Professional Documents
Culture Documents
1
karena itu penulis mencoba menjelaskan secara singkat bagaimana perkembangan fonologi,
perkembangan sintaksis, dan perkembangan semantik anak.
II. Pembahasan
2.1 Perkembangan Fonologi
Pada usia 3 hingga 4 bulan bayi mulai memproduksi bunyi-bunyi. Mula-mula ia
memproduksi tangisan atau bunyi cooing. Kemudian pada usia antara 5 dan 6 bulan
bayi mulai mengoceh. Pada perkembangan fonologi ada yang disebut periode bablling
(mengoceh) ia membuat bunyi-bunyi yang makin bertambah variasinya dan makin
kompleks kombinasinya. Anak-anak mengkombinasikan vokal dengan konsonan
menjadi suatu sequence silaba, umpamanya ba, ba, ba, ma, ma, ma,. Kemudian ada
yang disebut uniformitas pada anak-anak dengan berbagai bahasa, dalam hal bunyi-
bunyi pertama yang mereka produksi, yaitu konsonan p atau m, vokal belakang a
mendahului konsonan belakang k dan g serta vokal depan I dan u. Dalam
perkembangan fonologi, seorang anak harus mempelajari aturan-aturan fonologi.
Disamping itu, mereka juga harus belajar menghubungkan bunyi dengan acuannya.
Menghubungkan bunyi dengan acuannya merupakan suatu proses yang kompleks,
bukan sekedar nama dari benda-benda.
Untuk mengetahui hubungan antara ocehan dengan perolehan sistem bunyi orang
dewasa, ada dua pendekatan yang digunakan, yaitu
1. Pendekatan berkesinambungan, yaitu pendekatan yang mengatakan bahwa bunyi-
bunyi ocehan merupakan pelopor langsung dari tuturan. Pendekatan ini sering
disebut selective reinforcement hypothesis.
2. Pendekatan tak berkesinambungan, pendekatan ini menganggap bahwa ocehan
tidak ada hubungannya langsung dengan perkembangan bicara selanjutnya.
Kedua pendekatan di atas mendapat kritik karena tidak dapat menerangkan fakta-
fakta secara tuntas. P.S. Dale, 1976 beranggapan bahwa proses fonologi merupakan
keluaran dari innatephonological acquisition device yang merefleksikan preferensi
produksi si anak. Setelah anak-anak melewati periode mengoceh, mereka mulai
menguasai segmen-segmen fonetik. Cara anak-anak mengasai segmen fonetik adalah
dengan menggunakan teori hypothesis-testing atau discovery procedures. Menurut
teori ini, anak-anak menguji coba berbagai hypothesis tentang bagaimana
memproduksi bunyi yang betul.
2
Pada tahap-tahap permulaan pemerolehan bahasa, biasanya anak-anak memproduksi
perkataan orang dewasa yang disederhanakan dengan cara sebagai berikut:
(1) Menghilangkan konsonan akhir:
blumen→ bu
boot → bu
(2) Mengurangi klompok konsonan menjadi segmen tunggal:
Batre → bate
bring → bin
milk → mik
kunci → ci
(3) Menghilangkan silabe yang tidak diberi tekanan (weak syllable delection):
tomato → mado
kunci → ti
pita → ta
pyama → dama
semut → emut
kecepit → pit
sandal → dal
nangis → angis
tengok → engok
capung → pung
terbang→ bang
sekolah→ koah
buka → ka
nasi → aci
banyak → anyak
(4) Duplikasi silaba yang sederhana (reduplikasi)
kitchen → kiki
pergi → gigi
aki (kakek) → kiki
nakal → kakal
Menurut beberapa hipotesis, penyederhanaan ini disebabkan oleh:
• Memory span yang terbatas,
3
• Kemampuan refresentasi yang terbatas, dan
• Kepandaian artikulasi yang terbatas.
Penyederhanaan tersebut di atas hilang bilamana si anak telah menguasai lebih
banyak segmen-segmen dan urutan segmen-segmen. Anak-anak juga
mempraktekkan segmen-segmen yang baru diperoleh dan anak mengoreksi
dirinya sendiri apabila dalam pengucapan kata kurang tepat.
2.2 Perkembangan Semantik
Dalam proses pemerolehan bahasa, anak harus belajar mengerti arti dari kata-kata
yang baru. Anak mempunyai dua asumsi mengenai fungsi dan isi dari suatu bahasa,
yaitu
1. Bahasa dipergunakan untuk berkomunikasi.
Asumsi ini muncul karena ketergantungan pada gestures atau tanda-tanda
yang sering menyertai pembicaraan orang dewasa.
2. Bahasa mempunyai arti dalam suatu konteks tertentu.
Anak-anak berasumsi bahasa ada hubungan yang masuk akal apa yang
dikatakan pembicara dalam suatu situasi tertentu dengan situasi anak sendiri.
Untuk mengerti arti suatu perkataan, anak-anak biasanya membuat suatu
hipotesis dengan cara membuat pemetaan (mapping) konsep tentang objek-objek,
kejadian-kejadian, sifat-sifat dan hubungan yang tidak asing bagi anak. Gejala
yang nampak pada setiap bahasa ialah adanya over extention (perluasan) dalam
pemakaian suatu perkataan untuk mengerti kepada suatu kategori yang lebih luas
daripada yang seharusnya ada dalam bahasa orang dewasa.
Dasar lain dari suatu perluasan adalah atribut-atribut perseptual yang statis
atau yang berupa gerakan. Awal dari hipotesis ini sering tumpang tindih (overlap)
dengan arti yang dianut orang dewasa, tetapi dalam penggunaannya terjadi:
a) Over extension
Misalnya: bow-bow → semua binatang
Over extension dapat tupang tidih dalam dua cara berikut ini.
• Over extension murni: hanya mengambil 1 atau 2 sifat atau cirri
sebagai kriteria untuk penggunaan kata.
Bulan → jambu sebelah, seiris jeruk bulat
• Mixed over extension: berdasarkan ciri-ciri yang berbeda yang clicabik
oleh referensinya yang asli dalam situasi yang berbeda.
4
kick → maving limb (situasinya sama dengan aslinya)
b) Under extension
Perkataan si anak hanya menunjuk pada bagian dari butir-butir (item-
item) yang ada dalam ketegorinya orang dewasa.
Mobil → hanya mobil yang lewat depan rumah.
c) Meaning with no overlap
Kata-kata yang dipakai tidak memberikan dasar untuk komunikasi
sehingga akhirnya ditinggalkan oleh anak-anak.
Proses penyempurnaan arti kata penting artinya faktor relasi semantik
(semantic relation). Para pengamat bahasa anak mencatat bahwa kalimat
pertama dibatasi oleh beberapa hubungan semantik yang terbatas saja. Hal
ini mereflesikan cara manusia memproses pengalaman nonlinguistik,
pengalaman mana berlaku umum bagi anak-anak. Menurut Brown (1973
a) ada beberapa relasi semantik yang mendasar yaitu:
(1) Agent and action : car go, mommy push, bapak nyanyi
(Jaka 2;6)
(2) Action and object : see sock, pick love, pake paku (Glenn
1;9) ayun baca (Glenn 1;9) m(akan),
r(oti) (Jaka 2;3)
(3) Action and location : sit chair
Aik atas (Jaka 2;3)
(4) Entity and location : baby table
(5) Agent and object : eve lunch, mommy sandwich, naik
bus (Jaka 2;6)
(6) Prosessor and possession : Daddy chair, kakek Noni (Tari 3;0)
Buku bapak
(7) Entity and attribute : Yellow block, Little dog, air dingin
(Edi 2;0)
(8) Demonstrative and enity : here truck, here sock, ini ju (baju)
Relasi semantik tersebut di atas tidak sama dengan relasi gramatika
(grammatical relation), seperti hubungan subjek, predikat dan obyek melalui
alat linguistik.
2.3 Perkembangan Sintaksis
5
Anak dalam menguasai bahasa, pada mulanya ia baru mamproduksi kalimat
satu kata dan kalimat dua kata. Anak-anak tanpa sengaja menghilangkan preposisi,
artikel, dan sebagainya, sehingga bentuk kalimat yang diproduksi menyerupai
telegram.
Dalam pengelompokan kata ada bermacam-macam istilah yang digunakan
diantaranya Pivot Class dan Open Class. Pivot class jumlahnya terbatas dan setiap
kata dari kelompok ini dipergunakan dengan atau bersama-sama dengan kata-kata dari
open class yang jumlahnya lebih besar.
Pivot class pada umumnya hanya sedikit dan terdiri dari kata-kata yang frekuensi
pemakaiannya dalam tuturan si anak dan secara perlahan makin bertambah. Adapun
open class banyak dan jumlahnya mengandung semua kata dalam perkembangan si
anak, yang termasuk dalam pivot class.
Kata-kata dari open class dapat saling dikombinasikan dengan kata-kata dari
pivot class. Semua kata yang termasuk kelompok open class berdiri sendiri sebagai
single word utterances, tetapi kata-kata pivot jarang bahkan mungkin tidak pernah
(Mc. Neil, 1970).
Sesudah kalimat dua kata, si anak dapat membuat kalimat tiga kata yang
konstruksinya adalah sebagai berikut:
Agent – action – objeck:
1. See doggie
2. Penjahat pake pistol (taufik 2;6)
3. Ibu bawa coklat
atau: agent – action – location: Sit daddy chair
Kalimat empat kata muncul pada akhir tahap pertama dan bentuk kalimat yang
biasanya diproduksi adalah “agent – action object – location”.
Pada tahap pertama belum terjadi infleksi. Infleksi mulai ada dalam tahap ll
(kedua). Brown (1973) telah mempelajari 14 gramatical morphemes dari bahasa
inggris, antara lain plural – s, proposisi on dan in, past tense regular, serta past tanse
irregular berkaitan dengan kepandaian atau keahlian untuk penguasaannya.
Sebagai indeks perkembangan bahasa seorang anak dapat dinyatakan dengan
MLU (Mean Length of Utterance), yaitu jumlah elemen yang mengandung arti dalam
kalimat yang diucapkan seorang anak. Elemen yang ini dapat berupa perkataan dapat
pula berupa hal-hal lain seperti indikator plural – s, misalnya: bal’s. kata balls ini
mengandung dua elemen yang berarti, yaitu ball dan s. Dengan kata lain, MLU adalah
6
panjangan rata-rata kalimat dari tuturan anak dalam morfem. Secara empiris, bila
MLU si anak meningkat, maka bentuk sintaksis akan lebih kampleks konstruksinya.
Pada tahap l setelah jumlah kalimat satu kata dan kalimat dua kata kurang
lebih sama, maka MLU yang diperoleh kurang lebih 1.5. Untuk bahasa-bahasa yang
memakai system infleksi, infleksi pertama muncul menakala MLU telah mencapai
2.0. Infleksi ini baru mulai dikuasai pada tahap ll (Brown) yang mencapai MLU telah
mencapai 2.0 – 2.5. Namun, karena proses perkembangan cukup panjang jalannya,
maka penguasaan yang penuh baru terjadi apabila MLU melampaui 4.0.
III. Penutup
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab II dapat di simpulkan sebagai
berikut:
a. Anak sudah mulai memproduksi bunyi-bunyi yang mirip ujaran pada umur 5 dan 6
bulan. Kemudian anak mengalami sebuah periode yang disebut periode bablling
(mengoceh).
b. Untuk memahami suatu makna kata, anak-anak harus belajar mengerti arti dari kata-
kata dengan mengembangkan suatu kamus arti kata-kata.
c. Dalam perkembangan semantik pada anak ada beberapa hal penting yaitu over
extension, under extension, meaning with no overlap.
d. Pada perkembangan sintaksis, anak pada awalnya baru dapat memproduksi kalimat
satu kata, kemudian kalimat dua kata, sampai pada kalimat yang lebih kompleks yang
dapat dimengerti oleh orang dewasa.
e. Perkembangan bahasa anak dapat dinyatakan dengan MLU (mean Length of
Utterance), yakni jumlah elemen yang mengandung arti dalam kalimat yang
diucapkan anak.
DATAR PUSTAKA
Mar’at, S., Psikolinguistik: Suatu Pengantar, Bandung: PT. Refika Aditama, 2005.