Professional Documents
Culture Documents
NOVEL FRIDA
KARYA BARBARA MUJICA
(KAJIAN PSIKOANALISIS SIGMUND FREUD)
Oleh
MOCH. HENDY BAYU PRATAMA
NIM 022144017
2.3.3 Superego
Superego ialah sistem kepribadian yang berisikan nilai-nilai dan aturan-
aturan yang sifatnya evaluatif (Koeswara, 1991:34—35). Ia bertindak sebagai
pengarah atau hakim bagi egonya. Menurut Kartono (1996:129) superego adalah
zat yang paling tinggi pada diri manusia, yang memberikan garis-garis
pengarahan ethis dan norma-norma yang harus dianut. Superego lebih merupakan
kesempurnaan daripada kesenangan, karena itu dapat dianggap sebagai aspek
moral kepribadian.
Adapun superego menurut Palmquist (2004:103), adalah bagian dari jiwa
manusia yang dihasilkan dalam menanggapi pengaruh orangtua, guru, dan figur-
figur otoritas lainnya pada masa anak-anak. Inilah gudang psiki bagi semua
pandangan tentang yang benar dan yang salah.
Superego adalah cabang moral atau hukum dari kepribadian. Superego
merepresentasikan hal yang ideal, dan mendorongnya bukan kepada kesenangan,
melainkan kepada kesempurnaan. Superego berkaitan dengan imbalan-imbalan
dan hukuman-hukuman. Imbalan-imbalannya adalah perasaan-perasaan bangga
dan mencintai diri, sedangkan hukuman-hukumannya adalah perasaan-perasaan
berdosa dan rendah diri (Corey, 2003:15).
Lebih lanjut lagi, Menurut Hall dan Gardner (1993:67—68) Fungsi utama
dari superego antara lain (1) sebagai pengendali dorongan-dorongan atau impuls-
impuls naluri id agar impuls-impuls tersebut disalurkan dalam cara atau bentuk
yang dapat diterima oleh masyarakat; (2) mengarahkan ego pada tujuan-tujuan
yang sesuai dengan moral ketimbang dengan kenyataan; dan (3) mendorong
individu kepada kesempurnaan. Superego senantiasa memaksa ego untuk
menekan hasrat-hasrat yang berbeda ke alam bawah sadar. Superego, bersama
dengan id, berada di alam bawah sadar.
Jadi superego cenderung untuk menentang, baik ego maupun id, dan
membuat dunia menurut konsepsi yang ideal. Ketiga aspek tersebut meski
memiliki karakteristik sendiri dalam prakteknya, namun ketiganya selalu
berinteraksi secara dinamis.
2.4.2 Sublimasi
Menurut Freud (2003:166), sublimasi ialah suatu proses bawah sadar
dimana libido ditunjukkan atau diubah arahnya ke dalam bentuk penyaluran yang
lebih dapat diterima. Adapun menurut Koeswara (1991:46—47), sublimasi ialah
mekanisme pertahanan ego yang ditujukan untuk mencegah dan atau meredakan
kecemasan dengan cara mengubah dan menyesuaikan dorongan primitif Id yang
menjadi penyebab kecemasan ke dalam bentuk (tingkah laku) yang bisa diterima
oleh masyarakat.
Lebih lanjut lagi, menurut Corey (2003:19) sublimasi ialah suatu
mekanisme pertahanan ego yang menggunakan jalan keluar yang lebih tinggi atau
yang secara sosial lebih dapat diterima bagi dorongan-dorongannya. Sedangkan
menurut Poduska (2000:120) sublimasi suatu mekanisme pertahanan ego yang
melepaskan unek-unek perasaan, terutama yang bersifat seksual dalam suatu cara
yang tidak bersifat seksual. Sublimasi selalu mengubah berbagai rangsangan yang
tidak diterima, apakah itu dalam bentuk seks, kemarahan, ketakutan atau bentuk
lainnya, ke dalam bentuk-bentuk yang bisa diterima secara sosial (Boeree,
2005:54). Mekanisme pertahanan ego seperti ini sangat bermanfaat, karena tidak
ada pihak yang merasa dirugikan, baik individu itu sendiri ataupun orang lain.
2.4.3 Proyeksi
Menurut Koeswara (1991:47), proyeksi ialah suatu mekanisme pertahanan
ego yang mengalihkan dorongan, sikap, atau tingkah laku yang menimbulkan
kecemasan kepada orang lain. Adapun menurut Berry (2001:80), proyeksi ialah
suatu mekanisme yang menimpakan kesalahan dan dorongan tabu kepada orang
lain.
Lebih lanjut lagi, menurut Poduska (2000:121) proyeksi ialah suatu
mekanisme pertahanan dengan mana anda mempertahankan diri dari pikiran-
pikiran dan keinginan-keinginan yang tak dapat diterima, dengan menyatakan hal
tersebut kepada orang lain. Mekanisme pertahanan ego proyeksi ini selalu
mengalamatkan sifat-sifat tertentu yang tidak bisa diterima oleh ego kepada orang
lain (Corey, 2003:18). Mekanisme pertahanan ego ini meliputi kecenderungan
untuk melihat hasrat anda yang tidak bisa diterima oleh orang lain.
Proyeksi sering kali melayani tujuan rangkap. Ia mereduksikan kecemasan
dengan cara menggantikan suatu bahaya besar dengan bahaya yang lebih ringan,
dan memungkinkan orang yang melakukan proyeksi mengungkapkan impuls-
impulsnya dengan berkedok mempertahankan diri dari musuh-musuhnya (Hall &
Gardner, 1993:88).
Mekanisme pertahanan ego ini merupakan kebalikan dari melawan diri
sendiri (Boeree, 2005:49). Individu yang secara tidak sadar melakukan
mekanisme pertahanan ego seperti ini, biasanya berbicara sebaliknya atau
pengkambinghitaman kepada orang atau kelompok lain.
2.4.4 Displacement
Menurut Koeswara (1991:47), displacement ialah pengungkapan dorongan
yang menimbulkan kecemasan kepada objek atau individu yang kurang berbahaya
atau kurang mengancam dibandingkan dengan objek atau individu yang semula.
Adapun menurut Corey (2003:19) displacement adalah suatu mekanisme
pertahanan ego yang mengarahkan energi kepada objek atau orang lain apabila
objek asal atau orang yang sesungguhnya, tidak bisa dijangkau.
Lebih lanjut lagi, menurut Poduska (2000:119) displacement ialah
mekanisme pertahanan ego dengan mana anda melepaskan gerak-gerik emosi
yang asli, dan sumber pemindahan ini dianggap sebagai suatu target yang aman.
Mekanisme pertahanan ego ini, melimpahkan kecemasan yang menimpa
seseorang kepada orang lain yang lebih rendah kedudukannya.
2.4.5 Rasionalisasi
Menurut Poduska (2000:116) rasionalisasi ialah suatu mekanisme
pertahanan dengan mana anda berusaha untuk membenarkan tindakan-tindakan
anda terhadap anda sendiri ataupun orang lain. Adapun menurut Koeswara
(1991:47—48), rasionalisasi ialah menyelewengkan atau memutarbalikkan
kenyataan yang mengancam ego, melalui dalih atau alasan tertentu yang seakan-
akan masuk akal, sehingga kenyataan tersebut tidak lagi mengancam ego individu
yang bersangkutan.
Lebih lanjut lagi, menurut Berry (2001:82), rasionalisasi ialah mencari
pembenaran atau alasan bagi prilakunya, sehingga manjadi lebih bisa diterima
oleh ego daripada alasan yang sebenarnya. Sedangkan menurut Boeree (2005:53)
rasionalisasi ialah pendistorsian kognitif terhadap “kenyataan” dengan tujuan
kenyataan tersebut tidak lagi memberi kesan menakutkan.
Rasionalisasi selalu menciptakan alasan-alasan yang “baik” guna
menghindarkan ego dari cedera, atau memalsukan diri sehingga kenyataan yang
mengecewakan menjadi tidak begitu menyakitkan (Corey, 2003:19). Seseorang
yang melakukan mekanisme pertahanan ego seperti ini, akan membuat informasi-
informasi palsu atau dibuat-buat sendiri.
2.4.7 Melakonkan
Menurut Poduska (2000:122), melakonkan ialah suatu mekanisme
pertahanan ego yang untuk meredakan atau menghilangkan kecemasan tersebut,
dengan cara membiarkan ekspresinya keluar. Melakonkan merupakan kebalikan
dari represi yang menekan dorongan-dorongan atau keinginan-keinginan yang
menjadi penyebab kecemasan tersebut ke dalam alam tak sadar. Mekanisme
pertahanan ego ini membiarkan ekspresinya mengalir apa adanya. Tidak ada
bentuk penahanan atau penutupan atas kecemasan yang diterimanya.
2.4.8 Nomadisme
Menurut Poduska (2000:116), nomadisme ialah suatu mekanisme
pertahanan ego, yang untuk meredakan atau menghilangkan kecemasan tersebut,
dengan cara berusaha lepas dari kenyataan. Dalam menggunakan mekanisme
pertahanan ego seperti ini, dia berusaha mengurangi kecemasan dengan
memindahkan diri sendiri (secara fisik) dari ancaman. Dia berusaha sesering
mungkin atau tidak sama sekali berhadapan dengan individu atau objek yang akan
menimbulkan kecemasan.
2.4.9 Simpatisme
Menurut Poduska (2000:117), simpatisme ialah suatu mekanisme
pertahanan ego, yang untuk meredakan atau menghilangkan kecemasan tersebut,
dengan cara mencari sokongan emosi atau nasihat dari orang lain. Seseorang yang
melakukan mekanisme pertahanan ego seperti ini akan mencari teman dekatnya
untuk membicarakan masalah-masalah atau kecemasan yang telah diterimanya.
Dia berusaha mendapatkan kata-kata yang bisa membangkitkan gairah untuk
menghadapinya.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Data dan Sumber Data
Sumber data penelitian ini adalah novel Frida karya Barbara Mujica.
Semula, novel ini dua tahun lalu difilmkan dengan judul sama yakni “Frida” dan
mendapatkan penghargaan dalam Academy Award 2002 untuk kategori Best
Score. Novel ini berukuran 17 x 11 Cm, terdiri atas 774 + xxviii halaman dan
merupakan cetakan pertama penerbit Bentang.
Pada sampul depan novel ini menampilkan sosok Salma Hayek yang
ketika itu berperan sebagai Frida. Pada bagian kiri atas novel tersebut tertulis
nama pengarang, Barbara Mujica. Dibawahnya terdapat nama judul novel
tersebut, yakni Frida. Pada bagian bawah sebelah kiri terdapat tanggapan
seseorang atas novel ini, yakni Kirkus.
Pada penelitian ini data yang digunakan berupa (1) kalimat, dan (2)
penggalan alinea yang terdapat dalam novel Frida karya Barbara Mujica.
Tatkala dirinya tidak menemukan paduan warna yang tepat, Frida menjadi
marah. Frida lalu menyalahkan dirinya sendiri dan mulai menggambar sesuatu di
kanvasnya, Frida melukis atau menggambar tanda X hitam di seluruh kanvas
miliknya.
“Sial! Sial! Sial! Aku tidak dapat melakukan apa-apa dengan
baik!” tiba-tiba ia mengambil kuas dan mulai menggambar X
hitam di seluruh kanvas (Mujica, 2004:361).
Upaya untuk meredakan kecemasan Frida melalui represi ini bukan tanpa
resiko. Dorongan-dorongan pada Frida yang direpres atau ditekan tersebut tetap
aktif di dalam alam tak sadar. Terbukti pada saat itu kecemasan yang direpres atau
disimpan ke dalam alam tak sadarnya, pada waktu kecil kembali muncul.
Tiba-tiba selintas bayangan masuk di kepalaku. Kelas Miss
Caballero. Saat ketika guru itu berusaha mempermalukan Frida di
depan murid-murid lain. Dan Frida yang meronta melepaskan diri
dan menutupi dirinya dengan cat (Mujica, 2004:262—363).
Mekanisme pertahanan ego represi ini memerlukan energi psikis yang
besar untuk menjaganya agar tidak muncul ke alam sadar. Pengurasan energi
psikis oleh mekanisme represi ini bisa membawa akibat berupa tidak efektifnya
ego dalam memelihara dan menuntun tingkah laku individu. Adapun dampak dari
mekanisme pertahanan ego represi yang telah dilakukan oleh Frida itu di
antaranya dengan menggambar tanda X hitam di kanvasnya. Frida juga mulai
menulis-nulis secara kasar dan mencampurkan semua warna yang ada di dekatnya
sampai kanvasnya berubah menjadi hitam kecokelat-coklatan.
Frida terus melukis X lalu ia mengambil kuas dan mulai menulis-
nulis dengan kasar, mencampurkan semua warna sampai mereka
semua menjadi hitam-kecokelatan (Mujica, 2004:261).
Selain itu, Frida juga melakukan beberapa hal yang aneh, seperti memoles
seluruh badan dan benda yang terdapat di ruangannya, dengan campuran warna
tersebut. Hal itu semakin memperkuat mekanisme pertahanan ego yang telah
dilakukannya.
Ia menekankan tangannya ke kanvas basah, kemudian
mengoleskan warna campuran menjijikkan itu ke seluruh matanya,
rambutnya, mulutnya, dahinya (Mujica, 2004:261—262).
Frida melakukan semua prilaku di atas, karena dirinya sudah tidak dapat
berbuat apa-apa dengan baik, termasuk melukis. Karena itu, Frida mengira karena
tidak dapat berbuat apa-apa dengan baik, tidak ada seorang yang akan
memperhatikannya. Menurut adiknya, Cristina, Frida lebih baik dibenci daripada
tidak diperhatikan. Ditambahkan lagi, Frida ingin menjadi pusat perhatian.
Ia adalah seorang perempuan dengan keinginan kuat, perempuan
yang ingin menjadi pusat perhatian (Mujica, 2004:434).
Frida tidak ingin orang lain tidak mengakui keberadaannya. Hal tersebut
merupakan salah satu kecemasan terbesar Frida. Jadi, dirinya tidak ingin
mengalaminya. Hal itu yang menjadi salah satu penyebab Frida melakukan
perbuatan-perbuatan yang aneh tersebut. kecemasan-kecemasan yang dialami
Frida, pada waktu dirinya masih kecil, tidak tertampung lagi di dalam alam
ketidaksadarnya. Karena itu, kecemasan-kecemasan tersebut keluar ke alam
sadarnya dalam bentuk emosi atau prilaku-prilaku yang berlebihan, seperti
menggambar tanda X hitam, memoles badan dan seluruh benda-benda di dekatnya
dengan cat.
Kedua, mekanisme pertahanan ego represi ditampakkan juga oleh Frida,
setelah dirinya menerima berita duka, yakni papanya yang sangat disayanginya
meninggal dunia. Frida merasa sangat terpukul atas kejadian tersebut, karena
selama ini Frida selalu dimanja oleh papanya. Frida merasa sangat kehilangan
sosok yang didambakannya.
Berita kematian tersebut, menambah kecemasan yang sudah dialami Frida.
Sebelumnya Frida sudah kehilangan teman baiknya yakni Leon Trotsky. Hal ini
membuat kecemasan Frida semakin besar.
Aku tidak mau bersikap kasar. Ia anak kesayangan, dan kematian
ayah menakutkannya. Dan jangan lupa, kami baru saja melewati
cobaan yang berat, kehilangan karena terbunuhnya Leon (Mujica,
2004:688).
Setelah diterpa berbagai masalah seperti itu, prilaku Frida semakin tidak
wajar. Frida tidak dapat mengontrol dirinya lagi. Alam bawah sadar Frida tidak
dapat menampung lagi kecemasan-kecemasannya, karena baru saja dirinya
kehilangan salah satu kawan baiknya Leon Trotsky. Kadang tingkah laku Frida
normal seperti tidak terjadi apa-apa, tetapi di lain waktu prilaku Frida melewati
batas kewajaran.
Ia menjadi tak terduga sejak papa meninggal. Satu menit ia akan
penuh kegembiraan dan tertawa. “Hey, manita, ayo belanja,
membeli cincin untuk tiap jari atau barang loakan yang masih
bagus dan cantik.” Tapi kemudian ia akan mulai minum lagi dan
tidak satu orang pun yang bisa menghentikannya (Mujica,
2004:686).
Tidak hanya itu saja hal aneh yang dilakukan Frida. Frida juga merusak
seluruh boneka kesayangannya. Seluruh boneka yang sejak kecil di koleksinya.
Frida mematahkan bonekanya menjadi beberapa bagian.
Seluruh koleksinya pecah dan hancur berkeping-keping (Mujica,
2004:685).
Prilaku yang secara tidak sengaja dilakukan oleh Frida itu adalah
mekanisme pertahanan ego represi. Represi dipandang Freud sebagai mekanisme
pertahanan ego yang paling utama karena represi merupakan basis bagi
mekanisme-mekanisme pertahanan ego yang lainnya, serta paling berkaitan
langsung dengan peredaan kecemasan. Namun, apabila kecemasan-kecemasan itu
berlebihan dengan taraf tegangan yang ditimbulkan relatif tinggi dan tidak dapat
ditampung lagi, maka kecemasan-kecemasan tersebut akan keluar dalam bentuk
prilaku yang tidak wajar.
Prilaku-prilaku Frida yang tidak wajar tersebut adalah suatu bentuk
sekumpulan kecemasan-kecemasan yang mengendap ke dalam otak bawah sadar
Frida. Mekanisme pertahanan ego tersebut sangat berbahaya, karena apabila otak
bawah sadar mereka tidak mampu menampung lagi, maka kecemasan-kecemasan
tersebut akan timbul ke permukaan dalam bentuk reaksi emosi yang berlebihan.
Reaksi yang berlebihan itu timbul karena jebolnya pertahanan atau
ketidakmampuan pengendalian terhadap pikiran yang ditekan itu, sehingga
melepaskan emosi-emosi yang tertekan dan tidak diekspresikan itu. Reaksi emosi
yang berlebihan itu ditunjukkan oleh Frida dengan menghancurkan boneka-
bonekanya.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa Frida, dalam novel Frida karya Barbara Mujica, melakukan mekanisme
pertahanan ego represi tersebut dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang
tidak normal atau tidak wajar. Frida melakukan mekanisme pertahanan ego
represi itu sebanyak dua kali. Hal tersebut bisa dilihat ketika dirinya menggambar
tanda X hitam di seluruh kanvas miliknya atau ketika dirinya merusak seluruh
boneka kesayangannya. Frida melakukan perbuatan-perbuatan seperti itu, karena
alam bawah sadarnya tidak bisa menahan kecemasan-kecemasan yang dialaminya.
Perbuatan-perbuatan seperti itu sebagai wujud luapan emosi dari kecemasan-
kecemasannya yang dulu pernah diterimanya.
Pada waktu Frida melakukan mekanisme pertahanan ego represi yang
pertama. Dirinya mengalami keputusasaan dalam melukis. Ketika itu Frida tidak
menemukan paduan warna yang serasi untuk lukisannya. Karena tidak bisa
menemukan paduan warna yang serasi, Frida mengira tidak dapat melakukan apa-
apa dengan baik. Dan karena tidak bisa melakukan apa-apa dengan baik, Frida
takut tidak akan ada seeorang yang memperhatikan lagi. Frida merasa bahagia
apabila dikelilingi oleh banyak orang. Frida harus menjadi pusat perhatian. Frida
lebih baik dibenci apabila tidak diperhatikan. Hal itulah yang menjadi penyebab
Frida melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak wajar, seperti menggambar
tanda X hitam di seluruh kanvas miliknya atau menulis secara kasar di kanvas
dengan mencampurkan semua warna yang ada di dekatnya.
Pada saat Frida melakukan mekanisme pertahanan ego represi yang kedua,
dirinya merasa kehilangan sosok yang sangat didambakannya yakni papanya.
Ditambah lagi, sebelumnya Frida sudah kehilangan salah satu teman baiknya,
yakni Leon Trotsky. Kedua hal itulah yang menjadi penyebab Frida melakukan
perbuatan-perbuatan yang tidak wajar, seperti minum-minuman keras dan
merusak seluruh boneka kesayangannya.
Kecemasan Frida yang dialihkan dengan cara pergi ke sebuah gereja untuk
mengakui dosanya, membuktikan bahwa ego tokoh utama mampu meredakan
kecemasan akibat perbuatannya yang telah dilakukan dahulu, sehingga lebih
bermanfaat bagi perkembangan kepribadiannya dan orang lain. Perbuatan yang
telah dilakukan oleh Frida ini tidak merugikan orang lain maupun dirinya sendiri,
melainkan memberikan dampak positif kepada dirinya karena lebih mendekatkan
Frida kepada Tuhan. Dulu, Frida adalah seorang perempuan yang tidak mengenal
Tuhan, tetapi semenjak kejadian tersebut, Frida semakin sering pergi ke gereja.
Kedua, mekanisme pertahanan ego sublimasi ditunjukan oleh Frida,
setelah ketika dirinya mengalami kecelakaan bus. Sepanjang perjalanan hidupnya,
dirinya mengalami dua kecemasan yang paling serius, yakni pertama,
hubungannya dengan Diego Rivera, kemudian yang kedua kecelakaan bus. Akibat
dari kecelakaan tersebut, pinggul Frida retak di tiga bagian, dan tulang
belakangnya patah. Kecelakaan ini membuat Frida tidak dapat bergerak atau
berjalan kemana-mana. Hal itu membuat Frida mengalami kecemasan.
Kecemasan ini membuat dirinya, secara tidak sengaja, melakukan mekanisme
pertahanan ego sublimasi. Mekanisme pertahanan ego sublimasi ditunjukkan
Frida dengan cara melukis.
“Tapi aku harus memerhatikannya sekarang, karena sekarang
aku merasa ingin melukis” (Mujica, 2004:357).
Sikap tersebut tidak berlangsung lama. Rasa bosan dan jenuh mulai
menyerang Frida kembali. Frida tidak melakukan suatu pekerjaan pun selama di
Cuernavaca, selain menunggui suaminya, Diego Rivera, melukis dan
menemaninya untuk menghadiri acara-acara sosial. Hal tersebut membuat dirinya
merasa cemas dan melakukan mekanisme pertahanan ego sublimasi. Mekanisme
pertahanan ego ini dilakukan untuk mencegah atau meredakan kecemasan dengan
cara mengubah dan menyesuaikan dorongan primitif id yang menjadi penyebab
kecemasan ke dalam tingkah laku yang bisa diterima dan bahkan dihargai oleh
masyarakat. Adapun perbuatan Frida yang bertujuan untuk mencegah atau
meredakan kecemasannya ini adalah dengan melukis.
Tapi kemudian, Frida agak bosan di Cuernavaca. Tidak ada hal
yang yang dilakukannya kecuali menunggui Diego dan menghadiri
acara-acara sosial. Sehingga ia mulai melukis lagi sedikit untuk
mengabiskan waktu (Mujica, 2004:425—426).
Tidak hanya itu saja yang dialami Frida. Ketika Frida membicarakan
tentang kehamilannya, Diego malah tambah marah. Kecemasan yang dialami
Frida makin besar karena keadaan ini. Berikut kutipan yang membuktikan
kemarahan Diego.
Setiap aku membahasnya, Diego mengamuk dan mulai
membanting barang-barang. Kemarin, penyangga tongkat lampu
dari kuningan hampir saja mengenai kepalaku (Mujica, 2004:475).
Mekanisme pertahanan ego yang secara tidak sadar telah dilakukan Frida
tersebut adalah mekanisme pertahanan ego sublimasi. Sublimasi sering
dinyatakan melalui pelepasan perasaan-perasaan yang mengancam ego individu
dengan cara-cara yang dianggap bisa diterima oleh masyarakat. Adapun pelepasan
perasaan-perasaan yang dilakukan oleh Frida itu dialihkan dengan melukis.
Dengan melukis, membuktikan bahwa ego Frida mampu meredakan
kecemasannya sehingga lebih bermanfaat bagi perkembangan kepribadiannya dan
orang lain. Melalui melukis, Frida dapat menghibur dirinya sendiri dari masalah-
masalah yang sedang dihadapinya. Melalui melukis pulalah, Frida dapat
meredakan kecemasan yang sedang dialaminya, karena mengubah kecemasannya
menjadi sesuatu yang bisa diterima oleh masyarakat. Maka, tidak jarang tema-
tema dalam lukisan-lukisan Frida adalah mengambarkan perasaan hatinya pada
saat itu.
Kelima, mekanisme pertahanan ego sublimasi ditampakkan juga oleh
Frida setelah dirinya bercerai dengan Diego Rivera. Pada saat itu, Frida
mengalami kecemasan yang amat besar, yakni Frida tidak bisa meninggalkan
Diego bersama wanita-wanita lain. Frida masih mencintai Diego.
Di luar perceraian itu, Frida masih terpaku pada Diego. Ia selalu
meresahkannya. Sepanjang hari, ia mengatakan sesuatu seperti
apakah Diego memerhatikan dietnya (Mujica, 2004:654).
Karena itu, untuk meredakan kecemasan yang dialami oleh Frida, dirinya
kembali melukis. Frida selalu melukis, ketika dirinya dilanda kecemasan, karena
hanya pada saat itulah, dirinya bisa tampil baik. Hal itu terbukti pada kutipan
berikut.
Satu-satunya saat ia tampak baik-baik saja adalah saat melukis
(Mujica, 2004:656).
Pengubahan ini mudah dilakukan oleh Frida karena sumber asli baik
kecemasan neurotik maupun kecemasan moral adalah ketakutan terhadap
hukuman dari luar. Adapun hukuman dari luar yang membuat Frida menjadi takut
adalah dikeluarkan dari sekolah Preparatoria dan dimarahi oleh orang tuanya.
Frida berbuat mekanisme pertahanan ego tersebut hanyalah untuk menutupi
kecemasan yang sedang melanda dirinya. Karena itu, Frida mencari-cari alasan
yang masuk akal, yakni mengkambinghitamkan gurunya. .
Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa Frida, dalam novel Frida karya Barbara Mujica, melakukan mekanisme
pertahanan ego proyeksi tersebut dengan cara melimpahkan kecemasannya atau
kesalahannya kepada orang lain. Frida melakukan mekanisme pertahanan ego
proyeksi itu sebanyak satu kali. Hal tersebut bisa dilihat ketika dirinya
mengkambinghitamkan guru-guru di tempat Frida sekolah. Alasan Frida
melakukan mekanisme pertahanan ego tersebut karena dirinya mengalami
kecemasan. Adapun kecemasan yang dialami Frida adalah akan dikeluarkan dari
sekolah Preparatoria, dan dimarahi oleh orang tuanya. Frida sangat takut
mengenai hal tersebut, sehingga dirinya melakukan mekanisme pertahanan ego
proyeksi seperti itu.
Menurut adiknya, Cristina, Frida berani melakukan apa saja untuk
menyembunyikan kekurangannya. Adapun kekurangan Frida adalah jarang masuk
kelas, sehingga para guru sepakat ingin mengeluarkannya dari sekolah. Menurut
Frida, daripada kekurangannya diketahui oleh orang tuanya kemudian
menimbulkan kecemasan bagi dirinya, lebih baik Frida melimpahkan kecemasan
tersebut kepada guru-guru yang mengajarnya. Jadi, Frida mengkambinghitamkan
gurunya atau berbicara sebalinya, yakni guru-guru di sekolah tersebut bodoh dan
membosankan.
Kau mungkin akan berkata bahwa itu adalah sejenis pukulan bagi
Diego karena dia sangat suka dengan rambutnya (Mujica,
2004:645).
Selain itu, Frida takut apabila musuhnya, Estela, tahu mengenai hal ini,
dirinya akan diejek. Hal ini akan dijadikan senjata utamanya untuk mengejek
Frida. Frida akan malu apabila dia dipermalukan oleh Estela, didepan teman-
teman sekolahnya.
Di sisi lain, setiap kali aku berceloteh tentang sekolah, ia akan
menjadi gusar. Ia tidak ingin mendengar mengenai olok-olok
kejam Estela (Mujica, 2004:84).
Kecelakaan bus tersebut, membuat pinggul Frida retak di tiga bagian, dan
tulang belakangnya patah di beberapa tempat. hal ini juga membuat Frida merasa
cemas karena harus terbaring di tepat tidur, sampai pinggul dan tulang
belakangnya sembuh. Kecelakaan ini salah satu deritanya yang terbesar dalam
hidupnya. Sejalan dengan pernyataan di atas, menurut Syafiq (2004:12) Frida
mengalami kecelakaan terbesar dalam hidupnya yang membuatnya depresi, yakni
pertama hubungannya dengan suaminya, Diego, dan yang kedua kecelakaan bus
tersebut.
Kecemasan ini membuat Frida, secara tidak sadar, melakukan mekanisme
pertahanan ego rasionalisasi. Frida kembali membuat pernyataan-pernyataan
palsu. Frida berbicara kepada Maty, kakaknya yang menjaganya, bahwa dirinya
melihat kematian. Tidak hanya itu saja, Frida juga melihat kematian tersebut
mengelilingi dirinya dan berbicara kepadanya.
“Aku tidak hanya merasakannya,” katanya.
“Aku melihatnya. Kematian berdansa di sekeliling ruangan.
Kadang ia menaiki sepeda memutari tempat tidurku. Kadang ia
mengambil gitar dan memainkan nada-nada ceria. Nada yang
memikat, yang membuatmu ingin pergi ke arahnya dan
memeluknya.” (Mujica. 2004:335).
Agustina Reyna adalah saingan Frida karena dia adalah bekas pacar dari
Alex. Dia juga penyebab kecemasan yang dialami Frida. Frida merasa cemburu
terhadap Agustina Reyna. Frida juga tidak ingin tujuannya ke kota Prepa
diketahui oleh Agustina Reyna. Karena itu, ketika Agustina Reyna bertanya
kepada Frida, Frida berbohong.
“Apakah kau mencari Alex?”
“Tidak....,” Frida tergagap. “Aku...., aku hanya ingin melhat
siapa yang sedang ada disana.” (Mujica, 2004:351).
Frida berbuat seperti itu, karena dirinya merasa cemas. Frida cemas
keadaannya sekarang bisa merusak impiannya. Impian Frida sejak dulu adalah
Frida selalu ingin jadi pusat perhatian dan melakukan apa saja untuk
menyembunyikan kekurangannya (Wardani, 2004:xviii). Frida ingin dirinya
adalah mahluk yang paling sempurna. Frida tidak ingin ada yang tahu penyebab
kecacatan pada kakinya tersebut. Karena itu, Frida melakukan mekanisme
pertahanan ego seperti itu. Dirinya tidak ingin penyebab kecacatan pada kakinya
itu berasal dari kecelakaan bus dahulu. Frida ingin semua orang tahu bahwa hanya
setan yang mampu berbuat seperti itu. Frida berkata seperti itu, supaya bisa
mendongkrak popularitasnya di mata masyarakat.
Perbuatan yang secara tidak sengaja dilakukan Frida di atas menunjukkan
bahwa adanya upaya dirinya untuk memutarbalikan kenyataan. Dalam hal ini
kenyataan yang mengancam ego Frida melalui dalih atau alasan-alasan seperti
pada kutipan di atas sehingga seakan-akan masuk akal.
Upaya Frida yang membuat informasi-informasi palsu tersebut pada
dasarnya bersumber pada sesuatu yang menyebabkan kecemasan. Impuls-impuls
kecemasan ini masih tetap aktif dalam alam ketidaksadarannya. Dapat dikatakan
juga, Frida telah memperlihatkan pengambilan langkah-langkah yang tidak wajar.
Dalam hal ini, tujuan mekanisme pertahanan ego rasionalisasi yang dilakukan
Frida berhasil memuaskan impuls asli yang dibelanya itu.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa Frida, dalam novel Frida karya Barbara Mujica, melakukan mekanisme
pertahanan ego rasionalisasi tersebut dengan memutarbalikan kenyataan yang
mengancam ego, melalui dalih atau alasan-alasan tertentu yang seakan-akan
masuk akal, sehingga kenyataan tersebut tidak lagi mengancam ego individu yang
bersangkutan. Frida melakukan mekanisme pertahanan ego rasionalisasi itu
sebanyak empat kali. Adapun mekanisme pertahanan ego rasionalisasi yang
dilakukan Frida adalah berkata bohong atau berkhayal tentang sebuah wujud
seseorang yang tidak nyata.
Hal tersebut dapat dilihat ketika pada mekanisme pertahanan ego
rasionalisasi yang pertama, Frida berimajinasi bahwa putri Zoraida mempunyai
kaki yang sama dengan dirinya. padahal putri Zoraida itu adalah tokoh
khayalannya saja. Tetapi, Frida berkata seakan-akan tokoh impiannya tersebut
ada. Sebenarnya Frida berkata bohong seperti itu, karena takut diejek oleh Estela,
dan akan menimbulkan kecemasan bagi dirinya. Frida membuat pernyataan-
pernyataan bohong atau palsu seperti itu, supaya dirinya sejenak tidak mengingat
Estela lagi.
Pada waktu Frida melakukan mekanisme pertahanan ego rasionalisasi
yang kedua, ketika itu dirinya mengalami kecelakaan bus. Kecelakaan ini
merupakan salah satu derita terbesar dalam hidupnya. Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan Syafiq (2004:12), yakni Frida mengalami dua kecelakaan terbesar
yang membuatnya depresi, yakni pertama hubungannya dengan suaminya, Diego
Rivera, dan yang kedua adalah kecelakaan bus. Mengalami kecelakaan seperti itu,
dan secara otomatis menimbulkan kecemasan bagi dirinya, membuat Frida
melontarkan peryataan-pernyataan bohong, yakni berkata bahwa dirinya bisa
melihat kematian. Frida melihat kematian itu sedang berada di dekatnya dan siap
untuk menjemputnya. Frida berkata demikian, karena Frida mengalami pobia
terhadap kematian. Sejak kecil, Frida sanghat takut akan kematian. Tujuan Frida
melakukan perbuatan seperti itu adalah untuk meredakan kecemasannya.
Pada mekanisme pertahanan ego rasionalisasi yang ketiga, Frida ingin
kedatangannya ke kota Prepa untuk mencari Alex tidak diketahui oleh Agustina
Reyna. Frida tidak ingin kelihatan sebagai sosok perempuan yang mengejar-
ngejar pria. Frida ingin terlihat sebagai sosok perempuan yang dikejar-kejar pria,
karena Frida memiliki harga diri yang sangat tinggi. Karena itu, jika alasan Frida
datang ke kota itu diketahui oleh Agustina Reyna, maka akan menimbulkan
kecemasan bagi dirinya. Ketika Frida ditanyai alasannya oleh Agustina Reyna,
Frida menjawab bahwa tujuannya ke kota Prepa itu adalah untuk melihat-lihat
saja.
Pada mekanisme pertahanan ego rasionalisasi yang keempat, Frida
kembali membuat pernyataan-pernyataan palsu. Ketika itu, Frida mengalami
kesakitan pada kakinya. Frida menuduh bahwa ada setan yang menancapkan kaki
kurus itu kepada dirinya. Frida berbuat seperti itu, karena dirinya ingin menjadi
mahkluk yang sempurna. Frida juga akan berbuat apa saja untuk menutupi
kekurangan-kekurangan yang ada pada dirinya. maka, tidak heran jika Frida
berbuat seperti itu.
Tidak hanya itu saja yang dilakukan Frida. dirinya juga merusak semua
hadiah-hadiah yang diberikan muridnya kepada dirinya. Frida menghancurkannya
hingga menjadi hancur berantakan.
Ia mengambil pisau dan menancapkannya pada gambar ibu dan
anak milik Fanny. Ia merobek setiap gambar, dan merusak buket
bunga (Mujica, 2004:727).
Pada saat Frida diejek seperti itu, dia mengalami kecemasan. Frida
kemudian melakukan mekanisme pertahanan ego melakonkan. Mekanisme
pertahanan ego ini mengekspresikan emosi-emosi yang sudah lama tertekan
dengan membiarkan ekspresinya keluar. Adapun ekspresi yang dilakukan Frida
tersebut, berupa lontaran kata-kata pedas, sebagai jawaban atau pembalasan atas
nyanyian atau ejekan yang dilakukan Estela beserta teman-temannya.
“Lagu yang bodoh!” pekiknya. “Pasti lagu itu dibuat oleh
seorang idiot!” (Mujica, 2004:9).
Tidak hanya itu saja, yang dilakukan oleh Frida. Dirinya juga
menumpahkan botol cat berwarna merah ke mana-mana. Perbuatan yang telah
dilakukan oleh Frida ini, membuat suasana kelas semakin kacau.
Botol cat merah pecah, menyemprotkan cairan serupa darah ke
mana-mana (Mujica, 2004:21).
Perilaku yang dilakukan Frida inilah yang dinamakan dengan mekanisme
pertahanan ego melakonkan. Frida berbuat perbuatan seperti itu, karena dirinya
tidak ingin dipermalukan oleh Miss Caballero dan Estela. Bertolak dari pendapat
Wardani (2004:xii), bahwa Frida adalah sosok wanita yang ekspresif, eksplosif,
dan blak-blakan, dirinya lalu melawan Miss Caballero, dengan perbuatan-
perbuatan diatas. Frida tidak ingin menahan emosinya ke dalam alam
ketidaksadarannya. Frida membiarkan emosi-emosinya keluar apa adanya, tanpa
ada bentuk penahanan atau penutupan atas kecemasan yang diterimanya. Frida
tidak menghiraukan kata-kata yang diucapkan oleh Miss Caballero.
“Hentikan!” jerit Miss Caballero. Tapi Frida telah terlanjur
menggosokkan cat ke bajunya, tangannya, wajahnya, bahkan dari
kelopak matanya menetes cairan lengket kental berwarna merah
(Mujica, 2004:22).
Mendengar nyanyian seperti itu, membuat Frida marah. Frida, secara tidak
sadar, lalu melakukan mekanisme pertahanan ego melakonkan. Frida membalas
nyanyian yang ditujukan kepada dirinya dengan perkataan-perkataan kotor.
“Sundal!” teriaknya. “Aku jijik pada nyanyian bodohmu itu!”
(Mujica, 2004:95).
“Pergi!” Teriaknya.
“Dasar kau yang keluar dari pantat ibumu, bukan dari lubang
diantara kaki-kakinya (Mujica, 2004:95).
Tidak hanya itu saja yang dilakukan oleh Frida. Dirinya juga melawan
Estela, beserta teman-temannya, secara fisik. Frida berkelahi dengan salah dua
dari teman Estela, yakni Maria Del Carmen dan Ines. Dengan tanpa rasa takut,
Frida langsung memukul kedua teman dari Estela tersebut, hingga mereka jatuh di
atas kubangan lumpur.
Frida membalikkan tubuhnya dan berlari kencang, menghantam
Maria Del Carmen dan Ines, yang langsung jatuh ke atas lumpur
(Mujica, 2004:96).
Frida bisa berkata kasar, seperti sundal, karena dirinya meniru perkataan
ayahnya, Guillermo Kahlo, ketika sedang memarahi ibunya, Matilde Calderon.
Menurut Freud (dalam Corey, 2003:13), Perkembangan pada masa dini kanak-
kanak memiliki pengaruh yang kuat terhadap kepribadian di masa dewasa. Pada
masa itu, Frida suka meniru-niru perbuatan yang dilakukan oleh kedua orang
tuanya, baik dari tingkah laku maupun perkataannya. Jadi tingkah laku yang
dilakukan oleh kedua orang tuanya, terekam dan tersimpan di dalam alam
ketidaksadarnya. Inilah yang membentuk kepribadian Frida, ketika dirinya sudah
menjadi dewasa, yakni suka berbicara kasar.
Tidak lama setelah kejadian itu, ibunya meninggal dan ayahnya
lantas menikah lagi dengan seorang perempuan yang selalu
dikatakannya papa sebagai “anjing sundal” (Mujica, 2004:116).
Tidak hanya itu saja yang dilakukan Frida. Pada saat Cristina meminta
Frida supaya lebih tenang dan sabar menghadapi kenyataan seperti itu, Frida
malah memarahi Cristina.
“Kau pelacur berhati dingin,” ejeknya. “Kau tak tahu apa yang
ku rasakan!” dia mulai menjerit, “Mamii! Mamii! Aku
mencintaimu! Bawa aku bersamamu!” (Mujica. 2004:485).
Frida membiarkan emosinya ini keluar apa adanya, tetapi masih dalam
tahap kewajaran, dibandingkan seperti dirinya mekanisme pertahanan ego
melakonkan kepada Estela ataupun Miss Caballero. Hal ini karena, Frida masih
sayang kepada adiknya.
Keenam, mekanisme pertahanan ego melakonkan ditunjukkan juga oleh
Frida, pada saat dirinya bersama adiknya dan Graciela didatangi oleh para polisi.
Mereka bertiga dituduh para polisi tersebut membunuh Leon Trotsky. Berikut
kutipannya.
“iPuta comunista!” gertak polisi lain, yang ini kurus dengan
rambut keriting. “Komunis sundal! Kau ditangkap dengan tuduhan
pembunuhan!” (Mujica, 2004:675).
Dituduh seperti itu, Frida tidak terima. Apalagi salah satu dari polisi
tersebut telah menyikut dan memukul Graciela. Frida lalu menantang para polisi
tersebut. Frida membela diri bahwa dirinya beserta adiknya dan Graciela tidak
bersalah dengan kata-kata sedikit kasar dan meledek.
“Pembunuhan!” Frida tertawa keras, “Kau kira siapa yang kami
bunuh tolol? Kami! Tiga perempuan yang menghabiskan waktu
dengan enchiladas dan chiles rellenos. Lihat baik-baik nak!
Apakah kau melihat pembunuh?” (Mujica, 2004:675).
Frida bersikap seperti itu supaya menghindari atau tidak bertemu dengan
kecemasan yang sedang dihadapinya. Kecemasan yang sedang dihadapi Frida
adalah rasa malu kepada tamu-tamu undangannya, akibat ulah dari calon
suaminya, Diego Rivera. Apalagi hari itu adalah hari pernikahannya. Kecemasan
yang dialami Frida tidak hanya itu saja. Dirinya juga merasa dilecehkan dan
merasa tidak dianggap sebagai calon istri dari Diego Rivera.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa Frida, dalam novel Frida karya Barbara Mujica, melakukan mekanisme
pertahanan ego nomadisme tersebut dengan memindahkan dirinya sendiri dari
ancaman yang menimbulkan kecemasan. Frida melakukan mekanisme pertahanan
ego nomadisme itu sebanyak satu kali. Hal tersebut bisa dilihat ketika Frida pergi
meninggalkan acara pernikahannya. Ketika itu Frida marah kepada suaminya,
karena suaminya tersebut telah berbuat onar di perta pernikahannya. Ditambah
lagi, ketika Frida mencoba untuk menasehati suaminya, Frida malah kena marah.
Hal itu yang membuat ego Frida merasa cemas, karena Frida meras sudah tidak
dihiraukan lagi keberadaannya sebagai calon istri Dego Rivera. Untuk
mengurangi kecemasannya, Frida pergi meninggalkan Diego Rivera ke tempat
tinggalnya dulu di Avenda Londres. Frida berbuat demikian karena dirinya tidak
ingin berjumpa lagi dengan Diego Rivera.
Frida pada saat itu benar-benar ingin bertemu dengan Alex. Frida ingin
membicarakan masalah-masalah atau kecemasan yang dihadapinya kepada Alex,
karena Alex adalah pacar Frida pada waktu itu. Frida berusaha mendapatkan
nasihat dari Alex, supaya bisa meredakan kecemasan yang dihadapinya.
“Oh, kekasihku Alex, aku menghabiskan sepanjang malam
dengan muntah-muntah! Datanglah kemari” atau yang lain, “Oh
yang tersayang, Alex yang kucintai, perutku serasa terbakar
sampai aku kesulitan kentut! Aku searat ingin berjumpa
denganmu!” (Mujica. 2004:346).
Aku ingin pulang, tapi tak ada kesempatan, karena Diego akan
menyelesaikan lukisan-lukisan dindingnya sebelum September.
Bayinya akan lahir bulan Desember. Masalahnya adalah, aku ingin
pulang sekarang. Tak seorang pun mengerti bagaimana
mengurusku, dan Diego tidak menunjukkan ketertarikannya akan
kondisiku (Mujica, 2004:470).
Ketika berada dalam kondisi gelisah seperti itu, Frida secara tidak sengaja
melakukan mekanisme pertahanan ego simpatisme. Seseorang yang melakukan
mekanisme pertahanan ego seperti ini akan mencari teman dekatnya untuk
membicarakan masalah-masalah yang sedang dihadapinya. Frida pun memilih
suaminya, Diego, untuk membicarakan kecemasannya. Karena itu, Frida
mengirimkan surat kepada Diego perihal masalah kesehatan yang sedang
dialaminya. Frida butuh rasa kasih sayang dari Diego, dan berusaha untuk
mendapatkan kata-kata yang bisa membangkitkan gairah untuk menghadapinya.
Berikut kutipannya.
Musim panas tengah berlangsung. Siang terasa panjang dan
nyaman, tetapi Frida berada dalam penderitaan abadinya. Ia
menulis surat panjang, penuh dengan kata-kata manja, pada Diego,
dan gambaran detail tentang alat yang menyakitkan yang
ditemukan dokter khusus untuknya (Mujica, 2004:670).
Frida ingin dirinya diperhatikan oleh Diego. Walaupun pada saat itu Frida
telah diceraikan Diego, tetapi dirinya masih mencintai Diego. Tujuan Frida
menulis surat kepada Diego itu sebenarnya dirinya membutuhkan nasehat atau
sokongan emosi dari Diego. Walaupun jawaban surat dari Diego bukan
memberikan perhatian penuh pada kesehatan Frida, tetapi hal itu bisa sedikit
menghibur Frida dari kecemasan yang sedang dialaminya.
Diego telah menjawabnya. Tetapi bukannya memberi perhatian
penuh keharuan, suratnya malah berceloteh tentang bagaimana
proyek muralnya berjalan baik (Mujica, 2004:670—671).
5.2 Saran
Berkaitan dengan hal itu, saran yang disampaikan dalam penelitian ini
ditujukan kepada para sastrawan, para peneliti, dan pecinta sastra serta para
pendidik khususnya guru bahasa dan sastra indonesia. Adapun saran-sarannya
adalah sebagai berikut.
(1) Bagi sastrawan, mempelajari psikologi secara mendalam sangat penting.
Hal ini berguna untuk menajamkan pengamatan terhadap gejala-gejala
psikologi yang terjadi di kehidupan masyarakat. Hal ini berguna bagi
penulisan karya sastra.
(2) Bagi peneliti dan pemerhati sastra, perlu juga memperluas wawasan
psikologi. Hal ini bermanfaat untuk menajamkan analisis agar diperoleh
hasil yang lebih baik.
(3) Bagi pendidik, hasil penelitian yang dijadikan masukan bagi pengajaran
apresiasi sastra, terutama mengenai cara menganalisis suatu karya sastra,
khususnya aspek-aspek psikologisnya.
(4) Bagi orang yang mambaca sastra. Dengan mambaca karya sastra
diharapkan dapat memperkaya makna kehidupannya dan makna
kejiwaannya.
(5) Bagi perpus Unesa. Diharapkan untuk melengkapi buku-buku atau
literatur.
Peneliti sadar bahwa penulisan ini adalah langkah awal dalam kegiatan
analisis terhadap unsur-unsur psikologis, terutama Psikoanalisis Sigmund Freud,
tokoh utama novel Frida karya Barbara Mujica. Karena itu, diharapkan peneliti
selanjutnya bisa mengkaji novel ini dari cabang ilmu dari psikoanalisis atau biasa
disebut neo-Freudian. Adapun tokoh-tokohnya adalah Carl Gustav Jung, Alfred
Adler, Erik H. Erikson, Harry Stack Sullivan, Erich Fromm, Karen Horney, dan
Otto Rank.
Atau jika tidak, diharapkan peneliti selanjutnya mengkaji dari cabang ilmu
dari psikologi yang lainnya, seperti behaviorisme B. F. Skinner, atau humanistik
Abraham Maslow. Dengan demikian, kajian psikologi di indonesia, khususnya di
Unesa bisa semakin berkembang dan meluas.
DAFTAR PUSTAKA
Aminudin.
1990. Pengantar Apresiasi Sastra. Bandung: Algesindo.
Berry, Ruth.
2001. Seri Siapa Dia? FREUD, (penerjemah: Frans Kowa). Jakarta:
Erlangga.
Bertens, K.
2002. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Boeree, C. George.
2005. Personality Theories, (penerjemah: Inyiak R). Yogyakarta: Prisma.
Corey, Gerald.
2003. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, (penerjemah: E.
Koeswara). Bandung: PT Refika Aditama.
Darma, Budi.
2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat bahasa.
Darwati.
2002. “Mekanisme Pertahanan Ego Tokoh dalam Kumpulan Cerpen
Enam Mimpi karya Chiung Yao (Kajian Psikoanalisis)”. Skripsi
tidak diterbitkan. Surabaya: JBSA, Universitas Negeri Surabaya.
Endraswara, Suwandi.
2003. Metodologi Penelititan Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan
Aplikasi. Yogyakarta: Widyatama.
Freud, Sigmund.
2002. Psikoanalisis, (penerjemah: Ira Puspitarini). Yogyakarta: Ikon.
2003. Teori Seks, (penerjemah: Apri Danarto). Yogyakarta: Jendela.
Fudyartanta, RBS.
2005. Psikologi Kepribadian Neo Freudianisme. Yogyakarta: Zenith
Publisher.
Hardjana, Andre.
1994. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia.
Indarti, Titik.
2004. “Sikap Perempuan Bali terhadap Tradisi, Adat, Agam, dan
Dominasi Laki-laki dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini”
dalam Prasasti Vol 54, Bulan Agustus 2004. Surabaya: Unesa
Press
Jabrohim, Dkk.
2000. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita
Kartono, Kartini.
1989. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. Bandung: Mandar
Maju.
1996. Psikologi Umum. Bandung: Mandar Maju.
Koeswara, E.
1991. Teori Teori Kepribadian. Bandung: PT Eresco.
Milner, Max.
1992. Freud dan Interpretasi Sastra, (penerjemah: Sri Widaningsih dan
Laksmi). Jakarta: Intermasa.
Mujica, Barbara.
2004. Frida, (penerjemah: Nuraini Juliastuti). Bandung: Bentang
Nadjid, Moh.
2003. Apresiasi Prosa Fiksi. Surabaya: Unesa Press.
Nurgiyantoro, Burhan.
1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: UGM Press.
Palmquist, Stephen.
2005. Fondasi Psikologi Perkembangan, menyelami mimpi, mencapai
kematangan diri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rahmani.
2004. “Kecemasan Tokoh Firdaus dalam Novel Perempuan di Titik Nol
karya Nawal el-Saadawi (Kajian Psikoanalisis)”. Skripsi tidak
diterbitkan. Surabaya: JBSA, Universitas Negeri Surabaya.
Rahmawati, Tutik.
2005. “Novel Imipramine karya Nova Riyanti Yusuf (Kajian
Psikoanalisis Sigmund Freud)”. Skripsi tidak diterbitkan.
Surabaya: JBSA, Universitas Negeri Surabaya.
Rubiyanti, Ellysa.
2005. “Mimpi dan Dampak Mimpi bagi Tokoh Maya Amanita dalam
Novel Cala Ibi karya Nukila Amal. Skripsi tidak diterbitkan.
Surabaya: JBSA, Universitas Negeri Surabaya.
Satoto, Soediro.
1986. Metode Penelitan Sastra. Surakarta: Sebelas Maret University
Press.
Satriya, Andik.
2003. “Dinamika Kepribadian Tokoh Utama dalam Novel Melanie karya
V. Lestari (Tinjauan Psikologis)”. Skripsi tidak diterbitkan.
Surabaya: JBSA, Universitas Negeri Surabaya.
Syafiq, Muhammad.
2004. “Menggapai Pesona Frida Kahlo”. Artikel di harian Jawa Pos,
Tanggal 28 November 2004.
Wardani, Farah.
2004. “Membaca Frida: Sang Wanita dan Wanita Lain di Belakangnya”.
dalam Barbara Mujica. 2004. Frida. Yogyakarta: Bentang.
Wellek, Rene & Austin Warren.
1990. Teori Kesusastraan, (Penerjemah: Melani Budianta). Jakarta: PT
Gramedia.
KORPUS DATA
MEKANISME PERTAHANAN EGO TOKOH UTAMA
NOVEL FRIDA KARYA BARBARA MUJICA
MEKANISME DATA (KUTIPAN) HALAMAN
PERTAHANAN EGO
• “Sial! Sial! Sial! Aku tidak dapat melakukan
REPRESI apa-apa dengan baik!” tiba-tiba ia mengambil 361
kuas dan mulai menggambar X hitam di
seluruh kanvas.