You are on page 1of 17

1

BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah

Kedaulatan di dalam maknanya dianggap sebagai kekuasaan yang


tertinggi, makna kedaulatan telah diakui sejak Aristoteles dan sarjana
hukum Romawi. Pengertian ini sampai batas-batas tertentu masih dianut
hingga abad menengah, dengan memahami kedaulatan sebagai wewenang
tertinggi dari suatu kesatuan politik. Semula kedaulatan dikaitkan dengan
kekuasaan gereja yang mutlak. Sejalan dengan bergesernya pusat
kekuasaan ke tangan penguasa sekuler, muncul beberapa teori baru tentang
pemusatan kekuasaan tertinggi. Sebagai contoh Dante menyatakan
kekuasaan tertinggi dipusatkan pada kekaisaran Romawi Suci.1
Perkembangan selanjutnya terjadi ketika para ahli ilmu politik
memandang makna kedaulatan dari dua sudut. Pertama dari sudut intern
kedaulatan dipandang sebagai kekuasaan tertinggi dalam suatu kesatuan
politik. Jean Bodin adalah ahli ilmu politik berkebangsaan Prancis yang
memandang kedaulatan dalam hubungannya dengan negara, yakni sebagai
ciri dan atribut negara, sekaligus sebagai pembeda negara dari persekutuan
lainnya. Sudut pandang intern seperti diungkapkan Bodin sering pula
disebut paham monisme2 tentang kedaulatan. Kedua dari sudut ekstern
kedaulatan berkaitan dengan aspek mengenai hubungan antarnegara. Sudut
pandang kedua dipopulerkan oleh Grotius, yang belakangan dikenal

1
http://pustaka.ut.ac.id/puslata/online.php/ “Hak Asasi Manusia” Diakses Februari, 20,
2010. Pukul 22.45 WIB
2
Monisme adalah kata serapan dari monism. Sedangkan akar kata “monisme” adalah monos dari
bahasa Yunani yang berarti tunggal, sendiri. Selanjutnya kata isme sendiri menunjukkan bahwa
monisme adalah sebuah paham berteorikan ketunggalan yang tumbuh dan berkembang dalam
dinamika ilmu filsafat. (lihat : Lorens Bagus, Kamus Filsafat edisi I, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 1996, hlm. 669)
2

sebagai bapak hukum internasional. Makna kedaulatan dalam konteks


hubungan antarnegara menjadi semakin penting setelah ditandatangani
Konferensi Montevideo tahun 1933. Menurut konferensi ini, sebagai
subjek hukum internasional, negara harus memiliki kualifikasi berikut:
penduduk yang tetap, wilayah tertentu, pemerintah, dan kemampuan
mengadakan hubungan dengan negara-negara lain. Unsur keempat
merupakan unsur yang khusus dalam kaitannya dengan negara sebagai
subjek hukum internasional. Negara, sebagai subjek utama dalam sistem
hukum internasional dan pencipta hukum di dalam sistem tersebut,
mempunyai tugas primer, yaitu berperan dalam perumusan ketentuan-
ketentuan yang membatasi tingkah lakunya. Sebagai kekuasaan negara
yang tertinggi, pengertian kedaulatan mengandung dua pembatasan
penting, yaitu kekuasaan itu terbatas pada batas wilayah negara yang
memiliki kekuasaan itu, dan kekuasaan itu berakhir di mana kekuasaan
suatu negara lain mulai.3
Dalam pandangan hukum internasional, negara dikatakan berdaulat
karena kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri hakiki negara. Tidak ada
hukum internasional yang mampu membatasi kedaulatan suatu negara.
Morgenthau mengatakan, poin krusial dari kedaulatan dan hukum
internasional adalah :

“Kedaulatan bukan merupakan kebebasan suatu negara


dari adanya regulasi-regulasi yang terdapat dalam hukum internasional
yang mana secara tradisional memberikan keleluasaan bertindak bagi
suatu negara. Lebih jauh lagi adalah hubungan antara hal-hal yang
terkait aturan-aturan di dalam hukum internasional dan sifatnya berubah-
ubah, tergantung pada kepentingan politik suatu negara dan
perkembangan hukum internasional itu sendiri.”4

3
Op Cit.
4
Barker J. Craig, International Law and International Relations, Continuum, London, 2000, hlm.
42-43
3

Status prinsip kedaulatan negara dalam hukum internasional


dianggap sebagai prinsip yang pertama dan utama, namun di beberapa
waktu kemudian kedaulatan negara dianggap sebagai alasan untuk
melindungi suatu negara dari tindakan pelanggaran HAM (Hak Asasi
Manusia) yang terdapat di negara tersebut.5
Kedaulatan negara harus dilihat dari dua aspek yaitu internal dan
eksternal. Aspek internal berkaitan dengan kewenangan yang dimiliki
negara dalam teritorialnya yang meliputi hak untuk menentukan sistem
politik, hukum dan ekonomi yang dianut suatu negara. Aspek ini berkaitan
dengan status negara sebagai aktor atau subjek dalam hukum internasional
yang kemudian menimbulkan aspek eksternal, yaitu bahwa setiap negara
memiliki posisi yang sederajat dalam melakukan interaksi sesama negara.
Oleh karena itu, setiap negara tidak memiliki hak untuk melakukan
intervensi kepada negara lain.6
Kedaulatan territorial dilukiskan oleh Max Huber, Arbitrator dalam
Island of Palmas Arbitration, dengan istilah-istilah :

“Kedaulatan dalam suatu hubungan antara negara -


negara menandakan kemerdekaan. Kemerdekaan dalam hal memiliki hak
kebebasan untuk pelaksanaannya di muka bumi ini, mengesampingkan
negara lain dan fungsi – fungsi negara. Perkembangan organisasi
nasional suatu negara selama beberapa abad terakhir sebagai akibat
wajar dari perkembangan hukum internasional.”7

Prinsip kedaulatan negara saat ini tidak dapat dilihat hanya sebagai
hak negara, akan tetapi harus dikaitkan dengan kewajiban negara untuk
menegakkan perlindungan HAM. Menurut J.J. Rousseau, negara pada
prinsipnya dibentuk berdasarkan kontrak, yang salah satu tujuannya adalah

5
http://senandikahukum.wordpress.com/2009/12/19/perlindungan-ham-dan-mitos-kedaulatan-
negara Diakses Februari, 27, 2010. Pukul 23.00 WIB
6
Ibid.
7
Starke J.G, Pengantar Hukum Internasional edisi kesepuluh, Jakarta, Sinar Grafika, 2004, hlm.
211
4

kewajiban untuk melindungi setiap manusia, baik warga negaranya


ataupun warga negara asing, dari terjadinya pelanggaran atas hak asasinya.
Konsekuensi dari pelanggaran kewajiban negara dalam perlindungan
HAM adalah berhentinya kedaulatan yang dimilikinya secara sementara
sehingga aspek eksternal dari kedaulatan tidak lagi menempatkannya
dalam posisi yang sederajat. Masyarakat internasional memiliki tanggung
jawab sisa (residual responsibility) untuk mengambil upaya demi
memulihkan pelanggaran HAM yang terjadi dalam sebuah negara.8
Kewajiban masyarakat internasional ini merupakan pemahaman
baru dari doktrin intervensi kemanusiaan yang selama ini dikaitkan
sebagai hak. Akan tetapi, konsep tersebut pun masih menyisakan
perdebatan. Keberatan yang diajukan oleh para penolak intervensi
kemanusiaan adalah tindakan intervensi tidak sesuai dengan prinsip dan
hukum internasional. Alasan politisnya adalah intervensi kemanusiaan
sering dijadikan wacana oleh negara kuat untuk ikut campur urusan dalam
negeri sebuah negara.9
Berbagai aturan hukum internasional maupun putusan mahkamah
internasional memang menguatkan prinsip non-intervensi. Akan tetapi,
dalam proses perlindungan HAM, prinsip tersebut terlihat bertolak
belakang. Gambaran mengenai hal tersebut dapat dilihat jelas dari
pelanggaran HAM yang terjadi di Rwanda, Bosnia dan Kosovo.
Pengagungan prinsip kedaulatan negara dan non-intervensi secara
demonstratif mengabaikan prinsip yang lebih utama yaitu perlindungan
terhadap HAM. Pada tahun 2001, International Commission on
Intervention and State Souverignty (ICISS), menghasilkan sebuah konsep
yang dikenal dengan Responsibility to Protect (R2P), artinya adalah
intervensi kemanusiaan merupakan sebuah tanggung jawab bagi
masyarakat internasional untuk mengambil tindakan yang memadai,
termasuk intervensi, apabila terjadi pelanggaran HAM dalam sebuah
8
Op Cit. http://senandikahukum.wordpress.com/2009/12/19/perlindungan-ham-dan-mitos-
kedaulatan-negara/
9
Jianming Shen, International Legal Theory Vol 7 (1) hlm. 17 -18
5

negara. Konsep tersebut tidak berpotensi untuk menghapus prinsip non-


intervensi. R2P harus dibaca dalam artian yang sempit, yaitu komisi hanya
membatasi pada pelanggaran HAM berat sebagai alasan pembenar
tindakan intervensi. Tindakan tersebut merupakan konsekuensi dari
berhentinya sementara kedaulatan yang dimiliki oleh negara yang tidak
mampu atau tidak mau melindungi HAM di wilayahnya. 10
Seperti contoh yang terjadi di Kosovo sepuluh tahun lalu, pada 24
Maret 1999, ketika Eropa menghadapi ancaman bencana kemanusiaan di
kawasannya. Di Kosovo sudah lebih dari 30 ribu orang yang melarikan
diri, meninggalkan rumah mereka. Ribuan orang lainnya berusaha kabur
menyelamatkan diri dari peperangan yang juga berlangsung di Macedonia
dan Albania. Sementara itu, perundingan perdamaian di kota Rambouillet
yang dihadiri oleh wakil-wakil pemerintah Yugoslavia, Albania-Kosovo
dan NATO untuk mencari penyelesaian11, Perancis menemukan jalan
buntu dan para pemantau internasional melaporkan berlangsungnya
pengusiran dan pembunuhan terhadap warga sipil, yang artinya terjadi
pelanggaran HAM besar – besaran dalam wilayah tersebut. Sekretaris
Jendral NATO pada saat itu, Javier Solana memberikan otoritas kepada
panglima militer Wesley Clark untuk menjalankan tugas luar biasa. Tugas
itu adalah intervensi kemanusiaan pertama yang digelar Pakta Pertahanan
Atlantik Utara, NATO. Batasan dan legalitas aksi militer NATO di
Kosovo belum terurai dalam hukum internasional.12
Dalam kasus Kosovo, banyak pihak menuding NATO melanggar
hukum internasional dan melanggar kedaulatan negara itu, karena Dewan
Keamanan PBB tidak memberikan mandat untuk melakukan serangan ke
wilayah tersebut. Disebutkan, NATO bukan saja melanggar wilayah

10
Op Cit. http://senandikahukum.wordpress.com/2009/12/19/perlindungan-ham-dan-mitos-
kedaulatan-negara/
11
http://www.dw-world.de/dw/article/0,,4122879,00.htm Partisipasi Pertama Militer Jerman
dalam Aksi NATO
12
http://www.dw-world.de/dw/article/0,,4122896,00.html/ “Dampak Perang Kosovo Terhadap
Hukum Internasional” Diakses Maret, 01, 2010. Pukul 22.00 WIB
6

kekuasaan Yugoslavia, melainkan melakukan aksi militer di luar


kawasannya. Pemerintah Beograd yang dipimpin Presiden Slobodan
Milosevic menolak tuntutan Dewan Keamanan PBB untuk menarik
pasukannya maupun desakan untuk menghentikan perang di Kosovo.
Karenanya, tindakan NATO yang menghindari terjadinya pemusnahan
etnis itu dikategorisasikan sebagai intervensi kemanusiaan dalam situasi
darurat. NATO menyerang Serbia untuk menjaga perdamaian dunia.13

1.2 Identifikasi Masalah

1.2.1 Pembatasan Masalah

Penulis membatasi permasalahan penulisan penelitian ini pada


analisa intervensi kemanusiaan yang dilakukan oleh NATO di Kosovo
pada Maret 1999 bagi kedaulatan sebuah negara dan melihat intervensi
tersebut dari perspektif hukum internasional.

1.2.2 Rumusan Masalah

Dengan melihat latar belakang di atas maka penulis dapat


membuat dua rumusan masalah yaitu :

• Bagaimana hukum internasional memandang intervensi


NATO di Kosovo jika dilihat dari aspek kedaulatan sebuah
negara ?

1.3 Tujuan dan Manfaat penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian


13
Ibid.
7

1. Tujuan Umum

• Untuk mengetahui latar belakang sejarah dan perjalanan


konflik di Kosovo

• Untuk mengetahui peran dan fungsi lembaga internasional


regional seperti NATO di Kosovo dalam menjaga stabilitas
keamanan
• Untuk mengetahui penjelasan tentang konsep kedaulatan suatu
negara dan intervensi yang dilakukan oleh suatu organisasi
internasional regional di mata hukum internasional
2. Tujuan Khusus
Sebagai persyaratan menyelesaikan studi Strata Satu (S1) pada
jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Al-Azhar Indonesia.

1.3.1 Manfaat Penelitian


• Untuk memberikan pengetahuan serta wawasan lebih kepada
masyarakat luas mengenai pemahaman tentang kedaulatan,
intervensi militer dan intervensi kemanusiaan di mata hukum
internasional
• Untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis pribadi
sebagai tambahan pengetahuan dalam penerapan teori-teori dan
konsep – konsep tentang kedaulatan, intervensi dan hukum
internasional.

1.4 Kerangka Teori


Dalam penulisan penelitian mengenai analisa intervensi
kemanusiaan NATO bagi kedaulatan negara Kosovo yang dilihat dari
perspektif hukum internasional ini penulis menggunakan konsep
intervensi, kedaulatan negara dan hukum internasional.
8

Konsep intervensi secara sederhana dapat didefinisikan sebagai


upaya turut serta dalam urusan dalam negeri negara lain. 14 Intervensi atau
campur tangan dapat mengacu kepada setiap tindakan eksternal dari suatu
aktor hubungan internasional yang mempengaruhi permasalahan yang
terjadi dalam suatu negara yang berdaulat. Intervensi, pada konsepnya
digunakan untuk menciptakan suatu perdamaian dunia.15 Dalam Black’s
Law Dictionary, intervensi diartikan sebagai turut campurnya sebuah
negara dalam urusan dalam negeri negara lain atau dalam urusan dengan
negara lain dengan menggunakan kekuatan atau ancaman kekuatan
sedangkan intervensi kemanusiaan diartikan sebagai intervensi yang
dilakukan oleh komunitas internasional untuk mengurangi pelanggaran
hak asasi manusia dalam sebuah negara, walaupun tindakan tersebut
melanggar kedaulatan negara tersebut.16
Parry dan Grant memberikan definisi yang sedikit berbeda,
menurut mereka intervensi adalah turut campur secara diktator oleh sebuah
negara dalam hubungannya dengan negara lain dengan tujuan untuk
menjaga atau mengubah kondisi aktual tertentu. Turut campur tersebut
dapat dilakukan dengan hak ataupun tidak, namun hal tersebut selalu
mengenai kebebasan eksternal atau wilayah atau keunggulan negara lain,
dan dari keseluruhan tersebut memiliki dampak yang penting untuk negara
tersebut dalam posisi internasional. Sedangkan Intervensi kemanusiaan
mereka artikan sebagai perlakuan sewenang-wenang sebuah negara
terhadap penduduknya, terutama minoritas, lebih tepatnya kekejaman dan
kejahatan yang mengagetkan kesadaran umat manusia. Kemudian, negara
lain, yang biasannya negara adikuasa, mengambil tindakan atas peristiwa
tersebut dengan ancaman atau penggunaan kekuatan dengan maksud untuk
melindungi minoritas yang tertindas.17
14
Ali Muhammad, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jakarta: Pustaka Amani, hlm. 135
15
http://ekosanjayatamba.wordpress.com/2010/03/08/intervention-toward-best-practices-and-a-
holistic-view/ Diakses Maret, 01, 2010. Pukul 22.30 WIB
16
Bryan A. Garnered., Black’s Law Dictionary Seventh Edition, Book 1, West Group, ST. Paul,
Minn, 1999, hlm. 826.
17
Parry and Grant, Encyclopaedic Dictionary of International Law, Oceana Publication Inc.,
Newyork, 1986, hlm. 190-191.
9

Lauterpach mengartikan intervensi sebagai campur tangan secara


diktator oleh suatu negara terhadap urusan dalam negeri lainnya dengan
maksud baik untuk memelihara atau mengubah keadaan, situasi atau
barang di negeri tersebut.18
Menurut Starke ada tiga tipologi dalam melihat sebuah intervensi
negara terhadap negara lain :
1. Intervensi internal, yaitu intervensi yang dilakukan sebuah negara
dalam urusan dalam negeri negara lain,
2. Intervensi eksternal, yaitu intervensi yang dilakukan sebuah negara
dalam urusan luar negeri sebuah negara dengan negara lain, contoh :
keterlibatan Italia yang mendukung Jerman dalam Perang Dunia
Kedua.
3. Intervensi punitive, yaitu intervensi sebuah negara terhadap negara lain
sebagai balasan atas kerugian yang diderita oleh negara tersebut.19

Dengan pembagian tipologi intervensi tersebut, Starke tidak


hendak mengatakan bahwa intervensi negara atas kedaulatan negara lain
sebagai tindakan legal. Ia berpendapat bahwa terdapat kasus-kasus tertentu
dimana tindakan intervensi dapat dibenarkan menurut hukum
internasional. Adapun tindakan intervensi tersebut adalah:

1. intervensi kolektif yang ditentukan dalam piagam PBB,


2. untuk melindungi hak dan kepentingan, serta keselamatan warga
negaranya di negara lain,
3. Pembelaan diri. Jika intervensi dibutuhkan segera setelah adanya sebuah
serangan bersenjata. Syarat-syarat pembelaan diri adalah : langsung,
situasi yang mendukung, tidak ada cara lain, tidak ada waktu untuk
menimbang.

18
Huala Adolf, Aspek-Aspek negara dalam hukum internasional cetakan ketiga, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2002, hlm. 31.
19
J.G. Starke, An Introduction To International Law 3rd Edition, Butterworth & Co. Ltd, London,
1954, hlm. 89-90.
10

4. Berhubungan dengan negara protektorat atas dominionnya.


5. Jika negara yang akan diintervensi dianggap telah melakukan
pelanggaran berat atas hukum internasional.20
Jika mengikuti klasifikasi legalitas yang dipergunakan oleh Starke,
maka doktrin intervensi tidak sepenuhnya terlarang. Ada celah yang
diberikan dalam mekanisme hukum internasional dalam melegalisasi
sebuah intervensi.
Dalam klasifikasi yang dibuat oleh Starke, intervensi kemanusiaan
dapat dimasukkan dalam klasifikasi yang terakhir. Apabila sebuah negara
telah melanggar hak asasi manusia (sistematis dan terstruktur), maka
negara tersebut dapat dikategorikan telah melakukan pelanggaran berat
terhadap hukum internasional. Perlindungan hak asasi manusia dalam
relasi antarnegara saat ini merupakan sebuah komitmen bersama.
Sedangkan menurut Teson, ada beberapa hal yang dianggap lazim
dalam kebiasaan internasional mengenai intervensi kemanusiaan. Pertama;
penggunaan kekuatan bersenjata suatu negara terhadap urusan domestik
negara lain. Kedua; ada alasan kemanusian yang digunakan sebagai
justifikasi penggunaan kekuatan bersenjata21
Dari pengertian tersebut di atas kiranya dapat ditarik beberapa
kesamaan bahwa intervensi biasanya melanggar kedaulatan negara
tertentu, selain itu tindakan intervensi biasanya menggunakan ancaman
atau kekuatan. Sedangkan dalam definisi intervensi kemanusiaan
kemudian ditambahkan alasan bahwa tindakan tersebut dilakukan karena
adanya sebuah perlakuan kejahatan negara atas penduduknya.
Adapun motivasi atau latar belakang dari intervensi tersebut yakni,
intervensi untuk meredakan akibat kemanusiaan yang ditimbulkan oleh
suatu konflik, intervensi untuk menghentikan pertumpahan darah dan
menstabilkan kondisi diantara dua pihak yang bersengketa dan untuk
menjauhkan dari kemungkinan terjadinya perang. Tindakan mengirim
20
Ibid., hlm. 90.
21
Eric Adjei, The Legalitiy of Humanitarian Intervention Tesis, University of Georgia, 2005, hlm.
8.
11

tentara dalam jumlah besar yang dilakukan untuk menjaga stabilitas rezim
yang berkuasa terhadap rongrongan kaum pemberontak atau sebaliknya
dilakukan untuk membantu kaum pemberontak dalam usahanya untuk
menggulingkan pemerintah yang berkuasa, merupakan tindakan yang
dikategorikan sebagai tindakan intervensi.22 Tetapi ada kalanya kehadiran
pihak ketiga justru menimbulkan efek yang merugikan, yaitu bila
kehadiran itu dilakukan ketika para pelaku sedang berada di tengah
usahanya untuk mengatasi konflik mereka secara langsung.23
Serangan NATO di Kosovo ini amat kontroversial karena
merupakan intervensi militer yang dilakukan tanpa persetujuan atau
mandat dari Dewan Keamanan PBB, yang berdasar Piagam PBB
berwenang menggunakan kekuatan militer terhadap negara lain. Dengan
demikian, intervensi militer NATO dapat dikatakan sebagai tindakan
unilateral kolektif. Meskipun sebenarnya NATO mengintervensi untuk
tujuan kemanusiaan yaitu menghentikan kekejaman tentara Serbia yang
melakukan pelanggaran HAM di Kosovo dengan melakukan pemusnahan
etnis Albania. Keterlibatan Dewan Keamanan PBB baru terjadi dalam
masalah Kosovo dengan diadopsinya Resolusi 1244 (1999) pada 10 Juni
1999, yang menempatkan provinsi Kosovo di bawah administrasi PBB
dengan tugas membentuk pemerintahan sementara untuk Kosovo, agar
rakyat Kosovo mendapat otonomi luas dan self-government di Kosovo
dalam Republik Federal Yugoslavia, sementara penyelesaian final atas
status Kosovo belum ditentukan. Resolusi itu tidak menyebut bentuk
penyelesaian final atas masalah Kosovo, tetapi hanya memutuskan, solusi
politik atas krisis Kosovo harus mempertimbangkan kedaulatan dan
integritas teritorial Republik Federal Yugoslavia.24

22
Soeprapto R, Hubungan Internasional Sistem, Interaksi dan Perilaku, Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 1997, hlm. 301
23
Pruit Dean G. And Jeffrey Z. Rubin, Teori Konflik Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004,
hal.9
24
http://elshamnewsservice.wordpress.com/2008/02/25/kosovo-merdeka-hak-atau-separatisme-
oleh-nugroho-wisnumurti/ Diakses Maret, 02, 2010. Pukul 23.30 WIB
12

Dalam serangan tersebut secara otomatis doktrin mengenai


kedaulatan dipertanyakan. Kedaulatan bagi sebuah negara adalah hak
mutlak yang tidak bisa diganggu gugat oleh negara manapun. Kedaulatan
merupakan kebebasan dari adanya tekanan negara lain dan intervensinya
dalam pembentukan dan pelaksanaan suatu pemerintahan independen.
Kedaulatan selalu berkaitan dengan institusi yang bernama negara.
Kedaulatan negara berwujud sebagai hak kemerdekaan dan otoritas untuk
mengatur urusan domestik. Pemerintah sebuah negara baik itu demokratis
maupun otoriter berfungsi sebagai pengambil keputusan tertinggi dari
penyelenggaraan negara, termasuk dalam mengendalikan sumberdaya
alam maupun manusianya.25
Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa secara umum, menurut
Samuel M. Makinda, kedaulatan dapat dibagi menjadi dua, yaitu
kedaulatan internal dan eksternal. Kedaulatan internal menyangkut kepada
prinsip yang melegitimasi organisasi dan kontrol politik internal.
Kedaulatan internal atau disebut juga kedaulatan empiris (empirical
sovereignity) berkaitan dengan rakyat, wilayah, dan kewenangan yang
diakui (recognized authority).
Sementara itu, kedaulatan eksternal berkaitan dengan status atau
identitas legal suatu negara dalam politik global. Kedaulatan eksternal atau
kedaulatan yuridis (juridical sovereignity) berkaitan erat dengan prinsip
nonintervensi. Menurut Makinda, kedaulatan eksternal inilah yang
kemudian dapat menjadi suatu mekanisme bagi penciptaan suatu
keamanan global (global security). Jika kita mengacu kepada prinsip-
prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai kedaulatan eksternal
tersebut, maka ada beberapa hal yang dapat kita perhatikan. Pertama,
artikel 2 ayat 4 Piagam PBB melarang penggunaan ancaman atau kekuatan
bersenjata oleh negara mana pun yang ditujukan terhadap kedaulatan
politik atau integritas teritorial negara lain.

25
http://iphoelmargin.blogspot.com/2007/02/kedaulatan-negara-dan-human-security.html/ Diakses
Maret, 02, 2010. Pukul 01.00 WIB
13

Kedua, artikel 2 ayat 7 melarang intervensi di dalam hal-hal yang


secara esensial berada di bawah yurisdiksi domestik suatu negara. Ketiga,
resolusi Majelis Umum PBB 1514 bulan Desember 1960, artikel 6,
menyatakan bahwa, “setiap usaha yang bertujuan, baik secara parsial
maupun keseluruhan menghancurkan kesatuan nasional dan integritas
wilayah suatu negara, adalah tidak sejalan dengan tujuan-tujuan dan
prinsip-prinsip dalam Piagam PBB.”26
Kedaulatan dan intervensi tidak lepas dari tatanan hukum yang
dibuat untuk mengatur hubungan antar satu Negara dengan Negara lain
dalam lingkup hubungan internasional. Karena kedaulatan merupakan hak
utama suatu Negara yang mana Negara merupakan subjek dalam hukum
internasional. Maka untuk dapat melihat intervensi NATO tersebut
melanggar kedaulatan sebuah Negara dan melanggar tatanan hukum
internasional atau tidak, akan dijelaskan terlebih dahulu definisi dari
hukum internasional itu sendiri.
Definisi hukum internasional menurut Morgenthau, hukum
internasional adalah suatu susunan hukum yang didesentralisasikan dalam
arti ganda, pertama, semua peraturannya sebagai suatu prinsip bersifat
mengikat hanya kepada negara – negara yang memberikan persetujuan
padanya. Kedua, banyak dari peraturan yang mengikat bermakna ganda
dan terbatas pada berbagai kondisi dan syarat, sehingga tidak
memungkinkan negara – negara individual mempunyai banyak kebebasan
untuk bertindak apabila negara – negara itu dipaksa untuk mematuhi suatu
peraturan hukum internasional.27
Menurut Starke, hukum internasional dapat didefinisikan sebagai
keseluruhan hukum yang untuk sebagian besar terdiri dari prinsip – prinsip
dan kaidah – kaidah perilaku yang terhadapnya negara – negara merasa
dirinya terikat untuk menaati dan karenanya benar – benar ditaati secara

26
Lina A. Alexandra, “Prinsip kedaulatan dan kebijakan anti terorisme Amerika Serikat” Koran
Tempo 13 november 2002
27
Morgenthau Hans J, Politik Antarbangsa Perjuangan Untuk Kekuasaan dan Perdamaian,
Bandung, Binacipta, hlm. 363-364
14

umum dalam hubungan – hubungan mereka satu sama lain, dan yang
meliputi juga :
1. kaidah – kaidah hukum yang berkaitan dengan
berfungsinya lembaga – lembaga atau organisasi –
organisasi internasional, hubungan – hubungan mereka satu
sama lain dan hubungan mereka dengan negara – negara
dan individu – individu
2. kaidah – kaidah hukum tertentu yang berkaitan dengan
individu – individu dan badan – badan non negara sejauh
hak – hak dan kewajiban individu dan badan non negara
tersebut penting bagi masyarakat internasional.28

Dalam hukum internasional, intervensi kemanusiaan yang


dilakukan oleh NATO ke Kosovo menimbulkan polemik, hal tersebut
dikarenakan berhadapan langsung dengan prinsip-prinsip umum dalam
hukum international yaitu prinsip kedaulatan negara dan prinsip non-
intervensi.29

1.5 Metode Penelitian

1.5.1 Metode Penelitian

Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penyusunan skripsi


ini adalah metode kualitatif. Dalam penelitian kualitatif, peneliti tidak
menggunakan angka dalam mengumpulkan data dan dalam memberikan
penafsiran terhadap hasilnya, namun demikian bukan berarti dalam
penelitian kualitatif peneliti tidak diperbolehkan menggunakan angka.
Ciri khas dari penelitian kualitatif adalah kejelasan unsur seperti subjek
sample, sumber data tidak mantap dan rinci, masih fleksibel, timbul dan
berkembangnya sambil jalan, kemudian apabila dilihat dari langkah

28
Starke, hlm. 3
29
Declaration On The Inadmissibility of Intervention In The Domestic Affairs of State, 1965
(G.A.R. 2131 /XX)
15

penelitian, penelitian kualitatif baru diketahui dengan mantap dan jelas


setelah penelitian selesai. Kualitatif memiliki desain penelitian yang
fleksibel dengan langkah dan hasil yang tidak dapat dipastikan
sebelumnya. Dilihat dari teknik pengumpulan data, kegiatan
mengumpulkan data harus dilakukan oleh peneliti langsung. Untuk
penentuan hipotesis dan analisa data, penelitian kualitatif biasanya tidak
mengemukakan hipotesis sebelumnya, tetapi dapat lahir selama penelitian
berlangsung, untuk analisis data biasanya dilakukan bersama – sama
dengan pengumpulan data.30
Metode kualitatif mengacu kepada pengumpulan data dalam
bentuk deskriptif yaitu menjelaskan dengan menggambarkan
berdasarkan data yang ada secara obyektif, apa adanya tanpa pengaruh
subyektifitas penulis, yang menjelaskan variabel-variabel yang dibangun
dari data yang ada sehingga diperoleh hubungan satu sama lainnya untuk
memperoleh kesimpulan.

1.5.2 Teknik Pengumpulan Data


Teknik penggumpulan data menggunakan data sekunder adalah
data yang diperoleh melalui studi pustaka (library research). Metode studi
pustaka ini bersumber dari buku, surat kabar, laporan-laporan, jurnal, dan
sumber-sumber lain yang relevan dan valid. Penulis juga menggunakan
internet atau website sebagai penggumpulan data yang terkait pada
permasalahan tersebut. Dalam penelitian ini, digunakan analisa dengan
metode “induktif” yaitu sistem penelitian yang menelaah kasus-kasus
khusus tentang suatu fenomena dan mencoba menggembangkan proporsi
teoritik tentang fenomena tersebut berdasarkan temuan-temuan dari studi
kasus tersebut.31

1.5.3 Tingkat Analisa


30
Arikunto Suharsimi Prof. Dr, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta, Rineka
Cipta, 2002, hlm. 10 - 11
31
Mohtar Mas’oed, Studi Hubungan Internasional : Tingkat analisis dan Teori, Yogyakarta,
Universitas Gajah Mada, 1989, hlm. 95
16

Dalam penulisan penelitian ini, penulis menggunakan tingkat


analisa sistem internasional. Tingkat analisa ini berpendapat bahwa bangsa
– bangsa di dunia ini dan interaksi di antara mereka merupakan suatu
sistem. Struktur sistem itu dan perubahan – perubahan yang dialaminya
selama ini telah menentukan perilaku aktor – aktor hubungan internasional
yang terlibat di dalamnya. Sistem sebagai lingkungan telah menentukan
perilaku negara bangsa. Karena sistem internasional dianggap penyebab
terpenting terjadinya perilaku negara bangsa, dinamika sistem yang
beranggotakan berbagai negara bangsa bisa dipakai untuk menjelaskan
perilaku aktor – aktor hubungan internasional yang terlibat di dalamnya.32

1.6 Sistematika Penulisan

Bab I Pendahuluan

Dalam bab ini, penulis akan membahas pendahuluan yang mengemukakan


latar belakang masalah, alasan tujuan penelitian, rumusan masalah, kerangka
teori, metodelogi penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II Sejarah panjang konflik Kosovo

Didalam bab ini akan membahas berisi tentang sejarah panjang konflik
Kosovo. Bab ini akan menjelaskan bagaimana latar belakang dan proses
terjadinya konflik di Kosovo

Bab III Dinamika intervensi kemanusiaan NATO di Kosovo

Pada bab ini akan menjelaskan tentang bagaimana proses masuknya NATO ke
Kosovo hingga akhirnya melakukan intervensi dan pelanggaran kedaulatan
negara Kosovo.

Bab IV Analisa intervensi kemanusiaan NATO bagi kedaulatan Kosovo


dilihat dari perspektif hukum internasional

32
Mohtar Maso’oed, Ilmu Hubungan Internasional : disiplin dan metodologi, Jakarta, LP3ES,
1990, hlm. 42
17

Dalam bab ini akan menjelaskan tentang bagaimana hukum internasional


memandang intervensi militer yang dilakukan NATO di Kosovo.

Bab V Penutup

Dalam bab ini merupakan penutup yang berisikan tentang kesimpulan serta
saran dan kritik.

You might also like