You are on page 1of 5

Iman Dan Kepekaan Sosial

Oleh: Tim dakwatuna.com

Shibghah Imaniyah

dakwatuna.com – Iman itu bukan hiasan bibir dan pemanis kata apalagi
sekadar keyakinan hampa, tapi sebuah keyakinan yang menghujam ke dalam
hati, diungkapkan dengan lisan dan dibuktikan dengan tindak nyata.

Pengakuan seorang mukmin akan keimanannya yang tidak disertai dengan


bukti amal shalih, bisa dikategorikan sebagai pengakuan tanpa makna
dan tidak berdasar. Di sini Allah Taala menjelaskan kepada kita
tentang senyawa keimanan dan amal shalih dalam surat Al-‘Ashr; “Demi
masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan
nasihat-menasihati agar mentaati kebenaran dan nasihat-menasihati agar
tetap sabar.” (QS 103:1-3)

Ayat-ayat qur’aniyah tentang hal ini banyak sekali, bahkan setiap


“khithab ilahi” (panggilan Allah) yang ditujukan kepada mukminin
selalu disertai dengan perintah untuk mengerjakan amal saleh yang
berkaitan dengan ibadah dan larangan untuk meninggalkan hal-hal yang
diharamkan Allah Taala.

Iman yang menshibghah akal, hati dan jasad seorang mukmin, hingga
ketika dihadapkan pada pilihan-pilihan maka pilihannya itu sudah pasti
jatuh pada nilai-nilai kebenaran dan kebaikan. Ia senantiasa
memutuskan sesuatu dengan haq dan menghindari hal-hal yang menjurus
kepada kebatilan. Jadi seorang yang telah tershibghah imannya, ia akan
menjadi cahaya bagi dirinya, keluarganya, dan masyarakatnya. Allah
berfirman, “Dan apakah orang yang sudah mati, kemudian ia Kami
hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan
cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia,
serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang
sekali-kali tidak dapat ke luar dari padanya?…” (Al-An’am: 122)

Demikianlah Allah menghidupkan manusia dengan cahaya Islam dan


keilmuan. Sehingga hal itu memberikan manfaat dan kontribusi riel
tidak saja bagi lingkungannya bahkan sampai pada skala ‘alamiah
(internasional). Rasulullah saw menganalogikan seorang mukmin yang
benar-benar memahami keislaman dan keimanannya seperti lebah. Lebah
itu mempunyai sifat tidak pernah melakukan kerusakan, lihatlah ketika
hinggap di dahan-dahan pepohonan atau tangkai-tangkai bunga. Lebah
selalu mengkonsumsi makanan yang terbaik yaitu sari bunga. Dan
menghasilkan sesuatu yang paling bermanfaat yaitu madu. Maka makhluk
hidup yang berada di sekitarnya merasa aman dan nyaman. Begitulah
seharusnya muslim dan mukmin, dia harus mampu menebar pesona Islam.
Melukiskan tinta emas kebaikan dalam kanvas kehidupan secara individu
dalam semangat kebersamaan. Semangat kebersamaan inilah yang
seharusnya dimiliki setiap mukmin. Kepekaan terhadap apa saja yang
sedang menimpa masyarakat harus menjadi bagian kehidupannya. Jangan
puas dengan urusannya sendiri tanpa memperhatikan dan mempedulikan
masyarakat sekitarnya.

Interaksi Sosial

Lezatnya iman apabila sudah mampu dirasakan oleh seorang mukmin dalam
ruang kepribadiannya, maka akan menjelma menjadi pesona sosial yang
sangat menawan. Khusyuk diri yang dimiliki seorang mukmin akan
berdampak pada ‘atha ijtima’i (kontribusi sosial) dan keharmonisan
sosial. Di sini, Nabi kita Muhammad saw mengajarkan kepada kita dengan
tiga kalimat yang sarat dengan nilai-nilai perbaikan diri. Di saat
beliau bersabda;

“Bertaqwalah kamu di manapun kamu berada, ikuti keburukan itu dengan


kebaikan, niscaya ia akan menghapuskannya dan berinteraksilah pada
manusia dengan akhlaq yang baik.”

Dan salah satu bentuk interaksi kita pada lingkungan sekitar kita
adalah adanya hasasiyah (kepekaan) yang kuat terhadap permasalahan
yang terjadi di dalamnya. Perhatian dan fokus kita terhadap bi-ah
(lingkungan), baik yang berkaitan dengan bi-ah da’wiyah, bi-ah
ijtima’iyah, bi-ah ta’limiyah yang terjadi dalam tataran keluarga
maupun masyarakat adalah cerminan kuat dari keimanan kita yang telah
tershibghah dengan nilai-nilai kebenaran Islam. Bagaimana Rasulullah
saw melakukan hal ini dalam keluarga dan masyarakatnya. Beliau dengan
gigih telah mempengaruhi pamannya, Abu Thalib untuk memeluk Islam
sehingga detik-detik akhir hidup sang paman. Ia telah menyeru
bani-bani Quraisy pada waktu itu seraya berkata di atas bukit Shafa:

“Wahai Bani Quraisy, selamatkanlah dirimu dari api neraka, wahai Bani
Ka’ab, selamatkanlah dirimu dari api neraka….., wahai Fathimah,
selamatkanlah dirimu dari api neraka..” (H.R. Muslim)

Begitu juga, beliau telah terlibat langsung dalam peristiwa-peristiwa


besar yang terjadi pada masyarakatnya sebelum nubuwah seperti berperan
aktif dalam perang fijar; peperangan yang terjadi antara Quraisy
bersama Kinanah dengan Ais Qailan, Hilful Fudlul; kesepakatan untuk
melindungi orang-orang yang terzhalimi dan pembangunan Ka’bah.

Hasasiyah ‘Ailiyah

Oleh karenanya seorang mukmin apalagi kader-kader dakwah harus


terlibat aktif dalam amal-amal kebaikan yang terjadi di lingkungan
keluarga maupun masyarakatnya. Baik yang bersentuhan dengan daur da’wi
(peran dakwah keluarga), daur ta’limi (peran pengajaran) dan daur
tarbawi (peran pembinaan).

Janganlah seseorang hanya sibuk dengan perbaikan dirinya dan


mengabaikan dakwah keluarganya. Semangat berbisnis, lalu lupa mengajar
dan membina anak-anaknya. Puas dengan kehebatannya, asyik dengan
pesona dirinya, akan tetapi terlena dengan apa yang sedang terjadi di
lingkungan keluarga. Bapak asyik dengan dakwah di luar, sementara anak
nyimeng dan ngeganja. Coba kita perhatikan dan merenungkan kembali
firman Allah berikut ini;

“Hai orang-orang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan


anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu
terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta
mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan
(bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS 64:14-15)

“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan


kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka
mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS 63:9)

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari


api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS 66:6)

Hasasiyah Ijtima’iyah

Interaksi sosial kita yang berujung pada hasasiyah ijtima’iyah,


mengharuskan kita untuk terlibat penuh dengan suatu yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat kita. Hal ini bukan hanya dilakukan seorang
mukmin atau bahkan aktivis dakwah di saat membutuhkan mereka dan
ketika ada kepentingan. Akan tetapi kapan pun dan kondisi apapun
seorang mukmin harus menebar pesona Islam. Ia bekerja dan berkarya
sesuai manhaj rabbani. Seluruh waktu dan hidupnya agar bermanfaat bagi
manusia lain. Ia ingin menjadi salah satu dari kategori “qaumun
‘amaliyun” dan mendambakan identitas “mukminin yang sebenarnya”.

Oleh karenanya, seorang mukmin harus bisa berperan aktif dalam seluruh
dimensi sosial. Baik dimensi da’wi yang mengharuskan dia sebagai
cahaya di tengah masyarakatnya, yang mengharuskan dia membawa obor
mas’uliyah amar ma’ruf nahi munkar dan sebagai agen of changes.
Dimensi ukhrawi; yang mengharuskan dirinya mengkristalkan kembali
makna ta’aruf, tafahum dan takaful dalam kavas ukhuwah islamiyah.
Benar-benar menjadi kontributor dalam segala hal, apalagi yang
bersentuhan langsung dengan fuqara, masakin dan al-aitam (yatim
piatu). Rasulullah bersabda:

“Ya Abu Dzar, apabila kamu membuat sayur, perbanyak kuahnya dan
perhatikan tetanggamu.” (HR Muslim)

“Tidaklah beriman seorang di antara kamu, hingga ia mencintai


saudaranya seperti mencintai dirinya.” (Muttafaqun Alaih)

“Penanggung anak yatim, baik miliknya atau orang lain, aku dan orang
itu di surga seperti ini (Malik mengisyaratkan dengan kedekatan jari
telunjuk dan tengah).” (HR Muslim)

Dan dimensi ta’limi wa tarbawi; yang mengharuskannya berperan aktif


dalam melakukan pengajaran dan pembinaan masyarakatnya. Sehingga
masyarakat setempat menikmati pencerahan jiwa dan pemikiran. Mereka
semakin dekat dengan nilai-nilai Islam dan akhirnya semangat
mengimplementasikannya dalam ruang kepribadiannya dan lingkungan
keluarganya. Allah berfirman:

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS 3:104)

“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di
antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan
mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan
sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang
nyata,” (QS 62:2)

Semoga kita senantiasa diberikan kekuatan hasasiyah ijtima’iyah dalam diri kita.
http://www.dakwatuna.com/2006/iman-dan-kepekaan-sosial/

You might also like