You are on page 1of 16

INTERVENSI POLITIK TERHADAP BIROKRASI PEMERINTAHAN

2010

INTERVENSI POLITIK TERHADAP BIROKRASI PEMERINTAHAN


DAERAH DI KAWASAN TIMUR INDONESIA

A. Latar Belakang Masalah

Masalah birokrasi masih tetap menjadi isu sentral yang ramai


dibicarakan. Memang birokrasi bukan lagi suatu yang asing dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam kehidupan sosial, setiap anggota masyarakat pasti akan
bersentuhan dengan yang namanya birokrasi. Birokrasi pemerintah
seharusnya menempatkan dirinya sebagai mediating agent, penjembatanan
antara kepentingan-kepentingan masyarakat dengan kepentingan
pemerintah. Namun, birokrasi sebagai “alat pemerintah” tidak mungkin
“netral” dari pengaruh pemerintah. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa
birokrasi tidak memiliki kemandirian. Justru karena posisinya sebagai alat
pemerintah yang bekerja untuk kepentingan masyarakat, maka diperlukan
kemandirian birokrasi. Dalam ketidaknetralannya tersebut, birokrasi tetap
memiliki kemandirian fungsional, yaitu melayani kepentingan masyarakat
secara keseluruhan. Ia menempatkan dirinya lebih sebagai “abdi
masyarakat” daripada “abdi negara” atau setidak-tidaknya ada
keseimbangan antara keduanya. Rancang bangun birokrasi dalam konteks
hubungan kekuasaan, seharusnya apolitis, terbebas dari pengaruh interest
tertentu dari pemerintah selaku pemberi tugas. Tidak mencitrakan dirinya
sebagai new political power dalam peta politik yang sudah ada.
Meskipun demikian, sampai saat ini birokrasi masih menjadi salah
satu masalah terbesar bagi Negara-negara Asia, khususnya di negara
berkembang seperti Indonesia. Kentalnya intervensi politik di era Orde Baru
telah membuat birokrasi terperosok kedalam ranah politik. Sadar atau tidak,
birokrasi kini telah dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan.
Penggunaan birokrasi sebagai alat politik bukan saja ditingkat nasional, di

MUSKAMAL,S.SOS,M.SI,PKP2A II LAN MAKASSAR 1


INTERVENSI POLITIK TERHADAP BIROKRASI PEMERINTAHAN
2010

tingkat lokal lebih nyata terlihat. Era desentralisasi politik yang


menerapkan sistem pemilihan kepala daerah secara langsung telah
membuat birokrasi menjadi alat kekuasaan pemerintah daerah untuk
mempertahankan kekuasaannya. Ini semakin menegaskan bahwa birokrasi,
politik dan kekuasaan merupakan hal yang sulit dilepaskan satu sama lain.
Hal ini karena fungsi dan tugas atau pun secara lembaga, birokrasi adalah
pelaksana kebijakan politik yang bersentuhan langsung dengan masyarakat,
sehingga menjadi alat yang sangat effektif dalam rangka sosialisasi
pemenangan incumbent dalam setiap pemilihan kepala daerah (Chubay,
2008).
Intervensi politik atau politisasi merupakan gejala yang pernah
digusarkan oleh Woodrow Wilson, ketika melihat kecenderungan rusaknya
birokrasi profesional oleh partai politik. Presiden Andrew Jackson, setelah
memenangkan pemilihan Presiden AS ke-7, merombak jabatan birokrasi
federal dengan diisi orang-orang partainya. Upaya itu dikritik oleh senator
William Marcy dari Partai Republik yang menyatakan ''kepada pemenang
semua rampasan perang itu menjadi miliknya.'' Sejak itu dalam
perbendaharaan Ilmu Administrasi Publik dikenal istilah Jacksonisme, suatu
jenis penyakit birokrasi pemerintah yang diintervensi oleh partai politik.
Upaya untuk menanggulangi penyakit tersebut dilakukan oleh Woodrow
Wilson, dalam tulisannya The Art of Public Administration yang terkenal
sebagai dasar peletakan konsepsi Ilmu Administrasi Negara dan Ilmu Politik.
Ketika ia menjadi Presiden AS ke-28, diusulkannya suatu undang-undang
yang disepakati oleh rakyat dan pemerintah. Undang-undang itu dikenal
dengan nama Pendleton Act. Salah satu hal yang diatur dalam undang-
undang itu adalah, setiap upaya partai politik untuk menjadikan birokrasi
pemerintah menjadi building block bagi kepentingan partainya dinyatakan
sebagai tindakan ilegal (Thoha, 2008).

MUSKAMAL,S.SOS,M.SI,PKP2A II LAN MAKASSAR 2


INTERVENSI POLITIK TERHADAP BIROKRASI PEMERINTAHAN
2010

Di Indonesia, intervensi politik dalam birokrasi pemerintahan


mempunyai catatan panjang. Pada masa Orde Baru intervensi bersifat
monolitik oleh Golongan Karya (Golkar). Pada zaman Orde Baru, antara
pejabat politik dan pejabat karier tidak bisa dipisahkan. Artinya, mereka
yang menduduki jabatan di birokrasi juga aktif dan berafiliasi ke Golkar.
Setelah reformasi, dengan banyaknya partai, intervensi terhadap birokrasi
bersifat polisentris. Intinya sama saja, yaitu; memanfaatkan birokrasi untuk
partai (Parasojo, 2005). Jadi, walaupun birokrasi ditempatkan dalam
kedudukan yang netral, dalam prakteknya muncul birokrasi partisan karena
mereka sangat loyal dan berafiliasi politik kepada parpol yang menduduki
jabatan politik, padahal secara formal PNS tidak menjadi salah satu anggota
partai politik. Berkembangnya birokrasi partisan, berakibat birokrasi tidak
mandiri dan tidak memiliki kekuatan penyeimbang kekuasaan dengan
kedudukan pejabat politik (Makhya, 2006).
Masalah birokrasi di Indonesia masih multidimensi, antara lain
struktur yang tidak cocok dengan misi pelayanan, budaya pelayanan belum
berkembang, profesionalisme dan sumber daya manusia (SDM) buruk, dan
lingkungan politik yang kurang sehat. Struktur birokrasi masih berorientasi
pada kontrol dan kekuasaan daripada memberikan pelayanan. Distribusi
kewenangan penyelenggaraan suatu urusan cenderung tidak dilakukan
secara utuh, tetapi parsial. Subyektivitas masih lazim ditemui di birokrasi
dengan rasionalitas dan profesionalisme yang jauh dari harapan (Dwiyanto,
2007). Kondisi birokrasi seperti antara lain disebabkan oleh adanya
intervensi politik terhadap penyenggaraan birokrasi pemerintahan.
Dari berbagai uraian sebelumnya, dapat dikatakan bahwa meskipun
telah dilakukan reformasi pemerintahan, namun untuk melakukan suatu
perubahan dalam birokrasi atau reformasi birokrasi adalah hal yang
sangatlah sulit. Kepentingan-kepentingan partai politik masih saja
mengintervensi birokrasi pemerintahan di Indonesia. Dengan demikian,

MUSKAMAL,S.SOS,M.SI,PKP2A II LAN MAKASSAR 3


INTERVENSI POLITIK TERHADAP BIROKRASI PEMERINTAHAN
2010

fokus masalah dalam kajian ini adalah ”Intervensi politik terhadap


penyelenggaraan birokrasi pemerintahan daerah di Kawasan Timur
Indonesia”.

B. Rumusan Masalah

Birokrasi di Indonesia hingga saat ini belum efektif. Hal ini


disebabkan antara lain karena birokrasi sejak lama dijadikan alat mobilisasi
politik bagi partai penguasa untuk melanggengkan kekuasaan. Karenanya di
era reformasi ini, perubahan pejabat politik di level nasional maupun
daerah dimotori oleh partai politik. Pejabat politik yang menduduki
kepemimpinan melakukan perombakan besar-besaran terhadap formasi
birokrat, termasuk mutasi terhadap para aparat yang yang dianggap
memiliki kinerja buruk. Selain itu, pejabat politik memasukkan kader-kader
politik ke birokrasi dan tidak berusaha mencari pejabat-pejabat birokrat
terbaik di lingkungan kerja yang ada. Karenanya, reformasi birokrasi
kemudian tidak lebih dari sekadar menyingkirkan lawan-lawan politik untuk
mengokohkan peran partai politik baru dalam birokrasi. Akibatnya birokrasi
tidak akan pernah dapat bekerja secara optimal dan profesional (Mahmudi,
2007).
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka masalah dalam penelitian
ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :
1. Sejauh mana intervensi politik terhadap penyelenggaraan birokrasi
pemerintahan daerah dalam bidang kepegawaian seperti; rekruitmen,
mutasi, dan promosi jabatan ?
2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan adanya intervensi politik terhadap
penyelenggaraan birokrasi pemerintahan daerah ?
3. Bagaimana model birokrasi yang netral dan memiliki kemandirian, serta
terbebas dari intervensi politik ?

MUSKAMAL,S.SOS,M.SI,PKP2A II LAN MAKASSAR 4


INTERVENSI POLITIK TERHADAP BIROKRASI PEMERINTAHAN
2010

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah seperti dijelaskan sebelumnya, maka


tujuan penelitian ini adalah untuk :
1. Menganalisis intervensi politik terhadap penyelenggaraan birokrasi
pemerintahan daerah dalam bidang kepegawaian seperti; rekruitmen,
mutasi, dan promosi jabatan.
2. Menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan adanya intervensi politik
terhadap penyelenggaraan birokrasi pemerintahan daerah.
3. Merumuskan model birokrasi yang netral dan memiliki kemandirian,
serta terbebas dari intervensi politik.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat atau berguna dalam


memahami pola intervensi politik terhadap penyelenggaraan birokrasi
pemerintahan daerah khususnya dibidang kepegawaian, seperti; rekruitmen,
mutasi, dan promosi jebatan, serta faktor-faktor yang menyebabkan. Selain
itu, hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat atau berguna dalam
memahami model birokrasi yang memiliki kemandirian dalam hal bertindak
yang berpihak pada kepentingan masyarakat dan melayani masyarakat.
Birokrasi menempatkan dirinya lebih sebagai “abdi masyarakat” daripada
“abdi negara” atau setidak-tidaknya ada keseimbangan antara keduanya.
Birokrasi terbebas dari pengaruh interest tertentu dari pemerintah selaku
pemberi tugas, dan tidak mencitrakan dirinya sebagai new political power
dalam peta politik yang sudah ada.

MUSKAMAL,S.SOS,M.SI,PKP2A II LAN MAKASSAR 5


INTERVENSI POLITIK TERHADAP BIROKRASI PEMERINTAHAN
2010

E. Tinjauan Pustaka

1. Konsep Birokrasi Pemerintahan

Max Weber ahli sosiologi Jerman mengembangkan sebuah model


struktural yang ia katakan sebagai alat yang paling efisien bagi organisasi-
organisasi untuk mencapai tujuannya. Ia menyebut struktur ideal ini sebagai
birokrasi. Struktur tersebut dicirikan dengan adanya pembagian kerja,
hirarki wewenang yang jelas, prosedur seleksi yang formal, peraturan yang
rinci, serta hubungan yang tidak didasarkan pribadi atau impersonal
(Robbins, 1994). Konsep Max Weber tentang birokrasi berkaitan dengan
organisasi rasional, in efisiensi organizational, kekuasaan yang dijalankan
oleh pejabat, administrasi negara, administrasi yang dijalankan oleh
pejabat, sebuah organisasi, dan masyarakat modern.
Terdapat dua tipe birokrasi menurut M. Albrow dalam Surie (1987),
yaitu; tipe patrimoni dan tipe rasional. Birokrasi patrimoni adalah adanya
sekelompok pejabat. Konsep pejabat (beamter) adalah fundamental bagi
birokrasi. Weber menggunakan istilah Beamtentum (officialdom =
kepejabatan) sebagai alternatif bagi istilah birokrasi. Weber memandang
birokrasi sebagai suatu istilah kolektif bagi suatu badan yang terdiri atas
pejabat-pejabat, suatu kelompok yang pasti dan jelas pekerjaan serta
pengaruhnya dapat dilihat pada semua macam organisasi. Konsep ini sejalan
dengan pendapat Thoha (2003) yang mengatakan bahwa konsep birokrasi
Max Weber yang dianut dalam organisasi pemerintahan (government)
banyak memperlihatkan cara-cara officialdom (kerajaan pejabat). Pejabat
birokrasi pemerintah adalah sentra dari penyelesaian urusan masyarakat.
Rakyat sangat tergantung pada pejabat, bukannya pejabat tergantung pada
rakyat.
Adapun birokrasi rasional Weber menurut Blau dan Meyer (1987),
dicirikan oleh tipe ideal birokrasi, seperti; (1) pejabat melakukan tugas-

MUSKAMAL,S.SOS,M.SI,PKP2A II LAN MAKASSAR 6


INTERVENSI POLITIK TERHADAP BIROKRASI PEMERINTAHAN
2010

tugas secara impersonal, (2) Terdapat hirarki jabatan yang jelas, (3) fungsi-
fungsi jabatan-jabatan itu dirinci dengan jelas, (4) para pejabat diangkat
atas dasar kontrak, (5) mereka diseleksi atas dasar kualifikasi profesional,
(6) gaji disusun sesuai kedudukan dalam hirarki, (7) pekerjaan pejabat ialah
satu-satunya dan utama, (8) terdapat suatu struktur karier, dan kenaikan
pangkat, (9) kedudukan pejabat tidak boleh dianggap milik pribadainya, dan
(10) pejabat tunduk kepada pengendalian dan sistem disipliner.
Dari berbagai uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa birokrasi
sebagai salah satu bentuk organisasi terdiri atas beberapa orang yang
berkumpul bersama baik dalam suatu hubungan yang resmi maupun tidak
resmi. Organisasi tersebut dibutuhkan sebagai wadah bersama yang
dilaksanakan melalui struktur, proses, dan aturan/norma untuk mencapai
tujuan bersama. Oleh karena itu, organisasi birokrasi dapat dikatakan suatu
susunan terorganisasi untuk menciptakan pencapaian tugas administrasi
(koordinasi sistematis terhadap banyak orang). Birokrasi juga dapat
diartikan sebagai pejabat pemerintah, aparatur pemerintah/administrasi
negara/korps pegawai negari sipil, dan atau prosedur kerja.

2. Paradigma Baru Birokrasi


Semua organisasi yang besar, pemerintah atau bukan dijalankan oleh
birokrat. Birokrat merupakan bentuk karakteristik dari organisasi modern.
Beberapa birokrasi pemerintah seperti birokrasi swasta berada pada
keseimbangan yang tidak efisien. Mengapa kritik terhadap birokrat pada
pemerintahan Amerika Serikat begitu keras dan berlanjut secara terus
menerus. Hal ini disebabkan karena sebagian masyarakat Amerika Serikat
memiliki kecemasan yang mendalam terhadap pemerintah yang besar, dan
sebagian karena pejabat publik bekerja dibawah kendali anggota Kongres,
dan sebagainya. Birokrasi penting karena merupakan inti dari pemerintahan

MUSKAMAL,S.SOS,M.SI,PKP2A II LAN MAKASSAR 7


INTERVENSI POLITIK TERHADAP BIROKRASI PEMERINTAHAN
2010

yang besar. Pemerintahan tanpa pejabat dan pegawai, hanya merupakan


kumpulan politisi yang membuat undang-undang (Burns and Peltason, 1966).
Kecemasan masyarakat Amerika Serikat terhadap birokrasi
pemerintahan antara lain bermula ketika Margareth Tatcher pertama kali
memangku jabatan Perdana Menteri Inggiris, ia menghadapi administrasi
publik yang diterapkan dalam pemerintahan Inggris tidak lagi mampu
melayani kebutuhan rakyat Inggris secara efisien. Ia melihat pemborosan di
segala bidang pratika administrasi publik. Clinton dan Al Gore menghadapi
hal yang seperti yang dihadapi oleh Tatcher. Itulah sebabnya pada tahun
1980-an di Amerika Serikat majalah Time bertanya dalam tajuknya “Sudah
Matikah Pemerintahan”. Di awal tahun 1990-an, jawaban yang muncul bagi
kebanyakan orang Amerika adalah “ya” (Osborne dan Gaebler, 1995).
Sehubungan dengan hal tersebut, maka pengamalan konsep birokrasi
Max Weber yang cenderung menjadikan kerajaan pejabat banyak
mendapatkan kritikan dari beberapa ahli seperti; Warren Bennis, Lawrence
dan Lorch, serta Heckscher dan Donellon sebagaimana dikutip oleh Thoha
(2003). Warren Bennis mengatakan bahwa bentuk hierarki piramidal yang
dikenal sebagai birokrasi telah ketinggalan dari realita zaman sekarang.
Demikian pula Lawrence dan Lorch menyatakan bahwa bentuk organik yang
berupa birokrasi itu, hanya cocok untuk situasi lingkungan kompleks dan
tidak menentu, bukannya hal-hal yang bersifat rutin dan stabil. Adapun
Heckscher dan Donellon mengemukakan bahwa bentuk organisasi masa
depan adalah apa yang mereka namakan Post Bureaucratic Organization.
Organisasi masa depan tidak akan sama dengan birokrasi Weberian. Bentuk
organisasi masa depan tidak hanya menempatkan diri pada kohirensi
internal dan pemusatan kekuasaan, akan tetapi juga pada interaksi
eksternal dan interaksi sosial yang berhubungan dengannya.
Dalam beberapa tahun terakhir ini berkembang paradigma baru
dalam administrasi publik, antara lain pandangan yang mengarah pada suatu

MUSKAMAL,S.SOS,M.SI,PKP2A II LAN MAKASSAR 8


INTERVENSI POLITIK TERHADAP BIROKRASI PEMERINTAHAN
2010

pembaruan administrasi publik yang difokuskan untuk menghasilkan “high


quality public goods and services”. Pembaruan menurut Osborne dan
Plastrik, (2000) adalah transformasi sistem dan organisasi pemerintah
secara fundamental guna menciptakan peningkatan dramatis dalam
efektivitas, efisiensi, dan kemampuan mereka untuk melakukan inovasi.
Trasformasi ini dicapai dengan mengubah tujuan, sistem intensif,
pertanggungjawaban, struktur kekuasaan, dan budaya sistem dan organisasi
pemerintah.
Selanjutnya, Osborne dan Plastrik menjelaskan bahwa pembaruan
adalah penggantian sistem yang birokratis menjadi sistem yang bersifat
wirausaha. Pembaruan adalah menciptakan organisasi dan sistem
pemerintah yang terus menerus berinovasi, yang secara kontinu
memperbaiki kualitas mereka, tanpa mendapat tekanan dari pihak luar.
Pembaruan adalah penciptaan sektor pemerintah yang mempunyai dorongan
dari dalam untuk melakukan perbaikan. Pembaruan tidak hanya
memperbaiki efektivitas saat ini, tetapi pembaruan menciptakan organisasi-
organisasi yang mampu memperbaiki efektivitasnya di masa mendatang,
pada saat lingkungan mereka berubah.

3. Politik dan Birokrasi di Indonesia


Birokrasi di Indonesia menurut Karl D Jackson merupakan
bureaucratic polity. Model ini merupakan birokrasi dimana negara menjadi
akumulasi dari kekuasaan dan menyingkirkan peran masyarakat dari politik
dan pemerintahan. Ada pula yang berpendapat bahwa birokrasi di Indonesia
merupakan birokrasi Parkinson dan Orwel. Hal ini disampaikan oleh Hans
Dieter Evers. Birokrasi Parkinson merujuk pada pertumbuhan jumlah
anggota serta pemekaran struktural dalam birokrasi yang tidak terkendali.
Birokrasi Orwel merujuk pada pola birokratisasi yang merupakan proses
perluasan kekuasaan pemerintah yang dimaksudkan sebagai pengontrol

MUSKAMAL,S.SOS,M.SI,PKP2A II LAN MAKASSAR 9


INTERVENSI POLITIK TERHADAP BIROKRASI PEMERINTAHAN
2010

kegiatan ekonomi, politik dan sosial dengan menggunakan regulasi yang bila
perlu ada suatu pemaksaan.
Birokrasi di Indonesia khususnya di zaman orde baru ditandai dengan
beberapa ciri-ciri seperti pegawai negeri yang menjadi pengurus partai
selain Golkar, maka dia akan tersingkirkan dari jajaran birokrasi. Selain itu,
orang atau sekelompok orang yang tidak berpihak pada Golkar, maka bisa
dipastikan akan mendapat perlakuan diskriminatif dalam birokrasi. Jika
suatu wilayah tidak merupakan basis Golkar, maka pembangunan akan
sangat tertinggal karena pemerintah lebih mengutamakan daerah yang
merupakan basis Golkar. Keberpihakan birokrasi terhadap suatu partai,
tentu saja dalam hal ini Golkar, akan mengurangi profesionalisme dari
birokrasi tersebut. Dalam zaman orde baru juga ada suatu kebijakan yang
disebut zero growth. Adanya kebijakan zero growth yang menyebabkan
jumlah anggota birokrasi makin membengkak. Hal ini menjadikan birokrasi
tidak efisien karena jumlah pekerja dengan pekerjaannya tidak sebanding.
Pada awal reformasi dan pada masa orde baru pemerintahan yang
baik belum juga terlaksana. Misalnya saja dalam pelayanan dan
pengurusuan administrasi masih saja berbelit-belit dan memerlukan waktu
yang lama, tidak jelas. Membutuhkan biaya tinggi karena ada pungutan-
pungutan liar. Pembangunan fisik pun juga masih sering terbengkalai atau
lamban dalam perbaikan. Masih banyak KKN yang terjadi dalam lingkungan
birokrasi. Keterlibatan birokrasi dalam partai politik membuat pelayanan
terhadap masyarakat menjadi diabaikan, karena mereka lebih
mementingkan kepentingan partai politiknya (Thoha, 2003). Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa meskipun telah dilakukan reformasi
pemerintahan, namun perubahan dalam birokrasi atau reformasi birokrasi
belum sesuai sebagaimana yang diharapkan. Kepentingan-kepentingan
partai politik masih saja mengintervensi birokrasi pemerintahan di Indonesia.

MUSKAMAL,S.SOS,M.SI,PKP2A II LAN MAKASSAR 10


INTERVENSI POLITIK TERHADAP BIROKRASI PEMERINTAHAN
2010

Antara aktivitas politik dengan aktivitas pemerintahan dalam praktek


pemerintahan bisa ditelaah dalam dua bentuk. Pertama, dalam internal
pemerintah daerah. Di lingkungan pemerintah daerah, dikenal ada yang
namanya pejabat politik, yaitu gubernur dan wakil gubernur yang dipilih
rakyat/DPRD, dan pejabat birokrasi yaitu jabatan karier di birokrasi
pemerintahan, seperti sekretaris daerah, kepala dinas, dsb. Kedua, aktivitas
politik, secara kelembagaan lebih banyak diperankan lembaga perwakilan
rakyat (DPRD) karena lembaga ini adalah pencerminan kedaulatan rakyat.
Pemahaman politik dalam konteks aktivitas politik di DPRD harus dipahami
dalam politik kebijakan, yaitu sebatas melakukan fungsi formulasi kebijakan
dan kontrol terhadap implementasi kebijakan (Makhya, 2006).
UU No. 32/2004 Pasal 19 menyebutkan penyelenggara pemerintahan
daerah adalah pemerintah dan DPRD. Pasal ini, secara jelas memposisikan
kedudukan DPRD sebagai penyelenggara pemerintahan. Implikasi pasal ini,
aktivitas penyelenggaraan pemerintahan harus dilakukan bersama-sama
antara DPRD dan kepala daerah. Aktivitas penyelenggaraan ini meliputi
tugas-tugas desentralisasi dan tugas pembantuan. Ketentuan pasal ini
menekankan baik kepala daerah maupun DPRD dalam aktivitas
penyelenggaraan pemerintahan menekankan pada service sphere bukan
pada political sphere. Pemahaman politik dalam perspektif UU No. 32/2004
tidak menjangkau pada penjatuhan kepala daerah karena dalam UU ini
tidak dikenal dengan sistem parlementer.
Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 sama sekali tak dikenal pemakzulan
(impeachment) terhadap kepala daerah melalui mosi tidak percaya. Sebab,
tidak ada aturan yang memungkinkan masyarakat dapat secara langsung
meng-impeach kepala daerah. Namun, DPRD bisa mengusulkan
pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah kepada Presiden jika
memenuhi ketentuan Pasal 29 atau diberhentikan sementara oleh Presiden
apabila melakukan tindak pidana kejahatan (lihat Pasal 30–32). Kajian

MUSKAMAL,S.SOS,M.SI,PKP2A II LAN MAKASSAR 11


INTERVENSI POLITIK TERHADAP BIROKRASI PEMERINTAHAN
2010

tersebut menunjukkan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah,


sebenarnya ada pemisahan yang tegas antara sifat wewenang kepala daerah
sebagai pejabat politik dan fungsi birokrasi. Artinya, spirit UU No. 32/2004
menekankan pada terwujudnya tertib pemerintahan sehingga fungsi
pelayanan pada masyarakat tidak terganggu.

F. Metode Penelitian

1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di daerah Propinsi di Kawasan Timur
Indonesia (KTI). Kriteria KTI digunakan pendekatan geografis, yaitu wilayah
yang terletak di perairan yuridiksi nasional, dihitung mulai Selat Lombok,
Selat Makassar, Laut Sulawesi ke arah timur, meliputi Propinsi Nusa
Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku, Maluku Utara,
Papua, dan semua propinsi di Pulau Sulawesi. Mengingat luasnya wilayah KTI,
maka lokasi dalam penelitian ini dibatasi pada lima propinsi yang ditentukan
secara purposive, yaitu; Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Propinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT), Propinsi Maluku Utara, Propinsi Gorontalo, dan
Propinsi Sulawesi Tengah.

2. Metode Pengumpulan Data


Untuk memperoleh data sesuai tujuan penelitian, maka
pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui metode
sebagai berikut :
a. Wawancara
Wawancara (Interview): Metode wawancara digunakan untuk
mengumpulkan data dan informasi tentang masalah intervensi politik
terhadap birokrasi khususnya yang berkaitan dengan rekruitmen,
mutasi, dan promosi jabatan. Wawancara dilakukan terhadap

MUSKAMAL,S.SOS,M.SI,PKP2A II LAN MAKASSAR 12


INTERVENSI POLITIK TERHADAP BIROKRASI PEMERINTAHAN
2010

informan, seperti; Setwilda, Ketua/Anggota DPRD, Para Asisten,


Kepala Badan/Kantor, Kepala Dinas-dinas, dan Ketua/Anggota Partai
Politik.

b. Focus Group Discussion (FGD)


Metode FGD dilakukan untuk mengeskplorasi hasil wawancara yang
diperoleh sebelumnya. Berbagai permasalahan dikaji untuk dapat
dipahami lebih dalam akar permasalahan sebenarnya terutama
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya intervensi politik
terhadap birokrasi pemerintahan. FGD dilakukan terhadap nara
sumber, yaitu; para pakar/ahli dalam bidang ilmu politik,
pemerintahan, dan administrasi publik, yang berasal dari Perguruan
Tinggi Negeri (PTN) setempat pada masing-masing lokasi penelitian.
Selain diskusi terfokus, setiap nara sumber diharapkan memberikan
tulisan 5 – 10 halaman yang disampaikan sebelumnya tentang masalah
intervensi politik terhadap penyelenggaraan birokrasi pemerintahan
di daerahnya masing-masing.

c. Pengumpulan Data Sekunder


Selain data primer yang dikumpul melalui wawncara dan FGD, juga
dikumpulkan data sekunder berupa dokumen-dokumen tertulis
pemerintah, seperti data sekunder tentang; Struktur organisasi
pemerintah daerah propinsi, kebijakan/aturan-aturan bidang
kepegawaian, jumlah pegawai menurut pendidikan, golongan, dan
eselon, struktur organisasi DPRD, jumlah anggota DPRD, jumlah dan
jenis partai politik, dan sebagainya yang dianggap relevan dengan
masalah penelitian.

MUSKAMAL,S.SOS,M.SI,PKP2A II LAN MAKASSAR 13


INTERVENSI POLITIK TERHADAP BIROKRASI PEMERINTAHAN
2010

3. Teknik Analisis Data


Data yang diperoleh melalui hasil wawancara dan FGD, dianalisis
secara kualitatif melalui proses mengorganisasikan, mengurutkan,
mengelompokkan, memberi kode, dan mengkategorisasikan data. Hasil
proses analisis kualitatif tersebut diinterpretasi untuk memberi gambaran
intervensi politik terhadap birokrasi pemerintahan termasuk faktor-faktor
penyebabnya. Selanjutnya dirumuskan model birokrasi pemerintahan yang
netral dan memiliki kemandirian, serta terbebas dari intervensi politik,
sesuai yang disarankan data yang diperoleh dilapang.

MUSKAMAL,S.SOS,M.SI,PKP2A II LAN MAKASSAR 14


INTERVENSI POLITIK TERHADAP BIROKRASI PEMERINTAHAN
2010

DAFTAR PUSTAKA

Blau, M Peter dan M. W. Meyer. 1987. Birokrasi Masyarakat Modern, Edisi


Kedua, Alih Bahasa Gary Rachman Jusuf, UI-Press, Jakarta.

Burns and Peltason. 1966. Government By The People : The Dynamics of


American National, State and Local Government, Prentice-Hall, Inc.

Chuby, Jibril. 2008. Netralisasi Birokrasi Dalam Pilkada Langsung, Makalah,


www.geogle, diakses 02 Januari 2009.

Dwiyanto, Agus. 2007. Politik Masih Intervensi Birokrasi, Makalah,


www.geogle, diakses 02 Januari 2009.

Mahmudi, Yon. 2007. Budaya Birokrasi dan Politik, Makalah, www.geogle,


diakses 02 Januari 2009.

Makhya, Syarif. 2006. Pencampuradukan Politik dengan Pemerintahan,


www.geogle, diakses 02 Januari 2009.

Osborne, David, dan Ted Gaebler. 1995. Mewirausahakan Birokrasi,


Terjemahan, Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta.

Osborne, David, dan Peter Plastrik. 2000. Memangkas Birokrasi : Lima


Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha, Terjemahan, PPM, Jakarta.

Prasojo, Eko. 2005. Birokrasi Versus Intervensi Politik, Makalah, www.geogle,


diakses 02 Januari 2009.

Robbins, Stephen P. 1994. Teori Organisasi : Struktur, Desain, dan Aplikasi,


Edisi Ketiga, Alih Bahasa Jusuf Udaya, Arcan, Jakarta.

Surie.H.G. 1987. Ilmu Administrasi Negara : Suatu Bacaan Pengantar,


Gramedia, Jakarta.

Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi Politik di Indonesia, Cetakan Kedua,


RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Thoha, Miftah. 2008. Jabatan Karir versus Jacksonisme, Makalah,


www.geogle, diakses 23 Januari 2009.

MUSKAMAL,S.SOS,M.SI,PKP2A II LAN MAKASSAR 15


INTERVENSI POLITIK TERHADAP BIROKRASI PEMERINTAHAN
2010

MUSKAMAL,S.SOS,M.SI,PKP2A II LAN MAKASSAR 16

You might also like