You are on page 1of 4

SUMPAH PEMUDA dan MANIFESTO POLITIK 1925

oleh
Asvi Warman Adam
Dua tahun belakangan ini bangsa Indonesia, selain mengalami berbagai
krisis, juga dilanda konflik etnis yang berpotensi memicu disintegrasi
bangsa. Pertikaian itu dikait-kaitkan pula dengan masalah agama. Dalam
suasana itulah diperingati hari Sumpah Pemud a.
Tanggal 28 Oktober 1928 di Kramat Raya 106 Jakarta beberapa puluh anak
muda berikrar tentang bangsa dan tanah air yang satu dan tentang bahasa
persatuan yang harus dijunjung. Peristiwa itu dijadikan simbol yang
diperlukan bagi suatu tujuan tertentu yakni peneguhan integrasi nasional
(yang diperingati setiap tahun). Sejarawan Perancis, Mona Ouzouf
mengatakan peringatan sejarah diadakan untuk mengingatkan semua orang
bahwa "kita semuanya tetap sama seperti dulu dan ingin tetap sama di masa
datang". Jadi bil a para pemuda di Indonesia bersumpah bersatu pada tahun
1928, kita ingin mengulangi dan menegaskan kembali sumpah tersebut pada
masa sekarang. Kita ingin mengenang dan mengekalkan nilai-nilai perjuangan
yang ada pada peristiwa tersebut.
Penyelenggara Kongres Pemuda ke-2 itu terdiri dari berbagai unsur pemuda
seperti PPPI (Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia), Jong Java, Jong
Sumatranen Bond, Jong Batak Bond, Pemuda Indonesia, Jong Celebes, Jong
Ambon dan Pemuda Kaum Betawi. Untuk merea lisasikan sumpah pemuda
tersebut, organisasi-organisasi itu mulai menyiapkan fusi dan tahun 1930
dibentuklah Indonesia Muda yang merupakan wadah para pemuda tanpa
membedakan suku bangsa.
Sebetulnya dalam Kongres Pemuda pertama di Jakarta tahun 1926 telah
disusun oleh Muhammad Yamin sebuah ikrar pemuda yang bunyinya hampir sama
dengan sumpah pemuda tahun 1928. Perbedaannya pada sila ketiga yakni "Kami
poetra dan poetri Indonesia mendjoendj oeng bahasa persatoean, bahasa
Melajoe". Namun rancangan itu tidak disetujui Sanusi Pane yang berpendapat
bahwa bahasa persatuan itu adalah bahasa Indonesia. Usulan Yamin itu tidak
dijadikan keputusan Kongres Pemuda pertama. Barulah dua tahun kemudian, Ya
min bersedia mengubah kata Melajoe itu dengan Indonesia; rumusan itu
diterima menjadi sumpah pemuda seperti yang kita kenal sekarang.
Yang menarik adalah tidak dipilihnya bahasa Jawa sebagai bahasa nasional.
Memang, bahasa Melajoe sudah dipergunakan sebagai lingua franca di
kepulauan Nusantara selama berabad-abad. Itulah yang mendorong pemilihan
bahasa tersebut sebagai bahasa persatuan. Namun perlu digarisbawahi bahwa
tidak adanya penolakan dari etnis Jawa terhadap pemilihan bahasa Melajoe
tersebut menyebabkan pada masa berikutnya tidak ada konflik kebahasaan di
Indonesia seperti yang terjadi di India misalnya. Yang dipersoalkan ketika
itu adalah penamaan bahasa tersebut, bukan bahasa Melajoe tetapi bahasa
Indonesia. Jika dipakai nama Melayu tentu mengacu kepada salah satu etnis
di tanah air, yang pada gilirannya bisa menimbulkan kecemburuan di
kemudian hari.
Sumpah Pemuda yang diikrarkan tanggal 28 Oktober 1928 memang merupakan
sumpah yang diperlukan oleh pemerintah (baik pada masa Orde Lama maupun
Orde Baru) untuk mendukung retorika pembangunan yang mengandalkan
"persatuan dan kesatuan". Namun Prof Sartono K artodirdjo menganggap
Manifesto Politik 1925 yang dikeluarkan Perhimpunan Indonesia di negeri
Belanda yang antara lain dipimpin oleh Moh.Hatta sebagai tonggak sejarah
yang lebih penting daripada Sumpah Pemuda.
Ketika para pemuda di Jawa membentuk organisasi-organisasi yang masih
bersifat kesukuan (di antaranya Jong Ambon, Jong Java, Jong Celebes, dll)
, para mahasiswa Indonesia di negeri Belanda telah mendirikan Perhimpunan
Indonesia. Organisasi ini dengan bera ni menamakan majalah mereka
Indonesia Merdeka. Majalah ini beredar di kalangan pemimpin pemuda
terutama di Jawa. Inilah antara lain yang mengilhami dan mendorong mereka
untuk semakin bersatu dan menghapuskan label kesukuan pada organisasi
mereka di kemudi an hari.
Manifesto politik yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Indonesia tahun 1925
antara lain berisi: 1) Rakyat Indonesia sewajarnya diperintah oleh
pemerintah yang dipilih mereka sendiri; 2) Dalam memperjuangkan
pemerintahan sendiri itu tidak diperlukan bantuan d ari pihak manapun; 3)
Tanpa persatuan kokoh dari pelbagai unsur rakyat tujuan perjuangan itu
sulit dicapai. Di dalam ketiga butir pernyataan tersebut tercakup konsep
nasion Indonesia, demokrasi, unitarianisme, otonomi dan kemerdekaan.
Prinsip-prinsip nasi onalisme di dalamnya mencakup unity, liberty,
equality (persatuan, kemerdekaan dan persamaan). Sebagai mahasiswa yang
belajar di Eropa, tentu mereka mengenal semboyan dalam revolusi Perancis:
libert_ (kemerdekaan, _galit_ (persamaan), fraternit_ (persauda raan).
Slogan itu kemudian disesuaikan dengan situasi Indonesia yang terdiri
berbagai suku bangsa dan budaya. Konsep "persaudaraan" itu diganti dengan
"persatuan".
Sejak tahun 1925 Perhimpunan Indonesia mempunyai 4 pokok perjuangan: 1)
persatuan nasional: mengesampingkan perbedaan berdasarkan daerah dan
membentuk kesatuan aksi melawan Belanda. Kedua, solidaritas: pertentangan
kepentingan antara penjajah dengan si te rjajah mempertajam konflik antara
kulit putih dan sawo matang . Ketiga, non-koperasi: kemerdekaan bukan
hadiah dari Belanda tetapi harus direbut dengan mengandalkan kekuatan
sendiri. Keempat, swadaya: mengandalkan kekuatan sendiri dengan
mengembangkan str uktur alternatif dalam kehidupan nasional, politik,
sosial, ekonomi dan hukum yang sejajar dengan administrasi kolonial.
Perhimpunan Indonesia menggabungkan semua unsur itu sebagai satu kebulatan
yang belum pernah dikembangkan oleh organisasi-organisasi sebelumnya.
Pimpinannya tahun 1925 pun sudah menggambarkan keragaman asal daerah/etnis
mereka yaitu Moh Hatta, JB Sitanala , Iwa Kusuma Sumantri, Sastramulyono
dan D.Mangunkusumo.
Persoalan bukan terletak pada mana yang lebih penting Sumpah Pemuda 1928
atau Manifesto Politik 1925. Sumpah Pemuda memang simbol yang diperlukan.
Namun selama ini penerapannya banyak yang melenceng dari sasaran.
"Persatuan dan Kesatuan" menjadi obsesi pe merintahan Soekarno sampai
Soeharto. Namun, upaya untuk sampai ke arah itu, hanya sebatas retorika
dan ketentuan formal.
Kalau dianalis lebih lanjut terlihat salah satu penyebab kerancuan
tersebut adalah karena konsep persatuan dianggap sebagai sebagai suatu
gagasan yang berdiri sendiri. Padahal kalau dilihat pada Manifesto Politik
1925, persatuan itu dijalankan bersama-sam a dengan konsep kemerdekaan
(liberty) dan persamaan (egality). Ketiga konsep itu saling melengkapi.
Tidak cukup persatuan saja, tetapi pada saat yang sama. harus dilaksanakan
persamaan atau kesetaraan. Demikian pula persatuan dan kesetaraan hanya
akan ter capai dalam suasana merdeka.
Sartono melanjutkan bahwa Manifesto Politik berhasil merumuskan
nasionalisme Indonesia sebagai ideologi, mencakup jelas unitarisme sebagai
dasar negara-nasion yang dicita-citakan. Manifesto itu akan mengarahkan
gerakan etno-nasionalisme menjadi gerakan ke arah Indonesia merdeka, jadi
konsep kesatuan telah mentransendensi etnisitas dan regionalisme (Sartono
Kartodirdjo, Ideologi Bangsa dan Pendidikan Sejarah, makalah untuk Kongres
Nasional Sejarah tahun 1996, Jakarta).
Prof Sartono mempertanyakan mengapa sampai sekarang yang diperingati
secara nasional adalah "Sumpah Pemuda" dan bukan Manifesto Politik 1925,
padahal konsep-konsep dalam pernyataan PI itu lebih fundamental bagi
nasionalisme Indonesia sedangkan Sumpah Pemu da dapat dianggap sebagai
pelengkap saja.
Dalam hal ini dapat diberikan tiga catatan. Pertama, seandainya kita tetap
memperingati sumpah pemuda 1928-untuk mengekalkan nilai persatuan yang ada
dalam peristiwa itu-- hendaknya dalam peringatan itu dibahas pula
Manisfesto Politik 1925. Kedua, kita ja ngan sampai latah dalam memakai
kata persatuan ini. Di mana-mana (seperti pada slogan TVRI) dalam setiap
kesempatan kita mendengar istilah "persatuan dan kesatuan". Cukuplah
dipakai satu kata saja yakni "persatuan". Bukankah kata "kesatuan" itu
juga menga cu kepada unit-unit dalam ABRI. Kostrad dan Kopassus misalnya
adalah suatu "kesatuan" dalam dunia kemiliteran. Ketiga, slogan "persatuan
dan kesatuan" itu bisa kontradiktif bila yang pertama (kata persatuan)
diibaratkan sebagai sapu lidi -meskipun diikat tetap unsur lidinya
kelihatan, sedangkan yang kedua (kata kesatuan) sebagai kopi susu
-unsur-unsurnya sudah larut menjadi satu. Bukankah itu sama saja dengan
menggabungkan konsep melting pot dan salade bowl itu menjadi satu.
Dapat pula ditambahkan di sini catatan tentang penerimaan bentuk negara
kesatuan dalam sidang BPUPKI dan PPKI di Jakarta tahun 1945. Ada anggota
yang mengusulkan bentuk federalisme. Tetapi Muhammad Yamin mengajukan
gagasan pembentukan negara kesatuan. Usu l itu dapat diterima karena Yamin
menjamin bahwa negara kesatuan itu akan melakukan dekonsentrasi dan
desentralisasi. (Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI, 28 Mei 1945-22 Agustus
194, Sekretariat Negara RI, 1995). Pada masa sesudah proklamasi realisasi
kedua h al tersebut tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Integrasi dan Segregasi
Berhubungan dengan pembentukan suatu bangsa baik kita bandingkan sedikit
tentang konsep integrasi dan segregasi di negara lain. Integrasi (rasial)
adalah kebijakan yang dijalankan di AS yang menyetujui --secara umum--
status hukum yang sama bagi warga kul it hitam.Upaya integrasi tersebut
mendapat tantangan di negara-negara bagian selatan sehingga pernah
menimbulkan perang saudara di sana. Segregasi adalah politik pembelahan
rasial yang pernah dipraktekkan di Afrika Selatan (dikenal juga dengan
sebutan apa rtheid). Warga kulit hitam secara moral dan fisik dibedakan
dengan warga kulit putih.
Konsep integrasi di AS dapat dibedakan antara melting pot dengan salade
bowl. Yang pertama mengacu kepada integrasi secara penuh, unsur-unsur
pembentuk bangsa itu sudah kehilangan ciri khasnya dan melebur jadi satu.
Sedangkan pada konsep yang kedua, masih bisa ditemukan karakter khusus
masing-masing etnis pembentuk bangsa tersebut.
Perbedaan pandangan mengenai kedua hal tersebut itu bisa dilacak kepada
pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia. Soekarno berpendapat bahwa
kebangsaan Indonesia itu adalah "Kebangsaan Indonesia yang bulat ! Bukan
kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatra, bukan kebangsaan Borneo,
Selebes, Bali atau lain-lain. tetapi kebangsaan Indonesia, yang
bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat."
Di lain pihak ada pula pandangan yang menginginkan etnis itu tidak lebur
menjadi satu tetapi tetap mempertahankan ciri khasnya. Tampaknya Ki Hadjar
Dewantara dapat digolongkan kepada kelompok pemikir ini. Dalam polemik
kebudayaan yang terjadi tahun 1930-a n ia mengemukakan gagasan tentang
kebudayaan nasional yang merupakan "puncak-puncak kebudayaan daerah".
Berarti kebudayaan daerah tetap diakui eksistensinya. Itu berarti kelompok
pencipta kebudayaan atau masing-masing etnis tersebut dipandang sebagai
unsu r bangsa yang justeru melahirkan produk budaya yang khas. Perdebatan
tentang kedua pandangan itu biarlah terus berlanjut.
Sementara itu, Indonesia saat ini berada di ambang perpecahan. Konflik
etnis dan kerenggangan hubungan antar umat beragama membayang di depan
mata. Tampaknya kita perlu mengangkat kembali semangat Manifesto Politik
1925 itu: melaksanakan konsep unity, equ ality, liberty ini secara
konsekuen dan simultan pada semua lapisan.
(Dr Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI)

You might also like