Professional Documents
Culture Documents
Bagus Takwin
"Apa yang kita sebut alam… adalah puisi tersembunyi di balik tulisan
rahasia yang menakjubkan; jika kita dapat memahami rahasia itu,
semestinya kita mengenali di dalamnya pengembaraan batin manusia yang
dalam keterpanaan menanggalkan waham dirinya saat mencari diri." -
Ernst Cassirer -
ALAM yang memuat puisi tersembunyi itu makin sulit dipahami sebab
tulisan rahasianya pun makin tak terbaca. Dunia bergerak cepat dan makin
tak terpahamkan aturannya. Realitas di dalamnya seolah menghindar dari
teori-teori. Selalu ada yang luput dari konstruksi filsafat dan ilmu. Setiap
satu hal pelik terjelaskan, muncul masalah baru yang menuntut konstruksi
pengetahuan baru untuk memahaminya. Ibarat puzzle dengan kepingan-
kepingan tak terhingga, kompleksitas realitas dunia makin berbelit
memaparkan belantara acak yang seolah tak berpeta, tak berpola, tanpa
kategori. Apakah manusia harus berhenti membaca dan memahami
realitas? Apakah itu tanda berakhirnya kemampuan manusia memahami
realitas? Menurut saya: tidak. Dunia yang makin kompleks justru tanda
bahwa usaha manusia memahami dunia punya efek. Satu persatu tirai
semesta tersingkap, makin ke dalam kompleksitas alam makin tampak.
Kompleksitas menantang manusia melanjutkan ekspedisi di alam semesta.
Pengembaraan batin yang mengingatkan manusia untuk menanggalkan
satu lagi waham: telah mengetahui dan menguasai segalanya. Manusia pun
diingatkan untuk mencari cara baru menafsir realitas, nalar yang
memahami kompleksitas dunia.
Dari sejarah kita tahu, ada banyak suara manusia yang begitu percaya diri
mampu menjelaskan realitas. Salah satunya dari Wilhelm von Humboldt
yang dikutip Husain Heryanto dalam "Imajinasi Tak Berjejak Ancam
Padamkan Nalar" (suplemen "Bentara", Kompas, 6-6-2003), "Berkat logos,
nalar dan kata kita memanusiakan realitas dan jadilah kita manusia
sepenuhnya." Begitu Humboldt meringkas fungsi hidup manusia di alam
semesta. Manusia menjadi variabel yang derajat kemanusiaannya
ditentukan oleh logos, nalar dan kata. Humboldt, dengan asumsi bahwa
bahasa mewakili ‘weltansichten’ (pandangan dunia), menegaskan bahwa
hanya dengan bahasa manusia dapat menjalankan aktivitas yang bermakna
di dunia. Pengertian bahasa mencakup isi keteraturan dan struktur. Bahasa
sebagai asas pengaturan untuk menata chaos (ketiadaan aturan atau the
absent of order) menjadi logos (keteraturan atau the present of order).
Keteraturan itu harus didukung oleh kepastian sebagai dasar dan patokan
yang menduduki tempat tertinggi dalam struktur bahasa. Nalarlah yang
menjadi puncaknya. Lalu, kata-kata menjadi elemen-elemen yang
membangun struktur bahasa. Maka, hiduplah manusia dengan frame of
reference (kerangka rujukan) dalam realitas yang ditertibkan logos, nalar
dan kata. Dan dalam pengertian Humboldt, itulah kehidupan manusia yang
manusiawi.
Namun, siapa yang menentukan logos, nalar dan kata? Darimana asalnya
bahasa? Bagaimana nalar diperoleh? Jawabannya belum jelas hingga kini.
Banyak cerita tentang asal-usul nalar, logos dan bahasa. Dalam berbagai
cerita mitis, kita temukan bahwa bahasa dan pengetahuan diperoleh
manusia langsung dari ’Tuhan’ atau ’guru ilahi’. Pendapat ini bisa
dimaklumi dengan memahami premis pertama dari mitos. Dalam mitos,
segala sesuatu harus dikembalikan kepada kondisi asali, ke masa lalu yang
jauh dan mandiri, terisolasi dari yang kini dan oleh karenanya bersifat
murni. Masa kini hanya derivasi dari kondisi asali, tak punya penjelasan
sendiri. Berpikir mitis adalah berpikir yang menetapkan adanya kepastian-
kepastian tak terbantahkan, suci dan murni. Kebenaran dalam mitos
diklaim bersifat genetik, inherent dalam proposisi-proposisi yang
dikandungnya. Kebenaran yang selesai dan tuntas. Ternyata, cara berpikir
mitis masih ditemukan dalam pemikiran filosofis. Sejarah filsafat
menunjukkan dalam ratusan tahun bahwa masalah-masalah sistematik
filsafat dibayangi oleh proposisi genetik yang merupakan jawaban dari
masalah-masalah genetik. Sekali masalah genetik terjawab menghasilkan
proposisi yang dianggap sebagai kepastian tak terbantah maka masalah-
masalah sistematik akan terselesaikan satu demi satu di bawah naungan
kebenaran proposisi genetik.
Kita temukan cara berpikir mitis dalam esei Husain Heriyanto tersebut di
atas. Husain menjunjung tinggi nalar yang tak dipengaruhi kepentingan,
emosi, kehendak, imajinasi, dan dorongan naluriah. Ia juga curiga bahwa
pemikiran filosofis seperti positivisme yang dipelopori Comte, idealisme
Hegel, neopositivisme, filsafat eksistensi Nietzsche, fenomenologi Heidegger,
dan dekonstruksi Derrida adalah hasil intervensi dominan fakultas mental
non-nalar. Begitu pula klaim kemutlakan sains dan agama. Husain
tampaknya tergabung dalam clique of pure reason bersama Parmenides,
Zeno, Pythagoras, dan Plato. Mereka memuja nalar murni, sebuah konsep
hipotetis yang tak bisa ditunjuk wujud atau jejaknya. Nalar itu diperoleh
dari intuisi rasional. Sebuah misteri yang konon hanya diketahui oleh
orang-orang tertentu. (Untuk selanjutnya nalar menurut Husain Heryanto
saya sebut ’nalar murni’).
Lebih jauh lagi, dilihat dari esensi nalar, pernyataan itu mengandung
paradoks dan di dalamnya terkandung term-term yang bertentangan. Meski
cara kerjanya adalah pengambilan jarak dari kenyataan, nalar murni itu
dianggap fakultas mental penentu benar-salah dan baik-buruk. Pada
akhirnya, nalar murni itu yang dijunjung sebagai penentu kebenaran.
Dalam pandangan Husain Heryanto, seolah nalar murni ibarat orang yang
sangat piawai berdialog, negosiasi, dan kompromi. Namun, bagaimana
sesuatu yang dianggap berkedudukan dan berwenang kebenaran paling
tinggi dapat tunduk atau mengikuti kemauan pihak-pihak yang di
bawahnya? Kemampuan nalar murni menyadari kelemahan dan
keterbatasan-keterbatasannya tak otomatis menjadikan nalar murni bebas
dari klaim paling mampu memahami realitas. Oleh karena nalar murni
dianggap sebagai fakultas mental manusia terunggul, pada akhirnya
penentuan kebenaran diserahkan padanya. Dalam tataran praktis, konsep
nalar murni tak dapat dipakai menyelesaikan persoalan pluralitas. Dunia
yang terus-menerus menampilkan seabreg ide dan bentuk yang berbeda
satu sama lain adalah sebuah kompleksitas yang berbelit menuntut
pemahaman akan keragaman. Beragam pemikiran muncul, dilengkapi
dengan alasan masing-masing, berdebat satu dengan lainnya, tak putus-
putus, tak habis-habis; pengusung konsensus vs disensus, monisme vs
pluralisme, rasionalisme vs empirisme, idealisme vs materialisme, realisme
vs antirealisme, subyektivisme vs obyektivisme, hermeneutik vs
dekonstruksi, teori sistem vs strukturalisme, konstruktivisme vs
pragmatisme, dan sebagainya. Bagaimana sejauh ini nalar murni mengatasi
rangkaian perdebatan itu? Setelah ribuan tahun diklaim sebagai fakultas
mental terunggul, nalar murni belum menunjukkan kemujarabannya.
Masalah-masalah dunia tak juga selesai oleh konsep nalar murni karena
memang identitasnya tak pernah jelas di wilayah praktis. Seperti mitos,
nalar murni adalah konstruksi manusia yang mungkin punya pengaruh
psikologis namun jauh dari realitas, sebuah kemurnian sakral yang sejak
sediakala tak ingin dibantah.
Berangkat dari Kenyataan Plural, Menghindari Reduksi Nalar
Membaca berbagai persepsi atas fakta, dapat dipahami bahwa dunia yang
kita hidupi mengandung pluralitas. Dalam keseharian, kita dihadapkan
dengan pluralitas opsi yang diturunkan dari beragam budaya, pandangan
dunia dan rentetan sugesti indrawi yang gencar menggempur. Pada
kenyataannya pluralitas itu tak bisa dihindari dan secara psikologis kita tak
mungkin luput dari pengaruhnya-positif atau negatif. Kita tetap
berkomunikasi dengan orang yang beragam betapapun minimalnya
keterlibatan kita dengan mereka. Kita pun tak dapat memilih satu saja
budaya, pandangan dunia atau sugesti indrawi sebagai stimulus yang
hendak ditanggapi sebab dari waktu ke waktu secara internal kita makin
terpengaruh dan diberi watak oleh pluralitas yang mengepung. Dalam
kesehariannya, manusia selalu bergerak dari satu kondisi ke kondisi lain
yang berbeda masing-masing. Peradaban manusia menunjukkan bahwa
dari masa ke masa manusia makin mengarah ke cultural hybrids (budaya
hibrida), hidup dalam keragaman sebagai hasil percampuran budaya.
Masyarakat manakah yang masih murni sejak awal terbentuknya?
Satu bentuk reduksi nalar tampil dalam esei Donny Gahral Adian, Tanah
Tak Berjejak Para Penyair (Suplemen "Bentara", Kompas, 2 Mei 2003). Jika
Husain Heryanto menyuntikkan waham kemurnian pada konsep nalar,
Donny mereduksi nalar sebatas nalar puitis dalam argumentasi yang kental
oleh pikiran Heidegger. Donny memandang pesimistis usaha manusia
memahami realitas. Membayangkan keterasingan manusia terkatung-
katung di antara ribuan pulau, ia mengikuti para penyair yang dalam usaha
membebaskan diri, mati iseng sendiri, menyerah pada pluralitas. Hidup
seolah hanya berisi kabar muram dan keasingan di belantara ’dunia tanpa
tanda’; mengingatkan pada orang depresi atau neurosis yang menjauhi
dunia, tak bersinggungan dengan manusia lain. Dalam gambaran Donny
seolah puisi hanya berasal dari dan berakhir pada keterasingan. Padahal,
puisi juga bisa berasal dari cinta, kegembiraan menghirup hidup. Saya
setuju bahwa bahasa puisi bukan representasi dari gagasan tentang
kebenaran atau kebaikan. Puisi adalah sebuah kisah yang terlepas dari
realitas konkret, sebuah ’dunia sendiri’ yang tak terkait dengan ’bumi’
dalam istilah Heidegger. Puisi menari di wilayah imajiner, digerakkan oleh
imajinasi hasil dari kelincahan nalar bekerja sama dengan kehendak bebas
mencari ruang-ruang baru yang kelak menjelma realitas. Kajian psikologi
menunjukkan bahwa kekayaan imajinasi dipengaruhi oleh kekayaan
pengetahuan. Prerequisite knowledge (pengetahuan awal) harus dimiliki
seseorang agar dapat berimajinasi. Semakin kaya pengetahuan awal,
semakin kaya pula imajinasi. Dari mana asal pengetahuan itu? Dari
penalaran kategorikal yang menghasilkan kesimpulan, bukan lamunan
mengambang. Kesimpulan itu diolah dengan nalar puitis agar lentur dan
membuka kemungkinan penafsiran baru, untuk kemudian dinalar secara
kategorikal agar menghasilkan putusan baru. Jadi, penalaran puitis dan
penalaran kategorikal adalah bagian dari perwujudan nalar dalam
mengarungi kehidupan.
Bambang Agung
PADA tahun 1840, delapan belas tahun setelah penyair Inggris Percy Bysse
Shelley tewas tenggelam di Teluk Spezia, Italia, esainya, The Defence of
Poetry, diterbitkan. Sebuah esai berisi pernyataan klasik tentang fungsi
puisi untuk menjawab Thomas Love Peacock yang menuduh puisi tak
berguna lagi di tengah kemajuan sains. Shelley menarik garis batas nalar
dan imajinasi. Ia berkata bahwa puisi bersumber dari imajinasi, fakultas
kreatif manusia yang berada di atas nalar-fakultas analitis benda-benda
semata. Puisi terutama memberi kesenangan, juga keteraturan pada dunia.
Penyair berlaku sebagai legislator, penemu seni kehidupan sekaligus
bersifat kenabian karena puisi yang baik mampu mengatasi ruang dan
waktu. Ketika pengetahuan empiris dari pendekatan matematis-mekanis
ilmu alam diutamakan, buat Shelley kehadiran puisi lebih mendesak. Tanpa
nilai-nilai yang terwujud dalam puisi, pengetahuan semacam itu akan
melahirkan eksploitasi terhadap sesama manusia maupun terhadap alam.
Sensibilitas berlebih para penyair mengubah segala hal menjadi keindahan,
meluruhkan cara berpikir fungsional. Shelley adalah salah satu figur kunci
kaum Romantik Inggris yang berada di garis depan pengkritik semangat
Pencerahan (Aufklärung). Meski manifestasi dan pendukung gerakan
Romantik sangat beragam, sekurangnya ada dua ciri mencolok: kesadaran
dishamorni alam dan manusia akibat pengunggulan penggunaan nalar dan
pilihan alternatifnya, yakni seni.
Gagasan ini ditawarkan Donny Gahral Adian (Tanah Tak Berjejak Para
Penyair, lembar "Bentara", Kompas, Jumat, 2 Mei 2003). Pada ruang sama
edisi berikutnya, Husain Heriyanto menanggapi dengan Imajinasi Tak
Berjejak Ancam Padam(a)kan Nalar, kemudian dilanjutkan Bagus Takwin
berjudul Nalar Lincah dan Supel: Menolak Nalar Murni, Mencegah Hidup
Tanpa Nalar, edisi 4 Juli 2003 dan Adi Armin, Membangun Nalar yang Tak
Retak, pada 5 September 2003. Tulisan ini merupakan tanggapan
selanjutnya, tetapi dari perspektif berbeda, yakni perspektif sejarah. Kata
sejarah di sini digarisbawahi karena asumsinya, semua hasil pikiran
manusia terjadi dan terpengaruhi oleh segala aspek yang bersifat historis.
Tilikan sadar-sejarah membantu menepis sikap pemutlakan dari "jalan
puisi" Donny dan "jalan nalar" Husain, Adi, dan Bagus.
Meski berbeda militansinya, posisi Husain dan Adi maupun Bagus adalah
narasi dari sudut pandang nalar. Ketiganya adalah argumentasi berbasis
nalar, pembelaan atas pemikiran Barat dalam bentuk filsafat, teologi, dan
sains. Sepanjang sejarahnya, sejak zaman pencerahan sampai kini, nalar
diagungkan sebagai satu-satunya instrumen sah untuk menilai segala
aspek kehidupan manusia. Berbagai gelombang kritik muncul terhadap
nalar.
Lalu, apa yang masih tersisa di filsafat dan apa yang layak dikerjakan para
filsuf zaman sekarang?
Saran Richard Rorty adalah kubur saja impian lama filsafat sejak Plato,
Descartes, sampai Kant, karena filsafat berbasis epistemologi terbukti gagal
dan sudah tamat riwayatnya. Para filsuf sebaiknya beralih profesi menjadi
kritikus sastra. Dengan dekonstruksi, Derrida mengajak bermain-main
dengan setiap teks tanpa ambisi untuk mencari kebenaran asali atau
pendasaran universal. Sementara Habermas mungkin pemikir kontemporer
yang paling tekun dan setia untuk meneruskan "proyek modernitas" dengan
merintis teori aksi komunikatifnya. Suatu jalan keluar yang bukan tanpa
masalah. Alhasil, iman teguh pada keunggulan nalar ala era pencerahan
sudah terempas. Secara bertahap pemakaian maupun wilayah jangkauan
filsafat semakin sempit sebab diambil-alih bidang-bidang lain maupun
karena terbitnya kerendahan hati di lingkungan filsafat sendiri agar, seturut
saran Wittgenstein, membiarkan hal-hal yang tidak bisa dijelaskan
menyelinap dalam keheningan. Dengan tinjauan sejarah demikian, baik
posisi Husain dan Adi menjadi mengherankan karena mereka alpa
mempertimbangkan kritik-kritik di atas. Malah dengan gagah berani,
keduanya mengajukan konsep nalar yang tak bertubuh, tak bersejarah
(Bagus Takwin menyebutnya "nalar murni", Adi "nalar asli" dengan model
cogito Cartesian). Dengan demikian, mereka "mundur" ke zaman saat nalar
masih dipercaya sebagai instansi yang unggul untuk menyelesaikan segala
soal. Dan bolong terbesar dari posisi ini adalah memperlakukan nalar
sebagai sesuatu yang bebas nilai. Berkecimpung di bidang ilmu yang
terkenal paling bangga dengan semangat kritisnya, baik Husain maupun
Adi melalaikan inti dari semangat disiplin ilmunya, yakni semangat kritik-
diri.
Jadi, kegilaan adalah cermin atau fungsi dari rasionalitas masyarakat yang
terus berubah. Pengertian kegilaan dan perlakuan terhadapnya pun
diselaraskan dengan pesanan "rasionalitas" masyarakat yang sedang
berlaku: kadang religius, politis, atau ekonomis-instrumental. Kegilaan
adalah cermin tragis nasib manusia yang mati-matian diingkari,
disingkirkan dari kesadaran manusia modern. Perintis psikologi eksistensial
Rollo May (Psychology and the Human Dilemma, 1967) mencatat hal yang
sama: keterasingan, keterpecahan kejiwaan manusia modern. Pandangan
umum di abad ke-19 bahwa manusia terdiri dari "fakultas-fakultas" yang
berbeda dan terpisah, yakni nalar, emosi, dan kehendak, merupakan contoh
gamblangnya. Dualisme Cartesian abad ke-17 kini berganti bentuk
pemisahan ketat nalar dan emosi, sedangkan kehendak berlaku sebagai
pengambil keputusan. Mudah ditebak, ujungnya adalah pengingkaran
emosi. Kendali rasio atas emosi berubah menjadi kebiasaan merepresi
emosi.
Oleh karena inilah Sigmund Freud menjadi figur penting bagi Foucault dan
May. Freud, tulis Foucault, mengembalikan bahasa ketidaknalaran hingga
mereka bisa bicara untuk dirinya sendiri. Berkat Freud, demikian May,
dalam upaya memahami perilaku manusia dimensi irasional, tidak sadar,
dan dinamis yang direpresi kembali serius dipertimbangkan dan
diperlakukan dengan hormat dan disejajarkan dengan dimensi rasional.
Mengutamakan sisi rasional sambil menafikan sisi lain hanya menimbulkan
kesadaran yang tidak bahagia.
Bagus Takwin mengajukan alternatif, yakni nalar yang lincah dan supel.
Nalar ini berwatak fleksibel, lentur dan menerima kemajemukan sehingga
lebih siap berdialog. Kendati rumusannya lebih lunak, posisi Bagus belum
beranjak dari perspektif Husain maupun Adi. Perbedaannya hanya pada
tingkat atau kadar, tetapi bukan pada esensi. Jadi, bila Husain
mengunggulkan nalar sambil mencemooh segi lainnya, Bagus
mempertahankan nalar dengan memperlonggar definisi sehingga lebih
banyak hal tertampung di dalamnya. Jadi, pertanyaan yang diajukan Bagus
kepada Husain sah juga disodorkan balik kepada Bagus. Konsep pluralitas
nalarnya mengandaikan keserasian, tidak adanya konflik di antara macam-
macam nalar. Namun, bagaimana bila muncul konflik? Nalar yang mana
atau nalar siapa yang ditunjuk sebagai pemegang kuasa memutuskan kata
akhir? Selain itu, pengutamaan nalar untuk dialog merupakan sisa ambisi
lama filsafat untuk mencari pendasaran universal. Dari pengalaman sehari-
hari kita tahu bahwa nalar bukan sarana satu-satunya, mungkin bukan
yang utama pula. Bahasa tubuh, musik atau malah masakan, untuk
mengambil beberapa contoh, sering menjadi sarana dialog yang lebih efektif
ketimbang wacana "rasional".
Jalan estetis, menurut Richard Rorty, adalah model individual yang bagus,
tetapi model sosial yang buruk. Inilah tumit Achilles kaum Romantik
maupun para pemikir modern yang mengambil jalan estetis semisal
Friedrich Nietzsche, Michel Foucault. Posisi Heidegger lebih problematis.
Heidegger berpretensi langsung mengarah kepada sang Ada dengan meneliti
bahasa, sarana Ada mewahyukan diri dan meninggalkan perhatiannya
kepada manusia (Dasein). Tangis bayi kelaparan, genosida atau persoalan-
persoalan keduniawian manusia lainnya tidak relevan dalam bangunan
pemikirannya. Mudah dimengerti, menghadapi problem krisis kemanusiaan
modern, bila Marx mengambil jalan praksis, Heidegger menempuh jalan
mistik: meminjam kepekaan sang penyair dengan khusyuk menunggu juru
selamat, sang Ada sendiri, menampakkan diri dan mengulurkan tangan
menyelamatkan manusia.
Selain itu, puisi dalam masyarakat Yunani awal adalah puisi lisan yang
diciptakan dengan ditembangkan. Penyair mengemban tugas menjaga
kelangsungan tradisi, meneruskan kebenaran, ajaran, maupun aturan
masyarakat. Dalam fungsi primordial ini, puisi (mitologi termasuk di
dalamnya) menjadi sumber kebenaran terpenting. Giambattista Vico,
misalnya, mengatakan bahwa syair-syair Homerus adalah "sejarah resmi
adat Yunani kuno". Para filsuf pra-Sokrates seperti Parminides tidak
membedakan arti mythos dan logos. Selain itu, puisi belum lepas dari
musik, sumber utama kesenangan bermain-main dengan keindahan bunyi.
Tanpa menyertakan konteks ini, Heidegger versi Donny mengandaikan
fungsi puisi kalis dari perubahan sosial dan tetap sama sepanjang masa.
Seperti kaum Romantik yang bermimpi menghadirkan kembali masyarakat
Yunani klasik untuk masyarakat Eropa abad ke-18 meski kosmologi mereka
berbeda, Heidegger pun memimpikan peran primordial puisi untuk realitas
konkret abad ke-20 yang jauh berubah.
Baik "jalan puisi" Donny maupun "jalan nalar" Husain , selain berbeda juga
sama. Keduanya mengambil sikap pemutlakan: nalar atau puisi. Sikap yang
mensyaratkan biaya dan soal intern masing-masing. Selain itu, keduanya
masih memandang fakultas-fakultas manusia sebagai hal yang berbeda dan
terpisah. Karena itu, keduanya tidak berusaha menampilkan manusia
sebagai kesatuan padu dengan beragam kemampuan. Pembelaan atas puisi,
dengan demikian, adalah penolakan kedua sikap pemutlakan di atas. Puisi
diberi kesempatan dan ruang bermain sesuai hakikat dan konteksnya di
sini dan kini. Dan penyair tidak perlu berpretensi menjadi sumber utama
kebenaran, menjadi mesias yang bertitah sakral seperti saran Donny.
Husain Heriyanto
Bak matahari yang melaluinya kita mengenal siang dan malam, begitu pula
nalar menganugerahi kita kemampuan membedakan ’ada’ dan ’tiada’,
’terang’ dan ‘gelap’, ’langit’ dan ’bumi’, ’emas’ dan ’loyang’, ’sejati’ dan
’palsu’, ’moral’ dan ’amoral’, ’estetis’ dan ’erotis’, ’cosmos’ dan ’chaos’, dan
seterusnya; agar kita dapat menjalani kehidupan ini secara bertanggung
jawab. Karena, tanpa kemampuan pengkategorian itu, kita takkan dapat
memberikan pemaknaan realitas. Dan, kalau hal ini tidak kita kerjakan,
kita telah mengkhianati tugas dan tanggung jawab terpenting dari natural
state of human being kita sendiri. Membiarkan dunia tanpa kita ajak sapa
dan dialog merupakan pengkhianatan kosmik, yang tidak saja membunuh
makna realitas, tapi juga karakter kemanusiaan kita sendiri.
Dengan alasan itulah, mengapa kita sarankan bahwa nalar adalah tanggung
jawab kemanusiaan; bahwa berpikir adalah bertanggung jawab.
Mengutamakan pendayagunaan nalar di atas fakultas-fakultas dan
pengalaman kemanusiaan lainnya merupakan pilihan yang menantang
kemanusiaan kita. Berani menjadi manusia, kata Bochenski, artinya
memilih hidup dengan nalar.
Kalau tidak demikian, seyogianya kita memilih saran yang disodorkan oleh
Albert Camus: "O... teman, sudahlah! Hentikan perjalanan yang hanya
melahirkan kegetiran demi kegetiran, penderitaan demi penderitaan,
kejatuhan demi kejatuhan. Mari kita sudahi kehidupan yang tak berujung
ini dengan meniadakan diri kita masing-masing. Bukankah dengan
peniadaan dan pengasingan diri ini kita menjadi terbebaskan dari neraka
dunia ini?"
Memang, nalar bukanlah segalanya. Ia tentu saja kalah pesona dari rasa
dan emosi. Dengan rasa, kita bisa mabuk kepayang melupakan kepahitan-
kepahitan hidup meski juga kerap kali tidak menyelesaikannya. Nalar juga
kalah jauh daya pikatnya dari kehendak (will), apalagi kehendak berkuasa
(will to power). Karena, kehendak menjanjikan apa-apa yang tidak dapat kita
raih dalam kenyataan, sementara nalar mendorong kita untuk menoleh
pada kenyataan. Bahkan, nalar kerap kali juga kalah bersaing dari naluri,
hasrat, dan libido yang amat kaya dengan imajinasi. Nalar menuntut kita
untuk berdisiplin dan bertanggung jawab, sedangkan hasrat yang
menggebu justru menawarkan dunia impian surgawi tak kenal batas dan
tanpa tanggung jawab. Oleh karena itu, nalar memang tidak menarik bagi
orang-orang yang hendak lari dari realitas. Karena, realitas menuntut
kedisiplinan, metode, jalan, ketekunan, komitmen, konsistensi, dan
tanggung jawab; hal-hal yang justru amat menakutkan orang-orang
eskapistik. Menarik pernyataan Bertrand Russel tentang keindahan
matematika sebagai salah satu manifestasi kedisiplinan nalar, "Matematika
adalah suatu keindahan yang dingin dan sederhana tanpa memancing
reaksi dari watak manusia yang lemah, tanpa jeratan yang memukau
seperti lukisan, syair atau musik; namun ia demikian murni."
Bahkan, nalar juga sulit akrab dengan orang-orang yang telah sedemikian
lama tidak menjejakkan kakinya di bumi yang kotor dan tenggelam dalam
dunia ilusi-imajinatif. Orang-orang semacam ini sejak terdampar di muka
bumi tak pernah mengenal bagaimana kasarnya tanah, pahitnya air hujan,
pedihnya terik matahari, atau payahnya mengeluarkan keringat karena
mereka selalu hidup dalam keserba-hadiran hal-hal yang dibutuhkan.
Dikarenakan tidak mengenal realitas, mereka akan sulit menerima prinsip-
prinsip yang diperkenalkan nalar, misalnya: "Jika Anda hendak mencapai
sesuatu, pikirkan langkah dan metode yang mesti diterapkan." Nalar,
dengan segala kekurangan daya pesona dan pikatnya, bagaimanapun
adalah satu-satunya fakultas kemanusiaan kita yang dapat diajak berdialog.
Rasa dan emosi tak mungkin bisa diajak berdialog karena ia menuntut
peleburan obyek dalam kesatuan pengalaman subyektivitasnya. Naluri
berkuasa, apalagi, pun sulit dituntut penjelasan mengapa ia hendak
berkuasa dan bertindak sesuatu. Kuasa sama sekali tidak mampu
memahami yang lain dan, sebaliknya, selalu menuntut untuk dipahami.
Demikian pula hasrat dan libido teramat mustahil dapat berdialog karena
wataknya yang selalu menuntut pemuasan imajiner yang tak habis-
habisnya.
Merupakan watak nalar untuk selalu waspada bahwa ia tidak akan pernah
merengkuh absolutisme. Karena, cara kerja nalar hakikatnya adalah
pengambilan jarak dari realitas. Itulah sebabnya Pythagoras atau Plato
menyebut penyelidikannya sebagai philosophos, yang berarti cinta kepada
kebijaksanaan. Mereka tidak pernah mengklaim pemilik kebenaran,
melainkan berendah hati untuk menyebut diri mereka sebagai pencinta
kearifan.
Demikian, aktivitas nalar dalam kajian filosofis, sains, dan agama, selama
konsisten dengan karakteristiknya, tidak akan mungkin melampaui
wewenangnya, misalnya, mengajukan klaim kebenaran mutlak. Manakala
suatu pemikiran filosofis, sains, atau pemahaman keagamaan tertentu
membuat klaim absolutisme, hal itu menandakan telah terjadi intervensi
terhadap karakteristik cara kerja nalar itu sendiri. Intervensi itu bisa
berasal dari rasa dan pengalaman indrawi, intuisi, kehendak, imajinasi,
hasrat atau libido. Alih-alih mengutuk nalar, sebaiknya kita menisbahkan
tindakan intervensi ini kepada fakultas-fakultas yang memang berpotensi
untuk menyodorkan klaim kemutlakan itu, seperti rasa-emosi, kehendak,
imajinasi, hasrat atau libido.
Hal yang sama dapat terjadi dalam narasi filosofis. Klaim kemutlakan yang
dicetuskan sejumlah tokoh filsafat yang ambisius memetakan seluruh
lingkup dan perjalanan pemikiran manusia, semisal Comte, Hegel, dan
tokoh-tokoh neopositivisme, tidaklah lahir dari refleksi filosofis semata.
Dapat ditunjukkan bahwa telah terjadi intervensi terhadap cara kerja nalar
sedemikian rupa sehingga mereka sampai kepada klaim absolutisme. Kita
juga dapat cermati bahwa pemikir-pemikir dekonstruksionis semacam
Nietzcshe, Derrida, bahkan Heidegger, yang biasanya dianggap mewakili
pihak oposisi terhadap matriks rasionalitas dan universalitas, pun memiliki
potensi yang lebih liar dan tak terkendali untuk mengusung klaim
kemutlakan. Hal itu bisa kita cermati dalam kehidupan praksis, misalnya,
bagaimana Heidegger secara diam-diam mendukung absolutisme politik
Nazisme Hitler. Sikap antinalar merupakan pintu utama menuju
kesewenang-wenangan, dan kesewenang-wenangan ini merupakan saudara
kandung absolutisme.
Oleh karena itu, adalah salah alamat bila sementara orang mendakwa nalar
sebagai biang keladi terjadinya klaim-klaim kemutlakan, entah itu di dunia
sains, filsafat, atau agama. Mestinya mereka melakukan kritik ideologis-
psikologis-sosiologis untuk mengungkap prastruktur pemahaman dan
kepentingan-kepentingan tersembunyi di balik klaim-klaim itu. Semestinya
yang kita dakwa atau sidang, alih-alih nalar justru adalah rasa, naluri
berkuasa, hasrat, libido, atau imajinasi liar yang telah meracuni
karakteristik cara kerja nalar. >small 2small 0< membaca narasi Tanah Tak
Berjejak Para Penyair yang ditulis oleh Donny Gahral Adian pada kolom
bulan lalu, saya tergoda mengomentari beberapa poin pokok yang
didedahkan dalam narasi itu. Menanggapi sebuah judgement bahwa
"mengunyah buah pengetahuan menjebak manusia ke dalam semesta yang
penuh tanda tanya sehingga membuat manusia gamang" perlu saya ajukan
sejumlah pertanyaan. Apakah pengetahuan itu selalu merupakan apa yang
disebut sebagai penyesakan realitas? Apakah suatu kesalahan jika manusia
tercekam oleh rasa ingin tahu untuk menyingkap rahasia alam raya?
Benarkah keingintahuan manusia untuk mengungkap makna realitas selalu
membuatnya gamang?
Mereka yang memilih mengasingkan diri tidak tabah dan sabar menekuni
mozaik realitas yang pelik, taksa, dan paradoks. Alih-alih berani
menghadapi lautan realitas yang luas, mereka malah lari tunggang-
langgang berbalik arah menuju pulau asing sebagai tempat persembunyian.
Tentu saja kita tidak bermaksud menampik pelbagai problem yang
ditimbulkan oleh narasi-narasi sains, filsafat, dan agama. Ketiga narasi
besar peradaban manusia ini mesti kita akui telah menciptakan badai-badai
besar dalam lautan kehidupan kita yang setiap saat bisa menenggelamkan
kapal peradaban manusia. Sejak paruh kedua abad ke-20 M, bermunculan
kritik tajam bahwa sains modern telah menggantikan posisi kepengapan
pandangan dunia dan kuasa alam yang dulu ia tentang. Demikian pula
halnya dengan narasi filsafat dan agama, yang kerap kali menambah
kepengapan dan kelelahan hidup tiada akhir.
Metafilsafat
Jelas tergurat bahwa nalar puitis bukan puisi. Puisi bagi saya sekadar
metafora bagi kemampuan nalar membuka modus-modus pengucapan baru
tentang jagat raya. Kemampuan yang lenyap saat ilmu pengetahuan,
filsafat, dan teologi mengejar kebenaran bukan kelainan. Pengejaran yang
sadar atau tidak disadari menggendong sebuah pandangan dunia tertentu.
Fisika, misalnya, dicela Heidegger sebagai semata-mata kalkulasi bukan
pemikiran. Mengapa? Karena fisika tak bisa melepaskan diri dari
pandangan dunia mekanistik. Ia hanya berfokus menghitung-hitung gerak-
gerik semesta tanpa menghasilkan sebuah modus pengucapan alternatif.
Nalar puitis juga bukan sekadar keisengan yang antinalar. Nalar puitis
adalah nalar yang selalu terjaga pada "kelainan". "Kelainan" berbeda dengan
yang transenden. Transendensi adalah modus epistemologis, sementara
"kelainan" adalah modus puitis. Di mana letak perbedaannya? Modus
epistemologis bekerja dengan kategori benar-salah. Tanah berjejak yang
ditinggalkan adalah sesuatu yang kadar epistemologisnya lebih rendah
ketimbang dataran kognitif baru yang dituju. Sementara "kelainan",
sebaliknya, tidak berurusan dengan kategori benar-salah. Ia semata-mata
sebuah kemungkinan baru dalam berbincang-bincang tentang semesta.
Semesta selalu sudah menampilkan dirinya secara kebahasaan. Yang
dikejar oleh nalar puitis, bukan kebenaran baru, melainkan sebuah
kosakata baru tanpa klaim epistemologis apa pun. Selanjutnya, apakah
nalar puitis sekadar pengulangan hipotesa "aleitheia" Martin Heidegger?
Saat Heidegger menjelaskan panjang lebar tentang bahasa sebagai rumah
Ada, ia sesungguhnya sudah bersentuhan dengan apa yang saya maksud.
Namun, ketika itu semua diletakkan dalam proyek pencarian Ada, maka ia
terjebak dalam epistemologi. Berpikir seharusnya bukan mencari Ada,
melainkan membangun rumah-rumah Ada yang baru. Aroma epistemologis
semakin jelas tercium saat Heidegger berbicara tentang Dasein otentik yang
mengambil jarak dari "ke-mereka-an" (Dasman). Pengambilan jarak Dasein,
yakni being in the world, adalah sebuah momen kebenaran setelah ia
tenggelam dalam kepalsuan publik. Ini semua menjadi kesulitan pokok
Heidegger dari kacamata nalar puitis.
Matinya epistemologi
Hening
Tak satu pun lentera menyala saat aku membaca/ selintas suara
bergumam, "segala sesuatu jatuh ke dalam kebekuan yang mencekam"/
bahkan melon atau pir dari taman tak berdaun. Sebait puisi karya penyair
Wallace Stevens itu mengingatkan kita untuk selalu eling lan waspodo, ingat
dan sadar, pada segurat keheningan yang senantiasa membayangi
cakrawala pengetahuan. Segurat keheningan yang senantiasa membujuk
kita memainkan nalar secara puitis. Pada masa yang mulai melupakan
apakah ini, ingat dan sadar akan "yang hening" dan "yang lain" sungguh
menjanjikan sejumput cahaya. Cahaya yang telah lama redup dalam sepak
terjang sains, teologi, dan filsafat. Nalar yang digunakan tak lagi mencukupi
untuk membuat puisi baru. Yang berlaku semata-mata daur ulang
gramatika ilmiah, teologis, atau filosofis yang mulai menua dan
membosankan. Saatnya bagi sains, teologi, dan filsafat untuk berhening
sejenak. Melepaskan diri dari keramaian jawaban dan mulai belajar
mengajukan pertanyaan. Singkat kata, belajar merangkul kembali
"kelainan" yang hilang. Keheningan dan kelainan berbeda dengan kesepian.
Kita hidup dalam semesta yang menyimpan seribu gramatika pembuka
rahasia. Nalar yang sadar akan multiplisitas ini tak akan berhenti pada satu
sedimentasi sejarah. Melainkan, senantiasa bergulat mencari kunci-kunci
pembuka tanah tak berjejak yang tertimbun sejarah. Para sahabat yang
melontarkan kritik pada tulisan saya, Tanah Tak Berjejak Para Penyair,
sungguh tahu bagaimana memainkan nalar secara puitis. Mereka membuka
dimensi-dimensi yang saya sendiri tak menyadarinya sebelum ini. Mereka
membaca sebuah gramatika baru dalam embrio pemikiran. Pembacaan yang
membuat saya kembali berkhidmat pada "yang lain" dan "yang hening".
Adi Armin
Dari dadaran realitas dan penalaran yang memiliki kelaziman mengelak ini,
masih sanggupkah dinyatakan bahwa realitas dan penalaran sepenuhnya
hak manusia dan tidak ada pihak lain lebih berhak. Tidakkah ingin
dikatakan bahwa realitas dan Aku menalar yang selalu mengelak tersebut
terjadi karena keduanya semu belaka, sehingga harus terus-menerus
dipelajari dan dikupas kemasan yang melingkupinya, sementara yang
sungguh-sungguh nyata dan tidak akan pernah mengelak ada di alam
nomena yang gaib. Penalaran ruang luar berwujud dalam pikiran yang
beroperasi secara lahir, sedangkan penalaran ruang dalam berwujud akal
budi yang bersifat batin. Keduanya sebagai "sarana" hidup manusia
mustahil bertentangan, apalagi saling menegasi. Ini sesuai dengan
pengertian nalar, yaitu berupa pertimbangan baik-buruk secara akal budi
atau aktivitas yang memungkinkan seseorang berpikir, suatu jangkauan
pikir atau kekuatan pikir. Dari pengertian tersebut, kita tentu menyangkal
pernyataan bahwa makna nalar atau penalaran hanya terbatas pada proses
berpikir yang bertitik tolak dari pengamatan indera yang mengandalkan
observasi pengalaman. Tentu akan dibantah pihak-pihak yang
mempropagandakan hasil penalaran hanya berkisar proses penyimpulan
yang dibangun dari proposisi anteseden dan premis sesuai teks-teks logika.
Sama halnya keberatan akan diajukan pada anggapan penalaran hanya
terdiri dari induksi, deduksi, abduksi, sebagai hal niscaya secara kategoris.
Nalar lincah dan supel dalam Menolak Nalar Murni, Mencegah Hidup Tanpa
Nalar oleh Bagus Takwin ("Bentara", Kompas, 4/7/2003) ataupun nalar
yang memuisi dalam Tanah Tak Berjejak Para Penyair, Donny Gahral Adian
("Bentara", Kompas, 2/5/2003), saya kira hanya persoalan operasional
teknis penalaran dan bukan hakikat penalaran, sama halnya penekanan
dan pertentangan yang timbul dalam berbagai isme. Penalaran yang
memuisi adalah manifestasi penyiasatan terhadap realitas yang mengelak
tadi. Tidakkah Nietzsche menyatakan bahwa realitas yang tersisa pastilah
"puisi". Penalaran utuh tidak menghasilkan benturan, sebab proses
penalaran adalah proses menyeluruh kesadaran manusia yang melibatkan
pikir dan akal budi. Polarisasi pemikiran dalam tataran praksis terjadi
karena realitas dilihat secara fragmentatif, dari sisi subyek, obyek atau dari
sisi keduanya secara berbalasan. Kekhawatiran Bagus Takwin bahwa nalar
asli tidak sanggup mengatasi pluralisme dan heterogenitas persoalan adalah
kekhawatiran berlebihan. Dalam operasionalisi, nalar asli dapat saja
menumpang pada berbagai isme yang ada, tetapi tidak menumpang untuk
selamanya, dalam arti, sadar diri dan kritis pada dasar mana ia berpijak,
dan saat mana ia harus berpindah demi keselarasan dan keseimbangan.
Nalar lincah dan supel yang dibarengi ketundukan dan kepatuhan.
Ungkapan penolakan terhadap nalar asli justru mengingkari sifat-sifat
lincah, supel, patuh dan tunduk dari nalar sendiri, sebab ia terjerumus
dalam lubang yang digalinya sendiri, tidak toleran, sok kuasa yang justru
dibenci mazhab-mazhab pemikiran operasional sekarang, semacam
neopragmatisme hermeunetik, dan dekonstruksi. Pemujaan Husain
terhadap nalar asli seperti Parmenides, Zeno, Pythagoras, Plato seperti
dituduhkan bukan hal yang disesalkan, sebab Husain tentu saja memiliki
pengalaman tersendiri sebelum menjatuhkan pilihan. Sesuatu yang dialami
(kata dialami, harus digarisbawahi) akan memberikan kesadaran sekaligus
pengetahuan untuk kemudian memilih mana yang sesuai. Toh, pemikiran-
pemikiran itu sebetulnya terletak di masa depan. Secara ontologis masa
depan adalah masa-masa yang telah manusia lalui, yaitu saat usia alam
semesta baru terbentuk, sehingga manusia yang hidup sezaman dengan
kebaruan alam semesta itulah yang baru. Manusia yang hidup di milenium
ketiga berada pada alam semesta yang sudah uzur dan habis tereksploitasi,
karenanya tidak dapat disebutkan dunia masa depan. Masa depan telah
direngkuh habis kaum yang hidup sebelum kita, sedangkan masa belakang
adalah masa anak cucu kita hidup kelak. Dalam penjelasan inilah, konsepsi
ikut, pengikut dan penerus terhadap orang-orang suci, misalnya kepada
Sidharta Gautama, Gandi, Confusius dapat diterima. Kebaruan yang
ditemukan dan akan ditemukan tidak lain adalah kebaruan semu semata
yang akan dikalahkan oleh penemuan setelahnya. Pandangan dimensi
waktu demikian dianut ilmuwan dan filsuf besar, semacam JJ Roussseau.
Kita tidak perlu kecil hati dengan cap mitis yang dikenakan Bagus Takwin
pada pemikiran demikian, karena pemikiran mitis di mana manusia dalam
keadaan terlingkup dan tidak sanggup keluar mengambil jarak pengamatan
berlangsung sepanjang masa. Bayangkan seberapa kuat manusia sanggup
mengambil jarak terhadap informasi di era mediamorfosis (Kompas,
28/5/2003) Di tengah banjir deras informasi, kita kelabakan menyeleksi
yang baik dan yang tidak baik, sebab keterbatasan waktu dan
ketidaksabaran melolahnya, sehingga, situasi mitis secara sadar atau tidak
ternyata bagian dari kita.
Cogito, Ergo Sum adalah proses penalaran tanpa obyek normal (intransitif).
Pola berpikir demikian berbeda dengan pola berpikir sementara kalangan
dalam model-model ilmu pengetahuan. Model berpikir ilmu pengetahuan
selalu memiliki obyek, bersifat transitif, dan tidak mencakup realitas yang
mengelak. Nalar Descartes adalah nalar di mana subyek sekaligus menjadi
obyek. Prinsip-prinsip induksi dan deduksi bekerja secara simultan,
emanasi dan remanasi yang berbalasan. Para pengkritik Descartes telah
menuduhnya melakukan pemisahan yang tidak dapat diatasi atas dua
substansi, yaitu: jiwa dan materi yang kemudian dijembatani oleh
fenomenologi Husserl, namun hakikatnya tuduhan tersebut tidak
seluruhnya benar. Pada tatanan metafisik, Descartes mengakhiri usahanya
di ujung idealisme yang sangat jelas. Definisi "Cogito, ergo sum" bukan
hanya berkenaan dengan dunia luar, melainkan juga berkaitan dengan
kehadiran Tuhan yang menyatakan sebab pertama dari dua substansi,
yaitu: benda dan jiwa, nalar. Ia setuju dengan tradisi mistik Plato dan
mentransformasi kenangannya pada teori ide asal. Pernyataannya tentang
kehadiran Tuhan didirikan di atas argumen ontologis yang menggunakan
kategori Abad Pertengahan mengenai konsep kesempurnaan dan
keutamaan yang belakangan diungkap oleh Kant. Namun, jika Kant
antimetafisika, sebaliknya bagi Descartes. Metafisika baginya adalah tempat
di mana ilmu pengetahuan bersandar. Secara bersamaan, ia memberikan
tempat bagi akar ke-Ilahian dan pengetahuan, yang pada gilirannya,
menjadikan unsur fisik sebagai perluasannya. Dengan demikian, tidak ada
pelompatan nalar dalam pemikiran Descartes, sebab pemisahan substansial
antara jiwa dan tubuh justru menghasilkan tiga macam pengetahuan, yaitu
pengetahuan pikiran, pengetahuan benda, dan pengetahuan tentang
penyatuan keduanya. Akhirnya, pada tataran metafisika, jejaknya berhenti
pada tiga postulat dasar, yaitu prioritas jiwa di atas materi. ketiadaan dunia
luar yang tidak dapat dipersepsi, agnostisisme dan relativisme, yaitu
keserbamungkinan teori dan metode dalam pendekatan terhadap realitas
yang merupakan bukti eksistensi sesuatu yang diragukan. Bukti lain
ontologi Tuhan melalui kehadiran waktu. Cogito hanya berlangsung sesaat
dalam dimensi waktu, berapa detik, menit, semestinya ada penyebab yang
bukan hanya mencipta, tetapi juga menjaga ciptaannya di luar tebasan
waktu. Descartes menunjuk harmoni hukum-hukum universal alam
semesta sebagai bukti. Berkat bukti-bukti kosmologis itu, keteraturan alam
mengantar penalaran pikiran pada Pencipta keteraturan itu sendiri.
Pengetahuan keberadaan Tuhan memungkinkan pengetahuan tentang jiwa.
Teori benda telah cukup memadai, sementara penghayatan dan keinginan
untuk bebas menyadarkan kita tentang tingkat pengetahuan. Kebebasan
yang benar yang lepas dari sewenang-wenang akan mendukung kejelasan
yang sempurna dalam benda, sebagai manifestasi determinasi sempurna
keinginan. Penjelasan mengenai ide sesuatu dan bukan sesuatu an sich
mulai dari prinsip-prinsip sederhana dari mana ilmu pengetahuan tercipta.
Sementara itu, ide sesuatu tidak dinilai berada dalam sesuatu itu, tidak
ditunjukkan dalam eksistensinya, melainkan dalam jiwa yang terdiri dari
ide-ide yang jelas dan sederhana, misalnya, gerakan, figura, dan prinsip-
prinsip geometri.
Di luar itu, untuk menjadikan esok yang penuh semangat, hasrat dalam
kedamaian, mari menalar hal-hal yang "enteng-enteng" saja dan merefleksi
syair-syair cinta, kasih sayang, niscaya kebahagiaan yang didasari
keutuhan manusia akan membangkitkan gairah hidup yang kuat seribu
tahun lagi. Kita simak sepenggal puisi cinta dari Donny: Ada bulan yang
ramah/ Dan bintang yang manis/ Saat cinta melintas diri/ Semua begitu
Indah/ Pintu-pintu hati menjadi terbuka/ Seperti hendak membuka tabir
kasih/ Menuju kebahagiaan yang abadi/ Yang sebelumnya tak pernah
terungkap. Juga puisi jernih dan syahdu dari Bagus Takwin: Sempat kuintip
maghrib/ lewat jendela yang belum sempat/ kututup/ Pepohonan diam/ dan
sepi bertebaran di selanya/ Hujan lamat-lamat turun/ mengusap bumi yang
sudah/ pulang…/ …Ya, aku lihat bumi sebagai anak/ alam yang patuh/
Gelap lembut menyelimutinya/ Alam bernyanyi dalam koor/ ribuan
serangga…/ …Perlahan bumi memejam mata/ dingin merambat, merata/
semua gemuruh lenyap/ semua getar senyap/ Lalu yang tinggal hanya kelam
dan aku/ dalam takjub kami termangu.
Peradaban mesin telah menyingkirkan yang asing dari dunia. Yang asing
sudah beristirahat selamanya dari pergulatan manusia dengan kenyataan.
Hölderlin menyebut momen kehilangan ini sebagai masa-masa serba
kekurangan, miskin dan suram (destitute time). Masa ketika teknosains
modern mematikan cahaya kebisajadian di sekujur tubuh alam raya. Dunia
kehilangan saat-saat romantis ketika cahaya keasingan masih
menyelimutinya. Dunia, menurut Hölderlin, sudah menjejakkan kakinya di
tepian senja sejak minggatnya dewa-dewa.