You are on page 1of 4

Agama dan Ruang Kosong dalam Jiwa

Agama dan Ruang Kosong dalam Jiwa


KEHIDUPAN beragama seyogianya mampu didayagunakan untuk meningkatkan keluruhan moral dan menguatkan daya
tahan mental dalam mengarungi kehidupan ini. Kualitas moral yang makin meningkat dapat mengantarkan manusia
makin memiliki rasa kemanusiaan yang makin tinggi. Agama sesungguhnya sudah memberikan kedudukan yang lebih
mulia kepada manusia kalau dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya. Karena itu kehidupan beragama seyogianya
berdaya guna untuk membangun masyarakat yang lebih humanis dari pada manusia yang tidak menganut suatu agama.
Kalau ada manusia yang semakin tidak memiliki rasa kemanusiaan karena agama yang dianutnya, tentunya patut
dipertanyakan cara manusia tersebut memahami agama yang dianutnya. Agama itu adalah sumber kebenaran dari Tuhan.
Agama bukan sumber pembenar setiap perbuatan dengan mengatasnamakan agama. Banyak orang melakukan suatu
perbuatan dengan mengatasnamakan agama, tetapi perbuatan tersebut sangat bertentangan dengan ajaran agama yang
dianutnya. Agama adalah media untuk menuju jalan yang ditunjukkan oleh Tuhan dalam kitab suci.
Agar agama menjadi media menuju jalan Tuhan maka pesan-pesan ajaran agama harus dapat mengisi ruang-ruang kosong
dalam jiwa. Jiwa yang diisi oleh pesan-pesan agama itu hendaknya disemaikan dalam kegiatan beragama dengan cara
yang penuh kesan mendalam. Semakin berhasil kita menanamkan pesan dengan kesan yang mendalam maka makin
kuatlah pesan ajaran agama itu mengisi ruang-ruang jiwa yang kosong itu. Kalau ruang jiwa yang sarat dengan pesan-
pesan ajaran agama maka pesan ajaran agama yang berkesan itulah yang akan menjadi pengendali perilaku dalam diri
manusia.
Makin kuat kesan dari pesan ajaran agama mengisi jiwa seseorang makin dalam motivasi seseorang untuk berperilaku
yang luhur. Demikian juga makin kuatlah mental seseorang untuk mengatasi berbagai AGHT (ancaman, gangguan,
hambatan dan tantangan) hidup dalam zaman post modern ini semakin meningkat kuantitas dan kualitasnya. Karena itu,
kegiatan beragama untuk menanamkan pesan-pesan ajaran agama dengan cara yang lebih berkesan harus lebih
diprioritaskan.
Orang yang sukses meraih suatu jabatan dalam birokrasi maupun jabatan sosial politik dan bisnis akhirnya akan gagal
kalau jiwanya kosong akan pesan-pesan ajaran agama. Meskipun mereka rajin ke tempat-tempat pemujaan Tuhan, belum
tentu secara otomatis ruang jiwanya terisi oleh pesan-pesan agama. Bahkan, bisa saja mereka merasa lebih dikasihi oleh
Tuhan karena telah meraih jabatan yang strategis itu. Sikap itu dapat menimbulkan sikap merasa lebih bermoral daripada
mereka yang tidak memiliki jabatan. Sikap yang superior itu dapat menjerumuskan mereka menyalahgunakan jabatannya
untuk berbuat yang berlawanan dengan ajaran agama. Kehidupan beragama akan dijadikan media pembenar atas
perbuatannya. Mereka akan merasa sah menyingkirkan mereka yang berani mengkritik. Demikian juga mereka akan
merasa sudah berbuat mulia dengan mengguyur mereka yang suka menyanjung-nyanjungnya dengan anggaran publik
yang mereka kuasai. Mereka yang dianggap sukses dalam meraih jabatan duniawi, kalau jiwanya kosong dari pesan-
pesan ajaran agama akan dapat menyalahgunakan jabatan tersebut untuk berbuat semakin jauh dengan pesan-pesan ajaran
agama yang dianutnya.
Mereka yang hidup dengan keputusasaan yang dalam juga karena ada ruang-ruang jiwanya yang kosong dari pesan-pesan
ajaran agama.
Kalau ruang jiwa seseorang sudah terisi pesan-pesa ajaran agama yang berkesan maka mereka tidak akan kehilangan diri
dalam kesuksesan maupun kegagalan. Mereka akan menerima kesuksesan maupun kegagalan sebagai sesuatu yang wajar-
wajar saja dalam dinamika kehidupan ini. Pejabat yang menyalahgunakan jabatan, orang bunuh diri karena putus asa atau
orang melakukan kekerasan karena gelap mata, semuanya itu terjadi karena adanya ruang-ruang kosong dalam jiwanya
dari pesan-pesan ajaran agama yang dianutnya.
Maraknya korupsi, penyalahgunaan wewenang, premanisme, demikian juga mereka yang terlibat narkoba dan perilaku
menyimpang lainnya karena kegiatan beragama belum berhasil menanamkan pesan-pesan ajaran agama yang dianut
dengan cara yang berkesan. Kegiatan beragama yang dilakukan dengan cara yang serba wah, dapat menimbulkan gaya
hidup mewah. Orang yang bergaya hidup mewah tidak akan pernah peduli dengan sesamanya yang menderita. Gaya
hidup mewah menimbulkan hidup yang tidak pernah puas pada suatu status kemewahan. Gaya hidup mewah akan
menghilangkan rasa kemanusiaan untuk menolong sesama manusia. Gaya hidup mewah akan menghasilkan kesenjangan
sosial yang semakin tajam
'azzam :: Akhlaq - Ciri Orang Yang Matang Islamnya
pujpuj_as
Tue, 29 Aug 2006 00:51:43 -0700
"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, dan
orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna dan orang-orang yang menunaikan zakat,
dan orang-orang yang men- jaga kemaluannya kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, maka
sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang
yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memeli- hara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya, dan orang-
orang yang memelihara shalat. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi." (QS. Al-Mu'minun : 1 - 10)
Ilmu jiwa agama adalah suatu bidang disiplin ilmu yang berusaha mengeksplorasi perasaan dan pengalaman dalam
kehidupan seseorang. Penelitian itu didasarkan atas dua hal yaitu sejauh mana kesadaran beragama (religious
counsciousness) dan pengalaman beragama (religious experience). Apabila standar itu kita coba terapkan pada seseorang
yang secara spesifik beragama Islam, maka akan kita lihat beberapa standar diantaranya Al-Qur'an dan As-Sunnah dan
penjelasan para ulama.
AL-QUR'AN
Kriteria yang diberikan oleh Al-Qur'an bagi mereka yang dikategorikan orang yang matang beragama Islam cukup
bervariasi. Seperti pada sepuluh ayat pertama pada Surah Al-Mu'minun dan bagian akhir dari Surah Al-Furqan :
- Mereka yang khusyu' shalatnya- Menjauhkan diri dari (perbuatan-perbuatan) tiada berguna
- Menunaikan zakat
- Menjaga kemaluannya kecuali kepada isteri-isteri yang sah
- Jauh dari perbuatan melampaui batas (zina, homoseksual, dan lain-lain)
- Memelihara amanat dan janji yang dipikulnya
- Memelihara shalatnya (QS. Al-Mu'minun : 1 - 10)
- Merendahkan diri dan bertawadlu'
- Menghidupkan malamnya dengan bersujud (Qiyamullail)
- Selalu takut dan meminta ampunan agar terjauh dari jahanam
- Membelanjakan hartanya secara tidak berlebihan dan tidak pula kikir
- Tidak menyekutukan allah, tidak membunuh, tidak berzina
- Suka bertaubat, tidak memberi persaksian palsu dan jauh dari perbuatan
sia-sia, memperhatikan Al-Qur'an, bersabar, dan mengharap keturunan yang
bertaqwa (QS. Al-Furqan : 63 - 67)
AS-SUNNAH
Rasulullah SAW memberikan batas minimal bagi seorang yang disebut muslim yaitu disebut muslim itu apabila muslim-
muslim lain merasa aman dari lidah dan tangannya (HR. Muslim). Sementara ciri-ciri lain disebutkan cukup banyak bagi
orang yang meningkatkan kualitas keimanannya. Sehingga tidak jarang Nabi SAW menganjurkan dengan cara peringatan,
seperti : "Barangsiapa beriman kepada Allah dan Rasul-Nya hendaknya dia mencintai saudaranya sebagaimana dia
mencintai dirinya sendiri" (HR. Bukhari). "Tidak beriman seseorang sampai tetangganya merasa aman dari gangguannya
" (HR. Bukhari dan Muslim). "Tidak beriman seseorang kepada Allah sehingga dia lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya
dari pada kecintaan lainnya..." (HR. Muslim). Dengan demikian petunjuk-petunjuk itu mengarahkan kepada seseorang
yang beragama Islam agar dia menjaga lidah dan tangannya sehingga tidak mengganggu orang lain, demikian juga dia
menghormati tetangganya, saudara sesama muslim dan sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya. Ringkas kata, dia
berpedoman kepada petunjuk Al-Qur'an dan mengikuti contoh praktek Rasulullah SAW, sehingga dia betul-betul menjaga
hubungan "hablum minallah " (hubungan vertikal) dan "hablum minannaas" (hubungan horizontal). Peringatan shahabat
Ali r.a. bahwa klimaks orang ciri keagamaannya matang adalah apabila orang tersebut bertaqwa kepada Allah SWT. Dan
inti taqwa itu ada empat, menurut Ali r.a.
- Mengamalkan isi Al-Qur'an
- Mempunyai rasa takut kepada Allah sehingga berbuat sesuai dengan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya
- Merasa puas dengan pemberian atau karunia Allah SWT meskipun terasa sedikit
- Persiapan untuk menjelang kematian dengan meningkatkan kualitas keimanan danamal shaleh
Sedangkan Ibnul Qoyyim, ulama abad ke 7, menyebutkan 9 kriteria bagi orang yang
matang beragama Islamnya.
- Dia terbina keimanannya yaitu selalu menjaga fluktualitas keimanannya agar selalu bertambah kualitasnya
- Dia terbina ruhiyahnya yaitu menanamkan pada dirinya kebesaran dan keagungan Allah serta segala yang dijanjikan di
akherat kelak, sehingga dia menyibukkan diri untuk meraihnya
- Dia terbina pemikirannya sehingga akalnya diarahkan untuk memikirkan ayat-ayat Allah Al-Kauniyah (cipataan-Nya)
dan Al-Qur'aniyah (firman-Nya).
- Dia terbina perasaannya sehingga segala ungkapan perasaan ditujukan kepada allah, senang atau benci, marah atau rela,
semuanya karena Allah.
- Dia terbina akhlaknya dimana kepribadiannya di bangun diatas pondasi akhlak mulia sehingga kalau berbicara dia jujur,
bermuka manis, menyantuni yang tidak mampu, tidak menyakiti orang lain dan berbagai akhlak mulia
- Dia terbina kemasyarakatannya karena menyadari sebagai makhluk sosial, dia harus memperhatikan lingkungannya
sehingga dia berperan aktif mensejahterakan masyarakat baik intelektualitasnya, ekonominya, kegotang-royongannya,
dan lain-lain
- Dia terbina keamuannya sehingga tidak mengumbar kemauannya ke arah yang distruktif tetapi justru diarahkan sesuai
dengan kehendak Allah. Kemauan yang mendorongnya selalu beramal shaleh
- Dia terbina kesehatan badannya karena itu dia memberikan hak-hak badan untuk ketaatan kepada Allah karena
Rasulullah SAW bersabda : "Orang mukmin yang kuat itu lebih baik dan dicintai Allah daripada mukmin yang lemah
" (HR. Ahmad)
- Dia terbina nafsu seksualnya yaitu diarahkan kepada perkawinan yang dihalalkan Allah SWT sehingga dapat
menghasilkan keturunan yang shaleh dan bermanfaat bagi agama dan negara.
Demikian secara ringkas kami paparkan kriteria ideal untuk mengetahui dan mengukur sejauh mana kematangan
beragama Islam seseorang. Sengaja kami batasi agama Islam karena pembahasan ciri-ciri beragama secara umum terlalu
luas. Dan perlu kita ingat dalam kondisi masyarakat yang komplek dengan problematika kehidupannya, maka sungguh
orang yang beragamalah yang akan terhindar dari penyakit stress, kata Robert Bowley.
Referensi:
- Al-Qur'an dan terjemahannya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Penafsir
Al-Qur'an
- Hadits-hadits Nabi yang terkumpul dalam Shahih Bukhari, Muslim, dan lain-lain
- Ilmu Jiwa Agama, Prof. DR. Zakiah Derajat, Bulan Bintang, Jakarta, cet. 15,
1996
- Al-Fikrut Tarbawi 'Inda Ibnil Qoyyim, Dr. Hasan bin Ali bin Hasan Al-Hajjaji,
Darul Hafidz, Jeddah, cet. I, 1408 H - 1988 M.
Oleh :
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

PENAWAR JIWA YANG HAKIKI


Adakah benar Agama dapat memberikan ketenangan jiwa? Kalau benar, agama manakah yang dapat menjadi penawar
(penenang) jiwa yang sejati?
Persoalan ini telah dibincangkan di Universiti Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia pada 8hb November 1997 yang lalu.
Pentas kali ini adalah di Kolej Kediaman Keempat yang dianjurkan oleh JKP Kerohanian Dan Etika kolej tersebut. Tajuk
forum 'antara agama' tersebut berbunyi "Agama Penawar Jiwa".
Sebelum kita membincangkan bagaimana manusia dapat mencapai ketenangan sejati dengan beragama, eloklah dijawab
terlebih dahulu kedua persoalan yang dikemukakan sebagai mukkaddimah.
Benarkah Agama dapat memberikan ketenangan jiwa?. Jawapannya "Ya", kerana beragama adalah suatu fitrah bagi
manusia. Sekiranya seseorang itu menafikan untuk beragama, maka sebenarnya dia telah menolak satu daripada
komponen fitrah yang wujud dalam dirinya, yang akan menyebabkan kegelisahan dan ketidaktenteraman. Merujuk pula
kepada persoalan yang kedua, agama yang manakah dapat memberikan penawar (ketenangan) jiwa yang sebenarnya?
Sebenarnya agama yang dapat menjadi penawar jiwa yang sejati adalah agama yang berdiri di atas satu asas yang benar.
Asas yang benar ini adalah suatu bentuk keyakinan atau doktrin yang dapat menyakinkan akal dan dapat memenuhi fitrah
manusia (naluri beragama) yang menginginkan pengagungan kepada sesuatu yang sempurna dan tidak terbatas. Asas
agama yang dapat menyakinkan aqal manusia secara rasional dan dapat memenuhi tuntutan naluri beragama ini sajalah
yang akan memberikan kepuasan dan ketenangan jiwa yang hakiki.
Manusia adalah makhluk yang terhad dan lemah lagi memerlukan. Ini adalah sifatnya yang ianya tidak boleh elak.
Untuk mendapat penawar hati yang dapat mententeramkan 'jiwa' atau 'hati', manusia mesti mendapat jawapan kepada
persoalan pokok (uqdatul kubra) yang dihadapi oleh setiap seorang manusia "Dari manakah asal manusia dan kehidupan
ini? dan Hendak ke mana manusia dan kehidupan setelah ini? Untuk apa manusia dan kehidupan ini wujud?"
Manusia perlu berfikir dengan mendalam dan mengkaji alam nyata dengan teliti. Sebab jawapan kepada persoalan inilah
yang akan menjadi asas kehidupan kita - yang akan menjadi garis panduan bagi kehidupan individu serta masyarakat.
Kebenaran yang pasti dan muktamad bagi asas kehidupan (basis of life; atau dalam bahasa Arabnya adalah akidah) dapat
diperolehi daripada agama Islam.
Dengan mengkaji 'alam nyata' (manusia,alam dan kehidupan) dengan komprehensif dan terperinci, melalui kajian yang
mendalam dan menyeluruh ternyata bahawa : q tiada terdapat sesuatu pun di dalam alam ini yang tidak terhad, (lemah dan
memerlukan) q tidak ada sesuatupun dalam kewujudan yang berkebolehan untuk menghasilkan sesuatu dari pada tiada
kepada ada - walaupun sebutir beras!
Ternyata, bahawa Pencipta manusia serta alam semesta ini semestinya terletak di luar had alam ini, dan bersifat
berlawanan alam ini yakni, tidak terhad, yang sebenar-benarnya berkuasa. Islam
Pengaruh Agama Pada Jiwa dan Psikologis Manusia
Dewasa ini, pembahasan mengenai agama dan pengaruh-pengaruhnya yang signifikan terhadap berbagai sisi kehidupan,
merupakan sebuah topik yang banyak dibicarakan. Meskipun terdapat berbagai gambaran dan deskripsi mengenai agama,
kehadiran agama dalam berbagai bidang, seperti politik, sosial, dan kemasyarakatan semakin hari semakin meluas,
sehingga agama menjadi pusat perhatian banyak pihak. Dalam acara perspektif kali ini, kami mengajak Anda untuk
mengupas pandangan para psikolog dan ahli kejiwaan mengenai pengaruh agama terhadap jiwa dan psikologis manusia.
Selamat mengikuti.
Hingga kini, para ahli psikologi dan kejiwaan telah melakukan berbagai usaha di bidang pengobatan penyakit-penyakit
jiwa dan psikologis. Meskipun telah dilakukan berbagai metode dan cara penyembuhan, namun sayangnya hingga kini
belum ada metode medis yang mampu mencegah munculnya berbagai penyakit kejiwaan tersebut. Sebagian penelitian
menunjukkan bahwa rata-rata orang-orang yang telah menjalani terapi pengobatan kejiwaan masih belum mencapai
tingkat kesembuhan yang memuaskan. Sekelompok peneliti juga berusaha mencari jalan agar berbagai penyimpangan
perilaku akibat penyakit kejiwaan tidak meluas dalam masyarakat, namun hingga kini mereka masih belum berhasil
menemukan jalan tersebut.
Dalam satu atau dua dekade terakhir, muncul kecenderungan baru di kalangan para psikolog dalam usaha untuk
menyembuhkan penyakit-penyakit kejiwaan. Kecenderungan baru ini merupakan hasil dari perhatian mereka yang lebih
besar terhadap penggunaan agama dalam penyembuhan berbagai penyakit kejiwaan. Dari hasil penelitian yang mereka
lakukan, mereka menemukan bahwa iman kepada Tuhan akan menumbuhkan semacam kekuatan spiritual kepada
manusia dalam menerima beratnya beban kehidupan.
Kecenderungan kepada materialisme dan kehidupan serba mesin telah menimbulkan tekanan pada jiwa manusia. Itulah
sebabnya, manusia dalam kondisi seperti itu akan berada dalam tekanan mental dan depresi, yang lama-kelamaan akan
berkembang menjadi penyakit kejiwaan yang serius. William James, seorang filsuf dan ahli kejiwaan AS adalah orang
pertama di dunia psikologi medis yang mengemukakan pentingnya pemanfaatan agama dalam terapi psikologi.
James berpendapat, “Iman, adalah obat yang paling mujarab dalam menyembuhkan depresi.” Selanjutnya James
mengatakan, “Di antara kita dan Tuhan terdapat sebuah hubungan yang tidak terputus. Jika kita meletakkan diri di bawah
naungan kekuasaan Tuhan dan berserah diri kepada-Nya, semua harapan dan angan-angan kita akan terwujud. Pada saat
yang sama, gelombang kesulitan hidup dan tekanan kehidupan tidak akan mampu menggoyahkan ketenangan dan
kestabilan jiwa manusia yang memiliki iman kepada Tuhan.” William James juga menekankan bahwa manusia yang
beragama akan mampu menjaga keseimbangan jiwanya dan selalu siap menghadapi berbagai tantangan hidup.
Henry Link, seorang psikolog AS dalam sebuah bukunya yang berjudul “Kembali kepada Iman” menulis, “Setelah
melakukan penelitian panjang terhadap kondisi psikologis para buruh, saya menyimpulkan bahwa orang-orang yang
beragama dan orang-orang yang rajin mendatangi rumah-rumah ibadah, memiliki kepribadian yang lebih kuat. Mereka
lebih baik daripada orang-orang yang tidak beragama atau oarng-orang yang tidak rajin mendatangi rumah peribadatan.”
Psikolog lain bernama Katre meyakini bahwa agama dan ketenangan jiwa memiliki kaitan yang sangat erat. Karena,
agama mampu memberi pengaruh pada perasaan kepemilikan dan keterikatan yang dimiliki manusia, sehingga manusia
mampu mengontrol kehidupannya sendiri. Dengan melakukan berbagai aktivitas keagamaan, seperti datang ke rumah
ibadah, manusia juga akan membuka lingkungan sosialnya sehingga kepribadiannya pun akan semakin berkembang.
Selain itu, aturan-aturan agama juga akan memberi pengaruh pada perilaku manusia dan memberikan keselamatan
jasmani, ruhani, dan keseimbangan jiwa.
Dewasa ini terungkap fakta bahwa aktivitas keagamaan memberikan nilai positif dalam menunjukkan arah kehidupan
seorang manusia. Sikap-sikap keagamaan, seperti ibadah dan tawakal, akan memunculkan harapan dan pandangan postif
terhadap kehidupan, serta memberikan ketenangan kepada jiwa manusia. Kepercayaan bahwa Tuhan itu ada dan segala
aspek kehidupan manusia berada di bawah kekuasaan Tuhan, akan mengurangi rasa tertekan atau depresi dalam jiwa
manusia. Secara umum, manusia yang beriman akan memiliki hubungan erat dengan Tuhannya, sebagaimana eratnya
hubungan manusia dengan sahabatnya.
Manusia yang beriman meyakini bahwa dengan berserah diri dan bersandar kepada Tuhan, dia akan mampu menghadapi
berbagai kondisi kehidupan yang datang tak terduga. Orang yang tawakal kepada Tuhan, selain menggunakan berbagai
sarana untuk mencapai tujuannya, juga mempercayai bahwa pertolongan Allah adalah faktor penting dalam tercapainya
sebuah tujuan. Tawakal kepada Tuhan akan memberikan kepercayaan diri kepada manusia dan menumbuhkan keberanian
untuk mengambil keputusan. Manusia-manusia besar dan pembuat sejarah seperti Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa,
dan Nabi Muhammad (a.s.), adalah teladan bagi manusia dalam masalah ketawakalan kepada Tuhan.
Bila kita menengok ke dalam ajaran agama Islam, kita akan menjumpai sebuah metode penyehatan jiwa, yaitu muhasabah
atau introspeksi diri. Islam menganjurkan umatnya agar setiap hari, menjelang tidur, mereka melakukan introspeksi atau
menilai sendiri segala perilaku dan perbuatan yang dilakukannya sepanjang hari. Introspeksi diri akan membantu manusia
menemukan titik kelemahan atau kekurangan dalam dirinya, serta menemukan titik kelebihan yang dimilikinya. Manusia
yang mengetahui dengan benar letak keburukan yang dimilikinya, akan mudah menemukan jalan untuk menghilangkan
keburukan itu.
Sebagaimana kita ketahui, sifat-sifat hasud, iri, cepat marah, atau terlalu banyak berangan-angan adalah sifat-sifat yang
buruk dan merupakan sumber dari berbagai tekanan jiwa. Betapa banyak manusia yang menderita stress, depresi, atau
penyakit kejiwaan lain sebagai akibat dari rasa iri dan hasudnya kepada orang lain. Bila seorang manusia berhasil
mendeteksi adanya sifat-sifat buruk ini dalam dirinya, ia dapat mengobati penyakit kejiwaan yang menimpanya dengan
cara menghilangkan sifat-sifat buruk ini.
Selain itu, agama Islam juga memberikan ajaran yang akan mencegah manusia tertimpa berbagai penyakit kejiwaan. Al
Quran dalam surat Al An’am ayat 82 mengatakan, “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman
mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat
petunjuk.” Artinya, untuk melindungi diri agar tidak tertimpa penyakit kejiwaaan seperti stress, depresi, atau bahkan
penyimpangan perilaku, manusia harus tetap teguh memegang iman dan tidak melakukan berbagai perbuatan yang
dilarang oleh agama.

http://indonesian.irib.ir/perspektif/2005/mei2005/agama_jiwa.htm
http://www.google.co.id/search?q=jiwa+agama&hl=id&start=10&sa=N

You might also like