Professional Documents
Culture Documents
Shibghah Imaniyah
dakwatuna.com – Iman itu bukan hiasan bibir dan pemanis kata apalagi
sekadar keyakinan hampa, tapi sebuah keyakinan yang menghujam ke dalam
hati, diungkapkan dengan lisan dan dibuktikan dengan tindak nyata.
Iman yang menshibghah akal, hati dan jasad seorang mukmin, hingga
ketika dihadapkan pada pilihan-pilihan maka pilihannya itu sudah pasti
jatuh pada nilai-nilai kebenaran dan kebaikan. Ia senantiasa
memutuskan sesuatu dengan haq dan menghindari hal-hal yang menjurus
kepada kebatilan. Jadi seorang yang telah tershibghah imannya, ia akan
menjadi cahaya bagi dirinya, keluarganya, dan masyarakatnya. Allah
berfirman, “Dan apakah orang yang sudah mati, kemudian ia Kami
hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan
cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia,
serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang
sekali-kali tidak dapat ke luar dari padanya?…” (Al-An’am: 122)
Interaksi Sosial
Lezatnya iman apabila sudah mampu dirasakan oleh seorang mukmin dalam
ruang kepribadiannya, maka akan menjelma menjadi pesona sosial yang
sangat menawan. Khusyuk diri yang dimiliki seorang mukmin akan
berdampak pada ‘atha ijtima’i (kontribusi sosial) dan keharmonisan
sosial. Di sini, Nabi kita Muhammad saw mengajarkan kepada kita dengan
tiga kalimat yang sarat dengan nilai-nilai perbaikan diri. Di saat
beliau bersabda;
Dan salah satu bentuk interaksi kita pada lingkungan sekitar kita
adalah adanya hasasiyah (kepekaan) yang kuat terhadap permasalahan
yang terjadi di dalamnya. Perhatian dan fokus kita terhadap bi-ah
(lingkungan), baik yang berkaitan dengan bi-ah da’wiyah, bi-ah
ijtima’iyah, bi-ah ta’limiyah yang terjadi dalam tataran keluarga
maupun masyarakat adalah cerminan kuat dari keimanan kita yang telah
tershibghah dengan nilai-nilai kebenaran Islam. Bagaimana Rasulullah
saw melakukan hal ini dalam keluarga dan masyarakatnya. Beliau dengan
gigih telah mempengaruhi pamannya, Abu Thalib untuk memeluk Islam
sehingga detik-detik akhir hidup sang paman. Ia telah menyeru
bani-bani Quraisy pada waktu itu seraya berkata di atas bukit Shafa:
“Wahai Bani Quraisy, selamatkanlah dirimu dari api neraka, wahai Bani
Ka’ab, selamatkanlah dirimu dari api neraka….., wahai Fathimah,
selamatkanlah dirimu dari api neraka..” (H.R. Muslim)
Hasasiyah ‘Ailiyah
Hasasiyah Ijtima’iyah
Oleh karenanya, seorang mukmin harus bisa berperan aktif dalam seluruh
dimensi sosial. Baik dimensi da’wi yang mengharuskan dia sebagai
cahaya di tengah masyarakatnya, yang mengharuskan dia membawa obor
mas’uliyah amar ma’ruf nahi munkar dan sebagai agen of changes.
Dimensi ukhrawi; yang mengharuskan dirinya mengkristalkan kembali
makna ta’aruf, tafahum dan takaful dalam kavas ukhuwah islamiyah.
Benar-benar menjadi kontributor dalam segala hal, apalagi yang
bersentuhan langsung dengan fuqara, masakin dan al-aitam (yatim
piatu). Rasulullah bersabda:
“Ya Abu Dzar, apabila kamu membuat sayur, perbanyak kuahnya dan
perhatikan tetanggamu.” (HR Muslim)
“Penanggung anak yatim, baik miliknya atau orang lain, aku dan orang
itu di surga seperti ini (Malik mengisyaratkan dengan kedekatan jari
telunjuk dan tengah).” (HR Muslim)
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS 3:104)
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di
antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan
mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan
sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang
nyata,” (QS 62:2)
Semoga kita senantiasa diberikan kekuatan hasasiyah ijtima’iyah dalam diri kita.
http://www.dakwatuna.com/2006/iman-dan-kepekaan-sosial/