Professional Documents
Culture Documents
KIMIA ORGANIK
SEMESTER II 2009/2010
1. TUJUAN PERCOBAAN
2. PRINSIP PERCOBAAN
Kelarutan senyawa dalam sebuah pelarut dinyatakan sebagai jumlah gram terlarut dalam 100 mL pelarut pada 25 0C. Suatu senyawa
dapat larut jika pelarut yang digunakannya sesuai. Sebagai contoh, senyawa yang polar akan larut dalam pelarut polar, dan sebaliknya.
Ekstraksi adalah pemisahan satu atau lebih senyawa dari satu fasa ke fasa lain didasarkan pada prinsip kelarutan. Pelarut yang
digunakan harus dapat mengekstrak substansi yang diinginkan tanpa melarutkan material lainnya. Jika kedua fasa tersebut adalah zat
cair yang tidak saling bercampur, disebut ekstraksi cair-cair.
Dasar metode ekstraksi cair-cair adalah distribusi senyawa diantara dua fasa cair yang berada dalam keadaan kesetimbangan.
Perbandingan konsentrasi di kedua fasa disebut koefisien distribusi (K = Ca/Cb). Perpindahan senyawa terlarut dari satu fasa ke fasa
lain sebanding dengan jumlah ekstraksi dilakukan, bukan dengan volume pelarut. Perhitungan konsentrasi zat terlarut dapat dilihat dari
persamaan di bawah ini:
Kafein adalah senyawa alkaloid xanthine yang terdapat dalam beberapa tanaman sebagai insektisida alami. Alkaloid sendiri adalah
senyawa organik yang mengandung nitrogen, sementara xanthine merupakan salah satu jenis alkaloid yang memiliki cincin purin.
3. DATA PENGAMATAN
b: 4 cm
3.3. Uji Alkaloid Kristal Kafein Hasil Ekstraksi dengan Pereaksi Dragendorff dan Meyer
Dari hasil uji yang dilakukan menggunakan pereaksi Dragendorff maupun pereaksi Meyer, kristal yang diperoleh dari ekstrak daun teh
positif mengandung alkaloid.
3.4. Ekstraksi Asam Asetat
o MNaOH = 0,2891
o VNaOH = 14,5 mL
o VCH3COOH = 5 mL
o Tiga kali
VNaOH= 4,8 mL
o Satu kali
VNaOH= 6,5 mL
4. PENGOLAHAN DATA
200
Persen kemurnian kafein: ×100 %=88,11 %
227
Rf = a/b = 1
5. PEMBAHASAN
5.1. Isolasi Kafein dari Daun Teh Kering
Kafein yang digunakan dalam percobaan ini adalah senyawa alkaloid xanthine atau methylxanthine dengan rumus bangun C 8H10N4O2.
Kafein dalam temperatur ruangan berupa kristal tanpa warna, tidak berbau, dan memiliki sedikit rasa pahit.
Daun teh (Camellia sinensis) yang dijadikan sumber kafein dalam percobaan ini, seperti kebanyakan daun tanaman, mengandung
material genetik, enzim, karbohidrat, protein, lemak, dan elemen struktur yang berhubungan dengan pertumbuhan tanaman dan
fotosintesis. Selain itu, daun teh juga dikenali karena methylxanthine dan polyphenol yang komposisinya membuat teh populer sebagai
minuman. Komposisi teh dapat dilihat di Tabel 1.
Selanjutnya, di dalam ekstraksi kafein yang dilakukan dalam percobaan ini, kelarutan suatu senyawa di dalam suatu pelarut adalah
faktor utama. Kelarutan kafein dan methylxanthine lain yang terkandung di dalam daun teh di berbagai pelarut dalam berbagai keadaan
dapat di lihat dalam Tabel 2. Pelarutan pertama dilakukan di dalam air mendidih karena kelarutan kafein bertambah seiring dengan
pertambahan suhu. Pada saat dilarutkan dalam air mendidih, kelarutan kafein mencapai 66,7% sementara kelarutan teobromin hanya
0,67%.
Setelah dilakukan pelarutan di dalam air mendidih dan ekstrak teh dipisahkan dari ampasnya menggunakan kertas penyaring, ekstrak
ini dilarutkan lagi di dalam diklorometana (CH 2Cl2). Pelarutan di dalam diklorometana ini bertujuan untuk memisahkan kafein dari
methylxanthine dan komponen-komponen yang lain. Dapat dilihat dari Tabel 2, kelarutan kafein dalam pelarut organik diklorometana
(yang memiliki struktur mirip dengan kloroform) jauh lebih tinggi dibanding komponen methylxanthine lain.
Di awal pelarutan kafein dalam air mendidih, terlebih dahulu ditambahkan natrium karbonat (Na 2CO3). Penambahan ini bertujuan untuk
memisahkan senyawa tanin yang akan terlarut di dalam diklorometana bersama kafein. Agar tanin tidak tercampur dengan kafein,
senyawa ini harus terdapat dalam fasa pelarut atau air. Dengan penambahan natrium karbonat, tanin yang merupakan senyawa fenolik
yang cukup asam dapat bereaksi menjadi garam (deprotonasi gugus –OH), sehingga tanin berubah menjadi anion fenolik yang tidak
larut di dalam diklorometana tetapi larut dalam air.
Larutan ini kemudian dimasukkan ke corong pisah agar fasa pelarut dan fasa organik dapat dipisahkan. Fasa pelarut (air) akan berada
di atas karena densitasnya lebih rendah (massa jenis air: 1 gram/mL) dibandingkan fasa organik (massa jenis kafein: 1,23 gram/mL;
massa jenis diklorometana: 1,33 gram/mL). Setelah gas yang dihasilkan dikeluarkan, fasa organik ini dapat dipisahkan dengan cara
membuka keran.
Di antara fasa pelarut dan fasa organik ini akan terbentuk emulsi. Emulsi ini dapat dibentuk karena mungkin di dalam ekstrak masih ada
phospolipids emulsifier yang terdapat dalam jaringan tisu tanaman. Emulsifier atau pengemulsi ini adalah senyawa yang memiliki ujung
polar yang bermuatan dan ujung nonpolar yang tidak bermuatan. Ujung polar ini bersifat hidrofilik dan akan larut dalam air (dalam
percobaan ini, larut dalam fasa pelarutnya), sedang ujung nonpolarnya bersifat hidrofobik dan larut dalam lemak (dalam percobaan ini,
larut dalam fasa organiknya). Karena itulah, ketika larutan selesai dikocok, di tengah masih terdapat emulsi. Untuk mencegah terjadinya
emulsi, corong pisah sebaiknya tidak diguncangkan terlalu kuat.
Karena di dalam emulsi ini kemungkinan masih terdapat cukup banyak kafein, beberapa emulsi masih diikutsertakan ketika dipisahkan.
Fasa pelarut yang berwarna hitam itu kemudian dapat dipisahkan dari fasa organiknya menggunakan kalsium klorida anhidrat. Kalsum
klorida anhidrat berfungsi sebagai drying agent yang dapat mengikat air karena sifatnya yang higroskopis. Setelah itu, fasa pelarut dan
fasa organiknya dapat dipisahkan dengan cara dekantasi.
Pemisahan kafein dan diklorometana kemudian dilakukan dengan cara distilasi. Pada saat distilasi, diklorometana akan menguap
terlebih dahulu karena titik didihnya lebih rendah dibandingkan titik didih kafein (titik didih diklorometana: 39 0C; titik didih kafein: 178
0
C). Kristal kafein yang didapatkan kemudian berwarna kekuningan dan ketika ditimbang memiliki massa 0,2 gram. Hasil yang
didapatkan berbeda dengan literatur, yaitu 0,3 gram (daun teh yang digunakan dalam percobaan kurang lebih 10 gram, sehingga
komposisi kafein adalah 0,3 gram – lihat Tabel 1).
Kekurangan tersebut mungkin disebabkan beberapa hal, yaitu: masih terperangkapnya kafein di dalam emulsi di dalam corong
pemisah; kafein yang masih menempel di kertas saring, corong pemisah, dan alat-alat lain; penimbangan daun teh dan kristal yang
tidak dilakukan dengan sangat teliti; dan daun teh yang memiliki kandungan kafein berbeda karena lama disimpan.
Ketika dilakuran pengujian titik leleh, didapatkan hasil 200-201 0C, sementara dari literatur sendiri trayek titik leleh kafein anhidrat
adalah 227-228 0C. Selain itu, kristal kafein yang didapatkan masih berwarna kekuningan, padahal warna kristal kafein seharusnya
putih atau tidak berwarna. Karena itu, dapat disimpulkan bahwa kristal kafein yang diperoleh ini memang tidak murni. Ketidakmurnian
kristal kafein yang diperoleh ini mungkin disebabkan beberapa hal seperti masih terdapatnya pengotor berupa pelarut organik di dalam
kristal karena tidak dilakukan rekristalisasi lebih lanjut dengan ligroin (n-heksana).
Pada uji ini, digunakan alumunium dengan bagian belakang silika. Kromatografi lapis tipis ini biasanya menggunakan bahan plat
tersebut sebagai fasa diam sedang eluen sebagai fasa gerak. Dalam percobaan ini, fasa diamnya adalah silika sedang fasa geraknya
adalah eluen kloroform-metanol 9:1. Pada saat akan dilakukan kromatografi, dibuat batas atas dan batas bawah. Fungsi dari batas
bawah ini adalah sebagai titik awal eluen bergerak, sedang batas akhir adalah titik akhir yang dicapai eluen sebagai fasa gerak ketika
kromatografi dihentikan.
Akan tetapi, ketika dilakukan uji UV, hasil kromatografi titiknya melebar. Hal ini menandakan bahwa kristal yang diuji tidak murni dan
masih memiliki pengotor berupa pelarut. Selain itu, hasil R f yang diperoleh menjadi tidak representatif karena larutan kafein terlalu
encer dan kemungkinan jumlah kafein yang dipakai dalam uji TLC ini sudah berkurang jauh dikarenakan hal-hal yang sudah dibahas
sebelumnya.
Dari hasil uji yang dilakukan dengan pereaksi Meyer didapatkan endapan kuning muda, begitu pun hasil uji dengan pereaksi
Dragendorff didapatkan endapan berwarna jingga. Hasil uji ini menunjukkan bahwa senyawa yang berhasil diisolasi dari daun teh
kering merupakan senyawa alkaloid. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa kafein termasuk dalam senyawa alkaloid.
Senyawa alkaloid sendiri adalah senyawa yang memiliki unsur N di dalam strukturnya.
Akan tetapi, uji ini hanya dapat menunjukkan keberadaan alkaloid, bukan keberadaan kafein secara spesifik. Karena itulah, penentuan
titik leleh dan uji TLC sebetulnya lebih spesifik dalam menentukan apakah senyawa yang berhasil diisolasi adalah kafein,
Asam asetat, asam etanoat atau asam cuka adalah senyawa kimia asam organik yang
dikenal sebagai pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan. Asam cuka memiliki rumus
empiris C2H4O2. Rumus ini seringkali ditulis dalam bentuk CH 3-COOH, CH3COOH, atau
CH3CO2H. Asam asetat murni (disebut asam asetat glasial) adalah cairan higroskopis tak
berwarna, dan memiliki titik beku 16.7°C.
Asam asetat cair adalah pelarut protik hidrofilik (polar), mirip seperti air dan etanol. Asam
asetat memiliki konstanta dielektrik yang sedang yaitu 6,2 sehingga ia bisa melarutkan baik
senyawa polar seperi garam anorganik dan gula maupun senyawa non-polar seperti minyak
dan unsur-unsur seperti sulfur dan iodin. Asam asetat bercampur dengan mudah dengan
pelarut polar atau nonpolar lainnya seperti air, kloroform, dan heksana.
Ekstraksi asam asetat dalam percobaan ini disebut juga ekstraksi cair-cair. Ekstraksi cair-
cair adalah jenis ekstraksi yang menggunakan perbedaan kelarutan senyawa tersebut
dalam dua jenis pelarut. Dua jenis pelarut dalam ekstraksi ini adalah pelarut organik dan
pelarut nonorganik. Pelarut organik dalam percobaan ini adalah eter. Setelah itu, fasa cair
hasil ekstraksi dititrasi dengan NaOH untuk dihitung konsentrasinya.
Dari hasil percobaan, didapatkan bahwa senyawa asam asetat terdapat lebih sedikit di
dalam senyawa yang diekstraksi sebanyak tiga kali dengan eter. Karena itu, dapat
disimpulkan bahwa senyawa asam asetat lebih banyak larut di dalam eter ketika diekstraksi
sebanyak tiga kali. Hal ini sejalan dengan persamaan efektivitas ekstraksi:
n
K V1
C n=C 0 ( K V 2 +V 2 )
dimana C0 adalah konsentrasi semula, V1 adalah volume semula, K adalah koefisien
distribusi, dan V2 adalah volume pengekstrak (eter). Dengan persamaan ini, dapat
disimpulkan bahwa ekstraksi akan semakin efektif jika ekstraksi yang dilakukan semakin
banyak.
Hal ini juga dapat dilihat dari hasil percobaan yang memperlihatkan molaritas asam asetat
glasial semakin sedikit seiring banyaknya ekstraksi yang dilakukan.
6. KESIMPULAN
Semakin banyak titrasi yang dilakukan, konsentrasi zat yang akan diekstrak di dalam pelarut akan semakin sedikit sehingga
hasil ekstraksi akan jauh lebih baik.
7. DAFTAR PUSTAKA
David, Harvey. 2000. Modern Analytical Chemistry. USA: The McGraw Hills Company. Halaman 546.
Lide, David R., ed. 2005. CRC Handbook of Chemistry and Physics, Internet Version, 2005, <<http://www,hbcpnetphase.com>>. Boca
Raton, Florida: CRC Press.
Potter, Norman N. 1995. Food Science – 5th ed. New York: Chapman & Hall. Halaman 35-36.
Spiller, Gene A., ed. 1998. Caffeine. Boca Raton, Florida: CRC Press.
http://shinysunshine.files.wordpress.com/2009/10/ekstraksi-isolasi-kafein-dan-uji-alkaloid.pdf, tanggal akses: 4 Maret 2010.
http://farmasi07itb.wordpress.com/2009/03/09/pemisahan-senyawa-organik/, tanggal akses: 4 Maret 2010.
http://id.wikipedia.org/wiki/Asam_asetat, tanggal akses: 9 Maret 2010.