Professional Documents
Culture Documents
ABSTRAK
Tabel 1. Nilai Perbandingan Rasio Ukuran Utama (L/B, L/D, B/D) Kapal Pole and Line
Sampel dan Kapal Rancangan di Pelabuhan Dufa-dufa Provinsi Maluku Utara
Ratio
Ukuran Kapal
Kapal Sampel Pembanding Ayodhyoa (1972)
Utama Rancangan
Kapal
A B
LOA = 18 m LOA = 22.5 m LOA = 21,6 m
L > 20 20 <L< 25 25 <L< 30 30 < L
B = 3.6 m B = 4.5 m B = 4.0 m
D = 2.05m D = 2.56 m D = 2.17 m
L / D 7.23 7.25 7.9 < 9.50 < 10.00 < 10.50 < 11.0
L / B 4.11 4.14 4.34 < 4.60 < 4.80 < 5.00 < 5.50
B/ D 1.76 1.78 2.06 > 2.05 > 1.95 > 11.00 > 1.85
Sumber : Diolah dari data primer.
Keterangan : Kapal sampel A (KM. Sibela Star), Kapal Sampel B (KM. Cakalang 1), Kapal Rancangan (KM. Tohafart)
Tabel 2. Nilai Koefisien Bentuk Kapal Pole And Line Sampel Yang Diukur dan Kapal
Rancangan.
Kapal Rancangan Pembanding
Form Coefficient Kapal Sampel
(KM. Tohafart) Traung (1978)
A B
Koefisien Blok (Cb) 0,564 0,568 0,481 0,2 - 0,84
Koefisien Midship (Cm) 0,900 0,720 0,690 0,44 - 0,90
Koefisien Prismatic (Cp) 0,627 0,790 0,697 0,55 - 0,75
Koefisien Waterplane (Cw) 0,804 0,805 0,749 0,72 - 0,80
Sumber : Diolah dari data primer.
Keterangan : Kapal sampel A (KM. Sibela Star), Kapal Sampel B (KM. Cakalang 1), Kapal Rancangan (KM. Tohafart)
Berdasarkan tabel 2, dapat dilihat artinya bila nilai Cb mengecil maka kapal
bahwa semua nilai kofisien-koefisien bentuk tersebut akan bergerak cepat sedangkan
dari kapal sampel dan kapal rancangan sudah kapal dengan nilai Cb yang besar atau
sesuai dengan standar nilai yang ideal dan mendekati 1,0 merupakan kapal yang
digolongkan dalam kapal dengan bentuk bergerak dengan kecepatan yang lambat.
lambung yang kurus (fine tipe karena Cb
kurang dari 0,5750). Nilai Cb merupakan 3.2.3. Volume Cerena (∇), Displacement
koefisien bentuk lambung kapal yang (∆), Dan GT Kapal Sampel dan
Rancangan.
Faktor lain yang mempengaruhi volume (∆), dan GT dari kapal sangat
pembuatan kapal adalah kapasitas muat dari berkaitan erat dengan dimensi utama kapal,
kapal tersebut. Khusus untuk kapal ikan karena ketiga aspek diatas merupakan hasil
kapsitas muat juga harus bergantung pada perkalian dari dimensi utama kapal dengan
jumlah rata-rata hasil tangkapan tiap trip koefisien berat jenis air laut yang merupakan
karena bila daya muat besar tetapi rata-rata wadah tempat kapal tersebut berlayar.
hasil tangkapan lebih kecil dari daya muat Dimana hasil berat jenis benda yang
maka akan terdapat ruang kosong yang juga terapung diatas air juga harus sebanding
bisa berpengaruh terhadap komponen lain dengan massa air yang dipindahkan oleh
dari kapal itu sendiri misalnya bila daya benda tersebut. Berikut adalah tabel yang
muat membesar berarti Cb kapal akan besar menunjukan besarnya nilai volume carena
pula ini sangat berpengaruh terhadap (∇), displacement volume (∆), dan GT dari
kecepatan kapal. kapal sampel dan kapal rancangan.
Volume carena (∇), displacement
Tabel 3. Nilai Volume Carena (∇), Displacement Volume (∆) dan GT Dari Kapal Sampel Dan
Kapal Rancangan.
Kapal Rancangan
Parameter Kapal Sampel
(KM. Tohafart)
A B
Volume Carena (∇) (m3) 41,15 80,73 54,66
Displacement Volume (∆) (Ton) 42,18 82,38 56,03
GT (Ton) 26,45 51,971 36,75
Sumber : Diolah dari data primer.
Keterangan : Kapal sampel A (KM. Sibela Star), Kapal Sampel B (KM. Cakalang 1), Kapal Rancangan (KM. Tohafart)
3.2.4. Kecepatan Kapal. ikan tetapi kapal pole and line umumnya di
lengkapi dengan bak pendingin yang
Kecepatan maksimal kapal Pole and
menggunakan es sebagai bahan pengawet.
Line sangat berkaitan erat dengan
Pemelihan mesin induk/utama dengan
kemampuan kapal tersebut untuk berangkat
menggunakan biasanya menggunakan insting
ke fishing ground (FG), mengejar
atau perkiraan dan tanpa berdasarkan
gerembolan ikan dan kecepatan maksimal
perhitungan hydrostatis. Ini berakibat pada
juga di butuhkan untuk mengangkut hasil
kecepatan kapal yang biasanya tidak sesuai
tangkapan dari fishing ground ke fishing
dengan yang diinginkan.
base karena pada umumnya ikan cakalang
Tabel berikut merupakan hasil analisis data
(Katsuwonus pelamis) merupakan ikan yang
dari kecepatan kapal sampel dilokasi
daya tahannya sangat kecil serta kapal tidak
penelitian dan kapal sampel yang dirancang.
dilengkapi dengan frezer untuk membekukan
Tabel 5. Nilai IHP dan Kecepatan Kapal Sampel dan Kapal Rancangan.
Kapal Rancangan
Nilai Kapal Sampel
(KM. Tohafart)
A B
IHP (Hp) 106,25 237,5 237,5
V (Knot) 8,9 10 11
Sumber : Diolah dari data primer.
Keterangan : Kapal sampel A (KM. Sibela Star), Kapal Sampel B (KM. Cakalang 1), Kapal Rancangan (KM. Tohafart)
Tabel 6. Data Daya Pompa Yang Dipakai Oleh Kapal Sampel Serta Penetuan Daya Pompa
Yang Sesuai Dengan Perhitungan Komponen Intalasi Pipa Semprot.
Kapal Rancangan
Data Pompa Kapal Sampel
(KM. Tohafart)
A B
Daya Pompa yang
1,61 1,387 1,817
dihitung (KW)
HEISHIN HEISHIN HEISHIN
Merk daya pompa yang PK - 15D
PK – 15D PK – 15D
dipakai (KW) (1,7 - 3,7)
(1,7 - 3,7) (1,7 - 3,7)
Merk dan daya pompa HEISHIN HEISHIN HEISHIN
yang sesuai PSY – 6G PK – 15D PK – 15D
(KW) (0,5 - 1,6) (1,7 - 3,7) (1,7 - 3,7)
Sumber : Diolah dari data primer.
Keterangan : Kapal sampel A (KM. Sibela Star), Kapal Sampel B (KM. Cakalang 1), Kapal Rancangan (KM. Tohafart)
Dahuri, R, 2001. Menggali Potensi Kelautan dan Perikanan Dalam Rangka Pemulihan
Ekonomi Menuju Bangsa Yang Maju, Makmur dan berkeadilan. Pidato dalam
Rangka Temu Akrab CIVA-FPIK-IPB. Tanggal 25 Agustus 2001. Bogor.
Fyson, J., 1958. Design of Small Fishing Vessels. Fishing News Books Ltd. Farham. Surey.
England.
Mulyanto, 1988. Defenisi dan Klasifikasi Bentuk Kapal Niaga. Akademi Ilmu Pelayaran
Republik Indonesia. Jakarta.
Pasaribu, B. P dan M. Imron, 1990. Disain dan Konstruksi Kapal Penangkap Ikan Untuk
Perairan Laut Dalam di Perairan Timur Indonesia. Fakultas Perikanan. IPB. Bogor.
Rumagia, F., 2001. Evaluasi dan Pengembangan Kapal Purse Seine yang di Gunakan di
Perairan Namlea Kabupaten Buru Propinsi Maluku.Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Muslim Indonesia. Makassar.
Sjahrun, T., 1987. Membangun Kapal Penunjang Secara Praktis. Penerbit Ikhwan. Jakarta.
Subani, W., 1982. Penangkapan Cakalang dengan Pole and Line. LPPL. No. 24. Jakarta.
Sularso, Ir dan Haruo Tahara, 1983. Pompa dan Kompresor. PT. Paradaya. Jakarta.
Suruali. N., 1997. Penentuan Daya Motor Induk dan Kapasitas Motor Bantu KM. Zamirun.
Fakultas Teknik Universitas Pattimura Ambon. Ambon.
Tamaela, M.J., Ir.1991. Sistim Dalam Kapal. Fakultas Teknik Universitas Pattimura Ambon.
Ambon.
Tangke, M., 2001. Tinjauan Kecepatan Operasional dari Kapal-kapal Kayu yang Beroperasi
di Perairan Maluku. Fakultas Teknik Universitas Hasanudin. Makassar.
Tuny, J. Ir., 1987. Pengantar Teori Kapal Bagian I, Buoyancy. Fakultas Teknik Universitas
Pattimura. Ambon.
Tuny, J. Ir, 1992. Bouyancy. Pengantar Teori Kapal. Fakultas Teknik Universitas Pattimura
Ambon.
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)
ABSTRAK
11
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)
12
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)
mengetahui nilai rata-rata perbedaan dengan formula sebagai berikut (Kountur dan
pendapatan antara sistem pertanian tersebut. Usman, 2005).
Analisis yang digunakan adalah analisis uji t
−−
X1 − X 2
t=
2 2
(n1−1)S1 +(n2−1)S2
+nn −2
12
−
Keterangan:
X1 −
= nelai rata-rata pendapatan petani pertanian alami
X2 padi ladang
= nilai rata-rata pendapatan petani pada pertanian tidak alami padi
sawah
S1 = standar deviasi pendapatan petani pada pertanian alami padi ladang
S2 = standar deviasi pendapatan petani pada pertanian tidak alami padi sawah
NPMxi
NPMxi = Pxi atau = = ki = 1
Pxi
apabila :
13
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)
Hasil analisis regresi fungsi produksi menjelaskan penggunaan benih dan tenaga
tabel 5.1. menunjukkan nilai koefisien kerja berpengaruh positif terhadap output
korelasi atau R2 adalah 0,8284, artinya artinya apabila jumlah penggunaan benih
penggunaan jumlah dan jenis input yang ditambah maka total produksi akan
berbeda mampu menjelaskan jumlah bertambah, dan apabila penambahan jumlah
produksi yang dihasilkan pada sistem tenaga kerja maka akan diikuti dengan
pertanian alami padi ladang dan sistem peningkatan produksi. Tetapi koefisien
pertaian tidak alami padi sawah sebesar variabel luas lahan bernilai negatif, artinya
82,84 %, dan 17,16 % dijelaskan oleh faktor jika lahan diperluas maka total produksi akan
lain diluar model. menurun. Hal ini disebabkan karena adanya
Uji F menunjukkan bahwa secara multikolinearitas, yang menunjukkan
keseluruhan penggunaan input baik jumlah korelasi yang sangat tinggi antara variabel
benih, jumlah pupuk, jumlah pestisida, independen jumlah benih, jumlah
jumlah tenaga kerja, luas lahan dan tenaga kerja dan luas lahan. Keterbatasan
pengalaman berusahatani serta sistem dalam menyelesaikan permasalahan
pertanian yang digunakan berpengaruh nyata multikolinearitas dalam analisis tersebut
dan terdapat perbedaan efisiensi teknik sehingga model tetap dibiarkan mengandung
terhadap output karena F hitung (39.31) lebih multikolinearitas. Widarjono (2005)
besar dari F tabel pada taraf kesalahan 1 %. menjelaskan bahwa adanya multikolinearitas
Uji t menunjukkan bahwa hanya jumlah menyebabkan adanya varian yang besar,
benih, jumlah tenaga kerja dan luas lahan tetapi masih menghasilkan estimator yang
yang berpengaruh nyata dan terdapat baik (Best Linier Un Bias). Alasan lainnya
perbedaan efisiensi teknik terhadap output adalah belum tercukupinya tenaga kerja
dan pada taraf kesalahan yang berbeda. untuk mengelolah lahan sehingga bila lahan
Jumlah benih berpengaruh nyata pada taraf diperluas akan menyebabkan tanaman
kesalahan 1 %, Tenaga kerja berpengaruh kurang terpelihara sehingga produksi
pada taraf kesalahan 10 %, dan luas lahan menurun.
pada taraf kesalahan 5 %. Penggunaan pupuk, pestisida, pengalaman
Analisis regresi dengan uji t tersebut berusahatani dan sistem pertanian yang
14
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)
Tabel 5.2. Penggunaan jumlah dan jenis input per hektar pada produksi pertanian alami
padi ladang dan padi sawah yang tidak alami
Uraian Mean Standar Deviasi t hitung
Padi Padi Padi Padi
Ladang Sawah Ladang Sawah
total produksi (ha) 3.629,65 6.354,44 674,99 2.110,02 -7,96***
jumlah benih (kg) 29,19 35,33 1,76 5,28 -7,09***
jumlah pupuk(kg) 0 127,81 0 258,37 -3,48***
jumlah pestisida(lt) 0 0,68 0 0,27 -15,32***
jumlah tenaga kerja(HOK) 361,18 534,61 51,22 165,35 -6,51***
pengalaman berusahatani(tahun) 16,54 16 11,41 0 0,19ns
Sumber: Analisis data primer(2008)
Ket: ***) signifikan α 1% dan *)signifikan α 10 % , dan ns) tidak signifikan
15
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)
Lebih lanjut dijelaskan bahwa dari nilainya sangat tinggi atau sangat mahal upah
tabel 5.3 terlihat biaya tenaga kerja tidak tenaga kerja pada saat panen yang
signifikan, artinya tidak terdapat perbedaan dikeluarkan petani padi ladang dalam biaya
secara statistik pada biaya tenaga kerja yang tenaga kerja.
dikeluarkan petani antara kedua sistem Apabila ada pemberlakuan upah tunai pada
usahatani tersebut. Hal ini disebabkan oleh upah tenaga kerja pada sistem pertaniana
bentuk pemberian upah yang berbeda antara alami padi ladang, maka ada kemungkinan
kedua sistem pertanian, pada sistem biaya tenaga kerja yang dikeluarkan jauh
pertanian alami pada ladang tidak lebih rendah. karena ada kaitannya dengan
diberlakukan upah tunai, tetapi upah dalam jumlah tenaga kerja luar yang digunakan
bentuk memberi makan pada tenaga kerja perusahatani pada sistem pertanian alami
yang ikut membantu dalam proses lebih sedikit dibanding dengan jumlah tenaga
penanaman dan upah bagi hasil panen pada kerja luar yang digunakan pada sistem
tahapan panen. Upah bagi hasil panen pada pertanian tidak alami padi sawah. Pada padi
tahapan panen dan jumlah pembagian sawah suda diberlakukan upah tunai yang
tersebut apabila dinilai dalam harga jual berlaku sejak awal adanya sistem pertanian
gabah kering panen (GKP=Rp/kg) maka tidak alami padi sawah.
Tabel 5.4. Biaya dan pendapatan perhektar
Uraian Mean Standar Deviasi t hitung
Padi Ladang Padi Sawah Padi Ladang Padi Sawah
Luas Lahan 1 1 .00000(a) .00000(a)
produksi 3.630 6.354 674,98 2.109,98 -7,96***
penerimaan kotor 11.714.618 13.592.699 2.772.407,47 4.769.032,91 -1,96*
biaya tenaga kerja 1.201.927 1.428.406 356.884,79 413.787,62 -2,16**
biaya saprodi 409.758 983.271 50.147,69 1.170.926,69 -3,43***
nilai penyusutan
peralatan 20.782 72.972 15.371,52 36.444,64 -8,16***
biaya total 1.632.467 2.484.649 359.811,21 1.351.857,35 -4,03***
pendapatan bersih 10.082.151 11.108.049 2.697.127,74 3969477,86 -1,18 ns
Sumber: Analisis data primer(2008)
Ket: ***) signifikan α 1%; **) signifikan α 5 %; **) signifikan α 5 %; ns) tidak signifikan
Terlihat pada tabel 5.4 total produksi sehingga penerimaan kotor (TR) perhektar
perhektar pada sistem pertanian alami padi juga berbeda yakni padi sawah lebih tinggi
ladang dan sistem pertanian tidak alami padi dibanding padi ladang. Namun pendapatan
sawah terdapat perbedaan dan signifikan bersih (NR) pada sistem pertanian perhektar
pada taraf kesalahan 1 % dan total produksi tidak berbeda antara kedua sistem pertanian
perhektar lebih tinggi pada padi sawah tersebut. Hal ini disebabkan karena biaya
16
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)
total kedua sistem pertanian baik pertanian padi ladang rata-rata perhektar lebih rendah
alami padi ladang dengan pertanian tidak tetapi total biaya yang dikeluarkan sangat
alami padi sawah terdapat perbedaan dan rendah sehingga pendapatan bersih menjadi
secara statistik berbeda pada taraf tidak berbeda antara kedua sistem pertanian
kesalahan 1 %. tersebut, dan pendapatan perusahatani lebih
Biaya total pada pertanian tidak tinggi pada sistem pertanian alami padi
alami padi sawah lebih tinggi dibandingkan ladang
dengan pertania alami padi ladang. Hal ini
3.3. Efisiensi Alokatif
juga terkait dengan jumlah dan jenis biaya
Analisis jumlah penggunaan input
input yang digunakan antara kedua sistem
antara kedua sistem pertanian menunjukkan
pertanian berbeda. Jumlah biaya saprodi dan
tidak terdapat perbedaan efisiensi teknik.
nilai penyusutan alat yang lebih tinggi pada
Lebih lanjut dianalisis penggunaan nilai
pertanian tidak alami padi sawah dibanding
input usahatani padi ladang, apakah tidak
dengan pertanian alami padi ladang,
terdapat perbedaan efisiensi teknik dan
misalnya benih unggul lebih mahal daripada
penggunaan input minimal serta biaya rendah
benih lokal karena benih unggul
juga menunjukkan sistem pertanian alami
didatangkan dari luar daerah. Pada pertanian
padi ladang efisien secara alokatif?
alami padi ladang tidak menggunakan bahan
Hasil analisis yang terlihat pada tabel
kimia seperti pupuk dan pestisida sehingga
5.5 tentang efisiensi alokatif padi ladang
jumlah biaya tersebut tidak dikeluarkan oleh
perusahatani menunjukkan bahwa
petani padi ladang. Secara otomatis beban
penggunaan nilai input berupa jumlah benih
biaya saprodi yang ditanggung juga tinggi
belum efisien secara alokatif. Hasil uji t
oleh petani padi sawah.
menunjukkan nilai t hitung lebih besar dari t
Sekalipun jumlah produksi usahatani
tabel.
Tabel 5.5. Analisis efisiensi alokatif usahatani padi ladang perusahatani
Usahatani Padi Ladang
rata-rata harga ki t hitung
Variabel py/pxi ki-1 se ki
input output
Benih(X1) 8.000 3.219 0,40 79,39 78,39 18,66 4,20ns
Penggunaan tenaga kerja pada sistem pertanian alami padi ladang perhektar
17
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)
tidak efisien alokatif dan nilai ki kurang dari merupakan sistem pertanian yang fisibel
satu menunjukkan berapapun jumlah tenaga secara ekonomi.
kerja yang ditambah atau dikurangi tidak
akan mempengaruhi penggunaan tenaga IV. KESIMPULAN
kerja untuk efisien alokatif (Bishop dan Hasil analisis penelitian yang
Tousaint,1979). Penggunaan tenaga kerja dilakukan terhadap analisis usahatani pada
tidak efisien alokatif karena kemungkinan sistem pertanian alami padi ladang
tradisi pemberlakuan upah dengan sistem memberikan beberapa kesimpulan.
memberi makan pada saat penanaman dan 1). Penggunaan jumlah dan jenis input yang
bagi hasil panen saat kegiatan panen maka berbeda berpengaruh terhadap tingkat
perlu ada penelitian yang spesifik pada produksi perusahatani dan tidak terdapat
penerapan upah tunai sistem pertanian alami perbedaan efisiensi teknik antara sistem
padi ladang. pertanian alami padi ladang dan sistem
Secara umum dapat disimpulkan pertanian tidak alami padi sawah.
bahwa analisis usahatani pada sistem 2). Penggunaan jumlah dan jenis biaya input
pertanian alami padi ladang menunjukkan minimal, menjadikan pendapatan
bahwa sistem yang telah diusahakan petani perhektar pada sistem pertanian alami
di daerah Morotai Timur Kabupaten padi ladang tidak berbeda dengan sistem
Halmahera Utara merupakan sistem yang pertanian tidak alami padi sawah.
perlu dijaga kelestariannya, dan perlu Pendapatan perusahatani pertanian alami
dipertahankan keasliannya, serta dapat padi ladang lebih tinggi dibanding
dikembangkan karena dari aspek ekonomi dengan sistem pertanian tidak alami padi
pertanian dengan melihat fungsi produksi sawah.
yang tidak berbeda efisiensi teknik dengan 3). Penggunaan benih pada sistem pertanian
sistem pertanian lain (padi sawah), alami padi ladang perhektar
penggunaan biaya minimal dan pendapatan menunjukkan sudah efisien alokatif
yang menguntungkan serta efisien alokatif sedangkan penggunaan tenaga kerja
pada penggunaan benih perhektar dan tidak efisien.
penggunaan tenaga kerja perusahatani
DAFTAR PUSTAKA
Bareta,J.M. 1917. Halmahera En Morotai, Bewerk near memorie van den Kapitein van den
Generalen Staf, Laporan Encylopedisc Bureau,Nederland.
Bergeret, A. 1977. Sistem Produksi Menurut Pendekatan Ekologis, dalam Metzner, J., dan
Daldjoeni, N.,(eds), Ekofarming, Bertani selaras alam, Yayasan Obor Indonesia
Jakarta., hal: 55.
Bishop, C. E., dan Toussaint, W.D.,1979. Pengantar Analisa Ekonomi Pertanian,
Diterjemahkan Oleh Tim Fakultas Ekonomi UGM (Wisnuaji, Harsono, dan
suparmoko). Penerbit :Mutiara, Jakarta
Fukuoka, M. 1978. Revolusi Sebatang Jerami; sebuah pengantar menuju pertanian
alami,.Judul asli The One-straw revolution :an introduction to natural farming, alih
bahasa, Yayasan obor Indonesia , Cet.I; Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Soekartawi. 1994. Teori Ekonomi Produksi Dengan Pokok Bahasan Analisis Fungsi Cobb-
Douglas,Edisi 1, Cet 2,PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Visser,L.E. 1984., Mijn Tuin Is Mijn Kind., Een antropologische studie van de droge rijstteelt
in Sahu (Indonesia-Halut)., diterjemahkan dalam bahasa inggris dengan judul My
Rice Field Is My Child, Social And Territorial Aspect of Swidden Cultivation in sahu,
eastern Indonesia., oleh De Coursey, R., Foris publications Dorrecht-Holland/
Providenc U.S.A.
18
PENGELOLAAN ASPEK LINGKUNGAN SUMBERDAYA
PESISIR BERBASIS SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
Arman Drakel
Staf Pengajar Fakultas Pertanian UMMU-Ternate
ABSTRAK
20
dilakukan kegiatan budidaya air payau. pasang surut, besarnya debit air sungai dan
Usaha itu menarik perhatian pihak swasta, intrusi air laut. Selanjutnya, pembenihan
karena hasil usaha budidaya air payau sangat dilakukan di tanggul sungai agar terjamin
menguntungkan dan udang merupakan salah pasokan air tawar, dan juga untuk mencegah
satu komoditi ekspor non migas (Dirjen gangguan dari tikus atau hama lainnya.
Perikanan 1999). Keberhasilan Selain sistem persawahan pasang
pengembangan budidaya air payau dapat surut, juga ditemukan kebun kelapa dan
dilihat dan peningkatan peran produksi berbagai jenis tanaman buah-buahan antara
udang dari tambak terhadap produksi udang. lain pisang, dan jambu, dan secara sporadis
Pada tahun 1997, produksi udang dari juga sayur-sayuran. Sistem pertanian di
tambak hanya mencakup sekitar 31%. wilayah pesisir umumnya bersifat subsistem.
Keadaan sebaliknya terlihat pada tahun 1998,
dimana produksi udang tambak mencakup 3.3. Sumberdaya Hutan Pesisir
60% dari produksi udang penaeid nasional Potensi sumberdaya hutan yang
(Bailey 1998; Muluk 1999). Perkembangan ditemukan di wilayah pesisir terdiri dari
peran produksi tambak tidak saja disebabkan vegetasi mangrove yang pada tahun 1996
pelarangan operasi pukat harimau, tetapi juga diperkirakan mencakup areal sekitar 4 juta
karena penguasaan teknologi produksi masal hektar, dan sekitar 60% potensi itu
benih udang (benur) dan pakan, serta merupakan hutan mangrove (Naamin dm
konversi hutan bakau menjadi tambak. Hardjamulia 1995). Usaha perlindungan
Selanjutnya, kecenderungan memperluas potensi hutan bakau untuk mempertahankan
areal tambak didorong oleh keinginan politik fungsi ekologik yang majemuk telah banyak
pemerintah untuk mengupayakan diupayakan (Koesoebiono, Collier, dan
diversifikasi komoditi ekspor (Muluk 1994). Burbridge 1994). Dengan demikian konversi
hutan mangrove menjadi pertambakan udang
3.2. Sumberdaya Pertanian terjadi secara pesat (seperti yang terjadi di
Kegiatan pengembangan sumberdaya Lampung, Sumatera Selatan, Samatera Utara,
lahan diwilayah pesisir ditemukan berbagai Aceh, Kalimantan Barat, Selatan dan Timur,
sistem buatan, antara lain sistem tambak dan Sulawesi Tengah, Tenggara dan Selatan)
yang berada lebih ke arah laut uutuk (Muluk 1994). Bahkan areal tambak yang
menunjang kehidupan masyarakat pesisir. ditemukan di beberapa propinsi telah
Pengembangan sistem buatan itu terdiri dari melampaui potensi areal mangrove yang
sistem produksi tanaman pangan dan sistem diperkirakan oleh Naamin dan Hardjamulia
produksi perkebunan. Di daerah yang masih (1995),
dipengaruhi air tawar, walaupun hanya
dalam musim hujan, dapat dikembangkan 3.4. Tipologi Masyarakat Pesisir
persawahan pasang surut yang Dalam kenyataannya faktor
memanfaatkan energi arus pasang untuk pembedaan kebutuhan masyarakat atau
pengairan. Karenanya, sistem ini ditemukan pemukiman sukar dilaksanakan, karena sifat
di sepanjang sungai sejauh mana pengaruh masyarakat pesisir yang memiliki mata
pasang masih berpengaruh. Saluran drainasi pencaharian yang saling tumpang tindih.
sederhana yang pada umumnya kecil, Klasifikasi masyarakat dapat dilakukan
digunakan untuk mengairi lahan persawahan berdasarkan mata pencarian utamanya atau
tersebut. Peluang musim tanam per tahun berdasarkan sifat masyarakat yang bermukim
dipengaruhi oleh letak sawah terhadap dikawasan pesisir. Dengan kombinasi
sungai dan besarnya debit air tawar sungai kriteria itu, masyarakat wilayah pesisir dapat
itu. Diperkirakan hanya 25% dari areal dibagi ke dalam (a) masyarakat nelayan,
sawah pasang surut dapat di tanaman dua (b) masyarakat petani dan nelayan,
kali dalam satu tahun (Knox dan Miyabara (c) masyarakat petani, (d) masyarakat
1996). pengumpul atau penjarah (collector,
Derngan cara bercocok tanam yang forager), (e) masyarakat perkotaan dan
diterapkan di wilayah pesisir merupakan perindustrian, dan (f) masyarakat tidak
adaptasi terhadap keadaan setempat. Faktor- menetap/sementara atau pengembara
faktor lingkungan yang mempengaruhi cara (migratory). Berikut ini dikemukakan
bercocok tanam itu adalah besarnya fluktuasi kombinasi kriteria sebagai berikut :
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)
22
masyarakat pesisir diatur oleh adat/tradisi
IV. Pengembangan Wilayah Pesisir dan yang berlaku. Luas lahan garapan setiap
Dampaknya keluarga biasanya sangat sempit. Bagi
Konsepsi dalam pengembangan masyarakat nelayan sumberdaya lahan dan
lingkungan hidup, terutama diwilayah pesisir perairan dipandang sebagai “milik bersama”
dilakukan secara terpadu. Strategi (communal atau common property), dan
pengelolaan lingkungan pesisir merupakan seperti halnya dengan lahan pertanian,
usaha untuk mempertahankan dan pemanfataannya diatur oleh adat. Dalam hal
menciptakan lingkungan yang berkualitas ini, seseorang dapat menempati, menguasai,
dengan cara meningkatkan daya dukung atau menggarap sebidang lahan yang tidak
wilayahh pesisir melalui kebijakan yang ditempati, dikuasai atau digarap orang lain
didasari oleh kondisi masing-masing dengan seisin kepala adat setempat.
kawasan dengan pengembangan yang Perbedaan persepsi antara masyarakat pesisir
dilakukan secara terpadu dan sektoral, yang secara turun-temurun aktif
(Kebijakan dan Strategi Pengelolaan memanfaatkan sumberdaya wilayah pesisir,
Lingkungan Hidup, Kementrian Negara dan pemerintah yang menguasai lahan itu
Lingkungan Hidup, 2001). Adanya sering terjadi. Pada umumnya, perbedaan
sumberdaya kawasan pesisir terutama persepsi ini merupakan pangkal pertikaian
perkembangan penduduk, pengembangan kepentingan antara masyarakat di satu pihak,
wilayah di bagian hilir/darat dan juga dan di pihak lain, pemerintah atau swasta
pengembangan di wilayah pesisir sendiri (investor) yang secara hukurn mendapat izin
akan berdampak kepada wilayah seluruh untuk memanfaatkannya. Masyarakat pesisir,
ekosistem pesisir. Dampak perkembangan menganggap dirirya sebagai “pemilik” yang
dan berbagai kegiatan itu dapat berdampak sah atas lahan dan perairan yang telah
langsung atau tidak langsung terhadap ditempati dan diusahakan mereka secara
masyarakat pesisir. Penilaian dampak ini turun-temurun. Akan tetapi, pemerintah di
dapat dimulai dari penilaian kemungkinan pihak lain, tidak mengakui hak itu, dan
pemanfaatan wilayah pesisir. Pada akibatnya pemerintah dapat memberikan hak
umumnya, sumberdaya alam wilayah pesisir usaha atas lahan/perairan kepada swasta
kurang termanfaatkan (under-utilized). Hal (investor). Pengalihan hak usaha kepada
itu disebabkan karena hambatan kondisi masyarakat luar merupakan salah satu
alam wilayah itu, seperti jalan dan sarana ketegangan (stress) dan merupakan dampak
transportasi (aksesibilitas), ketersediaan negatif pembangunan yang dapat dialami
tenaga kerja, dan sebagainya. masyarakat pesisir.
Kondisi ini belum termasuk Secara sederhana, mekanisme
pengembangan tambak berpola Perusahaan timbulnya kctegangan adalah akibat
Inti Rakyat (PIR) di Propinsi Lampung peningkatan jumlah penduduk yang
(Kepala Dinas Perikanan Propinsi Lampung, selanjutnya mengakibatkan meningkatnya
kompri. 2001), Sumatera Utara dan permintaan bnahan pangan, dan pada
Kalimantan Barat (Direktur Bina Program, gilirannya menuntut perluasan areal produksi
Direktorat Jenderal Perikanan, kompri. bahan pangan atau penerapan teknologi
2002). “Peledakan” luas tambak udang budidaya/bercocok tanam yang hemat lahan.
dalam dua dasawarsa terakhir ini sebagai Fenomena itu jelas terliliat pada dua produk
akibat keinginan politik pemerintah dalam pertanian, yaitu padi dan udang. Dalam
diversivikasi komoditi ekspor, sebagian upaya berswasembada bahan pangan, pada
merupakan konversi hutan mangrove, dan tahun 70-an terjadi desakan untuk
sebagian lagi merupakan transformasi meningkatkan produksi padi, melalui
tambak ikau atau garam, dan lahan marjinal pemanfaatan daerah pasang surut di wilayah
lainnya, sepeni lahan berpasir, lahan pasang pesisir. Walaupun pada saat itu masih
surut (tidal mudflats). terdapat pihak yang kurang menyetujui
kajian ini tapi secara kenyataan ribuan hektar
V. Pengalihan Hak Usaha dan lahan pesisir berhutan mangrove di Sumatera
Aksessibilitas Sumberdaya dan Kalimantan telah dikonversi menjadi
Keberadaan lahan pesisir merupakan daerah pemukiman transmigran dan
tanah negara dan penggunaan oleh pesawahan pasang surut (Koesoebiono,
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)
24
dalam struktur tenaga kerja dan ekonomi Selain pengaruh hulu ke hilir, seperti
pedesaan. Selanjutnya, peningkatan pencemaran misalnya, dapat pula terjadi
kesempatan kerja dan usaha di daerah pengaruh yang sebaliknya, seperti intrusi air
pedesaan, akan meningkatkan interaksi antar laut atau garam (salt intrusion), dan abrasi
masyarakat kota dan pedesaan. Namun pantai. Perusakan terumbu karang,
interaksi ini juga menimbulkan tekanan penggalian/penambangan bijih besi atau
ekonomi dan sosial baru, antara lain timah, di satu sisi menunjang pembangunan
disebabkan karena perbedaan pendapatan, ekonomi, tetapi di sisi lain merusak habitat
kesejahteraan, serta perbedaan persepsi wilayah pesisir yang menjadi tumpuan
tentang teknologi tepat guna, modernisasi, kehidupan masyarakat pesisir.
dan pembangunan.
Akibat lain yang mungkin timbul, VII. Penutup
adalah peningkatan interaksi antara Pengelolaan lingkungan sumberdaya
masyarakat kota, bahkan mancanegara, dan pesisir sebagai bagian integral aspek
pedesaan misalnya melalui kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat yang
pariwisata di wilayah pesisir. Adopsi tata berhubungan dengan aspek ekologi wilayah.
cara hidup, kegiatan ekonomi, dan nilai dan Kondisi dari keragaman fisik wilayah ini
norma sosial baru dapat menimbulkan terjadi akibat dari interaksi manusia dalam
ketegangan sosial. Cagar budaya (cultural memenuhi kebutuhan hidup terhadap
shock) semacam ini dapat dipandang sebagai sumberdaya wilayah pesisir. Dengan latar
salah satu sisi negatif dari pembangunan belakang budaya dan sosial yang berbeda,
wilayah pesisir melalui kegiatan itu. Keadaan telah memaafaatkan atau menikmati
semacam ini dapat dikurangi akibatnya kekayaan sumberdaya alam wilayah pesisir.
apabila dalam tahap perencana telah Aspek pemanfaatan dan pengelolaan
difikirkan kemungkinan timbulnya kejadian wilayah pesisir merupakan salah satu
tersebut. Aspek-aspek sosial. ironisnya, baru keuntungan sesuai dengan kebutuhan hidup
dipertimbangkan setelah dampak negatif itu bagi masyarakat. Untuk itu, diperlukan
terjadi. kajian aspek-aspek sosial dan budaya agar
6.2. Bencana Alam dan Dampak Kegiatan memperoleh perhatian yang sama yang
Manusia berhubungan dengan aspek-aspek teknis dan
Salah satu kerusakan yang terjadi dan ekonomis. Sementara dalam kebijakan
tidak bisa dihindari adalah factor bencana perancangan pengelolaan lingkungan
alam di wilayah pesisir antara lain banjir wilayah pesisir merupakan salah satu aspek
sebagai fenomena dan sering mengikuti pola penting yang berhubungan langsung terhadap
tertentu. Karena sifatnya yang terpola, kondisi sosial ekonomi masyarakat sesuai
masyarakat pesisir mengadopsi pola ini dengan potensi dan sumberdaya alam yang
dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan ada.
ini menentukan pola kegiatan usaha tani dan Sumberdaya lingkungan pesisir merupakan
perikanan mereka. Selain banjir, yang suatu wilayah yang memiliki potensi
bersifat musiman, terjadi pula ketegangan- sumberdaya dan keanekaragaman jenis yang
ketegangan lain yang timbul akibat kegiatan cukup banyak. Dibandingkan dengan
manusia, seperti perusakan habitat dan kawasan lainnya, wilayah pesisir dengan
pencemaran. Ketegangan ini makin berbagai ekosistem yang saling berkaitan dan
meningkat intensitasnya dengan terjalin dalam satu sistem ekologis yang
meningkatnya kegiatan di bagian hulu dan majemuk (kompleks). Di sisi lain diperlukan
juga di wilayah pesisir itu sendiri. berbagai upaya untuk menjamin
Konservasi sumberdaya alam, penerapan keberlangsungan peran ekologik yang
cara bercocok tanam, dan eksploitasi diemban wilayah pesisir, sehingga
sumberdaya perikanan yang benar perlu pemanfaatan sumberdaya alam perlu
dipertimbangkan dalam tahap perencanaan memperhatikan aspek kelestarian
demi keberlanjutan usaha di wilayah pesisir. lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Bailey, C. 1986. Government Protection of Traditional Resource Use Rights: The Case of
Indonesian Fisheries. Hal. 292-308 dalam D.C. Korten ed. Community Management:
Asian Experience and Perspectives. Kumarian Press, West Hartford, CN, USA.
Csavas, I. 1992. Impact of Aquaculturc on the Shrimp Industry. Makalah disajikan dalam
Shrimp ‘92 Global Conference, Hong Kong. FAO Regional Office for Asia and
Pacific, Bangkok, Thailand.
Direktorat Jenderal Perikanan. 1987. Shrimp Culture in Indonesia: Its. Prospect. Directorate
General of Fisheries, Jakarta, Indonesia.
Driessen, P.M. dan Soepraptohardjo. 1974. Soils for Agricultural Expansion in Indonesia.
Soil Research Institute, Bogor, Indonesia.
Hanson A.J. dan Koesoebiono. 1977. Settling Coastal Swamplands in Sumatra: A Case Study
for Integrated Resource Management. PSPSL/Research Report/004, Bogor
Agricultural University. Bogor, Indonesia.
Koesoebiono, W.L. Collier dan P.R. Burbridge. 1982. Indonesia: Resources’ Use and
Management in the Coastal Zone. Hal. 115-133 dalam C. Soysa, L.S. Chia, dan W.L.
Collier eds. Man, Land and Sea: Coastal Resource Use and Management in Asia and
the Pacific. The Agricultural Development Council. Bangkok. Thailand.
Muluk, C. 1994. Social and Environmental Impacts of Shrimp Culture in West Java. PhD’s
Dissertation. Auburn University, Auburn, AL, USA.
Rosenberry, R. 1991. Eastern Hemisphere. Hal. 10-19. dalam World Shrimp Farming 1991.
San Diego, CA, USA.
Ruddle, K. 1982. Environmental Pollution and Fishery Resources in Southeast Asia Coastal
Waters. Hal. 15-35 dalam C. Soysa, L.S. Chia, dan W.L. Collier eds. Man, Land and
Sea: Coastal Resource Use and Management in Asia and the Pacific. The Agricultural
Development Council, Bangkok, Thailand.
Soegiarto, A. 1976. Indonesia. Makalah disajikan dalam International Seminar on
Development and Management or resources in Coastal Areas, West Berlin, Hamburg
and Coxhaven.
AGRIBISNIS AREN : PRODUK USAHA YANG MENJANJIKAN
DI MALUKU UTARA
Sandra L. Hiariey
Staf Pengajar Fakultas Pertanian UMMU - Ternate
ABSTRAK
28
pinnata Merr.) merupakan salah satu jenis akan sangat efektif untuk menahan turunnya
tanaman palmae yang syarat tumbuhnya air hujan yang langsung kepermukaan tanah.
memerlukan udara tropis seperti Indonesia. Disamping itu pohon aren yang dapat
Sama halnya dengan kelapa, hampir seluruh tumbuh baik pada tebing-tebing, akan sangat
bagian tanaman aren bernilai ekonomis. baik sebagai pohon pencegah erosi longsor.
Akar, batang, daun, buah, ijuk dan tandan
b. Fungsi Produksi
bunga jika dimanfaatkan secara optimal akan
Fungsi produksi dari pohon aren dapat
mampu mengangkat taraf ekonomi para
diperoleh miulai dari akar, batang, daun,
petani dan pedagangnyanya. Salah satu hasil
bunga dan buah. Di Jawa akar aren
produksi aren yang terkenal adalah gulanya.
digunakan untuk berbagai obat tradisional.
Disadap dari tandan bunga jantan untuk
Akar segar dapat menghasilkan arak yang
diambil niranya, dikentalkan melalui proses
dapat digunakan sebagai obat sembelit, obat
pemanasan kemudian dicetak. Hampir semua
disentri dan obat penyakit paru-paru.
bagian atau produk tanaman ini dapat
Batang yang keras digunakan sebagai bahan
dimanfaatkan dan mempunyai nilai ekonomi.
pembuat alat-alat rumah tangga dan ada pula
Namun tanaman ini kurang mendapatkan
yang digunakan sebagai bahan bangunan.
perhatian untuk dikembangkan atau
Batang bagian dalam dapat menghasilkan
dibudidayakan secara sungguh-sungguh oleh
sagu sebagai sumber karbohidrat yang
berbagi pihak. Padahal permintaan produk-
dipakai sebagai bahan baku dalam
produk yang dihasilkan tanaman ini, baik
pembuatan roti, soun, mie dan campuran
untuk kebutuhan ekspor maupun kebutuhan
pembuatan lem. Sedangkan ujung batang
dalam negri terus meningkat. Kelapa ( Cocos
yang masih muda (umbut) yang rasanya
nucifera ), pinang ( Areca catchecu ), dan
manis dapat digunakan sebagai sayur mayur.
aren ( Arenga pinnata ) adalah tanaman yang
Daun muda, tulang daun dan pelapah
termasuk dalam famili palmae telah
daunnya, juga dapat dimanfaatkan untuk
digunakan dalam pengobatan tradisional
pembungkus rokok, sapu lidi dan tutup botol
secara turun-temurun.
sebagai pengganti gabus.
Tangkai bunga bila dipotong akan
V. KANDUNGAN GIZI DAN MANFAAT
menghasilkan cairan berupa nira yang
AREN
mengandung zat gula dan dapat diolah
Kandungan gizi tanaman aren
menjadi gula aren atau tuak dan etanol.
khususnya gula aren (Palm Sugar) sangat
Buahnya dapat diolah menjadi bahan
tinggi yaitu mengandung Potassium,
makanan seperti kolang-kaling yang banyak
Magnesium, Seng dan Besi alami serta
digunakan untuk campuran es, kolak atau
merupakan sumber vitamin B1, B2, B3, B6
dapat juga dibuat manisan kolang-kaling.
dan C. Menurut riset yang dilakukan oleh
Food and Nutrition Research Institute
VI. POTENSI AGRIBISNIS AREN di
(FNRI), gula aren (Palm Sugar) memiliki
MALUKU UTARA
tingkat glycemic (GI) indeks yang sangat
Salah satu pembangunan sistem
rendah. Dengan perbandingan, jika GI Madu
agribsinis adalah pembangunan sub sistem
adalah 55 dan GI gula tebu adalah 68, angka
pengolahan (down-stream agribusiness)
35 untuk palm sugar memang menjadi GI
yakni industri yang mengolah komoditas
indeks yang terendah sebagai unprocessed
pertanian primer (agroindustri) menjadi
sweeteners yang tersedia saat ini.
produk olahan baik produk antara
Pohon aren banyak manfaatnya, baik
(intermediate product) maupun produk akhir
berfungsi sebagai konservasi, maupun fungsi
(finish product). Termasuk di dalamnya
produksi yang menghasilkan berbagai
industri makanan, industri minuman, industri
komoditi yang mempunyai nilai ekonomi.
barang-barang serat alam (barang-barang
a. Fungsi Konservasi karet, karet, plywood, pulp, kertas, bahan-
Pohon aren dengan perakaran yang dangkal bahan bangunan terbuat dari kayu, rayon,
dan melebar akan sangat bermanfaat untuk benang dari kapas/sutera, barang-barang
mencegah terjadinya erosi tanah. Demikian kulit, tali dan karung goni), industri
pula dengan daun yang cukup lebat dan biofarmaka, industri agrowisata dan estetika.
batang yang tertutup dengan lapisan ijuk, Gula aren atau gula merah sudah tidak
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)
30
perdana gula aren sebanyak 12,5 ton ke cara perbanyakannya. Kedua, pengetahuan
Belanda. mengenai proses panen yang efisien dan
Potensi aren di Indonesia, khususnya efektif. Ketiga, transportasi nira dari pohon
Maluku Utara luar biasa besar yang tersebar ke pabrik agar tidak rusak. Dan keempat,
mulai dari daerah pantai sampai ke sistem pengolahan hasil yang modern. Serta
pegunungan. Potensi yang luar biasa tak kalah pentingnya masalah organisasi dan
besarnya ini dapat di ukur dari berbagai segi, manajemen. Mulai dari organisasi petani,
yaitu ekonomi, pemerataan pendapatan, dan organisasi pabrik, dan organisasi distribusi
penanggulangan kemiskinan, serta dari petani ke pabrik, serta manajemen yang
pelestarian lingkungan. mengelola sistem agribisnis berbasis aren
Dari segi ekonomi, aren melalui suatu tersebut. Tetapi kini Puslit Biologi LIPI telah
proses sangat sederhana menghasilkan nira mampu membudidayakannya dan
sebagai produk utama yang bisa diproses jadi menyediakan bibitnya. Dari mulai bibit
gula merah sebagai pengganti gula putih dan hingga menjadi tanaman aren yang
etanol yang sangat penting untuk energi. menghasilkan memerlukan 6-8 tahun, namun
Dari segi pemerataan pendapatan, aren demikian angka itu tidak terlalu lama jika
diusahakan petani-petani kecil dan dibandingkan dengan tanaman lain seperti
kebanyakan masih belum dibudidayakan dan kelapa sawit yang memerlukan waktu 5-6
tumbuh liar di hutan-hutan sekitar tahun untuk menghasilkan minyak sawit.
pemukiman. Karena itu produk-produk Selain penghasil gula merah tanaman
ekonomis tadi dimanfaatkan rakyat yang aren sangat potensial menghasilkan biofuel,
berpenghasilan rendah. Jadi aren ini dapat sehingga perlu dikembangkan sebagai
dijadikan program penanggulangan perkebunan besar seperti halnya kelapa sawit
pengangguran dan kemiskinan di pedesaan. atau jarak pagar. Kelebihan tanaman aren ini
Dari segi kelestarian lingkungan, aren bisa dipanen setiap hari sepanjang tahun,
tumbuh subur bersama-sama pohon lain. menghasilkan lebih banyak dan cepat bahan
Oleh karena itu, aren mampu menciptakan bakar terbarukan dibanding tanaman lain.
ekologi yang baik sehingga tercipta Pohon aren tidak seperti tanaman lain
keseimbangan biologi. Di samping itu, penghasil bioethanol (bahan bakar pengganti
karena tumbuh bersama-sama pohon lain, bensin) yaitu singkong yang memiliki masa
tanaman aren dapat menjadi penahan air panen enam bulan atau tebu tiga bulan untuk
yang baik dan aren relatif sulit untuk sekali panen saja serta keterbatasan lainnya.
terbakar. Berbeda dengan kelapa sawit dan Getah nira yang menetes dari bunganya,
kelapa yang membutuhkan kondisi lebih mudah dijadikan bioethanol dibanding
monokultur. Tanaman aren tidak dijadikan gula aren. Getahnya cukup
membutuhkan pemupukan untuk tumbuh, difermentasi (diberi ragi/mikroba) lalu
tidak terserang hama dan penyakit yang setelah menjadi alkohol dipisahkan dari
mengharuskan penggunaan pestisida airnya.
sehingga aman bagi lingkungan. Bahkan Aren bisa dipanen terus-menerus di
boleh dikatakan produknya organik. Aren mana setiap satu pohon aren bisa
dapat tumbuh pada lahan marginal di lereng menghasilkan nira 1-20 liter per hari yang
gunung atau berbukit-bukit bersama tanaman 10% bisa diproses menjadi ethanol. Setiap
lain. Sedangkan tebu harus ditanam di lahan hektar bisa ditanami 75-100 pohon sehingga
subur yang datar sehingga dalam setiap hektar bisa menghasilkan 1.000 liter
penggunaan lahan bersaing dengan tanaman nira per hari atau sekitar 100 liter ethanol per
lain seperti padi dan jagung. hari. Bandingkan dengan sawit yang satu
Masalah dalam pengembangan hektarnya hanya menghasilkan maksimal
tanaman aren disini adalah pengetahuan kita enam ton biodiesel per tahun.
mengenai aren yang sangat minim Pengelolaan dan pembudidayaan
dibandingkan kelapa sawit, kelapa, dan tebu. tanaman aren perlu dilakukan mengingat
Kalau kita mau mengembangkan dalam skala tanaman aren memiliki keunggulan dalam
regional dan nasional, pengetahuan tentang mencegah erosi tanah terutama pada daerah-
aren harus ditambah. Pengetahuan yang daerah yang terjal karena akar tanaman aren
mendesak adalah mengenai seleksi tanaman dapat mencapai kurang lebih enam meter
yang mempunyai produktivitas tinggi dan pada kedalam tanah. Nira aren juga
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)
berpeluang untuk diolah menjadi salah satu dalam agroindustri aren ini. Dengan
alternatif biofuel, yaitu menjadi etanol. Aren demikian maka dari tanaman aren diharapkan
juga memiliki nilai ekonomis jika dapat meningkatkan pendapatan asli daerah,
diusahakan secara serius, karena seluruh meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan
bagian dari tanaman ini baik batang, daun, peningkatan ekonomi petani, mengentaskan
buah, mayang, ijuk yang dihasilkan dapat kemiskinan, dan membuka lahan kerja baru
digunakan untuk keperluan kehidupan sehingga dapat mengurangi penggangguran
manusia. Aren ternyata dapat menghasilkan di daerah ini.
60 jenis produk bernilai ekonomi dan
beberapa produk berpotensi untuk diekspor, VII. PENUTUP
bahkan aren berperan sebagai penyuplai Prospek agribisnis aren ini sangat
energi dan untuk pelestarian lingkungan menjanjikan disamping nilai nutrisinya yang
hidup. tinggi serta manfaatnya yang banyak, baik
Kiranya Pemerintah Propinsi Maluku untuk industri makanan, minuman,
Utara dapat mengikuti jejak Propinsi perumahan maupun industri biofuel. Sangat
Sulawesi Utara dalam menggalakan usaha diharapkan upaya pemerintah daerah untuk
budidaya aren, dikarenakan masih luasnya melihat dan mengusahakan budidaya aren,
lahan-lahan pertanian yang belum diolah di sehingga aren dapat menjadi komoditi
bumi Moloko Kie Raha ini. Pengembangan unggulan Maluku Utara untuk kesejahteraan
budidaya aren perlu menjadi perhatian masyarakat, dengan meningkatkan
utama, sehingga selain sebagai daerah yang pendapatan petani, mengurangi angka
sudah terkenal dengan gula merahnya kemiskinan serta membuka lahan kerja baru.
khususnya dari aren, budidaya ini juga dapat Dan diharapkan juga agar pihak perbankan
menghasilkan energi biofuel. Pemerintah dapat juga melirik usaha ini dalam
juga perlu menjalin kerjasama dengan para memberikan bantuan berupa kredit usaha
investor untuk mau menanamkan modal kepada para petani aren.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2007. Komentar “Potensi Besar Agribisnis Aren”. Center for Entrepreneurship
Development and Studies. http://ceds.files.wordpress.com.
, 2009. http://id.wikipedia.org/wiki/Morfologi_Tanaman_Aren.
Kadis Pertanian KPD Provinsi Maluku Utara, 2007. Kuliah Perdana Faperta UMMU “Peran
Agribisnis Dalam Pembangunan Daerah”
Suhdan Kasuba, 2008. Analisis Marjin dan Saluran Pemasaran Gula Aren di Desa Kampung
Makian, Kecamatan Bacan Tengah, Kabupaten Halmahera Selatan. Skripsi UMMU-
Ternate (tidak dipublikasikan).
Sutanto Edy N, BE, 1996. Manisan Buah-buahan 2, Kanisius (Anggota IKAPI), Yogyakarta.
32
DINAMIKA JUMLAH BAKTERI SELAMA MASA
PENYIMPANAN PETIS IKAN LAYANG
Vanessa N. J. Lekahena
Staf Pengajar UMMU-Teranate, Email : enchalekahena@yahoo.com
ABSTRAK
Petis ikan adalah olahan ikan berbentuk pasta, berbahan dasar ekstrak
ikan hasil pengolahan pindang atau rebusan daging ikan bercampur
garam yang diberi tambahan bumbu dan gula merah, direbus hingga
mengental dan diberi pengemulsi. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui dinamika jumlah bakteri selama masa penyimpanan petis
ikan layang (Decapterus sp). Penelitian ini dilaksanakan di
Laboratorium Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Pertanian UMMU-
Ternate pada bulan November 2008 sampai Desember 2008. Metode
penelitian yang digunakan adalah percobaan deskriptif dengan cara
isolasi. Perhitungan jumlah bakteri dilakukan dengan metode TPC (Total
Plate Count) atau ALT (Angka Lempeng Total). Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa jumlah bakteri selama masa penyimpanan
mengalami peningkatan dari 1.13 x 104 pada penyimpanan hari 3 menjadi
2.83 x 104 pada penyimpaan hari 6 untuk petis ikan dengan konsentrasi
garam 20%, sementara petis ikan dengan garam 40% jumlah bakteri
meningkat dari 1.67 x 104 pada penyimpanan hari ke 3 menjadi 2.2 x 104
pada penyimpanan hari ke-6, sedangkan untuk petis ikan dengan
konsentrasi garam 40% jumlah bakteri pada hari ke-3 adalah 1.73 x 104
dan menjadi 4.43 x 104. Secara umum jumlah bakteri mengalami
peningkatan akan tetapi peningkatan jumlah pertumbuhan bakteri lebih
besar peningkatannya pada petis ikan dengan konsentrasi garam 60%.
34
ditambahkan NaCl fisiologis 10 ml, 30-300 koloni pada setiap cawan
kemudian dihomogenisasi dan biakan
disterilisasi. Tahap berikutnya
dilakukan pengenceran sampai III. HASIL DAN PEMBAHASAN
pengenceran dengan 10-4. Sebanyak Pada hari ke-0, daging dan cairan
1 ml dari masing-masing tubuh ikan layang segar pada umumnya steril
pengenceran dituang ke dalam secara alamiah, namun pada kulit, lendir,
cawan petri steril, kemudian insang, dan saluran pencernaan biasanya
ditambahkan media SSW sebanyak mengandung mikroorganisme terutama
20 ml dan diikubasi pada 37 °C bakteri. Kebanyakan bakteri ini berperan
selama 24 jam, dan dihitung jumlah dalam pembusukan ikan. Jumlah bakteri
total bakterinya. (Hadioetomo RS, pada ikan berkisar antara 102 -106 percm2
1993). pada kulit; 103-105 pada insang; dan
7. Metode perhitungan Jumlah Bakteri beberapa sampai 107 atau lebih pada usus
Total berdasarkan Fardiaz (1993) (Rahayu et al. 1992). Petis ikan hasil olahan
dengan menggunakan cawan pada hari ke-0, dikarenakan kondisi ikan
pembiakan (plate count), caranya masih segar, maka diduga petis ikan yang
semua koloni yang tumbuh di dalam dihasilkan tidak mengandung jumlah bakteri,
cawan media SSW dihitung. walaupun demikian akan tetapi proses
Misalnya, pada pengenceran 10-3 penanganan dan pengolahan dengan
terdapat 280 koloni, kemudian pada menggunakan peralatan yang menggunakan
pengenceran 10-4 terdapat 96 koloni, seperti pisau pada proses penyiangan, periuk
dan pada pengenceran 10-5 terdapat tanah yang digunakan untuk perebusan,
32 koloni, maka perhitungannya wadah penampungan dan waktu penanganan
adalah sebagai berikut: Jumlah dapat berpotensi mengkontaminasi produk
bakteri/ml bahan yang diperiksa = yang dihasilkan. Hal ini dapat terlihat pada
(280 x 10-3 ) + (96 x 10-4) + (32 x 10- hasil perhitungan jumlah total bakteri dapat
5
). Hasil hitungan koloni bakteri pada hari ke-3 dan hari ke-6, yang disajikan
yang dapat diandalkan adalah antara pada Tabel 1 dan Tabel 2 berikut:
Tabel 1. Hasil Perhitungan Jumlah Bakteri Jumlah Bakteri Pada Petis Ikan Layang Pada Hari
ke-3
Perlakuan Ulangan No. Pengenceran ALT/Gram
-2 -3 -4
Konsentrasi 1 190 85 25 1.4 x 104
Garam 20%
2 155 45 21 9 x 103
3 163 50 27 1.1 x 104
Konsentrasi 1 190 173 35 1.8 x 104
Garam 40%
2 199 143 40 1.7 x 104
3 161 137 27 1.5 x 104
Konsentrasi 1 135 67 34 1.1 x 104
Garam 60%
2 197 164 40 1.8 x 104
3 229 189 80 2.3 x 104
Tabel 2. Hasil Perhitungan Jumlah Bakteri Jumlah Bakteri Pada Petis Ikan Layang Pada Hari
ke-6
Perlakuan Ulangan No. Pengenceran ALT/Gram
-2 -3 -4
Konsentrasi
1 280 212 35 2.4 x 104
Garam 20%
2 340 230 29 2.7 x 104
3 392 325 28 3.4 x 104
Konsentrasi
1 345 213 45 2.7 x 104
Garam 40%
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)
Pada hari ke-3, terlihat bahwa petis jumlah garam yang ditambahkan akan
ikan yang dihasilkan dengan konsentrasi menekan jumlah pertumbuhan bakteri akan
garam 20% mempunyai jumlah bakteri yang tetapi jika konsentrasi garam yang berlebihan
berkisar antara 9 x 103 sampai dengan 1.4 x mengakibatkan jumlah bakteri yang bersifat
104 atau rata-ratanya adalah 1.13 x 104. haloteran dapat tumbuh dan meningkat hal
Sedangkan jumlah bakteri meningkat pada ini terlihat pada petis ikan yang dihasilkan
hari ke-6 hal ini terlihat pada jumlah bakteri dengan menggunakan konsentrasi garam
antara 2.4 x 104 sampai dengan 3.4 x 104 atau 60%.
dengan rata-ratanya adalah 2.83 x 104. Pada Fungsi garam selain untuk
petis ikan dengan konsetrasi garam 40% meningkatkan cita rasa ikan, membentuk
terlihat jumlah bakteri pada hari ke-3 berada tekstur yang diinginkan, juga dapat
pada kisaran 1.5 x 104 sampai dengan 1.8 x mengontrol pertumbuhan bakteri dengan cara
104 atau dengan rata-rata jumlah bakteri merangsang pertumbuhan bakteri yang
adalah 1.67 x 104, sementara pada hari ke-6 diinginkan dalam fermentasi dan
kisaran jumlah bakteri adalah 1.8 x 104 menghambat pertumbuhan mikroba
sampai dengan 2.7 x 104 dengan rata-rata pembusuk. Dengan kadar garam yang cukup
jumlah pertumbuhan bakteri adalah 2.2 x 104. tinggi akan mampu menghambat bakteri
Untuk petis yang dihasilkan dengan pembusuk dan hanya mikroba halofilik yang
konsentrasi garam 60% jumlah bakteri pada tumbuh. Bakteri halofilik tersebut diharapkan
hari ke-3 pada kisaran 1.1 x 104 sampai dapat menghasilkan enzim proteolitik.
dengan 2.3 x 104, dengan rata-rata Dengan dihasilkannya enzim proteolitik
pertumbuhan bakteri 1.73 x 104 dan pada hari maka senyawa-senyawa utama pada ikan
ke-6 kisaran pertumbuhan bakterinya adalah dapat diubah menjadi senyawa-senyawa
3.5 x 104 sampai dengan 5.0 x 104 dengan yang lebih sederhana.
rata-rata jumlah pertumbuhan bakteri 4.43 x Peranan garam untuk mengontrol
104. proses pertumbuhan bakteri juga dinyatakan
Dari hasil perhitungan jumlah bakteri oleh Moeljanto (1982) yaitu bahwa ikan
pada petis ikan dengan konsentrasi garam merupakan bahan pangan yang banyak
yang berbeda terlihat petis ikan pada mengandung air (sekitar 80%) sehingga
konsentrasi garam 20% pada masa pertumbuhan mikroba yang berperan dalam
penyimpanan hari ke-6 jumlah bakteri proses fermentasi (seperti jamur) terhambat
meningkat menjadi 2 kali lipat dari jumlah oleh bakteri pembusuk. Garam pun akan
bakteri pada masa penyimpanan hari ke-3 meningkatkan tekanan osmotik substrat,
atau mengalami peningkatan 100% dari sehingga terjadi penarikan air dari dalam
jumlah bakteri sebelumnya, sementara petis bahan pangan keluar. Akibatnya, kadar air
konsentrasi garam 40% peningkatan jumlah daging ikan menurun karena sel akan
bakteri pada hari ke-6 yaitu mengalami kehilangan air dan mengalami pengerutan
peningkatan ¼ kali dari jumlah bakteri pada sehingga mikroba yang tidak tahan garam
hari ke-6 atau hanya mengalami peningkatan tidak dapat tumbuh. Garam dapat
25% dari jumlah bakteri sebelumnya. Hal mengganggu kerja enzim proteolitik karena
yang berbeda ditunjukkan pada jumlah dapat mengakibatkan denaturasi protein.
bakteri pada petis ikan dengan konsentrasi Pada proses penyimpanan hari ke-6,
garam 60% dimana dimana jumlah bakteri terjadi peningkatan asam-asam amino yang
pada hari ke-6 mengalami peningkatan 2.5 mencerminkan adanya pemecahan protein
kali dari jumlah bakteri pada hari ke-3 atau selama fermentasi telah berjalan optimal.
150% dari jumlah bakteri sebelumnya. Hal Hal ini ditandai dengan jumlah bakteri total
ini menunjukkan adanya peranan garam yang meningkat. Pemecahan protein ini
untuk menekan jumlah mikroba, makin besar lebih disebabkan oleh enzim-enzim protease
36
yang dihasilkan oleh bakteri halofilik Hasil penelitian ini dapat disimpulkan
daripada oleh enzim-enzim protease yang bahwa jumlah bakteri selama proses
dihasilkan oleh cairan ekstrak daging ikan itu penyimpanan dari hari ke-0 sampai dengan
sendiri. Hal ini disebabkan pada saat hari ke-6, dengan jumlah peningkatan yang
perebusan enzim-enzim dari ikan telah larut berbeda pada setiap petis ikan yang
dalam ekstrak cairan yang dihasilkan dihasilkan. Jumlah pertumbuhan bakteri yang
sehingga enzim-enzim tersebut dapat mengalami peningkatan tertnggi yaitu pada
meningkatkan jumlah bakteri jika hasil petis ikan dengan konsentrasi garam 60%
olahan tersebut disimpan pada suhu ruang. pada hari ke-6 hal ini disebabkan oleh
Menurut Rahayu et al, (1992) enzim aktivitas bakteri halofilik yang optimal
proteolitik dari bakteri terutama dihasilkan dalam memproduksi enzim proteolik.
oleh bakteri yang bersifat halofilik antara Untuk mengetahui jenis mikroba
lain enzim n-asetilmuramidase yang dapat yang berperan dalam proses penyimpanan
mendegradasi protein pembentuk dinding sel petis ikan maka disarankan untuk penelitian
bakteri. isolasi dan identifikasi lebih lanjut
mencakup sifat fisik dan biokimiawinya.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, Eddy dan Evi Liviawaty. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Penerbit
Kanisius, Cetakan ke-14, Yogyakarta.
Burgess, G.H.O., C.L. Cutting, J.A. Lovern dan J.J. Waterman. 1965. Fish Handling and
Processing. Her majesty’s Stationary Office. Edinburg.
Fardiaz S. 1993. Analisis Mikrobiologi Pangan. Penerbit Raja Grafindo Persada. Jakarta. 200
hal.
Hadioetomo RS. 1993. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek, Teknik dan Prosedur Dasar
Laboratorium. PT Gramedia. Jakarta.
ABSTRAK
39
biaya pengeluaran lainnya.
Anonim, 2008. Poultry Indonesia Vol III Agustus 2008 Ancaman Pakan Global, Jakarta.
Tobing Vick, 2004. Beternak Ayam Broiler Bebas Antibiotika: Murah & Bebas Residu,
Penebar Swadaya, Jakarta.
Widjaja, Kartika, 2003. Peluang Bisnis Ayam: Ras dan Buras. Penebar Swadaya, Jakarta.
41
PENGARUH PENAMBAHAN EMULSIFIER LEMAK
DALAM PEMBUATAN SOSIS IKAN TENGGGIRI
(Scomberomuros comerson)
Ahmad Talib
Staf Pengajar FAPERTA UMMU-Ternate
email: madoks75@yahoo.co.id
ABSTRAK
mempunyai daging yang putih yang sangat Sedangkan bahan pembantu yang digunakan
baik dimanfaatkan untuk berbagai aneka dalam pembuatan sosis adalah minyak sayur,
produk. Salah satu bentuk diversifikasi lemak gajih, gelatin, tepung tapioka, lada
produk adalah pembuatan sosis ikan. bubuk, jahe, bawang putih, bawang merah,
Sosis adalah makanan yang garam halus dan dan gula secukupnya.
dipersiapkan dari daging yang digiling dan Sebagai bahan pembungkus sosis digunakan
diberi bumbu, kemudian dimasukkan cassing dengan tipe edible dari collagen.
kedalam selongsong yang berbentuk silinder.
Pengolahan sosis ikan merupakan salah satu 2.3. Prosedur kerja
usaha diversifikasi produk olahan hasil Dalam proses pembuatan sosis,
perikanan. Usaha ini sangat diperlukan tahapan yang dilakukan meliputi penyiangan,
terutama dalam rangka untuk meningkatkan pemfiletan, penggilingan, penimbangan,
konsumsi ikan masyarkat Indonesia yaitu pengadonan, pengisian kedalam casing,
dengan memberikan lebih banyak pilihan pengikatan, perebusan dan pendinginan.
produk yang dapat dibeli dan dikonsumsi. Daging merah ikan tenggiri diambil, dicuci
Salah satu alasan dibuatnya sosis pada dengan air bersih untuk menghilangkan
praktikum ini adalah sebagai bentuk darah dan kotoran yang masih melekat pada
penerapan atau aplikasi teknologi formulasi, daging. Selanjutnya daging ikan digiling
dalam hal ini adalah formulasi produk dengan menggunakan grinder (untuk
emulsi. Sosis merupakan salah satu bentuk pelumatan daging). Pada saat pelumatan
produk emulsi dimana terdapat fase minyak daging, selalu disertai atau di lakukan
dalam air. Selain itu sebagai bentuk penambahan es batu (disekelilingi daging
diversifikasi produk hasil perikanan. lumat) untuk mempertahankan suhu sekitar
5-10 °C. Setelah daging lumat terjadi,
1.2. Tujuan Penelitian disertai pula penambahan bahan pembantu
Penelitian ini bertujuan untuk : lain seperti minyak sayur, lemak gajih,
1. Membuat produk emulsi tepung tapioka, air es, garam halus, bawang
2. Melihat pengaruh pemberian merah, bawang putih, lada bubuk, jahe bubuk
emulsifier pada sosis dan gula secukupnya jka diinginkan.
3. Membedakan penggunaan Untuk kelompok lemak gajih dan
sumber lemak yang berbeda minyak sayur, penambahan minyak sayur
pada sosis kedalam daging lumat sebesar 4% sedangkan
penambahan lemak gajih sebesar 4% dari
II. METODOLOGI daging lumat. Formulasi yang digunakan
2.1. Waktu dan Tempat dapat dilihat pada Tabel 1.
Penelitian ini dilaksanakan selama 1 Tabel 1. Formulasi sosis ikan tenggiri
bulan (Maret 2009) di Laboratorium
Bahan Jumlah
Pengolahan Hasil Perikanan Institut
Daging lumat 250 g
Pertanian Bogor (IPB) Tepung tapioka 50 g
Lada 5g
2.2. Alat dan Bahan Air es 200 ml
Alat-alat yang digunakan dalam Kondimen
praktikum adalah wadah plastik, timbangan, - bawang 12 g
grinder, talenan, pisau, baskom, gilingan merah 5g
daging, blender, thermometer, panci, kain - bawang putih 3g
kasa, pemanas, pan pencetak, kompor, - - jahe
mixer, dan stuffer. Gula 5g
Bahan yang digunakan dalam Garam 15 g
pembuatan sosis adalah ikan tenggiri segar.
Adonan yang sudah homogen dimasukkan ke dalam stuffer, bagian ujung cassing diikat
dengan benang, lalu adonan dimasukkan kedalam cassing. Setelah itu dilakukan pengikatan
dilanjutkan dengan perebusan. Sosis direbus dengan dua tahap. Perebusan pertama pada suhu
60 °C selama 15-20 menit, dan perebusan kedua pada suhu 80-90 oC selama 15 menit.
Diagram alir proses pembuatan sosis dari daging ikan tenggiri dapat dilihat pada Gambar
43
1.Daging ikan tenggiri
Skinless filet
penggrinderan
Minced Fish
Stuffering - Cassing
Perebusan
Suhu 50-60 °C (15-20 menit)
Suhu 80-90 °C (15 menit)
3.3.2. Uji gigit (Suzuki, 1981) ketebalan 5 mm dan berdiameter ±20 mm.
Pengujian dilakukan dengan cara Nilai (skor) sebagai atribut pengujian dalam
menggigit sampel antara gigi seri atas dan hubungannya dengan uji gigit dapat dilihat
bawah. Sampel yang diuji mempunyai pada Tabel 3.
8 Kuat
7 Cukup kuat
6 Dapat diterima
5 Dapat diterima, sedikit kuat
4 Lemah
3 Cukup lemah
2 Sangat lemah
1 Tekstur seperti bubur, tidak ada kekuatan
Sumber : Suzuki (1981).
3.3.3. Uji Organoleptik (Soekarto, 2000) Pengamatan dilakukan dengan skala hedonic
Uji organoleptik pada produk sosis bernilai satu sampai sembilan. Contoh
meliputi penampakan, aroma, tekstur, warna lembar penilaian organoleptik dapat dilihat
dan rasa. Uji tekstur dilakukan dengan cara pada Tabel 4.
ditekan dengan tangan dan digigit.
Tabel 4. Lembar Penilaian Uji Organoleptik dengan Skala Hedonic (Soekarto, 2000)
Skala Numerik Skala Hedonik
9 Amat sangat kuat
8 Sangat suka
7 Suka
6 Agak suka
5 Biasa
4 Kurang suka
3 Tidak suka
2 Sangat tidak suka
1 Amat sangat tidak suka
Tabel 5. Nilai rata-rata pengamatan sensori panelis terhadap sosis Ikan Tenggiri
Perlakuan Warna Penampakan Tekstur Aroma Rasa
Kelompok 1
Gelatin+minyak 6 5 5 6
Gelatin+ lemak gajih 7 3 4 5
Kelompok 2
ISP + minyak 6 6 5 6
ISP + lemak gajih 8 6 5 5
Kelompok 3
Kontrol + minyak 6 4 7 5
Kontrol + lemak gajih 7 5 6 6
Ket: ISP = Isolat Soybean Protein
Warna merupakan efek atau hasil dari minyak dan gaih yang ditambahkan. Namun
pengamatan indra penglihatan. Warna sosis demikian penambahan gajih dan minyak
ini dipengaruhi oleh warna daging lumat, serta emulsifier tidak begitu memberikan
dimana daging ikan tenggiri merupakan pengaruh pada warna yang dihasilkan karena
daging putih, ditambah pengaruh dari warna hampir semua nilai menunjukkan kesamaan.
45
4.1.2. Penampakan ditambahkan dan interaksi antara sumber
Penampakan, nilai tertinggi diperoleh lemak yang berbeda, bisa jadi menghasilkan
pada sampel sosis dengan emulsifier ISP dan tekstur yang berbeda pula. Tetapi, dalam
menggunakan gajih. Dibandingkan dengan masing-masing kelompok tidak
kontrol, penambahan emulsifier ini sedikit menunjukkan perbedaan skor yang jauh.
meningkatkan nilai penampakan dimana Tekstur sosis dengan pemberian
penampilan sosis lebih utuh, rapi, dan emulsifier dan penggunaan sumber lemak
ketebalan merata. Sementara itu, yaitu minyak sayur dan gajih memberikan
penggunaan gajih sebagai sumber lemak hasil yang sedikit elastis. Elastisitas
ternyata menghasilkan penampakan yang merupakan parameter penting dari mutu
lebih bagus dibandingkan minyak sayur. produk termasuk sosis. Pembentukan gel
Hampir semua kelompok panelis sangat berpengaruh terhadap elastisitas yang
memberikan satu point nilai lebih tinggi pada dihasilkan. Kadar protein dalam daging
sosis dengan penambahan gajih lumat yang digunakan memberikan
dibandingkan dengan penambahan minyak kontribusi pada pembentukan gel dan
sayur. Penambahan lemak pada sosis ikan elastisitas produk. Protein miosin dari
bertujuan untuk memperoleh produk sosis daging ikan memegang peranan utama dalam
yang kompak (Amano, 1965). Selain itu pembentukan gel tersebut. Titik kritis proses
untuk shorteningnya yang tinggi. Namun pembuatan sosis yang berhubungan dengan
demikian, dari data di atas ternyata tekstur yaitu pada saat formulasi bahan dan
perbedaan sumber lemak ini tidak terlalu suhu setting yang digunakan. Jika formulasi
jauh berpengaruh terhadap penampakan tidak tepat dan suhu setting terlalu tinggi
sosis. maka pembentukan gel akan kurang bagus.
Minyak sayur dan lemak gajih Tepung tapioka berperan sebagai
memberikan dampak yang hampir sama pada bahan pengisi sosis, dimana berperan sebagai
penampakan, dengan penambahan emulsifier pengisi protein myofibril. Tepung
yang berbeda. Fungsi emulsifier di sini berinteraksi dengan protein secara tidak
adalah sebagai agen yang penstabil dan langsung maupun mempengaruhi formasi
pembentuk gel, sehingga penampakan akhir protein dimana proses pemasakan yang
dari sosis utuh, rapi, dan ketebalan merata. terlebih dahulu adalah gelasi protein diikuti
Penambahan lemak gajih terlihat lebih dengan mengembangnya tapioka.
lembab (moist) dan spongy (berongga). 4.1.4. Aroma
Selain itu daya kerja masing-masing Dari Tabel 5. di atas menunjukkan
emulsifier terutama disebabkan oleh bentuk bahwa nilai tertinggi dimiliki oleh kontrol,
molekulnya yang dapat terikat baik pada tanpa penambahan emulsifier. Hal ini diduga
minyak maupun air, maka dapat membantu pengaruh interaksi antara emulsifier dengan
terjadinya dispersi minyak dalam air bahan yang lain menghasilkan aroma baru
sehingga terjadilah emulsi minyak dalam air yang cenderung lebih tidak disukai
(o/w) atau sebaliknya emulsi air dalam dibandingkan dengan aroma ketika belum
minyak (w/o). ditambahkan emulsifier. Perbedaan aroma
4.1.3. Tekstur ini juga disebabkan oleh perbedaan cara
Dari Tabel 5 di atas, dtunjukkan memasak.
bahwa, penambahan emulsifier berupa Untuk emulsifier gelatin dan ISP,
minyak sayur dan lemak gajih berpengaruh memiliki nilai 5 (untuk minyak sayur, yang
terhadap tekstur yang dihasilkan. Pada berarti aromanya netral) dan 4 (untuk lemak
kontrol yang ditambahkan minyak sayur, gajih, yang berarti agak tidak suka). Hal ini
medapatkan nilai 4 yang berarti kriterianya dapat disebabkan oleh karena sifat lemak
agak kurang disukai, namun pada kontrol yang mudah menyerap bau. Kemungkinan
yang ditambahkan lemak gajih memberikan lain adalah jika bahan pembungkus sosis
hasil yang lebih baik, yaitu nilai 7 dapat menyerap lemak yang terserap ini akan
dibandingkan dengan gelatin dan ISP (nilai teroksidasi oleh udara sehingga rusak dan
tertingginya adalah 6). Fenomena pada berbau. Bau dari bagian lemak yang rusak ini
kelompok kontrol menunjukkan bahwa akan diserap oleh lemak yang ada dalam
tekstur yang dimiliki sosis adalah suka. Hal bungkusan yang mengakibatkan seluruh
ini di duga bahwa perbedaan emulsifier yang lemak menjadi rusak.
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)
47
lebih rendah dibandingkan dengan kurang bagus.
penambahan emulsifier. Artinya, interaksi Uji gigit tertinggi juga dimiliki oleh
yang ada antara bahan dan emulsifier sosis dengan penambahan ISP sebagai
memberikan dampak pada rasa, yang emulsifier. Meskipun nilai yang didapatkan
mempengarihi tingkat kesukaan konsumen. masih relatif rendah yaitu 5 yang berarti
Jenis emulsifier terlihat tidak begitu jauh dapat diterima, sedikit kuat. Namun itu sudah
memberikan efek yang berbeda terhadap menunjukkan bahwa penggunaan emulsifier
tingkat kesukaan panelis. mampu meningkatkan elastisitas sosis yang
dihasilkan.
4.3 Uji Fisik
Uji fisik disini meliputi uji lipat dan uji V. PENUTUP
gigit sosis yang dihasilkan dapat dilihat pada 5.1. Kesimpulan
Tabel 7. Dari hasil praktikum yang dilakukan,
Tabel 7. Hasil uji lipat dan uji gigit sosis maka ada beberapa kesimpulan yang dapat
Perlakuan Uji Lipat Uji Gigit diambil, yaitu :
Kelompok 1 1. Emulsifier yang digunakan dalam
Gelatin+minyak 3 5 pembuatan sosis seperti gelatin dan
Gelatin+gajih 2 3
ISP, berpengaruh terhadap
Kelompok 2
ISP + minyak 3 5
penampakan, tekstur, rasa dan aroma
ISP + gajih 3 5 yang dihasilkan secara hedonik dan
Kelompok 3 uji kesukaan maupun uji fisik.
Kontrol + minyak 1 4 2. Penggunaan ISP cenderung
Kontrol + gajih 2 5 memberikan hasil lebih baik
Hasil uji lipat selaras dengan hasil uji dibandingkan gelatin meskipun
hedonik dimana nilai tertinggi dimiliki oleh tidak jauh berbeda dengan kontrol
sosis dengan penambahan ISP sebagai (tanpa penambahan emulsifier).
emulsifier. Di sini menunjukkan bahwa 3. Lemak hewan dan lemak nabati yang
dengan interaksi yang ada dengan semua ditambahkan menghasilkan
bahan, ISP cenderung memberikan hasil komponen adonan yang berbeda
pembentukan gel yang lebih baik. dalam sosis.
Kemampuan pembentukan gel ini tercermin
dalam tekstur yang dihasilkan. Uji lipat 5.2. Saran
dengan nilai 3 artinya bahwa sosis retak 1. Perlu penelusuran lebih mendalam
berangsur-angsur setelah dilipat menjadi tentang pengaruh dan peranan lemak
setengah lingkaran. Pengaruh penggunaan dan minyak dalam diversifikasi
emulsifier jelas terlihat dari nilai kontrol produk hasil perikanan lainnya.
dimana nilai uji lipat hanya 1 dan 2 dari jenis 2. Dengan teknologi pangan yang
lemak yang berbeda. Nilai yang cenderung sudah maju dan modern, perlu
masih sedang atau belum pada tahap baik dikembangkannya sumberdaya alam
(nilai 5) kemungkinan disebabkan juga oleh hasil laut yang belum dimanfaatkan
proses pemasakan yang kurang tepat secara optimal sehingga dapat
sehingga kemampuan pembentukan gel juga menghasilkan nilai ekonomis.
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)
DAFTAR PUSTAKA
Amano, K.1963. Fish Sausage Manufacturing. G. Borgstrom (Eds.) Dalam Fish as Food
Volume III. New York. Academic Press.
Afrianto, E. 1995. Pengaruh Jenis Bahan Baku, Lama Penyimpanan Beku Dan Metode
Pengasapan Terhadap Karakteristik sosis Ikan. Tesis. Program Pasca Sarjana, IPB.
Bogor.
Bacus J., 1984. Utilization of Microorganisms in Meat Processing. Reasearch Studies Press
Ltd. England
Cheng, C.S., D.D. Hamann, N.E. Webb and V. Sidwell. 1979. Effect Of Species And Storage
Time In Minced Fish Gel Texture. Journal Food Science. 44 (4) : 1087-1092.
Fennema, O.R. 1976. Principle of Food Science. New York. Marcel Deker Inc.
Forrest JC, Alberen ED, Hedrick HB, Judge MD, Merkel RA., 1975. Principle of Meat
Science. W.H. Freeman and Co. San Francisco.
Haq, N., Ninoek I., N. E. Irianto and Suparno. 1994. Pengaruh Konsentrasi Garam Terhadap
Mutu Sosis Ikan Fermentasi. Jurnal Penelitian Pasca Panen Perikanan, No. 78: 60 -
65.
Hall. G.M dan N.H. Ahmad. 1992. Surimi and Fish Mince Products. Dalam G.M. Hall (Eds).
Fish Processing Tecnology. New York . Blackie Academic and Profesional.
Ilyas S., 1983. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan : Teknik Pendinginan Ikan. C.V.
Paripurna. Jakarta.
Ilyas, S. dan Suparno, 1993. Penelitian dan Pengembangan Limbah Pertanian dalam Limbah,
F.G. Winarno, A.F.S.Boedimen, T. Silitonga dan B.Soewardi (Eds). Jakarta. Kantor
Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Pangan.
Kramlich WE., Pearson, AM, dan F.W Tauber. 1973. Processed Meats. AVI Connecticut.
Publishing Company, Westport.
Kramlich WE., Pearson, AM, dan F.W Tauber. 1971. Processed Meats. AVI Connecticut.
Publishing Company, Westport.
Kateren S.1986. Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Romans JR.William JC, Carlos W, Marion LG, Jones KK. 1994. The Meat We Eat 3rd ed.
Illinois: Interstate Publishers, Inc.
Okada, M. 1990. Chemistry of Meat Tissue. Animal Science Departement. The Ohio State
University dalam Surimi Tecnology. Editor: T.C. Lanier dan C.M.Lee. New York.
Marcel Dekker, Inc.
Radley JA. 1976. Starch Production Technology. London: Applied Science Publishher Ltd.
Soeparno. 1994. Ilmu dan technology Daging. Yogayakarta: Gadjah Mada University Press.
Soeparno. 1992. Ilmu dan technology Daging. Yogayakarta: Gadjah Mada University Press.
Soekarto, Hubest. 2000. Metodologi Penelitian Organoleptik. Program Studi Ilmu Pangan.
IPB.
49
Standar Nasional Indonesia. 1995. Sosis Daging. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.01-
3820-1995.
Suzuki, T.1981. Fish and krill protein. Dalam Processing Tecnology. London. Applied
Science Publishing. Ltd.
ABSTRAK
51
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)
52
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)
53
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)
54
Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 2 Edisi 1 (Mei 2009)
dinilai layak untuk dikembangkan. Setiap Dengan nilai B/C > 0, berarti usaha ini
penambahan biaya Rp. 1,00 akan layak dan dapat memberikan tambahan
memperoleh penerimaan Rp. 1,57. keuntungan sebesar Rp. 0.57 dari setiap
3.2.3. B/C (Benefit Cost Rasio) penambahan biaya Rp. 1,00. Keuntungan
Benefit Cost Ratio (B/C) diperoleh dari mencapai 29% dari biaya yang dikeluarkan
selisih total keuntungan sebesar
Rp.8.911.974 dan Total biaya Rp.15.588.026 IV. KESIMPULAN
dan hasilnya 0,57.
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Usaha ayam ras pedaging Pada
Kelompok Tani Tunas Inti di Kelurahan Kalumata Kota Ternate Selatan diperoleh BEP
(Break Event Point) Untuk volume produksi sebesar Rp. 1.039,2 , untuk harga produksi
sebesar Rp. 12.990, Return Cost Rasio 1,57 dan Benefit Cost Rasio sebesar 0,57.
DAFTAR PUSTAKA
Daniel. M., 2002, Pengantar Ekonomi Pertanian PT. Bumi Aksara. Jakarta.
Direktorat Budidaya Ternak Non Ruminansia 2007, Media Budidaya Ternak Unggas dan
Aneka Ternak.
Johari. S., 2004, Sukses Beternak Ayam Ras Petelur, PT. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Nuraeni I., M.Ed, 2002. Manajemen Agribisnis, Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Bogor.
Siagian. M., 2002, Pengantar Manajemen Agribisnis Gajah Mada University Press.
Soekartawi., 2003, Teori Ekonomi Produksi, PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
55