You are on page 1of 3

Dongeng Nina Bobok yang Tak Meninabobokan

Jakarta, Kompas cyber media

mendongengi anak-anak sebelum tidur sudah terbilang aktivitas rutin yang


dilakukan Isa Alamsyah (33). Meskipun pekerjaan sehari benar-benar
melelahkan, setiap malam mendongeng sebelum tidur sebisa mungkin tetap
dilakukannya. Bahkan, kadang karena kelelahannya, Isa malah jatuh tertidur
lebih dulu dari anak-anaknya. "Iya, kadang terjadi seperti itu. Kalau sudah
mentok, semua tokohnya saya ceritakan mati, terus saya bilang ’ayo tidur, tidur,
semuanya sudah pada mati’. Mereka protes deh," ujar Isa, yang sempat rutin
mengisi acara mendongeng pada sebuah stasiun televisi swasta ini.Isa bercerita,
sejak anak- anaknya baru lahir, dia dan istrinya sudah terbiasa mengajak
bayinya mengobrol setiap saat, tanpa memikirkan sang bayi mengerti atau tidak.
Seiring pertambahan usia mereka, dongeng pun menjadi suguhan rutin bagi
kedua anaknya, Caca (8) dan Adam (4).

Isa mungkin hanya satu dari sedikit orangtua masa kini yang masih melakukan
aktivitas klasik tersebut, di antara waktunya yang tersita untuk bekerja. Dia
meyakini, melalui dongeng banyak manfaat yang bisa didapat untuk
pertumbuhan anak- anaknya kelak. Tak hanya soal kemampuan berpikir, namun
juga karakternya.Psikolog anak dari Universitas Indonesia, Dini Daeng,
mengatakan, mendongengi anak-anak sejak masa usia prasekolah memang
banyak mendatangkan manfaat bagi perkembangan otak dan mental anak."Bagi
anak usia prasekolah, perkembangan bahasanya tumbuh sangat pesat.
Mendengarkan dongeng bisa menjadi stimulasi yang sangat bermanfaat bagi
perkembangan kemampuannya berbahasa," tutur Dini.Kemampuan berbahasa
sejak usia dini memang tidak bisa dianggap sepele. Sebab, melalui
berbahasalah anak mulai mengasah nalarnya dengan belajar mengungkapkan
pikiran dan emosinya."Sebab itu, dalam mendongeng sebaiknya orangtua atau
orang yang mendongengi tidak sekadar membacakan cerita dari sebuah buku
saja dengan datar. Melalui mimik dan intonasi kita saat bercerita, stimulasi
melalui dongeng menjadi lebih kaya," ujar Dini.Dongeng juga memancing daya
imajinasi anak. Dibandingkan misalnya dengan melulu menonton cerita kartun di
televisi yang sudah lengkap dengan suguhan visual. Namun, jika suatu dongeng
atau cerita dibangun hanya dengan bertutur, anak bisa belajar mengembangkan
imajinasinya. Hal itu memungkinkan anak berlatih membangun sendiri
gambaran-gambaran di pikirannya berdasarkan gagasan-gagasan dalam cerita.

"Budaya bercerita sudah sejak dini dikenal anak-anak. Dengan cerita, dongeng,
anak lalu bertahap jadi cinta dengan buku, setelah itu bertahap dia jadi terbiasa
dengan menulis, menuangkan gagasannya, imajinasinya. Buku sudah jadi
kebutuhan buat anak-anak saya. Dan, jadi alat bargain (tawar) buat kita,
orangtuanya, jika menghendaki anak-anak berbuat sesuatu," tutur Isa yang
anaknya Caca telah menulis buku pertama berjudul Dunia Caca terbitan Mizan.
seiring dengan pertambahan usia anak, dongeng menjadi lebih dari sekadar
merangsang perkembangan bahasanya.

Melalui dongeng, orangtua bisa menyisipkan ajaran ataupun nilai-nilai yang ingin
diberikan kepada anak-anaknya.Suasana yang akrab dan intim, adanya kontak
emosi dengan orangtua saat didongengi, membuat perasaan anak merasa
tenteram. Suasana perasaan seperti itulah yang menurut Dini sangat kondusif
untuk menanamkan pada anak nilai-nilai melalui dongeng.

Meski dongeng bisa menjadi sarana pendidikan bagi anak, namun pemerhati
dongeng dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Prof Riris K Toha
Sarumpaet PhD, berpendapat, sebaiknya nilai-nilai ataupun ajaran moral yang
ingin diberikan orangtua kepada anak hendaknya tidak disampaikan secara
gamblang, dogmatis, sehingga lama-lama bisa menjadi memuakkan.

"Dongeng harus bersifat menyenangkan, tidak menggurui. Tak perlulah bilang


misalnya, ’pesan moral dari cerita itu adalah…’ atau ’makanya jadi anak
harus..bla-bla..’," ujar Riris. Ajaran atau nilai tersebut biarkan menjadi bagian dari
keseluruhan bangunan cerita, tidak perlu dikonfirmasi dalam kalimat penegas
yang menggurui.

Riris mencontohkan pada pengemasan dongeng-dongeng dari Barat-terlepas


dari isinya-yang bisa membuat anak demikian terpukau. "Padahal, dongeng kita
pun amat sangat kaya namun belum tergali dan tergarap secara baik. Masih ada
yang cenderung terlalu naratif, bertele-tele, dan terlalu menggurui," tutur Riris.

Menurut Riris, cerita-cerita yang bisa menjadi bahan untuk didongengkan kepada
anak masa sekarang sebaiknya merupakan cerita-cerita yang mengandung
harapan. Alasannya, kehidupan pada masa yang akan datang adalah dunia milik
anak-anak sekarang. Masa yang bisa jadi segala sesuatunya sudah demikian
berubah, di mana anak akan semakin banyak menemui hal-hal yang kontradiksi
dan jauh dari yang diidealkan dalam dongeng-dongeng yang pernah
didengarnya."Dunia orang dewasa tampak begitu mengerikan di mata anak-
anak. Mereka bagaimanapun akan merasakan dan mengetahui kengerian itu.
Begitu banyak hal yang tidak ideal di dunia nyata. Anak harus disiapkan untuk
menghadapi itu. Tekankan padanya bahwa harapan selalu ada untuk
menghadapi keadaan yang semakin sulit, tidak menyerah dan apatis," tandas
Riris.Riris mengkritik cukup keras dongeng-dongeng yang cenderung
meninabobokan anak, khususnya anak perempuan. Meninabobokan yang
dimaksud adalah dongeng yang secara halus dapat membentuk kepribadian
anak perempuan yang tidak sehat."Sebutlah dongeng semacam Cinderella.
Hanya membuat anak perempuan menjadi terobsesi dengan kecantikan, baju
bagus, dan pangeran yang menjemput mereka. Ini membuat mereka hidup lebih
enak tanpa berusaha sendiri," ujar Riris yang lalu menyebut istilah cinderella
complex, suatu gejala ketergantungan tersembunyi perempuan modern kepada
laki-laki, yang diulas oleh Colette Dowling.Dongeng demikian menurut Riris
hanya akan semakin menyuburkan gejala "mendagangkan" perempuan, jauh
dari rasionalitas tentang apa yang membuat hidupnya lebih bermakna. Bahkan,
kerap kali dongeng demikian hanya menstimulus tanpa sadar persaingan tidak
sehat antar sesama perempuan untuk "dijemput pangeran". "Lewat dongeng
seperti itu anak perempuan seperti diajarkan untuk pandai merawat dirinya dari
ujung kaki sampai ujung rambut supaya menarik sehingga tinggal dijemput oleh
pangeran yang tampan dan kaya. Makanya ada saja perempuan yang maunya
dapat suami kaya untuk hidup enak," ujar Riris.Sebab itu, Riris mengingatkan
perlunya orangtua pandai-pandai memilih cerita dongeng kepada anak-anaknya.
Sebab dongeng-dongeng demikian, di mana perempuan melulu menjadi sosok
yang menunggu "diselamatkan", dan laki-laki selalu menjadi pahlawan yang
akrab dengan kekerasan, masih bertaburan di toko-toko buku. Dongeng
memang bisa menjadi alat transfer nilai yang efektif, namun jangan sampai
menjadi pengantar tidur yang menyesatkan.

You might also like