You are on page 1of 39

NALAR LINCAH DAN SUPEL

Menolak Nalar Murni, Mencegah Hidup Tanpa Nalar

Bagus Takwin

"Apa yang kita sebut alam… adalah puisi tersembunyi di balik tulisan
rahasia yang menakjubkan; jika kita dapat memahami rahasia itu,
semestinya kita mengenali di dalamnya pengembaraan batin manusia yang
dalam keterpanaan menanggalkan waham dirinya saat mencari diri." -
Ernst Cassirer -

ALAM yang memuat puisi tersembunyi itu makin sulit dipahami sebab
tulisan rahasianya pun makin tak terbaca. Dunia bergerak cepat dan makin
tak terpahamkan aturannya. Realitas di dalamnya seolah menghindar dari
teori-teori. Selalu ada yang luput dari konstruksi filsafat dan ilmu. Setiap
satu hal pelik terjelaskan, muncul masalah baru yang menuntut konstruksi
pengetahuan baru untuk memahaminya. Ibarat puzzle dengan kepingan-
kepingan tak terhingga, kompleksitas realitas dunia makin berbelit
memaparkan belantara acak yang seolah tak berpeta, tak berpola, tanpa
kategori. Apakah manusia harus berhenti membaca dan memahami
realitas? Apakah itu tanda berakhirnya kemampuan manusia memahami
realitas? Menurut saya: tidak. Dunia yang makin kompleks justru tanda
bahwa usaha manusia memahami dunia punya efek. Satu persatu tirai
semesta tersingkap, makin ke dalam kompleksitas alam makin tampak.
Kompleksitas menantang manusia melanjutkan ekspedisi di alam semesta.
Pengembaraan batin yang mengingatkan manusia untuk menanggalkan
satu lagi waham: telah mengetahui dan menguasai segalanya. Manusia pun
diingatkan untuk mencari cara baru menafsir realitas, nalar yang
memahami kompleksitas dunia.

Dari sejarah kita tahu, ada banyak suara manusia yang begitu percaya diri
mampu menjelaskan realitas. Salah satunya dari Wilhelm von Humboldt
yang dikutip Husain Heryanto dalam "Imajinasi Tak Berjejak Ancam
Padamkan Nalar" (suplemen "Bentara", Kompas, 6-6-2003), "Berkat logos,
nalar dan kata kita memanusiakan realitas dan jadilah kita manusia
sepenuhnya." Begitu Humboldt meringkas fungsi hidup manusia di alam
semesta. Manusia menjadi variabel yang derajat kemanusiaannya
ditentukan oleh logos, nalar dan kata. Humboldt, dengan asumsi bahwa
bahasa mewakili ‘weltansichten’ (pandangan dunia), menegaskan bahwa
hanya dengan bahasa manusia dapat menjalankan aktivitas yang bermakna
di dunia. Pengertian bahasa mencakup isi keteraturan dan struktur. Bahasa
sebagai asas pengaturan untuk menata chaos (ketiadaan aturan atau the
absent of order) menjadi logos (keteraturan atau the present of order).
Keteraturan itu harus didukung oleh kepastian sebagai dasar dan patokan
yang menduduki tempat tertinggi dalam struktur bahasa. Nalarlah yang
menjadi puncaknya. Lalu, kata-kata menjadi elemen-elemen yang
membangun struktur bahasa. Maka, hiduplah manusia dengan frame of
reference (kerangka rujukan) dalam realitas yang ditertibkan logos, nalar
dan kata. Dan dalam pengertian Humboldt, itulah kehidupan manusia yang
manusiawi.

Namun, siapa yang menentukan logos, nalar dan kata? Darimana asalnya
bahasa? Bagaimana nalar diperoleh? Jawabannya belum jelas hingga kini.
Banyak cerita tentang asal-usul nalar, logos dan bahasa. Dalam berbagai
cerita mitis, kita temukan bahwa bahasa dan pengetahuan diperoleh
manusia langsung dari ’Tuhan’ atau ’guru ilahi’. Pendapat ini bisa
dimaklumi dengan memahami premis pertama dari mitos. Dalam mitos,
segala sesuatu harus dikembalikan kepada kondisi asali, ke masa lalu yang
jauh dan mandiri, terisolasi dari yang kini dan oleh karenanya bersifat
murni. Masa kini hanya derivasi dari kondisi asali, tak punya penjelasan
sendiri. Berpikir mitis adalah berpikir yang menetapkan adanya kepastian-
kepastian tak terbantahkan, suci dan murni. Kebenaran dalam mitos
diklaim bersifat genetik, inherent dalam proposisi-proposisi yang
dikandungnya. Kebenaran yang selesai dan tuntas. Ternyata, cara berpikir
mitis masih ditemukan dalam pemikiran filosofis. Sejarah filsafat
menunjukkan dalam ratusan tahun bahwa masalah-masalah sistematik
filsafat dibayangi oleh proposisi genetik yang merupakan jawaban dari
masalah-masalah genetik. Sekali masalah genetik terjawab menghasilkan
proposisi yang dianggap sebagai kepastian tak terbantah maka masalah-
masalah sistematik akan terselesaikan satu demi satu di bawah naungan
kebenaran proposisi genetik.

Cara Berpikir Mitis dalam Konstruksi Nalar Murni

Kita temukan cara berpikir mitis dalam esei Husain Heriyanto tersebut di
atas. Husain menjunjung tinggi nalar yang tak dipengaruhi kepentingan,
emosi, kehendak, imajinasi, dan dorongan naluriah. Ia juga curiga bahwa
pemikiran filosofis seperti positivisme yang dipelopori Comte, idealisme
Hegel, neopositivisme, filsafat eksistensi Nietzsche, fenomenologi Heidegger,
dan dekonstruksi Derrida adalah hasil intervensi dominan fakultas mental
non-nalar. Begitu pula klaim kemutlakan sains dan agama. Husain
tampaknya tergabung dalam clique of pure reason bersama Parmenides,
Zeno, Pythagoras, dan Plato. Mereka memuja nalar murni, sebuah konsep
hipotetis yang tak bisa ditunjuk wujud atau jejaknya. Nalar itu diperoleh
dari intuisi rasional. Sebuah misteri yang konon hanya diketahui oleh
orang-orang tertentu. (Untuk selanjutnya nalar menurut Husain Heryanto
saya sebut ’nalar murni’).

Manakah hasil nalar yang murni itu? Dapatkah manusia benar-benar


menggunakannya tanpa keterlibatan fakultas mental yang lain? Konsep
nalar yang murni ini lebih bersifat mistik ketimbang filosofis. Ia bersifat
mistik karena cerita asal-usulnya dikembalikan pada sebuah wilayah
misterius yang tak terjelaskan, sebuah wilayah yang membutuhkan
lompatan keyakinan untuk dapat memahaminya. Bagaimana mencapai
nalar itu, tetap jadi misteri. Secara ideologis-psikologis-sosiologis-politis
nalar murni ini perlu dipertanyakan sebab ia adalah sebuah belief,
kepercayaan yang tak terlacak asal-usulnya. Andai ada orang yang
mengklaim sudah sepenuhnya menggunakan nalar murni, bagaimanakah
membuktikannya? Apa kita percaya begitu saja? Kita biarkan ia
menentukan kebenaran bagi yang belum mencapainya? Orang seperti ini
justru menakutkan karena kuasanya akan kebenaran amat besar,
mengingatkan kita pada ungkapan "kekuasaan cenderung korup."

Di akhir paparannya, Husain menggunakan Tuhan sebagai penjamin nalar.


Puisi penutupnya menegaskan itu: "…Bersama nalar yang berdisiplin dan
bertanggung jawab/…Tuhan akan menjulurkan rahasia jubahNya…" Dalam
puisinya, cara berpikir mitik kita temukan. Nalar yang bertualang akan
sampai kepada asal, pada proposisi-proposisi genetik dengan kebenaran
inherent pada dirinya. Suatu akhir ironis dan paradoksal. Ironis karena
jatuh-bangunnya nalar berjuang memerdekakan manusia berakhir pada
kepastian yang dapat diperoleh lewat keyakinan; mengingatkan kita pada
semboyan Abad Pertengahan, faith over reason. Setelah sekian jauh
berjalan, akhirnya nalar manusia kembali ke pangkuan iman. Masihkah
kita bisa agungkan nalar? Paradoksal, karena nalar yang konon
membebaskan dunia, memanusiakan manusia, adalah ’sang pengemis’ yang
menanti juluran ’rahasia jubahNya’. Optimisme dari nalar semacam itu
adalah hasil kepercayaan akan adanya kuasa ’tangan gaib’ yang
membimbing dan menopang, bukan dari kekuatan nalar yang
membebaskan. Nalar itu percaya pada kemampuan ’tangan gaib’
menyatukan pluralitas setelah jubah-jubah keragaman tersingkap
menampakkan singgasana kebenaran yang hanya satu. Menyerahkan nalar
kepada ’tangan gaib’ berarti mengembalikannya kepada kondisi asali, ke
masa lalu yang jauh dan mandiri, terisolasi dari yang kini. Pada hemat saya,
nalar dalam pengertian Husain Heryanto adalah nalar yang menetapkan
kepastian-kepastian tak terbantahkan, suci dan murni seperti kebenaran
dalam mitos yang diklaim genetik, inherent dalam proposisi-proposisinya;
mengingatkan kita pada rasio Hegel, benar dalam pikiran, sempurna
sebagai ide namun tak mewujud dalam kenyataan, tak suka bersinggungan
dengan kenyataan.

Husain menulis bahwa nalar murni berkemampuan untuk berdialog karena


mengenal kategori subyek dan obyek, aku dan dia, memahami perbedaan
realitas dan ilusi, kenyataan dan keinginan. Pernyataan ini tak punya
alasan yang koheren. Dialog berarti percakapan antara dua pihak yang
sejajar, antara dua subyek. Dari asal katanya dialectic yang mengandung
pengertian penggalian berbagai kemungkinan kebenaran berdasarkan
proposisi yang belum pasti kebenarannya, dialog juga memungkinkan
kedua pihak yang terlibat menyampaikan kebenarannya masing-masing,
saling menguji, mencapai kesepakatan atau sepakat untuk tidak sepakat.
Dialog tidak terjadi antara subyek dan obyek sebab kedudukan keduanya
tidak setara. Subyek bersifat aktif-menentukan sedangkan obyek, pasif-
ditentukan. Obyek ada dalam pengamatan dan pantauan subyek.
Hubungan subyek dan obyek tak pernah menjadi hubungan dialogis.
Hubungan ’aku dan dia’ pun bukan hubungan dialogis. ’Dia’ adalah kata
ganti orang ketiga dalam percakapan antara ’aku dan kau’. Sang aku
berkata tentang ’dia’ kepada engkau, bukan berdialog dengan ’dia’ sebagai
subyek dalam dialog. Begitu pula halnya dalam aktivitas membedakan
realitas dan ilusi, kenyataan dan keinginan. Nalar murni yang seperti
Matahari menyinari dan bahkan menghidupkan Bumi jadi sebuah
ketegasan memahami dunia, menegaskan kebenaran yang sudah jadi,
bukan kebenaran hasil dialog.

Pernyataan bahwa nalar murni tidak akan pernah merengkuh absolutisme


dengan alasan cara kerja nalar pada hakikatnya adalah pengambilan jarak
dari realitas, tidak logis sebab pernyataan itu mencampuradukkan esensi
dengan properti. Kemampuan nalar memahami, mencermati, dan
menentukan kebenaran-yang pada ujungnya bisa saja jadi kebenaran yang
diklaim mutlak-adalah esensi nalar. Absolutisme kebenaran adalah
persoalan esensi nalar. Sementara itu, kemampuan mengambil jarak adalah
properti dari nalar sebagai konsekuensi logis dari kemampuan nalar
memahami dan mengatur realitas. Mengambil jarak dapat saja dilakukan
baik oleh mereka yang berkuasa absolut maupun oleh mereka yang tidak
berkekuasaan sama sekali. Seorang tiran dapat saja berperilaku mengambil
jarak tanpa mengurangi sama sekali tiraninya. ’Kemampuan mengambil
jarak’ tidak berhubungan kontradiktif dengan ’absolutisme’. Dua hal itu
dapat berjalan bersama, hubungan keduanya bisa juxtapose (selaras).

Lebih jauh lagi, dilihat dari esensi nalar, pernyataan itu mengandung
paradoks dan di dalamnya terkandung term-term yang bertentangan. Meski
cara kerjanya adalah pengambilan jarak dari kenyataan, nalar murni itu
dianggap fakultas mental penentu benar-salah dan baik-buruk. Pada
akhirnya, nalar murni itu yang dijunjung sebagai penentu kebenaran.
Dalam pandangan Husain Heryanto, seolah nalar murni ibarat orang yang
sangat piawai berdialog, negosiasi, dan kompromi. Namun, bagaimana
sesuatu yang dianggap berkedudukan dan berwenang kebenaran paling
tinggi dapat tunduk atau mengikuti kemauan pihak-pihak yang di
bawahnya? Kemampuan nalar murni menyadari kelemahan dan
keterbatasan-keterbatasannya tak otomatis menjadikan nalar murni bebas
dari klaim paling mampu memahami realitas. Oleh karena nalar murni
dianggap sebagai fakultas mental manusia terunggul, pada akhirnya
penentuan kebenaran diserahkan padanya. Dalam tataran praktis, konsep
nalar murni tak dapat dipakai menyelesaikan persoalan pluralitas. Dunia
yang terus-menerus menampilkan seabreg ide dan bentuk yang berbeda
satu sama lain adalah sebuah kompleksitas yang berbelit menuntut
pemahaman akan keragaman. Beragam pemikiran muncul, dilengkapi
dengan alasan masing-masing, berdebat satu dengan lainnya, tak putus-
putus, tak habis-habis; pengusung konsensus vs disensus, monisme vs
pluralisme, rasionalisme vs empirisme, idealisme vs materialisme, realisme
vs antirealisme, subyektivisme vs obyektivisme, hermeneutik vs
dekonstruksi, teori sistem vs strukturalisme, konstruktivisme vs
pragmatisme, dan sebagainya. Bagaimana sejauh ini nalar murni mengatasi
rangkaian perdebatan itu? Setelah ribuan tahun diklaim sebagai fakultas
mental terunggul, nalar murni belum menunjukkan kemujarabannya.
Masalah-masalah dunia tak juga selesai oleh konsep nalar murni karena
memang identitasnya tak pernah jelas di wilayah praktis. Seperti mitos,
nalar murni adalah konstruksi manusia yang mungkin punya pengaruh
psikologis namun jauh dari realitas, sebuah kemurnian sakral yang sejak
sediakala tak ingin dibantah.
Berangkat dari Kenyataan Plural, Menghindari Reduksi Nalar

Keberatan terhadap nalar murni terletak pada sifat mitis dan


kecenderungannya menyingkirkan keberagaman cara pikir dan mengklaim
diri sendiri sebagai ’murni’. ’Waham kemurnian’ yang menjauhkannya dari
realitas tidak dapat menyelesaikan persoalan pluralitas. Justru, masalah
muncul dari waham ini. Saat ada banyak pihak dengan pemikiran berbeda
mengklaim telah menggunakan nalar murni, siapa yang harus
dimenangkan? Siapa juri yang menentukan ’nalar murni’ yang paling sahih?
Dalam pengertian yang berbeda dengan nalar murni, tak pelak lagi nalar
dibutuhkan. Nalar adalah fakultas mental yang memungkinkan manusia
hidup dalam pluralitas, yang sudah menggerakkan manusia mencapai
bentangan peradaban di hadapan kita kini. Untuk mengkonstruksinya, kita
perlu berangkat dari realitas sehari-hari.

Membaca berbagai persepsi atas fakta, dapat dipahami bahwa dunia yang
kita hidupi mengandung pluralitas. Dalam keseharian, kita dihadapkan
dengan pluralitas opsi yang diturunkan dari beragam budaya, pandangan
dunia dan rentetan sugesti indrawi yang gencar menggempur. Pada
kenyataannya pluralitas itu tak bisa dihindari dan secara psikologis kita tak
mungkin luput dari pengaruhnya-positif atau negatif. Kita tetap
berkomunikasi dengan orang yang beragam betapapun minimalnya
keterlibatan kita dengan mereka. Kita pun tak dapat memilih satu saja
budaya, pandangan dunia atau sugesti indrawi sebagai stimulus yang
hendak ditanggapi sebab dari waktu ke waktu secara internal kita makin
terpengaruh dan diberi watak oleh pluralitas yang mengepung. Dalam
kesehariannya, manusia selalu bergerak dari satu kondisi ke kondisi lain
yang berbeda masing-masing. Peradaban manusia menunjukkan bahwa
dari masa ke masa manusia makin mengarah ke cultural hybrids (budaya
hibrida), hidup dalam keragaman sebagai hasil percampuran budaya.
Masyarakat manakah yang masih murni sejak awal terbentuknya?

Dari psikologi kita dapatkan data tentang pluralitas pikiran yang


menghasilkan pernik-pernik beragam bagi dunia. Kajian-kajian terhadap
perkembangan kognitif bayi menunjukkan bahwa sejak masa infansi
manusia mengembangkan cara berpikir sendiri untuk memahami realitas.
T.G.R. Bower (1989) dalam The Rational Infant; Learning in Infancy
menjelaskan bahwa anak yang dalam perkembangannya diberi kesempatan
mempertahankan cara berpikirnya yang unik menunjukkan kemampuan
memahami realitas dan menyelesaikan masalah dengan baik. Logika yang
dikembangkan anak itu sering bertentangan dengan oposisi biner atau
prinsip identitas, hukum kontradiksi dan excluded middle, mengandung
paradoks, sebagian metaforikal dan tak jarang melompat-lompat. Namun,
kemampuan pemecahan masalahnya setara bahkan beberapa lebih baik
dari orang-orang yang menguasai logika formal. Logika yang digunakan
adalah relevan logic, logika yang relevan dengan masalah yang dihadapi.
Dari sini dapat ditarik satu pemahaman tentang pikiran manusia: ada lebih
dari satu cara berpikir yang dapat digunakan manusia untuk
menyelesaikan masalah dalam hidupnya.
Pemahaman terhadap keragaman realitas dan cara berpikir menunjukkan
watak nalar manusia. Nalar yang sejauh ini membantu manusia hidup
dalam pluralitas mestilah punya atribut mampu melintas batas, bergerak
dari satu garis ke garis lain, dari satu jalur ke jalur lain, dari satu kutub ke
kutub lain. Keutamaan dari sifat nalar adalah kelenturannya, fleksibilitas
untuk bergerak dari satu hal ke hal lain, selain tentu saja memiliki
kemampuan memahami, menambah pengetahuan-pengetahuan baru
sembari terus menjelajahi kemungkinan baru. Secara metaforikal, untuk
menegaskan sifat kelenturannya saya menggunakan istilah ’nalar lincah
dan supel’ untuk nalar yang berbeda dari nalar murni. Dalam hemat saya,
yang dinamakan nalar mestilah mampu menari-nari sambil membawa
manusia maju terus. Geraknya memberi dinamika pada hidup, memberi
optimisme, peduli pada dunia dan isinya, menyentuh bumi, mencermati
langit. Dengan nalar, manusia adalah makhluk paling antusias mengarungi
hidup, paling mampu memahami pluralitas, mengurai kompleksitas dan
peduli pada dunia. Nalar lincah dan supel mencakup fungsi kapasitas
reflektif manusia memayungi beragam jenis konstruksi rasionalitas dewasa
ini. Ia adalah fakultas mental yang secara setara bersikap netral terhadap
beragam jenis rasionalitas dan memungkinkan kita menjelaskan keragaman
rasionalitas. Nalar bukan hanya kapasitas untuk memahami berdasarkan
kategori atau prinsip identitas. Kemampuannya bukan hanya memilih dan
memutuskan, tetapi juga menengahi, mengkoordinasi, berimajinasi, bekerja
sama dengan emosi dan kehendak. Ia membawa manusia pada
pengetahuan yang lebih baik dari sebelumnya dan kepada kemungkinan-
kemungkinan pengetahuan yang lebih baik di masa datang. Nalar
mencakup keseluruhan kemampuan mental menghasilkan puisi, filsafat,
sains, dan teknologi. Nalar membawa peradaban manusia menjadi lebih
baik dengan semua pengetahuan itu. Oleh karenanya, penempatan satu
pengetahuan di atas pengetahuan lain dengan nalarnya masing-masing
merupakan reduksi terhadap nalar.

Satu bentuk reduksi nalar tampil dalam esei Donny Gahral Adian, Tanah
Tak Berjejak Para Penyair (Suplemen "Bentara", Kompas, 2 Mei 2003). Jika
Husain Heryanto menyuntikkan waham kemurnian pada konsep nalar,
Donny mereduksi nalar sebatas nalar puitis dalam argumentasi yang kental
oleh pikiran Heidegger. Donny memandang pesimistis usaha manusia
memahami realitas. Membayangkan keterasingan manusia terkatung-
katung di antara ribuan pulau, ia mengikuti para penyair yang dalam usaha
membebaskan diri, mati iseng sendiri, menyerah pada pluralitas. Hidup
seolah hanya berisi kabar muram dan keasingan di belantara ’dunia tanpa
tanda’; mengingatkan pada orang depresi atau neurosis yang menjauhi
dunia, tak bersinggungan dengan manusia lain. Dalam gambaran Donny
seolah puisi hanya berasal dari dan berakhir pada keterasingan. Padahal,
puisi juga bisa berasal dari cinta, kegembiraan menghirup hidup. Saya
setuju bahwa bahasa puisi bukan representasi dari gagasan tentang
kebenaran atau kebaikan. Puisi adalah sebuah kisah yang terlepas dari
realitas konkret, sebuah ’dunia sendiri’ yang tak terkait dengan ’bumi’
dalam istilah Heidegger. Puisi menari di wilayah imajiner, digerakkan oleh
imajinasi hasil dari kelincahan nalar bekerja sama dengan kehendak bebas
mencari ruang-ruang baru yang kelak menjelma realitas. Kajian psikologi
menunjukkan bahwa kekayaan imajinasi dipengaruhi oleh kekayaan
pengetahuan. Prerequisite knowledge (pengetahuan awal) harus dimiliki
seseorang agar dapat berimajinasi. Semakin kaya pengetahuan awal,
semakin kaya pula imajinasi. Dari mana asal pengetahuan itu? Dari
penalaran kategorikal yang menghasilkan kesimpulan, bukan lamunan
mengambang. Kesimpulan itu diolah dengan nalar puitis agar lentur dan
membuka kemungkinan penafsiran baru, untuk kemudian dinalar secara
kategorikal agar menghasilkan putusan baru. Jadi, penalaran puitis dan
penalaran kategorikal adalah bagian dari perwujudan nalar dalam
mengarungi kehidupan.

Dengan menempatkan ’nalar yang memuisi’ dari para penyair, Donny


mereduksi nalar dari keseluruhannya. ’Nalar lain’ ditempatkan di bawah
nalar yang memuisi, ilmuwan. teknokrat dan filsuf ditempatkan di bawah
penyair; lalu ’nalar yang memuisi’ dinobatkan jadi juru selamat yang
menerangi dunia. Sang juru selamat membongkar rimba mesin,
menghancurkan peradaban yang menggelapkan dunia, sampai pada tanah
lapang tak berjejak, semesta yang mandi cahaya keasingan, banjir pesona
kemungkinan. Lalu, akan diapakan kemungkinan itu? Jawabannya: untuk
dijajaki lagi, dibangun lagi, dikembangkan lagi, dijadikan realitas lagi.
Dengan apa? Dengan fungsi mental manusia untuk memutuskan,
menentukan dan membedakan yang satu dari yang lain. Seperti juga
penalaran puitis, fungsi mental menentukan dan membedakan itu ada pada
nalar. Keduanya, bersama dengan fungsi mental yang lain, memadu pada
nalar. Bukan hanya ’nalar yang memuisi’, bukan hanya nalar yang
menegaskan kategori, tetapi nalar sebagai keseluruhan. Begitulah nalar
mengalirkan hidup dan menggerakkan peradaban manusia; tak putus-
putus sebab nalar adalah kelincahan gerak mental dan refleksi manusia
yang tak beku-beku mengaliri kompleksitas dialektika beragam
kemungkinan. Gerak yang tak lelah-lelah mencari pulau baru bagi
kehidupan manusia yang serba mungkin, terus mengembara, berlayar,
berlabuh dan berlayar lagi; terus menggali puisi tersembunyi di balik tulisan
rahasia yang menakjubkan.

Bagus Takwin, psikolog, magister filsafat, dan pengajar filsafat di


Fakultas Psikologi UI

PEMBELAAN ATAS PUISI

Bambang Agung

PADA tahun 1840, delapan belas tahun setelah penyair Inggris Percy Bysse
Shelley tewas tenggelam di Teluk Spezia, Italia, esainya, The Defence of
Poetry, diterbitkan. Sebuah esai berisi pernyataan klasik tentang fungsi
puisi untuk menjawab Thomas Love Peacock yang menuduh puisi tak
berguna lagi di tengah kemajuan sains. Shelley menarik garis batas nalar
dan imajinasi. Ia berkata bahwa puisi bersumber dari imajinasi, fakultas
kreatif manusia yang berada di atas nalar-fakultas analitis benda-benda
semata. Puisi terutama memberi kesenangan, juga keteraturan pada dunia.
Penyair berlaku sebagai legislator, penemu seni kehidupan sekaligus
bersifat kenabian karena puisi yang baik mampu mengatasi ruang dan
waktu. Ketika pengetahuan empiris dari pendekatan matematis-mekanis
ilmu alam diutamakan, buat Shelley kehadiran puisi lebih mendesak. Tanpa
nilai-nilai yang terwujud dalam puisi, pengetahuan semacam itu akan
melahirkan eksploitasi terhadap sesama manusia maupun terhadap alam.
Sensibilitas berlebih para penyair mengubah segala hal menjadi keindahan,
meluruhkan cara berpikir fungsional. Shelley adalah salah satu figur kunci
kaum Romantik Inggris yang berada di garis depan pengkritik semangat
Pencerahan (Aufklärung). Meski manifestasi dan pendukung gerakan
Romantik sangat beragam, sekurangnya ada dua ciri mencolok: kesadaran
dishamorni alam dan manusia akibat pengunggulan penggunaan nalar dan
pilihan alternatifnya, yakni seni.

Pembuka jalan nalar modern, tentu saja, Descartes. Ia memutus kaitan


antara pikiran dan alam/tubuh, dan menaruh pikiran sebagai satu-satunya
instansi yang terandalkan. Alam menjadi obyek yang siap untuk
dieksplorasi dan dieksploitasi. "Pengetahuan adalah kekuasaan," kata
Francis Bacon. Setelah mengambil model ilmu alam dan matematika secara
berdisiplin dan sistematis, nalar manusia menyibak rahasia alam.
Sayangnya, jalan sains adalah jalan "membunuh untuk membedah"
(William Wordsworth) sehingga menyebabkan, dalam istilah environmentalis
feminis Carolyn Merchant, kematian alam. Alam dalam diri manusia
mengalami nasib yang tak kalah buruk. Tubuh, emosi, kehendak, imajinasi
atau nafsu kalau tidak sama sekali diabaikan, hadir di bawah pengawasan
dan kendali nalar. Akibatnya manusia kehilangan keserasian dan kesatuan
organisnya dengan alam, dengan sesama manusia, dan dengan dirinya
sendiri. Inilah awal alienasi dan kontradiksi manusia modern: makin besar
peran yang dia berikan pada nalar, makin canggih peradaban yang dia
bangun, makin jauh dia terbuang dari firdaus psikologisnya.

Di Jerman pada akhir abad ke-18, kaum Romantik mulai merumuskan


krisis modernitas ini dan mengajukan seni sebagai jalan keluar, bukan
filsafat, sains, atau agama. Seni adalah pintu keluar perpecahan kreatif dan
intelektual manusia modern. Model seni tertinggi dalam pandangan mereka
adalah puisi yang lantas diterima sebagai sumber utama kebenaran mulia.
Schiller, Schlegel, termasuk tiga sekawan Schelling, penyair Hölderlin dan
Hegel, adalah beberapa orang yang mengambil laku estetis ini. Kelak Hegel
mengambil jalannya sendiri, berpisah dengan teman-teman kuliahnya di
Tübingen dan mendudukkan filsafat, sebagai kegiatan analitis dan
konseptual, di atas seni, agama, cinta, dan segala hasil dari intuisi dan
pengalaman langsung. Schelling menggeser filsafat dan menomorsatukan
seni. Menurut dia, alam dan karya seni sama-sama bersumber pada
kegiatan kreatif yang pada hakikatnya estetis. Bedanya, pada alam kegiatan
kreatif bersifat tidak sadar, sementara pada seni sadar. Schelling malah
tegas berkata: pada saat puncak kesempurnaannya, "filsafat dan ilmu
pengetahuan, seperti begitu banyak sungai, akan mengalir pulang ke dalam
lautan puisi."
Martin Heidegger juga demikian. Meski filsafatnya lebih muram dan
ambisinya lebih besar untuk membongkar seluruh tradisi filsafat. Hal ini
teraba jelas pada pandangannya tentang teknologi. Bila sains
memperlakukan alam sebagai obyek, teknologi lebih lanjut memperlakukan
alam sebagai sumber daya semata, pemuas kebutuhan manusia. Lebih
parah lagi, dunia serba mesin mengubah manusia menjadi persediaan bagi
manusia lain. Hubungan manusia dengan alam dan hubungan sesama
manusia menjadi perkara teknis, digerakkan semangat manipulatif.
Teknologi menandai puncak krisis spiritual manusia modern: keterasingan.
Heidegger menuding cara berpikir kalkulatif yang mewarnai sekujur
pemikiran filsafat sejak Plato sebagai sumber permasalahan. Cirinya adalah
pemisahan subyek dan obyek, intelek dan realitas, pikiran dan tubuh.
Dengan begitu, kebenaran yang diidamkan filsafat adalah kesatuan antara
subyek dan obyek, korespondensi antara nalar dan kenyataan. Heidegger
menolak kebenaran demikian dan menawarkan kebenaran (aletheia) dalam
artian ketersingkapan sang Ada yang bisa didengar manusia (Dasein)
sebagai gembala Ada. Dan kebenaran semacam itu hanya terlantun dalam
puisi, bahasa primordial para penyair sebelum nalar Platonis jadi dogma.

Gagasan ini ditawarkan Donny Gahral Adian (Tanah Tak Berjejak Para
Penyair, lembar "Bentara", Kompas, Jumat, 2 Mei 2003). Pada ruang sama
edisi berikutnya, Husain Heriyanto menanggapi dengan Imajinasi Tak
Berjejak Ancam Padam(a)kan Nalar, kemudian dilanjutkan Bagus Takwin
berjudul Nalar Lincah dan Supel: Menolak Nalar Murni, Mencegah Hidup
Tanpa Nalar, edisi 4 Juli 2003 dan Adi Armin, Membangun Nalar yang Tak
Retak, pada 5 September 2003. Tulisan ini merupakan tanggapan
selanjutnya, tetapi dari perspektif berbeda, yakni perspektif sejarah. Kata
sejarah di sini digarisbawahi karena asumsinya, semua hasil pikiran
manusia terjadi dan terpengaruhi oleh segala aspek yang bersifat historis.
Tilikan sadar-sejarah membantu menepis sikap pemutlakan dari "jalan
puisi" Donny dan "jalan nalar" Husain, Adi, dan Bagus.

Kesadaran yang tidak bahagia

Meski berbeda militansinya, posisi Husain dan Adi maupun Bagus adalah
narasi dari sudut pandang nalar. Ketiganya adalah argumentasi berbasis
nalar, pembelaan atas pemikiran Barat dalam bentuk filsafat, teologi, dan
sains. Sepanjang sejarahnya, sejak zaman pencerahan sampai kini, nalar
diagungkan sebagai satu-satunya instrumen sah untuk menilai segala
aspek kehidupan manusia. Berbagai gelombang kritik muncul terhadap
nalar.

Gelombang pertama menghantam sifat eksklusif nalar yang abstrak,


selektif, dan memilah-milah, meniscayakan penyingkiran yang lain seperti
tubuh, alam, rasa, dan naluri. Tragisnya, perempuan, karena tugas
reproduksinya, dianggap belum lepas dari siklus alam sehingga
disingkirkan dari wilayah diskursif. Sejarah nalar adalah sejarah penegasian
segi non-nalar, termasuk perempuan. Perempuan tidak boleh belajar
filsafat, diingkari hak politiknya, dan diremehkan kemampuannya di bidang
sains. Perempuan baru diterima sebagai anggota perkumpulan ilmiah Royal
Society di London (didirikan tahun 1660-an) pada tahun 1945 dan Academie
des Sciences di Paris (didirikan tahun 1666) pada tahun 1979. Gelombang
kritik lain mengarah pada sifat dominatif nalar, baik terhadap benda-benda
maupun terhadap manusia lain. Nalar digunakan untuk pengetahuan
teoretis, lalu berubah untuk pengetahuan praktis dan, akhirnya,
penguasaan. Kaum Romantik dan Heidegger termasuk dalam gelombang ini.
Seperti juga mazhab Frankfurt dengan kritik mereka atas rasio
instrumental. Gelombang kritik lain muncul menggugat klaim universalitas
nalar yang menundukkan segala macam pengetahuan dan keyakinan pada
ukuran tunggal: nalar. Para pengkritik, sebaliknya, berusaha merayakan
perbedaan di atas kesamaan, yang lokal di atas yang "universal", yang
subyektif di atas yang "obyektif". Bersenjata pertanyaan semacam
"Kebenaran siapa?, Rasionalitas siapa?, Pengetahuan siapa?, Moralitas
siapa?," mereka melucuti klaim ideologis nalar dalam terapan di filsafat,
sains, ataupun politik. Terpaan paling keras muncul di paruh pertama abad
ke-20 berupa refleksi terhadap bahasa. Mungkin ada kencan buta kosmis
yang lolos dari amatan para ahli sejarah intelektual hingga Ferdinand de
Saussure di Perancis, Friedrich Nietzsche di Jerman, dan Ludwig
Wittgenstein di Inggris melansir pandangan yang meruntuhkan dasar
anggapan tentang bahasa yang dianut sejauh ini. Mereka bersepakat bahwa
bahasa adalah problem, bukannya solusi epistemologi. Bahasa bukanlah
sarana netral untuk menampilkan kembali realitas, tetapi batas akhir
kesanggupan manusia untuk mengerti realitas.

Dampaknya luar biasa. Segala pengetahuan yang mematok pengertian


kebenaran sebagai kesesuaian antara pikiran dan kenyataan dengan
mengandalkan bahasa sebagai mediasi kehilangan dasar pijakan. Bahasa
bukan jalan tol bagi nalar untuk sampai ke makna realitas, tetapi jalan
berbelit-berliku yang di mana, kapan berakhir, dan apa yang ada di
ujungnya, tak seorang tahu. Narasi filosofis penuh berisi upaya berbagai
pemikir untuk menjawab gelombang-gelombang kritik ini. Ada yang berhasil
di satu segi, tapi gagal di segi lain, ada yang rapi merumuskan jawaban di
satu lini dan kedodoran di lini lainnya. The Ideology of the Aesthetic-nya
Terry Eagleton (1990) menuturkan rangkaian kisah pergulatan ini. Menurut
dia, estetika muncul di pertengahan abad ke-18 sebagai upaya refleksi
konseptual-filosofis terhadap hal-hal yang berbau persepsi, indrawi,
badaniah. Para pemikir, sejak Kant, memanfaatkan nalar untuk menjelajahi
terra incognita ini untuk memberi ruang dan pijakan bumi bagi absolutisme
politik liberalisme yang mulai marak. Pendeknya, bukan tanpa pamrih nalar
menggauli ranah rasa dan imajinasi karena estetika dari sono-nya memang
bermuatan ideologi.

Lalu, apa yang masih tersisa di filsafat dan apa yang layak dikerjakan para
filsuf zaman sekarang?

Saran Richard Rorty adalah kubur saja impian lama filsafat sejak Plato,
Descartes, sampai Kant, karena filsafat berbasis epistemologi terbukti gagal
dan sudah tamat riwayatnya. Para filsuf sebaiknya beralih profesi menjadi
kritikus sastra. Dengan dekonstruksi, Derrida mengajak bermain-main
dengan setiap teks tanpa ambisi untuk mencari kebenaran asali atau
pendasaran universal. Sementara Habermas mungkin pemikir kontemporer
yang paling tekun dan setia untuk meneruskan "proyek modernitas" dengan
merintis teori aksi komunikatifnya. Suatu jalan keluar yang bukan tanpa
masalah. Alhasil, iman teguh pada keunggulan nalar ala era pencerahan
sudah terempas. Secara bertahap pemakaian maupun wilayah jangkauan
filsafat semakin sempit sebab diambil-alih bidang-bidang lain maupun
karena terbitnya kerendahan hati di lingkungan filsafat sendiri agar, seturut
saran Wittgenstein, membiarkan hal-hal yang tidak bisa dijelaskan
menyelinap dalam keheningan. Dengan tinjauan sejarah demikian, baik
posisi Husain dan Adi menjadi mengherankan karena mereka alpa
mempertimbangkan kritik-kritik di atas. Malah dengan gagah berani,
keduanya mengajukan konsep nalar yang tak bertubuh, tak bersejarah
(Bagus Takwin menyebutnya "nalar murni", Adi "nalar asli" dengan model
cogito Cartesian). Dengan demikian, mereka "mundur" ke zaman saat nalar
masih dipercaya sebagai instansi yang unggul untuk menyelesaikan segala
soal. Dan bolong terbesar dari posisi ini adalah memperlakukan nalar
sebagai sesuatu yang bebas nilai. Berkecimpung di bidang ilmu yang
terkenal paling bangga dengan semangat kritisnya, baik Husain maupun
Adi melalaikan inti dari semangat disiplin ilmunya, yakni semangat kritik-
diri.

Pernyataan Husain bahwa kelebihan nalar terletak pada kemampuan


membedakan subyek dan obyek jelas kesalahpahaman fatal. Pembedaan
subyek-obyek adalah salah satu problem besar, bukan kelebihan, filsafat,
khususnya epistemologi. Sejarah filsafat dipenuhi upaya para pemikir besar
untuk menjembatani nalar dan kenyataan, menyatukan subyek dan obyek.
Klaim "revolusi kopernikan" Kant yang menggabungkan rasionalisme dan
empirisme, pendapat Hegel bahwa "yang benar adalah yang menyeluruh",
untuk memberi sedikit contoh, adalah kerja keras para pemikir besar yang
berambisi membereskan "cacat bawaan" pemikiran diskursif. Pendapat
Bochenski bahwa di luar nalar hanya ada kegilaan, fantasi, dan omong
kosong malah menambah citra ironis sekaligus kesan bahwa Husain
memang tidak menangkap duduk perkara sebenarnya. Justru dalam
sejarah hubungan nalar dan kegilaan, kesewenangan nalar berbau keras.
Konsep kegilaan, demikian Foucault, berubah sepanjang zaman. Pada abad
ertengahan, orang gila dianggap kerasukan roh jahat. Di zaman
Renaissance, kegilaan dilihat berbeda dari, namun seimbang dengan, nalar.
Baru sejak zaman nalar, lebih dikenal sebagai zaman Pencerahan, orang gila
disingkirkan dari tatapan masyarakat dan dikurung dalam "rumah sakit".
Kegilaan kehilangan suara. Kegilaan terus dibicarakan tanpa mampu bicara
sendiri. Setelah Revolusi Perancis, kegilaan mendapat predikat baru:
penyakit jiwa. Orang gila dipaksa menjalani "koreksi" sesuai standar
perilaku masyarakat. Kegilaan menjadi bagian proyek moral masyarakat
borjuis yang mulai pasang.

Jadi, kegilaan adalah cermin atau fungsi dari rasionalitas masyarakat yang
terus berubah. Pengertian kegilaan dan perlakuan terhadapnya pun
diselaraskan dengan pesanan "rasionalitas" masyarakat yang sedang
berlaku: kadang religius, politis, atau ekonomis-instrumental. Kegilaan
adalah cermin tragis nasib manusia yang mati-matian diingkari,
disingkirkan dari kesadaran manusia modern. Perintis psikologi eksistensial
Rollo May (Psychology and the Human Dilemma, 1967) mencatat hal yang
sama: keterasingan, keterpecahan kejiwaan manusia modern. Pandangan
umum di abad ke-19 bahwa manusia terdiri dari "fakultas-fakultas" yang
berbeda dan terpisah, yakni nalar, emosi, dan kehendak, merupakan contoh
gamblangnya. Dualisme Cartesian abad ke-17 kini berganti bentuk
pemisahan ketat nalar dan emosi, sedangkan kehendak berlaku sebagai
pengambil keputusan. Mudah ditebak, ujungnya adalah pengingkaran
emosi. Kendali rasio atas emosi berubah menjadi kebiasaan merepresi
emosi.

Oleh karena inilah Sigmund Freud menjadi figur penting bagi Foucault dan
May. Freud, tulis Foucault, mengembalikan bahasa ketidaknalaran hingga
mereka bisa bicara untuk dirinya sendiri. Berkat Freud, demikian May,
dalam upaya memahami perilaku manusia dimensi irasional, tidak sadar,
dan dinamis yang direpresi kembali serius dipertimbangkan dan
diperlakukan dengan hormat dan disejajarkan dengan dimensi rasional.
Mengutamakan sisi rasional sambil menafikan sisi lain hanya menimbulkan
kesadaran yang tidak bahagia.

Bagus Takwin mengajukan alternatif, yakni nalar yang lincah dan supel.
Nalar ini berwatak fleksibel, lentur dan menerima kemajemukan sehingga
lebih siap berdialog. Kendati rumusannya lebih lunak, posisi Bagus belum
beranjak dari perspektif Husain maupun Adi. Perbedaannya hanya pada
tingkat atau kadar, tetapi bukan pada esensi. Jadi, bila Husain
mengunggulkan nalar sambil mencemooh segi lainnya, Bagus
mempertahankan nalar dengan memperlonggar definisi sehingga lebih
banyak hal tertampung di dalamnya. Jadi, pertanyaan yang diajukan Bagus
kepada Husain sah juga disodorkan balik kepada Bagus. Konsep pluralitas
nalarnya mengandaikan keserasian, tidak adanya konflik di antara macam-
macam nalar. Namun, bagaimana bila muncul konflik? Nalar yang mana
atau nalar siapa yang ditunjuk sebagai pemegang kuasa memutuskan kata
akhir? Selain itu, pengutamaan nalar untuk dialog merupakan sisa ambisi
lama filsafat untuk mencari pendasaran universal. Dari pengalaman sehari-
hari kita tahu bahwa nalar bukan sarana satu-satunya, mungkin bukan
yang utama pula. Bahasa tubuh, musik atau malah masakan, untuk
mengambil beberapa contoh, sering menjadi sarana dialog yang lebih efektif
ketimbang wacana "rasional".

Estetik minus etik

Marx dan Heidegger sama-sama berpendapat bahwa manusia modern


mengalami krisis luar biasa, alienasi. Sumbernya berasal dari kapitalisme
(Marx) atau cara berpikir kalkulatif manusia yang mengambil wujud
sempurnanya dalam teknologi (Heidegger). Namun, mereka juga berbeda:
Marx tidak merumuskan secara sistematis pandangannya tentang estetik,
yang menempati kedudukan penting dalam pemikiran Heidegger, sedangkan
etika tidak muncul dalam karya Heidegger meski menyita hampir seluruh
perhatian Marx. Implikasi perbedaan ini terpantul jelas dalam jalan keluar
yang mereka pilih.
Tiadanya pembahasan etika memang fenomena yang mencolok mata dan
melahirkan bermacam tafsir, termasuk keterlibatan Heidegger dengan
penguasa Nazi Jerman. Pokok ini pula yang diajukan Husain mengkritik
pemikiran Heidegger. Fakta historis kaitan Heidegger dengan Nazi pasti
mudah ditunjukkan, termasuk sikap bungkam yang dia pertahankan di
seluruh sisa hidupnya tentang soal ini. Meski demikian, menafikan
pemikiran yang sangat kaya dengan mengacu kehidupan pribadi, bukan
tanpa risiko. Jika integritas pribadi dijadikan alasan penolakan suatu
pemikiran filosofis, susah diperkirakan berapa banyak pemikiran filosofis
yang harus dicampakkan ke kotak sampah.

Ketimbang mencari titik-lemah pemikiran seseorang pada kehidupan


pribadinya, selain counter-productive sekaligus berbau argumentum ad
hominem, lebih baik kita langsung ke isi pemikiran Heidegger yang
dijadikan tiang utama posisi Donny. Kebenaran sebagai ketersingkapan
(aletheia) sang Ada, kata Heidegger, adalah kebenaran primordial sebelum
digantikan kebenaran versi para filsuf setelah Plato. Kebenaran macam ini
menggema dari tanah tak berjejak dan hanya bisa didengar para penyair.

Akan tetapi, sebenarnya bagaimana cerita tentang "kebenaran para penyair"


atau "tanah tak berjejak ini" dalam kaitan "hilangnya" etika dalam
pemikiran Heidegger? Pertama-tama soal kebenaran para penyair. Sebelum
dipakai para filsuf, istilah aletheia dipakai penyair besar Homerus dalam
syair-syair epiknya, Iliad dan Odyssey. Aletheia berarti pernyataan yang
utuh dan bulat yang diutarakan seseorang kepada orang lain. Dengan
demikian, aletheia menyangkut perkara kepercayaan hubungan
antarpribadi, jadi berada dalam wilayah etika. Dengan mengerti aletheia
sebagai ketersingkapan sang Ada (Being of beings), Heidegger memindahkan
kata ini ke wilayah metafisika dan mengikuti jejak para filsuf seperti
Parminides, Plato, dan seterusnya yang justru mau dikritiknya. Lalu,
berdasarkah penafsiran "tanah tak berjejak"? Sayangnya, tidak. Karena
seperti dicatat Walter Benjamin, "rumah" Hölderlin terletak di zaman Yunani
klasik pra-Sokrates, lengkap dengan mitos dewa-dewinya. Seperti penyair
pujaannya itu dan umumnya pemikir Romantik, Heidegger memendam
nostalgia pada zaman yang sama, zaman dengan harmoni kosmos yang
belum retak. Tanah impian ini masih dipenuhi jejak para dewa-dewi. Cuma
soalnya, asyik dengan ideal masa lalu, cara berpikir nostalgis selalu
memiliki ciri khas: cenderung kurang peka pada kenyataan di sini dan kini .

Jalan estetis, menurut Richard Rorty, adalah model individual yang bagus,
tetapi model sosial yang buruk. Inilah tumit Achilles kaum Romantik
maupun para pemikir modern yang mengambil jalan estetis semisal
Friedrich Nietzsche, Michel Foucault. Posisi Heidegger lebih problematis.
Heidegger berpretensi langsung mengarah kepada sang Ada dengan meneliti
bahasa, sarana Ada mewahyukan diri dan meninggalkan perhatiannya
kepada manusia (Dasein). Tangis bayi kelaparan, genosida atau persoalan-
persoalan keduniawian manusia lainnya tidak relevan dalam bangunan
pemikirannya. Mudah dimengerti, menghadapi problem krisis kemanusiaan
modern, bila Marx mengambil jalan praksis, Heidegger menempuh jalan
mistik: meminjam kepekaan sang penyair dengan khusyuk menunggu juru
selamat, sang Ada sendiri, menampakkan diri dan mengulurkan tangan
menyelamatkan manusia.

Selain itu, puisi dalam masyarakat Yunani awal adalah puisi lisan yang
diciptakan dengan ditembangkan. Penyair mengemban tugas menjaga
kelangsungan tradisi, meneruskan kebenaran, ajaran, maupun aturan
masyarakat. Dalam fungsi primordial ini, puisi (mitologi termasuk di
dalamnya) menjadi sumber kebenaran terpenting. Giambattista Vico,
misalnya, mengatakan bahwa syair-syair Homerus adalah "sejarah resmi
adat Yunani kuno". Para filsuf pra-Sokrates seperti Parminides tidak
membedakan arti mythos dan logos. Selain itu, puisi belum lepas dari
musik, sumber utama kesenangan bermain-main dengan keindahan bunyi.
Tanpa menyertakan konteks ini, Heidegger versi Donny mengandaikan
fungsi puisi kalis dari perubahan sosial dan tetap sama sepanjang masa.
Seperti kaum Romantik yang bermimpi menghadirkan kembali masyarakat
Yunani klasik untuk masyarakat Eropa abad ke-18 meski kosmologi mereka
berbeda, Heidegger pun memimpikan peran primordial puisi untuk realitas
konkret abad ke-20 yang jauh berubah.

TS Eliot maupun pemikir marxis melangkah lebih maju. Mereka


berpendapat peran puisi (seni) dipengaruhi dan berdialektika dalam
perubahan sosial. Dalam tradisi marxis, seni jadi bahan pergumulan yang
lebih menukik dan mendalam, seperti perdebatan realisme dan modernisme
dalam dunia kapitalisme, komoditifikasi budaya dan demokratisasi seni via
teknologi, mekanisme produksi seni. Sementara Donny, mengikuti
Heidegger, hanya berhenti pada sikap nostalgisnya yang naif dan tidak
realistis.

Pembelaan atas puisi

Baik "jalan puisi" Donny maupun "jalan nalar" Husain , selain berbeda juga
sama. Keduanya mengambil sikap pemutlakan: nalar atau puisi. Sikap yang
mensyaratkan biaya dan soal intern masing-masing. Selain itu, keduanya
masih memandang fakultas-fakultas manusia sebagai hal yang berbeda dan
terpisah. Karena itu, keduanya tidak berusaha menampilkan manusia
sebagai kesatuan padu dengan beragam kemampuan. Pembelaan atas puisi,
dengan demikian, adalah penolakan kedua sikap pemutlakan di atas. Puisi
diberi kesempatan dan ruang bermain sesuai hakikat dan konteksnya di
sini dan kini. Dan penyair tidak perlu berpretensi menjadi sumber utama
kebenaran, menjadi mesias yang bertitah sakral seperti saran Donny.

Puisi maupun karya seni lain adalah kesatuan sintesis keteraturan


intelektual dan perseptual. Antara keseriusan ide dan kesenangan bermain-
main dengan keindahan. Memaksa puisi menggotong pesan "kebenaran"
semata akan menyeret puisi ke bahaya intelektualisme dan menafikan
aspek penting yang lain, kesenangan. Di dalam lingkungan seni, pretensi ini
juga berpotensi membuka kotak Pandora. Tentu kita belum lupa ujaran
Leonardo da Vinci bahwa lukisan lebih filosofis, lebih dekat dengan
kebenaran ketimbang puisi, atau ujaran Beethoven bahwa musik adalah
wahyu ilahi yang lebih tinggi daripada filsafat maupun pengetahuan lain.
Terakhir, di zaman antikebenaran tunggal ini, klaim puisi sebagai salah
satu kebenaran di antara kebenaran lain masih bolehlah ditenggang, tetapi
sebagai satu-satunya kebenaran yang melampaui kebenaran lain, hanya
menunjukkan bahwa kita tidak bisa belajar dari masa lalu. Dan siapa yang
tidak bisa belajar dari sejarah, harus mengulanginya.

Bambang Agung Anggota Tim Peneliti Sastra Eksil Indonesia

IMAJINASI TAK BERJEJAK ANCAM PADAMKAN NALAR

Husain Heriyanto

Menjadi manusia berarti berani mengutamakan nalar. Selainnya adalah


kegilaan, fantasi dan omong kosong. (Bochensky)
Pembebasankah suatu pemberontakan terhadap nalar? Ataukah ia hanya
sebuah pelarian tak berarah dari sisi lemah watak manusia yang jenuh
dengan pola dan irama nalar yang menuntut kesetiaan dan tanggung
jawab? Pada penghujung abad ke-19, di sebuah titik bumi tempat
bersemainya pencerahan (aufklarung) dan rasionalitas, tampil anak seorang
rahib, Nietzsche namanya. Ia keluar dari sinagognya membawa api
pemberontakan terhadap nalar yang kala itu menjadi dewa harapan dan
tumpuan umat manusia untuk menggapai segenap impian. Nietzsche
bersyair amat memikat.

Ia dengan lantang berseru, "O kawan! Dengarkan dendang laguku! Lagu


lama dari nalar yang kalian nyanyikan itu tak lama lagi bakal padam.
Lihatlah agama, sahabat klasik nalar itu, telah ditelan oleh bumi. Tuhan
yang dulu kalian puja kini telah mati. Metafisika telah dibungkam oleh Kant
yang soleh itu. Epistemologi, pengetahuan dan etika, yang serba analisis,
prinsip dan berirama yang membosankan itu... telah kucium juga akan
mati. Inilah, telah datang sebuah zaman untuk menyambut laguku yang
mendendangkan kebebasan paripurna, kebebasan yang membakar tetek
bengek prinsip-prinsip, aturan-aturan, kategori-kategori ciptaan nalar.
Nalar telah membelenggu kalian selama ini, dan kini aku membawakan api
kebebasan untukmu. Mari kita puja Dionysian, dewa api yang membakar
segala keteraturan dan batasan pengertian. Inilah zamanku, zaman penuh
gairah dan hasrat menggebu yang mengoyak-ngoyak tatanan nilai dan
tradisi."

Nietzcshe tidak sendirian. Sepuluh abad sebelumnya, abad ke-9, di sebuah


titik bumi yang kala itu menjadi pusat peradaban kosmopolitan, tampil
seorang murid dari mazhab Mu’tazilah, namanya Asy’ari. Ia bergegas keluar
dari masjid dan mengumpulkan banyak orang jalanan untuk bertindak
sebagai saksi pemberontakannya terhadap aliran pemikiran keagamaan
yang rasional itu. Retorika religiusitas Asy’ari sangat memikat orang-orang
jalanan yang lugu.

Ia penuh semangat berkhotbah, "Wahai hamba-hamba Tuhan yang percaya


kepadaNya! Mulai hari ini, detik ini, saksikanlah, aku keluar dari mazhab
Mu’tazilah yang melulu pakai nalar itu. Ketahuilah, mereka telah sesat dari
jalan Tuhan. Mereka telah menuhankan nalar, bukan Tuhan kita Yang
Maha Kuasa. Bukankah Nabi kita pernah bersabda, ’Orang yang percaya
kepada nalar adalah kawannya iblis’? Dengan bersandar kepada nalar,
berarti kita tidak lagi percaya kepada Tuhan yang Maha Bebas dari segenap
prinsip-prinsip dan kriteria-kriteria rasional. Bukankah Tuhan Maha
Berkehendak Mutlak sama sekali tidak bakal terjangkau oleh nalar kita
yang dungu? Setiap penggunaan nalar dalam memahami Tuhan, berarti
membatasi Tuhan karena setiap penalaran membutuhkan batasan-batasan
pengertian dalam medan semantik, dan itu artinya telah membunuh Tuhan.
Jadi, alasan mengapa aku keluar dari mazhab yang sesat zindiq itu adalah
aku ingin menyembah Tuhan tidak dengan nalarku, tapi dengan menuruti
api gairah perasaanku dan hasratku yang menggebu melihat Tuhan dengan
mata kepalaku, persis seperti aku melihat kalian sekarang."
Sejarah pemberontakan manusia terhadap nalar selalu berulang. Pada
setiap zaman dan peradaban yang memiliki kekhasan masing-masing, lahir
tokoh-tokoh yang besar karena penentangannya yang amat sengit terhadap
kokohnya posisi nalar sebagai hakim dalam sejarah peradaban manusia.
Tentu saja modus perlawanan terhadap singgasana nalar berbeda-beda
sesuai dengan konteks sosio-kultur-historis yang melatarbelakanginya.
Seorang Asy’ari lahir dari peradaban Islam yang mencapai puncaknya kala
Mu’tazilah menjadi mazhab resmi Daulah Abbasiyah, sedangkan Nietzsche
terlempar ke dunia Eropa yang tengah mengukuhkan peradaban
modernitasnya melalui rintisan rasionalisme-antroposentris Descartes,
kosmologi mekanistik Newton dan pencerahan Kant. Jika rasionalitas model
Mu’tazilah melahirkan pemberontakan "membela Tuhan" Asy’ariah, maka
rasionalitas modernisme Eropa mendatangkan penentangan "membela
liarnya irasionalitas" Nietzschean.

Meskipun modus pemberontakan kedua tokoh antinalar ini berbeda,


mereka bersekongkol dalam mendongkel singgasana nalar. Keduanya juga
sama-sama menerapkan oposisi biner (binary opposition) bahwa
pengafirmasian yang satu melalui penegasian yang lain, yaitu jika Asy’ari
mengafirmasi Tuhan melalui penegasian kehendak bebas manusia,
Nietzsche mengafirmasi kehendak berkuasa manusia melalui penegasian
Tuhan. Sekarang adalah zaman di mana kaum penentang nalar merasa
memperoleh amunisi besar dari situasi dunia modern yang makin tak jelas
saja ke arah mana peradaban manusia hendak dibawa. Pelbagai krisis
global yang multidimensional semacam krisis lingkungan, konflik, dan teror,
serta kontrateror kekerasan yang kian menajam, praktik-praktik
dehumanisasi, reifikasi, alienasi, dan modus-modus krisis eksistensial
manusia modern; itu semua merupakan lahan amat subur untuk
tumbuhnya kesinisan dan kemuakan terhadap entitas-entitas yang
dianggap sebagai produk (asli dan sampingan) rasionalitas modern: sains,
teknologi, demokrasi, humanisme universal, liberalisme, kapitalisme,
positivisme.

Penentangan itu terpolarisasi ke dalam dua kutub, pengukuhan identitas


dan penafian identitas. Kutub yang pertama mencari penguatan diri melalui
penonjolan identitas yang banyak mengambil bentuk eksklusivitas-literal.
Kutub yang kedua, sebaliknya, merobek dan membakar narasi-narasi
peradaban yang tak kunjung usai. Yang pertama bekerja melalui retorika
simbol-simbol yang dipaksakan kepada realitas. Sementara yang kedua
menarik diri dari realitas seraya meratap dengan kepiluan emosi kegagalan.
Jika kutub yang pertama giat menggaduhkan realitas dunia yang telah amat
bising dan pengap, kutub yang kedua aktif memproduksi simulasi-simulasi
realitas untuk melabuhkan imajinasi dan naluri tak berarah.

Kita bisa menyebut, dengan risiko sedikit simplifikasi, bahwa


fundamentalisme-skripturalistik dan poststrukturalisme-dekonstruksionis
masing-masing adalah model bagi kedua kutub itu. Keduanya tentu saja
banyak mengandung perbedaan, tapi diikat oleh lautan emosi historis yang
sama: menentang kedigdayaan nalar.
Michel Foucault, seorang kritikus-sinis terhadap proyek pencerahan dan
rasionalitas, telah tiba pada pendeklarasian "kematian manusia". Menurut
Foucault, manusia telah kehilangan dirinya sebagai subyek yang
berkesadaran karena didera dan dikepung oleh praktik-praktik
obyektivikasi. Melalui studi genealogis ala Nietzsche, Foucault merangkum
bahwa sains melahirkan teknologi-teknologi kuasa yang mengontrol hidup
manusia itu sendiri. "Pengetahuan dan kebenaran adalah produksi kuasa,
bukan representasi realitas. Dan nalar adalah kaki tangan kuasa yang
imanen," sahut Foucault. Jika bagi Nietzsche pengetahuan dan kebenaran
merupakan instrumen kuasa, bagi Foucault kedua, entitas mental itu
merupakan subordinasi kuasa.

Sementara itu, di kutub yang berseberangan, kelompok-kelompok


fundamentalis yang obskurantis, semisal aliran kreasionisme, dari
sementara penganut Kristen dan Islam serta saintis Vedik Hindu
memaklumatkan penentangan pula terhadap klaim universalitas sains
modern. Mereka bersekutu untuk melakukan overjudgement terhadap
sejumlah teori sains dan pemikiran modern yang dianggap dapat
meruntuhkan keimanan, semisal teori evolusi, yang dengan gegabah mereka
identikkan dengan Darwinisme. Uniknya, overjudgement ini mereka persepsi
sebagai tugas suci yang hendak mendemonstrasikan keunggulan Tuhan di
atas nalar manusia yang "berani-beraninya" membuat narasi teramat besar
tentang perjalanan alam semesta.

Angin pembangkangan terhadap nalar telah cukup lama berembus kencang.


Mereka yang mengklaim diri sebagai generasi New Age sejak medio
dasawarsa tahun 1960-an telah mencanangkan perlawanan terhadap
hegemoni budaya ilmiah dan teknosains. Mereka menuding sains dan
teknologi modern telah melakukan dosa-dosa besar berupa proses massal
dehumanisasi dan perusakan ekosistem alam raya. Akankah nalar tetap
bertengger di singgasana puncak peradaban manusia? Apakah serbuan dan
penyerangan bertubi-tubi terhadap nalar yang sedemikian gencar dilakukan
oleh pelbagai kalangan, baik terang-terangan secara langsung maupun
secara diam-diam, akan menutup cahaya nalar di ufuk peradaban
manusia? Seusai mempelajari sejarah agama-agama, Will Durant tiba pada
kesimpulan, "“Setiap kali agama dibunuh, maka ia akan tumbuh dan
berkembang lagi dalam sejarah." Agaknya, nasib nalar mirip dengan agama.
Setiap kali nalar dibunuh di sebuah tahapan sejarah dan peradaban, maka
ia pun bakal tumbuh dan berkembang kembali pada tahapan sejarah
berikutnya di lain peradaban.

Ketika Kekaisaran Romawi membungkam sarjana-sarjana Yunani dan


menutup sekolah-sekolah mereka di Athena pada abad ke-4 sampai abad
ke-6 M, cukup satu abad kemudian nalar itu bersinar terang benderang,
bahkan lebih cemerlang, di Baghdad, Khurasan, dan Samarkand dalam
masa keemasan peradaban Islam. Dan, ketika teologi ortodoks Islam
mencampakkan nalar dari wilayah keagamaan, maka dua abad kemudian di
Eropa nalar kembali bersinar melalui gerakan Renaisans, Humanisme, dan
Pencerahan meski di bawah sinaran paradigma yang berbeda. Nalar adalah
matahari. Seperti matahari yang memberi kehidupan di muka bumi ini,
demikian pula adalah nalar yang memanusiakan kita. Melalui nalar kita
mengenal dunia, memberinya makna dan nama, dan mengolahnya agar
sesuai dengan cita rasa kemanusiaan kita. "Berkat logos, nalar dan kata,"
tandas Wilhelm von Humboldt, “"kita memanusiakan realitas, dan jadilah
kita manusia sepenuhnya." Melalui aktivitas logos, menurut Humboldt, kita
menjalin dialog kosmik dengan alam dunia.

Bak matahari yang melaluinya kita mengenal siang dan malam, begitu pula
nalar menganugerahi kita kemampuan membedakan ’ada’ dan ’tiada’,
’terang’ dan ‘gelap’, ’langit’ dan ’bumi’, ’emas’ dan ’loyang’, ’sejati’ dan
’palsu’, ’moral’ dan ’amoral’, ’estetis’ dan ’erotis’, ’cosmos’ dan ’chaos’, dan
seterusnya; agar kita dapat menjalani kehidupan ini secara bertanggung
jawab. Karena, tanpa kemampuan pengkategorian itu, kita takkan dapat
memberikan pemaknaan realitas. Dan, kalau hal ini tidak kita kerjakan,
kita telah mengkhianati tugas dan tanggung jawab terpenting dari natural
state of human being kita sendiri. Membiarkan dunia tanpa kita ajak sapa
dan dialog merupakan pengkhianatan kosmik, yang tidak saja membunuh
makna realitas, tapi juga karakter kemanusiaan kita sendiri.

Dengan alasan itulah, mengapa kita sarankan bahwa nalar adalah tanggung
jawab kemanusiaan; bahwa berpikir adalah bertanggung jawab.
Mengutamakan pendayagunaan nalar di atas fakultas-fakultas dan
pengalaman kemanusiaan lainnya merupakan pilihan yang menantang
kemanusiaan kita. Berani menjadi manusia, kata Bochenski, artinya
memilih hidup dengan nalar.

Kalau tidak demikian, seyogianya kita memilih saran yang disodorkan oleh
Albert Camus: "O... teman, sudahlah! Hentikan perjalanan yang hanya
melahirkan kegetiran demi kegetiran, penderitaan demi penderitaan,
kejatuhan demi kejatuhan. Mari kita sudahi kehidupan yang tak berujung
ini dengan meniadakan diri kita masing-masing. Bukankah dengan
peniadaan dan pengasingan diri ini kita menjadi terbebaskan dari neraka
dunia ini?"

Memang, nalar bukanlah segalanya. Ia tentu saja kalah pesona dari rasa
dan emosi. Dengan rasa, kita bisa mabuk kepayang melupakan kepahitan-
kepahitan hidup meski juga kerap kali tidak menyelesaikannya. Nalar juga
kalah jauh daya pikatnya dari kehendak (will), apalagi kehendak berkuasa
(will to power). Karena, kehendak menjanjikan apa-apa yang tidak dapat kita
raih dalam kenyataan, sementara nalar mendorong kita untuk menoleh
pada kenyataan. Bahkan, nalar kerap kali juga kalah bersaing dari naluri,
hasrat, dan libido yang amat kaya dengan imajinasi. Nalar menuntut kita
untuk berdisiplin dan bertanggung jawab, sedangkan hasrat yang
menggebu justru menawarkan dunia impian surgawi tak kenal batas dan
tanpa tanggung jawab. Oleh karena itu, nalar memang tidak menarik bagi
orang-orang yang hendak lari dari realitas. Karena, realitas menuntut
kedisiplinan, metode, jalan, ketekunan, komitmen, konsistensi, dan
tanggung jawab; hal-hal yang justru amat menakutkan orang-orang
eskapistik. Menarik pernyataan Bertrand Russel tentang keindahan
matematika sebagai salah satu manifestasi kedisiplinan nalar, "Matematika
adalah suatu keindahan yang dingin dan sederhana tanpa memancing
reaksi dari watak manusia yang lemah, tanpa jeratan yang memukau
seperti lukisan, syair atau musik; namun ia demikian murni."

Pernyataan Russel ini mungkin berlebihan, seakan merendahkan seni puisi


dan musik sebagai ekspresi dan jeritan kelemahan watak manusia. Saya
tidak tahu apakah Russel memaksudkannya untuk seluruh musik atau
puisi, namun bagi saya yang dimaksud adalah terbatas pada puisi dan
musik yang eskapistik, melankolis, dan tak berarah. Di luar itu, saya
berkeyakinan bahwa puisi dan musik pun merupakan produk kreativitas
nalar kemanusiaan kita. "Bukankah tiada kata tanpa nalar?" tandas
Socrates. "Bukankah musik merupakan irama kosmos yang beriringan
dengan matematika?" seru Al Farabi. Nalar, tentunya juga tak mungkin
bersahabat dengan orang-orang yang kalah dalam pergulatan dunia nyata.
Pun, nalar akan dikhianati oleh orang-orang yang mabuk kemenangan.
Sementara nalar mengingatkan mereka untuk tetap menjalin dialog dan
rendah hati, namun emosi dan imajinasi menghasut mereka untuk
menunjukkan taring-taring kepongahan dan keserakahan.

Bahkan, nalar juga sulit akrab dengan orang-orang yang telah sedemikian
lama tidak menjejakkan kakinya di bumi yang kotor dan tenggelam dalam
dunia ilusi-imajinatif. Orang-orang semacam ini sejak terdampar di muka
bumi tak pernah mengenal bagaimana kasarnya tanah, pahitnya air hujan,
pedihnya terik matahari, atau payahnya mengeluarkan keringat karena
mereka selalu hidup dalam keserba-hadiran hal-hal yang dibutuhkan.
Dikarenakan tidak mengenal realitas, mereka akan sulit menerima prinsip-
prinsip yang diperkenalkan nalar, misalnya: "Jika Anda hendak mencapai
sesuatu, pikirkan langkah dan metode yang mesti diterapkan." Nalar,
dengan segala kekurangan daya pesona dan pikatnya, bagaimanapun
adalah satu-satunya fakultas kemanusiaan kita yang dapat diajak berdialog.
Rasa dan emosi tak mungkin bisa diajak berdialog karena ia menuntut
peleburan obyek dalam kesatuan pengalaman subyektivitasnya. Naluri
berkuasa, apalagi, pun sulit dituntut penjelasan mengapa ia hendak
berkuasa dan bertindak sesuatu. Kuasa sama sekali tidak mampu
memahami yang lain dan, sebaliknya, selalu menuntut untuk dipahami.
Demikian pula hasrat dan libido teramat mustahil dapat berdialog karena
wataknya yang selalu menuntut pemuasan imajiner yang tak habis-
habisnya.

Mengapa nalar berkemampuan untuk berdialog? Karena, nalar mengenal


kategori subyek dan obyek, aku dan dia; ia memahami perbedaan realitas
dan ilusi, kenyataan dan keinginan. Tidak seperti rasa yang melumatkan
identitas obyek dalam kesatuan pengalaman subyektivitasnya, nalar
menghargai eksistensi obyek di hadapannya, karena ia sadar bahwa ada
subyek dan ada obyek; bahwa ada aku dan ada dunia. Tidak seperti
imajinasi yang tidak mampu membedakan realitas dan fatamorgana, nalar
menyadari benar mana yang real dan mana yang ilutif. Nalar, karena itu,
adalah juga satu-satunya fakultas kemanusiaan kita yang menyadari
kelemahan dan keterbatasan-keterbatasannya. Ia tidak menuntut
kemutlakan sebagaimana yang dipahami oleh sebagian orang. Wataknya
sendiri yang tidak memungkinkan ia menuntut absolutisme karena selalu
ada refleksi yang membedakan dirinya dengan apa yang ia refleksikan; dan
itu berarti selalu terdapat horizon yang tak penuh dan juga berjarak antara
dirinya dengan realitas.

Merupakan watak nalar untuk selalu waspada bahwa ia tidak akan pernah
merengkuh absolutisme. Karena, cara kerja nalar hakikatnya adalah
pengambilan jarak dari realitas. Itulah sebabnya Pythagoras atau Plato
menyebut penyelidikannya sebagai philosophos, yang berarti cinta kepada
kebijaksanaan. Mereka tidak pernah mengklaim pemilik kebenaran,
melainkan berendah hati untuk menyebut diri mereka sebagai pencinta
kearifan.

Demikian, aktivitas nalar dalam kajian filosofis, sains, dan agama, selama
konsisten dengan karakteristiknya, tidak akan mungkin melampaui
wewenangnya, misalnya, mengajukan klaim kebenaran mutlak. Manakala
suatu pemikiran filosofis, sains, atau pemahaman keagamaan tertentu
membuat klaim absolutisme, hal itu menandakan telah terjadi intervensi
terhadap karakteristik cara kerja nalar itu sendiri. Intervensi itu bisa
berasal dari rasa dan pengalaman indrawi, intuisi, kehendak, imajinasi,
hasrat atau libido. Alih-alih mengutuk nalar, sebaiknya kita menisbahkan
tindakan intervensi ini kepada fakultas-fakultas yang memang berpotensi
untuk menyodorkan klaim kemutlakan itu, seperti rasa-emosi, kehendak,
imajinasi, hasrat atau libido.

Jadi, pandangan positivisme (salah satu modus kemutlakan) dalam dunia


sains, misalnya, jelas bukanlah produk nalar, melainkan hasil intervensi
dari cara kerja empiris-materialistik yang tidak mau menerima sumber
kebenaran lainnya. Di sini telah terjadi pemutlakan pengalaman empiris
sebagai satu-satunya sumber pengetahuan; dan hal itu terjadi ketika watak
nalar dikhianati oleh pengalaman subyek, kepentingan, imaji, ilusi, dan
hasrat. "Padahal, nalar itu sendiri," kata Karl Popper, "menyadari bahwa
adalah tidak masuk akal untuk melakukan induksi kalau semata-mata
berdasarkan pengalaman betapapun banyaknya pengalaman itu."

Hal yang sama dapat terjadi dalam narasi filosofis. Klaim kemutlakan yang
dicetuskan sejumlah tokoh filsafat yang ambisius memetakan seluruh
lingkup dan perjalanan pemikiran manusia, semisal Comte, Hegel, dan
tokoh-tokoh neopositivisme, tidaklah lahir dari refleksi filosofis semata.
Dapat ditunjukkan bahwa telah terjadi intervensi terhadap cara kerja nalar
sedemikian rupa sehingga mereka sampai kepada klaim absolutisme. Kita
juga dapat cermati bahwa pemikir-pemikir dekonstruksionis semacam
Nietzcshe, Derrida, bahkan Heidegger, yang biasanya dianggap mewakili
pihak oposisi terhadap matriks rasionalitas dan universalitas, pun memiliki
potensi yang lebih liar dan tak terkendali untuk mengusung klaim
kemutlakan. Hal itu bisa kita cermati dalam kehidupan praksis, misalnya,
bagaimana Heidegger secara diam-diam mendukung absolutisme politik
Nazisme Hitler. Sikap antinalar merupakan pintu utama menuju
kesewenang-wenangan, dan kesewenang-wenangan ini merupakan saudara
kandung absolutisme.
Oleh karena itu, adalah salah alamat bila sementara orang mendakwa nalar
sebagai biang keladi terjadinya klaim-klaim kemutlakan, entah itu di dunia
sains, filsafat, atau agama. Mestinya mereka melakukan kritik ideologis-
psikologis-sosiologis untuk mengungkap prastruktur pemahaman dan
kepentingan-kepentingan tersembunyi di balik klaim-klaim itu. Semestinya
yang kita dakwa atau sidang, alih-alih nalar justru adalah rasa, naluri
berkuasa, hasrat, libido, atau imajinasi liar yang telah meracuni
karakteristik cara kerja nalar. >small 2small 0< membaca narasi Tanah Tak
Berjejak Para Penyair yang ditulis oleh Donny Gahral Adian pada kolom
bulan lalu, saya tergoda mengomentari beberapa poin pokok yang
didedahkan dalam narasi itu. Menanggapi sebuah judgement bahwa
"mengunyah buah pengetahuan menjebak manusia ke dalam semesta yang
penuh tanda tanya sehingga membuat manusia gamang" perlu saya ajukan
sejumlah pertanyaan. Apakah pengetahuan itu selalu merupakan apa yang
disebut sebagai penyesakan realitas? Apakah suatu kesalahan jika manusia
tercekam oleh rasa ingin tahu untuk menyingkap rahasia alam raya?
Benarkah keingintahuan manusia untuk mengungkap makna realitas selalu
membuatnya gamang?

Jawaban tiga pertanyaan di muka: Tidak. Tidak semua modus pengetahuan


manusia merupakan intervensi terhadap realitas. Sebuah contoh yang
sederhana dapat diberikan. Pengenalan terhadap diri kita sendiri, misalnya,
nyata-nyata tidak termasuk kategori pengetahuan yang disebutkan oleh
Nietzsche atau Foucault sebagai agen yang memproduksi realitas, karena
ketika kita mengenal diri sendiri kita tidak menambah kategori apa pun,
kecuali hanya menyingkap realitas diri. Kebersalahan rasa ingin tahu
berasal dari sebuah mitos tentang pengetahuan sebagai buah yang terlarang
bagi Nabi Adam di surga. Mitos pengetahuan sebagai pembawa malapetaka
bagi manusia lebih merupakan sebuah parodi yang hendak mengelak
tanggung jawab manusia terhadap nilai pengetahuan. Sekalipun anggapan
kebersalahan itu muncul dari pertimbangan bahwa pengetahuan akan
menjerat kita dalam rangkaian pertanyaan yang tak kunjung usai, tetap
saja lebih baik kita berkubang dengan segenap keraguan dan pertanyaan
daripada kehampaan nalar sama sekali. Mengapa cemas terhadap
rangkaian pertanyaan yang tak tuntas dan lebih memilih kehampaan?

Sementara itu, judgement bahwa rangkaian pertanyaan yang tak kunjung


usai itu membuat kita gamang mengisyaratkan dengan amat telanjang
betapa nalar kita telah dikuasai oleh rasa takut yang berlebihan.
Kecemasan eksistensial rupanya telah membungkam nalar "para penyair
yang tak berjejak" itu, sedemikian hingga mereka lebih memilih kehampaan
daripada memiliki pengetahuan yang bakal menuntut mereka komitmen
dan tanggung jawab. Mari merenung sejenak, apakah sikap ini sebuah
pembebasan ataukah pelarian diri dari realitas? Apakah kehendak untuk
merengkuh kehampaan dan keasingan itu sebuah keberanian ataukah
kelemahan watak untuk mengemban tanggung jawab?

Mereka yang memilih mengasingkan diri tidak tabah dan sabar menekuni
mozaik realitas yang pelik, taksa, dan paradoks. Alih-alih berani
menghadapi lautan realitas yang luas, mereka malah lari tunggang-
langgang berbalik arah menuju pulau asing sebagai tempat persembunyian.
Tentu saja kita tidak bermaksud menampik pelbagai problem yang
ditimbulkan oleh narasi-narasi sains, filsafat, dan agama. Ketiga narasi
besar peradaban manusia ini mesti kita akui telah menciptakan badai-badai
besar dalam lautan kehidupan kita yang setiap saat bisa menenggelamkan
kapal peradaban manusia. Sejak paruh kedua abad ke-20 M, bermunculan
kritik tajam bahwa sains modern telah menggantikan posisi kepengapan
pandangan dunia dan kuasa alam yang dulu ia tentang. Demikian pula
halnya dengan narasi filsafat dan agama, yang kerap kali menambah
kepengapan dan kelelahan hidup tiada akhir.

Meskipun demikian, berkat cahaya nalar pada kedalaman eksistensi


kemanusiaan kita, badai-badai peradaban itu akan kita hadapi dengan
ketabahan. Tidak layak menghentikan perjalanan di persimpangan yang
menentukan masa depan peradaban kita. Kebisingan dan kepengapan
dunia tidak untuk diratapi, melainkan untuk kita hadapi dengan nalar yang
sabar dan berkomitmen. Sebuah puisi yang bernalar patut kita lantunkan:

Arungi lautan kehidupan yang tak berujung ini

Bersama nalar yang berdisiplin dan bertanggung jawab

Hadapi hantaman badai demi badai

Tuhan akan menjulurkan rahasia jubahNya

Kepada kita, wakilNya

Husain Heriyanto Dosen Filsafat di Universitas Paramadina; Direktur


Pusat Kajian Filsafat Madina Ilmu; editor seri filsafat Mizan; penulis
buku "Paradigma Holistik: Dialog Filsafat, Sains dan Kehidupan"
(Teraju-Mizan, Jakarta, 2003)

NALAR PUITIS SEBAGAI METAFILSAFAT


Donny Gahral Adian

Pertengkaran keluarga dalam kubu humanisme terus berdengung sampai


sekarang. Pertengkaran antara kubu pembela nalar di satu sisi dan kubu
pembela naluri di sisi lain. Antara yang Cartesian dan yang Nietzschean.
Para Cartesian menuduh pembela naluri merendahkan manusia. "Cogito
ergo sum!" jerit mereka. Kodrat manusia terpusat pada nalar, bukan
nalurinya. Naluri dilempar dari kemanusiaan karena mempersandingkan
manusia dengan hewan. Bersembunyi di balik Cogito, manusia berada di
puncak hierarki gradasi wujud. Nalar mengandaikan semesta yang hadir
dan bisa dimengerti. Bersembunyi di baliknya adalah iman akan
ketersambungan antara pikiran dan kenyataan. Naluri, di lain pihak,
memiliki modus berpikirnya sendiri. Dengannya, manusia melampaui yang
hewani dan manusiawi sekaligus. Naluri untuk penguasaan Nietzsche,
misalnya, mengenyahkan logos yang membentang di luar, namun diam-
diam menariknya ke dalam. Dua tradisi yang berseteru seolah-olah berdiri
berseberangan. Namun, sesungguhnya mereka berbagi iman yang sama
secara epistemo-ontologis. Semesta ini asing. Dan, transenden ini hanya
bisa disingkap apabila ontologi manusia ditelanjangi bulat-bulat. Descartes
mengerti manusia sebagai substansi yang berpikir, sedangkan Nietzsche
memahami manusia sebagai naluri untuk penguasaan. Bertolak dari itulah
semesta ditarik dari persembunyiannya. Kodrat manusia adalah kunci
utama pembuka pintu rahasia semesta raya. Apabila yang transenden
menjadi titik tolak tradisi teori pengetahuan dalam filsafat, tidak demikian
halnya dengan puisi. Bagi puisi, kenyataan selalu sudah menampilkan
dirinya dalam bahasa. Kenyataan adalah semata-mata soal modus
pengucapan. Maka, tinimbang mencari ketelanjangan sebuah rahasia, puisi
mengerahkan tenaganya untuk menelusuri modus pengucapan baru.
Alternatif yang dikejar adalah modus pengucapan representasional bahasa
sains dan filsafat, sebuah modus pengucapan yang mengandaikan
keterwakilan semiotis realitas dalam bahasa. Puisi tidak melentingkan kita
ke tanah tak berjejak. Ia tak berpeluh-peluh mengejar kebenaran sejati. Ia
tidak melakukan penyingkapan apa pun. Yang ia kejar semata-mata kosa-
kata baru realitas. Muara perbincangan ini adalah filsafat yang membujur
kaku. Refleksi atas puisi adalah akhir hayat filsafat. Para filsuf terkaget-
kaget saat mendapati bangkai epistemologis yang disisakan puisi, seperti
saat Nietzsche menemukan "yang tak berasal" setelah merefleksikan puisi-
puisi klasik Yunani. Atau Heidegger yang menghentikan proyek ontologi
fundamentalnya setelah membaca puisi-puisi Holderlin. Pembelokan sastra,
literary turn, sedang menggayuti jagat pemikiran kontemporer. Nalar yang
notabene merupakan peranti rohani utama filsafat dalam membuka segel
epistemologis sedang mencapai titik nadirnya. Saya membaca gejala ini
sebagai gejala metamorfosis nalar menuju bentuknya yang puitis.

Metafilsafat

Collin McGinn, salah satu filsuf Amerika kontemporer, melontarkan gagasan


tentang apa yang disebutnya sebagai metafilsafat. Sebuah penyelidikan
filosofis tentang apa sesungguhnya kodrat dari persoalan filsafat,
kemungkinan pengetahuan filosofis dan metode yang diadopsi demi
kemajuan filsafat. Sebuah filsafat tentang filsafat. Menurut McGinn, ada
dua tradisi besar metafilsafat yang saling bertolak belakang. Pertama adalah
tradisi Platonian. Tradisi ini berkeras bahwa persoalan filsafat adalah
persoalan esoteris. Filsafat adalah disiplin yang memacu nalar manusia
menggapai "yang esoteris". Tradisi kedua adalah Wittgensteinian. Bertolak
belakang dengan Plato, Wittgenstein menolak apa yang disebut sebagai
persoalan esoteris filsafat. Persoalan filsafat sesungguhnya adalah persoalan
bahasa. Pertanyaan filosofis menjadi semu dan tak bermakna akibat
penyalahgunaan bahasa. Dengan kata lain, persoalan filsafat sesungguhnya
adalah soal penyembuhan bahasa. Tulisan saya, Tanah Tak Berjejak Para
Penyair ("Bentara", Kompas, 2 Mei 2003), berusaha mendamaikan dua
tradisi metafilsafat tersebut dengan mengajukan hipotesis nalar puitis.
Nalar puitis tidak berkonsentrasi pada persoalan yang absolut-esoteris,
namun tidak juga mengalah pada jerat kebahasaan belaka. Nalar puitis
adalah nalar yang selalu peka terhadap yang transenden berdasarkan
postulatnya akan kodrat semiotis kenyataan. Selalu ada yang
bergentayangan di luar modus pengucapan yang dominan. Itulah yang
dikejar oleh nalar puitis. Oleh karena itu, modus bernalar biasa harus
ditinggalkan. Modus bernalar yang mencari kodrat harus digeser oleh
modus bernalar yang mencari modus pengucapan baru. Konsentrasinya
bukan pada jawaban positif, tetapi pada pertanyaan-pertanyaan asali guna
menemukan modus pengucapan baru. Heidegger meletakkan fondasi awal
bagi metafilsafat nalar puitis. Bernalar bagi Heidegger adalah keunggulan
filsafat. Karenanya, filsafat harus memiliki modus bernalar yang melebihi
ilmu-ilmu positif, yakni modus yang tidak berkonsentrasi pada jawaban
positif melainkan, seperti diisyaratkan Russel, melulu prihatin pada
pelebaran ruang imajinasi nalar kita sendiri. Pelebaran yang sesekali harus
melontarkan pertanyaan pada pertanyaan filosofis itu sendiri. Ini yang
dilakukan Heidegger saat mengajukan pertanyaan terhadap seluruh
pertanyaan filsafat, mulai dari Yunani klasik sampai modern. Bagi
Heidegger, semua pertanyaan itu harus dipertanyakan ulang karena tidak
bertanya tentang Ada yang sesungguhnya, yaitu Ada yang menopang segala
adaan. Para filsuf terlalu asyik bertanya sehingga melupakan perbedaan
kentara antara Ada dan ada.

Pertanyaan-pertanyaan filsafat yang berlontaran dalam sejarah tak mampu


menampung transendensi sang Ada. Kelumpuhan ini, menurut Heidegger,
disebabkan oleh filsafat yang masih berkutat dengan nalar epistemologis,
nalar yang mengejar keakuratan representasi antara benak dan kenyataan,
nalar yang mewakili bukan menyingkap. Sejarah filsafat adalah sejarah
nalar epistemologis. Mulai dari filsuf Milesian yang coba menalar kodrat
semesta sesungguhnya, sampai Descartes yang menelanjangi kodrat kognitif
manusia sebagai dasar pengetahuannya tentang dunia. Bahkan, Nietzsche
yang dituduh pelbagai pihak antinalar sesungguhnya masih terjebak dalam
sejarah nalar epistemologis saat menelanjangi kodrat manusia sebagai
naluri untuk penguasaan. Saat nalar kehilangan kepekaannya pada yang
transenden, kidung bait-bait puisi dalam tubuhnya pun lamat-lamat
menghilang. Kondisi ini diperparah lewat lahirnya sains pada abad ke-17
sebagai wujud sempurna filsafat alam. Sains membekukan geliat nalar pada
pandangan dunia mekanisme yang telah menghilangkan dunia dari
kemisteriusan. Pengeringan dunia dari yang asing ini membuat nalar
kehilangan kemampuannya membawa kita ke tanah tak berjejak. Nalar pun
sekadar kalkulasi, bukan eksplorasi. Ini yang dimaksud Heidegger saat
mengejek fisika sebagai semata-mata kalkulasi, bukan pemikiran.

Kematian nalar puitis adalah saat nalar terjebak pada fungsi


metodologisnya. Nalar yang melulu bersibuk dengan langkah-langkah
menemukan kebenaran, bukan menciptakan. Metode dalam menentukan
yang benar maupun yang baik. Padahal, seperti dikemukakan Whitehead,
spekulasi nalar tidak terjerat oleh metode. Ia mentransendenkan semua
metode. Nalar adalah naluri dasar manusia yang senantiasa merindu pada
yang tak terbatas. Ini yang membuat sebuah kemajuan dimungkinkan.
Naluri kerinduan nalar pada yang transenden redup saat nalar difungsikan
semata-mata secara komunitarian. Saat nalar terkurung oleh kategori-
kategori kultural, jelajah nalar puitis pun mandek secara historis. Ia
menjadi ansilla historica, hamba sejarah. Sebuah kesia-siaan yang tak perlu.
Kesia-siaan yang dituduhkan para pembela nalar kepada para neosofis yang
antikebenaran tunggal. Nalar identik dengan universalisme, kata mereka.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah pilihan antara relativisme dan
universalisme adalah sebuah pilihan dikotomis. Saya menyodorkan
hipotesis nalar puitis sebagai muara metamorfosis nalar manusia setelah
pengejaran terhadap yang transenden dihentikan. Hipotesis yang ternyata
banyak mendapat reaksi keras pelbagai pihak. Sebagian menafsirkannya
sebagai maklumat hukuman mati bagi nalar. Tuduhan yang berpijak pada
sangkaan pengulangan gagasan aleitheia Heidegger dalam hipotesis saya.
Tuduhan-tuduhan itu cukup berdasar. Hanya serangan terakhir yang
terdengar menggelikan. Saya dituduh memutlakkan jalan puisi.
Sungguhkah demikian?

Jelas tergurat bahwa nalar puitis bukan puisi. Puisi bagi saya sekadar
metafora bagi kemampuan nalar membuka modus-modus pengucapan baru
tentang jagat raya. Kemampuan yang lenyap saat ilmu pengetahuan,
filsafat, dan teologi mengejar kebenaran bukan kelainan. Pengejaran yang
sadar atau tidak disadari menggendong sebuah pandangan dunia tertentu.
Fisika, misalnya, dicela Heidegger sebagai semata-mata kalkulasi bukan
pemikiran. Mengapa? Karena fisika tak bisa melepaskan diri dari
pandangan dunia mekanistik. Ia hanya berfokus menghitung-hitung gerak-
gerik semesta tanpa menghasilkan sebuah modus pengucapan alternatif.
Nalar puitis juga bukan sekadar keisengan yang antinalar. Nalar puitis
adalah nalar yang selalu terjaga pada "kelainan". "Kelainan" berbeda dengan
yang transenden. Transendensi adalah modus epistemologis, sementara
"kelainan" adalah modus puitis. Di mana letak perbedaannya? Modus
epistemologis bekerja dengan kategori benar-salah. Tanah berjejak yang
ditinggalkan adalah sesuatu yang kadar epistemologisnya lebih rendah
ketimbang dataran kognitif baru yang dituju. Sementara "kelainan",
sebaliknya, tidak berurusan dengan kategori benar-salah. Ia semata-mata
sebuah kemungkinan baru dalam berbincang-bincang tentang semesta.
Semesta selalu sudah menampilkan dirinya secara kebahasaan. Yang
dikejar oleh nalar puitis, bukan kebenaran baru, melainkan sebuah
kosakata baru tanpa klaim epistemologis apa pun. Selanjutnya, apakah
nalar puitis sekadar pengulangan hipotesa "aleitheia" Martin Heidegger?
Saat Heidegger menjelaskan panjang lebar tentang bahasa sebagai rumah
Ada, ia sesungguhnya sudah bersentuhan dengan apa yang saya maksud.
Namun, ketika itu semua diletakkan dalam proyek pencarian Ada, maka ia
terjebak dalam epistemologi. Berpikir seharusnya bukan mencari Ada,
melainkan membangun rumah-rumah Ada yang baru. Aroma epistemologis
semakin jelas tercium saat Heidegger berbicara tentang Dasein otentik yang
mengambil jarak dari "ke-mereka-an" (Dasman). Pengambilan jarak Dasein,
yakni being in the world, adalah sebuah momen kebenaran setelah ia
tenggelam dalam kepalsuan publik. Ini semua menjadi kesulitan pokok
Heidegger dari kacamata nalar puitis.

Matinya epistemologi

Kapan manusia berhenti bertanya? Nalar puitis berhenti bersuara saat


pertanyaan menjelma pengalaman yang pada gilirannya menukik pada
pengetahuan. Sejarah adalah hasil sedimentasi pengetahuan yang bercikal
bakal pada lontaran pertanyaan nalar puitis. Sedimentasi yang menebal
itulah yang membuat kita tidak lagi bertanya. Kalaupun bertanya, maka
pertanyaan itu sekadar pertanyaan komunitaris. Pertanyaan yang sudah
diarahkan jawabannya oleh kesepakatan epistemik satu komunitas. Ia tak
bisa menembus belenggu epistemologi yang dirajutnya sendiri. Kita sedang
hidup di masa yang melupakan apakah. Benarkah demikian? Nietzsche
dalam bukunya, Beyond Good and Evil, mempersoalkan klaim universalitas
yang baik dan yang jahat. Yang baik dan yang jahat, menurut Nietzsche,
adalah bentukan sejarah orang-orang yang kalah secara moral. Ia adalah
sebentuk fiksi etis-komunitarian yang diuniversalkan. Persoalan ini sepintas
persoalan aksiologis (nilai). Namun, sesungguhnya ia adalah persoalan
epistemologis (pengetahuan). Bahwa pengetahuan kita tentang yang baik
dan yang buruk adalah buatan tangan sejarah. Konsekuensinya adalah itu
bukan pilihan satu-satunya. Kita bisa merajut fiksi baru untuk
mendongkelnya. Berakar dari proyek-proyek genealoginya, Nietzsche pun
dituduh sebagai pendaur ulang klaim-klaim relativisme kaum sofis, gagasan
yang mendapatkan pembenaran dari hampir semua komentatornya. Saya
sendiri akan bertanya, apakah Nietzsche sedang mempraktikkan nalar
komunitaris yang tak berpuisi? Atau, sungguhkah Nietzsche bisa
dijebloskan masuk pada barisan antitransenden? Padahal, kalau membuka
halaman demi halaman buku-bukunya, kita menemukan jarum-jarum
aforisme yang tajam menghunjam indra. Buku-bukunya adalah puisi
panjang tentang kealpaan yang disahkan sejarah. Nietzsche, sebaliknya,
justru menjalankan nalar puitis guna mencari gramatika epistemologi moral
baru. Nietzsche membebaskan moral dari ikatan nalar konvensional. Ikatan
yang membuat moral seolah-olah bersimpuh pada satu metode.
Pengetahuan moral yang sudah tersedimentasi sejak lama itulah yang
kemudian diruntuhkan Nietzsche. Ketika orang sudah tak lagi bertanya
tentang legitimasi sebuah pengetahuan moral, Nietzsche dengan lincah
memainkan nalar puitis menembus yang benar dan salah. Menjejakkan
kaki kognitif di tanah tak berjejak. Melampaui relativisme. Itulah pagelaran
nalar puitis yang dipertontonkan Nietzsche. Nalar puitis Nietzsche jauh
melompati sedimentasi sejarah. Bergerak liar mencari kemungkinan-
kemungkinan baru. Dan, semuanya itu hanya mungkin karena dorongan
naluri akan yang lain.

Naluri akan yang lain.

Suara purba itu sirna oleh tumpukan pengalaman yang menyejarah.


Tumpukan yang berakar dari kecemasan akan ribuan tanda tanya yang
menyelimuti semesta. Ribuan tanda tanya yang harus dipastikan supaya
manusia hidup tanpa kejutan dan entakkan. Semua tanda tanya harus
dipastikan. Kalau tidak, manusia hidup dalam api kekalutan yang tak
kunjung padam. Kondisi yang tentu saja tak mengenakkan. Manusia lebih
suka hidup dalam-menyitir Giddens-kesadaran praktis. Kesadaran
bertindak dalam mana manusia tak harus berpikir keras untuknya. Sebuah
kesadaran dalam lingkup komunitarian yang pekat. Semua tanda tanya
harus dipastikan. Satu saja lolos, tertib kosmis akan mengalami gangguan.
Alam yang ternalar sempurna tidak boleh menyisakan ganjalan
epistemologis yang mengganggu. Manusia butuh kepastian. Seperti jejaka
yang menunggu jawaban pinangannya dari sang dara. Keliaran nalar pun
harus dihentikan. Nalar harus bekerja tertib karena alam pun sesuatu yang
tertib. Tertib alam harus terpantul sempurna dalam kinerja nalar. Yang
nyata adalah rasional dan yang rasional adalah nyata, menurut Hegel. Alam
bekerja berdasarkan satu gramatika. Dan, gramatika itu hanya bisa disibak
oleh nalar yang patuh. Jatuhnya nalar pada kesatuan gramatika membuat
naluri akan yang lain lumpuh. Keberanian nalar dalam menjelajah pelbagai
kemungkinan pengucapan pun dilibas oleh kecemasan epistemologis yang
berlebihan. Padahal, justru relativisme lahir dari rahim kecemasan
sedemikian. Kecemasan untuk mengarungi ruang hampa di luar lingkungan
komunitarisnya, yaitu lingkungan yang memberlakukan satu aturan bagi
kebenaran, kebaikan, dan keindahan.

Karl Raimund Popper, filsuf sains termasyhur, menolak bentuk


komunitarianisme macam itu. Ia menyerang relativisme paradigma yang
digagas rekannya, Thomas Kuhn. Bagi Popper, Kuhn menjebak nalar pada
kubah-kubah komunitas ilmiah yang memacetkan daya transendensinya.
Daya transendensi nalar, menurut Popper, adalah saat nalar induksi
digantikan oleh nalar falsifikasi. Ia mencibir metode induksi yang dibakukan
positivisme sebagai pembeda sains dan nirsains. Pengumpulan fakta-fakta
guna membenarkan sebuah teori cacat dari kacamata logika. Sebuah teori
secara logika dapat diruntuhkan hanya dengan satu fakta yang bertolak
belakang. Lahirlah nalar falsifikasi menggeser segala dogma, ideologi, atau
ilusi karena ia terbuka bagi falsifikasi. Nalar falsifikasi membuat kita tidak
lagi bicara kepastian, melainkan kehampiran. Kebenaran tidak bisa
dipastikan. Ia hanya bisa dihampiri lewat uji falsifikasi terus-menerus. Teori
yang paling tahan uji adalah teori yang paling dekat menghampiri
kebenaran. Puitiskah nalar falsifikasi Popper? Sungguh tak dapat
dimungkiri. Berkat falsifikasi, sains pun terlepas dari jerat konservatisme
dan bergandengan erat dengan kemajuan. Namun, kemajuan yang
dihasilkan bersifat linier dan monistik. Kelincahan nalar seperti yang
dipertontonkan Nietzsche tidak tampak. Kesatuan gramatika pengujian
kebenaran masih menggayuti nalar falsifikasi Popper. Pandangan dunia
sains pun masih mengeram pada lantai paling bawah pemikirannya. Paul
Feyerabend, seorang anti-Popperian, menggugat linieritas nalar falsifikasi
Popper. Baginya, mengapa tak kita biarkan nalar bekerja dalam
gramatikanya sendiri-sendiri. Kesatuan metode harus memberi jalan pada
pluralisme. Ia mengajak kita untuk sadar bahwa nalar adalah majemuk. Ia
tidak tunggal, namun seperti digagas Wittgenstein, harus dikembalikan
pada permainan bahasa masing-masing komunitas. Kelompok penolak
universalisme nalar berpegangan pada premis bahwa pengetahuan adalah
konstruksi budaya. Budaya adalah sesuatu yang berdiri diametral dengan
pengetahuan. Pengetahuan berpegang pada obyektivitas, universalitas, dan
ketetapan. Budaya, sebaliknya, sesuatu yang bergerak dan bercabang ke
sana-sini seiring alun sejarah. Mengatakan pengetahuan sebagai produk
budaya sama artinya dengan mengatakan bahwa pengetahuan tidak
seabsolut yang dikira orang. Ia berubah dan bercabang bersama sejarah.

Pergeseran dari obyektivitas menjadi komunalitas memperoleh tantangan


politis. Bagaimana kemajemukan nalar bisa dipertanggungjawabkan dari
kacamata politik? Atau dengan kata lain, bagaimana sebuah hidup bersama
yang baik itu mungkin? Richard Rorty, Jurgen Habermas, dan John Rawls
adalah sebagian dari mereka yang menggulati masalah ini. Mereka tidak
peduli dengan gramatika nalar masing-masing komunitas. Mereka
memikirkan bagaimana sebuah gramatika nalar percakapan yang bisa
membuat pelbagai kelompok memiliki kesatuan konsepsi tentang hidup
bersama. Nalar percakapan sendiri adalah nalar yang tidak berpihak. Ia
adalah prosedur bagi masing-masing nalar komunitarian dalam
memutuskan sebuah konsensus. Ia tidak berurusan dengan isi gramatika
kultural itu sendiri, melainkan prosedur yang sehat percakapan
antargramatika. Apakah ini potret nalar puitis? Dari sisi
ketidakterjebakannya pada gramatika, kelompok nalar percakapan memang
terdengar puitis. Namun, ketidakpeduliannya pada isi gramatika kultural
itu sendiri menyimpan masalah. Nalar percakapan hanya mengamini
kemajemukan gramatika tanpa memeriksa sedimentasi pengalaman yang
menua dalam masing-masing gramatika. Seolah-olah masing-masing
gramatika diterima apa adanya. Ini membuat agresivitas nalar puitis pun
mandek. Nalar hanya diaksentuasikan dalam merumuskan prinsip-prinsip
yang bisa diterima sebanyak mungkin kelompok. Namun, tidak ditatapkan
pada gramatika kelompok itu sendiri. Tidak digerakkan secara lincah
mencari gramatika-gramatika pengucapan baru untuk membuka lapisan-
lapisan yang tersembunyi dalam sedimentasi pengalaman tersebut.
Tuduhan monisme pun akhirnya bisa dijatuhkan kepada para pembela
nalar percakapan. Sesuatu yang sebenarnya ingin dijauhkan mereka dari
sistem-sistem pemikiran kontemporer. Kemandekan upaya eksplorasi puitis
nalar membuat sejarah menang telak atas pertanyaan. Apa mendominasi
apakah. Sebuah potret semesta yang digambarkan Heidegger sebagai
perlahan-lahan dilanda kegelapan. Ribuan tanda tanya pun terselimuti
jawaban. Yang asing hanya dihadirkan sebagai obat kecemasan. Saat
manusia berhadapan dengan teka-teki yang tak terpecahkan, yang
transenden didatangkan sebagai juru selamat. Tuhan bekerja secara
misterius, habis perkara. Yang transenden lalu dituduh sebagai ruang
hampa kognisi. Setelah nalar berhenti, intuisi bekerja meneruskan
perjalanan spiritual menuju yang asing. Yang transenden hanya bisa
dikenali lewat absennya nalar dan menguatnya hati. Nalar manusia
terbatas. Begitu cibir para mistikus. Namun, nalar puitis tak mengenal
horizon seperti itu. Naluri kerinduan pada yang tak terbatas membuatnya
senantiasa lincah bekerja mencari gramatika-gramatika baru. Pencarian
yang menyeret yang transenden ke dalam terang pengetahuan. Melampaui
yang benar dan yang salah menurut sejarah. Menggeser relativisme,
sekaligus senantiasa penuh selidik terhadap universalisme-absolutisme.

Hening

Tak satu pun lentera menyala saat aku membaca/ selintas suara
bergumam, "segala sesuatu jatuh ke dalam kebekuan yang mencekam"/
bahkan melon atau pir dari taman tak berdaun. Sebait puisi karya penyair
Wallace Stevens itu mengingatkan kita untuk selalu eling lan waspodo, ingat
dan sadar, pada segurat keheningan yang senantiasa membayangi
cakrawala pengetahuan. Segurat keheningan yang senantiasa membujuk
kita memainkan nalar secara puitis. Pada masa yang mulai melupakan
apakah ini, ingat dan sadar akan "yang hening" dan "yang lain" sungguh
menjanjikan sejumput cahaya. Cahaya yang telah lama redup dalam sepak
terjang sains, teologi, dan filsafat. Nalar yang digunakan tak lagi mencukupi
untuk membuat puisi baru. Yang berlaku semata-mata daur ulang
gramatika ilmiah, teologis, atau filosofis yang mulai menua dan
membosankan. Saatnya bagi sains, teologi, dan filsafat untuk berhening
sejenak. Melepaskan diri dari keramaian jawaban dan mulai belajar
mengajukan pertanyaan. Singkat kata, belajar merangkul kembali
"kelainan" yang hilang. Keheningan dan kelainan berbeda dengan kesepian.
Kita hidup dalam semesta yang menyimpan seribu gramatika pembuka
rahasia. Nalar yang sadar akan multiplisitas ini tak akan berhenti pada satu
sedimentasi sejarah. Melainkan, senantiasa bergulat mencari kunci-kunci
pembuka tanah tak berjejak yang tertimbun sejarah. Para sahabat yang
melontarkan kritik pada tulisan saya, Tanah Tak Berjejak Para Penyair,
sungguh tahu bagaimana memainkan nalar secara puitis. Mereka membuka
dimensi-dimensi yang saya sendiri tak menyadarinya sebelum ini. Mereka
membaca sebuah gramatika baru dalam embrio pemikiran. Pembacaan yang
membuat saya kembali berkhidmat pada "yang lain" dan "yang hening".

Donny Gahral Adian Dosen Filsafat UI, Puisi-puisinya dibukukan


dalam Menulis Sajak Itu Indah (1998)

MEMBANGUN NALAR YANG TAK RETAK

Adi Armin

Di manakah kenistaan peruntungan/ Jiwa yang damba jadi pemenang/


Ketulusan hati adalah keabadian/ Kejujuran insan yang tidak lazim/
Awalnya adalah keyakinan/ Inspirasi gairah/ Dewi jualah yang menjulurkan
lambaian.
Kutipan puisi du Bellay ini sarat dengan renungan kuat pemikiran
platonisme. Muatan itu bukan saja karena du Bellay mengusung panji-panji
kaum neoplatonian dalam kelompok tujuh bintang (La Pleiade), kelompok
yang merangkum tujuh sastrawan besar di zaman Raja Henri II (1519-
1559), dan yang lainnya adalah Ronsard, Remy Belleau, Jodelle, Baif,
Pontus, Peletier du Mans, namun lebih-lebih sedimen poetik du Bellay
sendiri bersumber dari pengalaman batin dan nalar asli yang berorientasi
sublim dan suci. Proses kreatifnya bersentuhan dengan metafisika yang
justru disangsikan sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran, khususnya
pada zaman surplusisme dewasa ini. La Pleiade, pengujung Abad
Pertengahan, sengaja mengaktualkan kembali konstelasi sastra Yunani
klasik yang berfokus pada tujuh sastrawan terkemuka masa Ptoleme
Philadelphe, di antaranya Lycophrone, Homere dan Dionysiades sebagai
bukti penegasan semangat renaissance yang mereka miliki, yaitu
kembalinya kejayaan pemikiran Yunani dan keunggulan teknik konstruksi
bangsa Romawi. Sebagaimana diketahui, Plato telah mengembangkan
pemikiran umum yang membedakan pengetahuan opini yang
mengandalkan penampilan realitas (doxa) dengan pengetahuan yang
mengandalkan kebajikan moral, kedalaman dan keabadian (epistème). Pada
perkembangannya, pemisahan kedua pengetahuan tersebut memberikan
indikasi kuat bahwa penelitian rasional yang merupakan kelanjutan
penelitian penampilan realitas (doxa) telah memihak pada "perangkat keras"
atau kekakuan obyek formal pengetahuan yang kemudian memiliki akses
bergelombang pada politik dan kekuasaan, sementara pengetahuan yang
mengandalkan kebajikan moral, kedalaman dan keabadian tidak demikian.
Syair bening Las! Ou est maintenant yang mengabadikan ruang-ruang
kedalaman dan keabadian sejajar dengan tawaran mistisisme puisi
Corespondeences dari Charles Baudelaire, yang walaupun berada jauh di
luar pengaruh Yunani klasik, berhasil mengoleksi metafora dan simbol-
simbol memukau lewat kesatupaduan indera sebagai modalitas penalaran.
Kita simak: Alam laksana kuil dengan tiang-tiang hidup/ Melepaskan suara
galau/ Manusia lewat di sana melalui hutan simbol/ Menyapa dengan
pandangan hangat/ Laksana gema di kejauhan yang bersahutan/ Luas
bagai kelam dan cahaya/ Wewangian laksana harum bayi/

Pengaktifan total modalitas pengamatan secara simultan yang disajikan


Baudelaire dapat dimaknai suatu kemungkinan pengaktifan seluruh
fakultas penalaran manusia dalam menyapa realitas fenomenal yang
memiliki harmoni satu sama lain. Manusia sebagai makhluk hidup yang
secara "tragis" terlempar ke bumi dibekali perangkat sidik untuk
memudahkan dirinya beradaptasi dengan beragam rupa tantangan natural.
Bahkan, bukan hanya mampu beradaptasi, dengan kemampuan indera
rohani dan jasmani, manusia sering kali memenangkan pertarungan itu
berkat sukses kultural yang semakin sophisticated, yang dimilikinya, jauh
melibas hadangan alam. Mercusuar pencakar langit tahan gempa didirikan,
samudera ditembus, angkasa luar diacak, jarak dibonsai, waktu
dikonstruksi. Namun, penalaran jasmani tidak selalu menang dalam
observasi realitas. Semakin maksimal penalaran jasmani bekerja, disadari
semakin ada bagian realitas yang mengelak, dan menyingkir dari observasi.
Selalu ada bagian realitas yang tidak habis diverifikasi. Semakin horizon
didekati, semakin mundur menyingkir horizon tersebut. Alih-alih realitas,
bahkan Aku-nya manusia yang menalar pun ikut-ikutan mengelak dan
tergelincir keluar dari penalaran, seru JWM Verhaar. Lihat bagaimana
sibuknya fenomenologi Husserl mencari syarat-syarat transendental bagi
ego dalam kerangka transendental intersubyektif. Atau, usaha Merleau-
Ponty untuk menyenangkan dirinya sendiri bahwa tubuh cukup utuh pada
dirinya untuk mengarah pada Dunia Hidup (lebenswelt), sehingga
transendensi tidak perlu dilakukan, padahal saat mendefinisikan manusia,
Ponty terjebak dalam istilahnya sendiri, yaitu manusia adalah le corps dan
le sujet di mana salah satunya pasti mengelak. Bahkan, Aku-nya
Wittgenstein, satu-satunya struktur yang tidak masuk dalam struktur logis.
Aku-nya manusia menjadi batas dunia, suatu tindakan mengelak yang
gamblang. Puncak pernyataan penalaran yang mengelak dapat ditemukan
dalam rumusan pertanyaan gaya Ryle, yang bertanya: bagaimana aku
mengetahui bahwa aku mengetahui sesuatu, bagaimana aku menyadari
bahwa aku menyadari sesuatu. Sebuah tindakan penalaran yang mengelak
yang tidak habis-habisnya.

Dari dadaran realitas dan penalaran yang memiliki kelaziman mengelak ini,
masih sanggupkah dinyatakan bahwa realitas dan penalaran sepenuhnya
hak manusia dan tidak ada pihak lain lebih berhak. Tidakkah ingin
dikatakan bahwa realitas dan Aku menalar yang selalu mengelak tersebut
terjadi karena keduanya semu belaka, sehingga harus terus-menerus
dipelajari dan dikupas kemasan yang melingkupinya, sementara yang
sungguh-sungguh nyata dan tidak akan pernah mengelak ada di alam
nomena yang gaib. Penalaran ruang luar berwujud dalam pikiran yang
beroperasi secara lahir, sedangkan penalaran ruang dalam berwujud akal
budi yang bersifat batin. Keduanya sebagai "sarana" hidup manusia
mustahil bertentangan, apalagi saling menegasi. Ini sesuai dengan
pengertian nalar, yaitu berupa pertimbangan baik-buruk secara akal budi
atau aktivitas yang memungkinkan seseorang berpikir, suatu jangkauan
pikir atau kekuatan pikir. Dari pengertian tersebut, kita tentu menyangkal
pernyataan bahwa makna nalar atau penalaran hanya terbatas pada proses
berpikir yang bertitik tolak dari pengamatan indera yang mengandalkan
observasi pengalaman. Tentu akan dibantah pihak-pihak yang
mempropagandakan hasil penalaran hanya berkisar proses penyimpulan
yang dibangun dari proposisi anteseden dan premis sesuai teks-teks logika.
Sama halnya keberatan akan diajukan pada anggapan penalaran hanya
terdiri dari induksi, deduksi, abduksi, sebagai hal niscaya secara kategoris.
Nalar lincah dan supel dalam Menolak Nalar Murni, Mencegah Hidup Tanpa
Nalar oleh Bagus Takwin ("Bentara", Kompas, 4/7/2003) ataupun nalar
yang memuisi dalam Tanah Tak Berjejak Para Penyair, Donny Gahral Adian
("Bentara", Kompas, 2/5/2003), saya kira hanya persoalan operasional
teknis penalaran dan bukan hakikat penalaran, sama halnya penekanan
dan pertentangan yang timbul dalam berbagai isme. Penalaran yang
memuisi adalah manifestasi penyiasatan terhadap realitas yang mengelak
tadi. Tidakkah Nietzsche menyatakan bahwa realitas yang tersisa pastilah
"puisi". Penalaran utuh tidak menghasilkan benturan, sebab proses
penalaran adalah proses menyeluruh kesadaran manusia yang melibatkan
pikir dan akal budi. Polarisasi pemikiran dalam tataran praksis terjadi
karena realitas dilihat secara fragmentatif, dari sisi subyek, obyek atau dari
sisi keduanya secara berbalasan. Kekhawatiran Bagus Takwin bahwa nalar
asli tidak sanggup mengatasi pluralisme dan heterogenitas persoalan adalah
kekhawatiran berlebihan. Dalam operasionalisi, nalar asli dapat saja
menumpang pada berbagai isme yang ada, tetapi tidak menumpang untuk
selamanya, dalam arti, sadar diri dan kritis pada dasar mana ia berpijak,
dan saat mana ia harus berpindah demi keselarasan dan keseimbangan.
Nalar lincah dan supel yang dibarengi ketundukan dan kepatuhan.
Ungkapan penolakan terhadap nalar asli justru mengingkari sifat-sifat
lincah, supel, patuh dan tunduk dari nalar sendiri, sebab ia terjerumus
dalam lubang yang digalinya sendiri, tidak toleran, sok kuasa yang justru
dibenci mazhab-mazhab pemikiran operasional sekarang, semacam
neopragmatisme hermeunetik, dan dekonstruksi. Pemujaan Husain
terhadap nalar asli seperti Parmenides, Zeno, Pythagoras, Plato seperti
dituduhkan bukan hal yang disesalkan, sebab Husain tentu saja memiliki
pengalaman tersendiri sebelum menjatuhkan pilihan. Sesuatu yang dialami
(kata dialami, harus digarisbawahi) akan memberikan kesadaran sekaligus
pengetahuan untuk kemudian memilih mana yang sesuai. Toh, pemikiran-
pemikiran itu sebetulnya terletak di masa depan. Secara ontologis masa
depan adalah masa-masa yang telah manusia lalui, yaitu saat usia alam
semesta baru terbentuk, sehingga manusia yang hidup sezaman dengan
kebaruan alam semesta itulah yang baru. Manusia yang hidup di milenium
ketiga berada pada alam semesta yang sudah uzur dan habis tereksploitasi,
karenanya tidak dapat disebutkan dunia masa depan. Masa depan telah
direngkuh habis kaum yang hidup sebelum kita, sedangkan masa belakang
adalah masa anak cucu kita hidup kelak. Dalam penjelasan inilah, konsepsi
ikut, pengikut dan penerus terhadap orang-orang suci, misalnya kepada
Sidharta Gautama, Gandi, Confusius dapat diterima. Kebaruan yang
ditemukan dan akan ditemukan tidak lain adalah kebaruan semu semata
yang akan dikalahkan oleh penemuan setelahnya. Pandangan dimensi
waktu demikian dianut ilmuwan dan filsuf besar, semacam JJ Roussseau.
Kita tidak perlu kecil hati dengan cap mitis yang dikenakan Bagus Takwin
pada pemikiran demikian, karena pemikiran mitis di mana manusia dalam
keadaan terlingkup dan tidak sanggup keluar mengambil jarak pengamatan
berlangsung sepanjang masa. Bayangkan seberapa kuat manusia sanggup
mengambil jarak terhadap informasi di era mediamorfosis (Kompas,
28/5/2003) Di tengah banjir deras informasi, kita kelabakan menyeleksi
yang baik dan yang tidak baik, sebab keterbatasan waktu dan
ketidaksabaran melolahnya, sehingga, situasi mitis secara sadar atau tidak
ternyata bagian dari kita.

Keutuhan nalar, mungkinkah?

Operasi nalar yang tidak terpecah, di samping pemikiran para "Nabi" di


atas, sebetulnya dapat ditemukan dalam alur pemikiran Descartes, bapak
Rasionalisme, khususnya yang termuat dalam karya berjudul Meditations.
Karya ini dapat disebut masterpiece dan menduduki tempat terhormat
dibanding karya-karyanya yang lain. Meditations pertama kali ditulis dalam
bahasa Latin, tahun 1641, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis oleh
Le duc de Luynes beberapa waktu kemudian. Menurut Descartes, tujuan
pembuatan karya ini adalah ikhtiar pencarian kebenaran abadi sama seperti
pustaka-pustaka lain dari Descartes, semisal Les Principes. Namun,
pengembaraan penelusuran misteri kebenaran dalam Meditations
diteruskan pada level lebih tinggi, yaitu tataran metafisika yang
menyuguhkan kedalaman. Dalam upaya penyusunan kerangka dan isi
Meditations, Descartes bertutur: "Dalam filsafat, seseorang tidak akan
melakukan sesuatu yang lebih berguna lagi, kecuali mencari satu kali,
dengan tekun, terus-menerus, hal yang terbaik, tersolid, yang akan
mengantarnya pada Aturan Jelas dan Tepat, yang akan melingkupi segenap
manusia dalam hubungannnya dengan alam semesta." Semangat Descartes
terbukti dalam kaitan dengan proses kreatif Meditations. Pada sebuah
diskusi seru, tepatnya November 1627, Descartes pernah berjanji kepada
Cardinal Berulle, yang menantangnya melakukan reformasi filsafat. Baru
empat belas tahun kemudian tantangan itu terjawab dengan munculnya
Meditations. Kita telusuri sejenak sketsa penalaran Descartes dalam
Meditations untuk sampai pada skema fisik dan metafisik penalaran
Cartesien yang seutuhnya. Dari ragu menuju keraguan. Seharusnya
ditegaskan bahwa keraguan Descartes bukan keraguan yang dapat
diasimilasi dengan keraguan skeptis dan pesimis, melainkan usaha metodis
pencarian kepastian, termasuk hal tetap dan ajeg dalam ilmu pengetahuan.
Jenis ragu pertama adalah keraguan terhadap gagasan-gagasan, keyakinan
yang diterima dogmatis, serta prasangka-prasangka penuh kontradiksi dan
paradoks. Terhadap ini, Descartes memperlawankannya dengan keraguan
metodis. Oposisi yang sama berlaku juga terhadap pernyataan yang
didukung argumen kabur, ilusif dan penuh khayalan yang dikhawatirkan
dapat menimbulkan keragu-raguan. Lebih dari itu, setumpuk argumen yang
bersumber dari bakat genetik dan inteligensia cerdas yang dapat
menyungkup kebenaran-kebenaran matematik dianggap dapat memancing
keraguan, yang di dalam Meditation diistilahkan sebagai keraguan
hiperbolik.

Keraguan adalah tindakan penalaran (cogito). Descartes berkeyakinan


bahwa pikiran lebih mudah diketahui ketimbang kompleksitas kerja aspek
fisiologis tubuh manusia. Pikiran lebih mudah dikenal ketimbang benda
material serta jiwa psikis. Sementara pikiran dan penalaran hanya dapat
berfungsi secara maksimal dengan hadirnya keraguan. Keraguan adalah
suatu kepastian penalaran. Tindakan menalar secara utuh adalah keadaan
yang menunjukkan kehadiran pikiran dan nonpikiran, seperti halnya
tindakan yang memakai sarana-sarana fisik. Menalar adalah situasi yang
berkaitan dengan momen waktu. Keberadaan Tuhan merupakan bukti
ontologis format Cartesian. Bagian ini sangat menarik dan mengandung
perdebatan karena menyangkut studi logis yang dapat diterima rasio soal
pandangan yang dapat dipercaya untuk menjawab pertanyaan: dalam hal
dan sumber apa ide berhubungan dengan realitas? Sejak Abad Pertengahan
sampai sekarang persoalan ini merupakan lahan sangat subur yang menuai
kritik dalam perjalanan sejarah filsafat, karena setelahnya menandakan
patahan lebar terhadap periodisasi pemikiran, misalnya Kant dengan model
empat kategori imperatifnya memaklumatkan metafisika tidak secuil pun
memberi ide dalam pengetahuan realitas. Untuk menyiasati masalah,
Descartes menukar substansi realitas material dengan keberadaan "suatu
keluasan" yang bertumpu pada sumbu gerak kesempurnaan yang
bertingkat secara hierarkis. Maka, saat pertimbangan mengenai realitas
dilakukan harus diartikan sebagai pertimbangan langsung terhadap nilai
yang bersifat mobil secara gradual. Pernyataan "saya berpikir" tidak dapat
diartikan sebagai berpikir obyek lazim, tetapi pertama-tama harus ditujukan
untuk memastikan isi (content). Isi yang tidak terperangkap pada keraguan
dan hanya berhubungan dengan dirinya sendiri yang berakhir pada puncak
yang disebut "idée innée", (ide bawaan yang tidak didahului pengalaman),
yaitu, kecuali berupa ide sempurna yang dapat ada. Dari sini Descartes
memastikan kehadiran kesempurnaan yang lain, yaitu bukti ontologis
kehadiran Tuhan sebagai esensi dalam eksistensinya, di mana dengan hasil
perenungan, nalar asli atau ide bawaan seirama dengan denyut alam
semesta.

Cogito, Ergo Sum adalah proses penalaran tanpa obyek normal (intransitif).
Pola berpikir demikian berbeda dengan pola berpikir sementara kalangan
dalam model-model ilmu pengetahuan. Model berpikir ilmu pengetahuan
selalu memiliki obyek, bersifat transitif, dan tidak mencakup realitas yang
mengelak. Nalar Descartes adalah nalar di mana subyek sekaligus menjadi
obyek. Prinsip-prinsip induksi dan deduksi bekerja secara simultan,
emanasi dan remanasi yang berbalasan. Para pengkritik Descartes telah
menuduhnya melakukan pemisahan yang tidak dapat diatasi atas dua
substansi, yaitu: jiwa dan materi yang kemudian dijembatani oleh
fenomenologi Husserl, namun hakikatnya tuduhan tersebut tidak
seluruhnya benar. Pada tatanan metafisik, Descartes mengakhiri usahanya
di ujung idealisme yang sangat jelas. Definisi "Cogito, ergo sum" bukan
hanya berkenaan dengan dunia luar, melainkan juga berkaitan dengan
kehadiran Tuhan yang menyatakan sebab pertama dari dua substansi,
yaitu: benda dan jiwa, nalar. Ia setuju dengan tradisi mistik Plato dan
mentransformasi kenangannya pada teori ide asal. Pernyataannya tentang
kehadiran Tuhan didirikan di atas argumen ontologis yang menggunakan
kategori Abad Pertengahan mengenai konsep kesempurnaan dan
keutamaan yang belakangan diungkap oleh Kant. Namun, jika Kant
antimetafisika, sebaliknya bagi Descartes. Metafisika baginya adalah tempat
di mana ilmu pengetahuan bersandar. Secara bersamaan, ia memberikan
tempat bagi akar ke-Ilahian dan pengetahuan, yang pada gilirannya,
menjadikan unsur fisik sebagai perluasannya. Dengan demikian, tidak ada
pelompatan nalar dalam pemikiran Descartes, sebab pemisahan substansial
antara jiwa dan tubuh justru menghasilkan tiga macam pengetahuan, yaitu
pengetahuan pikiran, pengetahuan benda, dan pengetahuan tentang
penyatuan keduanya. Akhirnya, pada tataran metafisika, jejaknya berhenti
pada tiga postulat dasar, yaitu prioritas jiwa di atas materi. ketiadaan dunia
luar yang tidak dapat dipersepsi, agnostisisme dan relativisme, yaitu
keserbamungkinan teori dan metode dalam pendekatan terhadap realitas
yang merupakan bukti eksistensi sesuatu yang diragukan. Bukti lain
ontologi Tuhan melalui kehadiran waktu. Cogito hanya berlangsung sesaat
dalam dimensi waktu, berapa detik, menit, semestinya ada penyebab yang
bukan hanya mencipta, tetapi juga menjaga ciptaannya di luar tebasan
waktu. Descartes menunjuk harmoni hukum-hukum universal alam
semesta sebagai bukti. Berkat bukti-bukti kosmologis itu, keteraturan alam
mengantar penalaran pikiran pada Pencipta keteraturan itu sendiri.
Pengetahuan keberadaan Tuhan memungkinkan pengetahuan tentang jiwa.
Teori benda telah cukup memadai, sementara penghayatan dan keinginan
untuk bebas menyadarkan kita tentang tingkat pengetahuan. Kebebasan
yang benar yang lepas dari sewenang-wenang akan mendukung kejelasan
yang sempurna dalam benda, sebagai manifestasi determinasi sempurna
keinginan. Penjelasan mengenai ide sesuatu dan bukan sesuatu an sich
mulai dari prinsip-prinsip sederhana dari mana ilmu pengetahuan tercipta.
Sementara itu, ide sesuatu tidak dinilai berada dalam sesuatu itu, tidak
ditunjukkan dalam eksistensinya, melainkan dalam jiwa yang terdiri dari
ide-ide yang jelas dan sederhana, misalnya, gerakan, figura, dan prinsip-
prinsip geometri.

Nalar manusia yang menyejarah

Corak pemikiran di belahan dunia berkembang disebut secara sinis sebagai


"katak di bawah tempurung", (François Dortier, 2000), sebab pemikirannya
tidak mandiri, malu-malu, kerdil, tidak percaya diri, condong mengadopsi
pemikiran luar tanpa kritik. Pemikiran ahistoris yang lepas dari warna dan
corak kehidupan sosial masyarakat, sementara pemikiran yang diadopsi
meloncat loncat tergantung ketersediaan informasi. Dalam kepustakaan
epistemologi dicitrakan betapa besar peran pengalaman, memori, kesaksian,
curiosity dalam menyumbang penalaran untuk pembentukan pengetahuan.
Pada setiap pertemuan, Donny dan Bagus Takwin, mungkin
mengisyaratkan mewakili sayap kaum Nietzschien yang menebar pesimisme
terhadap keyakinan tradisional dan gelisah laksana filsuf sinis Yunani,
Diogène, yang membawa obor menyala di bawah terik matahari kota, di
tengah kerumunan orang, sambil menyeru: "Saya mencari Manusia",
padahal, kenyataannya di sekitar kita tidak sedramatis itu. Nihilisme
Nietzschien, misalnya, tanpa jauh-jauh dapat ditemukan tingkat
personifikasinya pada medan laga Kurusetra dalam kisah Mahabaratha.
Kisah yang melumpuhkan segala jenis nilai normatif yang diakui dan
disanjung tata kehidupan manusia sehari-hari. Dalam kisah agung tersebut
dimuat paradoksi, ironi yang diramu secara destruksi masif, sehingga
dibutuhkan pembangunan bumi baru, tatanan dan keteraturan baru ala
Nietzsche. Tubuh Bhisma terbaring di atas kasur panah murid
kesayangannya, Arjuna, demi membela Hastinapura yang justru diperintah
keluarganya yang despotik dan nepotis. Sang cendekia sejati Yama Widura
mengingkari sumpah sejatinya atas nama pengabdian kepada Destarasta.
Panglima Karna protes pada penetapan Dewa, menyangkal keimanannya
pada Langit, karena nasibnya, terlahir akibat keisengan Dewa Surya,
dihanyutkan demi kehormatan ibundanya yang dikenalinya justru saat
pagelaran perang dahsyat mulai. Ia harus memerangi adik-adiknya,
Pandawa, demi kesetiakawanan kepada tokoh jahat Duryudana. Karna
membangkang pada Langit yang dianggapnya tidak adil. Bukankah itu
pemutarbalikan norma yang dirontokkan Nietzsche, menantang Hari
Pembalasan, dosa dan kiamat, sehingga ia berujar urgensi pencarian iman
dan keyakinan baru. Siapa Kresna yang memanjangkan tak henti-henti
selendang Drupadi agar tidak terbuka auratnya? Yang menjadi duta
perdamaian ke Hastinapura? Yang menjadi kusir kereta perang Arjuna,
sehingga ia menang terhadap Karna? Yang merancang pembunuhan
Bhisma? Yang membantu Bima mematahkan paha Duryudana dalam duel
maut? Bukankah ia tokoh "Manusia Super" dalam filsafat Nietzsche. Saat
kita tidak mampu mengambil jarak dari kungkungan arus pemikiran luar,
sekali lagi saat itu mistisisme kembali mengungkung kita. Model penalaran
(paradigma, metodologi) negeri kita akan semakin layu, jika tidak berpijak
pada realitasnya, yaitu bangsa plural yang berkeyakinan sejak masa nenek
moyangnya. Kematian pemikiran akan terjadi jika ahli pikirnya lupa
memijak tanahnya, alpa menjunjung langitnya demi menuju misi
universalnya, dan ilmuwan sosial tidak sanggup melahirkan
kontekstualisasi gagasannya serta ulama tidak sanggup bertanggung jawab
atas agamanya. Konsepsi pembangunan Manusia Indonesia Seutuhnya yang
pernah menjadi jargon pembangunan di masa Orba urgen dikaji lagi,
diperdalam dan diperluas, sebab motif kemanusiaan universal dapat
menjadi modal utama untuk mengatasi pluralisme di antara kita. Kita
adalah saudara, manusia sama yang terlempar tanpa diberi hak memilih ke
muka bumi, terlepas dari berbagai keberagaman kita. Jika sumber-sumber
kebaikan dan kebijaksanaan formal, seperti agama dan kepercayaan,
termasuk ideologi belum lagi ampuh melaksanakan terapi bagi multi krisis
umat manusia, maka yang harus didiagnosa menurut hemat saya adalah
mengoreksi kembali asumsi-asumsi dasar dalam beragama dan
berkeyakinan serta berideologi.

Di luar itu, untuk menjadikan esok yang penuh semangat, hasrat dalam
kedamaian, mari menalar hal-hal yang "enteng-enteng" saja dan merefleksi
syair-syair cinta, kasih sayang, niscaya kebahagiaan yang didasari
keutuhan manusia akan membangkitkan gairah hidup yang kuat seribu
tahun lagi. Kita simak sepenggal puisi cinta dari Donny: Ada bulan yang
ramah/ Dan bintang yang manis/ Saat cinta melintas diri/ Semua begitu
Indah/ Pintu-pintu hati menjadi terbuka/ Seperti hendak membuka tabir
kasih/ Menuju kebahagiaan yang abadi/ Yang sebelumnya tak pernah
terungkap. Juga puisi jernih dan syahdu dari Bagus Takwin: Sempat kuintip
maghrib/ lewat jendela yang belum sempat/ kututup/ Pepohonan diam/ dan
sepi bertebaran di selanya/ Hujan lamat-lamat turun/ mengusap bumi yang
sudah/ pulang…/ …Ya, aku lihat bumi sebagai anak/ alam yang patuh/
Gelap lembut menyelimutinya/ Alam bernyanyi dalam koor/ ribuan
serangga…/ …Perlahan bumi memejam mata/ dingin merambat, merata/
semua gemuruh lenyap/ semua getar senyap/ Lalu yang tinggal hanya kelam
dan aku/ dalam takjub kami termangu.

Adi Armin Magister Filsafat, Dosen Filsafat pada Fakultas Sastra


Universitas Hasanuddin, Makassar

TANAH TAK BERJEJAK PARA PENYAIR

Oleh: Donny Gahral Adian

Pemaknaan semesta bukan hanya buah usaha manusia. Langit sendiri


menyingkap segenap rahasia dan melahirkan agama. Akibatnya, semesta
pun dipadati oleh kategori-kategori teologis yang membelah kenyataan
menjadi profan dan sakral. Kategorisasi yang menjelmakan spiritualitas
dalam kemaujudan total sehingga tak lagi sensitif akan keasingan. Teologi
adalah antropologi terselubung, begitu cibir filosof Jerman, Feurbach. Yang
Ilahi telah dimutlakkan oleh sejarah agama-agama.

Mengencangnya semangat pencarian yang sempat membeku oleh


absolutisme teologis melahirkan sebuah guncangan keras pada peradaban.
Guncangan yang diprovokasi oleh filsafat dan sains. Keduanya melahirkan
sebuah kala kebaruan yang sudah demikian mendesak untuk menapakkan
kakinya dalam sejarah. Kala yang memuja pencarian nalar dan indrawi:
potensi-potensi kemanusiaan yang sempat lumpuh di tangan teologi yang
mau menang sendiri. Lalu, siapakah sang juru selamat keasingan itu. Di
tengah kejenuhan yang melanda filsafat, sains dan agama, sebagian
berpaling ke puisi, sang mesias.

Ketika sains-agama-filsafat mengafirmasi kenyataan secara absolut, puisi–


menurut John Keats, penyair metafisik Inggris–adalah satu-satunya yang
mampu merangkul keasingan. Penyair dikaruniai ketabahan ekstra untuk
bersemayam dalam jagat keremang-remangan tanpa sedetik pun tergoda
berpaling pada kemutlakan. Dengan kata lain, ia-lah sang pelayar dalam
samudera yang diciptakan Nietzsche. Sebuah pelayaran eksistensial yang
menorehkan guratan-guratan baru dalam ranah pengalaman manusia. Di
tengah hiruk-pikuk dunia, penyair berkontemplasi di ruang antara
keakraban dan keasingan. Ia adalah penghuni tanah antara. Hölderlin,
penyair Jerman abad ke-19, menyebutnya Demigod (makhluk setengah
dewa).

Kuasa bertutur benar sebagai kemampuan spesial para penyair kemudian


ditanggapi secara beragam oleh para empu filsafat. Gugatan keras datang
dari Plato yang menolak kewenangan epistemologis para penyair tersebut.
Para penyair baginya tak lebih sebagai penutur kesesatan. Apa yang mereka
tuturkan sekadar jiplakan tak sempurna dari dunia kasatmata: dunia yang
juga jiplakan tak sempurna dari bentuk-bentuk ideal surgawi. Puisi,
karenanya, harus diletakkan di lantai paling bawah piramida kebenaran.

Bahasa puitis pun dicibir logosentrisme sebagai retorika terselubung,


semata-mata mengejar keterpengaruhan emotif bukan kognitif. Sebuah
stigma yang bisa menjelaskan mengapa studi puisi semasa Yunani Kuno
dimasukkan dalam kurikulum pendidikan para politisi, kalangan yang
dituntut terampil mengambil hati, bukan nalar lawan politiknya.
Logosentrisme sangat yakin pada sebuah semesta yang sudah jadi (ready
made universe) dan menugaskan filsafat mencari kosakata paling sah untuk
mewakilinya.

Penugasan ini menghasilkan sebuah diskriminasi semantik. Bahasa puitis


dilihat tak lebih dari bahasa bayang-bayang. Ia tidak melekat pada dunia
yang diamini filsafat. Mengapa peradaban manusia selalu saja dikepung
oleh kategori-kategori kehadiran-kesejatian. Ke mana pun melangkah, kita
selalu dihadang oleh tembok-tembok yang membatasi kita dari keasingan.
Alasannya sangat psikologis. Manusia tak tahan bergulat dengan keasingan
atau kekosongan. Manusia selalu berpikir tentang kesejatian: sesuatu yang
tidak pernah ditemukannya dalam keasingan.

Peradaban mesin telah menyingkirkan yang asing dari dunia. Yang asing
sudah beristirahat selamanya dari pergulatan manusia dengan kenyataan.
Hölderlin menyebut momen kehilangan ini sebagai masa-masa serba
kekurangan, miskin dan suram (destitute time). Masa ketika teknosains
modern mematikan cahaya kebisajadian di sekujur tubuh alam raya. Dunia
kehilangan saat-saat romantis ketika cahaya keasingan masih
menyelimutinya. Dunia, menurut Hölderlin, sudah menjejakkan kakinya di
tepian senja sejak minggatnya dewa-dewa.

Donny Gahral Adian Dosen Filsafat UI, puisi-puisinya pernah


dibukukan dalam “Menulis Sajak Itu Indah" (1998)

You might also like