You are on page 1of 80

MEKANISME PERTAHANAN EGO TOKOH UTAMA

NOVEL FRIDA
KARYA BARBARA MUJICA
(KAJIAN PSIKOANALISIS SIGMUND FREUD)

Oleh
MOCH. HENDY BAYU PRATAMA
NIM 022144017

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
2006
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sastra tidak lahir dari situasi kosong. Sastra diciptakan pengarang dengan
merujuk pada kenyataan dan masyarakat (Pradopo, 2003:113). Di dalam suatu
karya sastra menceritakan tentang masalah manusia, dan juga kemanusiaan. Lebih
lanjut lagi, karya sastra, menurut Endraswara (2003:96), merupakan produk dari
suatu kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada pada situasi setengah sadar
(subconsious). Setelah jelas, baru dituangkan ke dalam bentuk secara sadar
(conscious). Antara kesadaran dan ketidaksadaran, selalu mewarnai dalam proses
imajinasi pengarang. Oleh karena itu, karya sastra tidak terlepas dari psikologi.
Endraswara (2003:97) menyatakan bahwa psikologi dan sastra memiliki
hubungan fungsional karena sama-sama untuk mempelajari keadaan kejiwaan
orang lain, bedanya dalam psikologi gejala tersebut nyata, sedangkan dalam sastra
bersifat imajinatif. Lebih lanjut lagi menurut Darma (2004:130), sastra langsung
atau tidak, merupakan kepanjangan psikologi. Hal ini disebabkan masing-masing
tokoh dalam sastra mempunyai kepentingan dan masalah. Adanya kepentingan
dan adanya masalah inilah mereka saling berinteraksi, dari interaksi inilah
pembaca (penikmat) dapat menyimak watak masing-masing tokoh. Apa yang
dilakukan masing-masing tokoh, dipercakapan, dan dipikirkan, tidak lain adalah
pencerminan jiwa masing-masing tokoh.
Seperti yang dikemukakan oleh Wellek dan Austin (1990:90) dan
Hardjana (1994:60) bahwa ada empat kajian sastra yang berhubungan dengan
psikologi, yaitu (1) kajian mengenai psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai
pribadi, (2) kajian tentang proses kreatif penciptaan sastra yang dilakukan
pengarang, (3) kajian tentang ajaran dan hukum-hukum yang diterapkan pada
karya sastra, dan (4) kajian tentang pengaruh atau dampak sastra pada pembaca.
Lebih lanjut lagi, menurut Hardjana (1994:66) untuk membahas sastra dari
sudut pandang psikologi, seorang peneliti dapat mengamati tingkah laku tokoh-
tokoh tersebut sesuai dengan apa yang diketahuinya tentang jiwa manusia, maka
peneliti tersebut telah berhasil menggunakan teori-teori psikologi modern untuk
menjelaskan dan menafsirkan sebuah karya sastra.
Di Indonesia, kajian psikologi sastra perkembangannya lebih lambat
daripada sosiologi sastra atau ilmu-ilmu lain. Hal tersebut disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain (1) psikologi sastra seolah-olah hanya berkaitan
dengan manusia sebagai individu, kurang memberikan peranan terhadap subjek
transindividual, sehingga analisis dianggap sempit, (2) dikaitkan dengan tradisi
intelektual, teori-teori psikologi sangat terbatas, sehingga para sarjana sastra
kurang memiliki pemahaman terhadap bidang psikologi sastra, (3) relevansi
analisis psikologis kurang menarik minat khususnya di kalangan mahasiswa. Hal
itu dapat dibuktikan dengan sedikitnya skripsi dan karya tulis yang memanfaatkan
teori psikologi (Ratna, 2004:341).
Sebagai ilmu yang mempelajari semua tingkah laku manusia, kaidah
psikologi banyak diterapkan dalam karya sastra. Untuk itu, antara psikologi dan
karya sastra memiliki hubungan yang erat. Menurut Ratna (2004:343) Ada tiga
cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologi dengan
sastra, yaitu (1) memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis, (2)
memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra, dan
(3) memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca.
Teori psikologi yang digunakan di dalam penelitian ini adalah
psikoanalisis Sigmund Freud. Hubungan antara sastra dengan psikoanalisis ini
sangat erat. Milner (1992:31—33) menyatakan bahwa hubungan tersebut ada dua
jenis, yaitu: (1) kesamaan antara hasrat-hasrat yang tersembunyi pada setiap
manusia yang menyebabkan kahadiran karya sastra yang mampu menyentuh
perasaan kita, karena karya sastra itu memberikan jalan keluar terhadap hasrat; (2)
kesejajaran antara mimpi dan sastra, dalam hal ini ada hubungan antara elaborasi
karya sastra dengan proses elaborasi mimpi, yang oleh Freud disebut “pekerjaan
mimpi”. Baginya, mimpi seperti tulisan, yaitu sistem tanda yang menunjuk pada
sesuatu yang berbeda dengan tanda-tanda itu sendiri. keadaan orang yang
bermimpi adalah seperti penulis yang menyembunyikan pikiran-pikrannya.
Menurut Library Journal, novel Frida karya Barbara Mujica ini banyak
memuat aspek historis dan psikologis. Semula, novel ini adalah sebuah film. Judul
film tersebut sama dengan judul novel ini, yakni Frida. Film “Frida” tersebut,
dibintangi oleh Salma Hayek dan mendapatkan penghargaan dalam Academy
Award 2002 untuk kategori Best Score. Sosok Frida di dalam novel tersebut,
ditampilkan oleh pengarang sebagai sosok yang sedemikian kompleks, eksentrik,
dan dramatis.
Menurut Indarti (2004:265), dunia wanita tidak saja menarik untuk
diangkat dalam karya sastra, tetapi juga oleh ilmu-ilmu lain yang menggunakan
wanita sebagai objeknya. Berdasarkan pernyataan di atas, peneliti menganalisis
tokoh utama, yakni Frida, sebagai objek penelitian. Frida Kahlo, di dalam novel
tersebut, adalah seorang wanita yang memiliki berbagai masalah kehidupan baik
fisik maupun psikis, seperti pada usia tujuh tahun dia menderita polio yang
membuat kaki kanannya pincang, dan pada usia dewasa dia mengalami
kecelakaan, sehingga tulang belakang dan kaki kanannya harus diamputasi.
Adapun derita psikis terbesar yang dialami oleh Frida KahIo ini ketika ia menikah
dengan Diego Rivera. Suami sekaligus mentornya ini mempunyai kebiasaan
buruk, yakni suka tidur dengan semua perempuan atau dengan kata lain, ia
termasuk Satyromania. Satyromania ialah keinginan seks yang tidak kunjung
puas, patologis, dan luar biasa besarnya pada seorang pria, biasanya disebut pula
sebagai hyperseksualitas pria (Kartono, 1989:243). Frida mengalami kehancuran
psikis pada puncaknya, ketika ia mengetahui suaminya berselingkuh dengan
adiknya sendiri, yakni Cristina. Hal ini yang membuat hampir semua lukisan
Frida mengambarkan derita fisik dan luka hatinya (Syafiq, 2004:12).
Bertolak dari fenomena kontribusi kajian psikologi dalam sastra, maka
peneliti mengkaji novel Frida karya Barbara Mujica, dengan menggunakan kajian
psikoanalisis, terutama dinamika kepribadian Sigmund Freud. Alasan dipilihnya
novel Frida karya Barbara Mujica sebagai bahan kajian, antara lain, (1) novel
Frida karya Barbara Mujica sebelumnya pernah difilmkan dan mendapat
penghargaan dalam Academy Award 2002 untuk kategori best score, (2) Kirkus,
seorang pengamat bahasa dan sastra, mengatakan bahwa novel ini adalah buku
fiksi terbaik: kaya, menggetarkan, dan mampu menyelami suasana psikologis
tokoh-tokohnya, lebih lanjut lagi Library Journal menyatakan bahwa novel
tersebut disusun dengan sangat cerdas yang banyak memuat wawasan historis dan
psikologis. Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, maka peneliti
menggunakan pendekatan psikologis untuk mengkaji novel tersebut, (3) sejauh
sepengetahuan peneliti, belum ada penelitian yang memakai psikoanalisis untuk
mengkaji novel Frida karya Barbara Mujica.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, pembahasan penelitian ini dibatasi
pada mekanisme pertahanan ego. Adapun alasan peneliti mengkaji mekanisme
pertahanan ego pada tokoh utama menjadi fokus penelitian, antara lain, (1)
mekanisme pertahanan ego pada tokoh utama tersebut muncul secara dominan
dalam novel Frida karya Barbara Mujica, (2) mekanisme pertahanan ego
termasuk salah satu sumbangan utama yang bersejarah dari teori dan praktek
psikoanalisis Sigmund Freud (Corey, 2003:13). Maka, secara rinci rumusan
masalah terpilah menjadi sembilan, antara lain:
(1) bagaimana mekanisme pertahanan ego represi tokoh utama dalam novel
Frida karya Barbara Mujica?
(2) bagaimana mekanisme pertahanan ego sublimasi tokoh utama dalam novel
Frida karya Barbara Mujica?
(3) bagaimana mekanisme pertahanan ego proyeksi tokoh utama dalam novel
Frida karya Barbara Mujica?
(4) bagaimana mekanisme pertahanan ego displacement tokoh utama dalam
novel Frida karya Barbara Mujica?
(5) bagaimana mekanisme pertahanan ego rasionalisasi tokoh utama dalam
novel Frida karya Barbara Mujica?
(6) bagaimana mekanisme pertahanan ego reaksi formasi tokoh utama dalam
novel Frida karya Barbara Mujica?
(7) bagaimana mekanisme pertahanan ego melakonkan tokoh utama dalam
novel Frida karya Barbara Mujica?
(8) bagaimana mekanisme pertahanan ego nomadisme tokoh utama dalam
novel Frida karya Barbara Mujica?
(9) bagaimana mekanisme pertahanan ego simpatisme tokoh utama dalam
novel Frida karya Barbara Mujica?

1.3 Tujuan Penelitian


Sesuai dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan dalam penelitian ini
sebagai berikut:
(1) mendeskripsikan mekanisme pertahanan ego represi tokoh utama dalam
novel Frida karya Barbara Mujica.
(2) mendeskripsikan mekanisme pertahanan ego sublimasi tokoh utama dalam
novel Frida karya Barbara Mujica.
(3) mendeskripsikan mekanisme pertahanan ego proyeksi tokoh utama dalam
novel Frida karya Barbara Mujica.
(4) mendeskripsikan mekanisme pertahanan ego displacement tokoh utama
dalam novel Frida karya Barbara Mujica.
(5) mendeskripsikan mekanisme pertahanan ego rasionalisasi tokoh utama
dalam novel Frida karya Barbara Mujica.
(6) mendeskripsikan mekanisme pertahanan ego reaksi formasi tokoh utama
dalam novel Frida karya Barbara Mujica.
(7) mendeskripsikan mekanisme pertahanan ego melakonkan tokoh utama
dalam novel Frida karya Barbara Mujica.
(8) mendeskripsikan mekanisme pertahanan ego nomadisme tokoh utama
dalam novel Frida karya Barbara Mujica.
(9) mendeskripsikan mekanisme pertahanan ego simpatisme tokoh utama
dalam novel Frida karya Barbara Mujica.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Teoretis
Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
pengembangan teori sastra, khususnya teori psikologi yang dikembangkan oleh
Sigmund Freud, yakni psikoanalisis. Dalam hal ini, sumbangan pada psikoanalisis
dikhususkan pada konsep mekanisme pertahanan ego.

1.4.2 Manfaat Praktis


Secara praktis, manfaat dalam penelitian ini, antara lain. (1) Bagi guru
Bahasa dan Sastra Indonesia, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan
sebagai acuan tambahan mengenai kajian sastra, khususnya psikologi sastra. (2)
Bagi peneliti sastra, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan
bandingan. (3) Bagi mahasiswa pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, hasil
penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai literatur penambah wawasan
dalam bersastra.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penelitian sebelumnya
Menurut sepengetahuan peneliti, pada tingkat fakultas, pengkajian
terhadap novel Frida karya Barbara Mujica ini belum ada. Namun, peneliti yang
menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud ada tujuh orang. Berikut
gambaran beberapa peneliti yang menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud
untuk mengkaji sebuah novel atau kumpulan cerpen:
No Peneliti Judul Tahun Kategori Inti Bahasan
1 Darwati Mekanisme 2002 Skripsi Mendeskripsikan represi,
(98210031) Pertahanan Ego proyeksi, pembentukan
Tokoh dalam reaksi, proses fiksasi dan
Kumpulan Cerpen regresi dalam kumpulan
Enam Mimpi karya cerpen Enam Mimpi karya
Chiung Yao Chiung Yao.
(Kajian
Psikoanalisis).
2 Andik Satriya P. Dinamika 2003 Skripsi Mendeskripsikan naluri,
(99210036) Kepribadian Tokoh penyaluran dan
Utama dalam penggunaan energi psikis,
Novel Melanie kecemasan, dan
karya V. Lestari mekanisme pertahanan
(Tinjauan ego tokoh utama dalam
Psikologis). novel Melanie karya V.
Lestari.
3 Rahmani R. N. Kecemasan Tokoh 2004 Skripsi Mendeskripsikan
(99210002) Utama Firdaus kecemasan riel, neurotik,
dalam Novel dan moral pada tokoh
Perempuan di Titik Firdaus dalam Novel
Nol karya Nawal Perempuan di Titik Nol
El-Saadawi (Kajian karya Nawal El- Saadawi.
Psikoanasis)
4 Irene Dwi Tokoh Utama 2005 Skripsi Mendeskripsikan
Mayasari Mandar dalam kepribadian psikopat dan
(012144213) Novel Cinta dampak kepribadian
Seorang Psikopat psikopat pada tokoh
karya V. Lestari utama Mandar dalam
(Kajian novel Cinta Seorang
Psikoanalisis) Psikopat karya V. Lestari.
5 Tutik Novel Imipramine 2005 Skripsi Mendeskripsikan id, ego
Rahmawati. karya Nova Riyanti dan super ego tokoh
(00216413) Yusuf (Kajian utama dalam novel
Psikoanalisis Imipramine karya Nova
Sigmund Freud) Riyanti Yusuf.
6 Ellysa Rubiyanti Mimpi dan 2005 Skripsi Mendeskripsikan pola
(012144201) Dampak Mimpi mimpi dan dampak mimp
bagi Tokoh Maya tokoh Maya Amanita
Amanita dalam dalam novel Cala Ibi
Novel Cala Ibi karya Nukila Amal
karya Nukila Amal
7 Anis Choirun Analisis Mimpi 2003 Skripsi Mendeskripsikan pola
Niswah dan Realita Tokoh mimpi, pola realita dari
(98210057) Aston dalam Novel mimpi dan hubungan kuat
Pol karya Putu dan realita tokoh Aston
Wijaya (Kajian dalam novel Pol karya
Psikoanalisis Putu WIjaya
Sigmund Freud)

Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Darwati. Penelitian ini berbentuk


skripsi. Dalam penelitiannya, ia mengkaji kumpulan cerpen Enam Mimpi karya
Chiung Yao, dengan menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud, yakni
mekanisme pertahanan ego. Dalam penelitian tersebut, Darwati (2002:91—94)
menyimpulkan bahwa ego dalam tokoh yang ada pada kumpulan cerpen Enam
Mimpi karya Chiung Yao tidak dapat menanggulangi kecemasan dengan cara-cara
rasional. Sehingga dari hal tersebut akan kembali pada cara-cara yang realistik
yang diistilahkan sebagaimana mekanisme pertahanan ego. Berangkat dari
anggapan tersebut, peneliti menganalisis mekanisme pertahanan ego dalam
perkembangan kehidupan yang tercermin oleh tokoh-tokoh dalam kumpulan
cerpen Enam Mimpi karya Chiung Yao. Adapun mekanisme pertahanan ego yang
digunakan adalah bentuk penekanan atau Represi, proyeksi, pembentukan reaksi,
fiksasi dan regresi.
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Andik Satriya Penelitian ini
berbentuk skripsi. Dalam penelitiannya, ia mengkaji novel Melanie karya V.
Lestari, dengan menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud, yakni dinamika
kepribadian. Dalam penelitian tersebut, Satriya (2003:73—74) menyimpulkan
bahwa di dalam novel Melanie karya V. Lestari mengandung unsur-unsur
pskologi kepribadian yang diiktisarkan dalam rangka struktur, dinamika, dan
perkembangan kepribadian. Dinamika kepribadian tokoh utama dalam novel
Melanie karya V. Lestari, merupakan gerak atau kekuatan yang tercermin pada
sikap atau tingkah laku tokoh utama yang membedakan dengan tokoh lain.
Melalui dinamika kepribadian, memberikan ciri tersendiri bagi tokoh utama. Ciri
ini melekat pada tokoh utama. Ciri ini melekat pada tokoh utama yang berupa
sikap-sikap, sifat-sifat, dan nilai-nilai yang khas.
Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Rahmani Penelitian ini berbentuk
skripsi. Dalam penelitiannya, ia mengkaji novel Perempuan di Titik Nol karya
Nawal el-Saadawi, dengan menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud,
yakni kecemasan. Dalam penelitian tersebut, Rahmani (2004:74—75)
menyimpulkan bahwa bentuk kecemasan realitas Firdaus terlihat kebenciannya
pada kemiskinan. Proses kecemasan neurosis muncul karena ia tidak mampu
mereduksi keinginan-keinginan naluri-naluri yang ada pada dirinya, yakni
ekonominya. Adapun kecemasan moral pada tokoh Firdaus diperlihatkan secara
langsung. Rasa bersalah yang telah mengendap sekian lama diikuti dengan rasa
benci yang makin memuncak dan tak tertahankan, yang akhirnya terjadi
pembunuhan.
Keempat, penelitian yang dilakukan oleh Irene Dwi Mayasari. Penelitian
ini berbentuk skripsi. Dalam penelitiannya, ia mengkaji novel Cinta Seorang
Psikopat karya V. Lestari, dengan menggunakan teori psikoanalisis Sigmund
Freud, yakni kepribadian seorang psikopat. Dalam penelitian tersebut, Mayasari
(2005:49—51) menyimpulkan bahwa kepribadian psikopat tokoh utama Mandar
dalam novel Cinta Seorang Psikopat karya V. Lestari dikarenakan adanya
pengalaman masa lalu, dimana Mandar menganggap pengalaman tersebut
merupakan peristiwa yang patut ditiru. Kepribadian psikopat Mandar dicerminkan
dengan adanya tingkah laku dan relasi sosial yang selalu asosial, tanpa perasaan,
emosinya tidak matang, tidak bertanggung jawab, serta sering dicirikan dengan
penyimpangan seksualitas. Dampak kepribadian psikopat tokoh utama Mandar
berada pada kondisi dikucilkan masyarakat, karena Mandar dianggap manusia
jahat dan tidak waras.
Kelima, penelitian yang dilakukan oleh Tutik Rahmawati. Penelitian ini
berbentuk skripsi. Dalam penelitiannya, ia mengkaji novel Imipramine karya
Nova Riyanti Yusuf dengan menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud,
yakni struktur kepribadian (id, ego, dan superego). Dalam penelitian tersebut,
Rahmawati (2005:48—49) menyimpulkan novel Imipramine karya Nova Riyanti
Yusuf ini menyuguhkan masalah yang sangat kompleks. Berbagai kemelut batin
dalam tiap-tiap tokohnya, yang disuguhkan pengarang Nova Riyanti Yusuf pada
novelnya, yaitu gejolak batin sampai pada titik sebuah konflik.
Keenam, penelitian yang dilakukan oleh Ellysa Rubiyanti. Penelitian ini
berbentuk skripsi. Dalam penelitiannya, ia mengkaji novel Cala Ibi karya Nukila
Amal dengan menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud, yakni analisis
mimpi. Dalam penelitian tersebut, Rubiyanti (2005:52) menyimpulkan dalam
analisisnya tentunya tidak bisa dilepaskan dari pola mimpi tokoh Maya Amanita
sendiri, yang didalamnya berkaitan dengan hubungan antara alam sadar dengan
mimpi tokoh Maya Amanita, keterkaitan simbol dan mimpi tokoh Maya Amanita,
dan keterkaitan mimpi tokoh Maya Amanita dengan id, ego, dan superego.
Namun, tentunya mimpi-mimpi yang dialami Maya Amanita tersebut berdampak
bagi dirinya.
Ketujuh, penelitian yang dilakukan oleh Anis Choirun Niswah. Penelitian
ini berbentuk skripsi. Dalam penelitiannya, ia mengkaji novel Pol karya Putu
Wijaya dengan menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud, yakni analisis
mimpi. Dalam penelitian tersebut, Niswah (2003:66—68) menyimpulkan bahwa
antara mimpi dan realita tokoh Aston dalam novel Pol karya Putu Wijaya,
mempuyai hubungan satu dengan yang lainnya. Dari hubungan mimpi dan realita
tersebut, tercipta dampak psikis yang bukan hanya dialami oleh tokoh Aston dan
dirinya sendiri, tetapi juga oleh keluarga dan masyarakat sekelilingnya. Dampak
psikis tersebut terlihat dari rangkaian perjalanan yang melatarbelakangi dan
sedang dihadapi oleh tokoh Aston serta bagaimaan tokoh tersebut menyikapinya.
Berdasarkan uraian-uraian singkat penelitian tentang kajian psikoanalisis,
hal tersebut sangat berguna bagi penulis, karena dengan adanya penelitian-
penelitian tersebut, peneliti dapat mengetahui lebih dalam seluk-beluk tentang
teori psikoanalisis Sigmund Freud.

2.2 Tokoh Utama


Dalam karya sastra, terdapat tokoh yang menjadi pusat cerita, tokoh inilah
yang disebut tokoh utama. Nurgiyantoro (1995:177) menyatakan bahwa tokoh
utama adalah tokoh yang paling banyak diceritakan sebagai pelaku kejadian
maupun dikenai kejadian. Adapun Aminudin (1990:80) menyatakan bahwa tokoh
utama adalah tokoh yang paling banyak diberi komentar, dan dibicarakan oleh
pengarangnya.
Adapun menurut Najid (2003:23), rumusan tokoh utama dapat ditinjau
melalui tiga segmen, antara lain: (1) frekuensi muncul, tokoh utama umumnya
sering atau bahkan selalu muncul dalam setiap episode, sedangkan tokoh
bawahan, sedikit sekali kemunculannya; (2) komentar pengarang, tokoh utama
adalah tokoh yang sering dikomentari dan dibicarakan oleh pengarang cerita,
sedangkan tokoh tambahan dikomentari atau dibicarakan hanya sekadarnya saja;
dan (3) judul cerita, tokoh utama biasanya dijadikan sebagai judul cerita.
Berdasarkan paparan diatas, mengenai tokoh utama, maka yang digunakan
sebagai acuan pada penelitian ini yaitu rumusan tokoh utama yang ditulis oleh
Najid. Alasan digunakannya tulisan Najid mengenai tokoh utama, yakni: paparan
mengenai tokoh utama yang diungkapkan oleh Najid lebih mengena, paparan
yang diungkapkan Najid mengenai tokoh utama lebih lengkap dibanding dengan
paparan mengenai tokoh utama yang diungkapkan oleh para praktisi sastra yang
lain.

2.3 Teori Psikoanalisis Sigmund Freud


Teori psikologi yang paling banyak diacu dalam pendekatan psikologi atau
yang paling dominan dalam analisis karya sastra adalah teori Psikoanalisis
Sigmund Freud (Ratna, 2004:62 dan 344). Menurut Freud (2002:3), psikoanalisis
ialah sebuah metode perawatan medis bagi orang-orang yang menderita gangguan
syaraf. Psikoanalisis merupakan suatu jenis terapi yang bertujuan untuk
mengobati seseorang yang mengalami penyimpangan mental dan syaraf.
Lebih lanjut lagi, menurut Fudyartanta (2005:17) psikoanalisis merupakan
psikologi ketidak-sadaran, perhatian-perhatiannya tertuju ke arah bidang-bidang
motivasi, emosi, konflik, simpton-simpton neurotik, mimpi-mimpi, dan sifat-sifat
karakter. Psikoanalisis dikembangkan oleh Sigmund Freud ketika ia menangani
neurosis dan masalah mental lainnya.
Menurut Corey (2003:13), sumbangan-sumbangan utama yang bersejarah
dari teori dan praktek psikoanalitik mencakup:
(1) Kehidupan mental individu menjadi bisa dipahami, dan pemahaman
terhadap sifat manusia bisa diterapkan pada peredaan penderitaan
manusia.
(2) Tingkah laku diketahui sering ditentukan oleh faktor-faktor tak sadar.
(3) Perkembangan pada masa dini kanak-kanak memiliki pengaruh yang kuat
terhadap kepribadian di masa dewasa.
(4) Teori psikoanalitik menyediakan kerangka kerja yang berharga untuk
memahami cara-cara yang digunakan oleh individu dalam mengatasi
kecemasan dengan mengandaikan adanya mekanisme-mekanisme yang
bekerja untuk menghindari luapan kecemasan.
(5) Pendekatan psikoanalitik telah memberikan cara-cara mencari keterangan
dari ketaksadaran melalui analisis atas mimpi-mimpi, resistensi-resistensi,
dan transferensi-transferensi
Dalam teori psikoanalisis yang dipakainya, kepribadian dipandang sebagai
suatu struktur yang terdiri dari tiga unsur dan sistem, yakni Id (Das Es), Ego (Das
Ich), dan Superego (Das Uber Ich) (Koeswara, 1991:32; Poduska, 2000:78).
Ketiga sistem kepribadian ini satu sama lain saling berkaitan serta membentuk
totalitas dan tingkah laku manusia yang tak lain merupakan produk interaksi
ketiganya. Id adalah komponen biologis, ego adalah komponen psikologis,
sedangkan superego merupakan komponen sosial (Corey, 2003:14). Berikut akan
dijelaskan lebih lanjut mengenai ketiga sistem kepribadian menurut teori
psikoanalisis Sigmund Freud.
2.3.1 Id
Id adalah sistem kepribadian yang asli atau sistem kepribadian yang paling
dasar, sistem yang di dalamnya terdapat naluri bawaan (Koeswara, 1991:32).
Adapun menurut Palmquist (2005:105), id ialah bagian bawah sadar psikis yang
berusaha memenuhi dorongan naluriah dasar. Lebih lanjut lagi menurut Corey
(2003:14), id merupakan tempat bersemayam naluri-naluri. Id kurang
terorganisasi, buta, menuntut, mendesak, dan bersifat tidak sadar. Id hanya timbul
oleh kesenangan tanpa disadari oleh nilai, etika, dan akhlak. Dengan beroperasi
pada prinsip kesenangan ini, id merupakan sumber semua energi psikis, yakni
libido, dan pada dasarnya bersifat seksual.
Id adalah aspek biologis dan merupakan sistem original dalam kepribadian
dan dari aspek ini kedua aspek lain tumbuh. Id hanya memburu hawa nafsunya
saja tanpa menilai hal tersebut baik atau buruk. Ia merupakan bagian
ketidaksadaran yang primitif di dalam pikiran, yang terlahir bersama individu
(Berry, 2001:75).
Id bekerja sejalan dengan prinsip-prinsip kenikmatan, yang bisa dipahami
sebagai dorongan untuk selalu memenuhi kebutuhan dengan serta merta. Fungsi
satu-satunya id adalah untuk mengusahakan segera tersalurnya kumpulan-
kumpulan energi atau ketegangan yang dicurahkan dalam jasadnya oleh
rangsangan-rangsangan, baik dari dalam maupun dari luar. Ia bertugas
menerjemahkan kebutuhan satu organisme menjadi daya-daya motivasional, yang
dengan kata lain disebut dengan insting atau nafsu. Freud juga menyebutnya
dengan kebutuhan. Penerjemahan dari kebutuhan menjadi keinginan ini disebut
dengan proses primer (Boeree, 2005:38).
2.3.2 Ego
Ego berbeda dengan Id. Ego ialah sistem kepribadian yang bertindak
sebagai pengarah individu kepada objek dari kenyataan, dan menjalankan
fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan (Koeswara 1991:33—34). Adapun
menurut Ahmadi (1992:152), ego tampak sebagai pikiran dan pertimbangan. Ego
bertindak sebagai lawan dari Id. Ego timbul karena adanya kebutuhan-kebutuhan
organisme memerlukan transaksi-transaksi yang sesuai dengan dunia kenyataan.
Ego memiliki kontak dengan dunia eksternal dari kenyataan. Ego adalah
eksekutif dari kepribadian yang memerintah, mengendalikan, dan mengatur
(Corey, 2003:14). Ego merupakan tempat berasalnya kesadaran, biarpun tak
semua fungsinya bisa dibawa keluar dengan sadar (Berry, 2001:76).
Ego merupakan aspek psikologis yang timbul karena kebutuhan organisme
untuk berhubungan secara baik dengan dunia kenyataan. Ego dapat membedakan
sesuatu yang hanya ada di dalam dunia batin dan sesuatu yang ada di dunia luar.
Peran utama ego adalah menjadi jembatan antara kebutuhan insting dengan
keadaan lingkungan, demi kepentingan adanya organisme.
Menurut Bertens (2002:71) tugas ego adalah untuk mempertahankan
kepribadiannya sendiri dan menjamin penyesuaian dengan alam sekitar. Ego juga
mengontrol apa yang mau masuk kesadaran dan apa yang akan dikerjakannya.
Ego menghubungkan organisme dengan realitas dunia melalui alam sadar yang
dia tempati, dan dia mencari objek-objek untuk memuaskan keinginan dan nafsu
yang dimunculkan id untuk merepresentasikan apa yang dibutuhkan organisme.
Proses penyelesaian ini disebut dengan proses sekunder (Boeree, 2005:39).

2.3.3 Superego
Superego ialah sistem kepribadian yang berisikan nilai-nilai dan aturan-
aturan yang sifatnya evaluatif (Koeswara, 1991:34—35). Ia bertindak sebagai
pengarah atau hakim bagi egonya. Menurut Kartono (1996:129) superego adalah
zat yang paling tinggi pada diri manusia, yang memberikan garis-garis
pengarahan ethis dan norma-norma yang harus dianut. Superego lebih merupakan
kesempurnaan daripada kesenangan, karena itu dapat dianggap sebagai aspek
moral kepribadian.
Adapun superego menurut Palmquist (2004:103), adalah bagian dari jiwa
manusia yang dihasilkan dalam menanggapi pengaruh orangtua, guru, dan figur-
figur otoritas lainnya pada masa anak-anak. Inilah gudang psiki bagi semua
pandangan tentang yang benar dan yang salah.
Superego adalah cabang moral atau hukum dari kepribadian. Superego
merepresentasikan hal yang ideal, dan mendorongnya bukan kepada kesenangan,
melainkan kepada kesempurnaan. Superego berkaitan dengan imbalan-imbalan
dan hukuman-hukuman. Imbalan-imbalannya adalah perasaan-perasaan bangga
dan mencintai diri, sedangkan hukuman-hukumannya adalah perasaan-perasaan
berdosa dan rendah diri (Corey, 2003:15).
Lebih lanjut lagi, Menurut Hall dan Gardner (1993:67—68) Fungsi utama
dari superego antara lain (1) sebagai pengendali dorongan-dorongan atau impuls-
impuls naluri id agar impuls-impuls tersebut disalurkan dalam cara atau bentuk
yang dapat diterima oleh masyarakat; (2) mengarahkan ego pada tujuan-tujuan
yang sesuai dengan moral ketimbang dengan kenyataan; dan (3) mendorong
individu kepada kesempurnaan. Superego senantiasa memaksa ego untuk
menekan hasrat-hasrat yang berbeda ke alam bawah sadar. Superego, bersama
dengan id, berada di alam bawah sadar.
Jadi superego cenderung untuk menentang, baik ego maupun id, dan
membuat dunia menurut konsepsi yang ideal. Ketiga aspek tersebut meski
memiliki karakteristik sendiri dalam prakteknya, namun ketiganya selalu
berinteraksi secara dinamis.

2.4 Mekanisme Pertahanan Ego


Mekanisme pertahahan ego termasuk dalam teori psikoanalisis Sigmund
Freud. Timbulnya mekanisme pertahanan ego tersebut, karena adanya kecemasan-
kecemasan yang dirasakan individu. Maka, mekanisme pertahanan ego terkait
dengan kecemasan individu. Adapun definisi kecemasan ialah perasaan terjepit
atau terancam, ketika terjadi konflik yang menguasai ego (Boeree, 2005:42).
Kecemasan-kecemasan ini ditimbulkan oleh ketegangan yang datang dari luar.
Sigmund Freud (dalam Koeswara, 1991:46) sendiri mengartikan
mekanisme pertahanan ego sebagai strategi yang digunakan individu untuk
mencegah kemunculan terbuka dari dorongan-dorongan id maupun untuk
menghadapi tekanan superego atas ego, dengan tujuan agar kecemasan bisa
dikurangi atau diredakan.
Mekanisme-mekanisme pertahanan ego itu tidak selalu patologis, dan bisa
memiliki nilai penyesuaian jika tidak menjadi suatu gaya hidup untuk
menghindari kenyataan. Mekanisme-mekanisme pertahanan ego yang digunakan
oleh individu bergantung pada taraf perkembangan dan derajat kecemasan yang
dialaminya (Corey, 2003:18).
Lebih lanjut lagi, semua mekanisme pertahanan ego memiliki dua ciri
umum, yakni (1) mereka menyangkal, memalsukan atau mendistorsikan
kenyataan, dan (2) mereka bekerja secara tidak sadar sehingga orangnya tidak
tahu apa yang terjadi (Hall & Gardner, 1993:86).
Menurut Freud, sebenarnya ada bermacam bentuk mekanisme pertahanan
ego yang umum dijumpai, tetapi peneliti hanya mengambil sembilan macam saja,
yakni: (1) represi, (2) sublimasi, (3) proyeksi, (4) displacement, (5) rasionalisasi,
(6) pembentukan reaksi atau reaksi formasi, (7) melakonkan, (8) nomadisme, dan
(9) simpatisme. Alasan peneliti menggunakan sembilan macam bentuk
mekanisme pertahanan ego tersebut, karena kesembilan mekanisme pertahanan
ego itulah yang timbul pada tokoh utama dalam novel Frida karya Barbara
Mujica, Beberapa macam mekanisme pertahanan ego yang digunakan dalam
penelitian ini antara lain sebagai berikut.
2.4.1 Represi
Represi merupakan mekanisme pertahanan yang paling umum dan
merupakan dasar bagi banyak teori Freud (Berry, 2001:79; Hall & Gardner,
1993:87). Menurut Freud (2003:166), represi ialah sebentuk upaya pembuangan
setiap bentuk impuls, ingatan, atau pengalaman yang menyakitkan atau
memalukan dan menimbulkan kecemasan tingkat tinggi. Adapun menurut
Koeswara (1991:46), represi ialah mekanisme yang dilakukan oleh ego untuk
meredakan kecemasan dengan jalan menekan dorongan-dorongan atau keinginan-
keinginan yang menjadi penyebab kecemasan tersebut kedalam alam tak sadar.
Lebih lanjut lagi, menurut Poduska (2000:122), represi ialah suatu
pertahanan dengan mana anda secara otomatis mengubur pikiran-pikiran atau
keinginan yang tak dapat diterima dalam ketaksadaran anda. Kecemasan-
kecemasan tersebut dikubur ke alam bawah sadar seseorang. Sedangkan menurut
Corey (2003:19—20) represi merupakan isi kesadaran yang traumatis atau bisa
membangkitkan kecemasan, mendorong kenyataan yang tidak bisa diterima
kepada ketaksadaran, atau menjadi tidak menyadari hal-hal yang menyakitkan.
Mekanisme pertahanan ego ini sangat berbahaya. Apabila otak bawah sadar
mereka tidak mampu menampung lagi, maka kecemasan-kecemasan tersebut akan
timbul ke permukaan dalam bentuk reaksi emosi yang berlebihan.

2.4.2 Sublimasi
Menurut Freud (2003:166), sublimasi ialah suatu proses bawah sadar
dimana libido ditunjukkan atau diubah arahnya ke dalam bentuk penyaluran yang
lebih dapat diterima. Adapun menurut Koeswara (1991:46—47), sublimasi ialah
mekanisme pertahanan ego yang ditujukan untuk mencegah dan atau meredakan
kecemasan dengan cara mengubah dan menyesuaikan dorongan primitif Id yang
menjadi penyebab kecemasan ke dalam bentuk (tingkah laku) yang bisa diterima
oleh masyarakat.
Lebih lanjut lagi, menurut Corey (2003:19) sublimasi ialah suatu
mekanisme pertahanan ego yang menggunakan jalan keluar yang lebih tinggi atau
yang secara sosial lebih dapat diterima bagi dorongan-dorongannya. Sedangkan
menurut Poduska (2000:120) sublimasi suatu mekanisme pertahanan ego yang
melepaskan unek-unek perasaan, terutama yang bersifat seksual dalam suatu cara
yang tidak bersifat seksual. Sublimasi selalu mengubah berbagai rangsangan yang
tidak diterima, apakah itu dalam bentuk seks, kemarahan, ketakutan atau bentuk
lainnya, ke dalam bentuk-bentuk yang bisa diterima secara sosial (Boeree,
2005:54). Mekanisme pertahanan ego seperti ini sangat bermanfaat, karena tidak
ada pihak yang merasa dirugikan, baik individu itu sendiri ataupun orang lain.

2.4.3 Proyeksi
Menurut Koeswara (1991:47), proyeksi ialah suatu mekanisme pertahanan
ego yang mengalihkan dorongan, sikap, atau tingkah laku yang menimbulkan
kecemasan kepada orang lain. Adapun menurut Berry (2001:80), proyeksi ialah
suatu mekanisme yang menimpakan kesalahan dan dorongan tabu kepada orang
lain.
Lebih lanjut lagi, menurut Poduska (2000:121) proyeksi ialah suatu
mekanisme pertahanan dengan mana anda mempertahankan diri dari pikiran-
pikiran dan keinginan-keinginan yang tak dapat diterima, dengan menyatakan hal
tersebut kepada orang lain. Mekanisme pertahanan ego proyeksi ini selalu
mengalamatkan sifat-sifat tertentu yang tidak bisa diterima oleh ego kepada orang
lain (Corey, 2003:18). Mekanisme pertahanan ego ini meliputi kecenderungan
untuk melihat hasrat anda yang tidak bisa diterima oleh orang lain.
Proyeksi sering kali melayani tujuan rangkap. Ia mereduksikan kecemasan
dengan cara menggantikan suatu bahaya besar dengan bahaya yang lebih ringan,
dan memungkinkan orang yang melakukan proyeksi mengungkapkan impuls-
impulsnya dengan berkedok mempertahankan diri dari musuh-musuhnya (Hall &
Gardner, 1993:88).
Mekanisme pertahanan ego ini merupakan kebalikan dari melawan diri
sendiri (Boeree, 2005:49). Individu yang secara tidak sadar melakukan
mekanisme pertahanan ego seperti ini, biasanya berbicara sebaliknya atau
pengkambinghitaman kepada orang atau kelompok lain.

2.4.4 Displacement
Menurut Koeswara (1991:47), displacement ialah pengungkapan dorongan
yang menimbulkan kecemasan kepada objek atau individu yang kurang berbahaya
atau kurang mengancam dibandingkan dengan objek atau individu yang semula.
Adapun menurut Corey (2003:19) displacement adalah suatu mekanisme
pertahanan ego yang mengarahkan energi kepada objek atau orang lain apabila
objek asal atau orang yang sesungguhnya, tidak bisa dijangkau.
Lebih lanjut lagi, menurut Poduska (2000:119) displacement ialah
mekanisme pertahanan ego dengan mana anda melepaskan gerak-gerik emosi
yang asli, dan sumber pemindahan ini dianggap sebagai suatu target yang aman.
Mekanisme pertahanan ego ini, melimpahkan kecemasan yang menimpa
seseorang kepada orang lain yang lebih rendah kedudukannya.

2.4.5 Rasionalisasi
Menurut Poduska (2000:116) rasionalisasi ialah suatu mekanisme
pertahanan dengan mana anda berusaha untuk membenarkan tindakan-tindakan
anda terhadap anda sendiri ataupun orang lain. Adapun menurut Koeswara
(1991:47—48), rasionalisasi ialah menyelewengkan atau memutarbalikkan
kenyataan yang mengancam ego, melalui dalih atau alasan tertentu yang seakan-
akan masuk akal, sehingga kenyataan tersebut tidak lagi mengancam ego individu
yang bersangkutan.
Lebih lanjut lagi, menurut Berry (2001:82), rasionalisasi ialah mencari
pembenaran atau alasan bagi prilakunya, sehingga manjadi lebih bisa diterima
oleh ego daripada alasan yang sebenarnya. Sedangkan menurut Boeree (2005:53)
rasionalisasi ialah pendistorsian kognitif terhadap “kenyataan” dengan tujuan
kenyataan tersebut tidak lagi memberi kesan menakutkan.
Rasionalisasi selalu menciptakan alasan-alasan yang “baik” guna
menghindarkan ego dari cedera, atau memalsukan diri sehingga kenyataan yang
mengecewakan menjadi tidak begitu menyakitkan (Corey, 2003:19). Seseorang
yang melakukan mekanisme pertahanan ego seperti ini, akan membuat informasi-
informasi palsu atau dibuat-buat sendiri.

2.4.6 Pembentukan Reaksi atau Reaksi Formasi


Menurut Hall dan Gardner (1993:88) pembentukan reaksi atau reaksi
formasi ialah suatu mekanisme pertahanan ego yang mengantikan suatu impuls
atau perasaan yang menimbulkan kecemasan dengan lawan atau kebalikannya
dalam kesadarannya. Adapun menurut Koeswara (1991:48) ialah mekanisme
pertahanan ego yang mengendalikan dorongan-dorongan primitif agar tidak
muncul sambil secara sadar mengungkapkan tingkah laku sebaliknya.
Lebih lanjut lagi menurut Corey (2003:20) reaksi formasi ialah mekanisme
pertahanan ego yang melakukan tindakan berlawanan dengan hasrat-hasrat tak
sadar. Jika perasaan-perasaan yang awal dapat menimbulkan ancaman, maka
seseorang menampilkan tingkah laku yang berlawanan guna menyangkal
perasaan-perasaan yang bisa menimbulkan ancaman itu.
Reaksi formasi ini melakukan kebalikan dari ketaksadaran, pikiran, dan
keinginan-keinginan yang tidak dapat diterima (Poduska, 2000:121). Reaksi
formasi ini melakukan perbuatan yang sebaliknya, apabila perbuatan yang
pertama itu, bisa menimbulkan kecemasan yang mengancam dirinya.

2.4.7 Melakonkan
Menurut Poduska (2000:122), melakonkan ialah suatu mekanisme
pertahanan ego yang untuk meredakan atau menghilangkan kecemasan tersebut,
dengan cara membiarkan ekspresinya keluar. Melakonkan merupakan kebalikan
dari represi yang menekan dorongan-dorongan atau keinginan-keinginan yang
menjadi penyebab kecemasan tersebut ke dalam alam tak sadar. Mekanisme
pertahanan ego ini membiarkan ekspresinya mengalir apa adanya. Tidak ada
bentuk penahanan atau penutupan atas kecemasan yang diterimanya.

2.4.8 Nomadisme
Menurut Poduska (2000:116), nomadisme ialah suatu mekanisme
pertahanan ego, yang untuk meredakan atau menghilangkan kecemasan tersebut,
dengan cara berusaha lepas dari kenyataan. Dalam menggunakan mekanisme
pertahanan ego seperti ini, dia berusaha mengurangi kecemasan dengan
memindahkan diri sendiri (secara fisik) dari ancaman. Dia berusaha sesering
mungkin atau tidak sama sekali berhadapan dengan individu atau objek yang akan
menimbulkan kecemasan.
2.4.9 Simpatisme
Menurut Poduska (2000:117), simpatisme ialah suatu mekanisme
pertahanan ego, yang untuk meredakan atau menghilangkan kecemasan tersebut,
dengan cara mencari sokongan emosi atau nasihat dari orang lain. Seseorang yang
melakukan mekanisme pertahanan ego seperti ini akan mencari teman dekatnya
untuk membicarakan masalah-masalah atau kecemasan yang telah diterimanya.
Dia berusaha mendapatkan kata-kata yang bisa membangkitkan gairah untuk
menghadapinya.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Data dan Sumber Data
Sumber data penelitian ini adalah novel Frida karya Barbara Mujica.
Semula, novel ini dua tahun lalu difilmkan dengan judul sama yakni “Frida” dan
mendapatkan penghargaan dalam Academy Award 2002 untuk kategori Best
Score. Novel ini berukuran 17 x 11 Cm, terdiri atas 774 + xxviii halaman dan
merupakan cetakan pertama penerbit Bentang.
Pada sampul depan novel ini menampilkan sosok Salma Hayek yang
ketika itu berperan sebagai Frida. Pada bagian kiri atas novel tersebut tertulis
nama pengarang, Barbara Mujica. Dibawahnya terdapat nama judul novel
tersebut, yakni Frida. Pada bagian bawah sebelah kiri terdapat tanggapan
seseorang atas novel ini, yakni Kirkus.
Pada penelitian ini data yang digunakan berupa (1) kalimat, dan (2)
penggalan alinea yang terdapat dalam novel Frida karya Barbara Mujica.

3.2 Pendekatan Penelitian


Penelitian tentang mekanisme pertahanan ego pada tokoh utama dalam
novel Frida karya Barbara Mujica ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian
kualitatif ialah penelitian yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat
suatu individu, atau gejala yang terjadi atau yang nyata (Jabrohim, 2001:23).
Penelitian ini mendeskripsikan tingkah laku tokoh utama yang terdapat di dalam
novel Frida karya Barbara Mujica, di saat dia merasakan kecemasan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan ekstrinsik yang menggunakan
Propotional Knowledge. Menurut Satoto (1986:131), pendekatan ekstrinsik ini
lebih menitikberatkan pada konteksnya daripada teksnya. Konteks sastra ini
terdapat di luar teks sastranya. Dalam pendekatan ekstrinsik, Rene Wellek (dalam
Satoto, 1986:131—132) menghubungkan sastra dengan hal-hal di luar sastra,
seperti (1) sastra dan biografi, (2) sastra dan psikologi, (3) sastra dan sosial
(masyarakat), (4) sastra dan idea-idea, (5) sastra dan cabang-cabang seni yang
lain. Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, maka pendekatan penelitian ini
merupakan pendekatan ekstrinsik yang menghubungkan sastra dan psikologi,
terutama psikoanalisis Sigmund Freud.
Adapun Propotional Knowledge, ialah teori formal yang didasarkan dari
teori yang dipakai para ahli dan merupakan penelitian yang datang dari intuisi
(Djojosuroto, 2001:138). Propotional Knowledge membutuhkan suatu teori yang
digunakan sebagai acuan untuk melakukan sebuah penelitian. Teori-teori yang
digunakan untuk melakukan penelitian ini berasal dari para ahli di bidangnya.
Adapun teori yang dipakai di dalam penelitian ini adalah teori psikoanalisis
Sigmund Freud, terutama mekanisme pertahanan ego.

3.3 Teknik Analisis Data


Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode klasifikasi,
deskriptif, dan analisis. Analisis data yang ditinjau dari segi klasifikasi yakni data-
data yang telah diklasifikasikan tersebut, lalu dideskripsikan apa adanya tanpa
adanya penilaian, kemudian dilakukan penganalisisan. Analisis data merupakan
tahap inti dari penelitian penelitian kualitatif ini. Metode klasifikasi, deskriptif,
dan analisis dalam penelitian ini digunakan untuk mendeskripsikan mekanisme
pertahanan ego tokoh utama yang terdapat di dalam novel Frida karya Barbara
Mujica.

3.4 Prosedur Penelitian Data


Pada tahap prosedur penelitian data ini, peneliti melakukan beberapa
tahap, yaitu:
(1) membaca dan memahami novel Frida karya Barbara Mujica.
(2) mengidentifikasikan peristiwa atau perilaku tokoh utama yang
berhubungan dengan teori psikoanalisis Sigmund Freud, terutama
mekanisme pertahanan ego.
(3) mengklasifikasikan hasil identifikasi sesuai dengan arah penelitian dan
menganalisisnya.
(4) mendeskripsikan hasil analisis berdasarkan rumusan masalah.
(5) menyimpulkan hasil penelitian.
BAB IV
MEKANISME PERTAHANAN EGO TOKOH UTAMA
NOVEL FRIDA KARYA BARBARA MUJICA
Dalam bab keempat ini, peneliti menganalisis mekanisme pertahanan ego
yang terdapat dalam novel Frida karya Barbara Mujica. Mekanisme pertahanan
ego dalam penelitian ini difokuskan pada sembilan macam, yakni (1) represi, (2)
sublimasi, (3) proyeksi, (4) displacement, (5) rasionalisasi, (6) reaksi formasi, (7)
melakonkan, (8) nomadisme, (9) simpatisme.
4.1 Mekanisme Pertahanan Ego Represi
Pada novel Frida karya Barbara Mujica, Frida sebagai sosok tokoh utama,
secara tidak sadar melakukan mekanisme pertahanan ego represi. Pertama, hal ini
dibuktikan ketika dirinya mengalami keputusasaan dalam melukis. Frida tidak
menemukan paduan warna yang cocok untuk lukisannya.
Suatu hari ia tidak dapat menemukan paduan warna yang tepat
untuk potret dirinya (Mujica, 2004:360).

Tatkala dirinya tidak menemukan paduan warna yang tepat, Frida menjadi
marah. Frida lalu menyalahkan dirinya sendiri dan mulai menggambar sesuatu di
kanvasnya, Frida melukis atau menggambar tanda X hitam di seluruh kanvas
miliknya.
“Sial! Sial! Sial! Aku tidak dapat melakukan apa-apa dengan
baik!” tiba-tiba ia mengambil kuas dan mulai menggambar X
hitam di seluruh kanvas (Mujica, 2004:361).

Upaya untuk meredakan kecemasan Frida melalui represi ini bukan tanpa
resiko. Dorongan-dorongan pada Frida yang direpres atau ditekan tersebut tetap
aktif di dalam alam tak sadar. Terbukti pada saat itu kecemasan yang direpres atau
disimpan ke dalam alam tak sadarnya, pada waktu kecil kembali muncul.
Tiba-tiba selintas bayangan masuk di kepalaku. Kelas Miss
Caballero. Saat ketika guru itu berusaha mempermalukan Frida di
depan murid-murid lain. Dan Frida yang meronta melepaskan diri
dan menutupi dirinya dengan cat (Mujica, 2004:262—363).
Mekanisme pertahanan ego represi ini memerlukan energi psikis yang
besar untuk menjaganya agar tidak muncul ke alam sadar. Pengurasan energi
psikis oleh mekanisme represi ini bisa membawa akibat berupa tidak efektifnya
ego dalam memelihara dan menuntun tingkah laku individu. Adapun dampak dari
mekanisme pertahanan ego represi yang telah dilakukan oleh Frida itu di
antaranya dengan menggambar tanda X hitam di kanvasnya. Frida juga mulai
menulis-nulis secara kasar dan mencampurkan semua warna yang ada di dekatnya
sampai kanvasnya berubah menjadi hitam kecokelat-coklatan.
Frida terus melukis X lalu ia mengambil kuas dan mulai menulis-
nulis dengan kasar, mencampurkan semua warna sampai mereka
semua menjadi hitam-kecokelatan (Mujica, 2004:261).

Selain itu, Frida juga melakukan beberapa hal yang aneh, seperti memoles
seluruh badan dan benda yang terdapat di ruangannya, dengan campuran warna
tersebut. Hal itu semakin memperkuat mekanisme pertahanan ego yang telah
dilakukannya.
Ia menekankan tangannya ke kanvas basah, kemudian
mengoleskan warna campuran menjijikkan itu ke seluruh matanya,
rambutnya, mulutnya, dahinya (Mujica, 2004:261—262).

Lalu ia menancapkan tangannya pada cat diatas palet, cat merah,


dan mulai memulaskan pipinya, di korsetnya, di kertas-kertasnya,
di bantalnya, semuanya (Mujica, 2004:362).

Frida melakukan semua prilaku di atas, karena dirinya sudah tidak dapat
berbuat apa-apa dengan baik, termasuk melukis. Karena itu, Frida mengira karena
tidak dapat berbuat apa-apa dengan baik, tidak ada seorang yang akan
memperhatikannya. Menurut adiknya, Cristina, Frida lebih baik dibenci daripada
tidak diperhatikan. Ditambahkan lagi, Frida ingin menjadi pusat perhatian.
Ia adalah seorang perempuan dengan keinginan kuat, perempuan
yang ingin menjadi pusat perhatian (Mujica, 2004:434).

Frida tidak ingin orang lain tidak mengakui keberadaannya. Hal tersebut
merupakan salah satu kecemasan terbesar Frida. Jadi, dirinya tidak ingin
mengalaminya. Hal itu yang menjadi salah satu penyebab Frida melakukan
perbuatan-perbuatan yang aneh tersebut. kecemasan-kecemasan yang dialami
Frida, pada waktu dirinya masih kecil, tidak tertampung lagi di dalam alam
ketidaksadarnya. Karena itu, kecemasan-kecemasan tersebut keluar ke alam
sadarnya dalam bentuk emosi atau prilaku-prilaku yang berlebihan, seperti
menggambar tanda X hitam, memoles badan dan seluruh benda-benda di dekatnya
dengan cat.
Kedua, mekanisme pertahanan ego represi ditampakkan juga oleh Frida,
setelah dirinya menerima berita duka, yakni papanya yang sangat disayanginya
meninggal dunia. Frida merasa sangat terpukul atas kejadian tersebut, karena
selama ini Frida selalu dimanja oleh papanya. Frida merasa sangat kehilangan
sosok yang didambakannya.
Berita kematian tersebut, menambah kecemasan yang sudah dialami Frida.
Sebelumnya Frida sudah kehilangan teman baiknya yakni Leon Trotsky. Hal ini
membuat kecemasan Frida semakin besar.
Aku tidak mau bersikap kasar. Ia anak kesayangan, dan kematian
ayah menakutkannya. Dan jangan lupa, kami baru saja melewati
cobaan yang berat, kehilangan karena terbunuhnya Leon (Mujica,
2004:688).

Setelah diterpa berbagai masalah seperti itu, prilaku Frida semakin tidak
wajar. Frida tidak dapat mengontrol dirinya lagi. Alam bawah sadar Frida tidak
dapat menampung lagi kecemasan-kecemasannya, karena baru saja dirinya
kehilangan salah satu kawan baiknya Leon Trotsky. Kadang tingkah laku Frida
normal seperti tidak terjadi apa-apa, tetapi di lain waktu prilaku Frida melewati
batas kewajaran.
Ia menjadi tak terduga sejak papa meninggal. Satu menit ia akan
penuh kegembiraan dan tertawa. “Hey, manita, ayo belanja,
membeli cincin untuk tiap jari atau barang loakan yang masih
bagus dan cantik.” Tapi kemudian ia akan mulai minum lagi dan
tidak satu orang pun yang bisa menghentikannya (Mujica,
2004:686).

Tidak hanya itu saja hal aneh yang dilakukan Frida. Frida juga merusak
seluruh boneka kesayangannya. Seluruh boneka yang sejak kecil di koleksinya.
Frida mematahkan bonekanya menjadi beberapa bagian.
Seluruh koleksinya pecah dan hancur berkeping-keping (Mujica,
2004:685).

Patung bayi bercat dengan senyum sempurna dan matanya yang


tak bergerak, semuanya berkeping-keping (Mujica, 2004:685).

Prilaku yang secara tidak sengaja dilakukan oleh Frida itu adalah
mekanisme pertahanan ego represi. Represi dipandang Freud sebagai mekanisme
pertahanan ego yang paling utama karena represi merupakan basis bagi
mekanisme-mekanisme pertahanan ego yang lainnya, serta paling berkaitan
langsung dengan peredaan kecemasan. Namun, apabila kecemasan-kecemasan itu
berlebihan dengan taraf tegangan yang ditimbulkan relatif tinggi dan tidak dapat
ditampung lagi, maka kecemasan-kecemasan tersebut akan keluar dalam bentuk
prilaku yang tidak wajar.
Prilaku-prilaku Frida yang tidak wajar tersebut adalah suatu bentuk
sekumpulan kecemasan-kecemasan yang mengendap ke dalam otak bawah sadar
Frida. Mekanisme pertahanan ego tersebut sangat berbahaya, karena apabila otak
bawah sadar mereka tidak mampu menampung lagi, maka kecemasan-kecemasan
tersebut akan timbul ke permukaan dalam bentuk reaksi emosi yang berlebihan.
Reaksi yang berlebihan itu timbul karena jebolnya pertahanan atau
ketidakmampuan pengendalian terhadap pikiran yang ditekan itu, sehingga
melepaskan emosi-emosi yang tertekan dan tidak diekspresikan itu. Reaksi emosi
yang berlebihan itu ditunjukkan oleh Frida dengan menghancurkan boneka-
bonekanya.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa Frida, dalam novel Frida karya Barbara Mujica, melakukan mekanisme
pertahanan ego represi tersebut dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang
tidak normal atau tidak wajar. Frida melakukan mekanisme pertahanan ego
represi itu sebanyak dua kali. Hal tersebut bisa dilihat ketika dirinya menggambar
tanda X hitam di seluruh kanvas miliknya atau ketika dirinya merusak seluruh
boneka kesayangannya. Frida melakukan perbuatan-perbuatan seperti itu, karena
alam bawah sadarnya tidak bisa menahan kecemasan-kecemasan yang dialaminya.
Perbuatan-perbuatan seperti itu sebagai wujud luapan emosi dari kecemasan-
kecemasannya yang dulu pernah diterimanya.
Pada waktu Frida melakukan mekanisme pertahanan ego represi yang
pertama. Dirinya mengalami keputusasaan dalam melukis. Ketika itu Frida tidak
menemukan paduan warna yang serasi untuk lukisannya. Karena tidak bisa
menemukan paduan warna yang serasi, Frida mengira tidak dapat melakukan apa-
apa dengan baik. Dan karena tidak bisa melakukan apa-apa dengan baik, Frida
takut tidak akan ada seeorang yang memperhatikan lagi. Frida merasa bahagia
apabila dikelilingi oleh banyak orang. Frida harus menjadi pusat perhatian. Frida
lebih baik dibenci apabila tidak diperhatikan. Hal itulah yang menjadi penyebab
Frida melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak wajar, seperti menggambar
tanda X hitam di seluruh kanvas miliknya atau menulis secara kasar di kanvas
dengan mencampurkan semua warna yang ada di dekatnya.
Pada saat Frida melakukan mekanisme pertahanan ego represi yang kedua,
dirinya merasa kehilangan sosok yang sangat didambakannya yakni papanya.
Ditambah lagi, sebelumnya Frida sudah kehilangan salah satu teman baiknya,
yakni Leon Trotsky. Kedua hal itulah yang menjadi penyebab Frida melakukan
perbuatan-perbuatan yang tidak wajar, seperti minum-minuman keras dan
merusak seluruh boneka kesayangannya.

4.2 Mekanisme Pertahanan Ego Sublimasi


Pada novel Frida karya Barbara Mujica, Frida sebagai sosok utama, secara
tidak sadar melakukan mekanisme pertahanan ego sublimasi. Pertama, hal itu
dibuktikan ketika Frida mempermainkan Elias Galdos, seorang guru bahasa
Latinnya. Saat itu, Frida bersama cachuchas, geng yang dibentuk bersama
temannya ketika dirinya masuk sekolah, menjatuhkan sebuah botol dari jendela
lantai tiga tepat di depan Elias Galdos.
Aku ingat saat mereka menjatuhkan botol dari jendela di lantai tiga
tepat di depan Elias Galdos, guru bahasa latin. Botol itu jatuh ke
tanah seperti bom, meledak sekitar tiga kaki di depannya (Mujica,
2004:172).
Tetapi, perbuatan tersebut tidak mengakibatkan fatal. Pecahan kaca
tersebut tidak mengenai kepala atau mata dari Elias Galdos. Jika tidak, mungkin
mata Elias Galdos akan buta karena perbuatan mereka. Jika hal tersebut terjadi,
maka Frida bersama gengnya bisa dikeluarkan dari sekolah.
Hanya berkat kebesaran Tuhanlah, kepala Galdos tidak terkena
pecahan kaca tersebut. ia bisa buta karenanya (Mujica, 2004:172).

Setelah kejadian tersebut, Frida pergi ke sebuah gereja. Secara tidak


sengaja, Frida mendengarkan sebuah ceramah yang membicarakan tentang
pembusukan tubuh. Setelah mendengar ceramah tersebut, Frida merasa ketakutan
dan menyesal karena telah mempermainkan guru bahasa latinnya, Elias Galdos.
Hal tersebut membuat Frida merasa cemas. Sebagai upaya untuk menghilangkan
atau meredakan kecemasannya, Frida pergi ke gereja dan menyalakan sebuah lilin
untuk Bunda Maria. Di sana, Frida mengakui dosanya kepada Elias Galdos, guru
bahasa Latinnya.
Sebagai bukti kesedihannya yang mendalam, ia pergi ke katedral
dan menyalakan lilin untuk Bunda Maria. Ia mulai menjelaskan
kepada Bunda Maria, betapa ia sangat menyesal, betapa ia merasa
seperti kotoran di selokan (Mujica, 2004:174).

Kecemasan Frida yang dialihkan dengan cara pergi ke sebuah gereja untuk
mengakui dosanya, membuktikan bahwa ego tokoh utama mampu meredakan
kecemasan akibat perbuatannya yang telah dilakukan dahulu, sehingga lebih
bermanfaat bagi perkembangan kepribadiannya dan orang lain. Perbuatan yang
telah dilakukan oleh Frida ini tidak merugikan orang lain maupun dirinya sendiri,
melainkan memberikan dampak positif kepada dirinya karena lebih mendekatkan
Frida kepada Tuhan. Dulu, Frida adalah seorang perempuan yang tidak mengenal
Tuhan, tetapi semenjak kejadian tersebut, Frida semakin sering pergi ke gereja.
Kedua, mekanisme pertahanan ego sublimasi ditunjukan oleh Frida,
setelah ketika dirinya mengalami kecelakaan bus. Sepanjang perjalanan hidupnya,
dirinya mengalami dua kecemasan yang paling serius, yakni pertama,
hubungannya dengan Diego Rivera, kemudian yang kedua kecelakaan bus. Akibat
dari kecelakaan tersebut, pinggul Frida retak di tiga bagian, dan tulang
belakangnya patah. Kecelakaan ini membuat Frida tidak dapat bergerak atau
berjalan kemana-mana. Hal itu membuat Frida mengalami kecemasan.
Kecemasan ini membuat dirinya, secara tidak sengaja, melakukan mekanisme
pertahanan ego sublimasi. Mekanisme pertahanan ego sublimasi ditunjukkan
Frida dengan cara melukis.
“Tapi aku harus memerhatikannya sekarang, karena sekarang
aku merasa ingin melukis” (Mujica, 2004:357).

Perbuatan Frida ini juga didukung oleh ibunya, Matilde Calderon.


Menurut ibunya, Frida menjadi lebih tenang dan tidak bertingkah yang aneh-aneh
pada waktu melukis.
Menurut mami melukis akan menjadi model pengalihan yang baik
baginya. Dan sesungguhnya, aku rasa setiap orang berbahagia
dengan Frida yang patuh dan diam seperti itu (Mujica, 2004:359).

Ibunya Frida sangat mendukung perbuatan Frida tersebut. Bahkan, karena


Frida tidak dapat duduk dengan lama, ibunya Frida meminta bantuan kepada
tukang kayu, untuk membuat sebuah penyangga khusus agar Frida dapat melukis
sambil berbaring.
Rasa sakit di punggung dan kakinya membuat Frida tidak mampu
duduk lama. Lalu mami menyewa tukang kayu untuk membuat
kayu penyangga khusus yang dipasangkan ke tempat tidur. Dengan
begitu, Frida dapat melukis lagi sambil berbaring (Mujica,
2004:358—359).

Sublimasi sering dinyatakan melalui pelepasan perasaan-perasaan yang


membuat individu merasa cemas dengan cara-cara yang dianggap bisa diterima
umum atau sosial, seperti dalam seni. Hal itu ditunjukkan oleh Frida dengan
melukis. Melalui melukis, Frida bsa menjadi lebih tenang. Melalui melukis juga,
Frida dapat meredakan kecemasan yang telah saja dialaminya. Tidak heran
lukisannya menggambarkan kecemasan-kecemasan yang di alami Frida pada
waktu itu. Sejalan dengan pendapat di atas, menurut Syafiq (2004:12), hampir
semua lukisannya menggambarkan luka hati dan derita fisiknya.
Ketiga, mekanisme pertahanan ego sublimasi ditampakkan oleh Frida,
ketika dirinya sudah menikah dengan Diego Rivera. Setelah menikah dengan
Diego Rivera, Frida berhenti melukis. Hari-harinya lebih banyak dihabiskan untuk
melihat suaminya, Diego Rivera bekerja.
Setelah menikah, Frida berhenti melukis untuk beberapa saat. Ia
menghabiskan waktunya untuk melihat suaminya bekerja, memilih
model-modelnya (Mujica, 2004:425).

Sikap tersebut tidak berlangsung lama. Rasa bosan dan jenuh mulai
menyerang Frida kembali. Frida tidak melakukan suatu pekerjaan pun selama di
Cuernavaca, selain menunggui suaminya, Diego Rivera, melukis dan
menemaninya untuk menghadiri acara-acara sosial. Hal tersebut membuat dirinya
merasa cemas dan melakukan mekanisme pertahanan ego sublimasi. Mekanisme
pertahanan ego ini dilakukan untuk mencegah atau meredakan kecemasan dengan
cara mengubah dan menyesuaikan dorongan primitif id yang menjadi penyebab
kecemasan ke dalam tingkah laku yang bisa diterima dan bahkan dihargai oleh
masyarakat. Adapun perbuatan Frida yang bertujuan untuk mencegah atau
meredakan kecemasannya ini adalah dengan melukis.
Tapi kemudian, Frida agak bosan di Cuernavaca. Tidak ada hal
yang yang dilakukannya kecuali menunggui Diego dan menghadiri
acara-acara sosial. Sehingga ia mulai melukis lagi sedikit untuk
mengabiskan waktu (Mujica, 2004:425—426).

Frida melakukan mekanisme pertahanan ego ini, karena dirinya merasa


sangat bosan atau jenuh dengan segala rutinitas yang dijalaninya. Frida merasa
tidak suka dengan segala keteraturan yang telah mengikat dirinya. Rasa bosan
atau jenuh, merupakan hal yang paling dibenci dari sosok Frida, karena dirinya
sangat ketakutan apabila dirinya merasa kesepian. Frida harus berada di dalam
keramaian, dan harus menjadi pusat perhatian. Hal tersebut bisa menjadi
kecemasan bagi dirinya, karena bisa menghambat segala kreativitasnya. Karena
itu, dengan melukis, Frida bisa mengeluarkan sedikit-demi sedikit kreativitasnya,
dari dalam alam ketidaksadarnya, di atas kanvas.
Keempat, mekanisme pertahanan ego sublimasi dilakukan oleh Frida,
ketika dirinya sedang hamil. Pada waktu itu Frida sedang berada di kota Detroit
bersama suaminya. Kehamilan Frida ini ternyata tidak membuat suaminya, Diego
Rivera, merasa senang, malah sebaliknya. Diego marah kepada Frida. Kemarahan
suaminya ini ditampakkan dengan menyiksa Frida secara psikis.
Diego bekerja sepanjang hari dan tidak memerhatikan aku sama
sekali. Dia masih marah karena aku mengandung lagi. Dan ia
menghukumku dengan tak pernah pulang. dia tak hanya tidur
dengan setiap model cantik dan murid di institut. Dia memamerkan
perselingkuhannya, membuatku menjadi bahan tertawaan di
Detroit (Mujica, 2004:475).

Tidak hanya itu saja yang dialami Frida. Ketika Frida membicarakan
tentang kehamilannya, Diego malah tambah marah. Kecemasan yang dialami
Frida makin besar karena keadaan ini. Berikut kutipan yang membuktikan
kemarahan Diego.
Setiap aku membahasnya, Diego mengamuk dan mulai
membanting barang-barang. Kemarin, penyangga tongkat lampu
dari kuningan hampir saja mengenai kepalaku (Mujica, 2004:475).

Frida yang sedang mengalami kecemasan seperti itu, berusaha meredakan


kecemasannya dengan cara melukis. Dengan melukis, Frida berharap bisa sejenak
melupakan masalah yang sedang dialaminya.
“Aku melukis agar aku bisa melupakannya” (Mujica,
2004:475).

Mekanisme pertahanan ego yang secara tidak sadar telah dilakukan Frida
tersebut adalah mekanisme pertahanan ego sublimasi. Sublimasi sering
dinyatakan melalui pelepasan perasaan-perasaan yang mengancam ego individu
dengan cara-cara yang dianggap bisa diterima oleh masyarakat. Adapun pelepasan
perasaan-perasaan yang dilakukan oleh Frida itu dialihkan dengan melukis.
Dengan melukis, membuktikan bahwa ego Frida mampu meredakan
kecemasannya sehingga lebih bermanfaat bagi perkembangan kepribadiannya dan
orang lain. Melalui melukis, Frida dapat menghibur dirinya sendiri dari masalah-
masalah yang sedang dihadapinya. Melalui melukis pulalah, Frida dapat
meredakan kecemasan yang sedang dialaminya, karena mengubah kecemasannya
menjadi sesuatu yang bisa diterima oleh masyarakat. Maka, tidak jarang tema-
tema dalam lukisan-lukisan Frida adalah mengambarkan perasaan hatinya pada
saat itu.
Kelima, mekanisme pertahanan ego sublimasi ditampakkan juga oleh
Frida setelah dirinya bercerai dengan Diego Rivera. Pada saat itu, Frida
mengalami kecemasan yang amat besar, yakni Frida tidak bisa meninggalkan
Diego bersama wanita-wanita lain. Frida masih mencintai Diego.
Di luar perceraian itu, Frida masih terpaku pada Diego. Ia selalu
meresahkannya. Sepanjang hari, ia mengatakan sesuatu seperti
apakah Diego memerhatikan dietnya (Mujica, 2004:654).

Seluruh kecemasan-kecemasan tersebut mengendap ke dalam alam


ketidaksadarannya. Frida tidak bisa mengeluarkannya, karena bisa menimbulkan
kecemasan yang lebih besar. Frida yang memiliki ego yang tinggi, tidak ingin
dirinya dipandang sebagai sosok yang begitu mencintai Diego, tetapi Frida ingin
dilihat sebagai individu yang dicintai Diego. Jadi, Frida berusaha menutupi segala
kegundahan hatinya itu dengan bersikap seperti biasanya. Padahal dirinya
mengalami kecemasan.
Dari luar, ia tampak begitu bersemangat dan cerewet seperti
biasanya. Tetapi tidak di dalam (Mujica, 2004: 655).

Ketika Frida keluar ke jalan, ia berkelakuan seperti seorang


bintang film, seorang bintang film biasa, seperti Rita Haywprth. Ia
akan melambai pada penggemarnya, iHola, cuate! iHola, mi
amor!, Genit dan mengedip, menjilat bibirnya seperti sedang
menjilati mangga yang ranum ketika ia melihat lelaki muda yang
ganteng, atau perempuan, tetapi kemudian ia pulang ke rumah dan
membanting botol, dan sebelum kau tahu, ia ambruk seperti cucian
yang terkena muntahan noda anggur (Mujica, 2004:656).

Karena itu, untuk meredakan kecemasan yang dialami oleh Frida, dirinya
kembali melukis. Frida selalu melukis, ketika dirinya dilanda kecemasan, karena
hanya pada saat itulah, dirinya bisa tampil baik. Hal itu terbukti pada kutipan
berikut.
Satu-satunya saat ia tampak baik-baik saja adalah saat melukis
(Mujica, 2004:656).

Mekanisme pertahanan ego yang telah dilakukan Frida termasuk dalam


mekanisme pertahanan ego sublimasi. Mekanisme pertahanan ego seperti ini
mengalihkan kecemasan ke dalam bentuk yang bisa diterima oleh masyarakat.
Dan itu dilakukan oleh Frida dengan melukis. Dengan melukis, Frida dapat
mengeluarkan emosi-emosi yang mengancam egonya ke dalam kanvasnya. Hal
yang telah dilakukan Frida tersebut, mencegah dirinya menimbun kecemasan-
kecemasan tersebut ke dalam otak ketidaksadarannya. Jika Frida menimbunnya,
maka akan berakibat fatal, dan bisa merusak reputasinya di mata masyarakat.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa Frida, dalam novel Frida karya Barbara Mujica, melakukan mekanisme
pertahanan ego sublimasi tersebut dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang
lebih diterima oleh masyarakat. Mekanisme pertahanan ego seperti ini tidak
merugikan diri sendiri maupun orang lain, melainkan memberi dampak positif
kepada dirinya sendiri. Frida melakukan mekanisme pertahanan ego sublimasi itu
sebanyak lima kali. Hal tersebut bisa dilihat ketika Frida pergi ke Gereja untuk
mengakui dosanya dan ketika Frida melukis. Frida melakukan perbuatan-
perbuatan seperti itu sebagai upaya untuk meredakan kecemasan yang sedang
dihadapinya.
Pada waktu Frida melakukan mekanisme pertahanan ego sublimasi yang
pertama, dirinya merasa berdosa atas perbuatan yang dilakukan dahulu. Ketika
itu, Frida melemparkan botol dari jendela lantai tiga sekolahnya tepat di depan
Elias Galdos, guru bahasa latinnya. Frida merasa menyesal atas perbuatannya itu.
Kemudian, Frida pergi ke gereja untuk mengaku dosanya.
Pada mekanisme pertahanan ego sublimasi yang kedua, Frida meredakan
kecemasannya dengan cara melukis. Ketika itu dirinya mengalami kecelakaan
yang cukup parah, sehingga dirinya tidak bisa kemana-mana. Karena tidak bisa
kemana-mana menyebabkan dirinya mengalami kebosanan. Hal ini yang
membuat Frida merasa cemas, karena dirinya sangat takut akan kebosanan. Maka
dari itu Frida melukis dengan tujuan untuk supaya dirinya tidak bosan sekaligus
meredakan kecemasannya.
Pada mekanisme pertahanan ego sublimasi yang ketiga, Frida juga
meredakan kecemasannya dengan melukis. Ketika itu, Frida sangat kesepian
karena ditinggal sendiri oleh suaminya yang bekerja. Karena Frida sangat senang
jika berada di dalam keramaian, Frida merasa cemas pada waktu itu. Untuk
menghilangkan kecemasannya, Frida mengalihkan kecemasannya dengan
melukis. Frida berharap dengan melukis Frida tidak merasa lagi kesepian.
Pada mekanisme pertahanan ego sublimasi yang keempat, Frida kembali
meeduksikan kecemasannya dengan cara melukis. Ketika itu, Frida merasa
kecewa kepada suaminya. Frida kecewa, karena kehamilannya yang dirinya pikir
bisa membuat suaminya bahagia, malah membuatnya marah. Hal itulah yang
membuat dirinya merasa cemas. Frida sangat menginginkan bisa melihat
suaminya, yakni Diego Rivera, bahagia dengan kehadiran bayi yang dikandung
Frida. tetapi, hal ini tidak terwujud dengan baik. Di tengah-tengah kecemasan
yang sedang dirasakan Frida pada waktu itu, dirinya lalu menuangkannya di atas
kanvas miliknya. Tujuan Frida melakukan hal tersebut karena ingin melupakan
sejenak kecemasan yang sedang dialaminya.
Pada mekanisme pertahanan ego sublimasi yang kelima, Frida juga
melakukan perbuatan yang lebih diterima oleh masyarakat, sama seperti yang
dilakukan sebelumnya, yakni melukis. Pada waktu itu, Frida merasa gelisah,
karena dirinya merasa cemburu kepada suaminya. Suaminya lebih memilih
wanita-wanita lain daripada Frida. Karena merasa dikalahkan oleh wanita-wanita
pilihan suaminya tersebut, membuat Frida cemas. Karena itu, untuk
menghilangkan kecemasannya, Frida kembali melukis.
Semua kecemasan-kecemasan yang dirasakan Frida pada saat itu,
dialihkan dengan cara melukis, karena dengan cara itulah kecemasan-
kecemasannya bisa direduksi. Dengan melukis, Frida dapat mengeluarkan sedikit
demi sedikit emosinya yang kemudian dituangkan di atas kanvas. Dengan melukis
pulalah, Frida bisa melupakan kecemasan yang sedang dialaminya. Maka, tidak
heran jika hampir semua lukisannya menggambarkan luka hati dan derita fisiknya
pada waktu itu.

4.3 Mekanisme Pertahanan Ego Proyeksi


Pada novel Frida karya Barbara Mujica, Frida sebagai sosok utama, secara
tidak sadar melakukan mekanisme pertahanan ego proyeksi. Hal tersebut
ditampakkan ketika dirinya sedang berbicara dengan adiknya, Cristina. Saat itu,
Frida dinasihati oleh Cristina bahwa dirinya dengan gengnya, bisa dikeluarkan
dari sekolahnya, karena sering berbuat onar di sekolahnya, Preparatoria.
“Kau dan cachuchasmu dapat dikeluarkan dari Preparatoria.”
(Mujica, 2004:263).
.
Tidak hanya itu saja, Cristina juga mengetahui kalau selama di sekolah
Preparatoria, Frida hanya bermain-main saja dengan kelompoknya dan juga sering
tidak masuk kelas. Padahal uang yang harus dikeluarkan ayahnya untuk
membiayai Frida sekolah Preparatoria, tidak sedikit dan didapatnya dengan susah
payah. Jika hal tersebut diketahui oleh ayahnya, dirinya akan dimarahi habis-
habiskan, bahkan, lebih parah lagi, kemungkinan dirinya akan dibunuh.
“Papa akan membunuhmu kalau tahu betapa banyak kelas yang
tidak kau ikuti.” Aku sedang berpikir untuk memberitahu papa.
Kami mempunyai persoalan keuangan, dan Frida hanya bermain-
main saja di sekolah. (Mujica, 2004:264).

Setelah dinasihati oleh adiknya, seperti itu, membuat Frida merasakan


kecemasan. Frida, secara tidak sadar, melakukan mekanisme pertahanan ego
proyeksi. Proyeksi seringkali melayani tujuan rangkap. Ia mereduksikan
kecemasan dengan cara menggantikan suatu bahaya besar dengan bahaya yang
lebih ringan, dan memungkinkan individu yang melakukan proyeksi
mengungkapkan impuls-impulsnya dengan berkedok mempertahankan diri dari
musuh-musuhnya. Frida mereduksikan kecemasannya mengalihkan kecemasan
yang menimpa dirinya kepada orang lain, yakni guru-guru di sekolahnya. Frida
mengatakan bahwa guru-guru yang ada di sekolah Preparatoria tidak pintar, dan
suasana di sana sangat membosankan.
“Mengapa harus pergi ke kelas yang diajar oleh guru-guru yang
bodoh dan membosankan?” bentaknya (Mujica, 2001:264).

Pengubahan ini mudah dilakukan oleh Frida karena sumber asli baik
kecemasan neurotik maupun kecemasan moral adalah ketakutan terhadap
hukuman dari luar. Adapun hukuman dari luar yang membuat Frida menjadi takut
adalah dikeluarkan dari sekolah Preparatoria dan dimarahi oleh orang tuanya.
Frida berbuat mekanisme pertahanan ego tersebut hanyalah untuk menutupi
kecemasan yang sedang melanda dirinya. Karena itu, Frida mencari-cari alasan
yang masuk akal, yakni mengkambinghitamkan gurunya. .
Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa Frida, dalam novel Frida karya Barbara Mujica, melakukan mekanisme
pertahanan ego proyeksi tersebut dengan cara melimpahkan kecemasannya atau
kesalahannya kepada orang lain. Frida melakukan mekanisme pertahanan ego
proyeksi itu sebanyak satu kali. Hal tersebut bisa dilihat ketika dirinya
mengkambinghitamkan guru-guru di tempat Frida sekolah. Alasan Frida
melakukan mekanisme pertahanan ego tersebut karena dirinya mengalami
kecemasan. Adapun kecemasan yang dialami Frida adalah akan dikeluarkan dari
sekolah Preparatoria, dan dimarahi oleh orang tuanya. Frida sangat takut
mengenai hal tersebut, sehingga dirinya melakukan mekanisme pertahanan ego
proyeksi seperti itu.
Menurut adiknya, Cristina, Frida berani melakukan apa saja untuk
menyembunyikan kekurangannya. Adapun kekurangan Frida adalah jarang masuk
kelas, sehingga para guru sepakat ingin mengeluarkannya dari sekolah. Menurut
Frida, daripada kekurangannya diketahui oleh orang tuanya kemudian
menimbulkan kecemasan bagi dirinya, lebih baik Frida melimpahkan kecemasan
tersebut kepada guru-guru yang mengajarnya. Jadi, Frida mengkambinghitamkan
gurunya atau berbicara sebalinya, yakni guru-guru di sekolah tersebut bodoh dan
membosankan.

4.4 Mekanisme Pertahanan Ego Dispacement


Pada novel Frida karya Barbara Mujica, Frida sebagai sosok utama, secara
tidak sadar melakukan mekanisme pertahanan ego displacement. Hal ini
dilakukan oleh Frida pada saat dirinya bercerai dengan suaminya, Diego Rivera.
Frida diceraikan Diego, karena dulu Frida pernah pernah melarikan diri ke
Amerika untuk berselingkuh dengan Nick.
Aku tahu bahwa kau akan mengatakan bahwa kesalahan Frida
adalah karena ia telah mengkhianati Diego dengan memilih Nick
(Mujica, 2004:644).
Tidak hanya itu saja alasan Diego untuk menceraikan Frida. selama Frida
berada di New York, Diego mempunyai kekasih baru lagi, yakni Paulette. Diego
memilih Paulette daripada Frida. Dan itu telah diakui juga oleh adik Frida,
Cristina. berikut kutipannya.
Paulette itu terlalu cantik, seksi dan berambut pirang. Aku pikir
Frida merasa dirinya tidak sanggup untuk bersaing. Ia tidak dapat
lagi merebut cinta Diego -untuk Nick dia bisa- dan ini bisa
membunuh dirinya. (Mujica, 2004:645).

Setelah perceraiannya dengan Diego sudah diputuskan, Frida langsung


memotong rambutnya. Frida melakukan prilaku seperti itu, karena dulu Diego
suka dengan rambutnya. Frida ingin menghilangkan atau menghancurkan semua
barang-barang yang disukai Diego, termasuk rambutnya sendiri.
Ia memotong rambutnya. Ia selalu melakukan itu ketika ia
memiliki masalah serius dengan Diego (Mujica, 2004:645).

Kau mungkin akan berkata bahwa itu adalah sejenis pukulan bagi
Diego karena dia sangat suka dengan rambutnya (Mujica,
2004:645).

Tindakan Frida seperti pada kutipan di atas menunjukkan bahwa egonya


melampiaskan kecemasannya dengan cara yang kurang berbahaya bagi dirinya,
yaitu dengan memotong rambutnya. Mekanisme pertahanan ego yang telah
dilakukan Frida termasuk dalam mekanisme pertahanan ego displacement.
Mekanisme pertahanan ego seperti ini selalu melimpahkan kecemasan yang
menimpa dirinya kepada objek yang lebih rendah kedudukannya. Dan yang yang
menjadi objeknya adalah rambutnya sendiri. Begitu Frida mengalami kecemasan,
yakni bercerai dengan Diego, Frida langsung memotong rambutnya menjadi
pendek. Cara seperti itu adalah ungkapan ekspresi perasaan sakitnya kepada
Diego.
Frida mengalami tekanan kecemasan yang berlebih-lebihan sehingga ego
mengambil cara seperti pada kutipan di atas untuk menghilangkan atau
mereduksikan tegangan. Cara yang diambil ego Frida merupakan perbuatan yang
kurang berbahaya atau kurang mengancam dibandingkan dengan objek atau
individu semula.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa Frida, dalam novel Frida karya Barbara Mujica, melakukan mekanisme
pertahanan ego displacement tersebut dengan mengungkapkan dorongan yang
menimbulkan kecemasan kepada objek atau individu yang kurang berbahaya atau
kurang mengancam dibandingkan dengan objek atau individu semula. Frida
melakukan mekanisme pertahanan ego displacement itu sebanyak satu kali. Hal
tersebut bisa dilihat ketika Frida memotong rambutnya sendiri.
Frida melakukan perbuatan seperti itu, karena dirinya mengalami
kecemasan. Kecemasan yang dialami Frida pada waktu itu adalah bercerai dengan
Diego Rivera. Frida sangat terpukul dengan peristiwa itu. Menurut Syafiq
(2004:12), Frida mengalami dua kecelakaan terbesar yang membuatnya depresi,
yakni kecelakaan bus dan hubungannya dengan suaminya, Diego Rivera. Namun,
Frida tidak ingin berlarut-larut dalam kecemasannya. Frida ingin menyingkirkan
atau membuang semua benda-benda yang selama ini menjadi benda kesukaan
suaminya tersebut, termasuk rambut Frida sendiri. Frida tidak ingin melihat ada
suatu benda yang berhubungan dengan Diego Rivera. Karena jika Frida
melihatnya, Frida takut kenangan-kenangan bersama Diego Rivera akan muncul
kembali, dan akan membuat kecemasan yang dirasakan Frida semakin besar.

4.5 Mekanisme Pertahanan Ego Rasionalisasi


Pada novel Frida karya Barbara Mujica, Frida sebagai sosok utama, secara
tidak sadar melakukan mekanisme pertahanan ego rasionalisasi. Pertama, ketika
Frida terkena suatu penyakit. Menurut analisis dokter yang memeriksanya, Frida
positif terkena polio. Penyakit ini disebabkan oleh virus dan tidak bisa
disembuhkan dengan cepat.
“Anak perempuan anda menderita polio yang melumpuhkan,”
lanjut dokter (Mujica, 2004:74).

Penyakit polio yang dialami Frida, membuat dirinya harus beristirahat di


tempat tidur selama sembilan bulan. Hal ini yang membuat Frida merasa cemas.
Frida merasa cemas bukan hanya disebabkan oleh rasa sakit pada kakinya, tetapi
juga perubahan badannya yang semakin kurus, termasuk kaki kanannya berubah
menjadi tidak normal.
Frida tampak kurus dan pendiam. Kaki kanannya yang lemah
bergantung di tubuhnya seperti ular mati (Mujica, 2004:79).

Selain itu, Frida takut apabila musuhnya, Estela, tahu mengenai hal ini,
dirinya akan diejek. Hal ini akan dijadikan senjata utamanya untuk mengejek
Frida. Frida akan malu apabila dia dipermalukan oleh Estela, didepan teman-
teman sekolahnya.
Di sisi lain, setiap kali aku berceloteh tentang sekolah, ia akan
menjadi gusar. Ia tidak ingin mendengar mengenai olok-olok
kejam Estela (Mujica, 2004:84).

Frida yang mengalami kecemasan seperti ini, membuat dirinya secara


tidak sadar, melakukan mekanisme pertahanan ego rasionalisasi. Seseorang yang
melakukan mekanisme pertahanan ego seperti ini, akan membuat informasi-
informas palsu yang dibuatnya sendiri. Frida berimajinasi bahwa putri
khayalannya, putri Zoraida, mempunyai kaki yang sama dengan dirinya. Frida
sering menceritakan putri Zoraida kepada adiknya, Cristina, supaya bisa
mengalihkan atau meredakan kecemasan yang menimpa dirinya. Berikut kutipan
yang menunjukkan bahwa Frida menceritakan putri Zoraida kepada Cristina.
“Kau tahu,” katanya kepadaku, “Princess Zoraida mempunyai
kaki yang kisut juga.”
“Bagaimana kau tahu?” tanyaku
“Aku melihatnya. Ia muncul dari kabut dan datang menemuiku
semalam.” Ia memejamkan mata, dan tampak sedang
membayangkan sesuatu (Mujica, 2004:82—83).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa adanya upaya Frida untuk


memutarbalikan kenyataan. Dalam hal ini kenyataan yang mengancam ego Frida
melalui dalih atau alasan seperti yang tertulis pada kutipan, sehingga seakan-akan
masuk akal. Prilaku Frida itulah yang disebut dengan mekanisme pertahanan ego
rasionalisasi. Frida melakukan mekanisme pertahanan ego tersebut supaya
perubahan bentuk fisik kaki kanannya, tidak menimbulkan kecemasan bagi
dirinya. Frida takut, jika Estela tahu hal itu, dirinya akan kembali diejek. Karena
itu, Frida membuat pernyataan-pernyataan palsu, supaya bisa melupakan ejekan-
ejekan yang akan dilakukan oleh Estela.
Kedua, mekanisme pertahanan ego rasionalisasi ditampakkan juga oleh
Frida, ketika dirinya mengalami kecelakaan bus. Ia mengalami cedera berat ketika
bus yang ditumpanginya mengalami kecelakaan. Bus tersebut menabrak sebuah
kereta api yang melintas di depannya.
Kereta api bergerak pelan tapi mantap, seolah pengemudi trem
menantang pengemudi bus untuk terus maju. Pengemudi bus untuk
terus maju. Pengemudi bus memaksa maju. Dan terjadilah. Trem
itu melindas bus, menabraknya tepat di bagian tengah dan
mendorongnya sampai membentur tembok (Mujica, 2004:328—
319).

Kecelakaan bus tersebut, membuat pinggul Frida retak di tiga bagian, dan
tulang belakangnya patah di beberapa tempat. hal ini juga membuat Frida merasa
cemas karena harus terbaring di tepat tidur, sampai pinggul dan tulang
belakangnya sembuh. Kecelakaan ini salah satu deritanya yang terbesar dalam
hidupnya. Sejalan dengan pernyataan di atas, menurut Syafiq (2004:12) Frida
mengalami kecelakaan terbesar dalam hidupnya yang membuatnya depresi, yakni
pertama hubungannya dengan suaminya, Diego, dan yang kedua kecelakaan bus
tersebut.
Kecemasan ini membuat Frida, secara tidak sadar, melakukan mekanisme
pertahanan ego rasionalisasi. Frida kembali membuat pernyataan-pernyataan
palsu. Frida berbicara kepada Maty, kakaknya yang menjaganya, bahwa dirinya
melihat kematian. Tidak hanya itu saja, Frida juga melihat kematian tersebut
mengelilingi dirinya dan berbicara kepadanya.
“Aku tidak hanya merasakannya,” katanya.
“Aku melihatnya. Kematian berdansa di sekeliling ruangan.
Kadang ia menaiki sepeda memutari tempat tidurku. Kadang ia
mengambil gitar dan memainkan nada-nada ceria. Nada yang
memikat, yang membuatmu ingin pergi ke arahnya dan
memeluknya.” (Mujica. 2004:335).

Dalih-dalih bohong yang dikatakan oleh Frida ini untuk menghilangkan


kecemasan yang telah menimpa dirinya, yakni kecemasan akan kematian. Ketika
Frida masih kecil, dianggapnya kematian adalah sesuatu yang menakutkan.
Anggapan ini tersimpan di dalam alam ketidaksadarnya, dan membentuk suatu
pobia terhadap kematian.
Upaya Frida tersebut pada dasarnya bersumber pada sesuatu yang
menyebabkan kecemasan. Impuls-impuls kecemasan ini masih tetap aktif dalam
alam ketaksadarannya. Dapat dikatakan juga, Frida telah memperlihatkan
pengambilan langkah-langkah yang ekstrem. Dalam hal ini tujuan rasionalisasi
Frida berhasil memuaskan impuls asli yang dibelanya itu.
Ketiga, mekanisme pertahanan ego rasionalisasi ditunjukkan juga oleh
Frida, ketika dirinya sedang mencari-cari Alex di kafe-kafe dan toko-toko tempat
biasanya Alex berkunjung. Dalam pencariannya tersebut, secara tidak sengaja,
Frida bertemu dengan Agustina Reyna
Ia berjalan ke sekeliling Prepa. Ia mengintip di kafe-kafe dan toko-
toko tempat Alex biasa berkunjung. Ia tidak menemukan Alex.
Tetapi Agustina Reyna sedang membeli buku di Liberia La
Mancha, dan kurasa tidak mungkin Frida berpura-pura tidak
melihatnya (Mujica, 2004:349).

Agustina Reyna adalah saingan Frida karena dia adalah bekas pacar dari
Alex. Dia juga penyebab kecemasan yang dialami Frida. Frida merasa cemburu
terhadap Agustina Reyna. Frida juga tidak ingin tujuannya ke kota Prepa
diketahui oleh Agustina Reyna. Karena itu, ketika Agustina Reyna bertanya
kepada Frida, Frida berbohong.
“Apakah kau mencari Alex?”
“Tidak....,” Frida tergagap. “Aku...., aku hanya ingin melhat
siapa yang sedang ada disana.” (Mujica, 2004:351).

Frida mengatakan kepada Agustina Reyna, tujuannya ke Prepa adalah


hanya untuk melihat-lihat, bukan untuk mencari Alex. Perbuatan yang telah
dilakukan Frida ini disebut dengan mekanisme pertahanan ego rasionalisasi.
Sesungguhnya Frida adalah seorang wanita yang memiliki harga diri yang tinggi,
jadi berkata begitu supaya tujuan kedatangannya ke Prepa tidak diketahui oleh
Agustina Reyna. Frida tidak ingin Agustina Reyna, mengetahui bahwa sebenarnya
dirinyalah yang mengejar-ngejar Alex.
Dengan mengungkapkan kepada Agustina Reyna bahwa Frida datang ke
Prepa untuk berjalan-jalan bukan untuk mencari-cari Alex, maka hal tersebut
merupakan mekanisme pertahanan ego yang digunakan untuk mencegah
kemunculan terbuka dari dorongan-dorongan id maupun untuk menghadapi
tekanan superego atas ego. Kemunculan terbuka yang dicegah oleh Frida berupa
dorongan-dorongan untuk berkelahi dengan Agustina Reyna. Frida ingin berbuat
seperti itu karena dirinya merasa dikalahkan Agustina Reyna dalam
memperebutkan seorang pria yang bernama Alex.
Keempat, mekanisme pertahanan ego rasionalisasi dilakukan juga oleh
Frida, pada saat Frida mengalami kesakitan pada kakinya. Frida tidak tahan pada
rasa sakit tersebut, sehingga dirinya melontarkan pernyataan-pernyataan bohong
kepada adiknya yang menjaganya. Berikut kutipan yang menunjukkan bahwa
Frida membuat informasi palsu kepada Cristina.
Kakinya begitu menyiksanya. “Kaki setan!” begitu katanya. “Setan
itu menyiksaku lagi, katanya. “kau tahu, ia memberiku kaki ini
untuk menghukumku. Ia menyelinap ke tempat tidurku suatu
malam dan menancapkannya di kaki yang kurus (Mujica,
2004:582).

Frida berbuat seperti itu, karena dirinya merasa cemas. Frida cemas
keadaannya sekarang bisa merusak impiannya. Impian Frida sejak dulu adalah
Frida selalu ingin jadi pusat perhatian dan melakukan apa saja untuk
menyembunyikan kekurangannya (Wardani, 2004:xviii). Frida ingin dirinya
adalah mahluk yang paling sempurna. Frida tidak ingin ada yang tahu penyebab
kecacatan pada kakinya tersebut. Karena itu, Frida melakukan mekanisme
pertahanan ego seperti itu. Dirinya tidak ingin penyebab kecacatan pada kakinya
itu berasal dari kecelakaan bus dahulu. Frida ingin semua orang tahu bahwa hanya
setan yang mampu berbuat seperti itu. Frida berkata seperti itu, supaya bisa
mendongkrak popularitasnya di mata masyarakat.
Perbuatan yang secara tidak sengaja dilakukan Frida di atas menunjukkan
bahwa adanya upaya dirinya untuk memutarbalikan kenyataan. Dalam hal ini
kenyataan yang mengancam ego Frida melalui dalih atau alasan-alasan seperti
pada kutipan di atas sehingga seakan-akan masuk akal.
Upaya Frida yang membuat informasi-informasi palsu tersebut pada
dasarnya bersumber pada sesuatu yang menyebabkan kecemasan. Impuls-impuls
kecemasan ini masih tetap aktif dalam alam ketidaksadarannya. Dapat dikatakan
juga, Frida telah memperlihatkan pengambilan langkah-langkah yang tidak wajar.
Dalam hal ini, tujuan mekanisme pertahanan ego rasionalisasi yang dilakukan
Frida berhasil memuaskan impuls asli yang dibelanya itu.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa Frida, dalam novel Frida karya Barbara Mujica, melakukan mekanisme
pertahanan ego rasionalisasi tersebut dengan memutarbalikan kenyataan yang
mengancam ego, melalui dalih atau alasan-alasan tertentu yang seakan-akan
masuk akal, sehingga kenyataan tersebut tidak lagi mengancam ego individu yang
bersangkutan. Frida melakukan mekanisme pertahanan ego rasionalisasi itu
sebanyak empat kali. Adapun mekanisme pertahanan ego rasionalisasi yang
dilakukan Frida adalah berkata bohong atau berkhayal tentang sebuah wujud
seseorang yang tidak nyata.
Hal tersebut dapat dilihat ketika pada mekanisme pertahanan ego
rasionalisasi yang pertama, Frida berimajinasi bahwa putri Zoraida mempunyai
kaki yang sama dengan dirinya. padahal putri Zoraida itu adalah tokoh
khayalannya saja. Tetapi, Frida berkata seakan-akan tokoh impiannya tersebut
ada. Sebenarnya Frida berkata bohong seperti itu, karena takut diejek oleh Estela,
dan akan menimbulkan kecemasan bagi dirinya. Frida membuat pernyataan-
pernyataan bohong atau palsu seperti itu, supaya dirinya sejenak tidak mengingat
Estela lagi.
Pada waktu Frida melakukan mekanisme pertahanan ego rasionalisasi
yang kedua, ketika itu dirinya mengalami kecelakaan bus. Kecelakaan ini
merupakan salah satu derita terbesar dalam hidupnya. Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan Syafiq (2004:12), yakni Frida mengalami dua kecelakaan terbesar
yang membuatnya depresi, yakni pertama hubungannya dengan suaminya, Diego
Rivera, dan yang kedua adalah kecelakaan bus. Mengalami kecelakaan seperti itu,
dan secara otomatis menimbulkan kecemasan bagi dirinya, membuat Frida
melontarkan peryataan-pernyataan bohong, yakni berkata bahwa dirinya bisa
melihat kematian. Frida melihat kematian itu sedang berada di dekatnya dan siap
untuk menjemputnya. Frida berkata demikian, karena Frida mengalami pobia
terhadap kematian. Sejak kecil, Frida sanghat takut akan kematian. Tujuan Frida
melakukan perbuatan seperti itu adalah untuk meredakan kecemasannya.
Pada mekanisme pertahanan ego rasionalisasi yang ketiga, Frida ingin
kedatangannya ke kota Prepa untuk mencari Alex tidak diketahui oleh Agustina
Reyna. Frida tidak ingin kelihatan sebagai sosok perempuan yang mengejar-
ngejar pria. Frida ingin terlihat sebagai sosok perempuan yang dikejar-kejar pria,
karena Frida memiliki harga diri yang sangat tinggi. Karena itu, jika alasan Frida
datang ke kota itu diketahui oleh Agustina Reyna, maka akan menimbulkan
kecemasan bagi dirinya. Ketika Frida ditanyai alasannya oleh Agustina Reyna,
Frida menjawab bahwa tujuannya ke kota Prepa itu adalah untuk melihat-lihat
saja.
Pada mekanisme pertahanan ego rasionalisasi yang keempat, Frida
kembali membuat pernyataan-pernyataan palsu. Ketika itu, Frida mengalami
kesakitan pada kakinya. Frida menuduh bahwa ada setan yang menancapkan kaki
kurus itu kepada dirinya. Frida berbuat seperti itu, karena dirinya ingin menjadi
mahkluk yang sempurna. Frida juga akan berbuat apa saja untuk menutupi
kekurangan-kekurangan yang ada pada dirinya. maka, tidak heran jika Frida
berbuat seperti itu.

4.6 Mekanisme Pertahanan Ego Reaksi Formasi


Pada novel Frida karya Barbara Mujica, Frida sebagai sosok utama, secara
tidak sadar melakukan mekanisme pertahanan ego reaksi formasi. Hal ini bisa
dilihat ketika dirinya didatangi oleh murid-muridnya. Murid-murid Frida tersebut
membawa beberapa hadiah. Diantaranya lukisan yang bertemakan ibu atau
kelahiran.
Salah seorang murid Frida tingkat satu memutuskan untuk
memberi hadiah hari ibu kepadanya. Mereka mengumpulkan
semua koleksi lukisan mereka (Mujica, 2004:724).
Mereka semua memberi hadiah kepada Frida, karena ingin merayakan hari
ibu bersama Frida. didatangi murid-muridnya secara mendadak tersebut, membuat
Frida menjadi kaget. Para muridnya juga ingin membuat pesta kecil-kecilan
bersama Frida, tetapi Frida tidak ingin merayakannya. Frida pun menolaknya
secara halus. Frida beralasan bahwa sekarang dirinya sedang tidak enak badan.
Pada kenyataannya, ia sangat berterima kasih kepada mereka dan
berkata bahwa sekarang ia sedang sakit, dan mereka diharapkan
datang di lain waktu (Mujica, 2004:726).

“Maafkan aku sayang,” bisiknya. “Maafkan aku, tetapi aku


tidak bisa sekarang” (Mujica, 2004:726).

Prilaku sopan Frida hanya bertahan setelah murid-muridnya pergi. Setelah


muridnya pergi, Frida lalu marah-marah dengan menggunakan kata-kata kasar.
Hal itu sangat bertentangan dengan prilaku sebelumnya.
“Idiot!” teriaknya segera setelah mereka pergi.”Anak-anak
bodoh itu! Apa yang mereka pikirkan dengan menganggap aku
sebagai ibu mereka? (Mujica, 2004:726).

Tidak hanya itu saja yang dilakukan Frida. dirinya juga merusak semua
hadiah-hadiah yang diberikan muridnya kepada dirinya. Frida menghancurkannya
hingga menjadi hancur berantakan.
Ia mengambil pisau dan menancapkannya pada gambar ibu dan
anak milik Fanny. Ia merobek setiap gambar, dan merusak buket
bunga (Mujica, 2004:727).

Ia mengambil kelopak bunga yang halus, dan merenggut daun-


daunnya, dan ia mengoyak tangkainya yang rapuh. Dengan gila ia
mengoyak bunga itu dengan giginya, mengunyah sampai ke akar-
akarnya, kemudian meludahkannya (Mujica, 2004:727).

Perilaku yang dilakukan Frida inilah yang disebut dengan mekanisme


pertahanan ego reaksi formasi. Mekanisme pertahanan ego ini melakukan
perbuatan yang sebaliknya, apabila perbuatan yang pertama itu bisa menimbulkan
kecemasan bagi dirinya. Frida menggantikan impuls atau perasaan yang
menimbulan kecemasan dengan cara menolak ajakan murid-muridnya secara
halus. Impuls atau perasaan yang asli masih tetap ada, tetapi ditutupi dengan
pembentukan tingkah laku sebaliknya.
Frida sebenarnya sangat menyukai anak-anak, apalagi kepada murid-
muridnya, tetapi ketika Frida melihat mereka datang dengan membawa hadiah,
dirinya sangat marah. Alasan Frida marah, karena dirinya tidak ingin dikasihani
oleh orang lain, apalagi oleh muridnya sendiri. hal ini bisa merendahkan
martabatnya di mata masyarakat. Tetapi Frida tidak bisa mengeluarkan
ekspresinya secara langsung kepada murid-muridnya, melainkan bersikap
sebaliknya. Hal ini karena Frida takut perbuatan itu bisa merusak hubungan
dirinya dengan mereka. Jika hal itu sampai terjadi, maka popularitas di mata
masyarakat yang selama ini Frida bangun, akan hancur berantakan. Frida tidak
ingin hal itu terjadi, karena dirinya selalu ingin menjadi pusat perhatian.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa Frida, dalam novel Frida karya Barbara Mujica, melakukan mekanisme
pertahanan ego reaksi formasi tersebut dengan melakukan tindakan yang
berlawanan dengan hasrat-hasratnya yang tidak sadar. Frida melakukan
mekanisme pertahanan ego reaksi formasi itu sebanyak satu kali. Adapun
mekanisme pertahanan ego reaksi formasi yang dilakukan Frida adalah berpura-
pura bersikap sayang kepada murid-muridnya. Padahal pada saat itu Frida sangat
marah. Frida marah karena merasa telah dikasihani oleh murid-muridnya yang
datang kepadanya dengan membawa sejumlah hadiah di hari Ibu. Padahal, Frida
sangat benci dengan hal tersebut. Adapun alasan Frida bersikap berpura-pura
seperti itu, karena jika Frida meluapkan atau mengeluarkan emosinya secara
langsung kepada murid-muridnya, dirinya takut masyarakat akan memandang
jelek. Jika hal tersebut terjadi, maka keinginan Frida yang ingin menjadi pusat
perhatian, tidak akan tercapai.

4.7 Mekanisme Pertahanan Ego Melakonkan


Pada novel Frida karya Barbara Mujica, Frida sebagai sosok utama, secara
tidak sadar melakukan mekanisme pertahanan ego melakonkan. Pertama, Hal ini
bisa dilihat ketika Frida diejek oleh Estela, teman waktu sekolah SD, beserta
teman-temannya. Frida diejek karena dianggap Estela, dirinya adalah orang
yahudi. Berikut kutipan yang menunjukkan pada waktu Frida diejek oleh Estela
beserta teman-temannya melalui nyanyian.
Frida, Frida Frida, Frida
Fue servida Telah
dipersembahkan
Al diablo Bagi setan
Por comida! Untuk makan malam
Frida, Frida Frida, Frida
Escupida Tapi bahkan setan pun
Tak menginginkannya
De su boca Setan meludahinya
Por judia Karena Frida seorang yahudi!
(Mujica, 2004:8)

Pada saat Frida diejek seperti itu, dia mengalami kecemasan. Frida
kemudian melakukan mekanisme pertahanan ego melakonkan. Mekanisme
pertahanan ego ini mengekspresikan emosi-emosi yang sudah lama tertekan
dengan membiarkan ekspresinya keluar. Adapun ekspresi yang dilakukan Frida
tersebut, berupa lontaran kata-kata pedas, sebagai jawaban atau pembalasan atas
nyanyian atau ejekan yang dilakukan Estela beserta teman-temannya.
“Lagu yang bodoh!” pekiknya. “Pasti lagu itu dibuat oleh
seorang idiot!” (Mujica, 2004:9).

Frida selalu membalas perkataan-perkataan yang ditujukan kepada dirinya


dengan kata-kata pedas. Bahkan Estela juga mengejek ayahnya Frida, Guillermo
Kahlo, bahwa beliau adalah salah satu orang asing, yang dibawa masuk oleh
Porfirio Diaz. Ditambahkan lagi, Estela mengatakan bahwa orang asing tersebut
akan dibunuh, termasuk dirinya. Mendengar perkataan seperti itu, Frida lalu
berkata bahwa ibu dari Estela adalah seorang perempuan hina yang bodoh.
“Ibumu adalah pelacur bangsat yang bodoh!” (Mujica. 2004:13)

“Ibumu Bangsat! Ibumu begitu kotor sehingga ada laba-laba


keluar dari vaginanya!” (Mujica. 2004:14).

Frida berbuat mekanisme pertahanan ego seperti ini, supaya kecemasan


yang melnda dirinya bisa reda atau hilang dengan cara menanggapi ejekan-ejekan
yang ditujukan kepada dirinya. Frida ditampilkan oleh Barbara Mujica sebagai
seseorang yang ekspresif, eksplosif dan blak-blakan (Wardani, 2004:xii). Jadi,
dirinya selalu membalas ejekan yang dilontarkan Estela dan Teman-temannya.
Hal ini membuat teman-teman Frida, apalagi Estela tersontak kaget,
karena kata-kata yang diucapkan Frida hanya pantas diucapkan oleh orang-orang
rendahan. Bahkan kaum petani pun tidak boleh melakukannya, karena kaum
petani adalah orang yang masih bermatabat. Namun Frida mematahkan semua
aturan tersebut.
Kedua, mekanisme pertahanan ego melakonkan ditampakkan juga oleh
Frida, ketika Miss Caballero menerangkan pelajaran saint. Frida ngompol di
celananya. Peristiwa tersebut diketahui oleh musuh Frida, yakni Estela. Hal ini
memancing Estela untuk melawan Frida. Estela mengejek Frida, dan mengatakan
bahwa Frida sedang mengompol. Tidak hanya Estela saja yang mengejeknya,
tetapi seluruh teman-temannya ikut mengejeknya.
Begitu Estela mengetahui ada genangan air di bawah kursi Frida,
ia mulai menyanyi: Frida ngompol! Frida ngompol! Dengan segera
seluruh kelas ikut menyanyi: Frida ngompol! (Mujica, 2004:20—
21).

Setelah Frida diejek oleh teman-teman sekelasnya, Miss Caballero


mencoba menyeretnya di depan kelas. Miss Caballero ingin mempermalukan
Frida di depan teman-temannya. Miss Caballero berbuat seperti itu, karena dirinya
selalu dibuat kesal oleh Frida. Frida berbuat seperti itu adalah sebagai bentuk
perlawanan kepada Miss Caballero, yang ingin mempermalukan dirinya. Namun,
Frida melawannya. Frida berteriak-teriak, lalu menjatuhkan ember yang penuh
dengan air, kemudian menjatuhkan papan tulis dan buku-buku gambar ke lantai.
Miss Caballero berusaha menahannya dengan menarik pita
bajunya, tapi Frida meronta-ronta. Ia menyikut ember yang telah
disiapkan untuk membersikannya (Mujica, 2004:21).

Tidak hanya itu saja, yang dilakukan oleh Frida. Dirinya juga
menumpahkan botol cat berwarna merah ke mana-mana. Perbuatan yang telah
dilakukan oleh Frida ini, membuat suasana kelas semakin kacau.
Botol cat merah pecah, menyemprotkan cairan serupa darah ke
mana-mana (Mujica, 2004:21).
Perilaku yang dilakukan Frida inilah yang dinamakan dengan mekanisme
pertahanan ego melakonkan. Frida berbuat perbuatan seperti itu, karena dirinya
tidak ingin dipermalukan oleh Miss Caballero dan Estela. Bertolak dari pendapat
Wardani (2004:xii), bahwa Frida adalah sosok wanita yang ekspresif, eksplosif,
dan blak-blakan, dirinya lalu melawan Miss Caballero, dengan perbuatan-
perbuatan diatas. Frida tidak ingin menahan emosinya ke dalam alam
ketidaksadarannya. Frida membiarkan emosi-emosinya keluar apa adanya, tanpa
ada bentuk penahanan atau penutupan atas kecemasan yang diterimanya. Frida
tidak menghiraukan kata-kata yang diucapkan oleh Miss Caballero.
“Hentikan!” jerit Miss Caballero. Tapi Frida telah terlanjur
menggosokkan cat ke bajunya, tangannya, wajahnya, bahkan dari
kelopak matanya menetes cairan lengket kental berwarna merah
(Mujica, 2004:22).

Ketiga, mekanisme pertahanan ego melakonkan ditunjukkan oleh Frida,


ketika dirinya kembali diolok-olok oleh Estela. Frida diejek oleh Estela beserta
teman-temannya, ketika sedang bermain di taman, bersama adiknya. Berikut kata-
kata ejekan yang dilakukan oleh Estela dengan sebuah nyanyian.
Frida Kahlo Ayo lihatlah
Pata de palo! Si Frida yang pincang!
Un pie bueno Satu kaki bagus
El Otro Malo Dan satu lagi kakinya dari
kayu
(Mujica, 2004:95).

Mendengar nyanyian seperti itu, membuat Frida marah. Frida, secara tidak
sadar, lalu melakukan mekanisme pertahanan ego melakonkan. Frida membalas
nyanyian yang ditujukan kepada dirinya dengan perkataan-perkataan kotor.
“Sundal!” teriaknya. “Aku jijik pada nyanyian bodohmu itu!”
(Mujica, 2004:95).

“Pergi!” Teriaknya.
“Dasar kau yang keluar dari pantat ibumu, bukan dari lubang
diantara kaki-kakinya (Mujica, 2004:95).

Tidak hanya itu saja yang dilakukan oleh Frida. Dirinya juga melawan
Estela, beserta teman-temannya, secara fisik. Frida berkelahi dengan salah dua
dari teman Estela, yakni Maria Del Carmen dan Ines. Dengan tanpa rasa takut,
Frida langsung memukul kedua teman dari Estela tersebut, hingga mereka jatuh di
atas kubangan lumpur.
Frida membalikkan tubuhnya dan berlari kencang, menghantam
Maria Del Carmen dan Ines, yang langsung jatuh ke atas lumpur
(Mujica, 2004:96).

Frida bisa berkata kasar, seperti sundal, karena dirinya meniru perkataan
ayahnya, Guillermo Kahlo, ketika sedang memarahi ibunya, Matilde Calderon.
Menurut Freud (dalam Corey, 2003:13), Perkembangan pada masa dini kanak-
kanak memiliki pengaruh yang kuat terhadap kepribadian di masa dewasa. Pada
masa itu, Frida suka meniru-niru perbuatan yang dilakukan oleh kedua orang
tuanya, baik dari tingkah laku maupun perkataannya. Jadi tingkah laku yang
dilakukan oleh kedua orang tuanya, terekam dan tersimpan di dalam alam
ketidaksadarnya. Inilah yang membentuk kepribadian Frida, ketika dirinya sudah
menjadi dewasa, yakni suka berbicara kasar.
Tidak lama setelah kejadian itu, ibunya meninggal dan ayahnya
lantas menikah lagi dengan seorang perempuan yang selalu
dikatakannya papa sebagai “anjing sundal” (Mujica, 2004:116).

Begini katanya kepada mama setiap kali mama lepas kontrol.


“Jangan bertingkah laku seperti itu. Kau mengingatkanku pada
anjing sundal itu.” (Mujica, 2004:116).

Keempat, mekanisme pertahanan ego melakonkan dilakukan oleh Frida,


ketika dirinya mendapat berita bahwa ibunya telah meninggal. Mendengar berita
duka seperti itu, Frida sangat sedih sekali, karena di mata Frida, ibunyalah yang
berperan penting dalam kehidupannya. Walaupun Frida sering dimarahi oleh
ibunya, tetapi Frida sangat sayang kepada dirinya. Frida banyak mengadopsi
prilaku-prilaku ibunya yang berani dan lantang.
Sesungguhnya, mami dan Frida mempunyai lebih banyak
persamaan dari yang mereka akui (Mujica, 2004:123—124).

Jadi secara tidak sengaja, Frida sangat mengidolakan ibunya. Sampai-


sampai pada waktu pemakaman ibunya. Frida tidak bisa menahan kecemasan-
kecemasannya. Berikut kutipannya.
Saat pemakaman, Frida mengamuk (Mujica, 2004:485).

Frida tidak terjun ke makam mami, tapi ia menjerit dan terdengar


seperti Maria Magdalena (Mujica, 2004:485).

Tidak hanya itu saja yang dilakukan Frida. Pada saat Cristina meminta
Frida supaya lebih tenang dan sabar menghadapi kenyataan seperti itu, Frida
malah memarahi Cristina.
“Kau pelacur berhati dingin,” ejeknya. “Kau tak tahu apa yang
ku rasakan!” dia mulai menjerit, “Mamii! Mamii! Aku
mencintaimu! Bawa aku bersamamu!” (Mujica. 2004:485).

Prilaku yang dilakukan Frida inilah yang dinamakan dengan mekanisme


pertahanan ego melakonkan. Frida tidak ingin kecemasannya mengendap ke
dalam alam ketidaksadarannya dan berlarut-larut membelenggu dirinya. Frida
membiarkan emosi-emosi itu keluar dengan sendirinya, tanpa disaring oleh
superegonya. Karena itulah, pada waktu pemakaman ibunya, Frida berteriak-
teriak tidak karuan. Frida sangat ketakutan apabila ditinggalkan. Apalagi yang
ditinggal oleh seseorang yang sangat disayanginya.
Ia sangat ketakutan akan ditinggalkan (Mujica, 2004:759).

Kelima, mekanisme pertahanan ego melakonkan ditampakkan juga oleh


Frida, pada saat dirinya mengetahui bahwa adiknya, Cristina, telah berselingkuh
dengan suaminya. Frida sangat marah, karena dirinya tidak rela, Diego melakukan
hubungan gelap dengan Cristina.
Frida sangat marah ketika melihat aku dan Diego kembali bersama
(Mujica, 2004:531).

Ketika Frida mengetahui hubungan gelap tersebut, dirinya langsung


menghujat Cristina. Frida merasa adiknya adalah musuh dalam selimut. Frida juga
meledek adiknya seperti ular kecil. Berikut kutipannya.
“Kau menyakitiku Cristina! Bagaimana kau bisa lakukan ini
padaku! Kau ular kecil!” (Mujica, 2004:531).

Frida merasa telah dibohongi oleh adiknya sendiri selama bertahun-tahun.


Adiknya yang telah dipercaya oleh Frida untuk membicarakan masalah-masalah
yang sedang dihadapinya, tega berbuat tindakan amoral dengan suaminya. Hal ini
yang membuat Frida merasa cemas. Di satu sisi, Frida sangat sayang kepada
adiknya, tetapi di sisi lain Frida sangat membenci adiknya. Inilah yang membuat
gejolak batin yang amat besar dalam diri Frida. Berikut kata-kata Cristina yang
menjelaskan hubungan dirinya dengan Frida.
Aku adalah orang kepercayaan Frida. Aku sahabatnya. Tidak
hanya saat itu, dalam sepanjang hidup kami, kapan pun ia
mempunyai persoalan, kepadakulah ia akan berpaling. Aku adalah
sahabat Frida, selalu dan selamanya (Mujica, 2004:170).

Frida membiarkan emosinya ini keluar apa adanya, tetapi masih dalam
tahap kewajaran, dibandingkan seperti dirinya mekanisme pertahanan ego
melakonkan kepada Estela ataupun Miss Caballero. Hal ini karena, Frida masih
sayang kepada adiknya.
Keenam, mekanisme pertahanan ego melakonkan ditunjukkan juga oleh
Frida, pada saat dirinya bersama adiknya dan Graciela didatangi oleh para polisi.
Mereka bertiga dituduh para polisi tersebut membunuh Leon Trotsky. Berikut
kutipannya.
“iPuta comunista!” gertak polisi lain, yang ini kurus dengan
rambut keriting. “Komunis sundal! Kau ditangkap dengan tuduhan
pembunuhan!” (Mujica, 2004:675).

Dituduh seperti itu, Frida tidak terima. Apalagi salah satu dari polisi
tersebut telah menyikut dan memukul Graciela. Frida lalu menantang para polisi
tersebut. Frida membela diri bahwa dirinya beserta adiknya dan Graciela tidak
bersalah dengan kata-kata sedikit kasar dan meledek.
“Pembunuhan!” Frida tertawa keras, “Kau kira siapa yang kami
bunuh tolol? Kami! Tiga perempuan yang menghabiskan waktu
dengan enchiladas dan chiles rellenos. Lihat baik-baik nak!
Apakah kau melihat pembunuh?” (Mujica, 2004:675).

Frida melakukan perbuatan seperti itu, sebab dirinya tidak ingin


popularitasnya hancur karena insiden tersebut. Hal inilah yang membuat Frida
merasa cemas. Untuk meredakan kecemasan yang menimpa dirinya, Frida secara
tidak sengaja melakukan mekanisme pertahanan ego melakonkan. Mekanisme
pertahanan ego ini mengekspresikan emosi-emosi yang sudah lama tertekan
dengan membiarkan ekspresinya keluar. Adapun ekspresi yang dilakukan Frida
tersebut, berupa ejekan-ejekan yang ditujukan kepada para polisi tersebut. Hal ini
sejalan dengan pernyataan Wardani (2004:xii) bahwa Frida adalah seseorang yang
ekspresif, eksplosif dan blak-blakan.
Frida bisa memaki para polisi tersebut, karena sewaktu masih kecil,
dirinya banyak bergaul dengan orang-orang liar yang berada di pusat kota. Frida
banyak belajar dari mereka, baik dari tingkah lakunya maupun gaya bicaranya.
Karena itu, Frida telah terbiasa dengan kata-kata kotor seperti itu. Hal ini terbukti
melalui kutipan berikut.
Ia senang bergaul dengan para tukang koran yang berada di alun-
alun. ia meniru gaya bahasa mereka dan bahkan kadang menirukan
gaya jalan mereka yang angkuh. Ia mempelajari aneka kata-kata
makian dari mereka, seolah-olah mulutnya belum cukup kotor
(Mujica, 2004:152).

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan


bahwa Frida, dalam novel Frida karya Barbara Mujica, melakukan mekanisme
pertahanan ego melakonkan tersebut dengan membiarkan ekspresi-ekspresi yang
menimbulkan kecemasan ini keluar. Frida melakukan mekanisme pertahanan ego
melakonkan itu sebanyak enam kali. Adapun mekanisme pertahanan ego
melakonkan yang dilakukan Frida adalah berkata kotor dan perbuatan melawan
seseorang yang telah menimbulkan kecemasan bagi dirinya.
Hal tersebut dapat dilihat ketika pada mekanisme pertahanan ego
melakonkan yang pertama, Frida membalas ejekan yang dilontarkan Estela
kepada dirinya. pada waktu itu, Frida diejek Estela sebagai orang yahudi. Tidak
hanya itu saja yang dilakukan Estela. Estela juga mengejek ayah Frida, Guillermo
Kahlo, bahwa beliau adalah orang asing. Diejek seperti itu, Frida tidak tinggal
diam. Frida langsung membalas ejekan Estela dengan umpatan-umpatan kotor.
Frida bisa berbuat demikian, karena pada waktu Frida masih kecil, dirinya suka
meniru-niru perbuatan yang dilakukan orang tuanya, baik dari tingkah laku
maupun perkataannya, yang juga berbuat atau berbicara kasar. Hal ini sejalan
dengan pendapat Freud (dalam Corey, 2003:13), bahwa perkembangan pada masa
dini kanak-kanak memiliki pengaruh yang kuat terhadap kepribadian di masa
dewasa. Karena itu, tidak heran jika kepribadian Frida sama dengan kepribadian
orang tuanya, yakni suka berbicara kasar.
Pada mekanisme pertahanan ego melakonan yang kedua, Frida berbuat
tindakan melawan kepada gurunya, Miss Caballero, yang ingin mempermalukan
dirinya. ketika itu, Frida mengompol di kelas. Merasa dipermalukan seperti itu,
Frida langsung melawan Miss Caballero dengan perbuatan yang tidak pantas.
Adapun perbuatan yang dilakukan Frida adalah berteriak-teriak di dalam kelas,
menjatuhkan ember yang penuh dengan air, menjatuhkan papan tulis dan buku
gambar ke lantai, dan menumpahkan botol cat berwarna merah ke mana-mana.
Frida berbuat demikian karena, dirinya tidak ingin menahan emosinya ke dalam
alam ketidaksadarnya. Frida juga berbuat seperti itu, karena dirinya tidak ingin
dikalahkan oleh Miss Caballero. Hal ini sesuai dengan pendapat Wardani
(2004:xii), bahwa Frida adalah sosok wanita yang ekspresif, eksplosif, dan blak-
blakan.
Pada mekanisme pertahanan ego melakonkan yang ketiga, Frida melawan
Estela beserta teman-temannya yang kembali mengejeknya. Ketika itu, Frida
diejek Estela beserta teman-temannya dengan sebuah nyanyian yang artinya
mengejek kaki Frida yang pincang karena polio. Ketika diejek seperti itu, Frida
langsung membalas nyanyian tersebut dengan umpatan-umpatan kotor. Tidak
hanya itu saja yang dilakukan Frida. Frida juga melawan Estela dan teman-
temannya secara fisik. Frida memukul kedua teman dari Estela tersebut, hingga
mereka jatuh diatas kubangan lumpur. Frida berbuat seperti itu karena tidak ingin
harga dirinya direndahkan oleh Estela, karena Frida sebenarnya memiliki harga
diri yang sangat tinggi.
Pada mekanisme pertahanan ego melakonkan yang keempat, Frida
berteriak-teriak tidak karuan pada waktu pemakaman ibunya. Frida berbuat
seperti itu, karena dirinya merasa terpukul atas peristiwa duka tersebut. Frida
sangat sayang kepada ibunya, karena beliaulah yang sangat berperan penting
dalam kehidupannya. Kepribadian Frida yang blak-blakkan, banyak diwarisi dari
ibunya. Dilanda peristiwa yang membuat dirinya merasa cemas tersebut, Frida
membiarkan emosi-emosi yang ada di dalam dirinya itu keluar, tanpa disaring
oleh superegonya. Frida tidak ingin kecemasannya itu mengendap di dalam alam
tak sadarnya.
Pada mekanisme pertahanan ego melakonkan yang kelima, Frida
meluapkan emosinya kepada adiknya, Cristina, karena telah merebut suaminya.
Frida langsung menghujat adiknya dengan kata-kata kasar, seperti ular kecil.
Frida menganggap adiknya tersebut tidak lebih dari musuh dalam selimut. Karena
setiap Frida mempunyai masalah dengan suaminya, Diego Rivera, Frida selalu
membicarakannya kapada adiknya. Frida merasa telah dibohongi oleh adiknya
sendiri.
Pada mekanisme pertahanan ego melakonkan yang keenam, Frida
meluapkan emosinya secara langsung kepada para polisi yang ingn menahannya.
Ketika itu, Frida bersama adiknya dan Graciela dituduh membunuh seseorang
yang bernama Leon Trotsky. Merasa difitnah seperti itu, Frida tidak terima. Frida
lalu menantang para polisi tersebut dengan kata-kata kasar dan sedikit meledek.
Frida bisa dengan tenang memaki para polisi tersebut, karena pada waktu Frida
masih kecil, Frida banyak meniru tingkah laku sampai gaya bicara orang-orang
liar di pusat kota.

4.8 Mekanisme Pertahanan Ego Nomadisme


Pada novel Frida karya Barbara Mujica, Frida sebagai sosok utama, secara
tidak sadar melakukan mekanisme pertahanan ego nomadisme. Hal ini dibuktikan
ketika Frida melakukan dengan Diego Rivera. Pada waktu acara pernikahan
tersebut, Diego Rivera bersikap tidak sopan atau berbuat onar. Dia menembaki
seluruh benda-benda yang ada di ruangan pernikahannya. Tidak hanya itu saja,
Diego juga menembak jari kelingking seorang wartawan yang berusaha
menghindari tembakannya. Diego Rivera juga menghancurkan keramik cina milik
Hanestrosa dan bercumbu dengan wanita-wanita lain. Hal ini dapat wajar terjadi,
karena waktu itu, Diego Rivera sedang mabuk.
Ia meninggalkan rumah Henestrosa penuh dengan lubang peluru
dan bahkan tidak menawarkan uang perbaikan. Huco Leffert,
wartawan entah dari mana, berusaha untuk menyingkirkan dari
tembakannya, dan Diego menembak jari kelingkingnya! (Mujica,
2004:399).

Ia justru menembaki benda-benda dengan pistolnya, dan meraih


perempuan-perempuan lain, berjalan ke dinding, dan
menghancurkan keramik cina milik Henestrosa (Mujica,
2004:400).

Melihat calon suaminya berbuat tidak pantas, Frida mencoba untuk


menasehatinya, tetapi, dirinya malah dibentaknya. Padahal saat itu Frida ingin
mencoba menyelamatkan popularitas Diego, termasuk dirinya. Frida tidak ingin
citra suaminya menjadi buruk.
Diego marah.
“Siapa anak yang berumur 21 tahun yang mengatakan apa yang
harus dilakukan ini?” (Mujica, 2004:400).

Ditambahkan lagi, Diego Rivera malah mengusir Frida. Diego Rivera


merasa tidak pantas dinasehati oleh Frida, karena umur dari Frida jauh lebih
muda dibandingkan dirinya. Diego Rivera merasa harga dirinya turun apabila
dinasehati oleh seseorang yang berumur lebih muda dari dirinya.
Diego mengaum seperti singa terluka.
“Pergi jauh-jauh dariku! Pergi jauh-jauh dari sini! (Mujica,
2004:400).

Mendapat perlakukan dari Diego Rivera tersebut, Frida melakukan


mekanisme pertahanan ego nomadisme. Dalam menggunakan mekanisme
pertahanan ego tersebut, Frida berusaha mengurangi kecemasan dengan
memindahkan dirinya sendiri secara fisik dari ancaman, yakni pergi meninggalkan
Diego Rivera, ke tempat tinggalnya dulu di Avenda Londres.
Saat itu tengah malam. Tetapi ia kembali ke Avenda Londres dan
tidur di tempat tidur yang ditidurinya sejak kanak-kanak (Mujica,
2004:400).

Perbuatan Frida melakukan mekanisme pertahanan ego nomadisme,


semakin kuat. Hal itu dibuktikan ketika dirinya dijemput oleh adiknya, Cristina.
Frida berkata bahwa dia tidak akan kembali kepada Diego Rivera. Frida ingin
hidup bersama adiknya, cristina, dan bersedia merawat anak-anaknya, Isolda.
“Aku tidak akan pernah kembali padanya!” tangisnya. “Tidak
akan! Aku akan hidup denganmu dan membantumu merawat
Isolda!” (Mujica, 2004:400).

Frida bersikap seperti itu supaya menghindari atau tidak bertemu dengan
kecemasan yang sedang dihadapinya. Kecemasan yang sedang dihadapi Frida
adalah rasa malu kepada tamu-tamu undangannya, akibat ulah dari calon
suaminya, Diego Rivera. Apalagi hari itu adalah hari pernikahannya. Kecemasan
yang dialami Frida tidak hanya itu saja. Dirinya juga merasa dilecehkan dan
merasa tidak dianggap sebagai calon istri dari Diego Rivera.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa Frida, dalam novel Frida karya Barbara Mujica, melakukan mekanisme
pertahanan ego nomadisme tersebut dengan memindahkan dirinya sendiri dari
ancaman yang menimbulkan kecemasan. Frida melakukan mekanisme pertahanan
ego nomadisme itu sebanyak satu kali. Hal tersebut bisa dilihat ketika Frida pergi
meninggalkan acara pernikahannya. Ketika itu Frida marah kepada suaminya,
karena suaminya tersebut telah berbuat onar di perta pernikahannya. Ditambah
lagi, ketika Frida mencoba untuk menasehati suaminya, Frida malah kena marah.
Hal itu yang membuat ego Frida merasa cemas, karena Frida meras sudah tidak
dihiraukan lagi keberadaannya sebagai calon istri Dego Rivera. Untuk
mengurangi kecemasannya, Frida pergi meninggalkan Diego Rivera ke tempat
tinggalnya dulu di Avenda Londres. Frida berbuat demikian karena dirinya tidak
ingin berjumpa lagi dengan Diego Rivera.

4.9 Mekanisme Pertahanan Ego Simpatisme


Pada novel Frida karya Barbara Mujica, Frida sebagai sosok utama, secara
tidak sadar menggunakan mekanisme pertahanan ego simpatisme. Pertama, hal ini
dibuktikan ketika Frida mengalami kecelakaan bus. Frida mengalami kebosanan
karena harus tidur selama beberapa hari di rumah sakit dan kematian yang terus-
menerus mendatanginya. Setelah mengalami beberapa kecemasan seperti itu,
Frida, hampir setiap hari, menulis surat kepada Alex dengan harapan Alex datang
untuk menemui dirinya.
Frida menulis surat kepada Alex hampir setiap hari-surat-surat
panjang, penuh permohonan, tempat ia menuliskan secara detail
segala penyakitnya dan memintanya untuk berkunjung dan menulis
surat (Mujica, 2004:346).

Frida pada saat itu benar-benar ingin bertemu dengan Alex. Frida ingin
membicarakan masalah-masalah atau kecemasan yang dihadapinya kepada Alex,
karena Alex adalah pacar Frida pada waktu itu. Frida berusaha mendapatkan
nasihat dari Alex, supaya bisa meredakan kecemasan yang dihadapinya.
“Oh, kekasihku Alex, aku menghabiskan sepanjang malam
dengan muntah-muntah! Datanglah kemari” atau yang lain, “Oh
yang tersayang, Alex yang kucintai, perutku serasa terbakar
sampai aku kesulitan kentut! Aku searat ingin berjumpa
denganmu!” (Mujica. 2004:346).

Prilaku yang telah dilakukan Frida inilah disebut dengan mekanisme


pertahanan ego simpatisme. Seseorang yang melakukan mekanisme pertahanan
ego seperti ini, akan mencari teman dekatnya untuk membicarakan kecemasan
yang telah diterimanya. Hal ini juga dilakukan oleh Frida. Dirinya ingin sekali
dapat bertemu dengan Alex dan berbicara mengenai masalah-masalahnya. Frida
ingin mendapatkan kata-kata yang bisa mendorongnya supaya dirinya bisa
bertahan menghadapi kecemasan-kecemasannya.
Kedua, mekanisme pertahanan ego simpatisme ditampakkan juga oleh
Frida, ketika dirinya sedang hamil. Frida tidak merasa bahagia, tetapi mengalami
gelisah, karena ada berita buruk yang diterimanya. Menurut analisis dokter yang
telah memeriksa kandungannya, bayi di dalam perutnya tersebut, dalam posisi
salah. Ditambahkan lagi, bayi yang lahir dalam posisi ini, akan tumbuh secara
tidak normal.
Tetapi kemudian sesuatu yang buruk terjadi. Dokter memberitahu
Frida bahwa bayinya sungsang, dalam posisi salah. Kepala di atas,
kaki di bawah. Sangat mungkin bahwa bayi itu akan tumbuh
dengan tidak normal (Mujica, 2004: 428).

Menurut dokter yang memeriksanya, hal itu bisa berakibat fatal.


Kemungkinan terburuk, Frida tidak dapat melahirkan. Jika bayi ini terus
dipaksakan keluar, maka akan terjadi komplikasi, dan akan membahayakan
nyawanya sendiri.
Mungkin bayi itu akan tertahan disana dan Frida tidak mampu
melahirkannya, jika dipaksakan, sangat mungkin akan terjadi
komplikasi (Mujica, 2004:428).

Setelah mendengarkan penjelasan dari dokter tersebut, Frida merasa


cemas. Kecemasan ini membuat Frida melakukan mekanisme pertahanan ego
simpatisme. Frida berusaha mencari sokongan emosi atau nasehat dari orang lain,
yakni adiknya sendiri, Cristina.
Hati kami semua hancur. Frida menangis dan menangis. Begitu
juga aku. Sungguh.
“Apa yang harus aku lakukan, Cristi?” ia terus bertanya
kepadaku (Mujica, 2004:428).

Frida melakukan perbuatan tersebut untuk meredakan kecemasan yang


dialaminya. Kecemasan yang dialami Frida adalah dirinya akan kehilangan bayi
yang dikandungnya. Frida sangat takut akan hal tersebut karena Frida sangat ingin
menjadi seorang ibu. Apalagi Frida pernah berkata bahwa dirinya ingin
mempunyai anak dari Diego Rivera. Maka dari itu, Frida merasa sangat kecewa
mendengar penjelasan dari dokter tersebut.
Di dalam rasa kekecewaan tersebut, Frida mencari adiknya, Cristina untuk
membicarakan tentang masalah-masalah yang telah diterimanya. Frida berusaha
mendapatkan nasihat-nasihat dari Cristina karena dirinya sering mengobrol
tentang kehidupannya kepada Cristina sejak dirinya masih kecil. Hal itu dilakukan
untuk menghilangkan kecemasan yang telah diterimanya.
Ketiga, mekanisme pertahanan ego simpatisme ditunjukkan juga oleh
Frida, ketika dirinya sedang berada di kota Detroit. Di kota tersebut, Frida merasa
sangat kesepian, karena suaminya sibuk menyelesaikan lukisan-lukisan
dindingnya. Apalagi kondisi kaki Frida yang cacat sangat mengganggunya. Dan
ditambah lagi, pada saat itu Frida sedang mengandung bayi.
Namun, jika kau berpikir bahwa Frida merasakan memiliki saat
yang menyenangkan di Detroit, kau salah. Kakinya sangat
menyiksanya, dan hal yang lebih buruk adalah dia hamil saat
musim semi (Mujica, 2004:468—469).
Di negara asal Frida, Meksiko, seorang perempuan yang sedang hamil
sangat bergantung kepada ibunya atau saudara-saudara perempuannya. Karena itu,
ketika Frida mengetahui bahwa dirinya hamil, dia sangat ketakutan dan
mengalami kecemasan. Kecemasan yang dialami Frida adalah dirinya merasa
kesepian dan takut jika tidak ada yang akan merawatnya pada waktu dirinya
sedang hamil nanti.
Karena itu, upaya Frida untuk meredakan kecemasannya dengan cara
menulis surat kepada adiknya, Cristina. Di dalam surat ini, Frida menceritakan
kecemasan yang sedang dialaminya. Hal itu terbukti melalui kutipan berikut.
Aku mengharapkan seorang bayi. Harusnya aku senang, namun,
oh, Cristi-ku sayang. Aku begitu menderita (Mujica, 2004:469).

Aku ingin pulang, tapi tak ada kesempatan, karena Diego akan
menyelesaikan lukisan-lukisan dindingnya sebelum September.
Bayinya akan lahir bulan Desember. Masalahnya adalah, aku ingin
pulang sekarang. Tak seorang pun mengerti bagaimana
mengurusku, dan Diego tidak menunjukkan ketertarikannya akan
kondisiku (Mujica, 2004:470).

Mekanisme pertahanan ego yang dilakukan Frida adalah mekanisme


pertahanan ego simpatisme. Frida berharap dengan menulis surat seperti itu,
dirinya bisa berbagi kecemasan-kecemasan yang sedang dialaminya kepada
adiknya. Dengan menceritakan masalah-masalah yang sedang dialaminya, Frida
berharap kecemasan itu akan musnah. Pada saat itu, Frida butuh rasa kasih sayang
dari adiknya, Cristina, karena dirinya takut apabila kesepian. Frida mendapat
kekuatan lebih apabila dirinya berada di dalam keramaian. Karena itu Frida
berusaha mendapatkan nasehat dari adiknya ingin supaya dirinya tidak merasa
kesepian.
Keempat, mekanisme pertahanan ego simpatisme dilakukan juga oleh
Frida, ketika dirinya kembali dilanda kesepian. Frida merasa kurang bahagia jika
hanya mengirimkan surat kepada adiknya, Cristina. Frida butuh seseorang di
dekatnya untuk memberinya nasehat. Dan orang yang dipilih Frida untuk
membicarakan kecemasan-kecemasannya adalah asisten Diego Rivera, yakni,
Lucienne Bloch. Berikut ucapan Frida mengenai kecemasan yang dirasakan pada
waktu itu.
“Diego tak ingin punya anak, Lucienne, aku harus mampu
menghadapinya, dia tak ingin punya anak dan ia tak mengizinkan
aku untuk hamil lagi (Mucica, 2004:477).

Sayang, kau pasti tak membayangkan, melukis sepanjang hari,


setiap hari, dengan kedua kakiku dan masih mengalami
pendarahan (Mujica, 2004:478).

Frida senang berlarut-larut dengan ceritanya. Dirinya senang membuatnya


sangat dramatis untuk menarik hati dan perhatian orang-orang. Itulah yang
sekarang dilakukan kepada Lucienne Bloch. Frida banyak membicarakan tentang
masalah-masalah psikis yang sedang dirinya hadapi. Terutama tentang suaminya,
Diego. Frida bercerita tentang alasan Diego marah kepada dirinya itu bukan
karena dirinya hamil, melainkan karena Diego sedang menjalani proses diet.
Dia diet, itulah sebabnya dia begitu jengkel sepanjang waktu. Dia
melemparkan benda-benda kepadaku, penghapus cat, rokok, asbak,
senapan, tapi itu bukan dia, itu adalah dietnya. Dia tak sadar apa
yang dia lakukan (Mujica, 2004:479).

Berdasarkan penjelasan di atas, Frida ingin mendapatkan perhatian oleh


seeorang karena dirinya sedang hamil. Budaya di negara Amerika sangat berbeda
dengan negara Meksiko, tempat berasal Frida. Di Meksiko, perempuan yang
sedang hamil biasanya dirawat oleh ibunya ataupun saudara-saudara
perempuannya. Tetapi, di kota Detroit, dirinya ingin dirawat oleh teman barunya,
Lucienne Bloch. Walaupun hanya sekadar mengobrol saja.
Tujuan Frida melakukan mekanisme pertahanan ego seperti itu adalah
untuk menghindarkan dirinya dari kesepian. Frida sangat suka dikelilingi oleh
setiap orang, baik itu suka maupun duka. Karena itu, Frida berusaha mendapat
simpati dari teman barunya, Lucienne Bloch. Apalagi Frida dapat dengan mudah
mengikat hati seseorang.
Kelima, mekanisme pertahanan ego simpatisme ditampakkan juga oleh
Frida ketika kesehatannya semakin memburuk. Menurut dokter yang telah
merawatnya, penyebabnya adalah paru-parunya mengalami masalah. Hal ini
berhubungan juga dengan tulang belakang Frida yang patah akibat kecelakaan
yang dialami Frida dulu.
Setelah Diego pergi, kesehatan Frida memburuk. Bernapas saja
menjadi sebuah tugas baginya. Dokter berpikir, tulang
belakangnya yang terlilit telah merusak paru-parunya (Mujica,
2004:669—670).

Ketika berada dalam kondisi gelisah seperti itu, Frida secara tidak sengaja
melakukan mekanisme pertahanan ego simpatisme. Seseorang yang melakukan
mekanisme pertahanan ego seperti ini akan mencari teman dekatnya untuk
membicarakan masalah-masalah yang sedang dihadapinya. Frida pun memilih
suaminya, Diego, untuk membicarakan kecemasannya. Karena itu, Frida
mengirimkan surat kepada Diego perihal masalah kesehatan yang sedang
dialaminya. Frida butuh rasa kasih sayang dari Diego, dan berusaha untuk
mendapatkan kata-kata yang bisa membangkitkan gairah untuk menghadapinya.
Berikut kutipannya.
Musim panas tengah berlangsung. Siang terasa panjang dan
nyaman, tetapi Frida berada dalam penderitaan abadinya. Ia
menulis surat panjang, penuh dengan kata-kata manja, pada Diego,
dan gambaran detail tentang alat yang menyakitkan yang
ditemukan dokter khusus untuknya (Mujica, 2004:670).

Frida ingin dirinya diperhatikan oleh Diego. Walaupun pada saat itu Frida
telah diceraikan Diego, tetapi dirinya masih mencintai Diego. Tujuan Frida
menulis surat kepada Diego itu sebenarnya dirinya membutuhkan nasehat atau
sokongan emosi dari Diego. Walaupun jawaban surat dari Diego bukan
memberikan perhatian penuh pada kesehatan Frida, tetapi hal itu bisa sedikit
menghibur Frida dari kecemasan yang sedang dialaminya.
Diego telah menjawabnya. Tetapi bukannya memberi perhatian
penuh keharuan, suratnya malah berceloteh tentang bagaimana
proyek muralnya berjalan baik (Mujica, 2004:670—671).

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan


bahwa Frida, dalam novel Frida karya Barbara Mujica, melakukan mekanisme
pertahanan ego simpatisme tersebut dengan berusaha mencari nasihat atau
sokongan emosi dari orang lain. Frida melakukan mekanisme pertahanan ego
simpatisme itu sebanyak lima kali. Hal tersebut bisa dilihat ketika Frida
membutuhkan nasihat atau sokongan emosi dari Alex, Cristina, Lucienne Bloch,
dan Diego Rivera.
Pada mekanisme pertahanan ego simpatisme yang pertama Frida berusaha
mencari nasihat dari Alex. Ketika itu, Frida mengalami kecelakaan bus. Beberapa
tulangnya patah, sehingga Frida harus tidur di ranjangnya selama beberapa hari
dan tidak bisa kemana-mana. Karena harus diam di ranjangnya selama beberapa
hari, membuat Frida mengalami kebosanan. Hal itulah, yang membuat Frida
mencari teman dekatnya, yakni Alex, untuk membicarakan kecemasannya.
Hampir tiap hari, Frida menulis surat untuk Alex, dengan harapan Alex akan
datang untuk menemuinya.
Pada mekanisme pertahanan ego simpatisme yang kedua, Frida berusaha
mencari nasihat dari adiknya, Cristina. Ketika itu, Frida mengalami keguguran.
Frida sangat sedih sekali mendengar berita tersebut, karena Frida sangat ingin
menjadi seorang ibu. Hal inilah yang menjadi penyebab kecemasan bagi dirinya.
untuk mengurangi kecemasan yang ada di dalam diri Frida, dirinya lalu mencari
sokongan emosi dari adiknya Cristina. Frida berusaha mendapatkan nasihat dari
adiknya tersebut, karena Frida sering membicarakan tentang seputar
kehidupannya kepada Cristina sejak Frida masih kecil.
Pada mekanisme pertahanan ego simpatisme yang ketiga, Frida kembali
berusaha mencari nasihat dari adiknya. Ketika itu Frida sedang berada di kota
Detroit, Amerika, bersama suaminya. Di kota tersebut, Frida merasa sangat
kesepian. Apalagi lagi, kakinya yang cacat sangat mengganggunya. Ditambah
lagi, ketika itu Frida hamil kembali. hal inilah yang membuat Frida bertambah
cemas, karena Frida takut jika tidak ada yang merawatnya di kota tersebut. Frida
sangat takut apabila hidup sendirian atau kesepian. Karena itu, untuk meredakan
kecemasannya, Frida menulis surat kepada Cristina. Di dalam surat ini, Frida
banyak menceritakan tentang kecemasan-kecemasan yang sedang dialaminya
pada waktu itu.
Pada mekanisme pertahanan ego simpatisme yang keempat, Frida
membicarakan kecemasan-kecemasannya kepada asisten Diego Rivera, yakni
Lucienne Bloch. Frida banyak bercerita tentang masalah-masalah psikis yang
sedang dirinya hadapi, seperti tentang perbuatan suaminya yang tidak wajar
kepada dirinya. ketika itu Frida merasa kesepian di kota Detroit, Amerika. Frida
sangat benci dengan kesepian, dan sebisa mungkin untuk menghidarinya. Hal ini
yang membuat Frida semakin merasa cemas. Karena itu, untuk menghilangkan
kecemasannya, Frida banyak berbicara dengan Lucienne Bloch. Tujuan frida
berbuat seperti itu, karena untuk menghindarkan dirinya dari kesepian, sekaligus
meredakan kecemasannya.
Pada mekanisme pertahanan ego simpatisme yang kelima, Frida berusaha
mencari nasihat dari suaminya, yakni Diego Rivera. Ketika itu, Frida mengalami
masalah dengan kesehatannya. Ketika berada di dalam kondisi cemas seperti itu,
Frida butuh sokongan emosi dari Diego Rivera. Karena itu, Frida menulis surat
kepada Diego Rivera perihal masalah kesehatan yang sedang dialaminya. Frida
berharap dengan cara tersebut, dirinya bisa mendapatkan kata-kata yang bisa
membangkitkan gairahnya untuk menjalani hidupnya yang saat itu dalam berada
kondisi cemas.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Setelah membaca, memahami, dan menganalisis aspek psikologi
kepribadian tokoh utama dalam novel Frida karya Barbara Mujica, maka, peneliti
dapat menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
(1) Represi atau penekanan sebagai mekanisme pertahanan ego tampak nyata
pada Frida dalam novel Frida karya Barbara Mujica. Pertama, ketika Frida
menggambar tanda X hitam di seluruh lukisannya, memoles seluruh badannya dan
seluruh benda-benda yang ada di sekitarnya, dengan campuran warna yang telah
dibuatnya. Kedua, pada saat menerima berita duka, yakni papanya yang sangat
disayanginya meninggal dunia. Frida merasa sangat terpukul atas kejadian
tersebut, karena selama ini Frida selalu dimanja oleh papanya.
(2) Sublimasi sebagai mekanisme pertahanan ego tampak nyata pada Frida
dalam novel Frida karya Barbara Mujica. Pertama, ketika Frida pergi ke gereja
untuk meminta maaf atas perbuatannya kepada Elias Galdos. Kedua, pada saat
Frida melukis karena tidak bisa kemana-mana akibat kecelakaan. Ketiga, ketika
Frida melukis untuk mengusir rasa bosan akibat terus-menerus menunggui
suaminya bekerja. Keempat, pada saat Frida sedang hamil. Pada waktu itu Frida
sedang berada di kota Detroit bersama suaminya. Dan kelima, ketika Frida
kembali melukis setelah dirinya bercerai dengan Diego Rivera.
(3) Proyeksi sebagai mekanisme pertahanan ego tampak nyata pada Frida
dalam novel Frida karya Barbara Mujica, ketika Frida menuduh gurunya yang
tidak pintar dan gaya mengajarnya membosankan. Frida berbuat begitu karena
tidak ingin dikeluarkan dari sekolahnya.
(4) Displacement sebagai mekanisme pertahanan ego tampak nyata pada Frida
dalam novel Frida karya Barbara Mujica, ketika Frida memotong rambutnya
setelah dirinya bercerai dengan suaminya, Diego Rivera.
(5) Rasionalisasi sebagai mekanisme pertahanan ego tampak nyata pada Frida
dalam novel Frida karya Barbara Mujica. Pertama, ketika Frida terkena penyakit
polio, dirinya berimajinasi bahwa putri khayalannya, putri Zoraida, mempunyai
kaki yang sama dengan dirinya. Kedua, berbicara mengenai kematian yang datang
kepadanya. Ketiga berbicara bohong ketika ditanyai Agustina Reyna. Dan
keempat, pada saat Frida mengalami kesakitan pada kakinya. Frida tidak tahan
pada rasa sakit tersebut, sehingga dirinya melontarkan pernyataan-pernyataan
bohong kepada adiknya yang menjaganya.
(6) Reaksi formasi sebagai mekanisme pertahanan ego tampak nyata pada
Frida dalam novel Frida karya Barbara Mujica, ketika Frida didatangi oleh murid-
muridnya. Para muridnya tersebut ingin membuat pesta kecil-kecilan bersama
Frida, tetapi Frida tidak ingin merayakannya karena merasa dihina. Jadi, Frida
menolaknya secara halus.
(7) Melakonkan sebagai mekanisme pertahanan ego tampak nyata pada Frida
dalam novel Frida karya Barbara Mujica. Pertama, ketika Frida berbicara kasar
sewaktu diejek oleh Estela. Kedua, pada saat Frida berbuat onar sewaktu Miss
Caballero ingin mempermalukannya. Ketiga, ketika Frida berkelahi dengan teman
dari Estela. Keempat, pada saat Frida mendapat berita bahwa ibunya telah
meninggal. Kelima, ketika Frida mengetahui bahwa adiknya, Cristina, telah
berselingkuh dengan suaminya. Dan keenam, pada saat Frida bersama adiknya
dan Graciela didatangi oleh para polisi. Mereka bertiga dituduh para polisi
tersebut membunuh Leon Trotsky.
(8) Nomadisme sebagai mekanisme pertahanan ego tampak nyata pada Frida
dalam novel Frida karya Barbara Mujica, ketika Frida pergi dari acara
pernikahannya karena malu atas perbuatan suaminya, Diego Rivera. Ketika itu
Diego Rivera mabuk berat dan menembak seluruh benda pada saat
pernikahannya.
(9) Simpatisme sebagai mekanisme pertahanan ego tampak nyata pada Frida
dalam novel Frida karya Barbara Mujica. Pertama, ketika Frida ingin
mendapatkan nasihat dari kekasihnya, ketika dirinya kecelakaan. Kedua, pada saat
Frida mengetahui bahwa bayi yang dikandungnya itu dalam posisi salah, dirinya
berusaha mencari nasehat dari adiknya, Cristina. Ketiga, ketika Frida merasa
kesepian di kota Detroit. Frida lalu menulis surat kepada adiknya, Cristina. Di
dalam surat ini, Frida menceritakan kecemasan yang sedang dialaminya.
Keempat, pada saat Frida membicarakan kecemasan-kecemasannya kepada
asisten Diego, Bloch Lucienne. Kelima, ketika kesehatannya semakin memburuk.
Frida mengirimkan surat kepada Diego perihal masalah kesehatan yang sedang
dialaminya.

5.2 Saran
Berkaitan dengan hal itu, saran yang disampaikan dalam penelitian ini
ditujukan kepada para sastrawan, para peneliti, dan pecinta sastra serta para
pendidik khususnya guru bahasa dan sastra indonesia. Adapun saran-sarannya
adalah sebagai berikut.
(1) Bagi sastrawan, mempelajari psikologi secara mendalam sangat penting.
Hal ini berguna untuk menajamkan pengamatan terhadap gejala-gejala
psikologi yang terjadi di kehidupan masyarakat. Hal ini berguna bagi
penulisan karya sastra.
(2) Bagi peneliti dan pemerhati sastra, perlu juga memperluas wawasan
psikologi. Hal ini bermanfaat untuk menajamkan analisis agar diperoleh
hasil yang lebih baik.
(3) Bagi pendidik, hasil penelitian yang dijadikan masukan bagi pengajaran
apresiasi sastra, terutama mengenai cara menganalisis suatu karya sastra,
khususnya aspek-aspek psikologisnya.
(4) Bagi orang yang mambaca sastra. Dengan mambaca karya sastra
diharapkan dapat memperkaya makna kehidupannya dan makna
kejiwaannya.
(5) Bagi perpus Unesa. Diharapkan untuk melengkapi buku-buku atau
literatur.
Peneliti sadar bahwa penulisan ini adalah langkah awal dalam kegiatan
analisis terhadap unsur-unsur psikologis, terutama Psikoanalisis Sigmund Freud,
tokoh utama novel Frida karya Barbara Mujica. Karena itu, diharapkan peneliti
selanjutnya bisa mengkaji novel ini dari cabang ilmu dari psikoanalisis atau biasa
disebut neo-Freudian. Adapun tokoh-tokohnya adalah Carl Gustav Jung, Alfred
Adler, Erik H. Erikson, Harry Stack Sullivan, Erich Fromm, Karen Horney, dan
Otto Rank.
Atau jika tidak, diharapkan peneliti selanjutnya mengkaji dari cabang ilmu
dari psikologi yang lainnya, seperti behaviorisme B. F. Skinner, atau humanistik
Abraham Maslow. Dengan demikian, kajian psikologi di indonesia, khususnya di
Unesa bisa semakin berkembang dan meluas.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu dan M. Umar.


1992. Psikologi Umum. Surabaya: PT Bina Ilmu.

Aminudin.
1990. Pengantar Apresiasi Sastra. Bandung: Algesindo.
Berry, Ruth.
2001. Seri Siapa Dia? FREUD, (penerjemah: Frans Kowa). Jakarta:
Erlangga.

Bertens, K.
2002. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Boeree, C. George.
2005. Personality Theories, (penerjemah: Inyiak R). Yogyakarta: Prisma.

Corey, Gerald.
2003. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, (penerjemah: E.
Koeswara). Bandung: PT Refika Aditama.

Darma, Budi.
2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat bahasa.

Darwati.
2002. “Mekanisme Pertahanan Ego Tokoh dalam Kumpulan Cerpen
Enam Mimpi karya Chiung Yao (Kajian Psikoanalisis)”. Skripsi
tidak diterbitkan. Surabaya: JBSA, Universitas Negeri Surabaya.

Djojosuroto, Kinati dan M. L. A. Sunaryati


2001. Penelitian Bahasa dan Sastra. Jakarta: Cendekia

Endraswara, Suwandi.
2003. Metodologi Penelititan Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan
Aplikasi. Yogyakarta: Widyatama.

Freud, Sigmund.
2002. Psikoanalisis, (penerjemah: Ira Puspitarini). Yogyakarta: Ikon.
2003. Teori Seks, (penerjemah: Apri Danarto). Yogyakarta: Jendela.

Fudyartanta, RBS.
2005. Psikologi Kepribadian Neo Freudianisme. Yogyakarta: Zenith
Publisher.

Hall, Calvin S., dan Gardner Lindzey.


1993. Teori-teori Psikodinamik (Klinis), (penerjemah: A. Supratiknya).
Yogyakarta: Kanisius.

Hardjana, Andre.
1994. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia.

Indarti, Titik.
2004. “Sikap Perempuan Bali terhadap Tradisi, Adat, Agam, dan
Dominasi Laki-laki dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini”
dalam Prasasti Vol 54, Bulan Agustus 2004. Surabaya: Unesa
Press

Jabrohim, Dkk.
2000. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita

Kartono, Kartini.
1989. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. Bandung: Mandar
Maju.
1996. Psikologi Umum. Bandung: Mandar Maju.

Koeswara, E.
1991. Teori Teori Kepribadian. Bandung: PT Eresco.

Mayasari, Irene Dwi.


2005. “Tokoh Utama Mandar dalam Novel Cinta Seorang Psikopat karya
V. Lestari (Kajian Psikoanalisis)”. Skripsi tidak diterbitkan.
Surabaya: JBSI, Universitas Negeri Surabaya.

Milner, Max.
1992. Freud dan Interpretasi Sastra, (penerjemah: Sri Widaningsih dan
Laksmi). Jakarta: Intermasa.

Mujica, Barbara.
2004. Frida, (penerjemah: Nuraini Juliastuti). Bandung: Bentang

Nadjid, Moh.
2003. Apresiasi Prosa Fiksi. Surabaya: Unesa Press.

Niswah, Anis Choirun.


2003. “Analisis Mimpi dan Realita Tokoh Aston dalam Novel Pol karya
Putu Wijaya (Kajian Psikoanalisis Sigmund Freud)”. Skripsi tidak
diterbitkan. Surabaya: JBSA, Universitas Negeri Surabaya.

Nurgiyantoro, Burhan.
1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: UGM Press.

Palmquist, Stephen.
2005. Fondasi Psikologi Perkembangan, menyelami mimpi, mencapai
kematangan diri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pradopo, Rachmat Djoko.


2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Poduska, Benard.
2000. Empat Teori Kepribadian. Jakarta: Restu Agung.

Rahmani.
2004. “Kecemasan Tokoh Firdaus dalam Novel Perempuan di Titik Nol
karya Nawal el-Saadawi (Kajian Psikoanalisis)”. Skripsi tidak
diterbitkan. Surabaya: JBSA, Universitas Negeri Surabaya.

Rahmawati, Tutik.
2005. “Novel Imipramine karya Nova Riyanti Yusuf (Kajian
Psikoanalisis Sigmund Freud)”. Skripsi tidak diterbitkan.
Surabaya: JBSA, Universitas Negeri Surabaya.

Ratna, Nyoman Kutha.


2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Rubiyanti, Ellysa.
2005. “Mimpi dan Dampak Mimpi bagi Tokoh Maya Amanita dalam
Novel Cala Ibi karya Nukila Amal. Skripsi tidak diterbitkan.
Surabaya: JBSA, Universitas Negeri Surabaya.

Satoto, Soediro.
1986. Metode Penelitan Sastra. Surakarta: Sebelas Maret University
Press.

Satriya, Andik.
2003. “Dinamika Kepribadian Tokoh Utama dalam Novel Melanie karya
V. Lestari (Tinjauan Psikologis)”. Skripsi tidak diterbitkan.
Surabaya: JBSA, Universitas Negeri Surabaya.

Syafiq, Muhammad.
2004. “Menggapai Pesona Frida Kahlo”. Artikel di harian Jawa Pos,
Tanggal 28 November 2004.

Wardani, Farah.
2004. “Membaca Frida: Sang Wanita dan Wanita Lain di Belakangnya”.
dalam Barbara Mujica. 2004. Frida. Yogyakarta: Bentang.
Wellek, Rene & Austin Warren.
1990. Teori Kesusastraan, (Penerjemah: Melani Budianta). Jakarta: PT
Gramedia.
KORPUS DATA
MEKANISME PERTAHANAN EGO TOKOH UTAMA
NOVEL FRIDA KARYA BARBARA MUJICA
MEKANISME DATA (KUTIPAN) HALAMAN
PERTAHANAN EGO
• “Sial! Sial! Sial! Aku tidak dapat melakukan
REPRESI apa-apa dengan baik!” tiba-tiba ia mengambil 361
kuas dan mulai menggambar X hitam di
seluruh kanvas.

• Tiba-tiba selintas bayangan masuk di


kepalaku. Kelas Miss Caballero. Saat ketika
guru itu berusaha mempermalukan Frida di 362—363
depan murid-murid lain. Dan Frida yang
meronta melepaskan diri dan menutupi dirinya
dengan cat.

• Frida terus melukis X lalu ia mengambil kuas


dan mulai menulis-nulis dengan kasar, 261

mencampurkan semua warna sampai mereka


semua menjadi hitam-kecokelatan.

• Ia menekankan tangannya ke kanvas basah,


kemudian mengoleskan warna campuran 261—262

menjijikkan itu ke seluruh matanya,


rambutnya, mulutnya, dahinya.

• Lalu ia menancapkan tangannya pada cat


diatas palet, cat merah, dan mulai memulaskan 362

pipinya, di korsetnya, di kertas-kertasnya, di


bantalnya, semuanya.

• Ia menjadi tak terduga sejak papa meninggal.


Satu menit ia akan penuh kegembiraan dan
tertawa. “Hey, manita, ayo belanja, membeli
686
cincin untuk tiap jari atau barang loakan yang
masih bagus dan cantik.” Tapi kemudian ia
akan mulai minum lagi dan tidak satu orang
pun yang bisa menghentikannya.
685
• Seluruh koleksinya pecah dan hancur
berkeping-keping.

• Patung bayi bercat dengan senyum sempurna 685


dan matanya yang tak bergerak, semuanya
berkeping-keping.

• Sebagai bukti kesedihannya yang mendalam,


SUBLIMASI ia pergi ke katedral dan menyalakan lilin untuk
Bunda Maria. Ia mulai menjelaskan kepada 174
Bunda Maria, betapa ia sangat menyesal,
betapa ia merasa seperti kotoran di selokan.

• “Tapi aku harus memerhatikannya sekarang,


karena sekarang aku merasa ingin melukis.” 357

• Menurut mami melukis akan menjadi model


pengalihan yang baik baginya. Dan
sesungguhnya, aku rasa setiap orang 359

berbahagia dengan Frida yang patuh dan diam


seperti itu.

• Tapi kemudian, Frida agak bosan di


Cuernavaca. Tidak ada hal yang yang
dilakukannya kecuali menunggui Diego dan 425—426

menghadiri acara-acara sosial. Sehingga ia


mulai melukis lagi sedikit untuk mengabiskan
waktu.

• “Aku melukis agar aku bisa melupakannya.” 475

• Satu-satunya saat ia tampak baik-baik saja


656
adalah saat melukis.

• “Mengapa harus pergi ke kelas yang diajar


PROYEKSI oleh guru-guru yang bodoh dan 264
membosankan?” bentaknya.

• Ia memotong rambutnya. Ia selalu melakukan


DISPLACEMENT itu ketika ia memiliki masalah serius dengan 645
Diego.

• “Kau tahu,” katanya kepadaku,


RASIONALISASI “Princess Zoraida mempunyai kaki yang kisut
juga.” 82—83
“Bagaimana kau tahu?” tanyaku
“Aku melihatnya. Ia muncul dari kabut dan
datang menemuiku semalam.” Ia memejamkan
mata, dan tampak sedang membayangkan
sesuatu.

• “Aku tidak hanya


merasakannya,” katanya.
“Aku melihatnya. Kematian berdansa di 335
sekeliling ruangan. Kadang ia menaiki sepeda
memutari tempat tidurku. Kadang ia
mengambil gitar dan memainkan nada-nada
ceria. Nada yang memikat, yang membuatmu
ingin pergi ke arahnya dan memeluknya.”
351

• “Apakah kau mencari


Alex?”“Tidak....,” Frida tergagap. “Aku....,
aku hanya ingin melhat siapa yang sedang ada
disana.”
582

• Kakinya begitu menyiksanya.


“Kaki setan!” begitu katanya. “Setan itu
menyiksaku lagi, katanya. “kau tahu, ia
memberiku kaki ini untuk menghukumku. Ia
menyelinap ke tempat tidurku suatu malam
dan menancapkannya di kaki yang kurus.

• “Idiot!” teriaknya segera setelah


REAKSI FORMASI mereka pergi.”Anak-anak bodoh itu! Apa yang 726
mereka pikirkan dengan menganggap aku
sebagai ibu mereka?
• Ia mengambil pisau dan
menancapkannya pada gambar ibu dan anak 727
milik Fanny. Ia merobek setiap gambar, dan
merusak buket bunga.

• Ia mengambil kelopak bunga


yang halus, dan merenggut daun-daunnya, dan
ia mengoyak tangkainya yang rapuh. Dengan 727
gila ia mengoyak bunga itu dengan giginya,
mengunyah sampai ke akar-akarnya, kemudian
meludahkannya.

• “Lagu yang bodoh!” pekiknya. 9


MELAKONKAN “Pasti lagu itu dibuat oleh seorang idiot!”

• “Ibumu adalah pelacur bangsat 13


yang bodoh!”

• “Ibumu Bangsat! Ibumu begitu 14

kotor sehingga ada laba-laba keluar dari


vaginanya!”

• Miss Caballero berusaha 21

menahannya dengan menarik pita bajunya, tapi


Frida meronta-ronta. Ia menyikut ember yang
telah disiapkan untuk membersikannya.

• “Hentikan!” jerit Miss 22

Caballero. Tapi Frida telah terlanjur


menggosokkan cat ke bajunya, tangannya,
wajahnya, bahkan dari kelopak matanya
menetes cairan lengket kental berwarna merah.
95

• “Sundal!” teriaknya. “Aku jijik


pada nyanyian bodohmu itu!”.
• “Pergi!” Teriaknya. 95
“Dasar kau yang keluar dari pantat ibumu,
bukan dari lubang diantara kaki-kakinya.

• Frida membalikkan tubuhnya dan 96


berlari kencang, menghantam Maria Del
Carmen dan Ines, yang langsung jatuh ke atas
lumpur.
485

• “Kau pelacur berhati dingin,”


ejeknya. “Kau tak tahu apa yang kau rasakan!”
dia mulai menjerit, “Mamii! Mamii! Aku
mencintaimu! Bawa aku bersamamu!”
531

• “Kau menyakitiku Cristina!


Bagaimana kau bisa lakukan ini padaku! Kau
ular kecil!”
675

• “Pembunuhan!” Frida tertawa


keras, “Kau kira siapa yang kami bunuh tolol?
Kami! Tiga perempuan yang menghabiskan
waktu dengan enchiladas dan chiles rellenos.
Lihat baik-baik nak! Apakah kau melihat
pembunuh?”

• “Aku tidak akan pernah kembali padanya!”


NOMADISME tangisnya. “Tidak akan! Aku akan hidup 400
denganmu dan membantumu merawat Isolda!”

• Frida menulis surat kepada Alex hampir setiap


SIMPATISME hari-surat-surat panjang, penuh permohonan,
tempat ia menuliskan secara detail segala 346
penyakitnya dan memintanya untuk
berkunjung dan menulis surat.

• Hati kami semua hancur. Frida menangis dan


menangis. Begitu juga aku. Sungguh. 428
“Apa yang harus aku lakukan, Cristi?” ia terus
bertanya kepadaku.

• Aku mengharapkan seorang bayi. Harusnya


aku senang, namun, oh, Cristi-ku sayang. Aku 469
begitu menderita.

• Aku ingin pulang, tapi tak ada kesempatan,


karena Diego akan menyelesaikan lukisan-
lukisan dindingnya sebelum September.
Bayinya akan lahir bulan Desember. 470
Masalahnya adalah, aku ingin pulang
sekarang. Tak seorang pun mengerti
bagaimana mengurusku, dan Diego tidak
menunjukkan ketertarikannya akan kondisiku.

• “Diego tak ingin punya anak, Lucienne, aku


harus mampu menghadapinya, dia tak ingin 477

punya anak dan ia tak mengizinkan aku untuk


hamil lagi.

• Sayang, kau pasti tak membayangkan, melukis


sepanjang hari, setiap hari, dengan kedua 478

kakiku dan masih mengalami pendarahan.

• Musim panas tengah berlangsung. Siang terasa


panjang dan nyaman, tetapi Frida berada
dalam penderitaan abadinya. Ia menulis surat
panjang, penuh dengan kata-kata manja, pada 670

Diego, dan gambaran detail tentang alat yang


menyakitkan yang ditemukan dokter khusus
untuknya.

You might also like