You are on page 1of 61

 Sumber: infogue

 Apa itu mahasiswa

Apa yang sebaiknya dilakukan oleh seorang mahasiswa?Pertanyaan ini mengandaikan adanya satu

konsep tentang mahasiswa. Untuk dapat menjawabnya perlu diketahui lebih dahulu apa itu

mahasiswa. Setelah itu dapat diketahui apa keutamaan mahasiswa dan bagaimana sebaiknya mereka

berlaku.Mahasiswa secara harafiah adalah orang yang belajar di perguruan tinggi, entah di universitas,

institut atau akademi. Mereka yang terdaftar sebagai murid di perguruan tinggi otomatis dapat disebut

sebagai mahasiswa. Tetapi pada dasarnya makna mahasiswa tidak sesempit itu. Terdaftar sebagai

pelajar di sebuah perguruan tinggi hanyalah syarat administratif menjadi mahasiswa. Menjadi

mahasiswa mengandung pengertian yang lebih luas dari sekedar masalah administratif.

Sumber: global media link


Peranan media massa
Pendahuluan
Tak terbayangkan kehidupan di dunia ini tanpa sarana penyiaran berita, tanpa pelapor
berita, tanpa wartawan, tanpa suratkabar, tanpa jurufoto, tanpa televisi, tanpa
jurukamera, tanpa radio, dan sekarang tanpa internet. Singkatnya, tanpa keberadaan
komunikasi massa, yang lebih popular dengan istilah ‘media massa’.

Bayangkan seandainya serbuan Amerika terhadap Irak, di tengah ketiadaan media


massa, baru diketahui dua minggu atau sebulan kemudian dari cerita mulut ke mulut.
Barangkali reaksi masyarakat internasional tidak akan sekeras yang kita lihat
tempohari. Namun, karena ekseistensi media massa plus perkembangan teknologi
komunikasi-informasi yang begitu pesat, hampir semua peristiwa di mana pun di
dunia ini bisa tersebar luas beritanya dalam hitungan menit, kalau tidak detik.

sumber : komunitas muslim muda (al-fikr)
EFEK KOMUNIKASI MASSA: KOGNITIF, AFEKTIF & BEHAVIORAL
31 12 2007

Oleh: Muhammad “Yudin” Taqiyuddin

Ada tiga dimensi efek komunikasi massa, yaitu: kognitif, afektif, dan konatif.

Efek kognitif meliputi peningkatan kesadaran, belajar, dan tambahan pengetahuan.

Efek efektif berhubungan dengan emosi, perasaan, dan attitude (sikap). Sedangkan
efek konatif berhubungan dengan perilaku dan niat untuyk melakukan sesuatu

menurut cara tertentu.<!--[if !supportFootnotes]-->[1]<!--[endif]-->

<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Efek Kognitif

Efek kognitif adalah akibat yang timbul pada diri komunikan yang

sifatnya informative bagi dirinya. Dalam efek kognitif ini akan

dibahas tentang bagaimana media massa dapat membantu

khalayak dalam mempelajari informasi yang bermanfaat dan

mengembangkan keterampilan kognitif. Melalui media massa, kita

memperoleh informasi tentang benda, orang atau tempat yang

belum pernah kita kunjungi secara langsung.<!--[if !supportFootnotes]--

>[2]<!--[endif]-->

Seseorang mendapatkan informasi dari televisi, bahwa “Robot Gedek” mampu

melakukan sodomi dengan anak laki-laki di bawah umur. Penonton televisi, yang

asalnya tidak tahu menjadi tahu tentang peristiwa tersebut. Di sini pesan yang

disampaikan oleh komunikator ditujukan kepada pikiran komunikan. Dengan kata

lain, tujuan komunikator hanya berkisar pada upaya untuk memberitahu saja.

Menurut Mc. Luhan<!--[if !supportFootnotes]-->[3]<!--[endif]-->, media

massa adalah perpanjangan alat indera kita (sense extention

theory; teori perpanjangan alat indera)<!--[if !supportFootnotes]-->[4]<!--

[endif]-->. Dengan media massa kita memperoleh informasi tentang

benda, orang atau tempat yang belum pernah kita lihat atau belum

pernah kita kunjungi secara langsung. Realitas yang ditampilkan


oleh media massa adalah relaitas yang sudah diseleksi. Kita

cenderung memperoleh informasi tersebut semata-mata

berdasarkan pada apa yang dilaporkan media massa. Televisi sering

menyajikan adegan kekerasan, penonton televisi cenderung

memandang dunia ini lebih keras, lebih tidak aman dan lebih

mengerikan.

Karena media massa melaporkan dunia nyata secara selektif, maka sudah tentu

media massa akan mempengaruhi pembentukan citra tentang lingkungan sosial yang

bias dan timpang. Oleh karena itu, muncullah apa yang disebut stereotip, yaitu

gambaran umum tentang individu, kelompok, profesi atau masyarakat yang tidak

berubah-ubah, bersifat klise dan seringkali timpang dan tidak benar. Sebagai contoh,

dalam film India, wanita sering ditampilkan sebagai makhluk yang cengeng, senang

kemewahan dan seringkali cerewet.<!--[if !supportFootnotes]-->[5]<!--[endif]-->

Penampilan seperti itu, bila dilakukan terus menerus, akan menciptakan stereotipe

pada diri khalayak Komunikasi Massa tentang orang, objek atau lembaga. Di sini

sudah mulai terasa bahayanya media massa. Pengaruh media massa lebih kuat lagi,

karena pada masyarakat modern orang memperoleh banyak informasi tentang dunia

dari media massa.

Sementara itu, citra terhadap seseorang, misalnya, akan terbentuk (pula) oleh

peran agenda setting (penentuan/pengaturan agenda). Teori ini dimulai dengan suatu

asumsi bahwa media massa menyaring berita, artikel, atau tulisan yang akan

disiarkannya.<!--[if !supportFootnotes]-->[6]<!--[endif]--> Biasanya, surat kabar

mengatur berita mana yang lebih diprioritaskan. Ini adalah rencana mereka yang

dipengaruhi suasana yang sedang hangat berlangsung. Sebagai contoh, bila satu
setengah halaman di Media Indonesia memberitakan pelaksanaan Rapat Pimpinan

Nasional Partai Golkar, berarti wartawan dan pihak redaksi harian itu sedang

mengatur kita untuk mencitrakan sebuah informasi penting. Sebaliknya bila di

halaman selanjutnya di harian yang sama, terdapat berita kunjungan Megawati

Soekarno Putri ke beberapa daerah, diletakkan di pojok kiri paling bawah, dan itu pun

beritanya hanya terdiri dari tiga paragraf. Berarti, ini adalah agenda setting dari media

tersebut bahwa berita ini seakan tidak penting. Mau tidak mau, pencitraan dan sumber

informasi kita dipengaruhi agenda setting.

Media massa tidak memberikan efek kognitif semata, namun ia memberikan

manfaat yang dikehendaki masyarakat. Inilah efek prososial. Bila televisi

menyebabkan kita lebih mengerti bahasa Indonesia yang baik dan benar, televisi telah

menimbulkan efek prososial kognitif. Bila majalah menyajikan penderitaan rakyat

miskin di pedesaan, dan hati kita tergerak untuk menolong mereka, media massa telah

menghasilkan efek prososial afektif. Bila surat kabar membuka dompet bencana alam,

menghimbau kita untuk menyumbang, lalu kita mengirimkan wesel pos (atau,

sekarang dengan cara transfer via rekening bank) ke surat kabar, maka terjadilah efek

prososial behavioral.<!--[if !supportFootnotes]-->[7]<!--[endif]-->

<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Efek Afektif

Efek ini kadarnya lebih tinggi daripada Efek Kognitif. Tujuan dari komunikasi

massa bukan hanya sekedar memberitahu kepada khalayak agar menjadi tahu tentang

sesuatu, tetapi lebih dari itu, setelah mengetahui informasi yang diterimanya,

khalayak diharapkan dapat merasakannya<!--[if !supportFootnotes]-->[8]<!--[endif]--


>. Sebagai contoh, setelah kita mendengar atau membaca informasi artis kawakan

Roy Marten dipenjara karena kasus penyalah-gunaan narkoba, maka dalam diri kita

akan muncul perasaan jengkel, iba, kasihan, atau bisa jadi, senang. Perasaan sebel,

jengkel atau marah daat diartikan sebagai perasaan kesal terhadap perbuatan Roy

Marten. Sedangkan perasaan senang adalah perasaan lega dari para pembenci artis

dan kehidupan hura-hura yang senang atas tertangkapnya para public figure yang

cenderung hidup hura-hura. Adapun rasa iba atau kasihan dapat juga diartikan sebagai

keheranan khalayak mengapa dia melakukan perbuatan tersebut.

Berikut ini faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya efek afektif dari

komunikasi massa.

1. Suasana emosional

Dari contoh-contoh di atas dapat disimpulkan bahwa respons kita terhadap

sebuah film, iklan, ataupun sebuah informasi, akan dipengaruhi oleh suasana

emosional kita. Film sedih akan sangat mengharukan apabila kita

menontonnya dalam keadaan sedang mengalami kekecewaan. Adegan-adegan

lucu akan menyebabkan kita tertawa terbahak-bahak bila kita menontonnya

setelah mendapat keuntungan yang tidak disangka-sangka.

1. Skema kognitif

Skema kognitif merupakan naskah yang ada dalam pikiran kita yang

menjelaskan tentang alur eristiwa. Kita tahu bahwa dalam sebuah film action,

yang mempunyai lakon atau aktor/aktris yang sering muncul, pada akahirnya

akan menang. Oleh karena itu kita tidak terlalu cemas ketika sang pahlawan

jatuh dari jurang. Kita menduga, asti akan tertolong juga.


<!--[if !supportLists]-->c. <!--[endif]-->Situasi terpaan (setting of
exposure)

Kita akan sangat ketakutan menonton film Suster Ngesot, misalnya,


atau film horror lainnya, bila kita menontontonnya sendirian di
rumah tua, ketika hujan labt, dan tiang-tiang rumah berderik.
Beberpa penelitian menunjukkan bahwa anak-anak lebih ketakutan
menonton televisi dalam keadaan sendirian atau di tempat gelap.
Begitu pula reaksi orang lain pada saat menonton akan
mempengaruhi emosi kita pada waktu memberikan respons.

1. Faktor predisposisi individual

Faktor ini menunjukkan sejauh mana orang merasa terlibat dengan


tokoh yang ditampilkan dalam media massa. Dengan identifikasi
penontotn, pembaca, atau pendengar, menempatkan dirinya dalam
posisi tokoh. Ia merasakan apa yang dirasakan toko. Karena itu,
ketika tokoh identifikasi (disebut identifikan) itu kalah, ia juga
kecewa; ketika ientifikan berhasil, ia gembira.

<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Efek Behavioral

Efek behavioral merupakan akibat yang timbul pada diri khalayak dalam bentuk

perilaku, tindakan atau kegiatan. Adegan kekerasan dalam televisi atau film akan

menyebabkan orang menjadi beringas. Program acara memasak bersama Rudi

Khaeruddin, misalnya, akan menyebabkan para ibu rumah tangga mengikuti resep-

resep baru. Bahkan, kita pernah mendengar kabar seorang anak sekolah dasar yang

mencontoh adegan gulat dari acara SmackDown yang mengakibatkan satu orang

tewas akibat adegan gulat tersebut. Namun, dari semua informasi dari berbagai media

tersebut tidak mempunyai efek yang sama.


Radio, televisi atau film di berbagai negara telah digunakan sebagai media

pendidikan. Sebagian laporan telah menunjukkan manfaat nyata dari siaran radio,

televisi dan pemutaran film.<!--[if !supportFootnotes]-->[9]<!--[endif]--> Sebagian

lagi melaporkan kegagalan. Misalnya, ketika terdapat tayangan kriminal pada

program “Buser” di SCTV menayangkan informasi: anak SD yang melakukan bunuh

diri karena tidak diberi jajan oleh orang tuanya. Sikap yang diharapkan dari berita

kriminal itu ialah, agar orang tua tidak semena-mena terhadap anaknya<!--[if !

supportFootnotes]-->[10]<!--[endif]-->, namun apa yang didapat, keesokan atau

lusanya, dilaporkan terdapat berbagai tindakan sama yang dilakukan anak-anak SD.

Inilah yang dimaksud perbedaan efek behavior. Tidak semua berita, misalnya, akan

mengalami keberhasilan yang merubah khalayak menjadi lebih baik, namun pula bisa

mengakibatkan kegagalan yang berakhir pada tindakan lebih buruk.

Mengapa terjadi efek yang berbeda? Belajar dari media massa memang tidak

bergantung hanya ada unsur stimuli dalam media massa saja. Kita memerlukan teori

psikologi yang menjelaskan peristiwa belajar semacam ini. Teori psikolog yang dapat

mnejelaskan efek prososial adalah teori belajar sosial dari Bandura. Menurutnya, kita

belajar bukan saja dari pengelaman langsung, tetapi dari peniruan atau peneladanan

(modeling). Perilaku merupakan hasil faktor-faktor kognitif dan lingkungan. Artinya,

kita mampu memiliki keterampila tertentu, bila terdapat jalinan positif antara stimuli

yang kita amati dan karakteristik diri kita.

Bandura menjelaskan proses belajar sosial dalam empat tahapan proses: proses

perhatian, proses pengingatan (retention), proses reproduksi motoris, dan proses

motivasional.

Permulaan proses belajar ialah munculnya peristiwa yang dapat diamati secara
langsung atau tidak langsung oleh seseorang. Peristiwa ini dapat berupa tindakan

tertentu (misalnya menolong orang tenggelam) atau gambaran pola pemikiran, yang

disebut Bandura sebagai “abstract modeling” (misalnya sikap, nilai, atau persepsi

realitas sosial). Kita mengamati peristiwa tersebut dari orang-orang sekita kita.bila

peristiwa itu sudah dianati, terjadilah tahap pertama belajar sosial: perhatian. Kita

baru pata mempelajari sesuatu bila kita memperhatikannya. Setiap saat kita

menyaksikan berbagai peristiwa yang dapat kita teladani, namun tidak semua

peristiwa itu kita perhatikan.

Perhatian saja tidak cukup menghasilkan efek prososial. Khalayak harus sanggup

menyimpan hasil pengamatannya dalam benak benaknya dan memanggilnya kembali

ketika mereka akan bertindak sesuai dengan teladan yang diberikan. Untuk

mengingat, peristiwa yang diamati harus direkam dalam bentuk imaginal dan verbal.

Yang pertama disebut visual imagination, yaitu gambaran mental tentang peristiwa

yang kita amati dan menyimpan gambaran itu pada memori kita. Yang kedua

menunjukkan representasi dalam bentuk bahasa. Menurut Bandura, agar peristiwa itu

dapat diteladani, kita bukan saja harus merekamnya dalam memori, tetapi juga harus

membayangkan secara mental bagaimana kita dapat menjalankan tindakan yang kita

teladani. Memvisualisasikan diri kita sedang melakukan sesuatu disebut seabagi

“rehearsal”.

Selanjutnya, proses reroduksi artinya menghasilkan kembali perilaku atau

tindakan yang kita amati. Tetapi apakah kita betul-betul melaksanakan perilaku

teladan itu bergantung pada motivasi? Motivasi bergantung ada peneguhan. Ada tiga

macam peneguhan yang mendorong kita bertindak: peneguhan eksternal, peneguhan

gantian (vicarious reinforcement), dan peneguhan diri (self reinforcement). Pelajaran


bahasa Indonesia yang baik dan benar telah kita simpan dalam memori kita. Kita

bermaksud mempraktekkannya dalam percakapan dengan kawan kita. Kita akan

melakukan hanya apabila kita mengetahui orang lain tidak akan mencemoohkan kitam

atau bila kita yakin orang lain akan menghargai tindakan kita. Ini yang disebut

peneguhan eksternal. Jadi, kampanye bahasa Indoensia dalam TVRI dan surat kabar

berhasil, bila ada iklim yang mendorong penggunaan bahasa Indoensia yang baik dan

benar.

Kita juga akan terdorong melakukan perilaku teladan baik kita melihat orang lain

yang berbuat sama mendapat ganjaran karena perbuatannya. Secara teoritis, agak

sukar orang meniru bahasa Indonesia yang benar bila pejabat-pejabat yang memiliki

reutasi tinggi justru berbahasa Indonesia yang salah. Kita memerlukan peneguhan

gantian. Walaupun kita tidak mendaat ganjaran (pujian, penghargaan, status, dn

sebagainya), tetapi melihat orang lain mendapat ganjaran karena perbuatan yang ingin

kita teladani membantu terjadinya reproduksi motor.

Akhirnya tindakan teladan akan kita lakukan bila diri kita sendiri mendorong

tindakan itu. Dorongan dari diri sendiri itu mungkin timbul dari perasaan puas,

senang, atau dipenuhinya citra diri yang ideal. Kita akan mengikuti anjuran berbahasa

Indonesia yang benar bila kita yakin bahwa dengan cara itu kita memberikan

kontribusi bagi kelestarian bahasa Indonesia.

<!--[if !supportFootnotes]-->

<!--[endif]-->

<!--[if !supportFootnotes]-->[1]<!--[endif]--> Amri Jhi, Komunikasi Massa dan


Pembangunan Pedesaan di Negara-Negara Dunia Ketiga, (Jakarta:
PT. Gramedia, 1988)
<!--[if !supportFootnotes]-->[2]<!--[endif]--> Siti Karlinah, Komunikasi Massa,
(Jakarta: Penerbitan UT, 1999), H. 8.7

<!--[if !supportFootnotes]-->[3]<!--[endif]--> Wajar bila Mc Luhan menitik


beratkan pada medianya, karena kajian-kajiannya tentang
komunikasi terfokus pada media interaktif yang berbasiskan
mikroelektronika. Latar belakang pemikirannya ialah ada dampak
radikal bentuk-bentuk komunikasi yang berdimensi pada ruang,
waktu, dan persepsi manusia. Karya-karyanya secara luas
mengartikulasikan sejumlah perubahan paling mendasar yang
disebabkan teknologi media, maka wajar bila Mc Luhan
berpendapat, isi pesan tidak mempengaruhi pesan, karena
kajiannya bertumpu pada media pembawa pesan (lihat Antoni,
Riuhnya Persimangan Itu; Profil Pemikiran Para Penggagas Kajian
Ilmu Komunikasi, Solo: Tiga Serangkai, 2004)

<!--[if !supportFootnotes]-->[4]<!--[endif]--> Jalaluddin Rakhmat, Psikologi


Komunikasi [Edisi Revisi], (Bandung: Remaja Eosdakarya, 2007), h.
220

<!--[if !supportFootnotes]-->[5]<!--[endif]--> Jalaluddin Rakhmat, Op.Cit., h.


226

<!--[if !supportFootnotes]-->[6]<!--[endif]--> Ibid., h. 229

<!--[if !supportFootnotes]-->[7]<!--[endif]--> Ibid., h. 230

<!--[if !supportFootnotes]-->[8]<!--[endif]--> Siti Karlinah, Op.Cit., h. 8.9

<!--[if !supportFootnotes]-->[9]<!--[endif]--> Jalaluddin, Op.Cit., h. 240

<!--[if !supportFootnotes]-->[10]<!--[endif]--> www.liputan6.com, edisi online


11 April 2005

Ads by Google

Amalfi Coast Villas 4rent


Charming villas for rent in naples, amalfi coast, capri, praiano...
www.italy-rental-villa.net
Sumber: davidsanjaya.wordpress.com

Rasa ingin tahu manusia

terhadap hal-hal yang ada di sekitarnya sangatlah besar. Dari

zaman ke zaman dapat terlihat perubahan dalam suatu sistem

kebudayaan yang pastinya terdapat di masyarakat akibat dari rasa

ingin tahu manusia yang besar tersebut. Diawali dari rasa ingin tahu

itulah, manusia selalu mengeksplor apa yang ada di sekitarnya, baik

itu yang baik atau bahkan yang buruk, kemudian ingin

menyampaikan hasil pengeksplorasiannya selama ini kepada orang

lain. Bertahap dari komunikasi yang tadinya hanya bersifat

personal, kemudian dapat berkembang menjadi proses

penyampaian pesan yang bersifat masal, sehingga informasinya

menjadi lebih luas jangkauannya serta dapat merubah suatu pola

kehidupan masyarakat yang lebih luas lagi.

Media massa merupakan salah satu sarana untuk

pengembangan kebudayaan, bukan hanya budaya dalam

pengertian seni dan simbol tetapi juga dalam pengertian

pengembangan tata-cara, mode, gaya hidup dan norma-norma.

(Dennis McQuil, 1987:1). Media massa sangat berperan dalam

perkembangan atau bahkan perubahan pola tingkah laku dari suatu


masyarakat, oleh karena itu kedudukan media massa dalam

masyarakat sangatlah penting. Dengan adanya media massa,

masyarakat yang tadinya dapat dikatakan tidak beradab dapat

menjadi masyarakat yang beradab. Hal itu disebabkan, oleh karena

media massa mempunyai jaringan yang luas dan bersifat massal

sehingga masyarakat yang membaca tidak hanya orang-perorang

tapi sudah mencakup jumlah puluhan, ratusan, bahkan ribuan

pembaca, sehingga pengaruh media massa akan sangat terlihat di

permukaan masyarakat.

Mengingat kedudukan media massa dalam perkembangan

masyarakat sangatlah penting, maka industri media massa pun

berkembang pesat saat ini. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya

stasiun televisi, stasiun radio, perusahaan media cetak, baik itu

surat kabar, majalah, dan media cetak lainnya. Para pengusaha

merasa diuntungkan dengan mendirikan perusahaan yang bergerak

di bidang media massa seperti itu. Hal itu disebabkan karena

mengelola perusahaan dengan jenis spesifikasi mengelola media

massa adalah usaha yang akan selalu digemari masyarakat

sepanjang masa, karena sampai kapanpun manusia akan selalu

haus akan informasi.

Tugas dan fungsi pers adalah mewujudkam keinginan

kebutuhan informasi melalui medianya baik melalui media cetak

maupun media elektronik seperti, radio, televisi, internet. Fungsi

informatif yaitu memberikan informasi, atau berita, kepada khalayak


ramai dengan cara yang teratur. Pers akan memberitakan kejadian-

kejadian pada hari tertentu, memberitakan pertemuan-pertemuan

yang diadakan, atau pers mungkin juga memperingatkan orang

banyak tentang peristiwa-peristiwa yang diduga akan terjadi.

(Budyatna, 2006 : 27)

DAFTAR PUSTAKA

Budyatna, Muhammad. 2006. Jurnalistik Teori Dan Praktek.

Bandung, Rosda.

McQuail, Denis, Teori komunikasi massa, Erlangga, Jakarta, 1987.

Sumber:bengkel jurnalistik

Bengkel Jurnalistik

Manchester, 21 April 2007

Media Massa
Oleh Asyari Usman

Pendahuluan

Tak terbayangkan kehidupan di dunia ini tanpa sarana penyiaran


berita, tanpa pelapor berita, tanpa wartawan, tanpa suratkabar,
tanpa jurufoto, tanpa televisi, tanpa jurukamera, tanpa radio, dan
sekarang tanpa internet. Singkatnya, tanpa keberadaan komunikasi
massa, yang lebih popular dengan istilah ‘media massa’.
Bayangkan seandainya serbuan Amerika terhadap Irak, di tengah
ketiadaan media massa, baru diketahui dua minggu atau sebulan
kemudian dari cerita mulut ke mulut. Barangkali reaksi masyarakat
internasional tidak akan sekeras yang kita lihat tempohari. Namun,
karena ekseistensi media massa plus perkembangan teknologi
komunikasi-informasi yang begitu pesat, hampir semua peristiwa di
mana pun di dunia ini bisa tersebar luas beritanya dalam hitungan
menit, kalau tidak detik.

Apa itu Media Massa

Dari segi etimologis, ‘media massa’ adalah ‘komunikasi massa’ –


komunikasi massa adalah sebutan yang lumrah di kalangan
akademis untuk studi ‘media massa’.

Dari segi makna, ‘media massa’ adalah alat/sarana untuk


menyebar-luaskan berita, analisis, opini, komentar, materi
pendidikan dan hiburan.

Peranan Media Massa

Salah satu peranan media adalah mempengaruhi sikap dan perilaku


orang/public. McDevitt (1996: 270) mengatakan, “Media cukup
efektif dalam membangun kesadaran warga mengenai suatu
masalah (isu).” Lindsey (1994: 163) berpendapat, “Media memiliki
peran sentral dalam menyaring informasi dan membentuk opini
masyarakata.” Sedangkan para pemikir sosial seperti Louis Wirth
dan Talcott Parsons menekankan pentingnya media massa sebagai
alat kontrol sosial.

Ketika menyerbu Irak pada bulan Maret 2003, salah satu unit
penting yang disiapkan oleh militer Amerika Serikat adalah ‘media
centre’ yang berada satu atap dengan Command and Control Centre
di Qatar. Dari media centre ini, militer Amerika secara berkala
memberika penjelasan tentang operasi mereka. Pemerintah Bush
sadar betul bahwa unit ini, dalam banyak hal, akan membantu
posisi politik mereka –baik di dalam negeri, maupun di mata dunia.
Jadi, AS melancarkan perang simultan: perang piranti keras
(hardware) berupa pengerahan perangkat militer, dan perang
piranti lunak (software) –dalam hal ini ‘perang media massa’.

Para pemegang kekuasaan menyadari betul bahwa media massa,


wartawan, jurukamera, jurufoto, perlu ‘dijadikan teman’ karena
mereka memegang senjata yang jauh lebih penting dari perangkat
perang yang mereka kerahkan di Irak, Afghanistan, Bosnia, dsb.

Tak sampai seminggu lalu, Presiden SBY mengundang para


wartawan untuk ‘makan durian’ di satu kebun durian tak jauh dari
Bogor. Apakah ini pul-kumpul omong kosong belaka? Tentu tidak.
Para penasihat SBY tahu persis bahwa ‘mesin pencitraan 2009’
harus mulai bekerja sekarang dengan memanfaatkan media massa.
SBY harus sudah mulai sering tampil di layar TV, terdengar di radio,
terpampang di suratkabar, majalah, dsb. Sebab, pemilihan presiden
2009 ‘tidak lama lagi’.

Kemudian, kita lihat begitu banyak universitas, akademi, sekolah


tinggi, pesantren, kursus-kursus, dll, yang mengiklankan diri di
berbagai jenis media massa menjelang masa penerimaan
mahasiswa baru. Ini semua mereka lakukan karena kesadaran
bahwa media massa berperan penting untuk menjaring calon
mahasiswa.

Segelintir contoh di atas terjadi karena kesadaran akan besarnya


peranan media massa.

Kekuatan Media Massa

Yang paling menarik dari operasi media massa adalah dampak yang
ditimbulkannya terhadap cara orang bereaksi setelah menerima
berita/informasi.

Ketika seluruh dunia tahu lewat media bahwa senjata pemusnah


massal dan uranium tidak ditemukan di Irak, berita ini memicu
protes/demo besar di seluruh pelosok dunia. Pemerintah Bush
kalang kabut menjelaskan ‘alasan lain’ untuk menyerbu Irak.
Mereka cari-cari kaitan antara Saddam Hussein dan al-Qaeda atau
terorisme, walaupun badan-badan intelijen mereka sendiri
mengatakan tidak ada hubungan itu.

Begitu penyiksaan di penjara Abu Ghraib, Baghdad, tersiar ke


seluruh dunia, Washington sangat terpojok, sangat malu. Foto-foto
dan footage televisi tentang berbagai adegan penganiayaan di
penjara ini yang tersiar ke seluruh dunia, yang dimulai oleh acara
berita “60 Minutes II” televisi Amerika pada 28 April 2004, membuat
kredibilitas AS dan para sekutunya menjadi runtuh total. Sebagian
pengeritik politik luarnegeri AS mengatakan, Abu Ghraib merupakan
cerminan dari sikap dan kebijakan Amerika keseluruhan yang tidak
menghargai dan selalu melakukan tindak kekerasan terhadap orang
Arab.

Berita penyiksaan di Guantanamo dan tidak adanya akses legal para


tahanan di situ, juga memojokkan Washington. Pemerintah Bush
dicela keras oleh politisi dan lembaga-lembaga HAM. Liputan media
memaksa Amerika untuk berwajah lebih manis terhadap para
tahanan.

Berita, analisis dan komentar tentang jumlah korban tewas tentara


Amerika di Irak yang menembus angka 3,000, membuat ‘approval
rate’ Presiden George W Bush turun ke tingkat terendah.

Laporan tentang kehancuran luarbiasa di Libanon akibat gempuran


Israel ketika berperang dengan Hizbullah, membuat opini
internasional melihat Israel bertindak berlebihan. Sebaliknya,
pemberitaan perang ini membuat pemimpin Hizbullah Libanon,
Hassan Nasrallah, menjadi sangat populer di kalangan rakyat Timur
Tengah.

Contoh lain, Tony Blair mengalami krisis politik berkali-kali ketika


berbagai skandal di tubuh pemerintahnya disiarkan oleh media
massa. Menteri transportasi Stephen Byers mundur setelah
berbulan-bulan menjadi bahan pemberitaan karena
mempertahankan spin-doctor-nya, Jo Moore, yang menulis email
pada tanggal 11 September 2001 bahwa “ini merupakan hari yang
bagus untuk mengubur berita buruk tentang kondisi angkutan
umum”.
Laporan media yang sangat ekstensif tentang kasus cash for honour
(sumbang Partai Buruh utk dapatkan gelar kerajaan) membuat Blair
dilanda krisis paling berat selama kekuasaannya.

Ratu Elizabeth terpaksa tampil di televisi untuk menyampaikan


pidato istimewa untuk menghormati Putri Diana yang tewas dalam
kecelakaan mobil di Paris, akhir Agustus 1997. Ratu terpaksa
berpidato setelah selama berhari-hari media massa, khususnya
siaran langsung televisi, menunjukkan ratusan ribu pelayat yang
meletakkan karangan bunga sepanjang lebih satu kilometer mulai
gerbang Kensington Palace, kediaman Lady Di.

Footage dan gambar-gambar yang menunjukkan amukan tsunami di


Aceh membuat orang dari seluruh dunia memberikan sumbangan
dana dalam jumlah besar. Di Inggris, langsung berdiri Disaster
Emergency Committee (DEC) yang berhasil mengumpulkan dana
lebih 300 juta poundsterling. Bantuan untuk Aceh datang dari mana-
mana. Ini semua adalah dampak pemberitaan media massa.

Kasus bully di acara Big Brother Channel 4 membuat Jady Good


terperosok jauh ke dalam Lumpur celaan, dan acara itu sendiri
dikritik habis oleh berbagai pihak. Sang korban bully, Shilpa Shetti,
sebaliknya menjadi terangkat dan dikejar-kejar oleh televisi untuk
wawancara eksklusif (dengan bayaran besar, tentunya). Menyusul
kasus ini, perdebatan mengenai rasisme pun kembali menghangat
di berbagai jenis media.

Yahya Zaini akhirnya kehilangan status dan pekerjaan sebagai


anggota DPR setelah footage porno-nya bersama pedangdut Eva
Maria tersiar ke seluruh dunia. [Mesin pelintir Golkar berusaha
mengalihkan perhatian dengan cara mempersoalkan sisi pidana dari
penyebaran footage itu, namun tidak berhasil.]

Dua menteri SBY, Yusril Ihza Mahendra dan Hamid Awaluddin,


sedang berada dalam posisi yang terpojok setelah tersiar luas kisah
pencairan uang Tommy Suharto di luarnegeri dengan menggunakan
rekening departemen hukum dan HAM di tahun 2004.
Banyak lagi contoh tentang dampak pemberitaan/penyiaran media
massa. David Beckham menjadi ikon sepakbola dan terkenal ke
seluruh dunia, terutama di kalangan anak-anak muda, karena
dibesarkan oleh media (Inggeris). Koran-koran dan majalah terus-
menerus mengikuti perjalanan Beckham dan isterinya. Padahal,
banyak pemain bola lain yang lebih hebat dari Beckham, tetapi
tidak terkenal karena tidak ada “dukungan” dari media. Sebagai
dampak sampingan dari kemashuran ini, Beckham pun digunakan
sebagai bintang iklan. Keterkenalan ini pula yang membuat dia
dikontrak sebesar $250 juta dollar oleh klub sepakbola Galaxy di Los
Angeles.

Segitiga Media-Politik-Publik

Peranan media massa lebih diperkuat oleh kemajuan pesat dalam


penemuan teknologi komunikasi. Yang terjadi beberapa menit yang
lalu bisa langsung dilihat rekaman gambar (footage)-nya di televisi
atau situs-situs berita yang menyediakan podcats; atau foto-foto
biasa di suratkabar maupun situs berita.

Begitu kuatnya peranan media massa, pada era sekarang ini para
politisi di seluruh dunia menjadikan kampanye media sebagai
prioritas utama dalam daftar strategi mereka. Kampanye politik
(political broadcast) di televisi bisa mempengaruhi massa dalam
menentukan pilihan. Dan, kalau sutradara (spin-doctor) seorang
politisi mampu menangkap selera publik, serta paham betul
bagaimana menampilkan sang politisi di layar TV, maka semakin
besar kemungkinan masyarakat akan bereaksi positif.

Dalam posisi yang seharusnya independen, media akan ‘membantu’


masyarakat untuk memahami berbagai peristiwa, termasuk
memahami peta politik dan program-program partai. Media akan
menjelaskan siapa dan apa di dunia politik.

Akan tetapi, dalam batas tertentu media ‘memerlukan’ para aktor


politik, ekonomi, sosial, budaya. Sebab, mereka inilah yang banyak
menentukan arah kehidupan massa; merekalah yang menjadi
sumber berita (news-maker). Karena itu, para presiden, perdana
menteri, kepala pemerintahan, menteri keuangan, pengusaha dan
perusahaan besar, tokoh masyarakat, perancang mode, para
aktor/aktris, seniman, dlsb, selalu diikuti oleh media.

Selain itu, media sendiri tidak lepas dari masalah dana operasional.
Suratkabar, majalah, televisi, dan radio memerlukan biaya yang
cukup besar untuk menjalankan fungsinya. Media cetak dan televisi
terutama, belakangan ini berubah menjadi bisnis besar. Stasiun-
stasiun komersial dimiliki oleh perusahaan raksasa multinasional.
Kenyataan ini memicu tuduhan bahwa media yang dikuasai
pemodal besar itu beroperasi tidak dengan prinsip ‘impartial’ (tidak
memihak).

Di celah-celah kepemilikan korporasi besar itu, di sana-sini masih


ada media cetak dan televisi maupun radio yang berdiri netral, atau
bahkan ‘memihak’ akar rumput.

Karena itulah, di kalangan media massa sekarang ini terjadi


polarisasi ideologis. Yang satu disebut ‘media kanan’ dan yang
lainnya ‘media kiri’.

Di Inggris, misalnya, para pemerhati mengelompokkan The Sun, Sky


News (BskyB), Daily Telegraph antara lainnya sebagai ‘media
kanan’, sedangkan The Guardian, The Independent, Daily Mirror
sebagai ‘media kiri’.

Polarisasi ideologis ini bisa melahirkan “kolaborasi lepas” antara


sejumlah media dan penguasa. Di Inggris, kelompok Rupert Murdoch
menyatakan dukungan untuk Tony Blair sebelum pemilihan umum
1997 sampai sekarang. Di Amerika, beberapa saluran televisi
seperti FoxNews terang-terangan memihak Presiden Bush.

Di Indonesia, banyak orang yakin bahwa sejumlah media


mendukung SBY. Tetapi, fragmentasinya lebih beragam lagi.
Misalnya, ada media yang mendukung partai-partai tertentu.

Polarisasi ini pada akhirnya bisa merugikan masyarakat. Sebab,


kalau ada sejumlah media besar memihak penguasa, akan sulit
untuk mengharapkan fungsi kontrol mereka. Publik sangat
bergantung pada media massa dalam memilih informasi,
meletakkannya dalam bingkai yang benar, dan kemudian
memberikan analisis.

Itulah sebabnya, dalam “Segitiga Media-Politik-Publik”, posisi media


akan sangat menentukan. Media milik publik (dus, bekerja untuk
masyarakat), akan membuat penguasa terkontrol ketat. Sebaliknya,
media yang terkooptasi oleh penguasa akan membuat masyarakat
kebingungan atau keliru dalam menentukan pilihan mereka.

Anda dan Media

Salah satu tujuan Bengkel Jurnalistik ini adalah untuk mencari


peluang mempromosikan gagasan, karya atau penemuan anda
lewat media massa. Keinginan ini tidaklah berlebihan karena karya
dan temuan anda akan lebih cepat tersebar ke masyarakat bila
diterbitkan/ditayangkan oleh media.

Saya melihat ada beberapa faktor kunci untuk itu. Pertama, daya
jual karya anda. Kedua, relevansi karya anda itu dengan kehidupan
masyarakat luas. Ketiga, simplisitas karya tulis anda. Keempat,
koneksi anda dengan orang-orang di media. Faktor keempat ini
bahkan bisa melemahkan ketiga faktor lainnya.

Di Indonesia, banyak penulis yang menjadi top melalui koneksi di


koran atau majalah.

Kalau karya tulis anda relevan dengan salah satu segmen di suatu
media cetak dan topikal, katakanlah rubrik ekonomi, hukum,
teknologi, kesehatan, agama, dsb, biasanya tidak ada hambatan
untuk dipublikasikan.

Begitu anda bisa menembus sebuah penerbitan, biasanya artikel-


artikel berikutnya tidak akan sulit. Dari dari sinilah seorag penulis
akan membangun kredibilitasnya, dan dari sini pula seorang penulis
memulai popularitasnya.

Bila ini menjadi kenyataan, maka dalam batas tertentu anda sudah
bisa disebut “menguasai media massa”. Expertise anda akan
mendikte media.
Apa itu Media Massa
Dari segi etimologis, ‘media massa’ adalah ‘komunikasi massa’ –komunikasi
massa adalah sebutan yang lumrah di kalangan akademis untuk studi ‘media
massa’.
Dari segi makna, ‘media massa’ adalah alat/sarana untuk menyebar-luaskan
berita, analisis, opini, komentar, materi pendidikan dan hiburan.

Peranan Media Massa


Salah satu peranan media adalah mempengaruhi sikap dan perilaku
orang/public. McDevitt (1996: 270) mengatakan, “Media cukup efektif dalam
membangun kesadaran warga mengenai suatu masalah (isu).” Lindsey (1994:
163) berpendapat, “Media memiliki peran sentral dalam menyaring
informasi dan membentuk opini masyarakata.” Sedangkan para pemikir
sosial seperti Louis Wirth dan Talcott Parsons menekankan pentingnya media
massa sebagai alat kontrol sosial.

Ketika menyerbu Irak pada bulan Maret 2003, salah satu unit penting yang
disiapkan oleh militer Amerika Serikat adalah ‘media centre’ yang berada
satu atap dengan Command and Control Centre di Qatar. Dari media centre
ini, militer Amerika secara berkala memberika penjelasan tentang operasi
mereka. Pemerintah Bush sadar betul bahwa unit ini, dalam banyak hal,
akan membantu posisi politik mereka –baik di dalam negeri, maupun di mata
dunia. Jadi, AS melancarkan perang simultan: perang piranti keras
(hardware) berupa pengerahan perangkat militer, dan perang piranti lunak
(software) –dalam hal ini ‘perang media massa’.

Para pemegang kekuasaan menyadari betul bahwa media massa, wartawan,


jurukamera, jurufoto, perlu ‘dijadikan teman’ karena mereka memegang
senjata yang jauh lebih penting dari perangkat perang yang mereka
kerahkan di Irak, Afghanistan, Bosnia, dsb.
Tak sampai seminggu lalu, Presiden SBY mengundang para wartawan untuk
‘makan durian’ di satu kebun durian tak jauh dari Bogor. Apakah ini pul-
kumpul omong kosong belaka? Tentu tidak. Para penasihat SBY tahu persis
bahwa ‘mesin pencitraan 2009’ harus mulai bekerja sekarang dengan
memanfaatkan media massa. SBY harus sudah mulai sering tampil di layar
TV, terdengar di radio, terpampang di suratkabar, majalah, dsb. Sebab,
pemilihan presiden 2009 ‘tidak lama lagi’.

Kemudian, kita lihat begitu banyak universitas, akademi, sekolah tinggi,


pesantren, kursus-kursus, dll, yang mengiklankan diri di berbagai jenis
media massa menjelang masa penerimaan mahasiswa baru. Ini semua
mereka lakukan karena kesadaran bahwa media massa berperan penting
untuk menjaring calon mahasiswa.
Segelintir contoh di atas terjadi karena kesadaran akan besarnya peranan
media massa.

Kekuatan Media Massa


Yang paling menarik dari operasi media massa adalah dampak yang
ditimbulkannya terhadap cara orang bereaksi setelah menerima
berita/informasi.
Ketika seluruh dunia tahu lewat media bahwa senjata pemusnah massal dan
uranium tidak ditemukan di Irak, berita ini memicu protes/demo besar di
seluruh pelosok dunia. Pemerintah Bush kalang kabut menjelaskan ‘alasan
lain’ untuk menyerbu Irak. Mereka cari-cari kaitan antara Saddam Hussein
dan al-Qaeda atau terorisme, walaupun badan-badan intelijen mereka
sendiri mengatakan tidak ada hubungan itu.

Begitu penyiksaan di penjara Abu Ghraib, Baghdad, tersiar ke seluruh dunia,


Washington sangat terpojok, sangat malu. Foto-foto dan footage televisi
tentang berbagai adegan penganiayaan di penjara ini yang tersiar ke seluruh
dunia, yang dimulai oleh acara berita “60 Minutes II” televisi Amerika pada
28 April 2004, membuat kredibilitas AS dan para sekutunya menjadi runtuh
total. Sebagian pengeritik politik luarnegeri AS mengatakan, Abu Ghraib
merupakan cerminan dari sikap dan kebijakan Amerika keseluruhan yang
tidak menghargai dan selalu melakukan tindak kekerasan terhadap orang
Arab.

Berita penyiksaan di Guantanamo dan tidak adanya akses legal para tahanan
di situ, juga memojokkan Washington. Pemerintah Bush dicela keras oleh
politisi dan lembaga-lembaga HAM. Liputan media memaksa Amerika untuk
berwajah lebih manis terhadap para tahanan.
Berita, analisis dan komentar tentang jumlah korban tewas tentara Amerika
di Irak yang menembus angka 3,000, membuat ‘approval rate’ Presiden
George W Bush turun ke tingkat terendah.

Laporan tentang kehancuran luarbiasa di Libanon akibat gempuran Israel


ketika berperang dengan Hizbullah, membuat opini internasional melihat
Israel bertindak berlebihan. Sebaliknya, pemberitaan perang ini membuat
pemimpin Hizbullah Libanon, Hassan Nasrallah, menjadi sangat populer di
kalangan rakyat Timur Tengah.

Contoh lain, Tony Blair mengalami krisis politik berkali-kali ketika berbagai
skandal di tubuh pemerintahnya disiarkan oleh media massa. Menteri
transportasi Stephen Byers mundur setelah berbulan-bulan menjadi bahan
pemberitaan karena mempertahankan spin-doctor-nya, Jo Moore, yang
menulis email pada tanggal 11 September 2001 bahwa “ini merupakan hari
yang bagus untuk mengubur berita buruk tentang kondisi angkutan umum”.

Laporan media yang sangat ekstensif tentang kasus cash for honour
(sumbang Partai Buruh utk dapatkan gelar kerajaan) membuat Blair dilanda
krisis paling berat selama kekuasaannya.

Ratu Elizabeth terpaksa tampil di televisi untuk menyampaikan pidato


istimewa untuk menghormati Putri Diana yang tewas dalam kecelakaan
mobil di Paris, akhir Agustus 1997. Ratu terpaksa berpidato setelah selama
berhari-hari media massa, khususnya siaran langsung televisi, menunjukkan
ratusan ribu pelayat yang meletakkan karangan bunga sepanjang lebih satu
kilometer mulai gerbang Kensington Palace, kediaman Lady Di.

Footage dan gambar-gambar yang menunjukkan amukan tsunami di Aceh


membuat orang dari seluruh dunia memberikan sumbangan dana dalam
jumlah besar. Di Inggris, langsung berdiri Disaster Emergency Committee
(DEC) yang berhasil mengumpulkan dana lebih 300 juta poundsterling.
Bantuan untuk Aceh datang dari mana-mana. Ini semua adalah dampak
pemberitaan media massa.

Kasus bully di acara Big Brother Channel 4 membuat Jady Good terperosok
jauh ke dalam Lumpur celaan, dan acara itu sendiri dikritik habis oleh
berbagai pihak. Sang korban bully, Shilpa Shetti, sebaliknya menjadi
terangkat dan dikejar-kejar oleh televisi untuk wawancara eksklusif (dengan
bayaran besar, tentunya). Menyusul kasus ini, perdebatan mengenai rasisme
pun kembali menghangat di berbagai jenis media.

Yahya Zaini akhirnya kehilangan status dan pekerjaan sebagai anggota DPR
setelah footage porno-nya bersama pedangdut Eva Maria tersiar ke seluruh
dunia. [Mesin pelintir Golkar berusaha mengalihkan perhatian dengan cara
mempersoalkan sisi pidana dari penyebaran footage itu, namun tidak
berhasil.]

Dua menteri SBY, Yusril Ihza Mahendra dan Hamid Awaluddin, sedang berada
dalam posisi yang terpojok setelah tersiar luas kisah pencairan uang Tommy
Suharto di luarnegeri dengan menggunakan rekening departemen hukum dan
HAM di tahun 2004.

Banyak lagi contoh tentang dampak pemberitaan/penyiaran media massa.


David Beckham menjadi ikon sepakbola dan terkenal ke seluruh dunia,
terutama di kalangan anak-anak muda, karena dibesarkan oleh media
(Inggeris). Koran-koran dan majalah terus-menerus mengikuti perjalanan
Beckham dan isterinya. Padahal, banyak pemain bola lain yang lebih hebat
dari Beckham, tetapi tidak terkenal karena tidak ada “dukungan” dari
media. Sebagai dampak sampingan dari kemashuran ini, Beckham pun
digunakan sebagai bintang iklan. Keterkenalan ini pula yang membuat dia
dikontrak sebesar $250 juta dollar oleh klub sepakbola Galaxy di Los
Angeles.

Segitiga Media-Politik-Publik
Peranan media massa lebih diperkuat oleh kemajuan pesat dalam penemuan
teknologi komunikasi. Yang terjadi beberapa menit yang lalu bisa langsung
dilihat rekaman gambar (footage)-nya di televisi atau situs-situs berita yang
menyediakan podcats; atau foto-foto biasa di suratkabar maupun situs
berita.

Begitu kuatnya peranan media massa, pada era sekarang ini para politisi di
seluruh dunia menjadikan kampanye media sebagai prioritas utama dalam
daftar strategi mereka. Kampanye politik (political broadcast) di televisi
bisa mempengaruhi massa dalam menentukan pilihan. Dan, kalau sutradara
(spin-doctor) seorang politisi mampu menangkap selera publik, serta paham
betul bagaimana menampilkan sang politisi di layar TV, maka semakin besar
kemungkinan masyarakat akan bereaksi positif.

Dalam posisi yang seharusnya independen, media akan ‘membantu’


masyarakat untuk memahami berbagai peristiwa, termasuk memahami peta
politik dan program-program partai. Media akan menjelaskan siapa dan apa
di dunia politik.

Akan tetapi, dalam batas tertentu media ‘memerlukan’ para aktor politik,
ekonomi, sosial, budaya. Sebab, mereka inilah yang banyak menentukan
arah kehidupan massa; merekalah yang menjadi sumber berita (news-
maker). Karena itu, para presiden, perdana menteri, kepala pemerintahan,
menteri keuangan, pengusaha dan perusahaan besar, tokoh masyarakat,
perancang mode, para aktor/aktris, seniman, dlsb, selalu diikuti oleh
media.

Selain itu, media sendiri tidak lepas dari masalah dana operasional.
Suratkabar, majalah, televisi, dan radio memerlukan biaya yang cukup besar
untuk menjalankan fungsinya. Media cetak dan televisi terutama,
belakangan ini berubah menjadi bisnis besar. Stasiun-stasiun komersial
dimiliki oleh perusahaan raksasa multinasional. Kenyataan ini memicu
tuduhan bahwa media yang dikuasai pemodal besar itu beroperasi tidak
dengan prinsip ‘impartial’ (tidak memihak).

Di celah-celah kepemilikan korporasi besar itu, di sana-sini masih ada media


cetak dan televisi maupun radio yang berdiri netral, atau bahkan ‘memihak’
akar rumput.
Karena itulah, di kalangan media massa sekarang ini terjadi polarisasi
ideologis. Yang satu disebut ‘media kanan’ dan yang lainnya ‘media kiri’.

Di Inggris, misalnya, para pemerhati mengelompokkan The Sun, Sky News


(BskyB), Daily Telegraph antara lainnya sebagai ‘media kanan’, sedangkan
The Guardian, The Independent, Daily Mirror sebagai ‘media kiri’.
Polarisasi ideologis ini bisa melahirkan “kolaborasi lepas” antara sejumlah
media dan penguasa. Di Inggris, kelompok Rupert Murdoch menyatakan
dukungan untuk Tony Blair sebelum pemilihan umum 1997 sampai sekarang.
Di Amerika, beberapa saluran televisi seperti FoxNews terang-terangan
memihak Presiden Bush.

Di Indonesia, banyak orang yakin bahwa sejumlah media mendukung SBY.


Tetapi, fragmentasinya lebih beragam lagi. Misalnya, ada media yang
mendukung partai-partai tertentu.
Polarisasi ini pada akhirnya bisa merugikan masyarakat. Sebab, kalau ada
sejumlah media besar memihak penguasa, akan sulit untuk mengharapkan
fungsi kontrol mereka. Publik sangat bergantung pada media massa dalam
memilih informasi, meletakkannya dalam bingkai yang benar, dan kemudian
memberikan analisis.

Itulah sebabnya, dalam “Segitiga Media-Politik-Publik”, posisi media akan


sangat menentukan. Media milik publik (dus, bekerja untuk masyarakat),
akan membuat penguasa terkontrol ketat. Sebaliknya, media yang
terkooptasi oleh penguasa akan membuat masyarakat kebingungan atau
keliru dalam menentukan pilihan mereka.

Anda dan Media


Salah satu tujuan Bengkel Jurnalistik ini adalah untuk mencari peluang
mempromosikan gagasan, karya atau penemuan anda lewat media massa.
Keinginan ini tidaklah berlebihan karena karya dan temuan anda akan lebih
cepat tersebar ke masyarakat bila diterbitkan/ditayangkan oleh media.

Saya melihat ada beberapa faktor kunci untuk itu. Pertama, daya jual karya
anda. Kedua, relevansi karya anda itu dengan kehidupan masyarakat luas.
Ketiga, simplisitas karya tulis anda. Keempat, koneksi anda dengan orang-
orang di media. Faktor keempat ini bahkan bisa melemahkan ketiga faktor
lainnya.

Di Indonesia, banyak penulis yang menjadi top melalui koneksi di koran atau
majalah.
Kalau karya tulis anda relevan dengan salah satu segmen di suatu media
cetak dan topikal, katakanlah rubrik ekonomi, hukum, teknologi, kesehatan,
agama, dsb, biasanya tidak ada hambatan untuk dipublikasikan.

Begitu anda bisa menembus sebuah penerbitan, biasanya artikel-artikel


berikutnya tidak akan sulit. Dari dari sinilah seorag penulis akan membangun
kredibilitasnya, dan dari sini pula seorang penulis memulai popularitasnya.
Bila ini menjadi kenyataan, maka dalam batas tertentu anda sudah bisa
disebut “menguasai media massa”. Expertise anda akan mendikte media.
Selamat Berjuang!

Sumber :
Asyari Usman, Bengkel Jurnalistik
Manchester, 21 April 2007
http://bengkeljurnalistik.wordpress.com/2007/05/02/media-massa/
12 Maret 2009

Sumber Gambar:
http://www.thirdworldtraveler.com/PageMill_Images/media_monkeys.jpg
Posted by AKANG at 4:04 PM

0 comments:

Peran media massa

Rasa ingin tahu manusia terhadap hal-hal yang ada di

sekitarnya sangatlah besar. Dari zaman ke zaman dapat terlihat

perubahan dalam suatu sistem kebudayaan yang pastinya terdapat

di masyarakat akibat dari rasa ingin tahu manusia yang besar

tersebut. Diawali dari rasa ingin tahu itulah, manusia selalu

mengeksplor apa yang ada di sekitarnya, baik itu yang baik atau

bahkan yang buruk, kemudian ingin menyampaikan hasil

pengeksplorasiannya selama ini kepada orang lain. Bertahap dari

komunikasi yang tadinya hanya bersifat personal, kemudian dapat

berkembang menjadi proses penyampaian pesan yang bersifat

masal, sehingga informasinya menjadi lebih luas jangkauannya


serta dapat merubah suatu pola kehidupan masyarakat yang lebih

luas lagi.

Media massa merupakan salah satu sarana untuk

pengembangan kebudayaan, bukan hanya budaya dalam

pengertian seni dan simbol tetapi juga dalam pengertian

pengembangan tata-cara, mode, gaya hidup dan norma-norma.

(Dennis McQuil, 1987:1). Media massa sangat berperan dalam

perkembangan atau bahkan perubahan pola tingkah laku dari suatu

masyarakat, oleh karena itu kedudukan media massa dalam

masyarakat sangatlah penting. Dengan adanya media massa,

masyarakat yang tadinya dapat dikatakan tidak beradab dapat

menjadi masyarakat yang beradab. Hal itu disebabkan, oleh karena

media massa mempunyai jaringan yang luas dan bersifat massal

sehingga masyarakat yang membaca tidak hanya orang-perorang

tapi sudah mencakup jumlah puluhan, ratusan, bahkan ribuan

pembaca, sehingga pengaruh media massa akan sangat terlihat di

permukaan masyarakat.

Mengingat kedudukan media massa dalam perkembangan

masyarakat sangatlah penting, maka industri media massa pun

berkembang pesat saat ini. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya

stasiun televisi, stasiun radio, perusahaan media cetak, baik itu

surat kabar, majalah, dan media cetak lainnya. Para pengusaha

merasa diuntungkan dengan mendirikan perusahaan yang bergerak

di bidang media massa seperti itu. Hal itu disebabkan karena


mengelola perusahaan dengan jenis spesifikasi mengelola media

massa adalah usaha yang akan selalu digemari masyarakat

sepanjang masa, karena sampai kapanpun manusia akan selalu

haus akan informasi.

Tugas dan fungsi pers adalah mewujudkam keinginan

kebutuhan informasi melalui medianya baik melalui media cetak

maupun media elektronik seperti, radio, televisi, internet. Fungsi

informatif yaitu memberikan informasi, atau berita, kepada khalayak

ramai dengan cara yang teratur. Pers akan memberitakan kejadian-

kejadian pada hari tertentu, memberitakan pertemuan-pertemuan

yang diadakan, atau pers mungkin juga memperingatkan orang

banyak tentang peristiwa-peristiwa yang diduga akan terjadi.

(Budyatna, 2006 : 27)

DAFTAR PUSTAKA

Budyatna, Muhammad. 2006. Jurnalistik Teori Dan Praktek.

Bandung, Rosda.

McQuail, Denis, Teori komunikasi massa, Erlangga, Jakarta, 1987.

 Sumber : blogger
FUNGSI KOMUNIKASI MASSA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT
Maret 19, 2008 at 7:48 am | In RUANG GURU | 3 Comments
Fungsi Surveillance dan Fungsi Korelasi

Analisis isi merupakan teknik penelitian untuk memperoleh gambaran isi pesan komunikasi

massa yang dilakukan secara:

<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Objektif

Analisis isi dirumuskan dengan persis agar siapa saja yang menggunakan akan

memperoleh hasil yang sama.

<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->sistematik

Isi media massa yang akan dianalisis dipilih dengan cara yang telah ditetapkan

<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->sosiologis

masalah yang akan dianalisis mempunyai relevansi dengan kehidupa

kemasyarakatan.

Analisis ini dapat menghaislkan pemahaman tentang pengiriman atau sumber pesan,

kecerdasan, kepribadian, sikap, motif, nilai dan tujuan serta pengaruh dari kelompok.

Namun perlu diperhatikan bahwa analisis isi tidak memberikan bukti yang langsung tentang

sifat komunikator, khalayak ataupun efeknya.

Sedangkan pendekatan analisis fungsional perhatiannya pada fungsi dan disfungsi

komunikasi massa bagi kehidupan anggota masyarakat.

Fungsi Pewarisan Budaya dan Fungsi Penghiburan

Pendekatan institusional berpandangan bahwa kelembagaan yang mewadahi aktivitas

komunikasi massa, ditentukan oleh sistem komunikasi yang berlaku pada masyarakat
tertentu. Misalnya lembaga komunikasi massa di negara dengan sistem demokrasi, berbeda

dengan yang berlaku di negara komunis.

Salah satu cara menjadikan komunikasi sosial melembaga adalah komunikasi massa. Hal ini

terjadi berkat adanya tata cara, prosedur serta aturan-aturan yang mengikat. Dengan

demikian komunikasi sosial yang ada di tegah masyarakat terbentuk oleh berbagai ketentun

tersebut di atas. Sehingga analisis mengeai bentuk-bentuk kelembagaan komunikasi massa

adalah menyangkut masalah deteksi, deskripsi dan analisis tentang ekspektasi sosial.

KOMUNIKASI SEBAGAI SUATU SISTEM SOSIAL

Pengertian Sistem Sosial

Melalui fungsi surveillence, media massa memberikan informasi kepada masyarakat. Segala

peristiwa dan kejadian, di mana saja di sekitar kita baik dekat maupun jauh hampir tidak

pernah luput dari pemberitaan media massa. Contoh: pada waktu meletusnya Perang Teluk,

masyarakat di seluruh dunia dapat mengikuti perkembangan dari detik ke detik selama 24

jam melalui media massa.

Fungsi surveillance sendiri bagi individu dapat berfungsi sebagai :

<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->peringatan (warning)

<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->menambah pretise

<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Instrumental

. Pemberi status

Bagi masyarakat
<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->peringatan (awaning)

<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->instrumental

<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->membuat masyarakat menjadi etis

Interaksi Sistem Komunikasi Massa dengan Sistem Sosial Lainnya

Melalui fungsi pewarisan budaya, media massa melakukan pendidikan kepada masyarakat,

karena melalui informasi, maka masyarakat akan merasa lebih padu dengan lainnya.

Sehingga dengan demikian dapat dicapai suatu dasar berpikir yang sama. Sebab melalui

media massa semua informasi dapat menyebar dengan cepat melebihi saluran yang lain.

Disfungsi dari pewarisan budaya bagi individu adalah proses sosialisasi yang sama bagi

setiap individu karena adanya pengaruh komunikasi massa yang memberitakan hal-hal yang

sama

Fungsi hiburan bagi individu merupakan pelepas lelah, sedangkan bagi masyarakat
adalah pelepas bagi kelompok-kelompok massa. Adapun disfungsinya bagi individu
adalah meningkatkan kepastian menurunnya selera sedangkan bagi masyarakat
merupakan suatu pelarian.

Jun 16, '07


1:35 PM
for everyone

 Sumber : multiply

Peran Komunikasi Massa Terhadap Perubahan


Pola Perilaku Masyarakat
tulisan ini kubuat saat mengikuti pemilihan mahasiswa berprestasi dan mahasiswa
teladan tahun 2007 di universitas malikussaleh. hasilnya aku juara III mahasiswa
berprestasi tahun ini.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Perkembangan Komunikasi Massa berawal dari Sidang
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun
1946 di gedung Perguruan Tinggi Hunter New York Amerika
Serikat. Agenda sidang organisasi terbesar di dunia itu
adalah membahas kelangsungan keamanan dunia paska
Perang Dunia II. Dari sidang itulah Televisi sebagai salah
satu media komunikasi massa di perkenalkan. Ribuan
pengamat politik, pers dan masyarakat biasa dapat
menyaksikan sidang penting itu melalui Televisi dari luar
gedung yang di jaga ketat oleh aparat keamanan Amerika.

Sejak saat itu, Televisi mulai berkembang ke seluruh


penjuru dunia. Amerika Serikat merupakan Negara pertama
yang mengembangkan teknologi Televisi secara besar-
besaran. Bahkan pada tahun 2003 di Negara tersebut, tidak
kurang 750 stasiun siaran Televisi telah di dirikan. Jumlah ini
pasti lebih di tahun 2007. Dewasa ini Televisi telah menjadi
salah satu kebutuhan hidup masyarakat. Hampir di seluruh
rumah-rumah penduduk baik di Indonesia maupun di Negara
lainnya, telah terdapat Televisi. Ini menunjukkan televisi
telah menjadi salah satu kebutuhan hidup manusia.

Sedangkan di Indonesia sendiri, Televisi baru di


perkenalkan pada tahun 1962. Sebagaimana pola
komunikasi lainnya, komunikasi massa dari waktu ke waktu
terus berubah mengikuti perkembangan zaman. Perubahan
ini dapat di lihat dari jumlah stasiun televisi dan program
siaran yang di tawarkan ke publik. Dahulu pada awalnya,
Indonesia hanya memiliki satu stasiun Televisi, saat itu
hanya Televisi Republik Indonesia (TVRI) yang memancarkan
siaran. Untuk Indonesia, paska di cabutnya SIUPP (Surat Izin
Penerbitan Pers) tahun 1998, negeri ini telah memiliki
sepuluh stasiun siaran televisi baik swasta dan pemerintah.

Kemajuan teknologi komunikasi massa secara visual


juga di tampakkan dengan semakin menariknya tayangan
yang di sajikan. Bukan itu saja, program siarannya pun kini
semakin bervariasi. Dari siaran komedi sampai siaran
pariwisata. Dari siaran pendidikan sampai siaran hiburan
dan dari siaran yang mengandung nilai humor sampai ke
siaran yang mengandung kekerasa. Semuanya di rangkum
oleh televisi kita saat ini.

Semakin banyaknya stasiun Televisi yang bermunculan


di Indonesia maka seharusnya semakin maju pula negeri ini.
Hal ini di karenakan, menurut R. Mar’at dari Universitas
Padjadjaran Bandung, acara televisi pada umumnya
mempengaruhi sikap, pandangan, persepsi dan rasa
penasaran para penonton. Kemampuan media Televisi untuk
“membius” penontonnya tidak dapat di ragukan. Secara
psikologi, jika ada seseorang yang terharu, menangis atau
bahkan menjerit saat menonton salah satu program televisi
yang di siarkan adalah hal yang wajar.

Persaingan antar stasiun televisi sendiri di Indonesia


semakin ketat. Semua stasiun Televisi berlomba-lomba
untuk membuat program unggulan yang sedang di minati
oleh masyarakat. Tujuannya, agar para pemasang iklan juga
mengiklankan produk mereka di stasiun televisi tersebut.
Stasiun Televisi jika tidak memiliki penonton, alamat station
tersebut tidak akan mendapatkan iklan. Akibatnya, tidak
akan ada pemasukan perusahaan. Bahkan tidak jarang, jika
telah mengalami penurunan jumlah pemasang iklan,
perusahaan Televisi akan meniru program yang di tayangkan
oleh salah satu Televisi yang sedang naik daun. Inilah wajah
pertelevisian di Indonesia. Kantong perusahaan menjadi
nomor satu. Sedangkan program siaran dan efeknya menjadi
samar dengan tujuan awal dari perusahaan Televisi di negeri
ini. Secara umum semua Televisi di negeri ini bertujuan
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini juga
terdapat dalam batang tubuh pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945.

Namun, fakta berbicara lain. Untuk mengeruk


keuntungan sebesar-besarnya sebagaimana prinsip
ekonomi, perusahaan Televisi mulai melupakan tujuan
utamanya. Tayangan kekerasan mulai marak di siarkan di
Indonesia. Seluruh stasiun Televisi memiliki program acara
jenis ini. Misalnya, program siaran PATROLI di Indosiar, Silet
di RCTI dan lain sebagainya. Meningkatnya angka
kriminalitas dewasa ini cendrung di tuding televisilah
sebagai biangkeroknya. Mungkin kita masih ingat sebuah
SMU di Colorado Amerika Serikat dibanjiri darah 25
siswanya. Mereka tewas dibantai dua siswa yang berulah
seperti Rambo. Dengan wajah dingin tanpa balas kasihan,
mereka memberondong temannya sendiri dengan timah
panas. Kejadian ini sungguh menggem-parkan dan banyak
pakar yang menuding tayangan kekerasan di televisi atau
komputer (game dan internet) sebagai biangkerok tindak
kekerasan yang terjadi di kalangan anak. Kasus lainnya
adalah pengakuan produser PATROLI Indosiar, Indira
Purnama Hadi. Indira bertutur, suatu hari dirinya
mewawancarai pelaku pencurian kendaraan bermotor di
Sleman, Yogyakarta. Usia pelaku kriminal itu masih sangat
muda, sekitar 17 tahun. Dalam sehari pria ini bisa mencuri
satu sampai dua kendaraan bermotor. Lalu, si pelaku tindak
pencurian ini mengaku, untuk mencuri dia mengikuti jejak
dari tayangan Patroli Indosiar.

Lalu inikah yang di sebut mendidik dari siaran Televisi?


Bukan hanya itu, prubahan pola tingkah laku remaja saat
ini, juga di kait-kaitkan dengan tayangan televise. Artinya,
banyak kalangan menilai televise mampu merubah budaya
(culture) dan perilaku manusia. Benarkah ini?

B. Tujuan Penulisan
Mengacu pada latar belakang masalah di atas, maka
tujuan yang di hasilkan dari karya tulis ini adalah sebagai
berikut:
1. Menganalisis dan Mendeskripsikan peranan
komunikasi massa dalam prubahan social dan budaya
masyarakat.
2. Mendeskripsikan, menganalisis dan memberi solusi
dari efek tayangan kekerasan yang di siarkan oleh
stasiun televisi di Indonesia saat ini.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Komunikasi Massa
A.1. Pengertian
Setiap manusia pada hakikatnya sangat membutuhkan
komunikasi. Hal ini di karenakan, manusia memiliki sifat
untuk saling berhubungan antara satu dengan yang lain.
Jika tidak menggunakan komunikasi antar sesamanya, maka
manusia itu akan terisolasi dari dunia yang semakin canggih
dan modern ini. Para pakar komunikasi menyebutkan,
kebutuhan manusia untuk berkomunikasi di dasari atas dua
kebutuhan, yaitu, kebutuhan untuk melangsungkan hidup
dan kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Hal ini sejalan dengan teori dasar biologi.

Harold D. Lasswell salah seorang peletak dasar Ilmu


Komunikasi menyebutkan tiga hal, mengapa manusia perlu
berkomunikasi, yaitu sebagai berikut:
1. Hasrat manusia untuk mengontrol lingkungannya.
Melalui komunikasi, manusia dapat mengetahui hal-hal
yang dapat di manfaatkan, di pelihara dan di
menghindar dari hal-hal yang mengancam alam
sekitarnya.

2. Upaya manusia untuk beradaptasi dengan


lingkungannya. Proses kelanjutan hidup masyarakat
pada dasarnya, tergantung masyarakat itu sendiri.
Bagaimana komunitas-komunitas masyarakat di suatu
daerah tertentu beradaptasi dengan lingkungannya.

3. Upaya untuk mentranspormasi warisan sosial. Suatu


masyarakat yang ingin melangsungkan hidupnya, maka
akan melakukan upaya transpormasi sosial terhadap
generasi penerusnya. Misalnya, bagaimana seorang
Ayah mengajarkan tatakrama terhadap anaknya.

Secara sederhana, Onong Uchjana Efendi


menyebutkan komunikasi adalah suatu proses penyampaian
pesan dari komunikator kepada komunikan melalui media
tertentu. Sementara itu, sebagai salah satu cabang ilmu
sosial, Ilmu Komunikasi juga terbagi ke dalam beberapa
kajian ilmu lagi. Pembagian ini mengingat keterbatasan
manusia untuk menguasai seluruh bidang ilmu. Komunikasi
juga mengklasifikasikan diri kedalam Komunikasi Massa,
Komunikasi Politik, Komunikasi Antar Budaya dan lain
sebagainya.

Komunikasi Massa sendiri menurut Tan dan Wright,


merupakan salah satu bentuk yang menggunakan saluran
(media) dalam menghubungkan komunikator dan komunikan
secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal yang
jauh (terpencar), sangat heterogen dan menimbulkan efek
tertentu. Secara sederhana, komunikasi massa adalah
pesan yang di komunikasikan melalui media massa kepada
khalayak dalam jumlah besar.

Dari definisi di atas, dapat di simpulkan, bahwa


komunikasi massa harus di menggunakan media massa.
Definisi komunikasi massa yang lebih rinci di rumuskan oleh
Gerber (1967). Menurutnya, komunikasi massa adalah
produksi dan distribusi yang berlandaskan pada lembaga
dan berkelanjutan serta di sampaikan secara luas.

A.2. Ciri-ciri Utama Komunikasi Massa

Ciri utama komunikasi massa terletak pada beberapa hal


sebagai berikut:

1. Komunikator Terlembaga

Ciri ini adalah komunikator (penyampai pesan), dalam


komunikasi massa komunikator bukanlah personal.
Namun, lembaga yang menyampaikan pesan tersebut.
Lembaga penyampai pesan komunikasi massa ini
adalah media massa itu sendiri, seperti televisi, surat
kabar dan radio. Semua media itu bekerja terlembaga.
Misalnya, sebuah program tayangan televisi seperti
Sergap di RCTI maka terjadinya proses kerja lembaga
dalam proses penyajian program tersebut kepda
masyarakat. Program itu berawal dari rancangan
liputan yang di lakukan oleh wartawan, kemudia
wartawan mengirimkan atau menyetorkan hasil
liputannya kepada redaktur media tersebut. Redaktur
akan mengedit kembali gambar dan tata bahasa yang
di gunakan wartawannya. Setelah semuanya
berlangsung sesuai prosedur, berita tersebut akan di
serahkan ke bagian teknisi untuk di tampilkan ke layar
televisi. Skrip berita itu tentunya akan di berikan
kepada pembaca berita (presenter). Seluruh proses itu
bukan di lakukan secara personal, namun di lakukan
oleh tim atau banyak orang. Sehingga di sebutlah
komunikator dalam komunikasi massa terlembaga.

2. Pesan Bersifat Umum

Komunikasi massa bersifat terbuka. Hal ini di


karenakan, komunikan tersebar di berbegai tempat.
Selain itu, pesan bersifat umum maksudnya adalah
pesan-pesan yang di sampaikan oleh komunikator di
tujukan oleh masyarakat luas atau masyarakat umum.
Tidak ada klasifikasi pesan, misalnya di khususkan
untuk masyarakat di Pulau Jawa dan lain sebagainya.
Meskipun demikian, pesan yang di sampaikan melalui
komunikasi massa harus melalui tahap seleksi terlebih
dahulu. Pesan itu sendiri dapat berupa peristiwa, fakta
dan opini. Namun, tidak semua pesan dapat di
tayangkan atau di tampilkan melalui komunikasi
massa. Tolak ukur pesan dalam komunikasi massa
adalah adanya nilai (value) penting dan menarik di
dalamnya. Bagi jurnalis atau wartawan ini di sebut
sebagai nilai-nilai berita. Nilai penting dan menarik itu
sendiri sangat relatif. Semua itu tergantung bagaimana
peristiwa, opini dan fakta tersebut penting di ketahui
oleh masyarakat. Sehingga masyarakt tertarik untuk
menonton tayangan tersebut. Pada akhirnya,
masyarakat tidak akan meninggalkan saluran media
komunikasi massa tersebut dan berpindah ke saluran
(channel) lainnya.

3. Komunikan Heterogen

Komunikan atau penerima informasi dalam komunikasi


massa bersifat heterogen. Hal ini di karenakan,
komunikasi massa menyampaikan pesan secara umum
pada seluruh masyarakat, tanpa membedakan suku,
ras dan usia. Masyarakat yang menerima pesan ini
beragam karakter psikologi, usia, tempat tinggal, adat
budaya, strata sosial dan agamanya.

4. Media Massa bersifat Keserempakan

Komunikasi massa bersifat keserempakan. Dalam hal


ini, keserempakan yang di maksud adalah tayangan
atau program siaran di sampaikan secara serempak.
Misalnya, sinetron Bawang Merah dan Bawang Putih di
RCTI di terima secara serempak oleh seluruh
masyarakat Indonesia.
5. Pesan yang di sampaikan satu arah

Dalam komunikasi massa pesan yang di sampaikan


oleh komunikator bersifat satu arah. Tidak terjadi
interaksi antara komunikator dan komunikan dalam
sebuah program siaran. Dewasa ini, sifat satu arah ini
lebih dominan dari pada sifat interaksi. Meskipun, pada
program khusus, kemungkinan interaksi masih terbuka
bebas. Misalnya, program Talk Show, bedah editorial
Media Indonesia di Metro TV dan lain sebagainya.

6. Umpan Balik Tertunda (Delayed feed back)

Umpan balik merupakan wujud respon komunikan dari


pesan yang di sampaikan oleh komunikator. Umpan
balik dalam komunikasi massa bersifat tertunda, dalam
arti umpan balik yang di sampaikan oleh komunikan
tidak langsung di terima oleh komunikator. Misalnya,
sebuah tayangan kekerasan di siarkan oleh salah satu
stasiun televisi di Indonesia. Dalam psikologi di
sebutkan, respon yang di terima masyarakat terdiri
dari mendukung atau menolak tayangan tersebut. Pro
dan kontra ini tidak dapat di sampaikan secara
langsung saat program tayangan kekerasan tersebut
sedang di siarkan. Butuh waktu untuk menyampaikan
pesan. Penyampaian pesan ini dapat berupa kritik
terhadap tayangan tersebut melalui surat pembaca di
media massa dan lain sebagainya.

A.3. Fungsi Komunikasi Massa

Fungsi komunikasi massa awalnya di cetuskan oleh


Laswell pada tahun 1948. Tokoh ilmu Komunikasi yang
mendalami Komunikasi Politik ini menyebutkan, fungsi
komunikasi massa secara umum adalah untuk pengawasan
lingkungan hidup, pertalian dan transmisi warisan sosial.

Wright (1960) menyebutkan fungsi komunikasi massa


berguna untuk menghibur. Mandelson berpendapat lain, dia
menyebutkan fungsi komunikasi massa dalam hal untuk
menghibur akan berpengaruh terhadap trasmisi budaya dan
menjauhkan kerapuhan masyarakat. Media massa memiliki
nilai edukasi sebagai salah satu fungsinya.

Dari dasar ide dan gagasan para ahli di atas,


serangkaian fungsi komunikasi massa untuk masyarakat
terdiri sebagai berikut:

1. Informasi

Fungsi informasi terdiri dari sebagai berikut:

- Menyediakan informasi tentang peristiwa dan


kondisi dalam amsyarakat dan dunia.

- Menunjukkan hubungan kekuasaan

- Memudahkan inovasi, adaptasi dan kemajuan.

2. Korelasi

Fungsi korelasi terdiri dari sebagai berikut:

- Menjelaskan, menafsirkan, mengomentari makna


dan informasi

- Menunjang otoritas dan norma-norma yang


mapan

- Melakukan sosialisasi

- Mengkoordinasikan beberapa kegiatan

- Membentuk kesepakatan

- Menentukan urutan prioritas dan memberikan


status relatif

3. Kesinambungan

Diantaranya terdiri dari:

- Mengekspresikan budaya dominan dan mengakui


keberadaan kebudayaan khusus (subculture)
serta perkembangan budaya baru\

- Meningkatkan dan melestarikan nilai-nilai

4. Hiburan

Diantaranya terdiri dari:

- Menyediakan hiburan, pengalihan perhatian dan


sarana relaksasi

- Meredakan ketegangan sosial

5. Mobilisasi

Diantaranya terdiri dari:

- Mengkampanyekan tujuan masyarakat dalam


bidang politik, perang, pembangunan ekonomi,
pekerjaan dan kadang kala juga dalam bidang
agama.

Fungsi lain dari media massa juga di tinjau dari sudut


pandang kepuasan indovidual. Hal ini menyangkut tentang
kepuasaan individu terhadap tayangan yang di sajikan oleh
media massa. Teori tentang kepuasaan atau di sebut dengan
fungsionalisme individual ini di sebut Mc Quail sebagai salah
satu fungsi media untuk kepentingan pribadi. Mc Quail
menyebutkan fungsi media massa atau komunikasi massa
untuk kepentingan pribadi sebagai berikut:

1. Informasi

Diantaranya terdiri dari:

- Mencari berita tentang peristiwa dan kondisi


yang berkaitan dengan lingkungan terdekat,
masyarakat dan dunia.

- Mencari bimbingan menyangkut berbagai


masalahpraktis, pendapat dan hal-hal yang
berkaitan dengan penentuan pilihan.

- Memuaskan rasa ingin tahu dan minat umum


- Belajar atau pendidikan diri sendiri

- Memperoleh rasa damai melalui penambahan


pengetahuan

2. Indentitas Pribadi

Diantaranya terdiri dari:

- Menentukan penunjangan nilai-nilai pribadi

- Menemukan model prilaku

- Mengindentifikasikan diri dengan nilai-nilai lain


(dalam media)

- Meningkatkan pemahaman tentang diri sendiri

3. Integrasi dan Interaksi Sosial

Dianataranya terdiri dari:

- Memperoleh pengetahuan tentang diri orang lain


atau empati sosial

- Mengindentifikasi diri dengan orang lain dan


meningkatkan rasa memiliki

- Menemukan bahan percakapan dalam interaksi


sosial

- Memperoleh teman selain dari manusia

- Membantu menjalankan peran sosial

- Memungkinkan seseorang untuk dapat


menghubungi sanak-keluarga, teman dan
masyarakat

4. Hiburan

Diantaranya terdiri:

- Melepaskan diri atau terpisah dari permasalahan

- Bersantai
- Memperoleh kenikmatan jiwa dan estetis

- Mengisi waktu

- Penyaluran emosi

- Membangkitkan gairah seks

B. Teori Komunikasi Massa

Efek komunikasi massa telah lama di perbincangkan


dalam khasanah kajian Ilmu Komunikasi. Bahkan, efek ini di
kaji secara ilmiah oleh para pemikir atau ilmuan komunikasi.
Salah satunya yang membahas tentang efek media adalah
wilbur Schraam. Schraam mencetuskan teori Jarum
Hipodermik (hypodermic needle theory) dalam istilah
indonesia teori ini di kenal dengan teori peluru atau teori
tolak peluru. Teori ini mengasumsikan bahwa media memiliki
kekuatan yang sangat perkasa dan komunikan di anggap
pasif atau tidak tahu apa-apa. Pesan-pesan komunikasi
massa yang di sampaikan kepada khalayak yang heterogen
dapat di terima secara langsung tanpa memiliki filter sama
sekali. Artinya, komunikan sangat terbius oleh suntikan
pesan yang di sampaikan media massa. Suntikan pesan ini
masuk ke dalam saraf dan otak serta melakukan tindakan
sesuai dengan pesan komunikasi massa tersebut. Pendapatn
Schramm di dukung oleh Paul Lazarzfeld dan Raymond
Bauer.

Teori lain yang berbicara tentang efek media massa


terhadap publik atau khayaknya adalah teori agenda setting
(teori penataan agenda). Teori milik Mc. Combs dan D.L.
Shaw menyebutkan jika media memberikan tekanan pada
suatu peristiwa, maka media tersebut akan mempengaruhi
khalayak untuk menganggapnya penting. Jika melihat
argumen yang di kemukakan oleh dua pakar komunikasi ini
maka, media cendrung membuat agenda tayangannya
terhadap publik. Ini yang kemudian di kenal sebagai istilah
manajemen media massa. Manajemen media massa sendiri
terdiri dari bagaimana mengatur program siaran, proses
membuat program tersebut dan lain sebagainya. Media di
Indonesia tampaknya memang menganut teori yang satu ini.
Dimana dalam kasus Tayangan Kekerasan semua media
memiliki tayangan jenis ini dengan nama yang berbeda.
Bukan hanya tayangan kekerasan berita yang di tampilkan
seperti Patroli, Sergap, Sidik dan lain sebagainya. Namun,
tayangan kekerasan lainnya seperti Smack Down dan
tayangan sinetron berbau kekerasan turut mendapat
tempat di hati publik. Sinetron yang termasuk dalam
tayangan kekerasan adalah Sinetron Anak Ajaib yang di
perankan oleh Joshua.

Menyangkut terhadap perubahan budaya, media juga


berperan penting. Sudah menjadi rahasia umum, media
memiliki kemampuan yang luar biasa untuk merubah,
menciptakan atau bahkan menghilangkan budaya. Budaya
yang telah berkembang di tengah komunitas tertentu secara
perlahan akibat terjangan media akan hilang dengan
sendirinya. Ini yang tengah terjadi di Indonesia. Teori yang
membahas masalah ini yaitu Teori Norma Budaya (cultural
norms theory). Dalam teori yang di perkenalkan oleh Melvin
DeFleur ini menyebutkan media massa melalui program
tertentu dapat menguatkan budaya atau bahkan sebaliknya
media massa menciptakan budaya baru dengan caranya
sendiri. Penekanan media pada program siaran tertentu
akan membuat masyarakat menganggap penting dan
mengikuti tindakan-tindakan seperti yang di tampilkan di
media tersebut. Contoh yang terjadi di Indonesia adalah
kasus Ny. Lia Marfiandi. Ibu muda ini terkejut saat melihat
anaknya yang berusia delapan tahun memecahkan piring
dan gelas secara tiba-tiba. Bahkan, sang anak tidak merajuk
atau lain sebagainya. Sang anak ini mengaku melihat
tampilan Joshua dalam sinetron Anak Ajaib. Sehingga, dia
melakukan pemecahan piring, gelas dan pas bunga sambil
tertawa terbahak-bahak.

C. Budaya
Budaya berasal dari kata budhi atau dalam bahasa
sanksekerta buddayah yang berarti budi atau akal.
Sedangkan kebudayaan (culture) yang berarti mengolah,
mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan terutama
dalam pengertian ini mengolah tanah atau bertani. Menurut
Koentjaraningrat kebudayaan berarti keseluruhan manusia
dari kelakuan dan hasil kelakuan yang teratur oleh
tatakelakuan yang harus di dapatnya dengan belajardan
yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.

Sedangkan Sidi Gazalba menyebutkan kebudayaan


adalah cara berpikir dan merasa yang menyatakan diri
dalam seluruh segi kehidupan dari segolongan manusia
yang membentuk kesatuan sosial dengan suatu ruang atau
suatu waktu.

Pakar antropologi lainnya R. Linton dalam buku the


cultural background of personality menyatakan bahwa
kebudayaan adalah konfigurasi dari tingkah laku dan
perbuatan manusia, yang unsur-unsur pembentukannya
dididukung serta di teruskan oleh anggota masyarakat
tertentu. Hal yang paling mudah di pahami tentang definisi
kebudayaan di cetuskan oleh Melville J. Herkovits.
Antropolog Amerika mendefinisikan kebudayaan adalah
bagian dari lingkungan buatan manusia. Sedangkan dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia budaya dan kebudayaan di
tafsirkan dengan arti pikiran atau akal.

Dari beberapa definisi di atas dapat di simpulkan


kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan
dan hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupannya
dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam
kehidupan masyarakat. Untuk lebih jelas, dapat di rinci
sebagai berikut:

1. Bahwa kebudayaan adalah segala sesuatu yang di


lakukan dan di hasilkan manusia. Karena itu meliputi :

a. Kebudayaan material (bersifat jasmaniah), yang


meliputi benda-benda ciptaan manusia, seperti alat-
alat perlengkapan hidup.

b. Kebudayaan non material (bersifat rohaniah), yaitu


semua hal yang tidak dapat di lihat dan di raba
sperti religi, bahsa dan ilmu pengetahuan.

2. Bahwa kebudayaan itu tidak di wariskan secara


generatif (biologis), melainkan hanya mungkin di
peroleh dengan cara belajar.

3. Bahwa kebudayaan itu di peroleh manusia sebagai


anggota masyarakat. Tanpa masyarakat akan sulit bagi
manusia untuk membentuk kebudayaan. Sebaliknya
tanpa kebudayaan tidak mungkin manusia baik secara
individual maupun masyarakat, dapat
mempertahankan kebudayaannya.

D. Pembahasan Masalah

D.1. Hubungan Media Massa dan Masyarakat

Hubungan media massa dengan masyarakat telah di


bahas dengan berbagai pendekatan yang berbeda. Pertama,
hubungan tersebut merupakan bagian dari sejarah
perkembangan setiap media massa dalam masyarakat
sendiri. Pola hubungan tersebut merupakan hasil refleksi
sejarah yang di perkirakan turut berperan dalam
perkembangan sejarah itu tersendiri. Terlepas dari adanya
persamaan dari beberapa institusi media pada semua
masyarakat, pada awalnya media juga menerapkan kegiatan
dan konvensi sebagaimana yang diterapkan oleh institutasi
nasional lainnya. Hal itu tampak dalam isi media. Mediapun
memenuhi harapan khalayaknya. Media mencerminkan,
menyajikan dan kadangkala berperan serta secara aktif
untuk memenuhi kepentingan nasional yang di tentukan
oleh para aktor dan isntitusi lain yang lebih kuat.

Kedua, gambaran media sebagai institusi mediasi,


yang menghubungkan para anggota masyarakat biasa
dengan peristiwa dunia yang sulit di jangkau oleh penguasa,
merupakan ide yang mengandung konsep hubungan yang
terjadi setidak-tidaknya karena adanya arus informasi yang
berkesinambungan. Ketiga, sebagai suatu institusi yang di
perlukan bagi kesinambungan sistem sosial masyarakat
industri (informasi) modern yang berskala besar. Hubungan
lainnya, dapat di lihat dari sisi normatif. Dalam sisi normatif
ini di sebutkan harapan masyarakat terhadap media dan
peran yang seharusnya di mainkan oleh media. Hal ini di
karenakan, dalam fungsi media telah di sebutkan media
massa berperan untuk membuat rasa nyaman terhdap
publik atau komunikannya. Jika, masyarakat mulai tidak
suka terhadap tayangan yang di tampilkan oleh televisi
maka televisi tersebut dengan sendirinya akan mengalami
“miskin” pendapatan. Pendapatan televisi terbesar di
peroleh dari iklan. Para pemasang iklan akan melihat rating
tayangan tertentu jika memasang iklan di televisi tersebut.
Sebut saja misalnya, sebuah perusahaan akan mengiklankan
produknya di salah satu stasiun televisi. Jika rating program
yang di tayangkan sangat sedikit penontonnya, maka si
pemilik perusahaan akan memilih program lain atau stasiun
televisi lainnya yang memiliki penonton dengan jumlah
besar.

D.2. Efek Tayangan Kekerasan Terhadap Masyarakat

Sebagaimana telah di singgung di atas, komunikasi


massa merupakan proses penyampaian pesan dari
komunikator kepada komunikan dengan menggunakan
media massa sebagai saluran penyampaiannya. Maraknya
tayangan kekerasan di televisi dewasa ini seperti SERGAP di
RCTI, PATROLI di Indosiar dan SIDIK di TPI merupakan
fenomena baru dalam tayangan televisi di Indonesia. Dalam
format tayangannya, program siaran berbau kekerasan
tersebut mewabah ke stasiun televisi lainnya. Bahkan TPI
yang mengusung misi sebagai televisi pendidikan juga turut
membuat format tayangan ini. Awalnya menurut Indira Hadi
Purnama pemimpin redaksi Patroli Indosiar tujuan program
Patroli milik statsiun televisinya untuk menghilangkan jenuh
masyarakat (komunikan). Kejenuhan masyarakat selama ini
yang selalu di sodorkan dengan berita-berita politik ini yang
di sebut Indira sebagai proses pembaharuan program
tayangan dan mencuri pasar media.

Banyaknya televisi yang menayangkan berita-berita


politik membuat masyarakat jenuh dan akhirnya secara
tidak langsung berharap agar stasiuntelevisi kreative dan
melahirkan program siaran yang baru. Maka, Indira memilih
untuk membuat tayangan Patroli dengan mengedepankan
berita-berota kriminal. Tayangan ini sendiri di liput secara
langsung oleh wartawan stasiun televisi tersebut. Hubungan
antara aparat kepolisian dan wartawan yang di tempatkan
dalam desk berita kriminal sejauh ini sangat harmonis.
Setiap kali akan melakukan penangkapan, polisi akan
memberitahukan kepada wartawan. Dalam tayangannya,
seorang tersangka atau pelaku tindak kriminal di buru oleh
Polisi. Jika si pelaku melarikan diri, Polisi akan mengejar dan
menembak pelaku tersebut. Seluruh proses penggerebekan,
pengejaran dan penembakan pelaku kriminal ini di rekam
oleh kamera wartawan yang mengikuti proses penangkapan
tersebut. Bahkan, dalam gambar yang di tampilkan, tidak
jarang bercak darah bekas penembakan terlihat jelas oleh
masyarakat sebagai penonton setia tayangan tersebut.
Secara etik jurnalistik, memperlihatkan tayangan langsung
seperti ini dengan bercak darah dan kekerasan yang terjadi
merupakan sebuah pelanggaran. Hal ini tertuang dalam
Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia (KEWI) Pasal 12
yang menyebutkan, Jurnalis tidak menyajikan berita yang
mengumbar kecabulan, kekejaman, kekerasan fisik dan
seksual. Namun, pada kenyataannya, tayangan jenis ini
semakin berkembang di Indonesia. Sedikitnya delapan
program televisi bertema kriminalitas, dengan berbagai
nama program, ditayangkan setiap hari oleh stasiun-stasiun
televisi di Indonesia, dengan durasi sedikitnya 30 menit
hingga 1 jam. Ini belum termasuk berita-berita kriminalitas
dalam program liputan umum. Dilihat dari jam tayangnya,
sebagian besar program kriminalitas menempati jam-jam
prime time, yaitu rentang waktu di mana jumlah penonton
televisi mencapai puncaknya. Bukan hanya itu, tayangan
kekerasan lainnya seperti Smack Down di LatiVi juga
merupakan salah satu bentuk tayangan kekerasan yang di
tampilkan oleh media massa di Indonesia. Tayangan Smack
Down sendiri awalnya tahun 2000 telah di siarkan oleh
stasiun televisi TPI.

Kenyataan ini dikuatkan dengan laporan rating


program televisi yang memperlihatkan bahwa tayangan
bertema kriminalitas, di samping infotainment dan tayangan
bertema klenik-supranatural, menjadi primadona dengan
menempati ranking-ranking teratas program yang paling
banyak ditonton khalayak. Mencermati fenomena ini, jelas
bahwa kondisi industri pertelevisian di Indonesia sendiri
telah menyuburkan situasi yang memungkinkan masyarakat
diterpa informasi kriminalitas tanpa henti. Sehingga
memperbesar kemungkinan berlakunya efek media pada
masyarakat. Pengakuan seorang Pelaku Pencurian
Kendaraan bermotor di SelamanYigyakakarta kepada Indira
Pemimpin Redaksi Patroli Indosiar menyebutkan dirinya
menggunakan motiv operandi yang di siarkan oleh Patroli
menjadi sebuah kenyataan yang tidak dapat di bantahkan
oleh siapapun. Kenyataan ini lah yang membuat risau
masyarakat di seluruh Indonesia terhadap tayangan
kekerasan tersebut.

Berharap bahwa pihak media mau berbaik hati


mengurangi tayangan bertema kekerasan di televisi sama
saja dengan menggantang asap di atas perapian. Stasiun
televisi jelas tidak mau merugi. Investasi yang mahal harus
dikembalikan secepatnya, keuntungan yang diperoleh pun
harus berlipat ganda. Bagaimana dengan instrumen
hukum?. Kontroversi seputar RUU Penyiaran jelas
memperlihatkan bahwa dalam pemakaian ruang publik pun,
media massa tidak mau diatur. Apalagi dalam pembatasan
isi siaran, yang kerap dimaknai secara sepihak sebagai
pembatasan kebebasan pers.
Televisi sudah merasa cukup menjalankan produksi
pemberitaan dan informasi (bertema kriminalitas) sesuai
dengan kaidah teknis objektivitas berita, tanpa mau repot-
repot memikirkan dampak etis pemberitaannya. Kalau ada
yang sampai terpengaruh, media massa tidak akan pernah
mau disalahkan. Salahkan saja penontonnya, kenapa mau
saja menonton, dan kenapa bisa sampai terpengaruh. Pihak
media merasa sudah cukup bertindak etis dengan
memasang logo PG (Parental Guide, dengan bimbingan
orang tua) bertuliskan pembatasan usia penonton pada
acara-acara "keras".

Padahal, pada kenyataannya, cara itu sungguh


mustahil untuk mengontrol pembatasan usia penonton.
Menilik realitas semacam itu, penonton sendirilah kini yang
harus mewajibkan diri untuk mengkritisi tayangan televisi,
sehingga tidak terseret arus dominan realitas televisi
(berikut gaya hidupnya). Tak ada salahnya, dan tidak ada
ruginya berpuasa dari tontonan televisi yang tidak
mencerdaskan.

Indonesia juga perlu memiliki mediawatch sebanyak-


banyaknya. Mediawatch yang tidak saja mengontrol fungsi-
fungsi media dan mengadvokasi kepentingan publik. Tetapi
juga mendidik masyarakat untuk mengonsumsi televisi
secara cerdas dan kritis. Masyarakat penyiaran Indonesia
kini baru sebatas organisasi yang terdiri dari elite-elite
media dan akademisi pemerhati media. Di masa depan,
organisasi ini perlu didesentralisasi sampai ke tingkat lokal.
Kiprahnya juga perlu diperluas sampai ke tingkat akar
rumput dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara
menyeluruh. Dalam kerangka sistem kapitalisme global
industri media massa saat ini, di mana materi menjadi
penentu segalanya, hanya penonton selaku konsumenlah
yang punya kekuatan untuk memaksa stasiun televisi
menayangkan informasi-informasi kriminalitas (atau
informasi apa pun) secara etis, dan lebih mencerdaskan
penonton.
D.3. Efek Tayangan Televisi Terhadap Anak-anak

Tayangan kekerasan juga berpengaruh terhadap pola


prilaku anak. beberapa efek yang di timbulkan oleh
tayangan ini di antaranya sebagai berikut:
a. Jadi Agresor dan Tak Pedulian
Di Indonesia belum ada penelitian mengenai pengaruh
tayangan kekerasan terhadap perilaku anak. Ini tentu
membuat semakin sulit untuk mengatakan bahwa tayangan
televisi berpengaruh terhadap perilaku anak. Sementara,
meski masih simpang siur, peneliti di luar sudah
menyimpulkan ada korelasi - untuk tidak menyebut
penyebab - antara tayangan kekerasan dengan perilaku
anak. Sebuah survai pernah dilakukan Christian Science
Monitor (CSM) tahun 1996 terhadap 1.209 orang tua yang
memiliki anak umur 2 - 17 tahun. Terhadap pertanyaan
seberapa jauh kekerasan di TV mempengaruhi anak, 56%
responden menjawab amat mempengaruhi. Sisanya, 26%
mempengaruhi, 5% cukup mempengaruhi, dan 11% tidak
mempengaruhi.

Hasil penelitian Dr. Brandon Centerwall dari Universitas


Washington memperkuat survai itu. Ia mencari hubungan
statistik antara meningkatnya tingkat kejahatan yang
berbentuk kekerasan dengan masuknya TV di tiga negara
(Kanada, Amerika, dan Afrika Selatan). Fokus penelitian
adalah orang kulit putih. Hasilnya, di Kanada dan Amerika
tingkat pembunuhan di antara penduduk kulit putih naik
hampir 100%. Dalam kurun waktu yang sama, kepemilikan
TV meningkat dengan perbandingan yang sejajar. Di Afrika
Selatan, siaran TV baru diizinkan tahun 1975. Penelitian
Centerwall dari 1975 - 1983 menunjukkan, tingkat
pembunuhan di antara kulit putih meningkat 130%. Padahal
antara 1945 - 1974, tingkat pembunuhan justru menurun
(Kompas, 20-3-1995).

Centerwall kemudian menjelaskan, TV tidak langsung


berdampak pada orang-orang dewasa pelaku pembunuhan,
tetapi pengaruhnya sedikit demi sedikit tertanam pada si
pelaku sejak mereka masih anak-anak. Dengan begitu ada
tiga tahap kekerasan yang terekam dalam penelitian:
awalnya meningkatnya kekerasan di antara anak-anak,
beberapa tahun kemudian meningkatnya kekerasan di
antara remaja, dan pada tahun-tahun akhir penelitian di
mana taraf kejahatan meningkat secara berarti yakni
kejahatan pembunuhan oleh orang dewasa.

Penemuan ini sejalan dengan hasil penelitian Lembaga


Kesehatan Mental Nasional Amerika yang dilakukan dalam
skala besar selama sepuluh tahun. "Kekerasan dalam
program televisi menimbulkan perilaku agresif pada anak-
anak dan remaja yang menonton program tersebut,"
demikian simpulnya. Sedangkan Ron Solby dari Universitas
Harvard secara terinci menjelaskan, ada empat macam
dampak kekerasan dalam televisi terhadap perkembangan
kepribadian anak. Pertama, dampak agresor di mana sifat
jahat dari anak semakin meningkat; kedua, dampak korban
di mana anak menjadi penakut dan semakin sulit
mempercayai orang lain; ketiga, dampak pemerhati, di sini
anak menjadi makin kurang peduli terhadap kesulitan orang
lain; keempat, dampak nafsu dengan meningkatnya
keinginan anak untuk melihat atau melakukan kekerasan
dalam mengatasi setiap persoalan.

b. Nonton untuk pelarian


Tapi, benarkah agresivitas anak-anak terjadi hanya
karena tayangan kekerasan di layar kaca? "Pada dasarnya
setiap manusia itu mempunyai sifat agresif sejak lahir,"
ungkap Fawzia. Sifat ini berguna dalam bertahan hidup.
Tanpa agresivitas, anak tidak akan bereaksi jika mendapat
rangsangan yang mengancamnya. Tetapi, tanpa pengarahan
yang baik, sifat itu bisa merusak.

Ada yang melihat, proses dari sekadar tontonan


sampai menjadi perilaku perlu waktu yang cukup panjang.
Namun, yang merepotkan bila tontonan kekerasan jadi
suguhan sehari-hari, sehingga menjadi hal yang biasa,
apalagi lingkungan sekitar juga mendukung.

Menurut psikolog dari Universitas Stanford, Albert


Bandura, respons agresif bukan turunan, tetapi terbentuk
dari pengalaman. Ada permainan yang dapat memicu agresi.
"Orang belajar tidak menyukai dan menyerang tipe individu
tertentu melalui pengalaman atau pertemuan langsung yang
tidak menyenangkan."

Bayangkan, bila dalam sehari disuguhkan 127 adegan


kekerasan, berapa yang akan diterima dalam seminggu,
sebulan, atau setahun? Mungkinkah akhirnya si anak
merasa, memang "tidak apa-apa" memukul dan menganiaya
orang lain?

Hasil survai berikut bisa memberikan gambaran. Rata-


rata orang Amerika menonton TV selama 25 - 30 jam per
minggu. Dalam penelitian yang melibatkan 100.000 orang
sebagai subjek disimpulkan, ada bukti kuat hubungan
antara perilaku agresif dan melihat tayangan TV yang
bermuatan kekerasan dalam waktu lama (ekstensif).

Banyak anak begitu betah menghabiskan waktu


berjam-jam di depan TV. "Menurut mereka, televisi adalah
cara terbaik untuk menyingkirkan perasaan tertekan, atau
untuk mencoba lari dari perasaan itu," kata Mark I Singer,
guru besar di Mandel School of Applied Social Sciences yang
meneliti 2.244 anak sekolah yang berumur 8 - 14 tahun di
Northeast Ohio, AS.

Malah menurut majalah TV Guide, sekitar 70% anak


yang menonton TV menyatakan, nonton TV hanya sebagai
pelarian. Hanya 1 dari 10 pemirsa yang mengatakan TV
untuk olah intelektual.

Padahal, penelitian menunjukkan, menonton TV


berjam-jam secara pasif justru meningkatkan level trauma
kejiwaan. "Kegiatan nonton TV berjam-jam tidak
menghilangkan rasa tertekan, tapi membuatnya makin
parah," tambah Singer.

Rupanya, ada hubungan antara pilihan program


dengan tingkat kemarahan atau agresi. "Anak laki-laki atau
perempuan yang memilih program TV dengan banyak aksi
dan perkelahian - atau program kekerasan tinggi, memiliki
nilai kemarahan yang tinggi dibandingkan anak lainnya.
Mereka juga dilaporkan lebih banyak menyerang anak lain,"
ujar Singer.

Yang menarik, ada hubungan nyata antara kebiasaan


menonton TV dengan tingkatan pengawasan orang tua.
Pengawasan itu berupa pengenalan orang tua akan teman-
teman sang anak, di mana mereka berada sepanjang hari.
Selain itu, apakah orang tua juga menetapkan dan
menjalankan peraturan pembatasan waktu bermain di luar
rumah atau nonton TV.

Anak yang tidak diawasi dengan ketat akan menonton


TV lebih banyak dibandingkan anak-anak yang lain.
Kelompok ini lebih banyak menonton program aksi dan
perkelahian atau video musik. "Sebanyak 58% anak
perempuan yang kurang diawasi, lebih memilih program TV
berbau kekerasan atau video musik," ungkap Singer.

Singer juga melaporkan, hampir separuh kelompok


anak perempuan dengan tingkat kemarahan tinggi punya
pikiran untuk bunuh diri. Sedangkan pada kelompok anak
laki-laki tipe yang sama merasa takut akan ada orang yang
membunuh mereka.

Apalagi menurut Aletha Huston, Ph.D. dari University


of Kansas, "Anak-anak yang menonton kekerasan di TV lebih
mudah dan lebih sering memukul teman-temannya, tak
mematuhi aturan kelas, membiarkan tugasnya tidak selesai,
dan lebih tidak sabar dibandingkan dengan anak yang tidak
menonton kekerasan di TV."

Toh tidak semua pihak setuju dengan pendapat bahwa


kekerasan di TV berakibat langsung pada perilaku. Satu
kajian oleh para ahli ilmu jiwa Inggris menyebutkan, tak ada
kaitan langsung antara kekerasan di TV dengan perilaku
anak.
Namun, ada syarat yang harus dipenuhi. "Tak ada yang
lebih baik daripada keluarga yang hangat, sekolah yang
bermutu, dan masyarakat yang peduli," tutur ahli perilaku
Tony Charlton, yang memimpin kajian itu. "Kalau tiga aspek
itu terpenuhi, tak ada masalah dengan kekerasan yang
ditonton."

Film laga harus pula dilihat dari aspek positifnya, yaitu


bahwa anak membutuhkan figur pahlawan, jagoan, dan
heroisme. Di sinilah peran orang tua untuk mengajaknya
menarik garis perbedaan antara dunia nyata dan film.
Seperti yang dikatakan Madeline Levine, Ph.D., psikolog di
Marin County, Kalifornia, "Pada umur sembilan tahun anak
baru bisa membedakan antara kenyataan dan fantasi."

Majalah Time (12-1-1998) juga memaparkan hasil


sebaliknya. Selama tiga tahun peneliti Inggris, Tony
Charlton, memantau perilaku 859 anak di pulau terpencil
Saint Helena, Atlantik. Ia menemukan, tidak ada perubahan
perilaku pada mereka yang menonton TV dari berbagai
belahan dunia yang diterima melalui satelit. Tapi jangan-
jangan, Charlton tidak memperhatikan populasi penduduk
yang hanya 5.600 orang dan letaknya yang terpencil itu?

c. Orang Tua Contoh Model Anak


Dari berbagai kemungkinan masalah yang bisa timbul,
tentu peran orang tua tidak bisa diabaikan. Sikap orang tua
terhadap TV akan mempengaruhi perilaku anak. Maka
sebaiknya orang tua lebih dulu membuat batasan pada
dirinya sebelum menentukan batasan bagi anak-anaknya.
Biasanya, di kala lelah atau bosan dengan kegiatan rumah,
orang tua suka menonton TV. Tetapi kalau itu tidak
dilakukan dengan rutin, artinya Anda bisa melakukan
kegiatan lain kalau sedang jenuh, anak akan tahu ada
banyak cara beraktivitas selain menonton TV.

Usahakan TV hanya menjadi bagian kecil dari


keseimbangan hidup anak. Yang penting, anak-anak perlu
punya cukup waktu untuk bermain bersama teman-teman
dan mainannya, untuk membaca cerita dan istirahat,
berjalan-jalan dan menikmati makan bersama keluarga.
Sebenarnya, umumnya anak-anak senang belajar dengan
melakukan berbagai hal, baik sendiri maupun bersama
orang tuanya.

Hal penting kedua adalah mengikutsertakan anak


dalam membuat batasan. Tetapkan apa, kapan, dan
seberapa banyak acara TV yang ditonton. Tujuannya, agar
anak menjadikan kegiatan menonton TV hanya sebagai
pilihan, bukan kebiasaan. Ia menonton hanya bila perlu.
Untuk itu video kaset bisa berguna, rekam acara yang Anda
sukai lalu tonton kembali bersama-sama pada saat yang
sudah ditentukan. Cara ini akan membatasi, karena anak
hanya menyaksikan apa yang ada di rekaman itu.

Masalah jenis program yang ditonton sangat penting


dipertimbangkan sebab itu menyangkut masalah kekerasan,
adegan seks, dan bahasa kotor yang kerap muncul dalam
suatu acara. Kadang ada acara yang bagus karena memberi
pesan tertentu, tetapi di dalamnya ada bahasa yang kurang
sopan, atau adegan - seperti pacaran, rayuan - yang kurang
cocok untuk anak-anak. Maka sebaiknya orang tua tahu isi
acara yang akan ditonton anak. Usia anak dan kedewasaan
mereka harus jadi pertimbangan. Dalam hal seks, orang tua
sebaiknya bisa memberi penjelasan sesuai usia, kalau ketika
sedang menonton dengan anak-anak tiba-tiba nyelonong
adegan "saru".

Masalah bahasa pun perlu diperhatikan agar anak tahu


mengapa suatu kata kurang sopan untuk ditiru. Orang tua
bisa menjelaskannya sebagai ungkapan untuk keadaan
khusus, terutama di TV untuk mencapai efek tertentu.

d. Waktu Ideal Untuk Anak-Anak Menonton TV


Kapan dan berapa lama anak boleh menonton TV,
semua itu tergantung pada cara sebuah keluarga
menghabiskan waktu mereka bersama. Bisa saja di waktu
santai sehabis makan malam bersama, atau justru sore hari.

Anak yang sudah bersekolah harus dibatasi, misalnya


hanya boleh menonton setelah mengerjakan semua PR.
Berapa jam? Menurut Jane Murphy dan Karen Tucker -
produser acara TV anak-anak dan penulis - sebaiknya tidak
lebih dari dua jam sehari, itu termasuk main komputer dan
video game. Untuk anak yang belum bersekolah atau sering
ditinggal orang tuanya di rumah, porsinya mungkin bisa
sedikit lebih banyak.

Memberikan batasan apa, kapan, dan seberapa banyak


menonton acara TV juga akan mengajarkan pada anak
bahwa mereka harus memilih (acara yang paling digemari),
menghargai waktu dan pilihan, serta menjaga keseimbangan
kebutuhan mereka.

Agar sasaran tercapai, disiplin dan pengawasan orang


tua mutlak diperlukan. Sayangnya, unsur pengawasan ini
yang sering jadi titik lemah orang tua yang sibuk dengan
pekerjaan sehari-hari di kantor. "Untuk itu, orang tua
memang dituntut untuk cerewet. Tidak apa-apa agak
cerewet, demi kebaikan anak-anak," ujar Fawzia.

Kekerasan memang sulit dipisahkan dari industri


hiburan. Sama sulitnya jika harus mencari siapa yang harus
disalahkan terhadap masuknya tayangan kekerasan dalam
industri hiburan. Kita akan terjebak dalam lingkaran setan
antara produser, pengelola TV, sutradara, pengiklan,
maupun penonton sendiri. Sementara menangkap setannya
lebih sulit, tindakan yang bisa kita lakukan adalah
meminimalkan pengaruh tersebut, khususnya terhadap
anak-anak. Kuncinya, mulai dari lingkungan keluarga.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari paparan di atas, maka dapat di simpulkan


beberapa hal sebagai berikut:

1. Tayangan berbau kekerasan yang marak di stasiun


televisi di Indonesia saat ini berpengaruh dalam
merubah pola perilaku dan budaya masyarakat
Indonesia. Perubahan prilaku ini berlangsung dari hari
ke hari, sehingga di khawatirkan akan terjadi
pergeseran moral di kalangan masyarakat Indonesia.

2. Tayangan kekerasan di Indonesia semakin hari


semakin marak. Hal ini di karenakan, televisi Indonesia
belum mampu mendesain program yang lebih memiliki
nilai-nilai edukatif.

3. Televisi Indonesia belum menggunakan manajemen


media dengan menyesuaikan jam tayang program
kekerasan tersebut.
B. Saran

Dari hasil pembahasan di atas, maka penulis


menyarankan beberapa hal sebagai berikut:

1. Stasiun televisi Indonesia harus menyesuaikan jam


tayang untuk program tayangan kekerasan ini

2. Harus adanya mediawatc yang mengontrol tayangan


kekerasan di Indonesia. Lembaga ini tentunya
bekerjasama dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
Pusat. KPI harus lebih ketat mengawasi program siaran
di seluruh stasiun televisi Indonesia.

Daftar Pustaka.

Ardianto, Elvinaro dan Komala Erdiyana, 2004. Lukiati.


Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung.
Simbiosa Rekatama Media.

Cangara, Hafied.2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta.


Rajawali Pers.

Hoetomo. 2005. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia.


Surabaya. Mitra Pelajar.

Indira Astuti, Santi. 7 Februari 2004.Kekerasan kriminalitas


di Televisi. Opini. Pikiran Rakyat.

Jamaluddin, Jajang dkk. 2005. Panduan Hukum Untuk


Jurnalis. Jakarta. AJI Jakarta.

Manan, Abdul. 2006. Profile AJI. Jakarta. AJI Indonesia.

McQuail, Denis. 1987. Teori Komunikasi Massa Edisi Kedua.


Jakarta. Erlangga.
Sopian, Agus dkk. 2005. Ontologi Liputan Mendalam dan
Menarik Jurnalisme Sastrawi. Jakarta. Pantau.

Uchjana Effendy, Onong. 2003. Ilmu, Teori dan Filsafat


Komunikasi. Bandung. Cipta Aditya Bakti.

Widagdho, Djoko dkk. 1991. Ilmu Budaya Dasar. Bandung.


Bumi Aksara.

Artikel. 2005. Bahaya Tayangan Kekerasan Terhadap Anak.


Jakarta. Majalah Intisari.

You might also like