di sini kalau ada peraturan yang kita soroti pagi
ini, ketika itu keluar lalu sesungguhnya masuk ke wilayah publik itu, dia
hanya boleh dicegah, dia hanya boleh untuk dilarang ketika dia merusak,
ketika dia membuat onar, ketika dia melakukan kekerasan di wilayah itu,
tapi di luar itu negara sebenarnya tidak berhak, tidak berkompeten untuk
mengadili di dalam.
Pokok yang ketiga, istilah penodaan agama. Sesungguhnya kita
harus melihat apa yang dinamai dengan menodai agama. Menodai
agama adalah tindakan lahiriah yang dengan sengaja dengan maksud
menjelekkan, mengahina tokoh agama, simbol-simbol agama, dan
rumah ibadahnya, termasuk juga dengan instalasi seni. Sekarang apa
yang penting juga yaitu yang tidak merupakan penodaan agama, di sana
adalah ketika seseorang menghayati atau sekelompok orang menghayati
praktik agama dan mengajarkan sesuatu dengan maksud, dengan tidak

12
ada maksud untuk menodai dan keyakinan praktik itu bertentangan
dengan, berbeda dengan agama lain, itu sebenarnya hanya semacam
berbeda saja menghayati di sana. Jadi yang penting di sini saya mau
menegaskan prinsipnya ketika seseorang atau kelompok hanya berbeda
keyakinan atau praktik keagamaan tidak dengan sendirinya merupakan
penghinaan atau penodaan, karena itu negara dalam tugasnya di
wilayah publik tidak berhak dalam kompetensinya untuk masuk dalam
wilayah otonomi yang masyarakat kultural itu.
Yang terakhir, yang saya mau menegaskan juga pada kesempatan
ini, kita lihat saja ketika masyarakat kultural majemuk di Indonesia ini
dengan agama-agama bumi atau sering Ahli mengatakan agama alam
yang waktu kita kecil kita katakan itu adalah dinamisme dan animisme,
secara kultural kita semua percaya bahwa ada kekuatan animisme dan
dinamisme. Nah, ketika diformalkan dalam Negara Republik Indonesia
agama-agama yang resmi itu masuk ke sana kita kenal dulu hanya ada 5
agama formal resmi. Lalu satu lagi ditambah menjadi 6 ketika zamannya
Presiden Gus Dur, tetapi dari 6 ini terjadi pengeluaran,
pendiskriminasian pada agama-agama bumi yang sesungguhnya adalah
diteliti oleh Dennis Lombard, diteliti oleh Ahli-Ahli kebudayaan adalah
dasar lapis paling bawah dari Nusantara ini. Sebelum dihadiri oleh
agama-agama monoteis, sebelum dihadiri oleh agama-agama wahyu,
sebelum dihadiri oleh mereka-mereka yang dari langit mengatakan
wahyunya itu.
Nah, kalau kita melihat bahwa terjadi bahasa hukum itu, lalu
meniadakan atau mengecilkan, mengerucutkan bagian-bagian yang
dihidupi sebagai masyarakat yang kultural yang sudah ada dalam
kemajemukan kita, maka yang sama bisa terjadi ketika Penetapan
Presiden Republik Indonesia ini, yang dalam konteks sejarah waktu itu
tahun 1965, dalam konflik antar ideologi, dalam konflik antar ganyang-
ganyangan sebagai konteksnya, maka teks ini harus ditafsirkan dan
direvisi, kalau diubah dan dicabut dalam kapasitas yang radikalnya, kalau
direvisi adalah pada ayat-ayat atau teks-teks yang tadi itu
mendiskriminasikan hak hidup, kemajemukan dari bangsa dan warga
negara kita.
Dengan kata lain problem paling pokok adalah masyarakat
kultural majemuk beda suku, beda agama, beda golongan ini, ketika
mencintai Indonesia dengan kulturalnya dan multikulturalnya,
sesungguhnya kita seperti di ruang ini, kalau ada masalah kita masih
bisa saling menghormati dengan bicara, dengan terbuka, dengan dialog.
Dan ketika toleransi itu mengandaikan pada saat awal masing-masing
menyadari sendiri untuk diingatkan di agama masing-masing
menyimpang atau tidak. Istilah menyimpang saja, itu kita sebenarnya,
siapa yang berhak mengatakan menyimpang dalam agama itu. Yang
berhak mengatakan menyimpang dalam agama itu, benar tidaknya
hanya Allah sendiri, karena kalau kita sebagai manusia dengan rendah
hati mengakui bahwa kita berhak mengatakan menyimpang dan

13
menguhukum sesama kita sebagai manusia, kita sebenarnya meminjam
dan malah kita mengambil hak Allah itu sendiri untuk menghukum
sesama kita. Padahal sesama kita manusia ini adalah dalam Kristiani
dikatakan citra Allah, gambar Allah yang maha berharkat itu. Sementara
dalam saudara saya yang muslim dikatakan dia adalah Khalifatullah Allah
itu sendiri.
Ini para Saudara dan Saudari yang saya hormati, dengan kata lain
saya mau mengatakan bahwa wilayah kompetensi hukum negara adalah
wilayah publik, dan dalam Pembukaan Alenia UUD 1945 di sana sudah
jelas sekali, “melindungi segenap warga negara Indonesia”, salah
satunya adalah dalam hak melaksanakan menghayati kebebasan
beragama. Dan negara hanya boleh masuk ketika undang-undangnya,
hukumnya itu menganjurkan, membuat tata tertib, lalu menganjurkan
kemanusiaan dari sesamanya.
Pertanyaan terakhir yang sering muncul adalah begaimana kalau
atas nama kebebasan beragama lalu orang memprovokasi, membuat
menghina yang lain semua? Ini adalah kasus per kasus, ini adalah kecil,
tidak bisa hukum lalu membuat generalisasi dari sisi ini.
Terima kasih, selamat pagi.

43. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Terima kasih, Romo.


Cak Nun apakah masih mau tetap milih yang terakhir dulu.
Ya, silakan Pak Ulil.

44. AHLI (YANG DIHADIRKAN OLEH MK) : DR. ULIL ABSHAR


ABDALLA, M.A.

Assalamualaikum wr. wb.


Selamat pagi dan salam sejahtera buat kita semua.
Yang Terhormat Yang Mulia Bapak Ketua Mahkamah Konstitusi,
Yang Mulia para Hakim Mahkamah Konstitusi, Bapak dan Ibu sekalian
yang saya hormati, perkenankan di sini saya hadir dalam kapasitas
sebagai Ahli yang dimohonkan oleh Mahkamah Konstitusi untuk
memberikan pendapat mengenai pengujian atas Undang-Undang Nomor
1 PNPS Tahun 1965. Keahlian saya selama ini adalah di bidang Fiqih atau
Hukum Islam, Teologi, Filsafat, Sastra, Pemikiran dan Peradaban Islam.
Kegiatan saya selama ini adalah bergerak di bidang aktivisme sosial dan
pemikiran Islam. Dan masalah yang hari ini dan pada hari-hari yang
lampau dibicarakan dalam ruang yang mulia ini mengenai pengujian atas
Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 adalah merupakan bagian
dari perhatian saya yang paling utama karena ini menyangkut salah satu
masalah yang saya kira penting yaitu selain tadi masalah yang diangkat
oleh Bapak Ketua Mahkamah Konstitusi yaitu tentang apakah negara
punya wewenang untuk mengatur, mempunyai otoritas mencampuri

14
keyakinan pribadi, juga ada masalah lain yang ingin saya tanggapi yaitu
mengenai kedudukan penafsiran atau interpretasi yang berkaitan dengan
pokok-pokok keagamaan yang dianggap menyimpang, apakah hal itu
bisa dianggap sebagai penodaan, penghinaan, atau penyalahgunaan
agama. Mohon berkenaan Bapak Ketua Mahkamah Kontitusi untuk
menjawab 2 masalah tadi itu.
Yang pertama adalah saya akan mulai dengan aspek penafsiran
atau interpretasi. Sebelum saya menjawab masalah ini, perkenankan
saya menegaskan bahwa sebagai seorang muslim saya mengatakan
bahwa jelas saya tidak rela jika agama saya dihina. Saya tidak rela
misalnya jika seseorang melakukan penghinaan dengan cara
mencemplungkan Al-Quran ke dalam tempat yang tidak senonoh dengan
tujuan untuk menghinakan Islam. Saya tidak rela misalnya jika
seseorang melemparkan daging babi ke dalam masjid dengan tujuan
untuk menghinakan Islam sebagai mana yang sudah terjadi di Australia
pada waktu yang lalu. Dalam hal-hal semacam ini jelas saya tegas
mengatakan “Saya tidak bisa menerima tindakan semacam itu “. Yang
menjadi masalah buat saya adalah apakah jika seseorang atau golongan
atau kelompok mengajukan suatu penafsiran atau interpretasi terhadap
sejumlah hal yang dianggap sebagai ajaran pokok di dalam agama,
dalam hal ini menyangkut kompetensi saya yaitu Islam, apakah jika
seseorang itu mengajukan interpretasi atau tafsir semacam itu bisa
dianggap menodai, menghina atau menyalahgunakan agama? Jawaban
saya dengan tegas mengatakan “Tidak tanpa kualifikasi”.
Berikut ini adalah argumentasi saya. Kalau kita tengok sejarah
Islam terutama sejarah peradaban Islam, salah satu ciri khas yang
penting dari peradaban Islam adalah kekayaan pemikiran, kekayaan ide,
kekayaan pendapat, kekayaan madzhab, kekayaan sekte, kekayaan
golongan, yang itu bisa kita telaah, kita deteksi melalui warisan
intelektual, atau khazanah intelektual yang ditinggalkan oleh para
sarjana dan para ulama di masa lampau. Kalau kita telaah literatur yang
berkenaan dengan apa yang disebut di dalam kajian teologis sebagai
heresiograpy yaitu tentang literatur yang berkenaan dengan sekte-sekte
yang dianggap sesat, yang di dalam tradisi Islam yang biasanya buku-
buku semacam itu membawa judul atau dijuduli Al-Milal wan-Nihal atau
Al-Fishal dan seterusnya kalau kita telaah misalnya buku yang dikarang
oleh Asy-Syihristani “Al-Milal wan-Nihal”, kalau kita telaah buku yang
ditulis oleh Ibnu Hazm “Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal”. Kalau
kita telaah buku yang ditulis oleh Abdul-Qahir al-Baghdadi “al-Farqu
Baina al-Firaq” misalnya, di sana dengan jelas sekali kita lihat bagaimana
keragaman sekte, keragaman madzhab dan keragaman golongan dalam
Islam.
Yang harus kita perhatikan adalah bahwa keragaman pendapat di
dalam Islam, dalam sejarah Islam pada masa lampau, tidak saja
berkaitan dengan cabang-cabang agama. Bahkan di dalam masalah
Ushul, masalah Aqidah tejadi perbedaan yang luar biasa. Bahkan Nabi

15
Muhammad SAW dengan tegas mangatakan bahwa Umat Islam akan
terpecah belah menjadi 73, orang Kristen terpecah belah menjadi 72,
orang Yahudi 71. Jadi makin ke belakang perpecahan dim dalam sejarah
manusia makin mendalam. Itu sudah diprediksi oleh Nabi sendiri, bahwa
ada perpecahan golongan, ada perbedaan pendapat di dalam masalah-
masalah Ushul. Dan menurut Hadist versi yang populer semua
kelompok 73 itu ada di neraka, kecuali satu yang masuk surga yaitu
golongan yang disebut sebagai "Ma Ana 'Alaihi wa Ashabi “ golongan
yang mengikuti ajaranku dan sahabatku.
Nah, di sini kita melihat bahwa perbedaan penafsiran, perbedaan
pendapat dalam masalah Ushul itu terjadi pada masa lampau. Yang
menarik adalah penegasan yang dibuat oleh salah satu Ulama Sunni,
salah satu Ulama yang hidup di dalam Kekhalifahan Abbasiyah yang bisa
dianggap sebagai salah satu Teolog atau seorang Ahli Kalam yang
bertangung jawab di dalam perumusan Aqidah Asy'ariyah yaitu Abdul-
Qahir al-Baghdadi. Di dalam bukunya “al-Farqu Baina al-Firaq” dia
mengatakan pada halaman 157, saya bacakan dalam teks Arab-nya
“wamma khasallahu ta’alabihi ahlasunnati annahu ashomahum min
takfiri ba’dihim ba’dhan fimaa ikhtalafufihi “. Salah satu ciri khas dari
Sekte Sunni yaitu mereka menghindari tindakan pengkafiran satu
terhadap yang lain di dalam hal-hal dimana mereka berbeda pendapat.
Ini ciri khas yang disebut oleh Abdul-Qahir al-Baghdadi sebagai ciri khas
yang membedakan Sekte Sunni dari sekte-sekte yang lain. Dia
mengatakan misalnya Sekte Rafidhah di dalam tradisi saling
mengkafirkan satu dengan yang lain, Sekte Khawarij saling mengkafirkan
satu dengan yang lain, Sekte Muktazilah juga begitu. Hanya Sekte Sunni
saja menurut beliau yang cenderung lebih toleran, mereka bisa
membiarkan terjadi perbedaan dalam masalah Ushul sekalipun. Saya
akan sebutkan suatu poin yang menarik dimana kalau kita di sini
berbicara mengenai bahwa tafsir yang berbeda dengan pendapat yang
dominan yang ortodoks yang berkaitan dengan “Pokok-Pokok Ajaran
Agama” bisa dianggap sebagai tindakan yang dikriminalkan, maka
pertanyaan pokok yang memang harus kita jawab adalah apa yang
disebut dengan “Pokok-Pokok Ajaran Agama” di situ? Pasal 1 Undang-
Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 antara lain menegasakan bahwa
penafsiran yang menyimpang dari “Ajaran-Ajaran Pokok Agama” bisa
dianggap sebagai tindak pidana.
Apa yang disebut dengan “Ajaran Pokok-Pokok Agama” di sini?
Kalau kita merujuk ke dalam tradisi Islam, istilah “Pokok-Pokok Ajaran
Agama” di dalam undang-undang ini sangat ambigu. Apakah yang
dimaksud “Pokok-Pokok Ajaran Agama” di sini adalah yang di dalam
istilah Ushul Fiqih disebut sebagai “maklum minatdiin bi darurrah”
sesuatu yang sudah diketahui sebagai bagian dari agama tanpa berfikir
terlalu jauh, karena setiap orang muslim tahu, misalnya sholat itu wajib,
puasa itu wajib, haji itu wajib, itu bagian dari “maklum minatdiin bi
darurrah” . Apakah yang dimaksud adalah “maklum minatdiin bi

16
darurrah” seperti itu? Ataukah yang dimaksud adalah Ushuluddin pokok-
pokok agama? Imam Abdul-Qahir al-Baghdadi juga selain menulis buku
“al-Farqu Baina al-Firaq” dia juga menulis buku judulnya “Ushuluddin”
Pokok-Pokok Agama, tentunya pokok-pokok agama menurut golongan
sekte atau golongan Asy’ariyah. Apakah yang dimaksud itu? Ataukah
yang dimakud itu Rukun Islam atau Rukun Iman, misalnya? Apa
pengertian “Pokok-Pokok Ajaran Agama” kalau kita telaah dalam
perspektif Islam? Apakah itu Rukun Islam, Rukun Iman atau maklum
minatdiin bi darurrah atau yang disebut dengan Ushuluddin ?
Saya akan ambil contoh, kalau yang dimaksud adalah Rukun Iman
dan Rukun Islam simple sekali. Rukun Iman ada 6, Rukun Islam ada 5,
yang itu sangat simple sekali dan saya kira kalau kita mendefinisikan
“Pokok-Pokok Ajaran Agama” itu referensinya adalah Rukun Iman dan
Rukun Islam dan saya kira itu ada justifikasinya, Imam Ghozali misalnya
mengatakan bahwa kita orang Ahlul Sunnah wal Jamaah tidak akan
mengkafirkan Ahlul Qiblah yang mengakui Rukun Iman dan Rukun Islam.
Kalau definisi “Pokok-Pokok Ajaran Agama” adalah seperti itu maka
gampang sekali. Tetapi di dalam kenyataannya tentu tidak demikian. Ada
golongan, ada perorangan yang bisa dianggap keluar dari Islam karena
interpretasi, karena penafsiran yang dianggap menyimpang dari “Pokok-
Pokok Ajaran Agama”.
Saya akan ambil contoh salah satu poin yang bagi saya menarik
untuk melihat bagaimana komplikasi dan ambiguitas konsep mengenai
“Pokok-Pokok Ajaran Agama” ini. Abdul-Qahir al-Baghdadi sebagai salah
satu ulama penting di dalam tradisi Asy’ariyah dia merumuskan apa yang
disebut sebagai “Pokok-Pokok Ajaran Agama” menurut Sekte Sunni
dalam tradisi Asy’ariyah. Ada 16 “Pokok-Pokok Agama” itu. Saya tidak
akan sebutkan satu persatu, tapi salah satunya adalah dia mengatakan
“Salah satu Ushuluddin yang harus diimani oleh seorang muslim yang
mengikuti madzhab Sunni Asy’ariyah adalah dia harus mengimani teori
tentang atom atau jauhar dan teori mengenai accident atau arrot”. Di
dalam tradisi teologi Islam, teori atom yang itu berasal dari tradisi
Yunani dan teori mengenai accident yang juga dari tradisi Yunani, itu
merupakan pondasi penting dalam tradisi Asy’ariyah untuk membuktikan
alam adalah ciptaan yang baru, alam adalah temporal creation, apa itu
alam adalah hatif dan konsep mengenai alam…, dunia yang baru yang
diciptakan dalam waktu temporal creation itu merupakan pondasi di
dalam pembuktian adanya Tuhan. Seorang muslim yang tidak menguasai
teori tentang arrot dan jauhar dia tidak menguasai salah satu rukun,
salah satu Ushul di dalam tradisi Sunni versi Asy’ariyah.
Pertanyaan saya adalah apakah seorang awam muslim yang tidak
menguasai teori atom dan jauhar yang begitu kompleks, yang itu tidak
bisa dipahami bahkan oleh orang yang menyelesaikan studi S1 itu butuh
pendidikan yang mendalam sekali, apakah orang semacam itu bisa
dianggap dia tidak memenuhi requirement atau persyaratan sebagai
seorang muslim Sunni ala Asy’ariyah ?

17
Yang menarik menurut saya adalah teorinya Abdul-Qahir al-
Baghdadi ini ditentang oleh ulama Sunni yang lain yang datang dari
tradisi Malikiyah yaitu Ibnu Rushd. Di dalam buku “Alkasfu anmannahi
jilhadlilah fi aqo’idil millah” dia mengkritik dengan keras sekali teori atom
dan teori accident yang diajukan oleh Abdul-Qahir al-Baghdadi dan dia
mengatakan tidak mungkin teori ini sebagai bagian dari Ushul.
Pertanyaan kita adalah kalau kita dihadapkan pada pertanyaan apa yang
Anda maksud dengan Ushul atau Pokok-Pokok Agama itu ? Apakah Anda
mengikuti teorinya Abdul-Qahir al-Baghdadi, mengikuti teorinya Ibnu
Rushd, dua-duanya tokoh penting, ulama penting dalam tradisi Sunni ?
Pertama.
Yang kedua, kita tahu semua bahwa masing-masing sekte dan
golongan dalam Islam mempunyai daftar, dogma-dogma atau doktrin
yang dianggap Ushul oleh mereka. Golongan Sunni punya daftar
sendiri, golongan Syi’ah punya daftar sendiri, Muktazilah juga punya
Ushul yang berbeda dengan orang-orang Sunni. Bagaimana kita
merumuskan pokok-pokok ajaran agama di sini? Ini menurut saya salah
satu komplikasi yang harus diperhitungkan ketika kita menelaah kembali
udang-undang ini.
Oleh karena itu kesimpulan saya adalah bahwa kalau kita
merujuk kapada tradisi Islam, kepada tradisi peradaban Islam pada
masa lampau, ini bagian dari hal yang saya punya kompentensi di situ,
maka penafsiran tidak bisa dianggap sebagai penodaan agama. Saya
akan menjawab pertanyaan kedua yang diajukan oleh Bapak Ketua
Mahkamah Konstitusi dan ini mengakhiri keterangan saya, apakah
negara punya wewenang di dalam mengatur corak akidah, atau corak
kepercayaan atau tafsiran yang dianggap resmi berdasarkan mana
aliran-aliran yang lain bisa dianggap sebagai aliran yang menyimpang?
Apakah negara mempunyai wewenang di situ?
Perkenankan saya sedikit menoleh kembali kepada sejarah Islam.
Dulu di dalam sejarah Islam pernah terjadi perang pada masa Abu
Bakar, perang terhadap orang-orang yang membangkang untuk
membayar zakat. Yang kedua, perang melawan orang-orang yang
mengaku sebagai Nabi, atau perang melawan Nabi-Nabi palsu. Setelah
Nabi wafat ada sejumlah tidak kurang dari 4 orang, minimal ada 4
orang yang claimment to prophecy orang-orang yang mengaku sebagai
Nabi, dan itu semua diperangi oleh Abu Bakar. Dua nama yang paling
penting yang sering disebut adalah Musailamah al-Kadzab, yang kedua
adalah Tulaihah Al-Asadiy.
Apakah peperangan yang dilakukan oleh Abu Bakar terhadap
orang-orang yang mengaku sebagai Nabi dan orang-orang yang
membangkang membayar zakat adalah perang melawan tafsir? Ataukah
perang Abu Bakar adalah perang melawan suatu makar politik ? Tentu
di sini kita bisa berbeda interpretasi. Saya akan mengutip interpretasi
yang dikemukakan oleh seorang sarjana dan intelektual muslim, Adik
dari Hasan al-Banna yaitu Jamal al-Banna dia menulis sebuah buku

18
berkenaan dengan ini dia mengatakan bahwa perang Abu Bakar
melawan para pembangkang zakat dan perang melawan para Nabi-Nabi
palsu itu bukanlah perang melawan tafsiran. Oleh karena itu kita tidak
bisa menjadikan preseden sejarah dalam Islam ini, kalau menelaah dari
sudut pandangan Islam, untuk menjustifikasi bahwa negara punya hak
untuk mencampuri tafsir, karena pernah Abu Bakar memerangi para
Nabi-Nabi palsu.
Tafsiran yang dikemukakan oleh Jamal al-Banna dan juga
dikemukakan oleh para sarjana Islam yang lain antara lain Muhammad
‘Abit al-Jabiri seorang intelektual dari Maroko, dia mengatakan bahwa
kalau kita telaah peristiwa Musailamah al-Kadzab mengaku sebagai
Nabi dan juga Tulaihah Al-Asadiy kelihatan sekali bahwa mereka ini
sebetulnya adalah orang-orang yang melakukan makar politik.
Musailamah al-Kadzab mengaku sebagai Nabi jauh sebelum Nabi wafat.
Ketika Musailamah mengaku sebagai Nabi pada saat Nabi masih hidup
Nabi tidak pernah memerangi dia. Yang memerangi Musailamah al-
Kadzab adalah Abu Bakar dan dia meninggal dalam perang Yamamah.
Pada saat Nabi mengajak Musailamah al-Kadzab untuk masuk Islam
respon dari Musailamah adalah menarik. Dia bilang begini, “Saya mau
masuk ke dalam Islam dengan satu syarat, asal kita berdua berbagi
untuk menguasai tanah Arab separoh-separoh, kalau Anda setuju
dengan agreement ini saya masuk Islam”. Artinya sejak awal Musailamah
al-Kadzab sebetulnya tidak bergerak pada wilayah tafsiran, tetapi
wilayah politik.
Ketika Nabi wafat, Musailamah al-Kadzab dengan terang-
terangan melakukan semacam makar politik, ingin menjatuhkan Negara
Madinah ketika itu yang dipimpin oleh Abu Bakar. Oleh karena itu tidak
ada pilihan lain bagi Abu Bakar kecuali memerangi dia. Hal yang sama
terjadi juga pada Tulaihah Al-Asadiy, dia mengaku sebagai Nabi,
diperangi oleh Abubakar, sampai meninggal Abu Bakar tidak berhasil
dikalahkan, tetapi kemudian pada masa Umar dia masuk Islam. Dia
masuk Islam dan kemudian tentu dia menanggalkan klaimnya. Tetapi
Tulaihah Al-Asadiy juga sama, sebetulnya klaim dia kepada soal
kenabian tidak berkaitan semata-mata atau bahkan tidak berkaitan
dengan penafsiran, tetapi berkaitan dengan soal kekuasaan. Begitu juga
orang-orang yang membangkang zakat, Abu Bakar melawan mereka,
memerangi mereka bukan karena mereka punya interpretasi bahwa
zakat itu tidak wajib. Abu Bakar memerangi mereka karena tindakan
mereka di dalam suatu grup yang besar untuk menolak membayar zakat
itu semacam rebellion, semacam tindakan melawan pemerintah yang
sah.
Oleh karena itu preseden Abu Bakar memerangi orang yang
menolak membayar zakat, memerangi para pengaku Nabi palsu tidak
bisa ditafsirkan sebagai justifikasi historis di dalam sejarah Islam untuk
membenarkan negara ikut campur di dalam menentukan corak doktrin,
corak akidah yang sah atau yang resmi dan menganggap yang lain itu

19
sesat. Ini jawaban yang bisa saya sampaikan berdasarkan konteks
sejarah Islam yang sedikit saya tahu dan semoga bermanfaat.
Terima kasih.
Wassalamualaikum wr. wb.

45. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Terakhir Cak Nun, MH. Ainun Nadjib, silakan.

46. AHLI (YANG DIHADIRKAN OLEH MK) : EMHA AINUN NADJIB

Yang Mulia Bapak Ketua dan Majelis Hakim Makamah Konstitusi


dan para perwakilan dari berbagai institusi yang lainnya, begitu sukarnya
hidup di Indonesia saat ini, sehingga saya ini ragu-ragu mau
assalamualaikum atau tidak, karena ada bermacam-macam tafsir
mengenai assalamualaikum, apa maknanya, boleh diucapkan kepada
siapa, dan tidak boleh diucapkan kepada siapa, konsekuensinya apa,
apakah dia cuma sopan-santun ataukah dia merupakan perjanjian
konstitusional juga pada akhirnya, apakah dia merupakan policy sosial
assalamualaikum itu, itu kan tafsirnya banyak sekali. Sehingga ketika
saya mau bilang assalamualaikum pastinya tafsirnya beda-beda juga di
ruangan ini. Nanti saya bilang assalamualaikum, ada yang bilang saya
masuk surga, ada yang bilang saya masuk neraka. Jadi saya dengan ini
menyatakan kebingungan saya, saya mengucapkan ya salah, tidak
mengucapkan ya salah. Ini baru assalamualaikum.
Saya dihadirkan sebagai Ahli ini juga membingungkan saya,
karena salah satu pasal kita hari ini menurut saya adalah bahasa. Jadi
Ahli itu kalau saya mendengar kata Ahli itu ya ini namanya pakar
maksudnya. Ahli itu dalam bahasa Rap itu ya… kalau saya tukang
bengkel, saya ahlul bengkel begitu. Ahli itu untuk inisial seseorang dalam
satu konteks begitu aja. Di sini kan saya dihadirkan sebagai Ahli, dan itu
… ini kan masalah serius ini. Saya dituduh sebagai Ahli ini kan kesalahan
Ketua Mahkamah Konstitusi kok saya dituduh sebagai Ahli dalam
pengertian Pakar. Jadi saya mohon diperkenankan agar supaya saya
menggunakan waktu ini untuk mengemukakan sejumlah ketidaktahuan
dan sejumlah kebingungan, meskipun nanti ada rekomendasi-
rekomendasi yang mungkin sifatnya sangat relatif.
Misalnya saya mulai dari assalamualaikum. Assalamualaikum itu
kalau saya pribadi itu kalau saya bilang assalamualaikum berarti saya
menjanjikan bahwa saya tidak akan melakukan apapun yang tidak
menyelamatkan orang yang saya kasih assalamualaikum. Kemudian
ketika dia menjawab waalaikumsalam, dia berarti dia bersama saya
berada dalam satu MOU untuk saling menyelamatkan. Saling
menyelamatkan ini sangat luas, kalau presiden bilang assalamualaikum,
maka dia tidak boleh melakukan suatu keputusan pun yang bisa
menciptakan ketidakselamatan pada rakyatnya. Jadi karena

20
assalamualaikum ini bisa berakibat pada policy, bisa diteruskan pada
aturan-aturan, karena di situ ada teori warahmatullahi wa barakatuh,
jadi harus ada perjanjian antara manusia, baik secara kultural maupun
secara kenegaraan yaitu untuk saling menyelamatkan satu-sama lain.
Nah, konteksnya ini hanya antar orang Islam atau tidak ini kan juga
masih tafsir assalamualaikum ini. Jadi kalau ada orang kecelakaan itu
apa kita tanya dulu dia Islam atau bukan baru kita tolong. Kalau dia
bilang Islam, apa ya kita tanya NU atau Muhammadiyah. Kalau sudah NU
baru kita jawab, NU Madura atau bukan Madura? Baru kita selamatkan
karena sama-sama Madura. Masih ditanya lagi, NU nya NU PKB apa NU
PPP? Kalau masih dijawab PKB. Sebentar! Ini PKB Gus Dur apa PKB
Muhaimin? Ini sampai mati tidak ditolong ini orang.
Jadi saya kira Indonesia ini mandhek karena kita kebingungan
terhadap setiap kata yang kita pakai di sini. Jadi salah satu poin saya
hari ini adalah epistimologi. Warahmatullahi wa barakatuh, ini mohon
maaf Yang Mulia, kalau saya waktunya habis, meskipun saya
menyiapkan sangat banyak, kalau waktunya habis di tengah jalan saya
mohon ditegur dan mohon dihentikan karena saya tidak akan maju lagi
mencalonkan diri setelah ini. Warahmatullahi wa barakatuh itu rahmat
Tuhan yang universal ini, tambang-tambang, kekayaan alam, ini ditata
dengan perjanjian satu sama lain untuk saling menyelamatkan sehingga
menjadi barokah, kan begitu ceritanya.
Nah, yang di Indonesia ini kan yang terjadi bohong tiap hari.
Menteri ngomong bohong, menteri assalamualaikum bohong, presiden
bohong tiap hari, bilang assalamualaikum padahal rahmat Allah di
Indonesia tidak dilindungi oleh sistem negara untuk menjadi berkah bagi
rakyatnya. Ini kalau diomongin kan sudah cukup untuk kuliah semester
ini. Jadi dengan ini saya ingin merekomendasikan beberapa hal, yang
pertama, tadi Ulil sama Romo sangat mempersoalkan apakah negara
punyak hak untuk mengatur hal-hal seperti itu. Di Jawa Timur itu ada
beberapa teman yang memiliki tafsir-tafsir yang “luar biasa”. Jadi
misalnya ‘Allahhumma ’, ‘hum ’ itu ditafsirkan itu bahasa Jawa, jadi Islam
itu dari Jawa, Nabi Muhammad itu aselinya kalau nggak Pacitan ya
Ngawi gitu, itu ada tafsir seperti itu. Jadi ‘Allah hum ’, ‘hum’ itu artinya
‘hum pimpah ’ itu, jadi manusia itu harus demokratis kata dia, harus hum
pimpah, harus diundi secara benar satu sama lain.
Tapi puncak dari tafsirnya itu adalah bahwa Qur’an itu berasal
dari bahasa Jawa, ‘Kurek’. Jadi karena telinganya umat sama pemerintah
sama semuanya ini tuli menurut si dia ini. “Tuli semua-semuanya mulane
saiki butuh Qur’an. Qur’an iku “kurekan” iki lho, untuk ngureki kuping ini,
ini Qur’an. Nah, sekarang bagaimana? Bagaimana kita menanggapi Kiai
yang seperti ini?
Nah, saya merekomendasikan beberapa hal. Yang pertama, kalau
Piagam Madinah itu dia istimewa, Mitsaq al-Madinah itu sangat istimewa
dalam seluruh sejarah dunia karena, pertama, dia merupakan konstitusi
tertulis pertama yang pernah ada dalam sejarah. Dan yang kedua,

21
Piagam Madinah yang berjumlah 40 pasal ini tidak dibikin oleh DPR,
tidak dibikin oleh Majelis apapun, tidak dibikin oleh kumpulan-kumpulan
orang pandai, tapi lahir dari interaksi, kadang-kadang bentrokan tapi
juga dialog antar umat. Antar para Animis, para Nasrani, Yahudi, Muslim
A, Muslim B, Ansor, Muhajirin dan seterusnya, sampai 6 tahun maka
kemudian terhimpunlah 47 kesepakatan itu.
Artinya, kalau pertanyaan kita sekarang adalah negara ini punya
hak atau tidak? Menurut saya kita harus menunda sebentar saja, dengan
meyakini beberapa hal, alangkah indahnya kalau pertemuan ini tidak di
sini. Di sini juga penting tetapi juga ada pertemuan-pertemuan yang
sifatnya kultural, seberbeda apapun. Jadi harus ada forum-forum yang
sifatnya kultural dan ilmu. Jadi hukum itu sekuat-kuatnya, sebaik-
baiknya hukum tetapi kalau tidak ada landasan kematangan ilmu dan
kedewasaan kebudayaan maka hukum juga akan tetap bisa secara
subyektif atau monopoli ditafsirkan oleh yang berkuasa. Yang berkuasa
tidak harus pemerintah, bisa juga mayoritas, bisa juga minoritas
kualitatif yang berkuasa.
Jadi, satu agak tarik nafas sebentar, bagaimana kalau diadakan
forum-forum yang sifatnya kultural juga di samping ada uji konstitusi
seperti ini. Terus nomor dua, ini begitu kata-kata hukum, kata-kata yang
kita pakai di dalam konstitusi, undang-undang dan pasal-pasal hukum
kita itu kan banyak sekali yang bukan merupakan kata hukum tapi kata
budaya, kosa kata budaya. Misalnya seperti ini, kalau di Indonesia ini
ada pegawai negeri. Pegawai negeri ini ranah penjajahan yang luar biasa
karena kata ‘negeri’ itu istilah budaya, istilah sastra bahkan. Dia tidak
bisa menjadi istilah birokrasi. Mestinya dirubah menjadi pegawai negara.
Kalau dia pegawai negara maka jelas dia taat kepada undang-undang
negara, dan sekarang karena dia pakai kata ‘negeri’ maka dia bisa
dimanupulir oleh pemerintah agar supaya pegawai negeri taat kepada
pemerintah. Padahal tidak ada logika konstitusi apapun yang
mengizinkan atau yang mewajibkan pegawai itu taat kepada pemerintah.
Yang ada adalah pegawai negara dan pemerintah yang sedang dikontrak
oleh rakyat bersama-sama taat kepada undang-undang negara.
Nah, di Indonesia kebetulan, negara sama pemerintah belum
dibedakan secara konstitusional. Sehingga kalau Anda lihat gedung
kabupaten, itu Anda tidak bisa menjawab ini gedung negara apa gedung
pemerintah. Anggaran juga begitu, ini anggaran pemerintah atau
anggaran negara. Oleh karena itu policy-policy juga tidak dibedakan
mana policy negara mana policy pemerintah. Maka pemerintah sama
dengan negara..., maka setiap menteri baru dia bisa berlaku tidak hanya
sebagai pemerintah tapi juga sebagai negara dan bisa mengubah
apapun, karena dia juga negara bukan hanya pemerintah.
Oke. Itu saya potong, tapi inti saya adalah saya kira kita
berbahaya sekali kalau kita harus mencabut atau tidak mencabut, karena
kita mencabut yang diusulkan ini juga saya, ya nek oleh totohan ya
totohan aku, itu akan menciptakan konflik baru dan kebencian baru yang

22
luar biasa. Tapi kalau tidak dicabut juga menciptakan kecemasan yang
terus-menerus. Jadi menurut saya harus ada support kultural dan ilmu,
jadi ada ranah konstitusi-hukum, ada ranah ilmu, ada ranah budaya
yang harus kita selenggarakan bersama-sama. Artinya kita bernafas
dululah, kita bersabar dulu, kalau perlu kita bertemu lagi dimana, kita
berdebat gitu lho, karena menurut saya agama itu sebenarnya input, dia
bukan output.
Saya pribadi sebenarnya kalau bisa jangan dikenal sebagai orang
Islam, kecuali pas Jum’atan konangan, gitu ya. Tapi kalau bisa sih di
depan Romo Mudji, dia bingung, saya ini Islam atau bukan itu kan,
karena itu urusan saya. Kalau bisa Romo Mudji tidak usah tahu kalau
saya orang Islam. Yang penting output saya kepada dia saya apa.
Output saya kasih sayang atau tidak, kerja sama yang baik atau tidak,
kerja sama rahmatan lilalamin atau tidak. Jadi sama dengan pluralisme,
pluralisme itu ideologinya Allah, dia input bukan output. Jadi tidak bisa
menjadi ideologinya manusia. Tuhan itu tidak mungkin menciptakan apa-
apa tidak plural itu tidak mungkin, maka tafsir itu bebas sebebas-
bebasnya. Kalau ada orang Islam jumlahnya 1000 orang maka hak tafsir
ya 1000. Kalau ditambah orang-orang ruwet maka setiap orang ruwet itu
biasanya tafsirnya juga macam-macam di dalam dirinya maka tafsir dari
1000 orang Islam bisa 3000. Nah, justru karena kebebasan tafsir ini kita
harus berfikir perlu diatur atau tidak masalahnya, sebab kalau nanti
sampai kepada ngomong yang enggak-enggak, ya kalau yang ditafsirkan
diri saya tok, saya dengan sekte saya menafsirkan Islam sesuai dengan
sekte saya, tapi kalau saya mengejek orang lain? Ya kalau ejekannya
kultural, saya sama Romo gitu, ejek-ejekan soal babi sama perempuan,
“Cak Nun, babi itu enak banget”. “Yo saenak-enake babi jik enak wong
wedok”. Nah, baru dia kalah sama saya.
Jadi ini kultural sangat penting. Kalau ini tidak dilakukan ini mau
mengambil keputusan apapun, mau dicabut tidak dicabut, kalau kita
tidak mengerjakan yang kultural dan ranah ilmu …..antar kelompok juga
tidak akan pernah menghasilkan sesuatu, karena begini saya
menemukan dimana-mana orang merasa terancam, dimana-mana orang
merasa tidak tenang, dimana-mana orang merasa benci, dimana-mana
orang mengincar satu sama lain, dan Yang Mulia Pak Ketua, tidak ada
keputusan hidup, tidak ada keputusan hidup yang bisa menyelamatkan
manusia kalau dia lahir dari rasa terancam. Katakanlah ada yang
terancam minta ini dicabut, kalau dicabut benar, itu saya tidak yakin itu
akan menyelesaikan masalah.
Menurut saya kita ambil nafas sebentar kita…, bahwa ini harus
dirubah, pasti. Saya makanya tidak mau masuk Fakultas Hukum karena
bingung. Penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok
ajaran agama itu. What do you mean by Pokok-Pokok Ajaran Agama?
Who decide that? Siapa yang menentukan ini siapa? Pemerintah? Seperti
dulu polisi meriksa puisi saya untuk boleh dipentaskan atau tidak? “Lho
endasmu iku sapa…..kok meriksa-meriksa puisiku?” Dia tidak punya

23
pengetahuan apapun mengenai puisi. Nah, “Pokok-Pokok Agama” ini
versi NU beda sama versi Muhammadiyah, beda sama Hizbut Tahrir,
beda sama LDII, beda sama yang lain-lain. Nah, ini menurut siapa
“Pokok-Pokok Agama” ini ?
Jadi kalau saya diminta, ini dicabut atau tidak? Sebentar! Ini
didandanin dulu bareng-bareng yuk, dalam rangka supaya kita bisa
mengurangi ngawurnya…, karena semua orang boleh menafsirkan kok.
Bayangin kalau saya menafsirkan “haes Pastur gak wani rabi padune
pancen gak iso” misalnya gitu kan. Saya kan menghina dia. Dia juga bisa
menghina saya, “Opo, gak oleh mangan babi merga Muhammad biyen
gagal dagang babi”, misalnya gitu. Nah, ini kalau menafsirkannya ke
dalam tidak ada masalah, tapi kalau menafsirkannya keluar dibiarkan
tanpa aturan, tanpa MOU, tanpa ada perjanjian-perjanjian etis entah
bersifat sosial budaya saja atau sampai ke tingkat konstitusi, terserah,
itu pasti akan menjadi kayak sepak bola lah. Wong antar satu tim saja
sepak bola itu tafsirnya macam-macam kok. Ada yang tipe celeng,
celeng itu artinya pokoknya bola di sana gol digiring sampai gol sana,
tidak pakai oper kiri kanan, nah itu banyak celeng-celeng ini di dalam
kehidupan masyarakat, tidak bisa berdialektika, tidak kenal huruf yang
lain, tidak bisa mendengarkan yang lain.
Nah, untuk itu saya selalu menahan diri, ini saya demi Allah saya
datang ke sini ini karena saya sangat menghornati Yang Mulia Ketua dan
saya tidak pernah merasa pantas dan mampu untuk berdiri di sini. Tapi
karena beliau orang Madura, saya agak takut sama orang Madura ya, ya
sudah saya taat untuk datang di sini tapi intinya adalah saya
menganjurkan kalau kita saling bersikeras kemudian salah satu akan
menang ……tinggal tunggu saatnya kita akan bentrok lagi.
Nah, ini bebrapa poin sangat banyak yang sudah bisa saya
siapkan tapi intinya adalah menurut saya penyelesaiannya tidak bisa
penyelesaian konstitusional saja atau hukum saja tanpa bersama-sama
kita sepakati untuk melakukan diskusi-diskusi pada ranah ilmu dan kerja
sama-kerja sama dalam “ranah kebudayaan”.
Pedoman saya sederhana, saya kholifah kata Tuhan dan kholifah
itu mengurusi apa saja di bumi karena kita kholifah di bumi. Jadi kalau
saya Majelis Ulama saya akan ambil Ahli-Ahli Tanah, Ahli Ekologi, jadi
Ulama Ekologi, Ulama Biologi, Ulama Tambang, Ulama macam-macam
karena itu termasuk konteks dan skala dari kekhalifahan saya, gitu lho.
Nah, jadi Bapak-Bapak sekalian, saya mohon maaf atas
kekurangan-kekurangan saya tapi saya tidak bisa menjawab dicabut atau
tidak dicabut, saya tidak merekomendasikan kedua-duanya sebelum kita
bersama-sama melakukan perjanjian untuk tidak saling mengancam satu
sama lain.
Inna khalaknakum min dzakkari wa unsta wa ja’alnakum syu’uban
wa qobailla lita’arafu. Ini tidak ada batasan dari Allah bahwa yang
berlaku pada ayat ini hanya orang Islam atau hanya orang Kristen. Allah
mengatakan “Aku menciptakanmu sekalian wahai mahkluk dan manusia

24
bersuku-suku, berbangsa-bangsa”, suku dalam arti genetika maupun
suku dalam arti pemikiran suku dalam arti aliran, suku dalam arti
macam-macam. Li ta’arofu kalau lita’arofu ini tidak kita kerjakan dan
mohon maaf saya tidak bisa ngomong di sini sebenarnya karena
pekerjaan saya adalah mengerjakan lita’arofu itu, mengerjakan lita’arofu
itu dimana-mana, sampai kemarin itu penari-penari pakai koteka di
pengajian saya. Saya ditanya “Boleh, Cak?” “Lha terus piye, opo wong
pengajian, opo terus tak kon nganggo jilbab lha yo ora bisa” “Lha dia
masih seperti itu, biarin dulu, biar dia percaya diri dulu, biar dia tahu dia
saudara kita, nanti pelan-pelan Allah akan memberi hidayah, tapi itu
tidak usah kita omongkan”.
Artinya begitu banyak hal yang bisa saya tafsirkan mengenai
Indonesia, mengenai Islam, mengenai apapun saja, yang 99% tidak
saya ungkapkan. Kenapa? Karena sebagai orang Islam, terakhir sekali
Pak Ketua”, sebagai orang Islam saya meniru definisi tentang muslim
dan mukmin. Muslim adalah orang yang, ini setahu saya dari kiai-kiai,
sebab kalau saya bukan kiai saya bukan ulama, dan saya pernah
mendengar dari pengajian-pengajian, muslim adalah orang yang setiap
kata dan perbuatannya itu menjamin keselamatan semua orang. Nomor
dua mukmin, mukmin adalah orang yang kalau ada dia di suatu
lingkungan maka amanlah harta orang, maka amanlah martabat orang,
dan amanlah nyawa orang. Jadi nggak ada terorisme dan segala macam,
termasuk terorisme itu, itu juga kecurangan yang luar biasa, identitas
tidak bisa diadili. Yang bisa diadili adalah perbuatan, saya kira begitu
asasnya. Jadi tidak bisa saya “Woh Pak Karman itu maling, yuk
ditangkap!” Lho tidak bisa, tidak bisa identitasnya kita tangkap. Yang
kita tangkap ketika dia maling kita tangkap, perbuatannya.
Nah, ini sekarang kita menangkapi orang, membunuhi orang,
menembaki orang, yang kita tangkap, yang kita tembak itu identitasnya.
Dan siapa yang mengklaim identitasnya ini? Nah, kalau sudah ngomong
ini kalau mau nyabut ini saya penginnya nyabutnya tidak hanya ini, NKRI
kita cabut, kita habisin semua, Amerika kita habisin, semua kita habisin,
kita bangkit sebagai bangsa dan kita tidak mau disuruh bertengkar kecil-
kecil seperti ini karena mereka memang pinginnya kita bertengkar
seperti ini supaya kira rapuh dan mereka bisa ambil harta kita sebanyak-
banyaknya. Mohon maaf ada pidato kenegaraan sedikit di akhir.
Assalamualaikum wr. wb.

47. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Terima kasih, Cak Nun.


Jadi Anda diundang sebagai Ahli karena nomenklatur undang-
undang harus disebut Ahli. Jadi di undang-undang itu tidak ada pakar
atau apa, harus disebut Ahli. Kalau orang diundang karena
pengetahuannya atau pemahamannya tentang hal-hal tertentu dan

25
itulah sebabnya hari ini kita sudah mendengarkan 3 Ahli, Ahli Romo
Mudji Sutrisno, Ahli Ulil Abshar Abdalla dan Ahli Emha Ainun Nadjib.
Nah, sebelum masuk ke Pihak Terkait, saya akan undang untuk
menyampaikan pertanyaan atau minta penjelasan kepada ketiga Ahli ini,
kepada Saudara yang merasa perlu mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
Majelis Ulama, PBNU, Hizbut Tahrir, Dewan Masjid.
Oke, sebentar dulu. Saya catat dulu kalau gitu.
Baik, lima saja dulu, singkat-singkat, agar nanti cukup leluasa
(…..)

48. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT (DEWAN DAKWAH ISLAMIYAH):


ABDUL RAHMAN TARDJO, S.H., M.H.

Dewan Dakwah juga, Majelis, termasuk di dalamnya juga itu?

49. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Ya, 5 dulu. Ini Majelis Ulama Indonesia, kemudian Dewan Masjid,


Hizbut Tahrir, PBNU dan Pemohon.
Silakan dari Majelis Ulama dulu.

50. PIHAK TERKAIT (MUI) : M. LUTFI HAKIM, S.H., M.H.

Terima kasih, Yang Mulia.


Assalamualaikum wr. wb.
Yang pertama saya tujukan kepada Romo Mudji, yang pertama
dari yang akan saya sampaikan berkaitan dengan Romo Mudji. Tadi
Romo menyebutkan bahwa wilayah penyimpangan agama silakan
diselesaikan oleh masing-masing agama. Kemudian bagaimana kalau
keluar dan benar-benar menodai, Romo tadi menyebutkan bahwa negara
tidak bisa masuk ke wilayah publik kecuali hanya untuk mencegah kalau
orang membuat keonaran, kerusakan, tetapi di luar itu tidak dapat
dibenarkan. Komentar saya atas hal ini, menurut hemat saya yang
namanya perbuatan merusak, melakukan keonaran, jangan hanya
dipandang dari aspek secara materiil. Ada juga orang yang melakukan
kerusakan, keonaran, secara spiritual. Kalau orang mengatakan,
“Seseorang Nabi misalnya, dia seorang germo misalnya begitu”, tentu itu
jelas merupakan melakukan kerusakan, tidak bisa itu dianggap sebagai
sesuatu yang tidak akan melakukan kerusakan. Merusak agama,
merusak lembaga-lembaganya, merusak martabat Tuhan, itu juga
sesuatu yang bisa dikategorisasikan sebagai merusak.
Jadi mohonlah pengertian merusak ini jangan direduksi hanya
secara materiil. Justru kadang-kadang perbuatan merusak yang sifatnya
spiritual ini jauh lebih memberikan rasa tidak aman, rasa tidak nyaman
dan mengganggu ketenteraman yang lebih parah lagi bagi suatu
masyarakat. Kerusakan materiil mungkin hanya ditanggung oleh satu

26
dua orang saja tapi apabila melakukan kerusakan yang sifatnya
keagamaan misalnya itu bisa menimbulkan perasaan sensitif bagi banyak
orang.
Yang kedua, tadi Anda menyebutkan, “Dulu ada 5 saja agama
yang diakui atau apalah tadi istilahnya sedangkan di zaman Gusdur ada
6”. Menurut hemat saya Anda keliru, dari sejak dahulu PNPS ini memang
sudah menyebutkan adanya 6 agama itu walaupun tidak membatasi di
agama itu. Kalau kemudian di dalam praktiknya di zaman Gus Dur yang
karena ini menjadi lebih memiliki akses terhadap beberapa hal, misalnya
secara ekonomis, secara politis dan seterusnya, itu lain dari
persoalannya.
Kemudian tadi Anda menyebutkan adanya agama-agama yang
natural, yang tumbuh secara natural di luar agama wahyu atau agama
lokal yang tumbuh di luar agama wahyu. Saya kira ini memerlukan suatu
penelitian yang lebih mendalam, kapan sebetulnya mereka hadir, sejak
kapan itu sudah ada. Kita tidak bisa mengklaim begitu saja bahwa
mereka sudah ada sekian lama tanpa suatu penelitian yang betul-betul
akurat.
Kemudian keempat, Anda juga menyebutkan yang berhak
menentukan menyimpang itu hanya Allah sendiri. Menurut hemat saya
ketika Anda menyebutkan yang berhak menentukan menyimpang itu
hanya Allah sendiri, Anda telah mencampuri wilayah agama orang lain.
Karena apa? Karena Anda menyebutkan yang berhak menentukan
penyimpangan itu hanya Allah sendiri itu adalah wilayah subyektif Anda.
Ketika Anda tentukan itu harus berlaku pada orang lain, saya yakin itu
merupakan campur tangan terhadap wilayah agama orang lain. Di dalam
wilayah agama kami tentu saja dalam hal ini tidak diartikan hanya Allah
sendiri kemudian hanya Allah yang akan langsung turun tangan dengan
kekuasaannya dan kekuatannya tidak seperti itu. Ada lembaga-lembaga
keagamaan kami yang bisa untuk turut terjun di dalam menyelesaikan
suatu hal yang menyimpang tadi itu.
Kemudian Anda bagian terakhir menyebutkan bagaimana kalau
orang-orang benar-benar menghina agama-agama yang ada? Anda
menyebutkan harus dilihat bagai kasus per kasus, tidak boleh hukum
menggeneralisir. Saya tidak memahami apa yang ingin Anda sampaikan
pada konteks terakhir ini. Bukankah dengan adanya hukum maka bisa
menjadi kasus? Justru kalau tidak ada hukum maka tidak ada kasus,
tidak ada persoalan, tidak ada perkara. Kalau demikian yang Anda
maknai maka Anda sebetulnya mengakui, membenarkan perlunya ada
sesuatu hukum yang mengatur tetapi memang hukum itu harus betul-
betul teliti dalam melihat kasus per kasus, mungkin itu bisa dipahami
kalau seperti yang Anda maksudkan.
Kedua, kepada Ulil Abshar Abdalla. Saudara Ulil, saya sepakat
dengan Anda bahwa kita tidak bisa rela suatu penodaan agama dan itu
sudah clear seperti yang telah Anda contohkan tadi itu. Yang kedua,
saya juga sepakat kepada Anda bahwa alasan kita adalah penuh dengan

27
beragam madzhab dan seterusnya. Memang kekayaan kita itu penuh
dengan kekayaan tafsir. Al-Quran sendiri disebut Allah sebagai ayat,
suatu tanda, suatu sinyal, suatu yang perlu dipikirkan lebih mendalam.
Dia bukan suatu teks yang sudah sedemikian rupa, kata perkatanya
lengkap tanpa suatu penafsiran. Tetapi tidak berarti ada suatu
penafsiran-penafsiran yang katakanlah seperti dikatakan oleh Cak Nur itu
tiap ada 10 orang penafsirannya 10 orang. Kalau itu dimaksudkan untuk
wilayah privat kita semua tidak ada masalah, dan ternyata Cak Nur
menutupnya juga mengatakan, “Kalau itu dimaksudkan untuk mengajak
orang, untuk memberikan tafsir yang begitu rupa, berbeda dari pokok-
pokok ajaran agama, tentu itu akan menimbulkan suatu maslah pada
orang lain”.
Nah, yang kedua dari rekan Ulil, Anda menyebutkan, “Pokok-
Pokok Ajaran Agama itu apa?” Anda mempertanyakan, apakah
Ushuluddin, Rukun Iman dan seterusnya. Bagi saya yang saya tangkap
dari yang Anda katakan, bukan persoalan betul PNPS itu menyebutkan
“Pokok-Pokok Ajaran Agama” itu apakah dia secara teliti atau tidak teliti
ataukah secara rinci atau tidak rinci. Mengapa? Justru kalau dia
menyebutkan secara rinci akan menimbulkan problem-problem yuridis
berikutnya, ini sudah masuk wilayah teknis yuridis yang mungkin akan
sulit Anda terima. Yang penting adalah eksistensi yang dinamakan
nomenklatur “Pokok-Pokok Ajaran Agama” itu memang ada. Tentang
seperti apa yang dimaksud dengan “Pokok-Pokok Ajaran Agama”, silakan
lah itu menjadi sesuatu yang merupakan bahan atau domain dari
masing-masing agama yang tentu akan berbeda Pokok-Pokok Ajaran
Agama Islam, Kristen, Katolik dan seterusnya. Yang penting kalimat yang
ada dalam PNPS yang menyebutkan adanya “Pokok-Pokok Ajaran
Agama” itu memang benar bahwa ada apa yang dinamakan “Pokok-
Pokok Ajaran Agama”. Lain masalahnya kalau Anda mengatakan bahwa
tidak ada apa yang disebut “Pokok-Pokok Ajaran Agama” di dalam
agama Islam.
Kemudian Anda menyebutkan tentang kasus Musailamah. Anda
menyebutkan bahwa itu menurut yang Anda sebutkan tadi itu sebagai
suatu lebih merupakan perang politik atau makar politik yang diperangi.
Menurut saya itu ada suatu reduksi historis yang cukup parah di situ, ya.
Nabi memang betul pada waktu itu hanya mengingatkan, tapi jangan
kemudian diartikan bahwa hanya mengingatkan itu berhenti di titik itu.
Pada suatu proses orang murtad dia pertama kali menurut ajaran Islam,
saya yakin rekan Ulil lebih paham dari saya, dia harus diperingatkan
terlebih dahulu, tidak boleh langsung diperangi. Dia harus disadarkan
terlebih dahulu.
Dan kedua, aspek historis yang hilang dari yang Anda katakan
bahwasanya antara posisi geografis Rasulullah dengan Musailamah itu
cukup jauh, komunikasi belum secanggih seperti sekarang ini. Aspek
ketiga, yang Anda juga reduksi , dan itu juga cukup parah menurut
hemat saya, karena Anda sangat sumir tadi Anda menyebutkan,

28
Musailamah itu bukan orang per orang, dia seorang yang sangat memilki
martabat di sukunya, dia memilki pasukan yang ribuan, saya pernah
mendengar ratusan sampai tujuh puluh ribu, dan ini orang-orang dari
suku, dia termasuk di Hijaz yang sebelah selatan, yang sangat militan.
Tidak seperti itu caranya menangani orang sebanayak itu, dia
memerlukan suatu pendekatan-pendekatan yang panjang. Karena itulah,
ketika Nabi wafat, belum sempat terjadi apa yang kemudian dilakukan
oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq yaitu memeranginya. Kalau saja, saya yakin
niscaya Rasul juga akan memeranginya apabila Rasul cukup panjang
usianya pada waktu itu.
Dan demikianlah Yang Mulia, telah saya sampaikan semua.
Terima kasih, wassalamualaikum wr. wb.

51. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Baik. Dari Dewan Masjid, kalau bisa sekitar 2 menit saja ya,
jangan terlalu lama. Silakan.

52. PIHAK TERKAIT (DEWAN MASJID INDONESIA) : H. SUTITO,


S.H., M.H.

Terima kasih.
Assalamualaikum wr. wb.
Saya tujukan kepada Romo Mudji Sutrisno, ya. Tadi yang
pertama, dengan ilustrasi di dalam suatu keluarga, apabila ketentuan-
ketentuan tata tertib kehidupan di rumah tangga itu dituangkan dalam
suatu ketentuan tertulis di rumah tangga, itu akan dibawa kemana
rumah tangga tersebut? Kemudian diperlebar secara nasional dalam
suatu konteks kenegaraan, apabila segala aspek kehidupan itu diatur
dengan undang-undang, diatur dengan hukum, mau kemana juga
negara tersebut? Nah, sehingga seolah-seolah seluruh kehidupan itu
tidak perlu diatur menurut konsep Romo Mudji Sutrisno. Nah, kami
tanyakan, apakah perkawinan juga tidak perlu diatur? Merokok saja,
secara universal ada lambang-lambang yang ditempel di tempat-tempat
tertentu no smoking, dilarang merokok. Nah, sehingga saya sependapat
dengan yang disampaikan oleh Cak Nun tadi yang mengatakan bahwa
kalau semua tidak diatur, akan menimbulkan keonaran lebih besar lagi,
khususnya terkait dengan Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965.
Yang kedua, tadi Romo Mudji menyampaikan bahwa seperti juga
tadi sudah disampaikan oleh wakil dari MUI, agama yang dianut di
Indoensia itu ada 5, sejak Gus Dur baru ada 6. Nah, kemudian Romo
Mudji mengatakan, mengusulkan bahkan supaya Undang-Undang Nomor
1 PNPS Tahun 1965 ini dicabut. Kalau yang bersangkutan sendiri belum
membaca, tidak mengetahui, mengapa mengusulkan mencabut undang-
undang ini? Saya bacakan di dalam penjelasan Romawi 2 (II) pasal demi
pasal. Pasal 1, “Dengan kata-kata di muka umum, dimaksudkan apa

29
yang lazim diartikan dengan kata-kata itu dalam KUHP, agama-agama
yang dipeluk oleh penduduk di Indoensia ialah Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Budha, dan Konghucu”, ini semua ada enam. Oleh karena itu,
sangat lancang sekali apabila belum pernah membaca, tidak memahami
undang-undang ini saja... (suara hilang tidak jelas) bukan hanya sekedar
6 agama itu saja yang disebut di dalam undang-undang ini, saya
bacakan di alenia ketiganya, “Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain,
misalnya Yahudi, Zarostrian, Sinto, Toisme dilarang di Indonesia.
Sehingga tidak hanya 5 agama saja yang disebut di dalam undang-
undang ini. Undang-undang ini sungguh sangat sudah mengakomodir
semua kehidupan yang ada di Indonesia, bahkan juga agama yang ada
di negara-negara lain.
Dengan demikian, saya sangat tidak sependapat dan menolak apa
yang disampaikan oleh Saudara Mudji Sutrisno tadi, ya lebih baik kalau
tidak menguasai masalah hukum janganlah ikut menguji kepada ranah
hukum, cukup di agamanya saja dan jangan mencampuri urusan agama
lain.
Terima kasih.

53. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Tadi Bapak terlambat, ya. Memang Romo ini tidak diminta bicara
masalah hukum.
Pak Mahendradatta, Hizbut Tahrir.

54. PIHAK TERKAIT (HIZBUT TAHRIR) : M. MAHENDRADATTA, S.H.,


M.A., M.H., PH.D.

Assalamualaikum wr. wb.


Ketua Mahkamah Konstitusi yang terhormat dan para Hakim, kami
ingin menyampaikan apa yang kami rasakan dan juga menjadi pendapat
kami, langsung kepada para Ahli ini. Bahwa hari ini kita memang masuk
ke dalam acara mendengarkan Ahli-Ahli yang sedang bingung. Jadi,
kebingungan tersebut dibawa kemari, dengan cara, metode, yang biasa
dikenal untuk membuat bingung seseorang adalah beranjak bertanya,
semua dipertanyakan. Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 itu
kalau dipertanyakan dari awal saja sudah bisa dipertanyakan.
Contohnya, apa yang dimaksud dengan mengingat? Mengingat kalau
kurang, wah, berarti tidak ingat ini, mulai ke situ. Kemudian pada sampai
ke norma menimbang. Menimbang itu maksudnya apa? Menimbang apa
undang-undang yang ditimbang dengan timbangan orang, timbangan
barang atau apa, panjang urusannya. Bicara kemudian pada level barang
siapa. Apa yang dimaksud barang siapa, maksudnya orang atau barang
nya siapa? Panjang lagi. Kemudian umum, umum ini seperti apa? Umum
ini, apakah termasuk anak kecil bagaimana kalau ini disampaikan
kepada anak-anak di bawah umur semua, biarpun ribuan tapi di bawah

30
umur. Ini umum bukan? Atau umum itu harus berapa orang? Satu, dua,
tiga dibikin bingung semua. Akhirnya dia lari ke masalahnya. Jadi dia
bilang “Pokok-Pokok Ajaran” ini membingungkan. Ini artinya apa?
Nah, Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 ini bukan hidup
hari ini, sudah panjang dan sudah banyak menelurkan yurisprundensi-
yurisprudensi tetap Mahkamah Agung. Bagaimana Mahkamah Agung
sudah memutuskan tafsir terhadap pokok-pokok ajaran? Dan tafsiran itu
adalah tafsiran yang paling konstitusional berdasarkan Undang-Undang
Dasar 1945.
Putusan terhadap Samsuriyati sudah ada, putusan terhadap
Ahmad Musadek sudah ada. Putusan-putusan dari zaman orde lama,
orde baru dan sekarang orde reformasi sudah ada, itu sudah masuk ke
ranah-ranah Mahkamah Agung bagaimana Mahkamah Agung sudah
memberikan tafsiran-tafsiran berdasarkan otoritas atau otorisasi yang
diberikan oleh konstitusi. Jadi cukup para Ahli tidak perlu. Kalau dia mau
bingung, silakan pulang dengan kebingungannya, dan terus bingung.
Bagi kami orang hukum dan mengerti tentang masalah hukum tidak lagi
bingung. Itu karena kami sudah tahu. “Barang siapa” sudah jelas. Di
dalam hukum “barang siapa” itu adalah lebih dari satu orang, itu
yurisprundensi tetap. Eh, maaf “barang siapa” sudah jelas yaitu pribadi
hukum maupun orang. Sedangkan umum sudah jelas, lebih dari satu itu
diangap umum. Itu yurisprundensi tetap. Jadi sudah sangat jelas. Hal
yang jelas jangan dimentahkan lagi, itu. Jadi, saya terima kasih atas
kebingungan para Ahli, termasuk dengan curhat colongannya. Silakan
kembali ke tempatnya nanti, dengan terus bingung.
Terima kasih, mohon diabaikan semuanya, terima kasih.

55. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Ya, baik.
Dari PBNU.

56. PIHAK TERKAIT (PBNU) : ASRUL SANI

Terima kasih, Yang Mulia. Saya yakin Romo Mudji tidak bingung,
tapi malah saya yang bingung. Nah, kalau tadi Romo mengatakan bahwa
soal-soal seperti ini diserahkan kepada masyarakat sendiri, saya hanya
ingin mengajukan pertanyaan yang mungkin sedikit nakal, Romo. Saya
lihat dalam tradisi Katolik itu sendiri tidak seperti itu, ya. Dalam sidang
yang lalu salah satu Ahli telah menyampaikan bahwa begitu banyak
otoritas Vatikan melakukan eksklusi terhadap Pastur, terhadap mungkin
Cardinal yang ternyata berbeda pendapat atau berbeda penafsiran
dengan yang disebut sebagai otoritas resmi Vatikan. Nah, itu.
Kemudian yang kedua, ya persoalan kita dalam realitas sosial
adalah kita ini berada dalam masyarakat yang memang stratanya begitu
banyak, dari yang emosional sampai yang wise, yang bijaksana seperti

31
Cak Nun, seperti Romo. Nah, bagaimana kita harus menyelesaikan.
misalnya seperti yang juga telah dikemukakan di dalam forum ini, ketika
atas nama ajaran agama, seseorang menyatakan diri sebagai pemimpin
dan dia kemudian menyatakan bahwa, ”Kalau saya sebagai pemimpin
boleh menikmati istri Anda semua“. Bagaimana kita harus menyelesaikan
hal–hal yang seperti ini.
Nah, itu barangkali untuk Romo dan juga untuk Ulil, dari
keterangan yang Anda ingin sampaikan tadi, pertanyaan singkat saya
adalah untuk Anda berdua dan mungkin juga untuk Cak Nun, karena ini
adalah proses persidangan yang ada batas waktunya, yang ada
schedule-nya jadi terlepas kita setuju saja ada forum lain yang
merupakan forum keselamatan yang saling rahmatan lil alamin untuk
kita semua. Tapi dalam konteks Mahkamah Konstitusi ini, apakah yang
ingin Anda katakan bahwa Mahkamah Konstitusi itu perlu memberikan
pemaknaan kembali terhadap undang-undang ini kalau putusannya
adalah tidak dicabut?
Terima kasih.

57. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Silakan, Pemohon.

58. KUASA HUKUM PEMOHON : M. CHOIRUL ANAM, S.H.

Ya, terima kasih, Yang Mulia.


Ditujukan kepada Cak Nun. Terima kasih Cak Nun atas usulan way
out -nya soal dialog. Dialog-dialog Cak Nun, ya, dialog-dialog peradaban,
dialog-dialog yang cerdas dan penuh keilmuan dan sopan santun.
Pertanyaan saya adalah ketika terjadi dialog-dialog itu, apakah output -
nya memang harus ada penseragaman atau output-nya harus memaknai
perbedaan sebagai perbedaan rumuskan etika untuk saling menghormati
ataukah output-nya menghukum seseorang karena dia dianggap
berbeda dengan meminta negara untuk menghukum dia. Ini nyambung
dengan pertanyaan kedua, seandainya…, walaupun saya dapat
informasinya tapi saya belum membaca sehingga saya pakai kata
seandainya, tafsir yang dilakukan oleh Cak Nun dengan berbagai
ceramahnya, dengan berbagai tulisannya, termasuk di buku ini, “Kafir
Liberal” salah satu judul buku yang sangat kalau dikatakan provokatif
boleh provokatif. Di bagian buku ini juga ditulis, diacarakan Dwi Cinta di
TIM sana, Cak Nur juga pernah mengudang kelompok jaringan kafir
liberal, jadi tidak hanya Islam liberal tetapi jaringan kafir liberal, bahkan
juga di buku ini juga Cak Nun juga ngomong, “Saya juga kafir kok, mau
apa gitu gitu”, karena otoritas kebenaran berada kepada Tuhan, bukan
berada pada kita. Lha kalau seandainya Anda yang mengatakan Anda
sesat, apakah Anda menangisi saja? Apakah Anda mengundang yang
menganggap sesat untuk berdialog atau mengundang negara atau Anda

32
lari dari negara karena dikejar-kejar, oh ini memang sesat gitu, ataukah
memang satu tawaran peradaban dialogis yang penuh keilmuan, sopan
santun, etika dan memang terus menyerahkan kebenaran itu sendiri
kepada yang memiliki kemutlakan atas kebenaran itu sendiri seperti apa
yang anda tawarkan dalam buku “Kafir Liberal” ini? Karena informasi
yang saya dapat memang Anda juga dikatakan sebagai salah satu aliran
sesat di bukunya.., kalau tidak salah, sekali lagi saya belum klarifikasi,
Hartono Ahmad Jaiz, Cak Nun adalah salah satu aliran sesat, gitu.
Yang ketiga untuk Majelis Hakim, mohon kalau misalkan tidak
langsung pertanyaan biar waktu kita efektif gitu, suruh ke kesimpulan
saja, sehingga curhat gitu juga nggak penting di sini.
Terima kasih.

59. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Ya. Baik, jadi waktu kita tinggal 20 menit, jadi akan berbagi tiga,
dimulai dari Romo Mudji.

60. AHLI (YANG DIHADIRKAN OLEH MK) : DR. F.X. MUDJI


SUTRISNO, S.J.

Terima kasih dan saya hormati semua pertanyaan-pertanyaan


yang muncul. Yang pertama saya akan rangkumkan saja beberapa
pertanyaan yang tajam mengenai apakah penyimpangan kesesatan yang
muncul dalam sebuah tindakan yang merusak, membuat onar itu, itu
harus langsung ditangani solusinya dengan bahasa hukum. Nah, saya
akan mulai dari pengalaman saja, karena tadi saya dikatakan bahwa…,
dan Bapak Ketua Mahkamah Konstitusi mengatakan baik sekali bahwa
hari ini tolong tidak terlalu masuk ke dalam soal hukum tetapi bagaimana
kebudayaan itu.
Waktu saya menjadi anggota KPU dan waktu saya menjadi
anggota Komisi Kebenaran dan Persahabatan dengan soal yang amat
peka mengenai kemanusiaan di Timor Leste itu Timor Timur, itu
persoalannya sama seperti di ruang ini. Yang pertama kita mulai dulu
dengan mari kita tata hidup bersama, dan saya kira MOU bernegara juga
sama, dengan kode etik dulu untuk intern anggota KPU tetapi KPU
karena harus melaksanakan Pemilihan Umum maka juga harus ada
undang-undang dan bersama dengan DPR.
Saya hanya mau mengatakan bahwa pada tahap pertama dalam
hidup bersama kita dengan penuh toleransi yang tadi ranah budaya yang
dikatakan Cak Nun itu tadi, itu saya bisa simpulkan dalam pengalaman
meng-Indonesia saya, bahwa ketika saya juga diundang pada pertemuan
di Istana Negara ketika pemimpin-pemimpin negara Islam semuanya,
yang diundang dari Katolik hanya dua, satu Romo Kardinal karena dia
wakil resmi dari Gereja Katolik dan satu lagi saya tanya legitimasi
undangan untuk saya kenapa? “Karena Romo Mudji wakil dari rakyat

33
yang tidak mengancam kita dan mencoba melakukan gerakan untuk
dialog terus”. Ini saya hormati sekali. Sebagai contoh bahwa ketika kita
tidak merasa terancam atau mengancam, ini yang harus dibuat dulu
sebelum tadi itu saling membenarkan atau menyalahkan dalam wilayah
yang lebih tinggi yaitu etik maupun hukum itu sendiri.
Kemudian tadi untuk mengenai soal bagaimana 5 atau 6 yang
resmi diakui oleh negara, saya membaca lengkap dan bahwa akhirnya
kita tahu sendiri dalam sejarah itu, bahwa Surat Edaran Menteri Dalam
Negeri Nomor 477/74054/BA.022/4683/1995 tanggal 19 November 1978
menyatakan bahwa agama yang diakui oleh pemerintah hanya Islam,
Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Dan tolong ketika para penganut
Konghucu dalam hal pencatatan perkawinan yang sah tidak ada. Tidak
diperolehnya pendidikan keagamaan dan tidak adanya hak atas
perayaan hari raya, kemudian itu dibereskan oleh Gus Dur.
Jadi saya mau mengatakan bahwa solusi hukum mestinya menjadi
dialog-dialog dulu seperti ini yang tadi diusulkan dan saya tahu sekali
bahwa forum Mahkamah Konstitusi yang amat terhormat dan mulia ini
adalah sebuah dialog dengan bahasa hukum yang mulai dari awal
dengan sebuah penafsiran-penafsiran ini sesungguhnya adalah
penafsiran mengenai kebenaran dari yang dikatakan. Tidak pernah kita
hidup tanpa bahasa. Dan di situ dalam keahlian saya mengenai bahasa,
mana, saya tanya pada kita semua, yang benar dalam soal bahasa?
Ketika masih dalam percakapan, wacana atau yang sudah ditulis formal?
Dan ketika sudah ditulis formal, mana yang lebih benar lagi? Ketika
ditulis secara legal dimasukkan dalam lembaga negara. Itu artinya
adalah pis lapis kebenaran dalam hidup ini yang otoritasnya paling
tinggi untuk soal tadi, menyimpang dan sesat itu, otoritas paling tinggi
adalah Allah itu sendiri. Di situ saya mau mengatakan, bagian yang
dihayati manusia ketika kita bisa dialog dengan enak, saya bisa ejek
mengejek dengan Cak Nun ini, dan bisa omong dengan enak dengan
Saudara Ulil, sesungguhnya kita di ruang ini ada religiusitas keimanan
itu. Nah, ketika religiusitas itu muncul, kita satu dalam soal itu. Tapi
religinya, bentuk sosial, sosiologis, ada ibadah, ada umat, ada kekuasaan
di wilayah agama itu, dan ada otoritas di sana, itu wilayah agama.
Ketika agama yang majemuk itu masuk dalam Republik Indonesia,
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memilih negara hukum
dan kepastian sebagai bagian negara demokrasi, di sana konsensus itu
masuk dan kita sudah tahu fungsi negara sudah jelas dalam alinea
keempat Pembukaan UUD 45. Dan di sana juga kita lalu tahu kenapa
dalam pasal-pasal UUD 45 soal hak asasi manusia dirumuskan dalam
beberapa pasal tapi tugas negara yang lain juga dirumuskan dengan
pokok-pokok dalam wilayah publik tadi.
Yang paling terakhir yang mau saya tanggapi adalah mengenai
soal bahasa dan bagaimana tadi reduksi-reduksi itu. Di ruang ini, yang
saya katakan atau yang muncul, pasti secara subyektif Anda tafsirkan
dan bisa direduksi. Kenapa? Karena membaca, mendengar, akhirnya

34
adalah menaruh bahasa-bahasa subyektif yang keluar, lalu dalam otak
dan analisis kita, kita tafsirkan secara subyektif dan di situ pasti terjadi
reduksi-reduksi. Untuk itulah saya kira gunanya kita bertemu bersama,
dialog bersama, masing-masing dalam dimensi di alam terbuka itu,
akhirnya kebenaran yang paling terakhir adalah konsensus, konsensus,
konsensus. Akhirnya kontrak bernegara adalah terus menerus sebuah
konsensus. Dan karena itu juga kita tahu kenapa konstitusi butuh waktu
lama untuk akhirnya menjadi dasar negara ini.
Terima kasih.

61. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Silakan, Pak Ulil.

62. AHLI (YANG DIHADIRKAN OLEH MK) : DR. ULIL ABSHAR


ABDALLA, M.A.

Terima kasih.
Yang pertama yang ingin saya tanggapi adalah wakil dari MUI,
Mas Lutfi. Saya sepakat dengan keberatan atau perspektif yang Anda
ajukan terhadap fakta sejarah yang sudah saya kemukakan dalam uraian
saya tadi, tetapi itu tidak membatalkan poin saya bahwa sebetulnya
perang yang dilakukan oleh Abu Bakar terhadap Musailamah dan
Tulaihah Al-Asadiy pada dasarnya adalah perang terhadap makar politik.
Saya ingin memberikan sedikit tambahan perspektif sejarah dalam
hal ini yang mungkin bisa menjadi ilham atau inspirasi kita untuk
menelaah mengenai undang-undang ini. Ada tiga model di dalam sejarah
Islam yang menurut saya menarik. Yang satu adalah kasus Musailamah,
seorang yang mengaku Nabi lalu diperangi. Tadi saya katakan ini bukan
perang atas keyakinan tapi perang atas makar dan kudeta politik. Yang
kedua adalah ada satu peristiwa yang direkam dalam sejarah Islam
terjadi di Afrika Utara pada masa kekhalifahan Al-Muwahidin. Pada saat
itu ada seorang Yahudi yang melakukan slander atau profanation,
penistaan terhadap figur Nabi Muhammad. Dan kemudian dari penistaan
itu..., penistaan ini bukan dalam bentuk tafsiran, tapi dalam bentuk kata-
kata yang menyinggung perasaan. Dari perkataan atau dari tindakan
yang menimbulkan provokasi atau kalau dalam Bahasa Inggris kita sebut
sebagai hateful speech ini, kemudian timbul kekacauan di Dinasti Al
Muwahidin ketika itu di Afrika Utara dan kemudian orang Yahudi itu
ditindak dan dihukum. Menurut saya ini salah satu model bahwa orang
yang melakukan hateful speech, mengemukakan suatu statement atau
perkataan yang menimbulkan sesuatu yang memprovokasi, karena
statementnya sendiri offensive, bukan karena dia menafsirkan tetapi
karena statement dan bahasa yang dia pakai adalah offensive. Di dalam
sejarah Islam itu ada presedennya.

35
Yang ketiga adalah model tafsiran murni tanpa ada kudeta politik.
Di dalam sejarah Islam banyak sekali kelompok atau perorangan yang
melakukan tafsiran yang begitu liar terhadap agama Islam, bukan saja
penafsiran individual, dia mengemukakan itu dan mendakwahkannya.
Ada kelompok yang disebut dengan Ikhwanusshofa yang membuat suatu
kelompok, meskipun itu dianggap sebagai kelompok rahasia tapi mereka
bekerja diam-diam untuk menyebarkan idenya. Ada kelompok filosofi
yang menyebarkan ide-idenya yang bertentangan dengan ide-ide ulama
yang ortodoks, ada kelompok yang disebut dengan Al-Ittiba’ atau orang-
orang-orang yang Ahli Kedokteran dan Ahli Filsafat, dan seterusnya,
banyak sekali. Ada seorang penyair yang sangat terkenal yang namanya
Abdul A’la Al Maari yang hidup di Syam, yang puisi-puisinya banyak
sekali mengandung sindiran-sindiran yang kalau dibaca menurut standar
ortodoksi Islam itu bisa menyinggung sekali. Dia tidak pernah ditangkap
oleh penguasa, tidak pernah diganggu, karena dia hanya
mengemukakannya sebagai pendapat pribadi, sebagai tafsir, tanpa
dibarengi suatu tindakan makar. Tiga model ini menurut saya bisa
menjadi semacam ancang-ancang buat kita untuk melihat masalah ini.
Kalau hateful speech atau tindakan atau ucapan yang bisa menimbulkan
provokasi karena bentuknya dan statement-nya memang mengandung
provokasi yang menimbulkan kebencian. Tadi saya sebutkan contoh
yang paling vulgar adalah seseorang di penjara Guantanamo di Kuba
pernah terjadi seorang pasukan Amerika mencemplungkan Al-Qu’ran di
dalam toilet. Menurut saya itu bisa disebut sebagai hateful behavior atau
tindakan yang provokatif yang offensive. Tetapi penafsiran seperti yang
dilakukan oleh Abdul A’la Al Maari, dilakukan oleh Ibnu Rushd, oleh Ibnu
Sina, Al Farabi yang keduanya dikafirkan oleh Al Ghazali, tidak bisa itu
diadili. Oleh karena itu posisi saya adalah tafsiran, pendapat, entah
perorangan atau dikemukakan di muka publik atau sebagai golongan
tidak bisa diadili kalau dia tidak dibarengi oleh makar politik, sekurang-
kurangnya kalau itu kita merujuk pada sejarah Islam.
Yang terakhir, yang ingin saya tanggapi adalah pertanyaan dari
Wakil NU, Mas Asrul. Posisi saya di dalam kesempatan ini adalah bahwa
saya lebih cenderung mencabut undang-undang ini. Menurut saya ada
banyak hal yang perlu dibicarakan ulang, konteks sudah berubah, dalam
fiqih dikenal diktum ghairu ahkam bithaghazurul asmani wal ankam
hukum harus berubah berdasarkan perubahan konteks dan zaman,
dalam fiqih itu ada dan saya kira diktum itu dikenal di dalam tradisi
hukum manapun. Oleh karena itu perubahan konteks ini menurut saya
menuntut kita untuk menelaah kembali undang-undang ini.
Terakhir yang ingin saya tambahkan adalah bahwa kekhawatiran
umat Islam akan mengalami penodaan agama, penghinaan agama
karena undang-undang ini dicabut menurut saya kurang begitu
beralasan karena sebetulnya lembaga-lembaga fatwa dalam Islam
sendiri berhak mengeluarkan sebuah fatwa yang bisa menjadi panduan
bagi umat Islam bahwa pandangan ini sesat, pandangan ini tidak. Fatwa

36
yang dikeluarkan oleh MUI, oleh Nahdlatul Ulama, oleh Muhammadiyah,
misalnya sebuah kelompok dianggap sebagai kelompok yang sesat yang
pandangannya, saya setuju dengan Mas Lutfi tadi dari MUI, bahwa saya
tidak menyangkal bahwa ada pokok-pokok ajaran agama. Saya sebagai
seorang muslim Sunni Asy’ari Syafi’i, saya setuju ada Pokok-Pokok
Ajaran di dalam tradisi Sunni Syafi’i Asy’ari. Tetapi saya tidak bisa
memaksakan pokok-pokok itu kepada orang lain. Saya sepakat itu. Jadi
Nahdlatul Ulama sebagai organisasi Islam yang mengikuti tradisi
Ahlussunnah wal Jama’ah versi Asy’ariah punya pokok-pokok sendiri,
bisa mengeluarkan fatwa yang mengatakan bahwa kelompok ini tidak
sesuai dengan tradisi ini. Yang bermasalah adalah kalau fatwa itu harus
di-enforce oleh negara melalui undang-undang. Sebab negara Indonesia
bukan negara agama yang seharusnya bersifat netral, sehingga posisi
yang menurut saya paling adil adalah “Pokok-Pokok Ajaran Agama” ada,
umat perlu panduan dan itu bisa dilakukan melalui fatwa, tetapi negara
tidak bisa membela fatwa MUI, fatwa NU, fatwa Muhammadiyah, fatwa
Katolik, atau fatwa PGI, karena fatwa-fatwa itu berlaku secara internal
yang otoritasnya hanya diakui oleh umatnya sendiri. Jadi tidak bisa fatwa
itu diuniversalkan melalui medium negara karena itu bertentangan
dengan asas negara demokrasi yang kita impikan sejak reformasi.
Terima kasih.

63. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Terakhir, Cak Nun.

64. AHLI (YANG DIHADIRKAN OLEH MK) : EMHA AINUN NADJIB

Mohon maaf, saya mengungkap pengetahuan saya yang sangat


terbatas dan penuh kebingungan. Di dalam Islam itu ada disebut Tuhan
beberapa macam kebaikan, ada khair, ma’ruf, al birru, ikhsan, sholeh.
Pasti bukan saatnya untuk menjelaskan semua itu, tetapi singkat kata
kalau dalam roso saya, tafsir saya selama ini dan pengalaman saya,
khair itu kebaikan yang universal, masih cair, ma’ruf itu sesuatu yang
kebaikan yang sudah disimulasikan secara sosial sehingga terumuskan
menjadi konstitusi atau aturan main, itu ma’ruf. Kemudian ikhsan itu
kebaikan yang berasal dan hanya boleh diatur oleh diri masing-masing
orang, misalnya saya tidak wajib menolong orang, tapi saya menolong
orang, itu ikhsan. Birru itu bukan bir bintang. Birru itu khusus kebaikan
yang khusus dicapai di dalam tataran spiritual sehingga seorang haji
disebut dzulbirri atau mabrur. Orang yang mendapatkan ke-birru-an atau
ke-mabrur-an, jadi tidak ada pedagang mabrur, tidak ada presiden
mabrur, tidak ada Ketua Mahkamah Konstitusi yang mabrur. Yang ada
Haji mabrur.
Nah, sholeh adalah kebaikan yang dipakai di mana-mana.
Menurut saya kebaikan yang dari 4 tahap tadi sudah diuji sedemikian

37
rupa di dalam proses sosial. Sehingga keputusan yang sholeh, undang-
undang yang sholeh, pasal yang sholeh adalah ketika sangat minimal
pihak yang disakiti oleh peraturan itu. Jadi efek mudharat-nya sangat
kecil dari kebaikan itu, sebab kebaikan itu juga sangat harus tidak berdiri
sendiri, kebaikan itu harus benar-benar juga harus enak, enak harus
indah dan seterusnya. Tidak bisa benar tok, baik tok, indah tok, nggak
bisa. Jadi kita harus ke ranah ilmu dan filsafat soal ini.
Nah, hari ini membuktikan bahwa undang-undang yang Anda
ajukan untuk dicabut itu belum sholeh karena masih ada yang tersakiti
dan ada yang merasa terancam. Tapi saya tidak merekomendasikan
bahwa itu pasti harus dicabut. Kalau ada nasi ada kerikilnya jangan
dibuang nasinya, buang kerikilnya atau bikin lagi nasi yang lebih bergizi.
Jadi ini silakan dicabut, tapi sudah dibikin terlebih dahulu aturan-
aturan yang lebih matang, yang lebih tidak menyakiti pihak manapun.
Yang sholeh kalau istilah tadi itu. Jadi, Kira-kira ndak cukup bingung kan
ini pernyataan saya ini. Cukup jelas, ya? Karena kita tidak hanya hidup di
dalam bidang hukum, kita hidup di berbagai macam wilayah yang kita
harus berdialektika satu sama lain, itu pertama. Yang kedua, saya
analogikan main sepak bola itu bukan nyemprit orang offside dan
handsball. Main sepak bola adalah menguasai bagaimana menendang
bola, teamwork, berorientasi pada strategi menuju penciptaan goal, dan
seterusnya. Bahwa nanti ada pritt seseorang offside, itu harus kita
maklumi. Hukum itu diselenggarakan ketika ada sesuatu yang tidak bisa
dikontrol oleh politik, oleh budaya, dan oleh ilmu masyarakat. Maka
siang hari ini menurut saya, kita itu sedang mencari presisi setepat-
tepatnya, yang mana sih sesuatu ini cukup dikontrol oleh masyarakat?
Yang mana yang negara sebaiknya ikut campur? Itu saya kira. Dan ini
tidak mudah, maka tidak hanya bisa dengan forum seperti ini, kita
membutuhkan forum-forum yang sifatnya lebih ilmiah dan kultural. Dan
mohon maaf, itu saya lakukan terus menerus. Bahwa saya disebut kafir
saya bersyukur sekali saya disebut kafir, itu sama dengan saya sekolah
ndak lulus-lulus, maka saya akan berusaha untuk lulus. Jadi kalau saya
disebut muslim saya malah malu, kan gitu. Dan kalau saya menyebut diri
saya kafir itu kewajiban saya sebagai muslim, mosok saya menyebut,
“aku ganteng lho”, “aku muslim lho” kan ndak bisa. Semua Nabi-Nabi
mengatakan, “inni kuntum minadh dholimin, rabbana dhalamna
anfusana wailam taghfirlana watarhamna lanakunana minal khashiriin”
Semua Nabi-Nabi yang kita anut mereka semua menyebut dirinya
dzalim, dan saya tidak berani tidak menyebut diri saya dzalim. Jadi kalau
ada orang yang mengkafirkan saya, saya berterima kasih luar biasa,
karena itu merupakan cermin bagi saya dan itu merupakan proses
pembelajaran bagi saya. Jadi Ulil masih cengeng dia, masih berontak-
berontak dia kalau di-aran-arani seperti itu.
Oke, terakhir, Yang Mulia Bapak Ketua. Tadi saya ditanya
mengenai output-nya apa. Mas, main sepak bola itu main bola yang baik
aja, tidak usah mikir goal nya berapa. Jadi saya tidak pernah mikir

38
output, yang penting kita kerjakan beneran ini perdamaian, kita kerjakan
beneran ini kejujuran, kita kerjakan beneran ini kebaikan, output-nya
percaya deh kita sesama manusia kok. Hukum itu sebenarnya tidak perlu
ada seandainya manusia saling percaya, hukum itu terpaksa ada karena
ada asumsi dasar kita tidak bisa saling percaya, maka terpaksa ada
hukum, dan beruntunglah Pak Mahfud ada hukum sehingga bisa duduk
di sini sebagai Ketua. Seandainya manusia ini beres saja semua, ndak
perlu hukum, beres-beres semua, gitu lho. Nah, karena hukum ini
kemudian tidak mengalami presisi-presisi yang dialektikanya dengan
kultur, akhak, sosialitas dan seterusnya itu menjadi membutuhkan
remodulasi lagi maka terjadilah forum ini.
Jadi menurut saya, Pak Mahfud orang yang paling Ahli menurut
saya, dan paling memiliki pengalaman kultural, tentu dikagumi oleh
banyak orang. Kalau dia orang Jombang, dia tidak mampu seperti ini.
Karena dia orang Madura itulah makanya dia dengan tenang dia gini-
gini-gini-gini. Dan itu saya sangat andalkan, bahwa Beliau akan juga
menginisiatifi, nomor satu dialog-dialog di luar Mahkamah Konstitusi
sebagai individu dan sebagai bangsa Indonesia dan sebagai umat Islam.
Nomor dua, memikirkan bersama timnya perbaikan-perbaikan dari ini,
apa langsung direvisi, atau menyiapkan sesuatu yang baru, setelah itu
nanti bisa menjamin keamanan dan kesholehan sosial di kalangan
masyarakat, baru ini kita cabut, meskipun harus dipertimbangkan
kembali.
Terakhir sekali, mohon maaf ini. Tadi kan ada yang bingung
soal.., ini soal agama terakhir ini. Kalau bagi saya pribadi itu ndak, gini
lho terus terang ya Romo, Romo itu Kristen kan karena menganggap
Islam salah? Ngaku aja. Demikian juga saya, saya Islam karena saya
menganggap Kristen bukan agama, tapi itu tidak usah kita bicarakan.
Agama itu istri kita masing-masing, tidak usah diperbandingkan yang
mana pantatnya lebih besar. Jadi Romo tidak akan jadi Katolik kalau dia
menganggap Islam itu benar. Saya juga punya pemikiran yang jelas
mengenai Islam, saya punya tafsir yang sangat jelas mengenai Islam,
mana agama mana bukan, apa maknanya lakum dinukum waliyadin,
mana yang wilayah mahdhah mana wilayah muamalah, sangat jelas bagi
saya. Tapi kejelasan bagi saya tidak memberi hak saya untuk membuat
orang lain berlaku seperti saya. Kejelasan itu hanya ada dan berlaku
pada saya, tapi saya tidak punya hak. Saya paling bisa nyindir “Romo
Mangun, Ente itu sudah 30 tahun pakai peci”, dulu saya bilang begitu
Romo Mangun. “Wong tinggal masuk Islam saja kok angel men”, saya
bilang begitu. “Asu!” dia misuh sama saya. Ini Romo Mangun yang pakai
peci terus, pakai peci dia sukanya hidupnya, dan kalau saya ajak ke desa
semua orang nyalim, salaman, cium tangan dia. Apalagi sekarang
teman-teman Kristen sangat rajin membacakan Injil dalam Bahasa Arab
dan itu tidak bisa kita salahkan. Di Semarang bahkan barengan, di sini
baca Qur’an ngaji, di sini baca Injil juga ngaji sama-sama Bahasa Arab,
lha tidak bisa disalahin. Bagaimana wong memang itu dari sana juga,

39
kan gitu. Nah, kalau orang Madura pasti salah amin-nya, pas ngaji dia
Allah-Allah, pas di sini dia baca Injil, amin, amin, amin kan begitu,
karena orang Madura pengalaman internasionalnya kurang. Saya mohon
maaf supaya sidang ini menjadi manusiawi dan kultural, supaya hukum
diperkaya oleh kekuatan kemanusiaan dan budaya, maka saya mohon
saya mau bikin Anda semua tertawa.
Wassalamualaikum wr. wb.

65. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Baik, sudah cukup untuk sesi ini. Jadi hari ini hari Jumat, kita akan
istirahat untuk Sholat Jumat dan makan siang. Biasanya kita istirahat 2
jam, tapi kali ini kita istirahat 2,5 jam sehingga jam 13.30 kita akan
mulai buka lagi sesi berikutnya untuk Pihak Terkait. Kepada para Ahli
tidak diwajibkan untuk datang lagi habis Sholat Jumat tapi kalau Anda
tetap di sini kami senang. Cuma tidak wajib lagi, nanti sudah ada 4
pihak lain dan mohon tadi yang ditulis itu kalau ini diserahkan ke bagian
Kepaniteraan. Sidang ini diskors dan akan dibuka kembali jam 13.30

KETUK PALU 3 X

SIDANG DISKORS PUKUL 11.00

SIDANG DIBUKA KEMBALI PUKUL 13.35

66. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi untuk melanjutkan


pemeriksaan atau mendengar keterangan Pihak Terkait dalam Perkara
Nomor 140/PUU-VII/2009 dilanjutkan kembali dan skors dinyatakan
dicabut.

KETUK PALU 3 X

Kami undang untuk 15 menit pertama, Forum Kerukunan Umat


Beragama. Silakan, Pak.

40
67. PIHAK TERKAIT (FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA) :
H. AHMAD SYAFI’I MUFID, M.A.

Assalamualaikum wr. wb.


Selamat siang, selamat sejahtera bagi kita semua.
Yang Kami Muliakan Ketua dan para Anggota Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi serta para hadirin yang kami hormati. Pada hari
Selasa, 9 Maret 2010, FKUB Provinsi DKI Jakarta telah mengadakan
diskusi dengan anggota FKUB yang mewakili Majelis-Majelis Agama di
Provinsi DKI Jakarta untuk membahas Surat MK Nomor
141.140/PAN.MK/III/2010 tanggal 1 Maret 2010. Setelah mendengarkan
pendapat dan pandangan anggota FKUB kami menyampaikan pokok-
pokok pikiran sebagai berikut;
Karena ini sifatnya pandangan dan pendapat seluruh anggota maka kami
bacakan saja.
1. Keyakinan agama, hak asasi manusia dan kebudayaan nasional.
Agama adalah aturan-aturan yang datang dari Tuhan untuk mengatur
hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan
sesamanya, dan mengatur hubungan antara manusia dengan alam
semesta. Bagi sosiolog seperti Durkhaim, Max Weber dan Karl Mark,
agama adalah sebuah realitas sosial yang berkaitan antara sesuatu
yang dipandang suci yang dibedakan dengan yang duniawi. Durkheim
melihat agama memiliki fungsi integratif, Mark Weber melihat agama
memiliki fungsi stimulatif, sedangkan Karl Mark melihat agama
sebagai opium atau candu dan karenanya agama dapat melakukan
tindakan eksploitatif dan melahirkan kelas serta memeras. Agama
adalah sistem keyakinan dan peribadatan, wujudnya adalah
seperangkat pengetahuan yang mencakup nilai, norma, dan aturan
tentang tindakan berkaitan dengan yang suci dan yang duniawi,
sumbernya berasal dari kitab-kitab suci yang diyakini berasal dari
Tuhan. Ajaran agama tersebut telah menjadi sistem pengetahuan
yang dimiliki bersama oleh warga masyarakat. Sistem pengetahuan
tersebut diwariskan dari generasi ke generasi, dipergunakan sebagai
pedoman dalam kehidupan dan menafsirkan serta menyikapi
fenomena yang ada di sekitar sehingga eksistensinya sungguh-
sungguh nyata. Dalam kaitan dengan falsafah negara Pancasila yang
merupakan titik temu berbagai sistem keyakinan tentu tidak dapat
dipisahkan dengan ajaran agama. Bagi masyarakat muslim, sila-sila
yang ada pada Pancasila bersesuaian dengan Teori Almabadi Wal
Hamzah yang dikemukakan oleh Abu Ishaq As-Syatibi. Menurut
ulama ini syari’at yang isinya nilai-nilai, norma, aturan serta hukum
Islam diturunkan adalah untuk melindungi hak asasi manusia. Nilai-
nilai serta ajaran-ajaran agama yang lain seperti Hindu, Budha,
Konghucu dan agama lainnya juga memiliki ajaran yang seperti itu.
Dengan demikian dasar-dasar untuk penghormatan terhadap hak
asasi manusia sudah tersedia dalam isi kebudayaan agama-agama

41
dan kebudayaan Indonesia. Hak asasi manusia adalah hak-hak yang
menyatu dalam diri manusia, dan tanpa hak-hak tersebut manusia
tidak dapat hidup sebagai manusia. Dalam Undang-Undang Dasar
1945 sebelum amandemen, hak asasi manusia sudah diatur dalam
Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29 ayat (2), Pasal 30 ayat (1), dan Pasal 31
ayat (1), serta Pasal 34. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945,
yang di dalamnya mencakup materi pokok, bab tentang HAM diatur
dalam Bab X A, tentang HAM yang dirumuskan dalam pasal-pasal
sebagai berikut; Pasal 28A mengatur tentang hak seseorang untuk
mempertahankan hidup dan hak hidupnya. Pasal 28B, “Setiap orang
berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawainan yang sah. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi”. Pasal 28C tentang hak mengembangkan
diri, hak pendidikan dan meningkatkan kualitas hidup. Pasal 28D,
“Hak atas perlakuan hukum yang adil, hak bekerja kesempatan yang
sama dalam pemerintahan dan hak atas status kewarganegaraan.
Pasal 28E “Hak atas kebebasan beragama, pendidikan, pekerjaan,
kewarganegaraan, tempat tinggal dan meninggalkannya serta berhak
kembali”. Pasal 28F “Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi dan pemanfaatannya”. Pasal 28G “Hak untuk mendapatkan
perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan martabat dan harta
benda dari ancaman ketakutan”. Pasal 28H “Hak untuk hidup
sejahtera, persamaan dan keadilan, jaminan sosial untuk
pengembangan diri secara utuh sebagai manusia yang bermartabat,
hak mempunyai hak milik pribadi yang dilindungi. Pasal 28I “Hak
untuk hidup, tidak disiksa, kemerdekaan berfikir, hak beragama, tidak
diperbudak, hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun, setiap orang bebas dari diskriminatif, identitas
budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras
perkembangan zaman dan peradaban”. Pasal 28J “Setiap orang wajib
menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Pikiran, sikap dan
tindakan manusia sangat dipengaruhi oleh keyakinan agamanya.
Tindakan religius yang tataran faktual adalah kebudayaan, nyata
berbeda antara kelompok sosial yang satu dengan yang lain tidak
berarti menisbikan, tetapi saling sapa, saling kenal mengenal, dan
membuka peluang untuk kerja sama. Masyarakat manusia dan
kebudayaannya tersegmentasi satu dengan yang lain disebabkan
perbedaan agama dan asal-usul daerah atau lingkungan hidup yang
berbeda. Keterbelahan berdasarkan perbedaan primordial seperti ini
harus dihormati dalam harmoni kehidupan yang saling menghargai
dan menjunjung tinggi martabat manusia. Inilah hakikat pemahaman
akan hak asasi manusia dalam perspektif kebudayaan.

42
2. Kebebasan beragama ada batasnya. Kebebasan beragama dalam
Universal Declaration Of Human Rights artikel yang 18 dinyatakan
sebagai berikut, “Setiap orang berhak untuk bebas berfikir, bertaubat
dan beragama”. Hal ini meliputi kebebasan berganti agama atau
kepercayaan dan kebebasan untuk menyatakan agama atau
kepercayaannya dalam bentuk pengajaran, peribadatan dan
menepatinya, baik sendiri maupun dilakukan bersama-sama dengan
orang lain, baik di tempat umum maupun khusus. Deklarsi Universal
Hak Asasi Manusia Tahun 1948 ini disepakati oleh umat manusia
sejagat pada tatanan konsep, implementasinya, HAM tenyata ada
dan berbeda antara Barat dan Timur. Di Indonesia berlaku Undang-
Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan
dan/atau Penodaan Agama. PNPS ini merupakan produk orde lama
yang kemudian pada masa orde baru dengan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1965 PNPS ini dikukuhkan menjadi undang-undang.
Beberapa ketentuan penting yang dapat dikategorikan sebagai
pembatasan adalah sebagai berikut, larangan menafsirkan tentang
suatu ajaran agama yang dianut di Indonesia atau melakukan
kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan
keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana
menyimpang dari Pokok-Pokok Ajaran Agama itu. Pasal 1,
pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 1 diberi perintah dan
peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam
keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/ Jaksa Agung dan
Menteri Dalam Negeri.
Kalau pelanggaran Pasal 1 tersebut dilakukan oleh organisasi atau
satu aliran kepercayaan maka Presiden Republik Indonesia dapat
membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran
tersebut sebagai organisasi/aliran terlarang.
Pasal 2, dalam undang-undang ini juga dijelaskan tentang dasar
negara Pancasila dimana sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa
bukan saja meletakkan dasar moral di atas negara dan pemerintah
tetapi juga memastikan adanya kesatuan nasional yang berasaskan
keagamaan. Ketika beberapa pihak mengajukan uji materiil, judicial
review Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 ke Mahkamah Konstitusi
yang mulai disidangkan pada 17 November 2009 maka pihak
Pemerintah berupaya untuk mempertahankannya. Saksi Ahli dari
kalangan Pemerintah juga memberikan argumen untuk tetap
mempertahankannya undang-undang tersebut. Begitu juga Saksi-
Saksi dari pihak Pemohon tetap pada pendirian untuk menolak atau
mencabut Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965. Pembatasan
kebebasan beragama juga dibenarkan oleh Kovenan Internasional
mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi menjadi
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Pasal 18 ayat (3) bahwa
kebebasan untuk menjalankan agama dan kepercayaannya
seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum yang

43
diperlakukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau
moral masyarakat atau hak dan kebebasan mendasar orang lain.
Pasal 28J UUD 1945 sesungguhnya juga sejalan dengan berbagai
instrumen-instrumen internasional yang telah diadopsi dan
ditandatangani oleh PBB. Dalam hal ini, maka apabila Undang-
Undang Nomor 1/PNPS/1965 itu dipandang sebagai salah satu
pembatasan yang dilakukan dengan undang-undang, maka itu
sebenarnya tidak bertentangan dengan UUD 1945, karena adanya
peluang yang diberikan oleh Pasal 28J UUD 1945 itu yang harus
dibaca sebagai bagian tak terpisahkan dari pasal-pasal lainnya.

3. Pandangan Akhir.
Berdasarakan pikiran pada butir 1 dan 2 di atas, FKUB Provinsi DKI
Jakarta memberikan pandangan akhir sebagai berikut:
1. Substansi persoalan HAM dan kebebasan beragama telah menjadi
pengetahuan, sikap, dan aktivitas masyarakat yang beragam.
2. Titik temu agama-agama di Indoensia bukan hanya pada ranah
hukum, tetapi terutama pada falsafah negara yaitu Pancasila.
3. Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 untuk membatasi
kebebasan orang-orang yang melakukan penyalahgunaan
dan/atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia
adalah sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
4. Dengan adanya Undang-Undang HAM dan Kovenan Hak Sipil dan
Politik PBB yang telah diratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2005 Pasal 18 ayat (3), Undang-Undang Nomor
1/PNPS/1965 menjadi perbincangan yang saling bertentangan
antara perlu atau tidaknya Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965
dicabut atau dipertahankan.
5. Jika kita bandingkan dengan negara-negara lain, di negara-negara
demokrasi sekalipun, HAM dan kebebasan beragama juga ada
batas-batasnya.

Setelah kami mengutarakan pendapat nomor 1 sampai dengan


nomor 4, maka kami berkesimpulan:
a. Jika permohonan pengujian Undang-Undang Nomor
1/PNPS/1965 dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka
hendaknya pemerintah segera mengeluarkan peraturan
perundang-undangan pengganti Undang-Undang Nomor
Nomor 1/PNPS/1965 dengan meteri muatan yang lebih
terperinci dan jelas agar tidak terjadi salah penafsiran yang
menimbulkan tindakan-tindakan anarkis dan main hakim
sendiri.
b. Jika permohanan atas pengujian terhadap Undang-Undang
Nomor 1/PNPS/1965 ditolak oleh Mahkamah Konstitusi, maka
selanjutnya pemerintah hendaknya mengambil langkah yang
tegas dalam menindak pelaku pelanggaran hukum yang

44
menyalahgunakan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor
1/PNPS/1965 agar kerukunan umat beragama tidak terganggu.

6. Setelah bermusyawarah, kami FKUB Provinsi DKI Jakarta


mengambil kesepakatan untuk memohon kepada Mahkamah
Konstitusi agar permohonan pengujian materi Undang-Undang
Nomor 1/PNPS/1965 ditolak.

Demikianlah pandangan FKUB Provinsi Jakarta telah kami


sampaikan pada kesempatan ini, dan atas perhatian Ketua dan para
Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, kami ucapkan terima
kasih.
Jakarta 12 Maret 2010, Ahmad Syafi’i Ketua FKUB Provinsi DKI
Jakarta, Rudy Pratikno, Keuskupan Agung DKI Jakarta. H.M. Sja’roni,
MUI DKI Jakarta. Pendeta Raitung, FGI DKI Jakarta. Pedanda Panji
Sogata PHDI DKI Jakarta. Liem Wirawijaya, Walubi DKI Jakarta.
Djaengrana Ongawijaya, Matakin Jakarta.
Demikian, Bapak Ketua.
Terima kasih, Wassalamualaikum wr. wb.

68. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Mohon naskahnya diambil oleh PP, silakan.


Berikutnya, Komnas Perempuan.

69. PIHAK TERKAIT (KOMNAS PEREMPUAN) : DR. YUNIANTI


CHUZAIFAH

Bismillahirahmanirahim,
Assalamualaikum wr. wb.
Majelis Hakim yang mulia, juga para hadirin sekalian,
perkenankanlah kami mewakili Komnas Perempuan menyampaikan
pendapat hukum Komnas Perempuan dalam judicial review Undang-
Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan,
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Untuk legal standing-nya
kami akan sampaikan nanti dan juga detail pemaparannya ada juga di
situ.
Perkenankanlah kami menyampaikan mandat Komnas
Perempuan. Komnas Perempuan sebuah lembaga negara independen
yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998
dan diperbaharui dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005
tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
sebagaimana disebutkan pada Pasal 2 PP Nomor 65 Tahun 2005.
Komnas Perempuan dibentuk dengan tujuan mengembangkan kondisi
yang kondusif bagi penghapusan segala berbentuk kekerasan terhadap
perempuan dan penegakan hak-hak asasi manusia perempuan di

45
Indonesia dan meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan
segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan hak-
hak asasi perempuan.
Dalam menjalankan mandatnya Komnas Perempuan menerima
laporan dan pengaduan dari perempuan korban pelanggaran diskriminasi
dan kekerasan, kemudian juga menjalankan mekanisme konsultasi, baik
konsultasi nasional, ahli, mitra dalam rangka menyusun kebijakan,
melakukan advokasi dan pemulihan hak korban. Pandangan Komnas
Perempuan berbasis laporan, pengaduan, dan konsultasi ini dengan...,
ini kami akan menyampaikan beberapa kasus bagaimana dampak dari
PNPS ‘65 ini dan maknanya apa bagi para korban. Dari data-data kasus,
kemudian juga pemantauan dan pengaduan yang kami terima, paling
tidak ada 3 hal penting yang kami catat. Pertama, hilangnya pengakuan
sebagai pribadi di hadapan hukum. Hal ini berbasis pada pengakuan dari
para perempuan penganut kepercayaan dan penganut agama yang tidak
masuk dalam agama resmi yang diakui negara.
Pelanggaran-pelanggaran konkret atau dampak-dampak langsung
yang dirasakan oleh para koban para perempuan adalah tidak
mempunyai Kartu Tanda Penduduk (KTP), yang ini mempunyai rantai
yang panjang bagi kehidupan para perempuan ini karena dalam KTP
mensyaratkan kolom agama harus diisi dan itu dengan tidak mempunyai
KTP artinya perempuan tidak mempunyai hak untuk melakukan
perbuatan hukum, misalnya tidak bisa ikut serta dalam Pemilu sampai
hal pemakaman. Kemudian, makna yang lain, perempuan-perempuan ini
atau para penganut agama ini tidak bisa melakukan aspek terpenting
dalam hidupnya untuk melakukan atau mencatatkan diri dalam
perkawinan, karena pertama tadi tidak mempunyai KTP dan Kantor
Catatan Sipil menolak mencatatkan perkawinan alasannya Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mensyaratkan
perkawinan yang sah, yang sah gitu ya. Walaupun dalam PNPS ini ada 6
agama yang diakui tapi sebetulnya sejak tahun ‘78 Konghucu pernah
dilarang hingga pernah dicabut kembali tahun 2000.
Dampak yang juga langsung dirasakan dari pengaduan yang kami
terima bahwa ada penghilangan hak anak. Anak tidak punya Akte
Kelahiran akibat tidak tercatatnya perkawinan orang tuanya. Anak tidak
punya Akte Kelahiran sehingga haknya untuk mendapatkan pendidikan
juga terlanggar. Anak tidak punya Akte Kelahiran mengakibatkan anak
mendapatkan stigmatisasi sosial sepanjang hidupnya sebagai anak
haram, anak di luar kawin. Jadi kita cuma memposisikan diri kalau kita
dalam posisi sebagai manusia dan sebagai korban. Ini adalah soal
diskriminasi. Dalam konteks ini Komnas Perempuan tidak sedang
berbicara soal aspek teologis, benar tidak agama itu, tapi kita berbicara
dalam konteks korban.
Yang kedua, poin yang terlanggar adalah diskriminasi berbasis
ras, etnis dan agama. Selama 33 tahun dari 1967 sampai 2000 Konghucu
dilarang di Indonesia melalui Inpres Tahun ‘67 tentang Agama,

46
Kepercayaan dan Adat Istiadat yang dikuatkan dengan Surat Edaran
Tahun Nomor 477 Tahun 1995 Tanggal 18 November 1978 yang
menyatakan bahwa agama yang diakui oleh Pemerintah adalah Islam,
Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Umat Konghucu artinya selama 33
tahun dampak tidak langsung dari Undang-Undang PNPS ini, hak-hak
sipil politik penganut Konghucu dilanggar seperti pencatatan
perkawinan, tidak diperolehnya pendidikan keagamaan di sekolah-
sekolah, hak perayaan hari raya. Lebih jauh dari rantai persoalan ini,
pelarangan Agama Konghucu tidak bisa dilepasakan dari kebijakan
diskriminatif terhadap etnis Tionghoa. Puncak diskriminasi etnis Tionghoa
adalah kerusuhan Mei tahun 1998 dimana terjadi serangan seksual
terhadap 82 perempuan yang sebagian besar etnis Tionghoa. Laporan ini
kami dapat dari laporan Tim TGPF ( Tim Gabungan Pencari Fakta )
kerusuhan Mei ‘98.
Poin ketiga yang penting, berangkat juga dari kasus yaitu
hilangnya rasa aman pada perempuan dalam penyerangan berbasis
agama. Dalam konteks ini kami menerima pengaduan dari perempuan-
perempuan Ahmadiyah. Sekali lagi kami tidak bicara soal teologi benar
salah, sekali lagi siapapun bahwa ini ada perempuan yang mengadu
yang haknya terlanggar. Dari situ kami mencoba melakukan pemantauan
yang kami lakukan di Sukadana Cianjur, di Desa Gegeruk Lombok Barat,
di Prapen Lombok Tengah. Pelanggaran-pelanggaran yang dirasakan
oleh perempuan-perempuan ini adalah integritas tubuh perempuan, yaitu
saat penyerangan perempuan mendapat ancaman perkosaan,
keguguran, pelecehan seksual, juga di pengungsian, kemudian hilangnya
hak atas pekerjaan dan penghidupan…,

70. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Sebentar ya sebentar. Tolong ya yang di atas jangan menggangu


jalannya sidang, kalau menggangu juga nanti saya suruh minta keluar.

71. PIHAK TERKAIT (KOMNAS PEREMPUAN) : DR. YUNIANTI


CHUZAIFAH

Kemudian, hilangnya hak atas pekerjaan dan penghidupan yang


layak, guru perempuan dikeluarkan dari sekolah dan pedagang
perempuan diisolir, kemudian anak-anak anggota jamaah tidak bisa
bersekolah, jadwal ujian dan rapot dibedakan dan mereka dikucilkan dari
lingkungannya. Jadi hak anak juga dirasakan. Lalu tidak bisa
mencatatkan perkawinan bahkan perkawinannya digugat dan dituduh
zina.
Dari kaca mata korban ini maka kami menilai bahwa peran negara
dalam Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 refleksi kami bahwa
negara membiarkan berlangsungnya diskriminasi warga negara
berdasarkan agamanya, negara melakukan pengkotakan secara sistemik

47
antar penganut agama dan kepercayaan, lalu berlangsunganya
diskriminasi dan pengkotakan ini berpotensi memunculkan konflik dalam
masyarakat. Lalu kami masuk ke dalam pelanggaran hak-hak warga
negara yang dijamin di dalam UUD 1945 namun akibat dari Undang-
Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 ini kami mencatat beberapa
pelanggaran.
Pertama, Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965
menghalangi negara untuk melakukan tanggung jawabnya atas
perlindungan, pemantauan, penegakan dan pemenuhan hak asasi
manusia yang tercantum dalam Pasal 28 ayat (1) terutama hak setiap
warga negara bebas menyakini kepercayaan sesuai dengan hati
nuraninya, Pasal 28E ayat (2), “Dan kemerdekaan untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan
kepercayaannya itu”. Lalu hilangnya pengakuan sebagai pribadi di
hadapan hukum bertentangan dengan Pasal 27 tentang hak atas
kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, penghilangan
hak anak atas akte bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I
ayat (1) tentang hak atas kepastian hukum.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, dimana anak tidak boleh didiskriminasi karena perkawinan orang
tuanya dan hak pendidikan Pasal 28 ayat (1) dan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Kami juga mencatat bahwa
diskriminasi berbasis ras, etnik dan agama bertentangan dengan Pasal
28G ayat (1) tentang hak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Pasal 28I
ayat (2) tentang bebas dari perlakuan diskriminatif. Larangan pencatatan
perkawinan bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) tentang hak untuk
membentuk keluarga, hilangnya hak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2).
Kami melihat bahwa di sisi lain sebetulnya negara sudah
melakukan upaya-upaya untuk memenuhi tanggung jawab negara
terhadap hak konstitusional warga negara yang dijamin dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan,
Terhadap Wanita, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang HAM,
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi
Mengenai Hak-hak Sipil dan Politik, Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2005 tentang Pengesahan Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan
Diskriminasi Ras dan Etnik.
Kesimpulan kami, bahwa Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama adalah merupakan sebuah undang-undang yang
bersifat disharmonis dan inkonstitusional, oleh karena itu ketentuan dari
undang-undang ini syarat dengan pengingkaran terhadap jaminan-

48
jaminan konstitusional bagi semua warga negara karena atau secara
substansi bertentangan dengan ketentuan dari Undang-Undang Dasar
Tahun 45 khususnya ketentuan dari Bab X A tentang HAM dan Bab XI
tentang Agama. Bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang
PNPS berpotensi mengancam persatuan bangsa dan landasan
kebangsaan Bhinneka Tunggal Ika. Pada akhirnya Pihak Terkait
memohon bahwa Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi:
1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan dari para Pemohon
yang tergabung dalam Tim Advokasi Kebebasan Beragama, lalu;
2. Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
1965 tentang PNPS bertentangan dengan UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat.
Demikian kami sampaikan. Sebelum kami tutup, tadi siang waktu
makan siang, dari Aliansi Nasional Bhinneka Tungal Ika menyampaikan
kepada kami bahwa mereka punya dokumentasi film 6 menit bercerita
tentang bagaimana suara-suara perempuan adat, perempuan-
perempuan yang agamanya atau kepercayaannya tidak diakui secara
formal bersuara, dan ini dampak langsung dari undang-undang ini. Maka
kepada Majelis Hakim dan juga untuk Ketua Majelis Hakim, kalau ada
waktu, sangat berterima kasih kalau film ini mungkin bisa kita
perdengarkan sama-sama.
Terima kasih.
Wassalamualaikum wr. wb.

72. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Terima kasih. Saya kira film yang dimaksud meskipun relevan


tetapi tidak perlu diperdengarkan karena saya kira hanya memperjelas
apa yang tadi sudah dikemukakan. Meski begitu, nanti disampaikan saja
ke Mahkamah Konstitusi untuk nanti kami jadikan pertimbangan di dalam
Rapat Permusyawaratan Hakim tertutup saja.
Kemudian, Dewan Masjid Indonesia.

73. PIHAK TERKAIT (DEWAN MASJID INDONESIA) : H. SUTITO,


S.H., M.H.

Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamualaikum wr. wb.
Allahu Akbar!
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang kami hormati.
Keterangan Pimpinan Pusat Dewan Masjid Indonesia selaku Pihak Terkait
atas Perkara Nomor 140 dan seterusnya, perihal permohonan Pengujian
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

49
Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia dan hadirin yang terhormat. Sudah banyak
keterangan dan penjelasan yang telah disampaikan oleh beberapa pihak,
yaitu dari Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan para Pihak Terkait
yang pada intinya Pimpinan Pusat Dewan Masjid Indonesia sependapat
dengan penjelasan-penjelasan mereka. Utamanya dari Pemerintah, DPR,
dan Majelis Ulama Indonesia, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Dewan
Dakwah Islamiyah, dan ormas-ormas Islam lainnya yang merupakan
jamaah kami. Insya Allah Ketua yang mulia dan sebagian besar Anggota
Majelis yang terhormat juga di dalamnya. Yang oleh karenanya, mohon
dicatat sebagai keterangan atau penjelasan kami juga, Pimpinan Pusat
Dewan Masjid Indonesia.
Sehubungan dengan itu, dalam hal ini kami Pimpinan Pusat
Dewan Masjid Indonesia hendak sekedar menambahkan dan
menyampaikan inti-intinya saja, sebagaimana diuraikan di bawah ini.
Legal standing para Pemohon. Berkenaan dengan permohonan para
Pemohon untuk mencabut beberapa ketentuan pokok dalam Undang-
Undang Nomor 1/PNPS/1965 khususnya ketentuan Pasal 1, Pasal 2 ayat
(1) dan ayat (2), Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang tersebut tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Apakah
masing-masing atau para Pemohon merupakan pihak yang dirugikan hak
konstitusionalnya apabila terhadap perbuatan penodaan agama ini
dilarang? Jika jawabannya ya, maka berarti para Pemohon adalah
penoda agama yang tidak mau diganggu dan/atau diatur sama sekali
kebebasannya. Jika jawabannya tidak, maka Pemohon adalah bukan
pihak yang berhak mengajukan uji materi karena para Pemohon tidak
memiliki legal standing. Para Pemohon tidak memiliki kepentingan
terhadap Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965.
Materi permohonan uji materi undang-undang. Uji materi Undang-
Undang Nomor 1/PNPS/1965 yang diajukan para Pemohon diujikan
terhadap apa? Konstitusi NKRI atau apa? Majelis Hakim dan Anggota
Mahkamah Konstitusi yang kami muliakan, dan hadirin yang berbahagia.
Mahkamah Konstitusi yang terhormat ini adalah Mahkamah Konstitusi
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kompetensinya antara lain
menguji materi Undang-Undang RI terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan
Konstitusi NKRI. Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2003 Pasal 10 ayat
(1A) tentang wewenang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final, untuk A. Menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
sementara itu setelah kita cermati permohonan para Pemohon adalah
merupakan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965
terhadap kebebasan yang sebebas-bebasnya, termasuk kebebasan untuk
tidak beragama, bukan atau tidak menguji materi Undang-Undang

50
Nomor 1/PNPS/1965 terhadap Konstitusi NKRI, yaitu Undang-Undang
Dasar 1945.
Dengan demikian uji materi yang diajukan para Pemohon tersebut
tidak memenuhi syarat untuk menguji materi Undang-Undang Nomor
1/PNPS/1965 terhadap Konstitusi NKRI yaitu Undang-Undang Dasar
1945. Dengan demikian, saya ulangi, dengan demikian uji materi yang
diajukan para Pemohon tersebut tidak memenuhi syarat untuk diajukan
kepada Mahkamah ini karena wewenang Mahkamah Konstitusi RI adalah
menguji materi Undang-Undang RI Tahun 1945 yang merupakan
Konstitusi NKRI.
Kebebasan menyampaikan pendapat dan kebebasan beragama di
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tentang kebebasan beragama,
kebebasan menyampaikan pendapat di Indonesia tunduk pada Konstitusi
NKRI, sebagaimana diatur pada Pasal 28 huruf E, huruf I, dan huruf J.
Pasal 28E ayat (1), “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat
menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah
negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”. Pasal 28E ayat (2),
“Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya, setiap
orang berhak atas kebebasan tersebut, berkumpul dan mengeluarkan
pendapat”.
Pasal 28I ayat (1), “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan
hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah
hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
Pasal 28I ayat (2), ”Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang
bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapat
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Pasal
28I ayat (3), “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati
selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. Pasal 28I ayat
(4), “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi
manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”. Pasal
28I ayat (5), “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia
sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokaratis, maka
pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan”.
Pasal 28J ayat (1), “Setiap orang wajib menghormati hak asasi
manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara”. Pasal 28J ayat (2), “Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan

51
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 28I dan 28J Undang-Undang Dasar
1945 tersebut pelaksanaan kebebasan menyampaikan pendapat dan
kebebasan beragama di Indonesia menurut Konstitusi NKRI dibatasi atau
diatur dengan undang-undang agar pelaksanaan kebebasan tersebut
tidak melanggar atau mengganggu kebebasan pihak lain. Dan apabila
ada pelanggaran dan/atau gangguan terhadap pelaksanaan kebebasan
pihak lain, negara c.q. aparat penegak hukum dapat menangani secara
baik, benar dan adil secara profesional dan proporsional. Apabila tidak
ada peraturan dan ketertiban negara atau aparat penegak hukum maka
terhadap adanya pelanggaran, gangguan, dan persengketaan-
persengketaan terkait dengan pelaksanaan kebebasan hak, kebebasan
beragama akan diselesaikan sendiri oleh para pihak secara sebebas-
bebasnya, saling baku hantam, saling pukul, saling golok, saling bebas
tebas, saling bakar, saling bunuh, dan saling silang yang lainnya dan itu
berbahaya.
Pengaturan pelaksanaan kebebasan hak, termasuk kebebasan hak
beragama oleh negara adalah hak konstitusional negara, bahkan
merupakan kewajiban konstitusional negara. Penerbitan Penetapan
Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1965 yang kemudian
berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 ditetapkan menjadi
undang-undang, dimana pada saat itu kehidupan beragama mengalami
kekeringan, bahkan ada ancaman-ancaman dan intimidasi terhadap para
kiai, tokoh-tokoh agama, organisasi Islam, lahir pula ajaran Nasakom
adalah patut amat sangat disyukuri. Hal tersebut adalah merupakan
anugerah, berkah dan kekuatan pertolongan Allah SWT. Lahirnya
Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tersebut adalah ibarat
munculnya oase di tengah panas terik di padang pasir yang
menyejukkan bagi umat beragama khususnya di Indonesia, sehingga
kehidupan dan kerukunan beragama terlindungi dengan baik terutama
kemurnian ajaran-ajarannya.
Dengan demikian Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965
tentang Larangan Penodaan dan/atau Penyalahgunaan Agama dimaksud
wajib tetap dipertahankan. Dengan legal standing para Pemohon seperti
itu, dengan materi permohonan yang amat serius dan dipersiapkan
dengan sangat serius yang kami yakini dengan biaya yang tidak cukup
serius. Akan tetapi bila satu sama lain digabungkan sebenarnya
merupakan kombinasi yang tidak serius bahkan main-main dan coba-
coba, serta dalam Bahasa Betawinya “ngerjain” kita semua.
Kami menyatakan hubungan, gabungan antara Pemohon,
permohonannya dan upaya jerih payah serta biaya yang diperlukan
adalah merupakan kombinasi yang tidak serius dan tidak nyambung
adalah dengan fakta-fakta sebagai berikut;
a. Pemohon adalah bukan pihak yang berkompeten untuk mengajukan
permohonan uji materi.

52
b. Landasan permohonan uji materinya adalah bukan Undang-Undang
Dasar 1945 yang merupakan Konstitusi NKRI;
c. Para Pemohon diragukan kemampuan untuk membiayai segala afford
cost yang diperlukan untuk mempersiapkan permohonannya.

Dengan demikian patut diduga ada invisible hand yang membiayai


upaya-upaya seperti permohonan para Pemohon tersebut dan
sponsorship untuk upaya-upaya mengganggu stabilitas dan keamanan
negara, keberadaan dan kedaulatan bangsa dan negara seperti ini
memang sering terjadi. Oleh karena itu melalui mimbar ini, Ketua dan
Majelis yang mulia, kami dari Pimpinan Pusat Dewan Masjid Indonesia
menyerukan kepada umat Islam Indonesia untuk merapatkan shaf
jamaah kita, mengumandangkan takbir Allahuakbar, Allahuakbar,
Allahuakbar, melawan upaya-upaya penjajahan ultra-modern yang akan
mengancam kemerdekaan dan kedaulatan bangsa dan Negara Republik
Indonesia.
Demikian pula kepada para umat beragama yang lain, Kristen,
Katolik, Budha, Hindu dan Konghucu untuk bersama-sama umat Islam
dan Pemerintah NKRI untuk memerangi upaya-upaya mengganggu
stabilitas kemerdekaan dan kedaulatan negara dan bangsa Indonesia.
Sudah saatnya digalakkan kembali dakwah dan syiar ajaran agama kita
secara benar, komprehensif, kaffah, holistik dan mewaspadai kegiatan
atau upaya-upaya penyalahgunaan dan/atau penodaan agama melalui
rayuan-rayuan kepada anggota jamaah kita oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab.
Kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia,
berdasarkan hal-hal tersebut di atas kami Pimpinan Pusat Dewan Masjid
Indonesia mohon kiranya berkenan menolak permohonan para
Pemohon. Semoga Allah SWT meridhoi semua kita bangsa ini dengan
segala kemajemukannya
Wabillahitaufik walhidayah, wassalamualaikum wr. wb.
Allahuakbar!

74. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Silakan PP, naskahnya diminta.


Baik, untuk yang terakhir Forum Umat Islam.

75. PIHAK TERKAIT(FORUM UMAT ISLAM): MUHAMMAD AL


KHOTOB

Bismillahirohmanirrohim,
Assalamualaikum wr. wb.
Alhamdulillahirobbilalamin wassalatu wassalamu ala’asrafil anbiya’i
walmursalin sayyidina wahabbibin wamaulana muhammadin
khataminabiyyin wa’ala alihi washohbihi ajma’in amma ba’du.

53
Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi, hadirin yang terhormat, perkenankanlah Yang Mulia, kami
nyatakan bahwa presentasi kami adalah dua orang, yang pertama saya
Muhammad Al Khotob Sekjen Forum Umat Islam, nanti dilanjutkan
dengan Kuasa Hukum Forum umat Islam Saudara Wirawan Adnan, S.H.
(…..)

76. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Sebentar, tapi waktunya 15 menit.

77. PIHAK TERKAIT(FORUM UMAT ISLAM): MUHAMMAD AL


KHOTOB

Insya Allah. Yang Mulia, kami mewakili 34 Ormas dan lembaga-


lembaga Islam.
Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi.
Setelah membaca naskah permohonan uji materiil yang diajukan
oleh Tim Advokasi Kebebasan Beragama, mendengar dan melihat
pendapat yang berkembang dalam sidang-sidang sebelumnya maupun
realitas di luar, Forum Umat Islam memandang bahwa, pertama adanya
upaya sistematis untuk menyerang kehormatan dan kesucian ajaran
Islam, upaya pendangkalan akidah umat, serta pelecehan terhadap
Hukum Syariat Islam dan para pejuang yang istikomah untuk
menjunjung syariat. Modus yang digunakan adalah dengan memasarkan
dan memaksakan pandangan atas nama kebebasan beragama bahwa
semua agama adalah sama benarnya, agama bisa dibuat dan dikarang
oleh siapa saja, kapan saja dan dimana saja dan siapapun berhak
mengaku Nabi, Malaikat dan bahkan Tuhan sekalipun. Pandangan itu
dipasarkan dan dipaksakan agar diadopsi oleh umat Islam padahal hal
itu bertentangan dengan akidah dan syariat Islam yang diyakini
kebenarannya oleh umat Islam.
Kedua, pandangan yang sesat dan menyesatkan tersebut diklaim
sebagai kebebasan beragama yang merupakan HAM yang dilindungi
Undang-Undang Dasar sehingga tidak boleh dibatasi apalagi diganggu
gugat oleh siapapun termasuk negara. Bila ada reaksi keras umat Islam
yang membela kehormatan Allah, Rasulnya dan Agama Islam yang
dinodai oleh pandangan-pandangan tersebut secara sistematis umat
Islam terutama para aktivis pembela Islam segera diserang dengan opini
tekanan politik maupun tekanan hukum.
Tiga, upaya sistematis itu ditengarai adalah didalangi oleh
kekuatan asing, imperialis melalui lembaga-lembaga seperti The Asia
Foundation dan Yayasan Tifa. Oleh karena itu patut kita waspadai bahwa
tujuan dari upaya sistematis itu kalau dalam bahasa Islamnya adalah

54
makar adalah untuk menjauhkan umat Islam dari ajaran Islam yang
kaffah dan dari para aktivisnya yang ikhlas, sebab bila umat memahami
Islam secara kaffah baik dalam akidah, ibadah, muamalah, sistem
ekonomi, sistem hukum, sistem pendidikan maupun sistem
pemerintahan maka umat ini punya alternatif untuk menggantikan
sistem kapitalis liberal yang sudah sekian lama dipaksakan. Jadi ada
agenda melemahkan kekuatan umat Islam sebagai kekuatan utama
Bangsa dan Negara Indonesia sehingga negara asing imperialis mudah
menancapkan hegemoninya atas negeri ini.
Empat, usaha sistematis itu dilaksanakan oleh LSM-LSM liberal.
Bisa kita lihat, Luthfi As-Syaukani kemarin mempersamakan Nabi
Muhammad dengan Nabi Muhammad yang Rasulullah dengan nabi palsu
“Lia Eden”.
Pembelaan para Pemohon kepada kelompok perusak dan penoda
Islam seperti Ahmadiyah yang mengakui nabi palsu Mirza Ghulam
Ahmad. Tulisan umat.., Muhammad Munir dari Nurkholis Madjid Society
di harian “Pelita” yang dia menyamakan Hermes dan Konghucu dengan
nabi-nabi utusan Allah yang ada di dalam Al-Quran seperti Nabi
Muhammad, Nabi Musa, dan Nabi Isa AS.
Penulis yang bersangkutan juga menulis di kolom yang sama
dengan judul “Islam No, kebaikan Yes.” Demikian juga, pernyataan Ulil
Abshar Abdalla dalam pidatonya di tim yang pidatonya antara lain
mengatakan bahwa, pemahaman teks Al-Quran itu harus selalu berubah
sesuai perkembangan. Dia mengatakan, apakah hukum–hukum agama
yang memperlakukan perempuan secara diskriminatif masih tetap
dipertahankan semata-mata karena hukum itu berasal dari Tuhan?
Lima, tentu saja cetusan ungkapan-ungkapan kaum liberal
tesebut tidak bisa diungkapkan. Nabi Muhammad SAW adalah pilihan
Allah dan pembawa Al-Quran. Mu’jizat jelas tidak bisa disamakan oleh Lia
Eden yang mengaku Nabi lalu mengaku Jibril. Beliau salah seorang
bersabda “bahwa ada 30 orang pendusta yang masing–masing mengaku
Nabi setelah beliau, hingga hari kiamat.’ Demikian juga mensetarakan
para Nabi utusan Allah dengan Hermes adalah pernyataan yang tidak
ada dalilnya. Seorang muslim yang menyatakan ”Islam No kebaikan Yes
“ tentu tidak masuk hitungan akal sehat. Pemahaman ayat harus
berubah atau melakukan penafsiran ulang sesuai keadaan masyarakat
adalah upaya memanipulasi makna dan kandungan hukum ayat agar
disesuaikan dengan keadaan sosial politik yang ada, sebagaimana diakui
Ulil sendiri dengan ungkapan pertanyaannya, apakah kita masih tetap
bertahan dengan diktum dalam Al-Qur’an Surat Annisa 34, yang
memperbolehkan suami memukul istrinya sementara kita memiliki
hukum yang melarang kekerasan dalam rumah tangga? Rupanya Ulil,
ini lebih hebat dari Mahkamah Konstitusi. Kalau, Mahkamah Konstitusi ini
bisa menguji undang–undang kalau Ulil menguji Al-Quran.
Saya ingin menunjukkan, bagaimana cara manipulasi seorang
Ulil Abshar Abdalla yang sudah kita dengar dari tadi. Dia mengatakan

55
bahwa perang yang dilakukan Abu Bakar ash-Shiddiq Khalifah terhadap
Musailamah Al Kadzab bukanlah karena penafsiran terhadap ayat tetapi
adalah makar politik, demikian juga terhadap orang-orang yang
menolak membayar zakat. Jelas ini adalah sebuah manipulasi, kalau
dikatakan dia tidak ahli dalam masalah ini. Sebab, di dalam kitab Al
Bidayah, Wan Nihayah juz 6, halaman 342 dikatakan bahwa delegasi-
delegasi Arab, bangsa Arab setelah Rasulullah wafat mereka memberikan
loyalitas atau baiat kepada Khalifah Abu Bakar. Hanya saja di antara
mereka setelah mengatakan kami loyal kepada Anda, kami akan
melaksanakan shalat tetapi kami tidak akan membayar zakat. Karena,
menurut pemahaman kami tehadap ayat khudts min awalihim
shadaqattan tu thohirunwattuzakihim bihha wassali alaihimi inna
shalataka sakanullahum yang artinya “ambilah dari harta mereka
shadaqah, agar mensucikan dan membersihkan mereka dan doakanlah
mereka sebab doanya, (doamu) maksudnya Nabi Muhammad agar
menenangkan mereka.“ Terhadap surat At-Taubah ayat 103 ini delegasi
Arab mengatakan falassna nafa’u zakatana illa, man shalatuhu
sakanullana, “ kami tidak akan membayar zakat kami kecuali kepada
orang yang doanya adalah menenangkan.“
Dari uraian ini jelas bahwa, itu urusan penafsiran terhadap ayat
ini bukan makar politik. Demikian juga, terhadap Musailamah Al Kadzab,
Ulil mengatakan bahwa Rasulullah membiarkan, Abu Bakar yang
menghukumnya karena makar politik ini juga merupakan penggelapan
informasi. Sebab, di masa Rasulullah hukumnya sudah dijelaskan
terbukti dalam sebuah hadist, dimana dua orang utusan Musailamah Al
Kadzab datang kepada Rasulullah, lalu Rasulullah berkata kepada
keduanya Attashaddani anami Rasulullah, apakah kalian telah bersaksi
bahwa aku Rasulullah, lalu keduanya mengatakan nasyhadu anna
Musailamah Rasulullah“ kami bersaksi kami bersyahadat bahwa
Musailamah lah Rasulullah, lalu Rasulullah mengatakan lau ami
khatimurussun la qotaltum kuma kalau seandainya aku orang yang
membunuh utusan pasti kalian berdua sudah aku bunuh. Ini artinya
kalau keduanya bukan utusan, bukan seorang duta korps diplomatik
pasti keduanya sudah dihukum karena mengucapkan nasyhadu anna
Musailamah Rasulullah. Kami bersaksi bahwa Musailamah lah
Rasulullah. Rasululullah juga mengatakan bahwa Musailamah adalah
satu di antara 30 dari pendusta antara Rasulullah dengan hari kiamat.
Yang Mulia Ketua dan anggota Mahkamah Konstitusi.
Langkah permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1965 tentang Penyalahgunaan dan Penodaan Agama terhadap UUD
1945 dengan fokus mempersoalkan larangan tafsir dan kegiatan
menyimpang dari suatu agama dan sanksi atas pelanggaran Pasal 1
tersebut, Pemohon merancukan antara perbedaan pendapat dengan
penyimpangan atau bahkan penodaan.
Sebagai contoh masalah Ahmadiyah, para Pemohon dan para
aktifis LSM liberal lainya selalu berpendapat bahwa masalah Ahmadiyah

56
itu adalah masalah perbedaan pendapat dan perbedaan tafsir. Pendapat
mereka persis seperti pendapat Ahmadiyah sendiri, mereka menafikan
adanya kalimat penyimpangan atau dalam bahasa Arab inkhiraf dalam
menafsirkan agama padahal itu sekedar ilusi mereka. Sebab
penyimpangan pengakuan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi itu
sedemikian terang benderang sebagaimana penyimpangan pengakuan
kenabian Musailamah Al Kadzab di masa Rasullullah. Beliau bersabda
antara aku dan hari kiamat akan ada 30 orang pendusta yang masing-
masing mengaku dirinya Nabi, di antaranya adalah Musailamah dan Al
Azadiy. Rasullullah SAW tidak mengatakan kepada Musailamah, “hai
Musailamah silakan Anda berpraktik sebagai Nabi kita bisa berpraktik
berdampingan sesama Nabi dilarang saling mendahului.” Pertanyaannya
apakah para Pemohon dan aktifis LSM liberal lainnya ini merasa lebih
tahu tentang agama Islam dan aturan Allah SWT daripada Nabi
Muhammad Rasullullah SAW? Juga apakah para Pemohon tidak pernah
tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa di dalam kitab Tazkirah halaman
63, baris 2 yang diklaim oleh Mirza Ghulam Ahmad sebagai wahyu yang
diterimanya berbunyi siapa saja yang mendustakanku yakni Mirza
Ghulam Ahmad adalah manusia kotor dan babi, artinya Nabi Muhammad
dan umat Islam yang sejak beliau diutus hingga hari kiamat menolak
adanya Nabi baru setelah Nabi Muhammad SAW, menurut kitab
Tazkirah ini adalah manusia kotor dan babi.
Pertanyaanya apakah ini termasuk masalah perbedaan pendapat
antara Ahmadiyah dengan umat Islam yang lain atau Ahmadiyah telah
melakukan penodaan kepada Islam karena Ahmadiyah mengaku Islam?
Pertanyaan terakhir, kenapa kalau berpaham kebebasan
beragama kenapa tidak membuat agama sendiri saja tanpa harus
mengkaitkan dengan Islam, Al-Quran dan hadits-hadits Nabi, kalau
memang tidak mempunyai agenda yang tersembunyi terhadap Islam dan
umatnya?
Terima kasih, Yang Mulia. Selanjutnya akan disampaikan oleh
Wirawan Adnan.

78. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Sebentar ya, saya bacakan tata tertib persidangan menurut Pasal


5 ayat (2) ada larangan bagi pengunjung sidang.
Satu, membawa senjata atau benda lain yang dapat
membahayakan dan mengganggu sidang.
Dua, membuat gaduh, berlalu lalang, bersorak sorai dan bertepuk
tangan di dalam ruang sidang selama persidangan berlangsung dan
seterusnya.
Jadi mohon perhatiannya, persidangan ini bukan forum politik
dimana dukungan bisa diberikan melalui tepuk tangan dan teriakan-
teriakan. Di dalam persidangan ini kita tidak menghitung berapa banyak

57
yang mendukung dan berapa sedikit yang mendukung, tapi ukurannya
adalah konstitusi.
Silakan Saudara.

79. PIHAK TERKAIT(FORUM UMAT ISLAM) : WIRAWAN ADNAN, S.H.

Terima kasih, Yang Mulia.


Assalamualaikum wr. wb.
Kami tidak mengetahui bagaimana para Pemohon ini membaca
Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 ini, padahal esensi dari
undang-undang ini adalah peraturan-peraturan yang melarang untuk
menodai agama. Sehingga jika para Pemohon ini tidak menghendaki
adanya Undang-Undang tentang Penodaan Agama maka sama saja
dengan kehendak agar nantinya secara bebas diperbolehkan untuk
menodai agama.
Kami ambil contoh, apabila di ruangan ini ada sign dilarang
merokok dan kemudian kami mengajukan permohonan agar larangan ini
dicabut, maka itu sama saja dengan meminta agar diperbolehkan
merokok di ruangan ini.
Jika undang-undang ini oleh Pemohon dikatakan bertentangan
dengan konstitusi kita sehingga harus dicabut, maka menodai agama
menjadi diperbolehkan. Kami berikan tanda silang di sana, yang berarti
menjadikan keadaannya sesuai dengan UUD 1945, kami berikan tanda
sama dengan..., artinya menodai agama menjadi diperbolehkan oleh
konstitusi kita. Beginilah jalan berpikirnya para Pemohon yang
kelihatannya pro konstitusi sebetulnya adalah anti konstitusi. Inilah
pokok-pokok argumen yang bisa kami tangkap dari Pemohon.
Tentang kebebasan beragama, pada kenyataannya tidak ada
agama yang dilarang oleh undang-undang ini, yang dilarang adalah
menodai agama. Undang-undang ini juga tidak mengakui dan juga tidak
melarang agama apapun untuk tumbuh, agama apapun untuk lahir.
Tidak ada kata-kata pengakuan dan tidak ada kata-kata pembatasan
terhadap 6 agama yang sudah ada. Jadi kalau Ahmadiyah nantinya akan
dijadikan agama, menurut undang-undang ini boleh-boleh saja, asal
tidak lagi menggunakan Al-Quran maupun Hadits. HAM mau dijadikan
agama, liberalisme mau dijadikan agama, undang-undang ini tidak bisa
melarangnya.
Sekarang ini para Pemohon juga mempertentangkannya dengan
Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Teks menjamin kemerdekaan untuk
memeluk agamanya, kan sudah terjamin. Yang berkeyakinan bahwa
Islam adalah agama yang benar, silakan memeluk Islam. Bagi mereka
yang berkeyakinan bahwa agama yang menyelamatkan mereka kelak di
akhirat bukan Islam, silakan memeluk agama itu. Selama ini tidak ada
orang berpindah agama itu kemudian dituntut atas dasar pasal ini. Untuk
beribadat menurut agamanya, ini juga jelas. Untuk orang Islam
tuntunannya shalat 5 waktu. Untuk orang Kristen, sembahyang di gereja

58
berdoa dan beribadat sesuai dengan tuntunan atau ajaran gereja
masing-masing. Yang tidak dijamin oleh UUD 1945 adalah jika orang
Katolik beribadat menurut tata cara menurut orang Islam dan orang
Islam beribadat menurut tata cara orang Kristen.
Mengenai isu minoritas, menurut pengamatan FUI, agama
minortas justru memperoleh perlindungan melebihi yang semestinya.
Pemerintah Republik Indonesia terlalu akomodatif terhadap kepentingan
minoritas. Contohnya, umat Nasrani ini, yang hanya 10 % dari penduduk
Indonesia. Namun coba dilihat pada bulan Desember, suasana di
Republik menjadi suasana seperti Natal. Lengkap dengan pohon-pohon
Natal, warnanya merah Santa Claus, salju buatan seolah-olah kita berada
di Amerika atau Eropa. Seolah-olah yang mayoritas justru kaum Nasrani.
Keadaan ini adalah tidak proporsional dengan perbandingan jumlah
pemeluknya. Seolah jumlahnya umat Nasrani itu sama jumlahnya
dengan umat Islam. Tidak bisa kami bayangkan kejadiannya, jika adalah
sebaliknya yang minoritas itu adalah Islam. Apakah keadaan serupa kita
temui di mal-mal di Amerika atau di Australia.
Selanjutnya, ini tentang argumentasi Pemohon tentang forum
internum. Pada pokoknya, ingin mengatakan bahwa saya tidak percaya
pada Muhammad adalah Rasul Allah, harus diputuskan, jangan dihukum.
Kalau saya mau percaya kalau Kristus itu bukan anak Tuhan, juga harus
dianggap sebagai kebebasan berekspresi. Boleh-boleh saja dan memang
boleh saja, yang tidak boleh adalah jika orang Islam mengatakan
kepada orang Kristen bahwa Yesus itu adalah bukan anak Tuhan,
setidak-tidaknya akan menimbulkan masalah hukum.
Namun, jika mengatakannya kepada orang Islam sendiri tentang
siapa Yesus di kalangan sendiri, ya boleh saja asal syaratnya itu adalah,
kuncinya adalah tidak disampaikan di muka umum. Mau percaya kepada
Lia itu adalah Nabi, Lia itu adalah malaikat, silakan asal tidak
menyampaikannya di muka umum.
Selanjutnya adalah tentang otoritas penafsir. Di Islam sudah jelas
siapa yang berhak dan apa yang bisa di tafsirkan. Apa yang termasuk
Ushuluddin dan apa termasuk Furuddin. Pendukung Ahmadiyah
menafsirkan bahwa setelah Nabi Muhammad ada nabi lain yang bernama
Mirzam Ghulam Ahmad. Kalau mereka ini dikatakan sesat mereka
tersingung. Bagaimana jadinya jika warga negara Republik Indonesia
yang mengakui dia warga negara Republik Indoensia namun tidak
mengakui bendera merah putih ini adalah benderanya? Atau menafsirkan
sebaiknya di tengah bendera merah putih itu ada gambar kodok di
dalamnya. Apakah ini juga merupakan kebebasan untuk menafsirkan?
Yang namanya sepak bola, menggunakan metafornya Cak Nun tadi,
harus dimainkan dengan cara kesebelasan. Satu kiper dengan sepuluh
pemain. Jika ada yang menafsirkan asal jumlahnya 11 dengan adanya 2
kiper dengan 9 pemain, ini adalah penafsiran sesat. Sepakbola adalah
peraturannya adalah kesebelasan di lapangan terbuka. Kalau di lapangan
tertutup jumlahnya hanya lima, disebut futsal, bukan lagi sepakbola.

59
Yang namanya bola voli adalah dengan 6 pemain, menggunakan bola
voli, jika dirubah menjadi dengan bola rotan dan dengan menggunakan
kaki, namanya harus diubah menjadi sepak takraw. Demikian pula
pandangan kami tentang Ahmadiyah. Tidak boleh lagi menamakan
dirinya Islam, dia tetap memiliki freedom to be, namun to be
Ahmadiyah, tidak to be Islam.
Pada produk hukum kita memang ada yang pasti, dan memang
ada tidak ada yang pasti. Tidak semuanya hitam putih. Oleh karena itu
memang biasa di dalam produk hukum kita itu tidak semuanya pasti.
Jadi kalau soal ketidakpastian itu adalah sudah merupakan bagian
daripada sistem hukum di Republik Indonesia.
Oleh karena itu, Yang Mulia, demi kebebasan kami untuk
menegakkan hukum Allah, maka Forum Umat Islam memohon kepada
Mahkamah Konstitusi untuk mempertahankan berlakunya Undang-
Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 dan menolak permohonan Pemohon.
Terima kasih.
Wassalamualaikum wr. wb.

80. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Baik, sudah selesai semua untuk hari ini. Meski begitu saya
memberi kesempatan kalau ada yang ingin menyampaikan pertanyaan.
Tampaknya ada dari Dewan Dakwah Islamiyah, dari Majelis
Ulama, kemudian dari Hizbut Tahrir, eh FPI ( Front Pembela Islam).
Baik, dipersilakan Dewan Dakwah Islamiyah.

81. PIHAK TERKAIT (DEWAN DAKWAH ISLAMIYAH) : ZAMHAN

Terima kasih kepada Bapak Ketua Majelis Hakim Konstitusi.


Assalamualaikum wr.wb.
Saya mau menanyakan kepada FKUB (Forum Kerukunan Umat
Beragama). Pertanyaan saya sederhana sekali, bahwa pada dasarnya
FKUB itu setuju konstitusional Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun
1965 walaupun Anda belum menjelaskan secara komplet. Tapi tadi yang
saya tangkap Anda menyatakan bahwa Pemerintah tidak tegas dalam
menyikapi Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965.
Yang saya tanyakan, ini lebih dijelaskan lagi nanti. Dari sisi mana
Anda melihat Pemerintah itu kurang tegas menyikapi Undang-Undang
Nomor 1 PNPS Tahun 1965? Itu saja, satu.
Yang kedua, saya akan menanyakan pada Komnas Perempuan,
bahwa Komnas Perempuan mengatakan dampak dari Undang-Undang
Nomor 1 PNPS Tahun 1965 salah satunya hilangnya pengakuan pribadi
di hadapan hukum seorang perempuan, baik dari pencatatan sipil pada
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 padahal itu sangat jelas sekali
aturannya bahkan KTP di kolom agama itu, dia tidak memberikan, tidak

60
bisa memasukkan karena dia mungkin tidak memiliki 6 agama yang
sudah ditentukan oleh negara Republik Indonesia.
Komnas Anak menilai Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965
itu inkonstitusional dan tegas sekali tadi mengatakan. Apakah Anda
tidak melihat bahwa justru dengan adanya undang-undang ini ada
sebuah sebuah rambu-rambu, ada sebuah aturan yang mengikat?
Bayangkan jika di sebuah negara khususnya negara kita Indonesia tidak
ada sebuah aturan undang-undang yang dikaitkan dengan Undang-
Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 ini akan terjadi kekosongan hukum
dan akan menjadi proses kanibalisasi yang sama dengan di hutan? Nah,
ini satu contoh yang saya berikan, sebenarnya tadi karena waktu tidak
cukup saya ingin menanyakan juga kepada Ulil Abshar tentang Al-Quran
yang 30% itu katanya uzur sudah. Ya ini saya ingin tadi menanyakan
karena ada beberapa ayat, 150 ayat yang akan diganti dan sudah kita
punya datanya cuma karena waktu tadi tidak diberi kesempatan juga.
Jadi, ini ada satu contoh mungkin Komnas Anak bisa menjawab
nanti, Komnas Perempuan mohon maaf ini. Jadi ada seorang Ibu
berteriak di depan umum dengan mengatakan bahwa saya telah
merubah ini buktinya, misalnya 100 ayat Al-Quran ini sudah tidak tepat
lagi digunakan di zaman sekarang, saya sudah artinya menulis segala
macam bentuknya. Nah, di situ ada orang FUI, orang MUI, orang
Dewan Dakwah. Paling tidak karena ada orang Islam yang lain ingin
melakukan sebuah kekerasan terhadap ibu, mereka diamankan oleh
rekan-rekan FUI, MUI, Dewan Dakwah dan segala macam untuk ditanya
lebih lanjut.
Bayangkan jika Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965
dicabut, saya tidak bisa bilang apa-apa lagi. Mungkin orang tersebut,
sesuai dengan Habib Rizieq kemarin, bisa disembelih. Nah, ini coba
tolong Komnas Perempuan, mohon dijelaskan karena ini sudah jelas
aturannya.
Saya pikir itu saja, Majelis.
Terima kasih,
Wassalamualaikum wr. wb.

82. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Majelis Ulama.

83. PIHAK TERKAIT (MAJELIS ULAMA INDONESIA) : H.M. LUTFI


HAKIM, S.H., M.H.

Terima kasih, Yang Mulia.


Yang pertama saya tujukan kepada Forum Kerukunan Umat
Beragama (FKUB) DKI Jakarta. Tadi Anda mengatakan bahwa setelah
bermusyawarah memohon MK agar permohonan uji materi PNPS ini
untuk ditolak. Saya, MUI dalam hal ini, mengapresiasi atas hasil

61
musyawarah dimana tadi juga disebutkan di situ ada Bapak Rudy
Pratikno dari Keuskupan DKI Jakarta yang selama ini hadir sebagai
mewakili KWI, ternyata dalam kesempatan FKUB ini memiliki pendapat
untuk mempertahankan PNPS ini, kami terus terang mengapresiasi atas
hal itu.
Kemudian kepada Komnas Perempuan. Ada beberapa hal yang
harus saya sampaikan. Yang pertama, dari Komnas Perempuan
menyebut-nyebut tentang masalah warga atau umat Konghucu. Tanpa
perlu saya mengutip kembali apa yang telah disampaikan, bahwa perlu
disampaikan di sini, Mahkamah Konstitusi telah mendengarkan
perwakilan dari Matakin yang disampaikan langsung oleh Sekjennya
yaitu Bapak Uung dimana dalam kesimpulannya meminta untuk
mempertahankan PNPS ini dan juga dalam FKUB DKI ini pun ada
perwakilan dari Matakin yang juga menghendaki untuk dipertahankan.
Oleh karena itu menurut hemat saya, wakil dari MUI, apa yang tadi telah
disampaikan oleh Komnas Perempuan, kehilangan baik itu otoritas moral,
legal apalagi, maupun kompetensi untuk mewakili ataupun berpretensi
mewakili penganut Konghucu.
Yang kedua, Komnas Perempuan juga menyebutkan beberapa hal
yang saya kutip bahwa Undang-Undang PNPS ini mengakibatkan
hilangnya rasa aman beragama, Undang-Undang PNPS ini menghalangi
negara untuk menunaikan tanggung jawabnya atas kewajibannya
melindungi warga negara dan seterusnya. Ada yang ingin saya katakan
atas pendapat ini. Telah terjadi kesalahan mendasar dalam memahami
fakta, informasi fakta, dan kemudian langsung menarik kesimpulan.
Dalam suatu ilustrasi konkret seorang katakanlah namanya Fulan
disuguhi minuman oleh seorang pramugari. Si Fulan meninggal karena
racun setelah diberi minum oleh pramugari. Disimpulkan begitu saja si
Fulan mati diracun oleh pramugari. Tanpa mencari informasi fakta
hubungan minuman dan racunnya, apakah racun itu memang berasal
dari minuman yang disuguhkan oleh pramugari tersebut? Ataukah dari
sumber yang lain?
Demikian juga dalam menarik kesimpulan tentang PNPS ini. Ada
PNPS secara fakta, ada PNPS tentang Penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama. Ada kerusuhan antar umat beragama, disimpulkan
begitu saja tanpa mencari informasi tentang faktanya bahwa PNPS inilah
yang menimbulkan hilangnya rasa aman dari kalangan umat beragama.
Yang terakhir, Komnas Perempuan telah memaparkan apa
maksud dan tujuan tentang Komnas Perempuan ini di awal
presentasinya. Namun ketika memasuki paparan presentasinya, saya
perhatikan begitu banyak uraian-uraiannya yang telah melampaui jauh
dari apa yang ada dalam maksud dan tujuan adanya Komnas HAM,
sehingga saya sulit mencari pembeda antara apa yang menjadi
argumentasi Pemohon dengan apa yang menjadi argumentasi Komnas
Perempuan, sepertinya setali tiga uang.
Terima kasih, Yang Mulia.

62
Wassalamualaikum wr. wb.

84. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Saudara Munarman, dari FPI.

85. PIHAK TERKAIT (FRONT PEMBELA ISLAM) : MUNARMAN, S.H.

Terima kasih, Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi


yang terhormat,
Bismillahirohmanirrohim,
Assalamualaikum wr. wb.
Pertanyaan saya, saya tujukan kepada Komisi Nasional
Perempuan atau Komnas Perempuan. Yang pertama, tentu saja saya
lihat dari kesimpulan yang menyatakan bahwa PNPS ini inkonstitusional
itu tegas sekali tadi disebutkan, dengan fakta-fakta berdasarkan laporan
yang diterima oleh Komnas Perempuan. Nah, dengan basis laporan
kasus yang diterima oleh Komnas Perempuan, maka Komnas Perempuan
menyampaikan bahwa PNPS ini adalah inkonstitusional. Menurut saya ini
cara berpikir seperti ini adalah cara berpikir yang tidak bisa diterima
logika ini, karena kita tahu pengujian atas undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar ini adalah pengujian norma undang-undang ya,
pengujian norma undang-undang yang ada dalam PNPS ini apakah
bertentang dengan norma-norma yang ada di dalam Undang-Undang
Dasar sehingga bisa dikatakan itu inkontstitusional. Jadi bukan
berdasarkan laporan kasus. Kalau laporan kasus saya juga sebetulnya di
kantor saya itu banyak menerima laporan kasus yang istri pertamanya
atau istri keduanya sama-sama dinikahi dengan surat resmi, begitu, dan
istri pertamanya ini minta supaya ada upaya hukum menggagalkan
pernikahan karena dia tidak mau membagi harta dari suaminya, padahal
suaminya membagi harta itu dengan baik. Apakah dengan laporan itu
otomatis saya katakan bahwa istri pertama yang ada di Indonesia ini
jahat semua perilakunya? Apakah Undang-Undang Perkawinan itu
menyebabkan istri pertama itu berhak mendzolimi atau inkonstitusional?
Itu kan logika yang tidak bisa diterima sebetulnya laporan seperti itu. Itu
satu, menurut saya. Jadi tidak bisa kesimpulan itu silogismenya dibuat
dengan simplifikasi seperti yang disampaikan oleh Komnas Perempuan.
Yang kedua, disebutkan misalnya hilangnya pengakuan sebagai
pribadi di hadapan hukum. Nah, pertanyaan saya, teknis saja
sebetulnya. Saya mau tahu dimana norma baik yang ada di Pasal 1,
Pasal 2, Pasal 3 maupun Pasal 4 yang melarang? Karena ini adalah
pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama yang melarang
individu menjalankan kegiatan agamanya, atau orang-orang yang
beragama di Indonesia, ya, agama apapun juga itu kehilangan haknya di
depan hukum, normanya dimana? Normanya yang saya tanya ya,
normanya dimana di dalam ini? Karena begini, dalam perumusan norma

63
itu ada memang yang ditujukan perlindungannya itu adalah semata-
mata kepada perlindungan individu. Nah, ini madzhab yang demikian ini
adalah madzhab hukum liberal sebetulnya. Semata-mata pada
perlindungan individual, itu madzhab hukum liberal. Tanpa
memperhatikan hak-hak dari komunal, tanpa memperhatikan
perlindungan terhadap masyarakat secara umum. Tanpa
memperhitungkan ada kepentingan, ada hak negara juga. Kalau semata-
mata perlindungannya individual, sementara masyarakat, ada hak
masyarakat, hak masyarakat tentu saja dalam konteks ini, kalau kita
dalam konteks pengujian undang-undang ini, hak masyarakat adalah
komunal kelompok Islam tentu saja, kelompok Kristen, kelompok Katolik,
kelompok Konghucu, itu semua dilindungi dalam undang-undang ini.
Justru bukan dilanggar. Justru undang-undang ini, PNPS ini justru
melindungi hak-hak komunal itu. Jadi tidak bisa karena atas kepentinagn
seseorang, individual semata-mata ditujukan sehingga undang-undang
yang punya kepentingan untuk melindungi komunal, komunitas,
kelompok, itu menjadi dikatakan inkonstitusional. Ini menurut saya juga
madzhab-madzhab hukum seperti ini, aliran-aliran hukum seperti ini juga
perlu dipahami oleh para Pemohon maupun oleh pihak-pihak yang
memang semata-mata menurut saya concern-nya itu pada individual,
pada kepentingan individu. Jadi kepentingan individu iya, tetapi juga
harus dihitung kepentingan komunitas, kepentingan kelompok, dan juga
kepentingan negara. Nah, sinergi atau mensinergikan ketiga kepentingan
inilah sebetulnya itulah tugas dari penyelenggara negara. Jadi tidak bisa
satu sisi saja dilihat. Itu yang kedua.
Yang ketiga, yang saya mau katakan juga atau tanyakan juga,
menurut Komnas Perempuan ini, pelarangan-pelarangan soal pencatatan
pernikahan itu apakah ruang lingkup dari undang-undang ini? Karena ini
jelas sekali, pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama.
Apakah pencatatan pernikahan itu ruang lingkupnya dalam kategori
undang-undang ini? Atau itu hanya perilaku birokrasi yang salah
memahami atau yang dijadikan instrumen politik bagi sebuah rezim
politik pada waktu itu? Kita tahu lah, rezim orde baru lah pada waktu itu.
Apakah itu perilaku birokrasi yang salah memahami atau memang
birokrasi yang dijadikan instrumen politik oleh sebuah rezim politik soal
pencatatan, pengakuan agama itu? Apa itu disebabkan atau memang
ada norma dalam undang-undang ini yang menyebabkan itu tidak bisa
dicatat, atau Konghucu itu dihapuskan, tidak diakui? Ini undang-undang
ini yang saya mau tanyakan lebih konkret itu menurut Komnas
Perempuan, ini mengenai pengakuan agama atau apa? Apakah ini
mengatur agama apa saja yang diakui di sini? Dimana normanya?
Pasalnya? Pasal normanya? Kalau penjelasannya silakan dibaca
penjelasannya. Nanti dibaca yang rinci. Saya mau mendengar rincian
pembacaan dari penjelasan itu. Dan tidak usah ditafsirkan. Baca saja,
saya mau itu.
Saya kira begitu saja dari saya.

64
Terima kasih, Yang Mulia.
Wassalamualaikum wr. wb.

86. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Baik untuk memberi kesempatan menjawab (...)

87. KUASA HUKUM PEMOHON : M. CHOIRUL ANAM, S.H.

Yang mulia sebelum dijawab kalau boleh Pemohon untuk(...)

88. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Ya, silakan singkat saja.

89. KUASA HUKUM PEMOHON : M. CHOIRUL ANAM, S.H.

Ya, yang pertama untuk FKUB. Tadi kami mendengarkan juga


kesimpulannya bahwa kesimpulannya adalah PNPS ini konstitusional dan
memang permohonan kami harus ditolak. Pertanyaan saya adalah, yang
pertama apakah kesepakatan itu dibikin secara mufakat? Karena kalau di
dalamnya ada KWI misalkan, perwakilan dari KWI atau PGI yang dalam
kesempatan sebelumnya di hari ini menyatakan revisi dan tidak
konstitusional, untuk KWI. Itu yang pertama, kami butuh klarifikasi.
Apakah kesimpulan itu diambil dengan kesepakatan yang berbasis pada
suara terbanyak? Oh ini yang sedikit, Oh ini yang banyak, sehingga yang
banyak yang menjadi kesepakatan. Itu penting untuk mendudukkan
bagaimana pandangan masing-masing kelompok dalam FKUB. Itu yang
pertama.
Yang kedua, bagi Komnas Perempuan. Apakah dalam menerima
pengaduan korban, bagaimana mekanismenya? Kedua, dalam
menyimpulkan bahwa PNPS itu juga nuansanya diskriminatif dan
ditunjukkan juga dengan peraturan tahun 78, apakah juga mendasarkan
pada laporan pemerintah untuk komite anti diskriminasi rasial yang
dikirimkan kepada Komite Anti Diskriminasi Rasial tahun 2007? Yang
mengatakan bahwa memang agama di Indonesia hanya 6, dan itu
berimplikasi terhadap diskriminasi. Dan apakah juga statement
diskriminasi itu juga menyinggung concluding observations atau
kesimpulan pandangan oleh komite yang mengatakan bahwa memang
akibat dari pengakuan agama yang 6 tersebut itu berimplikasi terhadap
diskriminasi yang terjadi?
Yang ketiga adalah soal diskriminasi tadi dicontohkan juga soal
Penghayat Kepercayaan. Apakah dalam melihat konteks Penghayat
Kepercayaan ini hanya kepentingan individu? Atau itu mencerminkan
kepentingan komunal? Jadi yang dilihat adalah komunal, Penghayat. Jadi
tidak si Fulan, si A, si B, si C, tapi memang oh ini Sunda Wiwitan

65
semuanya kena. Perempuan Sunda Wiwitan semuanya kena. Oh ini
kelompok C, oh semua perempuan kelompok C kena sehingga memang
mendudukkan tidak hanya soal individu tapi juga motret soal komunal.
Terima kasih.

90. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Baik, waktu diperpanjang kira-kira 10 sampai 15 menit untuk


memberi kesempatan memberikan jawaban secara singkat kepada FKUB
dan Komnas Perempuan ini yang dapat pertanyaan. Yang tidak relevan
tidak usah dijawab, dan memang sidang ini tidak mencari kesepakatan.
Silakan dijawab saja, tidak perlu sepakat karena nanti kesimpulannya
ada di Majelis Hakim untuk mengambil putusan akhir.
Sekarang, silakan FKUB.

91. PIHAK TERKAIT (FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA) :


H. AHMAD SYAFI’I MUFID, M.A.

Yang Mulia Ketua dan Anggota Mahkamah Konstitusi.


Ada 3 person yang bertanya dan pernyataan kepada FKUB, yang
pertama dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia yang menyatakan
FKUB menyatakan bahwa pemerintah kurang tegas dalam menyikapi
Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965. Ini tidak benar. Yang benar
adalah saya bacakan pernyataan yang tertulis kami dan tadi kami
bacakan, sekali lagi, “Jika permohonan atas pengujian terhadap Undang-
Undang Nomor 1/PNPS/1965 ditolak oleh Mahkamah Konstitusi maka
selanjutnya pemerintah hendaknya mengambil langkah yang tegas
dalam menindak pelaku pelanggaran hukum yang menyalahgunakan
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 agar kerukunan
umat beragama tidak terganggu.” Dengan demikian pertanyaan telah
dijawab.
Yang kedua, dari MUI, yang mengapresiasi kepada Pak Rudy
Pratikno, S.H. sebagai yang mewakili Keuskupan Agung Jakarta di FKUB
itu kami mengucapkan terima kasih. Demikianlah kami ketika di FKUB itu
kita tidak lagi berbicara seperti mewakili kelompok tapi kita sudah
berbicara mewakili komunitas keseluruhan yaitu masyarakat beragama di
Jakarta. Oleh karena itu pertanyaan Pemohon FKUB apakah di dalam
mengambil keputusan seperti yang tadi kami bacakan itu atas dasar
kesepakatan, dibuat secara mufakat atau itu dibuat dengan cara voting
atau cara yang lainnya? Kami nyatakan bahwa FKUB tidak pernah
mengambil keputusan dengan cara voting untuk kepentingan apakah
dalam kaitannya dengan aspirasi maupun sampai kepada pemberian
rekomendasi terhadap pendirian rumah ibadah ataupun penyelesaian
berkaitan dengan penggunaan gedung atau bangunan untuk rumah
ibadah sementara kami selalu bermusyawarah dan keputusan yang kami
ambil adalah berdasarkan mufakat dari semua wakil-wakil yang duduk di

66
FKUB. Dan dokumen yang kami serahkan kepada Mahkamah Konstitusi
ditandatangani oleh semua wakil-wakil yang telah saya sebutkan tadi.
Terima kasih, demikian.

92. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Baik. Komnas Perempuan.

93. PIHAK TERKAIT (KOMNAS PEREMPUAN) : DR. YUNIANTI


CHUZAIFAH

Kami dari Tim saya persilakan kepada Mbak Kunthi sebagai Ketua
Reformasi Hukum dan Kebijakan untuk memberikan masukan.

94. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Silakan, 5 menit Bu ya, paling lama.

95. PIHAK TERKAIT (KOMNAS PEREMPUAN) : DR. KUNTHI


TRIEWIYANTI

Terima kasih, Yang Mulia.


Ada beberapa hal yang tadi ditanyakan dari beberapa penanya.
Terus terang kami tidak akan menjawab satu persatu tetapi secara
umum bahwa kami tadi telah sampaikan dari Komnas Perempuan bahwa
apa yang kami paparkan ini adalah berdasarkan dari laporan pengaduan
dan konsultasi. Jadi terus terang bahwa ini bukan individu-individu tetapi
ini adalah apa yang disampaikan oleh kami sebagai suatu kelompok.
Yang pertama, kami ingin mencoba menjawab tentang segala
sesuatu yang terkait dengan pertanyaan bahwa PNPS ini inkonstitusional.
Yang pertama kami ingin menyatakan bahwa sebagaimana telah
dinyatakan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada Bab X tentang
HAM, dan XI tentang Agama, itu secara jelas memberikan gambaran
bahwa setiap orang diberikan Hak Asasi Manusia, apakah itu berkaitan
dengan keyakinan, kepercayaan, kemudian tentang pengakuan pribadi
dalam hukum, tentang hak anak terkait dengan akte, dan sebagainya,
tetapi yang terpenting juga kami melihat pada hal terkait dengan
diskriminasi. Kalau kita lihat dari pasal yang terkait dengan diskriminasi,
itu bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatis atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan
terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu, termuat dalam Pasal
28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
Nah, dengan adanya kasus-kasus yang kami jumpai maka kami
beranggapan bahwa hal-hal yang terkait dengan perempuan, apakah itu
Konghucu, apakah itu perempuan dari aliran kepercayaan atau itu dari

67
Ahmadiyah, tentu saja kami tadi melihat dari segi korban, bahwa dia
melaporkan kepada Komnas Perempuan sebagai korban, korban yang
merasa didiskriminasi. Oleh sebab itu poin Pasal 28I ini menjadi tekanan
kami. Kalaulah dari PNPS ini lebih pada pencegahan penyalahgunaan dan
penodaan agama, maka sebenarnya penafsiran yang jelas pada
pengakuan pada agama-agama tertentu itu kemudian juga memberikan
perlakuan diskriminasi atau paling tidak mendorong ke arah penafsiran
untuk lebih diskriminasi kepada orang-orang tertentu, termasuk dia
adalah perempuan dan anak.
Jadi kalau kami melihat dari kasus-kasus pengaduan itu, betapa
mengerikannya ketika perempuan itu tidak punya status di dalam KTP
nya, misalnya dengan dikosongkan. Betapa dia mengerikan ketika dia
kemudian sulit untuk mendapatkan akte nikah karena tidak berasal dari
agama yang sudah ditentukan. Walaupun memang kami mengakui ada
perubahan dari Undang-Undang 23 Tahun … Undang-Undang Aminduk
itu jelas bahwa ada perubahan. Oleh sebab itu kami melihat bahwa
alangkah negara ini sudah memberikan ruang begitu besar, tetapi
jangan lupa bahwa penafsiran terhadap PNPS ini tetap memberikan
perlakuan yang bisa mendiskriminasi perempuan dan anak. Oleh sebab
itu tadi kami juga melihat bahwa ketika seorang anak akan masuk ke
sekolah kemudian dia harus menuliskan agama tertentu, walaupun dia
aliran kepercayaan, menurut kami alangkah sedihnya seorang anak yang
tidak punya agama kemudian dipaksa untuk mencantumkan agama yang
tidak diyakininya.
Kami melihat bahwa yang kedua adalah terkait dengan laporan
Pemerintah Indonesia pada saat di PBB di Jenewa yaitu Komite
Penghapusan Diskriminasi Rasial yang membahas beberapa hal. Yang
pertama adalah bahwa tidak ada agama resmi dan/atau tidak resmi di
Indonesia, namun prihatin bahwa masih ada pembedaan antara Islam,
Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu sebagaimana termuat di
dalam berbagai peraturan, serta agama maupun kepercayaan lainnya.
Akibat dari adanya pembedaan itu membuat komite berasumsi bahwa
akan ada dampak negatif dari pembedaan semacam ini terhadap hak-
hak kebebasan berpikir, kesadaran dan agama bagi mereka yang
termasuk kelompok-kelompok etnik, serta indigenous people.
Komite mencatat dengan keprihatinan khusus bahwa di bawah
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Aminduk, bahwa
individu-individu diharuskan menyebutkan kepercayaan mereka di dalam
dokumen hukum seperti KTP dan akte kelahiran. Dan bahwa mereka
yang memilih untuk mengosongkan kolom tersebut atau mencatatkan di
bawah salah satu agama resmi telah melaporkan adanya diskriminasi
atau pelecehan. Jadi kami menggarisbawahi hal tersebut. Kemudian
bahwa perempuan dan laki-laki yang berlainan agama memiliki kesulitan
besar untuk mendaftarkan perkawinan mereka dan bahwa anak-anak
mereka tidak diberikan akte kelahiran sebagaimana diakui oleh negara
pihak.

68
Yang kedua adalah komite menyarankan agar negara pihak dapat
memperlakukan dengan sama semua agama dan kepercayaan maupun
kebebasan berpikir, kesadaran dan agama dari kelompok etnik minoritas
dan indigenous people mencatat bahwa negara pihak yang sedang
mempertimbangkan penghapusan penyebutan tentang agama pada KTP
agar sesuai dengan maksud dari konvensi. Komite secara kuat
merekomendasikan agar dapat melaksanakan secepatnya dan agar
dapat juga diperlebar agar memuat kebijakan terhadap semua dokumen
hukum. Itu laporan dari Comittee Steer yang terus terang akhirnya (…)

96. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Dipersingkat, ya.

97. PIHAK TERKAIT (KOMNAS PEREMPUAN) : DR. KUNTHI


TRIEWIYANTI

Ya.

98. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Dipersingkat, sudah 5 menit .

99. PIHAK TERKAIT (KOMNAS PEREMPUAN) : DR. KUNTHI


TRIEWIYANTI

Yang terakhir, kami juga menyatakan bahwa pada Pasal 28I


bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi
manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah. Oleh
sebab itu kami dengan sangat meminta perhatian kepada pemerintah
tentang bagaimana terjadi diskrimanasi baik terhadap perempuan dan
anak.
Akhir kata saya ingin menyampaikan bahwa betapa menyedihkan
seorang ibu yang melahirkan anak-anak, kemudian anak-anak ini tidak
diakui, tidak diberikan kesempatan untuk berpendidikan, kemudian dia
juga bagian menjadi stigmanisasi oleh masyarakat, alangkah
menyedihkan kami ibu-ibu yang melahirkan yang kemudian
membesarkan tetapi merasa didiskriminasi.
Terima kasih, Yang Mulia.

100. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Hal-hal yang tidak dijawab langsung nanti akan menjadi bagian


dari pertimbangan Mahkamah, pertimbangan Majelis Hakim.

69
101. PIHAK TERKAIT (KOMNAS PEREMPUAN) : DR. YUNIANTI
CHUZAIFAH

Yang Mulia, boleh sedikit menambahkan?

102. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Tidak usah. Cukup, ditulis saja nanti. Nanti akan diberi waktu
untuk membuat kesimpulan kalau mau yang itu nanti akan ditentukan
kapan harus disampaikan ke Majelis, tetapi bisa disiapkan dari sekarang
ini.
Pak Alim masih mau? Silakan. Ya, silakan.

103. HAKIM ANGGOTA : DR. MUHAMMAD ALIM, S.H., M.HUM.

Terima kasih, Pak Ketua.


Ini apresiasi kepada Komnas Perempuan dan kepada FUI (Forum
Umat Islam). Jadi seperti yang ditanyakan tadi, di Undang-Undang
Nomor 1 PNPS Tahun 1965 memang itu tidak ada larangan untuk
memberi Kartu Tanda Penduduk, mencatatkan perkawinan atau
menyekolahkan anak. Jikalau hal itu terjadi dalam pelaksanaan, karena
kita ini adalah negara hukum salurannya bukan ke sini, salurannya yang
pertama adalah ke Pengadilan Tata Usaha Negara, karena…….., tenang
ya,…… karena di sana ditentukan jikalau pemerintah menolak
mengeluarkan suatu putusan ataupun tidak mengeluarkan keputusan
dalam waktu tertentu yang secara konkrit, individual dan final, itu bisa
digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Jikalau aturan daripada itu
yang melarang dan lain-lain mencatatkan itu adalah undang-undang,
undang-undang itu yang diuji kemari, bukan Undang-Undang kaitannya
dengan PNPS 65 karena ini masalah ranah lain. Tapi kalau itu di bawah
undang-undang diuji di Mahkamah Agung, itu sekedar diketahui. Itu
cukup itu untuk Komnas Perempuan.
Kepada Forum Umat Islam. Negara Madinah yang saya tahu di
dalam kajian saya waktu menyusun disertasi, itu berdiri pada tahun 622
dan berakhir pada tahun 661, itu mulai dari dibentuknya Piagam
Madinah oleh Rasulullah Muhammad SAW sampai dengan Khalifah
keempat Khulafaur Rasyidin Ali bin Abi Thalib, itu Negara Madinah.
Negara Madinah itu adalah satu negara hukum. Dalam satu negara
hukum itu dianut supremasi hukum. Hukum menjadi yang tertinggi,
bukan politik sebagai panglima. Maka ketika ada orang yang mengatakan
dirinya tidak mau membayar zakat, itu diperangi karena hukum,
diperangi karena hukum, karena dalam konstitusinya Negara Madinah itu
salah satunya adalah Al-Quran itu dinyatakan bahwa kewajiban itu
membayar zakat. Diperangi.
Nah, di dalam contoh di Republik kita ini, kalau ada yang tidak
mau membayar pajak, itu bisa dipidana 5 tahun penjara. Jikalau dia

70
tidak mau bayar pajak kalau dia sanggup atau dia menggelapkan pajak
dan lain-lain dan lain-lain itu ada ancamannya. Pajak itu kalau mau
dibicarakan secara jujur itu adalah meniru hukum Islam. Hukum Islam
itu diambil dari zakat, jadi pajak itu anggaran pendapatan, ya oke.
Karena ketentuan mengenai zakat itu adalah wajib, di dalam Al-Quran
juga sebagai Konstitusi Negara Madinah itu dinyatakan bahwa tidak ada
lagi Nabi sesudah Rasulullah Muhammad SAW, maka jika diperangi
karena pertama-tama karena dasar hukumnya yang dia langgar. Bahwa
mungkin itu ada faktor politik itu boleh jadi, tetapi di atas segala-galanya
hukum lah yang paling diutamakan karena dia adalah negara hukum, di
sana dianut supremasi hukum.
Terima kasih, Pak Ketua.

104. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Sidang berikutnya tanggal 17 Maret mendengar keterangan Ahli


(…)

105. PIHAK TERKAIT (FORUM UMAT ISLAM) : WIRAWAN ADNAN,


S.H.

Yang Mulia, Yang Mulia (…)

106. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Terkait sudah tidak ada...,

107. PIHAK TERKAIT (FORUM UMAT ISLAM) : WIRAWAN ADNAN,


S.H.

Pak Ketua, Yang Mulia, dari Forum Umat Islam.

108. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Ya?

109. PIHAK TERKAIT (FORUM UMAT ISLAM) : WIRAWAN ADNAN,


S.H.

Pertama adalah kami meskipun tadi telah menyampaikan secara


lisan, mohon berkas kami yang secara tertulis bisa diterima oleh
Kepaniteraan.

110. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Ya.

71
111. PIHAK TERKAIT (FORUM UMAT ISLAM) : WIRAWAN ADNAN,
S.H.

Dan yang kedua kami mengajukan permohonan apabila pada


kesempatan sidang berikutnya dari Forum Umat Islam dapat
mengajukan Saksi Fakta Bapak H. Cep Hernawan pada sidang
berikutnya, Yang Mulia, permohonan ini kami sampaikan.
Terima kasih.

112. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Ya, baik, silakan duduk. Jadi sidang berikutnya adalah


mendengarkan Ahli dari Pemerintah Prof. Soedarsono dan Khofifah Indar
Parawansa, kemudian Saksi yang diundang oleh Mahkamah Konstitusi
Muhammad Amien Rais, Muslim Abdul Rahman, SAE Nababan, tapi
masih tentatif Pak Nababan, dan Siti Zuhro. Nah, Mahkamah
menganggap tidak perlu lagi Saksi-Saksi Fakta. Saya kira sudah jelas
fokus masalahnya sekarang dan sidang dinyatakan selesai dan ditutup.

KETUK PALU 3 X

SIDANG DIBUKA PUKUL 15.25 WIB

72

You might also like