You are on page 1of 25

Perkembangan Filsafat Ilmu

13 Januari 2008 AKHMAD SUDRAJAT Tinggalkan komentar Go to comments

Semenjak tahun 1960 filsafat ilmu mengalami perkembangan yang sangat pesat,
terutama sejalan dengan pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi yang ditopang penuh oleh
positivisme-empirik, melalui penelaahan dan pengukuran kuantitatif sebagai andalan
utamanya. Berbagai penemuan teori dan penggalian ilmu berlangsung secara mengesankan

Pada periode ini berbagai kejadian dan peristiwa yang sebelumnya mungkin dianggap sesuatu
yang mustahil, namun berkat kemajuan ilmu dan teknologi dapat berubah menjadi suatu
kenyataan. Bagaimana pada waktu itu orang dibuat tercengang dan terkagum-kagum, ketika
Neil Amstrong benar-benar menjadi manusia pertama yang berhasil menginjakkan kaki di
Bulan. Begitu juga ketika manusia berhasil mengembangkan teori rekayasa genetika dengan
melakukan percobaan cloning pada kambing, atau mengembangkan cyber technology, yang
memungkinkan manusia untuk menjelajah dunia melalui internet. Belum lagi keberhasilan
manusia dalam mencetak berbagai produk nano technology , dalam bentuk mesin-mesin
micro-chip yang serba mini namun memiliki daya guna sangat luar biasa.

Semua keberhasilan ini kiranya semakin memperkokoh keyakinan manusia terhadap


kebesaran ilmu dan teknologi. Memang, tidak dipungkiri lagi bahwa positivisme-empirik yang
serba matematik, fisikal, reduktif dan free of value telah membuktikan kehebatan dan
memperoleh kejayaannya, serta memberikan kontribusi yang besar dalam membangun
peradaban manusia seperti sekarang ini.

Namun, dibalik keberhasilan itu, ternyata telah memunculkan persoalan-persoalan baru yang
tidak sederhana, dalam bentuk kekacauan, krisis dan chaos yang hampir terjadi di setiap
belahan dunia ini. Alam menjadi marah dan tidak ramah lagi terhadap manusia, karena
manusia telah memperlakukan dan mengexploitasinya tanpa memperhatikan keseimbangan
dan kelestariannya. Berbagai gejolak sosial hampir terjadi di mana-mana sebagai akibat dari
benturan budaya yang tak terkendali.
Kesuksesan manusia dalam menciptakan teknologi-teknologi raksasa ternyata telah menjadi
boomerang bagi kehidupan manusia itu sendiri. Raksasa-raksasa teknologi yang diciptakan
manusia itu seakan-akan berbalik untuk menghantam dan menerkam si penciptanya sendiri,
yaitu manusia.

Berbagai persoalan baru sebagai dampak dari kemajuan ilmu dan teknologi yang
dikembangkan oleh kaum positivisme-empirik, telah memunculkan berbagi kritik di kalangan
ilmuwan tertentu. Kritik yang sangat tajam muncul dari kalangan penganut “Teori Kritik
Masyarakat”, sebagaimana diungkap oleh Ridwan Al Makasary (2000:3). Kritik terhadap
positivisme, kurang lebih bertali temali dengan kritik terhadap determinisme ekonomi, karena
sebagian atau keseluruhan bangunan determinisme ekonomi dipancangkan dari teori
pengetahuan positivistik. Positivisme juga diserang oleh aliran kritik dari berbagai latar
belakang dan didakwa berkecenderungan mereifikasi dunia sosial. Selain itu Positivisme
dipandang menghilangkan pandangan aktor, yang direduksi sebatas entitas pasif yang sudah
ditentukan oleh “kekuatan-kekuatan natural”. Pandangan teoritikus kritik dengan kekhususan
aktor, di mana mereka menolak ide bahwa aturan aturan umum ilmu dapat diterapkan tanpa
mempertanyakan tindakan manusia. Akhirnya “ Teori Kritik Masyarakat” menganggap bahwa
positivisme dengan sendirinya konservatif, yang tidak kuasa menantang sistem yang eksis.

Senada dengan pemikiran di atas, Nasution (1996:4) mengemukan pula tentang kritik post-
positivime terhadap pandangan positivisme yang bercirikan free of value, fisikal, reduktif dan
matematika.

Aliran post-positivime tidak menerima adanya hanya satu kebenaran,. Rich (1979)
mengemukakan “There is no the truth nor a truth – truth is not one thing, – or even a system.
It is an increasing completely” Pengalaman manusia begitu kompleks sehingga tidak mungkin
untuk diikat oleh sebuah teori. Freire (1973) mengemukakan bahwa tidak ada pendidikan
netral, maka tidak ada pula penelitian yang netral.

Usaha untuk menghasilkan ilmu sosial yang bebas nilai makin ditinggalkan karena tak
mungkin tercapai dan karena itu bersifat “self deceptive” atau penipuan diri dan digantikan
oleh ilmu sosial yang berdasarkan ideologi tertentu. Hesse (1980) mengemukakan bahwa
kenetralan dalam penelitian sosial selalu merupakan problema dan hanya merupakan suatu
ilusi. Dalam penelitian sosial tidak ada apayang disebut “obyektivitas”. “ Knowledge is
a’socially contitued’, historically embeded, and valuationally. Namun ini tidak berarti bahwa
hasil penelitian bersifat subyektif semata-mata, oleh sebab penelitian harus selalu dapat
dipertanggungjawabkan secara empirik, sehingga dapat dipercaya dan diandalkan. Macam-
macam cara yang dapat dilakukan untuk mencapai tingkat kepercayaan hasil penelitian

Jelasnya, apabila kita mengacu kepada pemikiran Thomas Kuhn dalam bukunya The Structure
of Scientific Revolutions (1962) bahwa perkembangan filsafat ilmu, terutama sejak tahun 1960
hingga sekarang ini sedang dan telah mengalami pergeseran dari paradigma positivisme-
empirik,–yang dianggap telah mengalami titik jenuh dan banyak mengandung kelemahan–,
menuju paradigma baru ke arah post-positivisme yang lebih etik.

Terjadinya perubahan paradigma ini dijelaskan oleh John M.W. Venhaar (1999:) bahwa
perubahan kultural yang sedang terwujud akhir-akhir ini, –perubahan yang sering disebut
purna-modern, meliputi persoalan-persoalan : (1) antihumanisme, (2) dekonstruksi dan (3)
fragmentasi identitas. Ketiga unsur ini memuat tentang berbagai problem yang berhubungan
dengan fungsi sosial cendekiawan dan pentingnya paradigma kultural,– terutama dalam karya
intelektual untuk memahami identitas manusia.

Daftar Pustaka

Achmad Sanusi,.(1998), Filsafah Ilmu, Teori Keilmuan, dan Metode Penelitian : Memungut
dan Meramu Mutiara-Mutiara yang Tercecer, Makalah, Bandung PS-IKIP
Bandung.

Achmad Sanusi, (1999), Titik Balik Paradigma Wacana Ilmu : Implikasinya Bagi Pendidikan,
Makalah, Jakarta : MajelisPendidikan Tinggi Muhammadiyah.

Agraha Suhandi, Drs., SHm.,(1992), Filsafat Sebagai Seni untuk Bertanya, (Diktat Kuliah),
Bandung : Fakultas Sastra Unpad Bandung.

Filsafat_ Ilmu, http://members.tripod.com/aljawad/artikel/filsafat_ilmu.htm.

Ismaun, (2001), Filsafat Ilmu, (Diktat Kuliah), Bandung : UPI Bandung.

Jujun S. Suriasumantri, (1982), Filsafah Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Sinar
Harapan.
Tokoh-Tokoh Filsafat Modern
Posted by muhammad al Idsa at Saturday, February 28, 2009 . 2.28.2009
Labels: Muhammad Al Idsa

KATA PENGANTAR

‫الحمد ال رب العا لمين والصلة ولسلم علي اشرف النبياء والمرسلين وعلي ﺃله وﺃصحابه ﺃخمعين‬

Syukur Alhamdulillah Penyusun Panjatkan Kehadirat Allah SWT, karena dengan Rahmat dan
Karunia-Nya Penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Tokoh-Tokoh Filsafat
Modern”
Salawat beserta salam penyusun sampaikan kepada Reformator dunia yaitu Baginda
Rasulullah SAW yang telah menghijrahkan umatnya minal kufri ilal iman, kecintaannya
kepada umat melebihi cintanya pada dirinya sendiri.
Ucapan terimakasih yang tidak terhingga penyusun sampaikan kepada dosen pembimbing
yang telah memberikan motivasi untuk menyelesaikan makalah ini moga beliau selalu dalam
lindungan Allah SWT.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penyusun mengakui masih banyak terdapat
kejanggalan- kejanggalan dan kekurangan dalam makalah ini. Hal ini disebabkan kurangnya
ilmu pengetahuan dan pengalaman yang penyusun miliki, oleh karena itu, kritik dan saran
yang konsruktif sangat penyusun harapkan demi kesempurnaan makalah ini dimasa yang akan
datang.
Penyusun juga berharap makalah ini mudah-mudahan berguna dan bermamfaat bagi kita
semua. Amin Ya Rabbal ‘Alamin

Darussalam, 23 Mei 2007

Penyusun
FILSAFAT BARAT ZAMAN MODERN

Tokoh-Tokoh Filsafat Modern

Tokoh-Tokoh Penting:

a. Nicolaus Copernicus
b. Johannes Kepler
c. Galileo Galilei
d. Francis Bacon (1561-1626)
▓ Rasionalisme

Hampir semua ahli pikir yang muncul pada zaman ini merupakan ahli matematika seperti
Descartes, Spinoza dan Leibniz Mereka mencoba menyusun suatu sistem filsafat dengan
menggunakan matematika (logika kepastian)
Pelopor aliran ini adalah Rene Descartes yang dikenal sebagai bapak filsafat modern. Ia
membangun filsafatnya diatas asas logis abstrak dan asas pertama suatu dalil yang
eksistensial. Demikian juga dengan Spinoza dan leibniz yang memakai metode deduktif
matematis ala Descartes, akan tetapi mereka lebih memusatkan perhatiannya pada persoalan
metafisika.

Tokoh-Tokoh Penting:

a. Rene Descartes (1596-1650)


b. Baruch Spinoza (1632-1677)
c. G.W. Leibnitz (1646-1710)
d. Blaise Pascal
e. Christian Wolff

▓ Empirisme

Berasal dari kata empiria, empeiros (yunani), yang berati berpengalaman dalam, berkenalan
dengan, terampil untuk. Dalam bahasa latin “experiential” (pengalaman).[ ] epistemologis-
empiris hobbes mengajarkan bahwa pengenalan atau pengetahuan didapat karena pengalaman
dan pengalaman merupakan awal segala pengetahuan. Segala jenis pengetahuan diturunkan
dari pengalaman dan hanya pengalaman yang dapat memberi jaminan akan sebuah kepastian.
Sementara itu menurut john locke semua jenis pengetahuan lahir dari pengalaman. Ia
menerima keraguan sebagaimana diajarkan Descartes tetapi ia menolak metode intuisi dan
metode deduktif ala Descartes. Hal ini menghapus kesan filsafat Plato tentang ide. Tokoh lain
David hume seorang empiris yang konsisten. Sepertinya halnya Locke ia berpendapat
bahwa keseluruhan isi dari pikiran berasal dari pengalaman. Ia berbeda terminolog dengan
pendahulunya, ia membedakan dalam dua persepsi. Yakni kesan dan ide

Tokoh-Tokoh Penting:

a. Thomas Hobbes (1588-1679)


b. John Locke (1632-1704)
c. David Hume (1711-1776)

▓ Kantianisme

Immanuel Kant dengan gigih berupaya mendamaikan pertentangan antara rasionalisme dan
empirisme, ia berpendapat bahwa pengetahuan adalah hasil kerjasama dua unsur, yakni
“pengalaman” dan “kearifan budi”. Pengalaman indrawi datang kemudian sedangkan akal
budi merupakan unsur priori (yang datang terlebih dahulu)

Tokoh-Tokoh Penting:

a. Immanuel Kant (1724-1804)

▓ Idealisme

Filsafat Fichte adalah filsafat pengetahuan (wissenchaftslehre) yang sekarang dikenal dengan
sebuatan epistemologi. Ia membedakan pengetahuan menjadi dua, yakni teoritis (metafisika)
dan praktis (etika)

Tokoh-Tokoh Penting:

• George Berkeley (1684-1753)


• J.G. Fichte (1762 - 1814)
• F.W.J. Schelling (1775 - 1854)
• G.W.F. Hegel (1770 - 1831)
• Voltaire
• Jean Jacques Rousseau (1712-1788)

▓ Positivisme

Pelopor utama positivisme adalah Auguste Comte. Seorang filsuf prancis yang besar
pengaruhnya terhadap teknologi modern dan perkembangan sains. Comte mengajukan tesis
tentang manusia, yang mengatakan bahwa manusia berkembang dalam tiga tahap, yakni tahap
teologi,tahap metafisika

Tokoh-Tokoh Penting:

a. Auguste Comte (1798 - 1857)


b. John Stuart Mill (1806 - 1873)
c. Herbert Spencer (1820 - 1903)

▓ Materialisme

Tokoh-Tokoh Penting:

a. Ludwig Feuerbach (1804 - 1872)


b. Karl Marx (1818 - 1883)
c. Friedrich Engels (1820 – 1895)

▓ Pragmatisme
Tokoh-Tokoh Penting:

a. William James (1842 -1910)


b. John Dewey (1859 - 1952)

▓ Vitalisme

Tokoh-Tokoh Penting:

a. Henri Bergson (1859 - 1941)

▓ Fenomenologi

Tokoh-Tokoh Penting:

a. Edmund Husserl (1859 - 1938)


b. Max Scheler (1874 - 1928)

▓ Eksistensialisme

Tokoh-Tokoh Penting:

a. Martin Heidegger (1883 - 1976)


b. Jean Paul Satre (19051980)
c. Karl Jaspers (1883 - 1969)
d. Gabriel Marcel (1889 - 1973)
e. Soren Kierkegaard (1813 - 1855)
f. Friedrich Nietzsche (1844 - 1900)
g. Nicolas Alexandrovitch Berdyaev (1874 - 1948)

▓ Analitis

Tokoh-Tokoh Penting:

a. Bertrand Russel
b. Ludwig Wittgenstein (1889 - 1951)
c. Gilbert Ryle
d. John Langshaw Austin

▓ Strukturalisme

Tokoh-Tokoh Penting:
a. Levi Strauss
b. Jacques Lacan
c. Michel Foucoult

▓ Postmodernisme

Tokoh-Tokoh Penting:

a. Francois Lyotard
b. Jacques Derrida
c. Richard Rorty
d. Michel Foucoult

1. Renaissance di Eropa dan Perkembangan Filsafat


Tahap awal munculnya renaissance tidaklah membuat filsafat lansung bangkit dan
berkembang, sebab harus berkonfrontasi dengan pemikiran keagamaan. Setelah dua zaman
baru terlihat benih-benih perkembangan dibidang filsafat yang dilandasi kesadaran kuat akan
eksistensi kehidupan. Diantaranya muncul tokoh seperti R. Descartes, B. Spinoza dan Leibniz.
Mereka mencoba menyusun suatu sistem filsafat dengan menggunakan matematika (logika
kepastian), yang kemudian membentuk diri menjadi sebuah paradigma berpikir rasional.
Munculnya Galilieo memberi arah yang tepat bagi perkembangan ilmu alam. Leonardo
Davincie memperkenalkan dasar pengalaman bagi dasar ilmu alam dan matematika, serta
mencoba menghindari diri sedapat mungkin dari filsafat spekulatif. Demikian juga Copernicus
yang dengan pendapatnya mengenai bumi mengelilingi matahari berhasil menggulingkan
filsafat Aristoteles. Kemunculan para ilmuan inilah menjadikan zaman Renaissance
melangkah pada masa pendewasaannya yang dikenal dengan Aufklarung (pencerahan atau
zaman budi).
2. Aufklarung
Zaman ini dikenal dengan “zaman pencerahan” atau “zaman fajar budi”, Aufklarung
merupakan lanjutan dari Renaissance, kalau Renaissance dipandang sebagai peremajaan
pikiran maka Aufklarung menjadi masa pendewasaannya. Dalam masa ini juga banyak
muncul tokoh-tokoh filsuf, seperti di Inggris: J. Locke, G. Berkeley dan D. Hume, Di Prancis:
JJ. Russeau (1712-1788).
Utamanya tokoh-tokoh ini mendasarkan pengetahuannya pada pengalaman nyata, sehingga
mengarah kepada realisme yang naif, yang mengakui kebenaran objektif atas dasar
pengalaman yang tanpa penelitian lebih lanjut. Tetapi kenyataan ini berubah ketika filsuf
jerman Immanuel kant muncul yang mencoba menciptakan suatu sintesis dari rasionalisme
dan empirisme sehingga ia dianggap sebagai filsuf terpenting zaman modern.
Keberagaman pemikiran yang berkembang melahirkan berbagai pemahaman dan kepercayaan,
masing-masing mulai membentuknya menjadi paradigma yang diakui dan diterima oleh
sebuah kelompok. Paradigma yang diakui inilah kemudian muncul dan menjadi semacam
sekte atau aliran-aliran dalam perkembangan filsafat. Dibawah ini akan disebutkan tokoh-
tokohnya sesuai dengan tugas makalah penyusun.
▓ Renaissance

Munculnya Galilieo memberi arah yang tepat bagi perkembangan ilmu alam. Leonardo
Davincie memperkenalkan dasar pengalaman bagi dasar ilmu alam dan matematika, serta
mencoba menghindari diri sedapat mungkin dari filsafat spekulatif. Demikian juga Copernicus
yang dengan pendapatnya mengenai bumi mengelilingi matahari berhasil menggulingkan
filsafat Aristoteles.
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN FILSAFAT DARI MASA KE MASA
“SEJARAH DAN PERKEMBANGAN FILSAFAT DARI MASA KE MASA”

Kata Pengantar

Puji syukur penulis telah panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sang Pencipta alam
semesta, manusia, dan kehidupan beserta seperangkat aturan-Nya, karena berkat limpahan
rahmat, taufiq, hidayah serta inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
dengan tema “Sejarah dan Perkembangan Filsafat Dari Masa ke Masa” yang sederhana ini
dapat terselesaikan tidak kurang daripada waktunya.

Maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini tidaklah lain untuk memenuhi salah satu dari
sekian kewajiban mata kuliah Filsafat Ilmu serta merupakan bentuk langsung tanggung jawab
penulis pada tugas yang diberikan.

Demikian pengantar yang dapat penulis sampaikan dimana penulis pun sadar bawasannya
penulis hanyalah seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, sedangkan
kesempurnaan hanya milik Tuhan Azza Wa’jala hingga dalam penulisan dan penyusununnya
masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif akan
senantiasa penulis nanti dalam upaya evaluasi diri.

Akhirnya penulis hanya bisa berharap, bahwa dibalik ketidak sempurnaan penulisan dan
penyusunan makalah ini adalah ditemukan sesuatu yang dapat memberikan manfaat atau
bahkan hikmah bagi penulis, dan pembaca, Amien ya Rabbal ‘alamin.

Wassalalam,

pojok rumah, 29 Maret 2008

Penulis

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam menghadapi seluruh kenyataan dalam hidupnya, manusia senatiasa terkagum atas apa
yang dilihatnya. Manusia ragu-ragu apakah ia tidak ditipu oleh panca-inderanya, dan mulai
menyadari keterbatasannya. Dalam situasi itu banyak yang berpaling kepada agama atau
kepercayaan Ilahiah.
Tetapi sudah sejak awal sejarah, ternyata sikap iman penuh taqwa itu tidak menahan manusia
menggunakan akal budi dan fikirannya untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ada dibalik
segala kenyataan (realitas) itu. Proses itu mencari tahu itu menghasilkan kesadaran, yang
disebut pencerahan. Jika proses itu memiliki ciri-ciri metodis, sistematis dan koheren, dan cara
mendapatkannya dapat dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.

Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang;

(1) disusun metodis, sistematis dan koheren (“bertalian”) tentang suatu bidang tertentu dari
kenyataan (realitas), dan yang

(2) dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan)


tersebut.

Makin ilmu pengetahuan menggali dan menekuni hal-hal yang khusus dari kenyataan
(realitas), makin nyatalah tuntutan untuk mencari tahu tentang seluruh kenyataan (realitas).

Jauh sebelum manusia menemukan dan menetapkan apa yang sekarang kita sebut sesuatu
sebagai suatu disiplin ilmu sebagaimana kita mengenal ilmu kedokteran, fisika, matematika,
dan lain sebagainya, umat manusia lebih dulu memfikirkan dengan bertanya tentang berbagai
hakikat apa yang mereka lihat. Dan jawaban mereka itulah yang nanti akan kita sebut sebagai
sebuah jawaban filsafati.

Kegiatan manusia yang memiliki tingkat tertinggi adalah filsafat yang merupakan pengetahuan
benar mengenai hakikat segala yang ada sejauh mungkin bagi manusia . Bagian filsafat yang
paling mulia adalah filsafat pertama, yaitu pengetahuan kebenaran pertama yang merupakan
sebab dari segala kebenaran (Al-Kindi, 801 - 873 M).

Metode filsafat adalah metode bertanya. Objek formal filsafat adalah ratio yang bertanya.
Obyek materinya semua yang ada. Maka menjadi tugas filsafat mempersoalkan segala sesuatu
yang ada sampai akhirnya menemukan kebijaksanaan universal.

Sonny Keraf dan Mikhael Dua mengartikan ilmu filsafat sebagai ilmu tentag bertanya atau
berpikir tentang segala sesuatu (apa saja dan bahkan tentang pemikiran itu sendiri) dari segala
sudut pandang. Thinking about thinking.

Meski bagaimanapun banyaknya gambaran yang kita dapatkan tentang filsafat, sebenarnya
masih sulit untuk mendefinisikan secara konkret apa itu filsafat dan apa kriteria suatu
pemikiran hingga kita bisa memvonisnya, karena filsafat bukanlah sebuah disiplin ilmu.
Sebagaimana definisinya, sejarah dan perkembangan filsafat pun takkan pernah habis untuk
dikupas. Tapi justru karena itulah mengapa fisafat begitu layak untuk dikaji demi mencari
serta memaknai segala esensi kehidupan.

B. Klasifikasi Filsafat

Dalam membangun tradisi filsafat banyak orang mengajukan pertanyaan yang sama,
menanggapi, dan meneruskan karya-karya pendahulunya sesuai dengan latar belakang budaya,
bahasa, bahkan agama tempat tradisi filsafat itu dibangun. Oleh karena itu, filsafat biasa
diklasifikasikan menurut daerah geografis dan latar belakang budayanya. Dewasa ini filsafat
biasa dibagi menjadi dua kategori besar menurut wilayah dan menurut latar belakang agama.
Menurut wilayah bisa dibagi menjadi: “Filsafat Barat”, “Filsafat Timur”, dan “Filsafat Timur
Tengah”. Sementara latar belakang agama dibagi menjadi: “Filsafat Islam”, “Filsafat Budha”,
“Filsafat Hindu”, dan “Filsafat Kristen”.

1.) Klasifikasi Filsafat Menurut Wilayah

a. Filsafat Barat

‘‘‘Filsafat Barat’’’ adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas
di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi falsafi orang
Yunani kuno. Namun pada hakikatnya, tradisi falsafi Yunani sebenarnya sempat mengalami
pemutusan rantai ketika salinan buku filsafat Aristoteles seperti Isagoge, Categories dan
Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah Romawi bersamaan dengan eksekusi mati
terhadap Boethius, yang dianggap telah menyebarkan ajaran yang dilarang oleh negara.
Selanjutnya dikatakan bahwa seandainya kitab-kitab terjemahan Boethius menjadi sumber
perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di Eropah, maka John Salisbury, seorang guru
besar filsafat di Universitas Paris, tidak akan menyalin kembali buku Organon karangan
Aristoteles dari terjemahan-terjemahan berbahasa Arab, yang telah dikerjakan oleh filosof
Islam pada dinasti Abbasyah.

Tokoh utama filsafat Barat antara lain Plato, Thomas Aquinas, Réne Descartes, Immanuel
Kant, George Hegel, Arthur Schopenhauer, Karl Heinrich Marx, Friedrich Nietzsche, dan
Jean-Paul Sartre.

Gambar 1.1. Dari kiri; Socrates, Plato, Aristotales, Niestche, Kalr Marx

Dalam tradisi filsafat Barat di Indonesia sendiri yang notabene-nya adalah bekas jajahan
bangsa Eropa-Belanda, dikenal adanya pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema
tertentu. Tema-tema tersebut adalah: ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

Tema pertama adalah ontologi. Ontologi membahas tentang masalah “keberadaan” sesuatu
yang dapat dilihat dan dibedakan secara empiris (kasat mata), misalnya tentang keberadaan
alam semesta, makhluk hidup, atau tata surya.

Tema kedua adalah epistemologi. Epistemologi adalah tema yang mengkaji tentang
pengetahuan (episteme secara harafiah berarti “pengetahuan”). Epistemologi membahas
berbagai hal tentang pengetahuan seperti batas, sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan.

Tema ketiga adalah aksiolgi. Aksiologi yaitu tema yang membahas tentang masalah nilai atau
norma sosial yang berlaku pada kehidupan manusia. Nilai sosial .

b. Filsafat Timur
‘‘‘Filsafat Timur’’’ adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia, khususnya di
India, Tiongkok dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas
Filsafat Timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan agama. Meskipun hal ini kurang lebih
juga bisa dikatakan untuk Filsafat Barat, terutama di Abad Pertengahan, tetapi di Dunia Barat
filsafat ’an sich’ masih lebih menonjol daripada agama. Nama-nama beberapa filsuf Timur,
antara lain Siddharta Gautama/Buddha, Bodhidharma, Lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi dan
juga Mao Zedong.

Gambar 1.2. Foto Mao Zedong muda

‘‘‘Filsafat Timur Tengah’’’ ini sebenarnya mengambil tempat yang istimewa. Sebab dilihat
dari sejarah, para filsuf dari tradisi ini sebenarnya bisa dikatakan juga merupakan ahli waris
tradisi Filsafat Yunani. Sebab para filsuf Timur Tengah yang pertama-tama adalah orang-
orang Arab atau orang-orang Islam dan juga beberapa orang Yahudi, yang menaklukkan
daerah-daerah di sekitar Laut Tengah dan menjumpai kebudayaan Yunani dengan tradisi
falsafi mereka. Lalu mereka menterjemahkan dan memberikan komentar terhadap karya-karya
Yunani.

Bahkan ketika Eropa setalah runtuhnya Kekaisaran Romawi masuk ke Abad Pertengahan dan
melupakan karya-karya klasik Yunani, para filsuf Timur Tengah ini mempelajari karya-karya
yang sama dan bahkan terjemahan mereka dipelajari lagi oleh orang-orang Eropa. Nama-nama
beberapa filsuf Timur Tengah: Avicenna(Ibnu Sina), Ibnu Tufail, Kahlil Gibran (aliran
romantisme; kalau boleh disebut bergitu)dan Averroes.

Gambar 1.3 dari kanan ke kiri

Averroes, ibnu tufail, Kahlil Gibran, Ibnu Sina

2.) Klasifikasi Filsafat Menurut Latar Belakang Agama

a. Filsafat Islam

‘‘‘Filsafat Islam’’’ bukanlah filsafat Timur Tengah. Bila memang disebut ada beberapa nama
Yahudi dan Nasrani dalam filsafat Timur Tengah, dalam filsafat Islam tentu seluruhnya adalah
muslim. Ada sejumlah perbedaan besar antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama,
meski semula filsuf-filsuf muslim klasik menggali kembali karya filsafat Yunani terutama
Aristoteles dan Plotinus, namun kemudian menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Kedua,
Islam adalah agama tauhid. Maka, bila dalam filsafat lain masih ‘mencari Tuhan’, dalam
filsafat Islam justru Tuhan ’sudah ditemukan.’

Pada mulanya filsafat berkembang di pesisir samudera Mediterania bagian Timur pada abad
ke-6 M yang ditandai dengan pertanyaan-pertanyaan untuk menjawab persoalan seputar alam,
manusia, dan Tuhan. Dari sinilah lahirlah sains-sains besar, seperti fisika, etika, matematika,
dan metafisika yang menjadi batubara kebudayaan dunia.

Dari Asia Minor (Mediterania) bergerak menuju Athena yang menjadi tanah air filsafat.
Ketika Iskandariah didirikan oleh Iskandar Agung pada 332 SM, filsafat mulai merambah
dunia timur, dan berpuncak pada 529 M.

b. Filsafat Kristen

‘‘‘Filsafat Kristen’’’ mulanya disusun oleh para bapa gereja untuk menghadapi tantangan
zaman di abad pertengahan. Saat itu dunia barat yang Kristen tengah berada dalam zaman
kegelapan (dark age). Masyarakat mulai mempertanyakan kembali kepercayaan agamanya.
Tak heran, filsafat Kristen banyak berkutat pada masalah ontologis[1] dan filsafat ketuhanan.
Hampir semua filsuf Kristen adalah teologian atau ahli masalah agama. Sebagai contoh: Santo
Thomas Aquinas, Santo Bonaventura, dan lain sebagainya.

Selain dua agama terbesar diatas, masih ada beberapa agama lainya yang melahirkan
pemahaman falsafi yang sampai sekarang masih eksis. Misalnya Budha, Taoisme, dan lain
sebagainya.

Buddha dalam bahasa Sansekerta berarti mereka yang sadar, atau yang mencapai pencerahan
sejati (Dari perkataan Sansekerta: untuk mengetahui). Budha merupakan gelar kepada individu
yang menyadari potensi penuh mereka untuk memajukan diri dan yang berkembang
kesadarannya. Dalam penggunaan kontemporer, ia sering digunakan untuk merujuk Siddharta
Gautama yang dilahirkan pada tahun 623 SM di Taman Lumbini.

Sidharta adalah guru agama dan pendiri Agama Buddha (dianggap “Buddha bagi waktu ini”).
Dalam pandangan lainnya, ia merupakan tarikan dan contoh bagi manusia yang telah sadar.

Penganut Buddha tidak menganggap Siddharta Gautama sebagai sang hyang Buddha pertama
atau terakhir. Secara teknis, Buddha, seseorang yang menemukan Dharma atau Dhamma
(yang bermaksud: Kebenaran; perkara yang sebenarnya, akal budi, kesulitan keadaan manusia,
dan jalan benar kepada kebebasan melalui Kesadaran, datang selepas karma yang bagus
(tujuan) dikekalkan seimbang dan semua tindakan buruk tidak mahir ditinggalkan. Pencapaian
nirwana (nibbana) di antara ketiga jenis Buddha[2] adalah serupa, tetapi Samma-Sambuddha
menekankan lebih kepada kualitas dan usaha dibandingkan dengan dua lainnya.

Taoisme merupakan filsafat Laozi[3] dan Zhuangzi (570 SM ~470 SM) tetapi bukan agama.
Taoisme berasalkan dari kata “Dao” yang berarti tidak berbentuk, tidak terlihat tetapi
merupakan asas atau jalan atau cara kejadian kesemua benda hidup dan benda-benda alam
semesta dunia. Dao yang wujud dalam kesemua benda hidup dan kebendaan adalah “De”.
Gabungan Dao dengan De diperkenalkan sebagai Taoisme merupakan asasi alamiah. Taoisme
bersifat tenang, tidak berbalah, bersifat lembut seperti air, dan berabadi. Keabadian manusia
adalah apabila seseorang mencapai “Kesedaran Dao”. Penganut-penganut Taoisme
mempraktekan Dao untuk mencapai “Kesedaran Dao” dan juga mendewakan.

Taoisme juga memperkenalkan teori Yinyang. Yin dan Yang dengan saintifiknya
diterjemahkan sebagai negatif dan positif. Setiap benda adalah dualisme, terdapat positif mesti
adanya negatif; tidak bernegatif dan tidak berpositif jadinya kosong, tidak ada apa-apa.
Bahkan magnet, magnet memiliki kutub positif dan negatif, kedua-dua sifat tidak bisa
diasingkan; tanpa positif, tidak akan wujud negatif, magnet tidak akan terjadi.
Gambar 1.4. Tse Laozi yang meninggalkan Chuguo dengan koaknya Laozi meninggalkan dua
karya yang berjudul De dan Dao (Judul pertama adalah “De” dan kedua adalah “Dao” )
sebelum meninggalkan Chuguo. Kedua kitab digabungkan dan diperkenalan sebagai Daode
Jing yang memiliki 5000 huruf Tionghua dalam 81 bab.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kajian Filsafat

Definisi kata filsafat bisa dikatakan sebagai sebuah problem falsafi pula. Tetapi, paling tidak
bisa dikatakan bahwa “filsafat” adalah studi yang mempelajari seluruh fenomena kehidupan
dan pemikiran manusia secara kritis dan mendasar (radikal).

Kerapkali ilmu filsafat dipandang sebagai ilmu yang abstrak dan berada di awang-awang
(tidak mendarat) saja, padahal ilmu filsafat itu dekat dan berada dalam kehidupan kita sehari-
hari. Benar, filsafat bersifat tidak konkrit (atau lebih bisa dikatakan tidak tunggal), karena
menggunakan metode berpikir sebagai cara pergulatannya dengan realitas hidup kita.

Ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi


dengan mengutarakan problem secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan
argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu, serta akhir dari proses-proses itu
dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektik. Dialektik ini secara singkat bisa dikatakan
merupakan sebuah bentuk dialog. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan
logika bahasa[4].

Banyak pengertian-pengertian atau definisi-definisi tentang filsafat yang telah dikemukakan


oleh para filsuf. Menurut Merriam-Webster (dalam Soeparmo, 1984), filsafat merupakan
pengetahuan tentang kenyataan-kenyataan yang paling umum dan kaidah-kaidah realitas serta
hakekat manusia dalam segala aspek perilakunya seperti: logika, etika, estetika dan teori
pengetahuan.

Beberapa filsuf mengajukan beberapa definitif pokok filsafat seperti: Upaya spekulatif untuk
menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas. Upaya untuk
melukiskan hakekat realitas akhir dan dasar serta nyata, Upaya untuk menentukan batas-batas
jangkauan pengetahuan: sumbernya, hakekatnya, keabsahannya, dan nilainya. Penyelidikan
kritis dan radikal atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang diajukan
oleh berbagai bidang pengetahuan. Sesuatu yang berupaya untuk membantu kita melihat apa
yang kita katakan dan untuk mengatakan apa yang kita lihat.

Kalau menurut tradisi filsafati yang diambil dari zaman Yunani Kuno, orang yang pertama
memakai istilah philosophia dan philosophos ialah Pytagoras (592-497 S.M.)[5], setelah dia
membaca tulisan Herakleides Pontikos (penganut ajaran Aristoteles) yang memakai kata
sophia. Pytagoras menganggap dirinya “philosophos” (pencinta kearifan). Baginya kearifan
yang sesungguhnya hanyalah dimiliki semata-mata oleh Tuhan.
Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab
‫فلسة‬, yang juga diambil dari bahasa Yunani; philosophia (Φιλοσοφία) Dalam bahasa ini, kata
tersebut merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta
dsb.) dan (sophia = “kebijaksanaan”). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta
kebijaksanaan” atau “ilmu”. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di
Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang
yang mendalami bidang falsafah disebut “filsuf”.

Dalam istilah Inggris, philosophy, yang berarti filsafat, juga berasal dari kata Yunani
“philosophia” yang lazim diterjemahkan ke dalam bahasa tersebut sebagai cinta kearifan.
Menurut pengertiannya yang semula dari zaman Yunani Kuno itu, filsafat berarti cinta
kearifan. Namun, cakupan pengertian sophia yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu
sophia tidak hanya berarti kearifan saja, melainkan meliputi pula kebenaran pertama,
pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian pengrajin dan
bahkan kecerdikkan dalam memutuskan soal-soal praktis (The Liang Gie, 1999).

Filsafat adalah usaha untuk memahami atau mengerti semesta dalam hal makna (hakikat) dan
nilai-nilainya (esensi) yang tidak cukup dijangkau hanya dengan panca indera manusia
sekalipun.Bidang filsafat sangatlah luas dan mencakup secara keseluruhan sejauh dapat
dijangkau oleh pikiran. Filsafat berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang asal
mula dan sifat dasar alam semesta tempat manusia hidup serta apa yang merupakan tujuan
hidupnya. Filsafat menggunakan bahan-bahan dasar deskriptif yang disajikan bidang-bidang
studi khusus dan melampaui deskripsi tersebut dengan menyelidiki atau menanyakan sifat
dasarnya, nila-nilainya dan kemungkinannya.Tujuannya adalah pemahaman dan
kebijaksanaan. Karena itulah filsafat merupakan pendekatan yang menyeluruh terhadap
kehidupan dan dunia. Suatu bidang yang berhubungan erat dengan bidang-bidang pokok
pengalaman manusia.

B. Munculnya Filsafat

Akibat dari berkembangnya kesusasteraan Yunani dan masuknya ilmu pengetahuan serta
semakin hilangnya kepercayaan akan kebenaran yang diberikan oleh pemikiran keagamaan,
peran mitologi yang sebelumnya mengikat segala aspek pemikiran kemudian secara perlahan-
lahan digantikan oleh logos (rasio/ ilmu).

Pada saat inilah, para filsofof kemudian mencoba memandang dunia dengan cara yang lain
yang belum pernah dipraktekkan sebelumnya, yaitu berpikir secara ilmiah. Dalam mencari
keterangan tentang alam semesta, mereka melepaskan diri dari hal-hal mistis yang secara
turun-temurun diwariskan oleh tradisi. Dan selanjutnya mereka mulai berpikir sendiri. Di balik
aneka kejadian yang diamati secara umum, mereka mulai mencari suatu keterangan yang
memungkinkan mereka mampu mengerti kejadian-kejadian itu. Dalam artian inilah, mulai ada
kesadaran untuk mendekati problem dan kejadian alam semesta secara logis dan rasional.

Sebab hanya dengan cara semacam ini, terbukalah kemungkinan bagi pertanyaan-pertanyaan
lain dan penilaian serta kritik dalam memahami alam semesta. Semangat inilah yang
memunculkan filosof-filosof pada jaman Yunani. Filsafat dan ilmu menjadi satu.
Filsafat, terutama Filsafat Barat, muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke 7 S.M.. Filsafat
muncul ketika orang-orang mulai berfikir-fikir dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan
lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama pada saat itu yang
dianggap sebagai “tirai besi keilmuan” lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
ini.

Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang
berberadaban lain kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya
sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga
secara intelektual orang lebih bebas.

C. Sejarah Perkembangan Awal Filsafat Dunia

Meski istilah philosophia (Φιλοσοφία) pertama kali dimunculkan oleh Pythagoras, namun
orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filsuf ialah Thales (640-546 S.M.) dari Mileta
(sekarang di pesisir barat Turki). Ia merupakan seorang Filsuf yang mendirikan aliran filsafat
alam semesta atau kosmos dalam perkataan Yunani. Menurut aliran filsafat kosmos, filsafat
adalah suatu penelaahan terhadap alam semesta untuk mengetahui asal mulanya, unsur-
unsurnya dan kaidah-kaidahnya (The Liang Gie, 1999).

Dalam buku History and Philosophy of Science karangan L.W.H. Hull (1950), menulis
setidaknya sejarah filsafat dan ilmu dapat dibagi dalam beberapa periode, termasuk di
dalamnya tokoh-tokoh yang terkenal pada periode itu.

a. Periode pertama, filsafat Yunani abad 6 SM

Pada masa ini ahli filsafatnya adalah Thales, Anaximandros, dan Anaximenes yang dianggap
sebagai bapak-bapak fisafat dari Mileta. Thales berpendapat bahwa sumber kehidupan adalah
air. Makhluk yang pertama kali hidup adalah ikan dan menusia yang pertama kali terlahir dari
perut ikan. Thales juga berpendapat bahwa bumi terletak di atas air. Tentang bumi,
Anaximandros mengatakan bahwa bumi persis berada di pusat jagat raya dengan jarak yang
sama terhadap semua badan yang lain. Sementara Anaximenes dapat dikatakan sebagai
pemikir pertama yang mengemukakan persamaan antara tubuh manusia dan jagat raya. Udara
di alam semesta ibarat jiwa yang dipupuk dengan pernapasan di dalam tubuh manusia.

Setelah mereka bertiga, Yunani kemudian memiliki pemikir-pemikir terkenal yang lebih
berpengaruh lagi terhadap perkembangan fisafat, seperti Socrates, Plato, Aristoteles,
Phythagoras, Hypocrates, dan lain sebagainya.

b. Periode Kedua, Periode setelah kelahiran Al Masih (Abad 0-6 M)

Pada masa ini pertentangan antara gereja yang diwakili oleh para pastur dan para raja yang pro
kepada gereja, dengan para ulama filsafat. Sehingga pada masa ini filsafat mengalami
kemunduran. Para raja membatasi kebebasan berfikir sehingga filsafat seolah-olah telah mati
suri. Ilmu menjadi beku, kebenaran hanya menjadi otoritas gereja, gereja dan para raja yang
berhak mengatakan dan menjadi sumber kebenaran.
c. Periode Ketiga, Periode kejayaan Islam (Abad 6-13 M)

Pada masa ini dunia Kristen Eropa mengalami abad kegelapan, ada juga yang menyatakan
periode ini sebagai periode pertengahan. Masa keemasan atau kebangkitan Islam ditandai
dengan banyaknya ilmuan-ilmuan Islam yang ahli dibidang masing-masing, berbagai buku
inilah diterbitkan dan ditulis. Di antara tokoh-tokoh tersebut adalah Hanafi, Maliki, Syafii, dan
Hanbali yang ahli dalam hokum Islam, Al-farabi ahli astronomi dan matematika, Ibnu Sina
ahli kedokteran dengan buku terkenalnya yaitu The Canon of Medicine. Al-kindi ahli filsafat,
Al-ghazali intelek yang meramu berbagai ilmu sehingga menjadi kesatuan dan kesinambungan
dan mensintesis antara agama, filsafat, mistik dan sufisme . Ibnu Khaldun ahali sosiologi,
filsafat sejarah, politik, ekonomi, social dan kenegaraan. Anzahel ahli dan penemu teori
peredaran planet. Tetapi setelah perang salib terjadi umat Islam mengalami kemundurran,
umat Islam dalam keadaan porak-poranda oleh berbagai peperangan.

Terdapat 2 pendapat mengenai sumbangan peradaban Islam terhadap filsafat dan ilmu
pengetahuan, yang terus berkembang hingga saat ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa
orang Eropa belajar filsafat dari filosof Yunani seperti Aristoteles, melalui kitab-kitab yang
disalin oleh St. Agustine (354 – 430 M), yang kemudian diteruskan oleh Anicius Manlius
Boethius (480 – 524 M) dan John Scotus. Pendapat kedua menyatakan bahwa orang Eropah
belajar filsafat orang-orang Yunani dari buku-buku filasafat Yunani yang telah diterjemahkan
ke dalam bahasa Arab oleh filosof Islam seperti Al-Kindi dan Al-Farabi. Terhadap pendapat
pertama Hoesin (1961) dengan tegas menolaknya, karena menurutnya salinan buku filsafat
Aristoteles seperti Isagoge, Categories dan Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah
Romawi bersamaan dengan eksekusi mati terhadap Boethius, yang dianggap telah
menyebarkan ajaran yang dilarang oleh negara. Selanjutnya dikatakan bahwa seandainya
kitab-kitab terjemahan Boethius menjadi sumber perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan
di Eropa, maka John Salisbury, seorang guru besar filsafat di Universitas Paris, tidak akan
menyalin kembali buku Organon karangan Aristoteles dari terjemahan-terjemahan berbahasa
Arab, yang telah dikerjakan oleh filosof Islam.

Sebagaimana telah diketahui, orang yang pertama kali belajar dan mengajarkan filsafat dari
orang-orang sophia atau sophists (500 – 400 SM) adalah Socrates (469 – 399 SM), kemudian
diteruskan oleh Plato (427 – 457 SM). Setelah itu diteruskan oleh muridnya yang bernama
Aristoteles (384 – 322 SM). Setelah zaman Aristoteles, sejarah tidak mencatat lagi generasi
penerus hingga munculnya Al-Kindi pada tahun 801 M. Al-Kindi banyak belajar dari kitab-
kitab filsafat karangan Plato dan Aristoteles. Oleh Raja Al-Makmun dan Raja Harun Al-
Rasyid pada Zaman Abbasiyah, Al-Kindi diperintahkan untuk menyalin karya Plato dan
Aristoteles tersebut ke dalam Bahasa Arab.

Sepeninggal Al-Kindi, muncul filosof-filosof Islam kenamaan yang terus mengembangkan


filsafat. Filosof-filosof itu diantaranya adalah : Al-Farabi, Ibnu Sina, Jamaluddin Al-Afghani,
Muhammad Abduh, Muhamad Iqbal, dan

Ibnu Rushd.

Berbeda dengan filosof-filosof Islam pendahulunya yang lahir dan besar di Timur, Ibnu Rushd
dilahirkan di Barat (Spanyol). Filosof Islam lainnya yang lahir di barat adalah Ibnu Baja
(Avempace) dan Ibnu Tufail (Abubacer).

Ibnu baja dan Ibnu Tufail[6] merupakan pendukung rasionalisme Aris-toteles. Akhirnya kedua
orang ini bisa menjadi sahabat.

Sedangkan Ibnu Rushd[7] yang lahir dan dibesarkan di Cordova, Spanyol meskipun seorang
dokter dan telah mengarang Buku Ilmu Kedokteran berjudul Colliget, yang dianggap setara
dengan kitab Canon karangan Ibnu Sina, lebih dikenal sebagai seorang filosof.

Pandangan Ibnu Rushd yang menyatakan bahwa jalan filsafat merupakan jalan terbaik untuk
mencapai kebenaran sejati dibanding jalan yang ditempuh oleh ahli agama, telah memancing
kemarahan pemuka-pemuka agama, sehingga mereka meminta kepada khalifah yang
memerintah di Spanyol untuk menyatakan Ibnu Rushd sebagai atheis. Sebenarnya apa yang
dikemukakan oleh Ibnu Rushd sudah dikemukakan pula oleh Al-Kindi dalam bukunya
Falsafah El-Ula (First Philosophy). Al-Kindi menyatakan bahwa kaum fakih tidak dapat
menjelaskan kebenaran dengan sempurna, oleh karena pengetahuan mereka yang tipis dan
kurang bernilai.

Pertentangan antara filosof yang diwakili oleh Ibnu Rushd dan kaum ulama yang diwakili oleh
Al-Ghazali semakin memanas dengan terbitnya karangan Al-Ghazali yang berjudul Tahafut-
El-Falasifah, yang kemudian digunakan pula oleh pihak gereja untuk menghambat
berkembangnya pikiran bebas di Eropah pada Zaman Renaisance. Al-Ghazali berpendapat
bahwa mempelajari filsafat dapat menyebabkan seseorang menjadi atheis. Untuk mencapai
kebenaran sejati menurut Al-Ghazali hanya ada satu cara yaitu melalui tasawuf (mistisisme).
Buku karangan Al-Ghazali ini kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rushd dalam karyanya Tahafut-
et-Tahafut (The Incohenrence of the Incoherence).

Kemenangan pandangan Al-Ghazali atas pandangan Ibnu Rushd telah menyebabkan


dilarangnya pengajaran ilmu filsafat di berbagai perguruan-perguruan Islam. Hoesin (1961)
menyatakan bahwa pelarangan penyebaran filsafat Ibnu Rushd merupakan titik awal
keruntuhan peradaban Islam yang didukung oleh maraknya perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Hal ini sejalan dengan pendapat Suriasumantri (2002) yang menyatakan bahwa
perkembangan ilmu dalam peradaban Islam bermula dengan berkembangnya filsafat dan
mengalami kemunduran dengan kematian filsafat.

Pada pertengahan abad 12 kalangan gereja melakukan sensor terhadap karangan Ibnu Rushd,
sehingga saat itu berkembang 2 paham yaitu paham pembela Ibnu Rushd (Averroisme) dan
paham yang menentangnya. Kalangan yang menentang ajaran filsafat Ibnu Rushd ini antara
lain pendeta Thomas Aquinas, Ernest Renan dan Roger Bacon. Mereka yang menentang
Averroisme umumnya banyak menggunakan argumentasi yang dikemukakan oleh Al-Ghazali
dalam kitabnya Tahafut-el-Falasifah. Dari hal ini dapat dikatakan bahwa apa yang
diperdebatkan oleh kalangan filosof di Eropah Barat pada abad 12 dan 13, tidak lain adalah
masalah yang diperdebatkan oleh filosof Islam.

d. Periode Keempat, Periode kebangkitan Eropa (Abad 12-17)

Bersamaannya dengan mundurnya kebudayaan Islam, Eropah mengalami kebangkitan. Pada


masa ini, buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan karangan dan terjemahan filosof Islam
seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rushd diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin.
Pada zaman itu Bahasa Latin menjadi bahasa kebudayaan bangsa-bangsa Eropah.
Penterjemahan karya-karya kaum muslimin antara lain dilakukan di Toledo, ketika Raymund
menjadi uskup Besar Kristen di Toledo pada Tahun 1130 – 1150 M. Hasil terjemahan dari
Toledo ini menyebar sampai ke Italia. Dante menulis Divina Comedia setelah terinspirasi oleh
hikayat Isra dan Mikraj Nabi Muhammad SAW. Universitas Paris menggunakan buku teks
Organon karya Aristoteles yang disalin dari Bahasa Arab ke dalam Bahasa Latin oleh John
Salisbury pada tahun 1182.

Seperti halnya yang dilakukan oleh pemuka agama Islam, berkembangnya filsafat ajaran Ibnu
Rushd dianggap dapat membahayakan iman kristiani oleh para pemuka agama Kristen,
sehingga sinode gereja mengeluarkan dekrit pada Tahun 1209, lalu disusul dengan putusan
Papal Legate pada tahun 1215 yang melarang pengajaran dan penyebaran filsafat ajaran Ibnu
Rushd.

Pada Tahun 1215 saat Frederick II menjadi Kaisar Sicilia, ajaran filsafat Islam mulai
berkembang lagi. Pada Tahun 1214, Frederick mendirikan Universitas Naples, yang kemudian
memiliki akademi yang bertugas menterjemahkan kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam
Bahasa latin. Pada tahun 1217 Frederick II mengutus Michael Scot ke Toledo untuk
mengumpulkan terjemahan-terjemahan filsafat berbahasa latin karangan kaum muslimin.
Berkembangnya ajaran filsafat Ibnu Rushd di Eropah Barat tidak lepas dari hasil terjemahan
Michael Scot. Banyak orientalis menyatakan bahwa Michael Scot telah berhasil
menterjemahkan Komentar Ibnu Rushd dengan judul de coelo et de mundo dan bagian
pertama dari Kitab Anima.

Pekerjaan yang dilakukan oleh Kaisar Frederick II untuk menterje-mahkan karya-karya filsafat
Islam ke dalam Bahasa Latin, guna mendorong pengembangan ilmu pengetahuan di Eropah
Barat, serupa dengan pekerjaan yang pernah dilakukan oleh Raja Al-Makmun dan Harun Al-
Rashid dari Dinasti Abbasiyah, untuk mendorong pengembangan ilmu pengetahuan di Jazirah
Arab.

Setelah Kaisar Frederick II wafat, usahanya untuk mengembangkan pengetahuan diteruskan


oleh putranya. Untuk tujuan ini putranya mengutus orang Jerman bernama Hermann untuk
kembali ke Toledo pada tahun 1256. Hermann kemudian menterjemahkan Ichtisar Manthiq
karangan Al-Farabi dan Ichtisar Syair karangan Ibnu Rushd. Pada pertengahan abad 13 hampir
seluruh karya Ibnu Rushd telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin, termasuk kitab tahafut-
et-tahafut, yang diterjemahkan oleh Colonymus pada Tahun 1328.

e. Periode Filsafat Modern (Abad 17-20 M)

Dikenal Juga sebagai abad Äufklarung. Pada masa ini Kristen yang berkuasa dan menjadi
sumber otoritas kebenaran mengalami kehancuran, dan juga awal abad kemunduran bagi umat
Islam. Berbagai pemikiran Yunani muncul, alur pemikiran yang mereka anut adalah
rasionalitas, empirisrme, dan Kritisme. Peradaban Eropa bangkit melampaui dunia islam.
Masa ini juga memunculkan intelektual Gerard Van Cromona yang menyalin buku Ibnu Sina,
”The canon of medicine”, Fransiscan Roger Bacon, yang menganut aliran pemikiran
empirisme dan realisme berusaha menentang berbagai kebijakan gereja dan penguasa pada
waktu itu. Dalam hal ini Galileo dan Copernicus juga mengalami penindasan dari penguasa.
Masa ini juga menyebabkan perpecahan dalam agama Kristen, yaitu Kristen Katolik dan
Protestan. Perlawanan terhadap gereja dan raja yang menindas terus berlangsung Revolusi
ilmu pengetahuan makin gencar dan meningkat. Pada masa ini banyak muncul para ilmuwan
seperti Newton dengan teori gravitasinya, John Locke yang menghembuskan perlawanan
kepada pihak gereja dengan mengemukakan bahwa manusia bebas untuk berbicara, bebas
mengeluarkan pendapat, hak untuk hidup, hak untuk merdeka, serta hak berfikir. Hal serupa
juga dilakuklan ole J.J .Rousseau mengecam penguasa dalam bukunya yang berjudul Social
Contak.

Hal berbeda terjadi didunai Islam, pada masa ini umat Islam tertatih untuk bangkit dari
keterpurukan spiritual. Intelektual Islam yang gigih menyeru umat Islam untuk kembali pada
ajaran al-Quran dan Hadis. Pada masa krisis moral dan peradaban muncul ilmuwan lainnya
yaitu Muhammad Abduh. Muhammad Abduh berusaha membangkitkan umat Islam untuk
menggunakan akalnya. Ia berusaha mengikis habis taklid. Hal tersebut dilakukan oleh
Muhammad Abduh agara umat Islam menemukan ilmu yang berasal dari al-Quran dan hadis.

Para filsuf zaman modern menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau
ajaran agama, tidak juga dari para penguasa, tetapi dari diri manusia sendiri. Namun tentang
aspek mana yang berperan ada beda pendapat. Aliran rasionalisme beranggapan bahwa
sumber pengetahuan adalah rasio: kebenaran pasti berasal dari rasio (akal). Aliran empirisme,
sebaliknya, meyakini pengalamanlah sumber pengetahuan itu, baik yang batin, maupun yang
inderawi. Lalu muncul aliran kritisisme, yang mencoba memadukan kedua pendapat berbeda
itu.

Aliran rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650 M). Dalam buku Discourse de
la Methode[8] tahun 1637 ia menegaskan perlunya ada metode yang jitu sebagai dasar kokoh
bagi semua pengetahuan, yaitu dengan menyangsikan segalanya, secara metodis. Kalau suatu
kebenaran tahan terhadap ujian kesangsian yang radikal ini, maka kebenaran itu 100% pasti
dan menjadi landasan bagi seluruh pengetahuan.

Tetapi dalam rangka kesangsian yang metodis ini ternyata hanya ada satu hal yang tidak dapat
diragukan, yaitu “saya ragu-ragu”. Ini bukan khayalan, tetapi kenyataan, bahwa “aku ragu-
ragu”. Jika aku menyangsikan sesuatu, aku menyadari bahwa aku menyangsikan adanya.
Dengan lain kata kesangsian itu langsung menyatakan adanya aku. Itulah “cogito ergo sum”,
aku berpikir ( menyadari) maka aku ada. Itulah kebenaran yang tidak dapat disangkal lagi. —
Mengapa kebenaran itu pasti? Sebab aku mengerti itu dengan “jelas, dan terpilah-pilah” —
“clearly and distinctly”, “clara et distincta”. Artinya, yang jelas dan terpilah-pilah itulah yang
harus diterima sebagai benar. Dan itu menjadi norma Descartes dalam menentukan kebenaran.

Descartes adalah pelopor kaum rasionalis, yaitu mereka yang percaya bahwa dasar semua
pengetahuan ada dalam pikiran.

Aliran empririsme nyata dalam pemikiran David Hume (1711-1776), yang memilih
pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan. Pengalaman itu dapat yang bersifat lahirilah
(yang menyangkut dunia), maupun yang batiniah (yang menyangkut pribadi manusia). Oleh
karena itu pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan
sempurna.

Hume merupakan pelopor para empirisis, yang percaya bahwa seluruh pengetahuan tentang
dunia berasal dari indera. Menurut Hume ada batasan-batasan yang tegas tentang bagaimana
kesimpulan dapat diambil melalui persepsi indera kita.

Gambar 3.3 David Humedan Immanuel Kant

Adapun Kritisisme oleh Imanuel Kant (1724-1804) mencoba mengembangkan suatu sintesis
atas dua pendekatan yang bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing
pendekatan benar separuh, dan salah separuh. Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia
berasal dari indera kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana
kita memandang dunia sekitar kita. Ada kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut
menentukan konsepsi manusia tentang dunia. Kant setuju dengan Hume bahwa kita tidak
mengetahui secara pasti seperti apa dunia “itu sendiri” (”das Ding an sich”), namun hanya
dunia itu seperti tampak “bagiku”, atau “bagi semua orang”. Namun, menurut Kant, ada dua
unsur yang memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia. Yang pertama
adalah kondisi-kondisi lahirilah ruang dan waktu yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita
menangkapnya dengan indera kita. Ruang dan waktu adalah cara pandang dan bukan atribut
dari dunia fisik. Itu materi pengetahuan. Yang kedua adalah kondisi-kondisi batiniah dalam
manusia mengenai proses-proses yang tunduk kepada hukum kausalitas yang tak terpatahkan.
Ini bentuk pengetahuan. Demikian Kant membuat kritik atas seluruh pemikiran filsafat,
membuat suatu sintesis, dan meletakkan dasar bagi aneka aliran filsafat masa kini.

Begitulah pergulatan antar aliran filsafat Modern. Rasionalist diwakili Descartes, Empirist
diwakili Hume, dan Kritisme oleh Kant saling menkritik satu sama lain.

BAB III

PENUTUP

Jauh sebelum manusia menemukan dan menetapkan apa yang sekarang kita sebut sesuatu
sebagai suatu disiplin ilmu sebagaimana kita mengenal ilmu kedokteran, fisika, matematika,
dan lain sebagainya, umat manusia lebih dulu memfikirkan dengan bertanya tentang berbagai
hakikat apa yang mereka lihat. Dan jawaban mereka itulah yang nanti akan kita sebut sebagai
sebuah jawaban filsafati. Kalau ilmu diibiratkan sebagai sebuah pohon yang memiliki berbagai
cabang pemikiran, ranting pemahaman, serta buah solusi, maka filsafat adalah tanah dasar
tempat pohon tersebut berpijak dan tumbuh.

Metode filsafat adalah metode bertanya. Objek formal filsafat adalah ratio yang bertanya.
Sedang objek materinya ialah semua yang ada yang bagi manusia perlu dipertanyakan
hakikatnya. Maka menjadi tugas filsafat mempersoalkan segala sesuatu yang ada sampai
akhirnya menemukan kebijaksanaan universal.
Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang
berberadaban lain kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya
sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga
secara intelektual orang lebih bebas.

Dalam perkembanganya, filsafat Yunani sempat mengalami masa pasang surut. Ketika
peradaban Eropa harus berhadapan dengan otoritas Gereja dan imperium Romawi yang
bertindak tegas terhadap keberadaan filsafat di mana dianggap mengancam kedudukannya
sebagai penguasa ketika itu.

Filsafat Yunani kembali muncul pada masa kejayaan Islam dinasti Abbasiyah sekitar awal
abad 9 M. Tetapi di puncak kejayaannya, dunia filsafat Islam mulai mengalami kemunduran
ketika antara para kaum filsuf yang diwakili oleh Ibnu Rusd dengan para kaum ulama oleh Al-
Ghazali yang menganggap filsafat dapat menjerumuskan manusia ke dalam Atheisme
bergolak. Hal ini setelah Ibnu Rusd sendiri menyatakan bahwa jalan filsafat merupakan jalan
terbaik untuk mencapai kebenaran sejati dibanding jalan yang ditempuh oleh ahli atau
mistikus agama.

Setelah abad ke-13, peradaban filsafat islam benar-benar mengalami kejumudan setelah kaum
ulama berhasil memenangkan perdebatan panjang dengan kaum filosof. Kajian filsafat
dilarang masuk kurikulum pendidikan. Pemerintahan mempercayakan semua konsep berfikir
kepada para ulama dan ahli tafsir agama. Beriringan dengan itu, di Eropa, demam filsafat
sedang menjamur. Banyak buku-buku karangan filosof muslim yang diterjemahkan kedalam
bahasa latin. Ini sekaligus menunjukkan bahwa setelah pihak gereja berkuasa pada masanya
dan sebelum peradaban Islam mulai menerjemahkan teks-teks aristoteles dan lain sebagainya
oleh Al Kindhi, di Eropa benar-benar tidak ditemukan lagi buku-buku filsafat hasil peradaban
Yunani.

Entah kebetulan atau tidak, ketika filsafat di dunia islam bisa dikatakan telah usai dan
berpindah ke eropa, peradaban islam pun mengalami kemunduran sementara di eropa sendiri
mengalami masa yang disebut sebagai abad Renaissance atau abad pencerahan, pada sekitar
abad ke-15 M.

Tapi tidak demikian halnya dalam komunitas gereja. Periode ini juga menghantarkan dunia
kristen menjadi terbelah. Doktrin para pendeta katolik terus mendapatkan protes dari kaum
Protestan.

Adapun para filsuf zaman modern setelah masa aufklarung, abad ke-17 M, menegaskan bahwa
pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari para penguasa,
tetapi dari diri manusia sendiri. Para filsuf modern yang tercatat dalam sejarah ialah Descartes,
Karl Marx, Nietsche, JJ Rosseau, Dan lain sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

è www.muslimphilosophy.com

è id.wikipedia.org
è www.cidcm.umd.edu

è blog.wordpress.com

è philosopi Mingguan Indonesia

è Harian KOMPAS Rabu, 02 Mar 2005 Halaman: 46

è kognItar.wordpres.org

[1] Ontologi adalah cabang pemikiran yang membahas tentang masalah “keberadaan” sesuatu
yang dapat dilihat dan dibedakan secara empiris (kasat mata), misalnya tentang keberadaan
alam semesta, makhluk hidup, atau tata surya.

[2] Tiga jenis golongan Buddha adalah:

Samma-Sambuddha yang mendapat Kesadaran penuh tanpa guru, hanya dengan usaha sendiri

Pacceka-Buddha atau Pratyeka-Buddha yang menyerupai Samma-Sambuddha, tetapi


senantiasa diam dan menyimpan pencapaian Dharma pada diri sendiri.

Savaka-Buddha yang merupakan Arahat (pengikut kesadaran), tetapi mencapai tahap


Kesadaran dengan mendengar Dhamma

[3] Pada waktu keruntuhan Dinasti Zhou, Laozi meletak jawatan dan meninggalkan negerinya
dengan koaknya. Ketika beliau tiba di Kastam Hangu (函谷关), Guan Yixi (关尹喜) meminta
beliau meninggalkan filsafat dalam bentuk tulisan. Atas permintaan Guan Yixi, Laozi
meninggalkan dua karya yang berjudul De dan Dao (Judul pertama adalah “De” dan kedua
adalah “Dao” ) sebelum meninggalkan Chuguo. Kedua-dua kitab digabungkan dan
diperkenalan sebagai Daode Jing yang kepunyaan 5000 huruf Tionghua dalam 81 bab.

[4] Logika merupakan sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam matematika dan filsafat.
Hal itu membuat filsafat menjadi sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu berciri eksak di
samping nuansa khas filsafat, yaitu spekulasi, keraguan, dan couriousity ‘ketertarikan’.

[5] Pythagoras ialah seorang ahli matematika yang kini lebih terkenal dengan dalilnya dalam
geometri yang menetapkan a2 + b2 = c2.

[6] Menurut Ibnu Tufail, manusia dapat mencapai kebenaran sejati dengan menggunakan
petunjuk akal dan petunjuk wahyu. Pendapat ini dituangkan dengan baik dalam cerita Hayy-
Ibnu Yakdzhan, yang menceritakan bagaimana Hayy yang tinggal pada suatu pulau terpencil
sendirian tanpa manusia lain dapat menemukan kebenaran sejati melalui petunjuk akal,
kemudian bertemu dengan Absal yang memperoleh kebenaran sejati dengan petunjuk wahyu.

[7] Ibnu Rushd telah menyusun 3 komentar mengenai Aristoteles, yaitu : komentar besar,
komentar menengah dan komentar kecil. Ketiga komentar tersebut dapat dijumpai dalam tiga
bahasa : Arab, Latin dan Yahudi. Dalam komentar besar, Ibnu Rushd menuliskan setiap kata
dalam Stagirite karya Aristoteles dengan Bahasa Arab dan memberikan komentar pada bagian
akhir. Dalam komentar menengah ia masih menyebut-nyebut Aritoteles sebagai Magister
Digit, sedang pada komentar kecil filsafat yang diulas murni pandangan Ibnu Rushd.

You might also like