You are on page 1of 4

LINGKUNGAN

DAN AKSIOMA KERAKUSAN


Oleh: Dr. Ir. Yusmin Alim, MSc *)
Lanjutan tulisan Lingkungan dan Keimanan kita (bagian dua habis)

Sanggupkah Muslimin Indonesia mengemban perintah Allah untuk mencegah


kerusakan di muka bumi ini?.

Masalah lingkungan dan keimanan kita sudah dibahas pada tulisan sebelumnya.
Persoalan selanjutnya dalam pengelolaan lingkungan adalah masalah pengelolaannya.
Bagaimanakah seharusnya kinerja pemerintah yang dikendalikan oleh mayoritas
Muslim/Muslimah?
Apakah Indonesia sudah menjadi “God defying country?” (negara yang menantang
kekuasaan Tuhan)?
Apa makna dari bencana kebakaran hutan Kalimantan ataupun banjir di Jakarta yang
disebabkan gundulnya kawasan penyangganya - Bogor dan Puncak dalam konteks
Teorema Alim?
inilah yang akan kita bahas selanjutnya.
Teorema Alim ini mengandung dua unsur yaitu misi dan tolok ukur.
Misi dapat diemban apabila diiringi visi mendekatkan diri pada Allah dan dibekali
ketajaman nalar, yaitu kelembagaan, keahlian, dan kegiatan.
Tolok ukur yang jelas adalah mutu lingkungan hidup di Indonesia sebagai rambu-rambu
untuk menilai keberhasilan pelaksanaan misi manusia yaitu mencegah bumi dari
kerusakan lingkungan.
Dapat dikatakan Indonesia telah memiliki perangkat yang cukup untuk mencapai misi
yaitu kelembagaan dalam bidang lingkungan hidup (Menteri Negara Lingkungan
Hidup, Pusat Studi Lingkungan Hidup, dan lainnya), tak terbilang jumlah doktor yang
mendalami ilmu lingkungan, serta intensitas yang tinggi dalam penelitian lingkungan.
Namun simaklah sekali lagi berbagai persoalan lingkungan hidup di Indonesia berikut
ini.

Begitu pekatnya masalah lingkungan hidup di Indonesia sehingga tak perlu seorang
pakar terjun untuk mengukurnya. Menatap langit di sepanjang jalan Sudirman, seorang
awam sudah tahu bahwa udara Jakarta memang beracun.
Kota Bandung juga tak beda jauh dengan Jakarta. Jalan Ir. H. Juanda tidak lebih dari
pusat produksi asap tebal dan penumpukkan sampah di jalan-jalan.
Wajar saja bila batuk meletup begitu seseorang melangkah di jalan tersebut.
Demikian halnya kota lain seperti Surabaya, Medan, dan lainnya. Seluruh jalan di kota-
kota macet karena panjang jalan yang tersedia baru 12.5% dari kebutuhan (Alim, 2005),
penggal jalan yang padat terasa pengap oleh asap tebal yang beracun.
Gambar buram itu tidak berhenti disitu saja.
Penyakitpun datang silih berganti, dan kali ini penyakit mematikan seperti HIV, SAR,
demam berdarah, dan flu burung berjangkit dimanamana.
Terlebih lagi air sungai sungguh sangat kotor karena pembuangan sampah padat. Sungai
Ciliwung, misalnya, setiap hari menampung 1,400 M3 sampah (Kompas, 1996). Hal ini
berarti bahwa kurang lebih 200-400 truk membuang sampah padat ke sungai tersebut
setiap harinya!
Pelayanan air minum juga sangat rendah. Alim (2005) melaporkan bahwa baru sekitar
40 persen penduduk mendapat pelayanan air bersih, dan dari total volume air yang
disalurkan hanya 20% yang layak digunakan karena umumnya air yang sampai kerumah
masih berlumpur.
Hal ini diperburuk oleh kondisi pemerintahan di Indonesia karena aparat yang ingkar
amanah. Salah satu contoh kebohongan pemerintah adalah kasus kebakaran hutan.
Soentoro (1997) melaporkan bahwa kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 1997 telah
menghanguskan 1 juta hektar hutan, nyatanya pemerintah melaporkan 300,000 hektar
saja. Masalah tidak transparannya birokrasi sudah lama mengganjal jalannya roda
pemerintahan.

Sudah jelas bahwa ketajaman nalar yang tidak diiringi oleh kadar keimanan tinggi serta
jauhnya umat Islam dari Allah, telah menciptakan masalah lingkungan hidup.
Apalah artinya perangkat kelembagaan dan banyaknya ilmuwan apabila pemerintahan-
nya dikendalikan insan-insan yang tipis keimanannya. Terlebih lagi umat Islam yang
banyak terlibat dalam kasus korupsi menunjukkan betapa jauhnya umat dari Tuhannya.
Jika berpedoman pada ‘Teorema Alim’ tadi, bahwa masyarakat Muslim Indonesia boleh
jadi telah gagal melaksanakan misinya sebagai khalifah di muka bumi.

Akar Masalah
Dampak langsung dari ilmu tanpa iman adalah kerusakan lingkungan hidup.
Berapa kadar keimanan kita bila tak sanggup menjaga kebersihan diri dan lingkungan?
Berimankah kita sebagai pejabat yang memberi ijin operasi kendaraan berasap tebal dan
tak laik operasi?
Mukminkah kita bila masih mengoperasikan kendaraan yang mengeluarkan asap
beracun di jalan raya?
Siapakah kita bila kita membiarkan hutan terbakar sia-sia?
Mahluk macam apakah kita ini bila masih mengijinkan penggundulan hutan yang
mengakibatkan banjir, suatu sikap yang jelas menentang perintah Allah dengan tidak
mengindahkan siklus hidrologi?
Sudah saatnya sektor pemerintah maupun swasta dibersihkan dari insan yang cacat
moral. Bahkan manusia-manusia dengan integritas moral rendah telah membawa pihak-
pihak asing untuk mengeksploitasi sumber daya alam sekaligus merusak lingkungan
hidup.

Kelompok manusia seperti ini pula pelahap lahan pertanian produktif untuk diubah
menjadi kompleks real estate, sementara itu pemilik lahan pertanian tersebut terusir dari
kampungnya menjalani kehidupan sebagai buruh di kota-kota besar.
Mereka paling suka hutang luar negeri untuk pembangunan.
Padahal, majalah “the Economist” edisi Juni, 2002 melaporkan, hutang luar negerilah
sumber malapetaka kehancuran ekonomi negara-negara Amerika Latin.
Pendapat para pakar nasional seperti yang dimuat dalam Surat Kabar Republika dan
Suara Pembaruan edisi Juni, 2001 menegaskan bahwa bantuan luar negeri adalah
penyebab kemelut ekonomi Indonesia.

Banyak pula para ilmuwan yang berperilaku hanya sebagai pembatik. Apapun teori
yang diajarkan di luar negeri, dijiplak begitu saja.
Menariknya, kemampuan menjiplak ini justru mendapat legalitas, karena kebanyakan
dari mereka justru mendapat jabatan empuk di lembaga pemerintahan maupun swasta.
Satu hal yang sempurna ditiru ilmuwan tersebut adalah teori yang dalam pelajaran
ekonomi dikenal sebagai “nonsatiation assumption”.
Walaupun teori ini dikenal dari mata pelajaran ekonomi, sepertinya hal ini banyak
dipahami oleh ilmuwan Indonesia dari berbagai bidang.
Aksioma “kerakusan” ini telah digunakan secara meluas di Indonesia.
Para pengusaha selalu berprinsip bahwa usahanya belum meraup keuntungan bila
labanya kurang dari 300 persen. Ketika seorang pengusaha menjerit bahwa usahanya
merugi, biasanya usaha tersebut baru meraih laba sekitar 10 persen.
Di lingkungan pemerintahan, jabatan rangkap sudah lumrah. Seorang pejabat yang jaya
di jaman pemerintahan Suharto pernah merangkap paling tidak 5 jabatan.

Bukankah jabatan rangkap lebih baik daripada satu jabatan saja?


Praktek aksioma kerakusan ini masih berlangsung dan merupakan salah satu penyebab
eksploitasi sumber daya alam yang pada akhirnya akan membuat bencana kerusakan
lingkungan.
Sebagaimana dalam buku “Microeconmic Theory” karangan Andreu Mas-Collel dan
kawan-kawan. Buku yang digunakan di kelas-kelas mikro ekonomi tingkat lanjutan
(advanced) pada universitas terkenal di Amerika Serikat memperkenalkan “Aksioma
Kerakusan” (Axiom of Greed).
Bunyi “Aksioma Kerakusan” tersebut adalah “the more is the better” atau “makin
banyak makin bagus”. Dengan teori ini mahasiswa tingkat paska sarjana diajarkan
bahwa makin banyak kita dapat makin baik.
Sebagai contoh adalah perilaku konsumen. Apabila seorang konsumen sudah memiliki
tiga buah mobil mewah dan masih sanggup untuk membeli dua buah mobil mewah lagi,
sudah tentu konsumen tersebut akan terus membeli tambahan dua buah mobil mewah
tersebut. Begitu kuatnya pengaruh peradaban barat, sehingga ilmuwan menjadi sangat
tergantung kepada peradaban tersebut.

Hope dan Young (1994) mengatakan bahwa banyak pejabat dan ilmuwan di negara
Islam melihat isu lingkungan tergantung pada penguasaan teknologi yang bersumber
dari peradaban barat. Oleh karena itu pemeliharaan lingkungan hidup lebih mengutama
kan pendekatan yang dikembangkan di negara maju, ketimbang melakukan pendekatan
yang sesuai dengan ajaran Islam. Dengan pola pikir seperti ini, terbukalah peluang
negara-negara barat untuk mengendalikan negara Islam yang miskin pengetahuan akan
masalah lingkungan.

Tipisnya keimanan inilah yang melenakan kaum dewasa untuk membangun


kedisiplinan kaum belia dalam pelestarian lingkungan.
Belum Tradisi Kebersihan belumlah menjadi tradisi ataupun kebiasaan hidup.
Disamping itu tidak dijalankanya sanksi yang efektif untuk mencegah pencemaran
lingkungan menjadikan kesadaran akan kebersihan sangat rendah. Wajar saja kalau
umat Islam masih lekat dengan konotasi: kumuh, kotor, jelata, semrawut, dan
seterusnya. Hal ini karena umat Islam cenderung untuk mengabaikan masalah
kebersihan, salah satu aspek pemeliharaan lingkungan hidup.

Perhatikan acara-acara besar umat Islam seperti Hari Raya ‘Aid al Fitri atau acara
ceramah oleh ustad terkenal yang berlangsung di lapangan terbuka.
Usai acara, tempat tersebut menjadi lebih kotor dan kumuh.
Umat Islam menjadi bias dari keyakinannya sendiri, kebersihan dan keimanan dianggap
suatu hal yang terpisah.
Rekomendasi Menyadari runyamnya masalah lingkungan hidup, langkah pertama
pemecahannya adalah peningkatan “ukhuwah” (kerjasama) antar ilmuwan dan alim-
ulama agar bahu-membahu mampu mengemban amanat Allah untuk memelihara bumi.
Salah satu hasil kerjasama tersebut adalah program pelatihan bagi para tokoh agama
untuk memperdalam wawasan lingkungan hidup.
Solusi jangka pendek lainnya adalah penyusunan program pemeliharaan lingkungan
sebagai materi khutbah jumat, serta penerbitan fatwa untuk menghentikan pencemaran
sungai. Untuk jangka panjang perlu digarap sektor pendidikan dimana perlu
dikembangkan bidang ilmu ataupun kurikulum yang menjadian ilmu pelestarian
lingkungan hidup adalah bagian integral dari kajian ajaran Islam. Pengembangan
disiplin ini juga perlu mempertimbangkan ukhuwah yang bersifat internasional, karena
persoalan lingkungan hidup juga telah membebani negara muslim lainnya. Dengan
pendidikan akan tumbuh kesadaran bahwa lingkungan hidup bukan bidang yang
menjadi monopoli peradaban barat, tetapi merupakan bagian integral dari keimanan.
***

*) Penulis adalah peminat masalah lingkungan hidup dan Islam

You might also like