You are on page 1of 4

MEMBANGUN REZIM ANTI PENCUCIAN UANG DI INDONESIA

Oleh : Raimond Flora Lamandasa, SH *)

Hari ini, Selasa tanggal 20 Juni 2007 bertempat di Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada – Yogyakarta diadakan seminar sehari tentang pencucian uang (money
laundering), kerjasama antara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Memang sejak diundangkannya
UU No.15 tahun 2002 yang telah dirubah dengan UU No.25 tahun 2003, istilah money
laundering di Indonesia semakin menggaung. Salah satu penyebabnya adalah karena
sejak tahun 2001, Indonesia dimasukkan dalam daftar hitam (black list) Financial Action
Task Force (FATF) suatu lembaga yang dibentuk oleh negara-negara G7, dimana
Indonesia dinyatakan sebagai salah satu surga tempat pencucian uang di dunia.
Dampak dimasukannya Indonesia dalam black list ini salah satunya dari sisi ekonomis
terjadi peningkatan biaya transaksi lembaga keuangan domestik, dan dari sisi politis
memperburuk citra Indonesia dimata internasional. Masuknya Indonesia dalam black list
ini disebabkan karena tingginya angka korupsi, perdagangan narkotika, drugs dan
psikotropika, illegal logging, penyelundupan orang dan barang, trafficking dan
smuggling.

Lalu apa yang dimaksud dengan money laundering itu? Tidak ada definisi yang
universal dan komprehensif mengenai apa yang disebut pencucian uang atau money
laundering. Pihak penuntut dan lembaga penyidikan kejahatan, kalangan pengusaha
dan perusahaan, negara-negara yang telah maju, dan negara-negara dari dunia ketiga,
masing-masing mempunyai definisi sendiri berdasarkan prioritas dan perspektif yang
berbeda. Definisi untuk tujuan penuntutan lebih sempit dibandingkan dengan definisi
untuk tujuan penyidikan.

Prof. Sutan Remi Sjahdeini, salah seorang pakar hukum perbankan di Indonesia
mengemukakan bahwa pencucian uang atau money laundering adalah rangkaian
kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi
terhadap uang haram yaitu uang yang berasal dari kejahatan, dengan maksud untuk
menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau
otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana dengan cara
terutama memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system)
sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai
uang yang halal.

Definisi diatas cukup lengkap namun terlalu panjang, untuk itu penulis secara singkat
menyimpulkan bahwa pencucian uang (money laundering) adalah upaya untuk
melegalkan penghasilan illegal (legitimizing illegitimate income). Penghasilan illegal
tersebut berasal dari hasil tindakan-tindakan kejahatan berupa : korupsi, penyuapan,
penyelundupan, transaksi perbankan, pasar modal, asuransi, narkotika, psikotropika,
terorisme, pemalsuan uang, judi dan atau prostitusi. Pasal 2 UU No.15 tahun 2002
mengkualifisir 24 jenis tindak kejahatan yang menjadi sumber asal terjadinya uang untuk
tindakan money laundering.

Selanjutnya, apa dampak dari terjadinya pencucian uang itu? Pencucian uang
membawa dampak yang sangat besar baik dari sisi ekonomi maupun dari sisi hukum
dan sosial. Dari sisi ekonomi, ia bisa menyebabkan instabilitas sistem keuangan,
mendistorsi sistem persaingan bebas, mempersulit pengendalian moneter serta
meningkatnya country risk. Faktanya dikehidupan sehari-hari, terjadilah peningkatan
biaya sosial (social cost) diseluruh aspek kehidupan. Sedangkan dari sisi hukum dan
sosial, pencucian uang mengakibatkan meningkatnya kejahatan baik kuantitas maupun
kualitas yang pada akhirnya menimbulkan kerawanan sosial. Mengapa kejahatan
meningkat? Karena uang hasil dari kejahatan itu akan dijadikan sebagai sumber dana
terhadap kejahatan-kejahatan lainnya. Sehingga terjadilah lingkaran setan yang sulit
diputus rangkaiannya.

Lalu mengapa tindakan pencucian uang menjadi marak dan tumbuh begitu subur ?
Tentang hal ini Prof. Sutan Remi Sjahdeini menyatakan ada 9 faktor penyebabnya, yaitu
:

1. Globalisasi, telah menghilangkan sekat-sekat dan isolasi antar negara, sehingga


apa yang terjadi di belahan dunia yang satu pada saat yang bersamaan juga
langsung sampai ke belahan dunia lainnya.
2. Kemajuan teknologi yang sangat cepat sangat memungkinkan terjadinya hal ini
karena hampir tidak ada lagi aspek kehidupan yang tidak dijangkau dengan
teknologi, khususnya teknologi informatika.
3. Ketentuan rahasia bank yang sangat ketat dari negara yang bersangkutan.
4. Dimungkinkannya oleh ketentuan perbankan seseorang menyimpan dana di
suatu bank dilakukan dengan menggunakan nama samaran atau tanpa nama
(anonim).
5. Munculnya jenis uang baru yang disebut electronic money atau E-money, yaitu
sehubungan dengan maraknya electronic commerce atau e-commerce melalui
internet. Money laundering yang dilakukan dengan menggunakan jaringan
internet, yang disebut pula dengan Cyberspace, disebut Cyberlaundering.
6. Dimungkinkannya layering (pelapisan) dalam perbankan dimana pihak yang
menyimpan dana di bank (nasabah penyimpan dana atau deposan bank)
bukanlah pemilik yang sesungguhnya dari dana itu. Deposan tersebut hanyalah
sekedar bertindak sebagai kuasa atau pelaksana amanah dari pihak lain yang
menugasinya untuk mendepositokan uang itu di sebuah bank. Sering pula terjadi
bahwa pihak lain tersebut juga bukan pemilik yang sesungguhnya dari dana itu,
tetapi hanya sekadar menerima amanah atau kuasa dari seseorang atau pihak
lain yang menerima kuasa dari pemilik yang sesungguhnya. Dengan kata lain,
penyimpan dana tersebut juga tidak mengetahui siapa pemilik yang
sesungguhnya dari dana tersebut, karena dia hanya mendapat amanah dari
kuasa pemilik. Bahkan sering terjadi bahwa orang yang memberi amanat kepada
penyimpan dana yang memanfaatkan uang itu di bank ternyata adalah lapis
yang kesekian sebelum sampai kepada pemilik yang sesungguhnya. Dengan
kata lain, terjadi estafet secara berlapis-lapis. Biasanya para penerima kuasa
yang bertindak berlapis-lapis secara estafet itu adalah kantor-kantor pengacara.
7. Berlakunya ketentuan hukum berkenaan dengan kerahasiaan hubungan antara
lawyer dan kliennya, dan antara akuntan dan kliennya. Dana simpanan di bank-
bank sering diatasnamakan suatu kantor pengacara. Menurut hukum di
kebanyakan negara yang telah maju, kerahasiaan hubungan antara klien dan
lawyer dilindungi oleh undang-undang. Para lawyer yang menyimpan dana
simpanan di bank atas nama kliennya tidak dapat dipaksa oleh otoritas yang
berwenang untuk mengungkapkan identitas kliennya.
8. Karena pemerintah dari negara yang bersangkutan tidak pernah bermaksud
bersungguh-sungguh untuk memberantas praktik-praktik money laundering yang
dilakukan melalui sistem perbankan di negara tersebut. Dengan kata lain,
pemerintah yang bersangkutan memang dengan sengaja membiarkan praktik-
praktik money laundering itu berlangsung di negara tersebut, karena negara
yang bersangkutan memperoleh keuntungan dari dilakukannya penempatan
uang-uang haram itu di perbankan negara tersebut. Keuntungan yang diperoleh
misalnya, terkumpulnya dana di perbankan negara tersebut yang sangat
diperlukan untuk membiayai pembangunan, atau terkumpulnya dana itu
memungkinkan perbankan negara tersebut memperoleh banyak keuntungan dari
penyaluran dana itu, yang lebih lanjut akan dapat memberikan kontribusi berupa
pajak yang besar kepada negara.
9. Karena tidak dikriminalisasikannya perbuatan pencucian uang di negara yang
bersangkutan. Dengan kata lain, negara yang bersangkutan tidak memiliki
undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang
menentukan perbuatan pencucian uang sebagai tindak pidana. Belum adanya
undang-undang tentang pemberantasan tindak pencucian uang di negara
tersebut biasanya juga karena adanya keengganan dari negara tersebut untuk
bersungguh-sungguh ikut memberantas praktik money laundering di negaranya
masing-masing.

Kembali ke Indonesia, pertanyaan bagi kita ialah bagaimana mencegah atau setidak-
tidaknya mengurangi angka praktek pencucian uang ? Secara kelembagaan,
berdasarkan UU No.15 tahun 2002, presiden memang telah membentuk Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai lembaga independent
yang bertugas khusus sebagai lembaga sentral intelligent keuangan, regulator dibidang
anti pencucian uang serta sebagai focal point pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pencucian uang (TPPU). Dalam rangka tugas-tugas ini PPATK akan melakukan
analisis keuangan (analisa atas cash flow) dari siapapun berdasarkan laporan-laporan
dari penyedia jasa keuangan (PJK) seperti bank, pasar modal, asuransi dan lain-lain.
Selanjutnya hasil analisis ini akan diserahkan kepada penyidik dan penuntut umum
untuk dilakukan proses hukum selanjutnya.

Dari data PPATK per tanggal 16 April 2007, telah masuk laporan 8.168 kasus,
seluruhnya dari PJK yang didominasi dari PJK perbankan. Dari masyarakat umum baik
perorangan maupun kolektif belum ada laporan. Dan dari angka itu telah dianalisa oleh
PPATK sebanyak 705 kasus, dan 466 kasus diantaranya telah diserahkan kepada
aparat penegak hukum untuk di proceed. Ini menunjukan bahwa selama adanya PPATK
telah cukup direspons oleh PJK-PJK yang ada, tetapi itu belumlah cukup mengingat
tingginya angka kasus-kasus hukum seperti korupsi, narkoba, penyelundupan, dan lain-
lain saat ini. Untuk itu sangat diharapkan dukungan, peran serta partisipasi aktif dari
semua pihak baik dari PJK maupun masyarakat umum untuk aktif melaporkan adanya
indikasi mencurigakan telah terjadinya praktek pencucian uang. Tak perlu segan atau
takut memberikan laporan adanya indikasi praktek pencucian uang, karena pelapor
sepenuhnya dilindungi oleh UU. Negara akan memberikan perlindungan baik terhadap
diri pribadi maupun terhadap keluarga pelapor. Mekanisme perlindungan ini secara rinci
terdapat dalam UUNo.15 tahun 2002 yang telah diubah dengan UU N.25 tahun 2003
dengan pembiayaan oleh negara. Jadi ingin penulis sampaikan bahwa keberhasilan kita
menekan angka kejahatan pencucian uang di Indonesia tidak semata menjadi tanggung
jawab PPATK tetapi menjadi tanggung jawab kita bersama seluruh warga Negara
Indonesia, tidak terkecuali. Spirit anti money laundering (AML) perlu ditumbuh-
kembangkan diantara kita. Perlu sinergis yang lebih efektif antara PPATK, penegak
hukum dengan seluruh warga Negara Indonesia. Diharapkan dengan partisipasi aktif
ini tidak akan terjadi lagi kasus-kasus kebocoran dana Negara sehingga pembangunan
disegala bidang demi kesejahteraan dan kemaslahatan seluruh rakyat Indonesia
kembali kepada track yang sebenarnya.

Tulisan ini dibuat hanya untuk : www.manadopos.com

*) Raimond Flora Lamandasa, SH adalah mahasiswa S2 MagisterKenotariatan


Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tinggal Jl. Jetisharjo No.560, Jetis II Yogyakarta.

You might also like