You are on page 1of 39

ANALISIS KEMISKINAN

PROVINSI PAPUA BARAT, 2006—2009

ISSN :
No. Publikasi/Publication Number : 91522.91.18
Katalog BPS/BPS Catalogue : 3205008.9100
Ukuran Buku/Book Size : 16,5 cm x 21 cm
Jumlah Halaman/Total Pages : vii + 35 halaman /42 pages

Naskah/Manuscript :
Bidang Statistik Sosial BPS Provinsi Papua Barat

Gambar Kulit/Cover Design :


Bidang Integrasi Pengolahan dan Diseminasi Statistik
BPS Provinsi Papua Barat

Diterbitkan Oleh/Published by :
Badan Pusat Statistik Provinsi Papua Barat

Dicetak Oleh/Printed by :

Boleh dikutip dengan menyebut sumbernya


KATA
PENGANTAR

Data dan Informasikan Kemiskinan telah dipublikasikan oleh Badan


Pusat Statistik (BPS) sejak tahun 2002. Publikasi serupa terakhir terbit
tahun 2007 yang memuat data dan informasi kemiskinan tahun 2005,
2006, dan 2007.
Untuk melengkapi keragaman informasi kemiskinan, BPS Provinsi
Papua Barat menghadirkan Analisis Kemiskinan di Provinsi Papua Barat
Tahun 2006—2009. Data yang dihimpun bersumber dari publikasi Data
dan Informasi Kemiskinan Tahun 2007 Buku 1 dan Buku 2. Selain itu,
data kemiskinan tahun 2008 dan 2009 bersumber dari Berita Resmi
Statistik (BRS) BPS Provinsi Papua Barat No. 06/ 07/91/Th. II, 1 Juli
2008 dan No. 30/ 07/91/Th. III, 1 Juli 2009.
Analisis Kemiskinan di Provinsi Papua Barat Tahun 2006—2009
mengulas perkembangan kemiskinan di Provinsi Papua Barat. Analisis
diarahkan untuk mengetahui posisi relatif kemiskinan Papua Barat di
tingkat nasional, kabupaten/kota, dan kawasan timur Indonesia (Katimin)
serta perkembangannya dilihat dari indikator jumlah dan persentase pen-
duduk miskin, indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan ke-
miskinan. Semoga informasi yang disajikan bermanfaat.

Manokwari, September 2009


Kepala BPS Provinsi Papua Barat

Ir. Tanda Sirait, MM


NIP. 340005623

ANALISIS KEMISKINAN PROVINSI PAPUA BARAT 2006—2008 i


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI iii
DAFTAR TABEL v
DAFTAR GAMBAR vii

BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Maksud dan Tujuan 3
1.3 Sistematika Penulisan 3

BAB II METODE PENGHITUNGAN KEMISKINAN 5


2.1 Pendekatan Garis Kemiskinan Pendapatan 5
2.2 Pendekatan Garis Kemiskinan Pengeluaran 6
2.3 Pengukuran Indeks Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan 7

BAB III JUMLAH DAN PERSENTASE PENDUDUK MISKIN 11


3.1 Perkembangan Tingkat Kemiskinan di Papua Barat, 2006—2009 11
3.2 Tingkat Kemiskinan di Perkotaan dan di Perdesaan, 2006—2009 14
3.3 Perbandingan Tingkat Kemiskinan di Katimin, 2006—2009 17

BAB IV INDEKS KEDALAMAN KEMISKINAN 21


4.1 Indeks Kedalaman Kemiskinan di Papua Barat, 2006—2009 22
4.2 Indeks Kedalaman Kemiskinan di Katimin, 2006—2009 25

BAB V INDEKS KEPARAHAN KEMISKINAN 27


4.1 Indeks Keparahan Kemiskinan di Papua Barat, 2006—2009 27
4.2 Indeks Keparahan Kemiskinan di Katimin, 2006—2009 30

BAB VI KESIMPULAN 33

DAFTAR PUSTAKA 35

ANALISIS KEMISKINAN PROVINSI PAPUA BARAT 2006—2008 iii


DAFTAR TABEL
DAFTAR ISI iii
Tabel 3.1 Garis Kemiskinan Papua Barat Menurut Daerah, 2006—2009 12
Tabel 3.2 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Papua Barat
Menurut Kabupaten/Kota, 2006—2008 13
Tabel 3.3 Garis Kemiskinan di Papua Barat Menurut Daerah, 2006—2009 14
Tabel 3.4 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Papua Barat
Menurut Daerah, 2006—2009 15
Tabel 3.5 Garis Kemiskinan di Katimin, 2006—2009 18
Tabel 3.6 Jumlah Penduduk Miskin di Katimin, 2006—2009 19
Tabel 3.7 Persentase Penduduk Miskin di Katimin, 2006—2009 19
Tabel 4.1 Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Papua Barat, 2006—2009 22
Tabel 4.2 Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Papua Barat Menurut
Kabupaten/Kota, 2006—2008 24
Tabel 4.3 Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) di Katimin, 2006—2008 25
Tabel 5.1 Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Papua Barat, 2006—2009 28
Tabel 5.2 Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Papua Barat Menurut
Kabupaten/Kota 2006—2008 29
Tabel 5.1 Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Katimin, 2006—2009 30

ANALISIS KEMISKINAN PROVINSI PAPUA BARAT 2006—2008 v


DAFTAR GAMBAR
DAFTAR ISI iii
Gambar 3.1 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Papua Barat,
2006—2009 12
Gambar 3.2 IHKP dan Inflasi Konsumsi Rumah Tangga, Maret 2007—
2009 16
Gambar 3.3 IHKP dan Inflasi Bahan Makanan, Maret 2007—2009 17
Gambar 4.1 Nilai Tukar Petani Papua Barat, 2007—2009 23

ANALISIS KEMISKINAN PROVINSI PAPUA BARAT 2006—2008 vii


“Kondisi sosial ekonomi masyarakat Papua terutama yang berada di
kampung-kampung tidak memperlihatkan perubahan yang berarti,
selama kurang lebih 50 tahun pembangunan di daerah ini, termasuk
dalam lima tahun pelaksanaan Otsus”
(Sintese Kapasitas Pembangunan Papua, 2004 )

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Tidak dipungkiri, Tanah Papua dianugerahi Tuhan kekayaan alam
Belakang yang melimpah. Gunung, lembah, laut dan pantai semuanya
mengandung kekayaan alam yang tidak ternilai. Sumber gas bumi di
sepanjang Teluk Bintuni, tambang minyak di Kasim Kabupaten Sorong,
Tambang Nikel di Pulau Gag Raja Ampat, ikan yang melimpah di
perairan Papua bukti kekayaan alam Papua. Demikian juga hutan yang
menyimpan kekayaan alam yang juga tidak ternilai.
Kendati demikian, penduduk (asli) Papua hidup dalam kemiskinan,
keterbelakangan, keterisoliran, dan kebodohan. Hasil kajian Sintese
Kapasitas Pembangunan Papua menunjukkan kondisi sosial ekonomi
masyarakat Papua khususnya di perkampungan tidak menunjukkan
perbaikan berarti dalam 50 tahun pembangunan di daerah ini. Ironis
bukan? Ibarat pepatah, penduduk (asli) Papua kelaparan di lumbung

ANALISIS KEMISKINAN PROVINSI PAPUA BARAT 2006—2009 1


padi sendiri.
Sintese Kapasitas Pembangunan Papua mencatat lebih dari 40
persen penduduk Papua (termasuk Papua Barat) hidup dalam
kemiskinan. Laporan Pembangunan Manusia Indonesia 2004 mencatat
di tahun 2002 sekitar 41,8 persen penduduk Papua hidup di bawah garis
kemiskinan. Persentase penduduk miskin di Kabupaten Fakfak dan
Manokwari di tahun itu bahkan lebih dari separuh penduduk (52,6 persen
dan 58,4 persen).
Luasnya Tanah Papua dengan kondisi geografis pegunungan
memaksa Pemerintah Pusat untuk memekarkan provinsi paling timur di
Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999,
Provinsi Irian Jaya Barat (sekarang Papua Barat) dibentuk bersamaan
pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Kabupaten Mimika,
Kabupaten Paniai, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong.
Berdirinya Provinsi Irian Jaya Barat juga mendapat dukungan dengan
diterbitkannya Surat Keputusan DPRD Provinsi Papua Nomor 10 Tahun
1999 tentang pemekaran Provinsi Papua menjadi tiga provinsi.
Meskipun telah mendapatkan payung hukum pemekaran Provinsi
Papua menjadi tiga provinsi, namun pelaksanaan undang-undang
tersebut tidak mulus. Pertentangan antara kelompok yang pro dan kontra
cukup menguras waktu, tenaga dan biaya. Pembentukan Provinsi Irian
Jaya Barat setidaknya melampaui dua masa kepresidenan yaitu masa
pemerintahan Prof. B.J Habibie (Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999
dipromulgasikan pada tanggal 1 Oktober 1999) dan masa pemerintahan
Megawati Sukarnoputri (pengaktifan Provinsi Irian Jaya Barat melalui
Inpres Nomor 1 Tahun 2003 pada tanggal 27 Januari 2003). Pada
tanggal 26 Juli 2006 Provinsi Papua Barat resmi mengatur pemerintahan
sendiri sejak Abraham Octavianus Atururi (Brigjen Marinir Purn.) dan
Drs. Rahimin Katjong, M.Ed secara mutlak dipilih oleh rakyat sebagai

ANALISIS KEMISKINAN PROVINSI PAPUA BARAT 2006—2009 2


Gubernur Provinsi Papua Barat untuk yang pertama kali.
RPJMD Provinsi Papua Barat Tahun 2006 - 2011 menyatakan visi
Provinsi Papua Barat sebagai berikut: Terwujudnya masyarakat Papua
Barat yang bersatu, berpendidikan dan berbudaya serta terwujudnya
pemerintahan yang bersih dan berwibawa guna mewujudkan ekonomi
kerakyatan yang demokratis, adil, sejahtera dan mandiri. Tampak bahwa
masyarakat Papua Barat memiliki impian besar untuk keluar dari
kemiskinan, kebodohan, ketergantungan menuju kemandirian,
kesejahteraan, kemajuan pendidikan dan keadilan. Pertanyaannya
adalah: setelah tiga tahun pemerintahan Provinsi Papua Barat berjalan
mampukah mewujudkan visi tersebut? Jawaban dari pertanyaan
tersebut menarik untuk dikaji dan diteliti khususnya pada permasalahan
sejauhmana capaian pengentasan kemiskinan di Tanah Papua (Provinsi
Papua Barat) selama tiga tahun terakhir ini.

1.2 Maksud Maksud dan tujuan penulisan analisis ini antara lain untuk:
& Tujuan
• Mengetahui jumlah dan persentase penduduk miskin di Provinsi
Papua Barat tahun 2006, 2007, 2008 dan 2009.
• Mengetahui tingkat kedalaman kemiskinan di Provinsi Papua Barat
tahun 2006, 2007, 2008 dan 2009.
• Mengetahui tingkat keparahan kemiskinan di Provinsi Papua Barat
tahun 2006, 2007, 2008 dan 2009.

1.3 Sistematika Bab I menjelaskan latar belakang penulisan, tujuan penulisan, dan
Penulisan sistematika penulisan.
Bab II menjelaskan tentang konsep kemiskinan yang digunakan,

ANALISIS KEMISKINAN PROVINSI PAPUA BARAT 2006—2009 3


metode penghitungan garis kemiskinan, ukuran kedalaman kemiskinan,
dan ukuran keparahan kemiskinan.
Bab III membahas tentang jumlah dan persentase penduduk miskin
yang disajikan menurut runtun waktu 2006—2009, menurut kabupaten/
kota dan kondisi kemiskinan Provinsi Papua Barat dibandingkan dengan
provinsi lain di wilayah katimin.
Bab IV membahas ukuran kedalaman kemiskinan yang disajikan
menurut runtun waktu 2006—2009, menurut kabupaten /kota dan kondisi
kemiskinan Provinsi Papua Barat dibandingkan dengan provinsi lain di
wilayah katimin.
Bab V membahas ukuran keparahan kemiskinan yang disajikan
menurut runtun waktu 2006—2009, menurut kabupaten /kota dan kondisi
kemiskinan Provinsi Papua Barat dibandingkan dengan provinsi lain di
wilayah katimin. Penulisan diakhiri oleh Bab VI yang berisi kesimpulan
dan saran/rekomendasi.

ANALISIS KEMISKINAN PROVINSI PAPUA BARAT 2006—2009 4


“Kondisi sosial ekonomi masyarakat Papua terutama yang berada di
kampung-kampung tidak memperlihatkan perubahan yang berarti,
selama kurang lebih 50 tahun pembangunan di daerah ini, termasuk
dalam lima tahun pelaksanaan Otsus”
(Sintese Kapasitas Pembangunan Papua, 2004 )

BAB II
METODE PENGHITUNGAN
KEMISKINAN

Secara umum metode pengukuran kemiskinan dikaitkan dengan


tiga pendekatan, yaitu berdasarkan: 1) garis kemiskinan pendapatan
(income-based poverty line), 2) garis kemiskinan konsumsi (consumption
-based poverty line), dan 3) karakteristik penduduk atau rumahtangga
miskin. Dalam publikasi ini hanya pendekatan 1 dan 2 dari ketiga
pendekatan tersebut yang dijelaskan seperti berikut.

2.1 Pendekatan ini menggunakan konsep kemiskinan yang dikaitkan


Pendekatan dengan garis kemiskinan berdasarkan pada pendapatan (income based
Garis poverty line). Mereka yang dinyatakan berada dalam kemiskinan adalah
Kemiskinan individu, rumahtangga, masyarakat atau kelompok sosial yang
Pendapatan memperoleh pendapatan standar minimal. Salah satu contoh
penggunaan konsep ini adalah penetapan batas $1 per kapita per hari
sebagai indikator kemiskinan dalam Goal 1: Millenium Development
Goal (United Nations, 2000).

ANALISIS KEMISKINAN PROVINSI PAPUA BARAT 2006—2009 5


2.2 Pendekatan ini adalah pendekatan yang selama ini digunakan oleh
Pendekatan Badan Pusat Statistik dalam menghitung penduduk miskin di Indonesia.
Garis Pendekatan ini menggunakan konsep kemiskinan yang dikaitkan
Kemiskinan kebutuhan hidup minimal yang layak (basic needs) untuk seseorang/
Pengeluaran rumahtangga. Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan untuk
memenuhi kebutuhan pangan maupun non pangan yang bersifat
mendasar untuk pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan
kebutuhan dasar lainnya.
Berdasarkan pendekatan basic needs, maka dapat dihitung “garis
kemiskinan konsumsi” dan selanjutnya dapat dihitung persentase
penduduk miskin (Head Count Index), yaitu persentase penduduk yang
berada dibawah garis kemiskinan konsumsi. Garis kemiskinan konsumsi
dihitung berdasarkan rata-rata pengeluaran makanan dan bukan
makanan per kapita pada kelompok penduduk referensi, yaitu penduduk
kelas marjinal yang hidupnya berada sedikit di atas garis kemiskinan
konsumsi. Garis kemiskinan konsumsi terdiri dari garis kemiskinan
makanan (batas kecukupan konsumsi makanan) dan garis kemiskinan
non-makanan (batas kecukupan konsumsi non-makanan).
Batas kecukupan konsumsi makanan dihitung dari besarnya rupiah
yang dikeluarkan untuk makanan yang memenuhi kebutuhan minimum
enerji 2100 kalori per kapita per hari. Patokan ini mengacu pada hasil
Wydia Pangan dan Gizi (1978). Sejak tahun 1993 penghitungan
kecukupan kalori didasarkan pada 52 komoditi makanan terpilih yang
telah disesuaikan dengan pola konsumsi, hasil Survei Paket Komoditi
Kebutuhan Dasar (SPKKD) tahun 1993 dan 1996. Paket komoditi
makanan setelah 1996 dievaluais perkembangannya untuk tahun-tahun
setelah 1996.
Batas kecukupan konsumsi non-makanan dihitung dari besarnya
rupiahyang dikeluarkan untuk konsumsi untuk memenuhi kebutuhan

ANALISIS KEMISKINAN PROVINSI PAPUA BARAT 2006—2009 6


minimum non-makanan, seperti perumahan, sandang, kesehatan,
pendididkan, transportasi, dan kebutuhan dasar non-makanan lainnya.
Pemilihan jenis konsumsi non-makanan mengalami perkembangan dari
satu periode ke periode lainnya. Pada periode sebelum tahun 1993,
jumlah jenis konsumsi non-makanan terpilih terdiri dari 14 jenis untuk
perkotaan dan 12 jenis untuk pedesaan; sedangkan pada periode sejak
tahun 1996 (Hasil SPKKD, 1996), jumlah jenis konsumsi non-makanan
terpilih terdiri dari 51 jenis untuk perkotaan dan 47 jenis untuk
perdesaan.
Secara rinci, prosedur estimasi penduduk miskin dapat dilihat pada
publikasi “Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan 2008” (BPS,
2008). Hasil penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin per
propinsi dan nasional dari tahun 2005-2006 dapat dilihat pada publikasi
“Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2005-2006, Buku 1:
Propinsi” (BPS, 2007a). Sementara itu, hasil penghitungan jumlah dan
persentase penduduk miskin kabupaten/kota berikut Indeks Kedalaman
Kemiskinan (P1) dilihat pada publikasi “Data dan Informasi Kemiskinan
2005-2006, Buku 2: Kabupaten/Kota (BPS, 2007b).

2.3 Pengukuran Indeks Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan


Untuk mengukur tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan,
Foster, Greer, danThorbecke (1984) merumuskan suatu ukuran seperti
berikut:
α
1 q
⎡ z − yi ⎤
Pα = ∑ ⎢ yi ⎥
i =1 ⎣
N ⎦

ANALISIS KEMISKINAN PROVINSI PAPUA BARAT 2006—2009 7


Dimana:

α = 0,1,2
z = Garis kemiskinan
yi = Rata-rata pengeluaran perkapita sebulan penduduk yang
berada di
bawah garis kemiskinan (i=1,2,…,q), yi < z
q = Banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan
N = Jumlah penduduk

Jika α = 0 maka diperoleh Head Count Index (P0) yaitu persentase


penduduk miskin, sedangkan jika α = 1 diperoleh Indeks Kedalaman
Kemiskinan (Poverty Gap Index), dan α = 2 diperoleh Indeks Keparahan
Kemiskinan (Poverty Severity Indeks).

Indeks Kedalaman Kemiskinan/Poverty Gap Index (P1)


Indeks Kedalaman Kemiskinan/Poverty Gaps Index (P1) adalah
ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk
miskin terhadap batas miskin. Semakin tinggi nilai indeks semakin besar
rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap
kemiskinan. Dengan demikian indeks ini merupakan indikator yang baik
tentang kedalaman kemiskinan Melalui indeks kedalaman kemiskinan
juga akan dapat diperkirakan besarnya dana yang diperlukan untuk
pengentasan kemiskinan. Ukuran ini masih belum realistis karena belum
mempertimbangkan biaya operasional dan faktor penghambat.
Sungguhpun demikian, ukuran tersebut memberikan informasi yang
berguna mengenai skala minimum dari sumber keuangan yang
diperlukan untuk menangani masalah kemiskinan. Sebagai ukuran
pengentasan kemiskinan, indeks ini cukup memadai karena transfer
dana kemiskinan dilakukan dengan target sasaran yang sempurna.

ANALISIS KEMISKINAN PROVINSI PAPUA BARAT 2006—2009 8


Indeks Keparahan Kemiskinan/Poverty Severity Index (P2)
Untuk memecahkan masalah ketimpangan pengeluaran di antara
penduduk miskin digunakan ukuran Poverty Severity Index (P2). Indeks
ini secara sederhana merupakan jumlah dari poverty gap tertimbang di
mana penimbangnya sebanding dengan poverty gap itu sendiri. Dalam
penghitungannya, indeks ini dapat diperoleh melalui rumus FGT dengan
nilai α = 2. Dengan mengkuadratkan poverty gap, indeks ini secara
implisit memberikan penimbang yang lebih pada unit observasi yang
makin jatuh di bawah garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks
berarti semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk
miskin.

ANALISIS KEMISKINAN PROVINSI PAPUA BARAT 2006—2009 9


“Kondisi sosial ekonomi masyarakat Papua terutama yang berada di
kampung-kampung tidak memperlihatkan perubahan yang berarti,
selama kurang lebih 50 tahun pembangunan di daerah ini, termasuk
dalam lima tahun pelaksanaan Otsus“
(Sintese Kapasitas Pembangunan Papua, 2004 )

BAB III

JUMLAH & PERSENTASE


PENDUDUK MISKIN

Salah satu upaya mewujudkan visi Papua Barat dalam


menciptakan kesejahteraan rakyat adalah dengan pengentasan
kemiskinan. Pengentasan kemiskinan di Papua Barat menjadi salah satu
agenda penting mengingat pada awal berdirinya provinsi ini, persentase
penduduk miskin diperkirakan lebih dari 40 persen. Pengentasan
kemiskinan di Papua Barat sejalan dengan agenda nasional dan agenda
MDGs (Millenium Development Goals).

3.1 Perkembangan Tingkat Kemiskinan di Papua Barat, 2006—2009


Perkembangan tingkat kemiskinan di Papua Barat selama periode
2006—2008 menunjukkan perkembangan menurun. Meskipun di Bulan
Maret 2009 terjadi lonjakan jumlah dan persentase penduduk miskin
namun secara umum pola yang ada menunjukkan penurunan. Gambar

ANALISIS KEMISKINAN PROVINSI PAPUA BARAT 2006—2009 11


300,0 284,1 266,8
246,5 256,8
237,3
250,0
200,0
150,0
100,0 41,34 39,31 35,12 33,49
50,0 35,71

Gambar 3.1 0,0


Maret  Maret  Maret  Agustus  Maret 
Jumlah dan
2006 2007 2008 2008 2009
Persentase Peduduk
Miskin Papua Barat, Jumlah Penduduk Miskin (ribu)
2006—2009
Persentase Penduduk Miskin

3.1 menunjukkan penurunan jumlah penduduk miskin dari 284,1 ribu jiwa
pada tahun 2006 menjadi 256,8 ribu jiwa pada tahun 2009. Persentase
penduduk miskin juga turun dari 41,34 persen pada tahun 2006 menjadi
35,71 persen pada tahun 2009.
Di sisi lain, garis kemiskinan selama periode 2006—2009
menunjukkan perkembangan selalu naik. Kenaikan garis kemiskinan
disebabkan oleh kenaikan harga barang dan jasa yang dipicu oleh

Tabel 3.1 Garis Kemiskinan Papua Barat Menurut Daerah, 2006—2009

Garis Kemiskinan (Rp/kpt/hari) 
Tahun 
Kota  Desa  Kota dan desa 
(1)  (2)  (3)  (4) 
Maret 2006  206.610  198.725  202.340 

Maret 2007  209.518  204.958  205.998 

Maret 2008  244.807  230.254  233.570 

Maret 2009  304.730  269.354  277.416 

Sumber: Dihitung berdasarkan data Susenas Panel Modul Konsumsi Maret 2006, 2007, 2008 dan
2009

ANALISIS KEMISKINAN PROVINSI PAPUA BARAT 2006—2009 12


banyak faktor. Dalam skala nasional, kebijakan penyesuaian harga
bahan bakar minyak merupakan salah satu faktor pemicu utama
kenaikan harga barang dan jasa di Papua Barat. Selain itu,
ketergantungan Papua Barat terhadap produk impor dari provinsi lain
mengakibatkan harga kebutuhan hidup senantiasa naik. Sebagai contoh,
pasokan telur ayam ras didatangkan dari Surabaya, Makassar atau
Menado. Demikian juga dengan pasokan cabai, bawang merah dan
bawang putih. Pasokan pakaian biasanya didatangkan dari Jakarta atau
Surabaya.
Penurunan jumlah penduduk miskin di Papua Barat terjadi di
semua kabupaten/kota kecuali Kabupaten Manokwari, Kabupaten Teluk
Wondama, dan Kabupaten Teluk Bintuni. Tetapi, dari sisi persentase
penduduk miskin, semua kabupaten/kota di Papua Barat mengalami
penurunan. Penurunan persentase penduduk miskin di Kota Sorong

Tabel 3.2 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Papua Barat Menurut
Kabupaten/Kota, 2006—2008

Jumlah
Persentase
Kabupaten/Kota (000)
2006 2007 2008 2006 2007 2008
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Kab. Fakfak 26,39 24,71 24,47 41,64 39,57 37,55
Kab. Kaimana 14,67 13,73 10,61 36,85 35,22 23,25
Kab. Teluk Wondana 11,92 11,46 11,98 54,95 53,34 47,36
Kab. Teluk Bintuni 27,46 25,92 30,06 53,75 51,37 50,39
Kab. Manokwari 81,19 76,35 82,62 49,75 47,34 43,57
Kab. Sorong Selatan 17,09 16,00 16,37 29,46 28,05 26,66
Kab. Sorong 33,13 31,01 32,55 35,52 33,84 33,95
Kab. Raja Ampat 12,22 11,44 10,45 31,25 30,07 23,76
Kota. Sorong 60,02 56,19 18,19 37,62 35,71 14,93
IRIAN JAYA BARAT 284,09 266,80 237,30 41,34 39,31 33,49

Sumber: Dihitung berdasarkan data Susenas Panel Modul Konsumsi Maret 2006, 2007 dan 2008

ANALISIS KEMISKINAN PROVINSI PAPUA BARAT 2006—2009 13


selama periode 2006—2008 mencapai 69,69 persen dan merupakan
penurunan persentase penduduk miskin tertinggi di Papua Barat.
Sebaliknya, penurunan persentase penduduk miskin di Kabupaten
Sorong terendah yaitu 23,97 persen.

3.2 Tingkat Kemiskinan di Perkotaan dan di Perdesaan, 2006—2009


Garis kemiskinan di perkotaan selama kurun 2006—2009 selalu
lebih tinggi daripada garis kemiskinan di perdesaan. Hal ini sejalan
dengan perbedaan harga barang dan jasa antara perkotaan dan
perdesaan di mana harga barang dan jasa di perkotaan lebih tinggi
daripada di perdesaan.
Perkembangan garis kemiskinan di perkotaan dan di perdesaan
keduanya menunjukkan kenaikan dalam periode yang sama. Kenaikan
garis kemiskinan di perkotaan lebih cepat daripada di perdesaan.
Dengan menyusun indeks berantai, garis kemiskinan di perkotaan pada
tahun 2006—2007 naik 1,41 persen. Kenaikan garis kemiskinan di
perkotaan lebih tinggi lagi selama 2007—2008 yaitu sebesar 16,84
persen. Kenaikan garis kemiskinan di perkotaan pada periode 2008—
 
Tabel 3.3 Garis Kemiskinan di Papua Barat Menurut Daerah, 2006—2009

Garis Kemiskinan 
Tahun 
Kota  Desa  Kota dan desa 
(1)  (2)  (3)  (4) 
Maret 2006  206.610  198.725  202.340 
Maret 2007  209.518  204.958  205.998 
Maret 2008  244.807  230.254  233.570 
Maret 2009  304.730  269.354  277.416 
Sumber: Dihitung berdasarkan data Susenas Panel Modul Konsumsi Maret 2006, 2007 2008 dan
2009

ANALISIS KEMISKINAN PROVINSI PAPUA BARAT 2006—2009 14


2009 bahkan mencapai 24,48 persen. Bandingkan dengan kenaikan
garis kemiskinan di perdesaan. Kenaikan garis kemiskinan di perdesaan
selama 2006—2007, 2007—2008, dan 2008—2009 berturut-turut 3,14
persen, 12,34 persen, dan 16,98 persen.
Secara umum, Kenaikan garis kemiskinan di perkotaan dan di
perdesaan selama periode 2006—2009 diikuti oleh penurunan jumlah
dan persentase penduduk miskin kecuali pada periode 2008—2009.
Selama periode 2008—2009 jumlah dan persentase penduduk miskin di
perkotaan turun sementara di perdesaan naik.
Anomali peningkatan jumlah dan persentase penduduk miskin di
perdesaan selama 2008—2009 menarik untuk dikaji lebih lanjut. Satu-
satunya informasi yang diharapkan dapat menjelaskan fenomena ini
adalah inflasi pedesaan yang didekati dengan perubahan indeks harga
konsumen pedesaan (IHKP).
IHKP kondisi Maret 2009 lebih tinggi daripada kondisi Maret 2008.
IHKP konsumsi rumah tangga pada bulan Maret 2008 tercatat 105,74

Tabel 3.4 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Papua Barat Menurut
Daerah, 2006—2009

Jumlah (000) Persentase
Tahun Kota dan  Kota dan 
Kota Desa Kota Desa
desa desa
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Maret 2006 13,30 270,80 284,10 8,42 51,17 41,34
Maret 2007 11,00 255,80 266,80 7,14 48,82 39,31
Maret 2008 9,48 237,02 246,50 5,93 43,74 35,12
Maret 2009 8,55 248,29 256,84 5,22 44,71 35,71
Sumber: Dihitung berdasarkan data Susenas Panel Modul Konsumsi Maret 2006, 2007 2008 dan
2009

ANALISIS KEMISKINAN PROVINSI PAPUA BARAT 2006—2009 15


140 persen (2007 = 100)
119,22
120 105,74 dan untuk kelompok
100
100 pengeluaran yang
80 sama IHKP pada
60 Maret 2009 tercatat
40 119,22 persen.
5,74 12,75
20 Artinya, telah terjadi
0 0
Gambar 3.2 inflasi 12,75 persen
Maret 2007 Maret 2008 Maret 2009
IHKP dan selama Maret 2008—
Inflasi
Konsumsi
Maret 2009 untuk
Konsumsi Rumah Tangga
Rumah konsumsi rumah
Tangga, Maret
2007—2009
IHKP Inflasi tangga di perdesaan.

Di sisi lain, kenaikan garis kemiskinan di perdesaan selama 2008—2009


mencapai 16,98 persen, lebih tinggi 4,23 poin dari angka inflasi
perdesaan pada periode yang sama.
Garis kemiskinan dibangun oleh garis kemiskinan makanan (GKM)
dan garis kemiskinan non makanan (GKMN). GKM di Indonesia pada
tahun 2008 Rp. 132.453 per kapita per bulan. Kontribusi GKM mencapai
67,69 persen terhadap garis kemiskinan yang besarnya Rp. 195.678 per
kapita per bulan. Kontribusi GKM Papua Barat tahun 2008 mencapai
72,35 persen dari garis kemiskinan yang besarnya Rp. 270.990 per
kapita per bulan. Fakta ini menunjukkan bahwa kenaikan harga bahan
makanan sedikit saja akan berdampak besar pada kenaikan garis
kemiskinan.
Dengan memperhatkan IHKP bahan makanan di perdesaan
diharapkan dapat menjelaskan kenaikan garis kemiskinan di perdesaan.
IHKP Maret 2008 untuk kelompok bahan makanan 108,72 persen.
Terjadi kenaikan harga di tingkat konsumen di perdesaan 8,72 persen

ANALISIS KEMISKINAN PROVINSI PAPUA BARAT 2006—2009 16


140 127,49 dibandingkan tahun
120 108,72 2007. IHKP Maret
100
100 2009 untuk kelompok
80 bahan makanan
60 127,49 persen.
40
17,27 Artinya, terjadi
20 8,72 kenaikan harga
0 0
Gambar 3.3 bahan makanan di
Maret 2007 Maret 2008 Maret 2009
IHKP dan perdesaan 27,49
Inflasi Bahan
Makanan,
persen dibandingkan
Bahan Makanan
Maret 2007— kondisi tahun 2007.
2009
IHKP Inflasi Dengan demikian

inflasi bahan makanan di perdesaan tercatat 17,27 persen, lebih tinggi


0,29 poin dari kenaikan garis kemiskinan di perdesaan pada kurun Maret
2008—Maret 2009.

3.3 Perbandingan Tingkat Kemiskinan di Katimin, 2006—2009


Kawasan timur Indonesia (Katimin) seringkali diidentikkan dengan
kawasan terbelakang. Maklum saja, katimin jauh dari pusat
pemerintahan Indonesia di bagian barat. Selain itu, pembangunan
infrastruktur di katimin terbilang lambat. Katimin kawasan yang cukup
terisolir.
Pasokan kebutuhan barang dan jasa di katimin bergantung pada
impor dari wilayah sebelah barat. Hal ini mengakibatkan harga barang
dan jasa sulit dikendalikan. Selama bulan Mei dan Juni misalnya, Kota
Sorong dan Manokwari mengalami inflasi sementara Kota Ambon, Kota
Ternate dan Kota Jayapura mengalami deflasi.

ANALISIS KEMISKINAN PROVINSI PAPUA BARAT 2006—2009 17


Kenaikan harga barang dan jasa berdampak pada kenaikan garis
kemiskinan di Katimin. Selama Maret 2006—Maret 2009, garis
kemiskinan di Katimin terus mengalami kenaikan. Garis kemiskinan di
Maluku naik dari Rp. 173.201 per kapita per bulan pada Maret 2006
menjadi Rp. 179.552 per kapita per bulan pada Maret 2007. Pada Maret
2009 garis kemiskinan di Maluku tercatat Rp. 207.771 per kapita per
bulan.
Di antara keempat provinsi di Katimin, garis kemiskinan tertinggi di
Provinsi Papua Barat. Sebaliknya, garis kemiskinan terendah di Provinsi
Maluku Utara. Jika diperingkat dari garis kemiskinan terendah, posisi
relatif garis kemiskinan sebagai berikut: Provinsi Maluku Utara, Provinsi
Maluku, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat. Meskipun demikian,
persentase penduduk miskin di Katimin belum tentu sesuai urutan garis
kemiskinannya.
Berita Resmi Statistik (BRS) No. 43/07/Th. XII, 1 Juli 2009
melaporkan bahwa persentase penduduk miskin di Provinsi Papua
tertinggi di Katimin bahkan di Indonesia. Jumlah penduduk miskin di
Provinsi Papua pada bulan Maret 2008 dan Maret 2009 tercatat 733,15
ribu dan 760,35 ribu. Persentase penduduk miskin di Provinsi Papua
Tabel 3.5 Garis Kemiskinan di Katimin, 2006—2009

Garis Kemiskinan 
Tahun 
Maluku  Maluku Utara  Papua Barat  Papua 
(1)  (2)  (3)  (4)  (5) 
Maret 2006  173.201   150.812   202.340   180.201  
Maret 2007  179.552   165.039   205.998   202.379  
Maret 2008  188.931   187.671   233.570   225.195  
Maret 2009  207.771   201.500   277.416   246.225  
Sumber: Dihitung berdasarkan data Susenas Panel Modul Konsumsi Maret 2006, 2007 2008 dan
2009

ANALISIS KEMISKINAN PROVINSI PAPUA BARAT 2006—2009 18


Tabel 3.6 Jumlah Penduduk Miskin di Katimin, 2006—2009

Jumlah (000) 
Tahun 
Maluku  Maluku Utara  Papua Barat  Papua 
(1)  (2)  (3)  (4)  (5) 
Maret 2006  418,60  116,80  284,10  816,70 
Maret 2007  404,70  109,90  266,80  793,40 
Maret 2008  391,32  105,05  246,50  733,15 
Maret 2009  380,01  98,00  256,84  760,35 
Sumber: Dihitung berdasarkan data Susenas Panel Modul Konsumsi Maret 2006, 2007 2008 dan
2009

Tabel 3.7 Persentase Penduduk Miskin di Katimin, 2006—2009

Persentase 
Tahun 
Maluku  Maluku Utara  Papua Barat  Papua 
(1)  (7)  (8)  (9)  (10) 
Maret 2006  33,03  12,73  41,34  41,52 
Maret 2007  31,14  11,97  39,31  40,78 
Maret 2008  29,66  11,28  35,12  37,08 
Maret 2009  28,23  10,36  35,71  37,53 
Sumber: Dihitung berdasarkan data Susenas Panel Modul Konsumsi Maret 2006, 2007 2008 dan
2009

pada Maret 2008 dan Maret 2009 tercatat 37,08 persen dan 37,53
persen.
Perkembangan tingkat kemiskinan di Katimin menunjukkan pola
yang berbeda. Selama periode 2006—2009, persentase penduduk
miskin di Provinsi Maluku dan Maluku Utara turun sementara di Provinsi
Papua dan Papua Barat selama 2006—2008 turun dan selama 2008—
2009 naik. Meskipun kenaikan selama 2008—2009 di Provinsi Papua
dan Papua Barat kecil tetapi fenomena kenaikan ini dapat dijadikan

ANALISIS KEMISKINAN PROVINSI PAPUA BARAT 2006—2009 19


peringatan dini mengingat kondisi sosial ekonomi masyarakat di Tanah
Papua belum stabil. Masyarakat Papua (khususnya penduduk asli)
masih banyak bergantung pada bantuan pemerintah, kurang kompetitif,
dan mengandalkan pada sumber daya alam yang tumbuh secara alami.
Upaya pengentasan kemiskinan lebih diutamakan pada kemandirian
penduduk dan Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat hanya
bertindak sebagai fasilitator.
Setidaknya, ada tiga upaya pengentasan kemiskinan yang telah
dilaksanakan pemerintah pusat. Program Bantuan Langsung Tunai
(BLT) diluncurkan untuk mengurangi dampak kenaikan Bahan Bakar
Minyak (BBM) di tahun 2005 terhadap kelompok penduduk yang rentan
terhadap kenaikan garis kemiskinan. Kenaikan BBM dipastikan akan
mendorong garis kemiskinan lebih tinggi sehingga penduduk yang hidup
sedikit di atas garis kemiskinan beresiko jatuh di bawah garis
kemiskinan. Program BLT dilanjutkan hingga tahun 2008. BLT bukan
satu-satunya program pengentasan kemiskinan.
Program berikutnya adalah pemberdayaan masyarakat. Program
ini tergabung dalam PNPM (Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat) yang difokuskan pada 5.720 kecamatan (distrik) dalam
bentuk Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) Rp. 3 milliar per
kecamatan/tahun.
Program ketiga berupa pemberdayaan usaha mikro dan kecil
(UMK). Sasaran program ini adalah pelaku usaha mikro dan kecil dalam
bentuk penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) senilai Rp. 5.000.000
atau kurang.

ANALISIS KEMISKINAN PROVINSI PAPUA BARAT 2006—2009 20


“Kondisi sosial ekonomi masyarakat Papua terutama yang berada di
kampung-kampung tidak memperlihatkan perubahan yang berarti,
selama kurang lebih 50 tahun pembangunan di daerah ini, termasuk
dalam lima tahun pelaksanaan Otsus“
(Sintese Kapasitas Pembangunan Papua, 2004 )

BAB IV
INDEKS KEDALAMAN
KEMISKINAN

Selain jumlah dan persentase penduduk miskin, indikator


kemiskinan lain yang juga sangat penting adalah indeks kedalaman
kemiskinan. Indeks kedalaman kemiskinan bisa dianalogkan dengan
posisi beberapa ekor ikan di laut pada kedalaman yang berbeda. Dalam
hal ini, permukaan laut sebagai garis kemiskinan dan posisi ikan sebagai
pengeluaran per kapita per bulan dari penduduk miskin. Jarak rata-rata
posisi ikan terhadap permukaan laut itulah yang disebut indeks
kedalaman kemiskinan. Semakin besar indeks kedalaman kemiskinan di
suatu wilayah bermakna semakin dalam kemiskinan di wilayah itu.
Artinya, pemerintah mempunyai beban yang lebih berat untuk
mendorong penduduk miskin keluar dari garis kemiskinan. Kemiskinan
itu ibarat lingkaran setan. Perlu dorongan yang sangat kuat untuk
mengeluarkan penduduk miskin dari lingkaran setan itu.

ANALISIS KEMISKINAN PROVINSI PAPUA BARAT 2006—2009 21


4.1 Indeks Kedalaman Kemiskinan di Papua Barat, 2006—2009
Indeks kedalaman kemiskinan di Papua Barat selama periode
2006—2009 menunjukkan pola naik dan turun. Selama 2006—2007,
indeks kedalaman kemiskinan naik dari 8,08 persen menjadi 12,97
persen. Tingkat kemiskinan Papua Barat pada tahun 2007 lebih dalam
daripada tahun 2006. Pada tahun 2008, indeks kedalaman kemiskinan
Papua Barat turun menjadi 9,18 persen dan naik kembali menjadi 9,75
persen pada tahun 2009. Tingkat kedalaman kemiskinan di Papua Barat
pada tahun 2009 terbilang paling dalam di seluruh Indonesia.
Tingkat kemiskinan di desa lebih dalam daripada di kota.
Perbedaan tingkat kedalaman kemiskinan di desa dan di kota semakin
nyata. Pada tahun 2006, tingkat kemiskinan di desa berbeda tiga kali
lebih dalam daripada di kota. Bandingkan dengan tingkat kedalaman
kemiskinan pada tahun 2009, kemiskinan di desa lebih dalam hingga
hamper 30 kali lipat dari kemiskinan di kota.
Pola perkembangan indeks kedalaman kemiskinan di desa dan di
kota juga berbeda. Perkembangan indeks kemiskinan di kota
menunjukkan pola menurun. Sebaliknya di desa, perkembangan indeks

Tabel 4.1 Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Papua Barat, 2006—2009

Indeks Kedalaman Kemiskinan (persen) 
Tahun 
Kota  Desa  Kota dan desa 
(1)  (2)  (3)  (4) 
Maret 2006  2,94  10,48  8,08 
Maret 2007  0,73  16,58  12,97 
Maret 2008  0,73  11,67  9,18 
Maret 2009  0,43  12,51  9,75 
Sumber: Dihitung berdasarkan data Susenas Panel Modul Konsumsi Maret 2006, 2007 2008 dan
2009

ANALISIS KEMISKINAN PROVINSI PAPUA BARAT 2006—2009 22


kedalaman kemiskinan cenderung naik. Indeks kedalaman kemiskinan di
kota pada tahun 2006 sebesar 2,94 persen turun menjadi 0,73 pada
tahun 2007 dan 2008 dan 0,43 pada tahun 2009. Di sisi lain, indeks
kedalaman kemiskinan di desa pada tahun 2006 sebesar 10,48 naik
menjadi 16,58 pada tahun 2007. Pada tahun 2008, indeks kedalaman
kemiskinan di desa turun menjadi 11,67 dan naik lagi menjadi 12,51
pada tahun 2009.
Tingkat kemiskinan di desa sangat rentan. Data nilai tukar petani
pada Maret 2008 diperkirakan sebesar 99,87 persen. Artinya, petani
menerima hasil pertanian lebih rendah dari yang dibayarkan. Pada Maret
2009 nilai tukar petani sedikit membaik yaitu 106,79 persen. Selama
2008—2009 terjadi kenaikan nilai tukar petani sebesar 6,93 persen.
Sayangnya, kenaikan nilai tukar petani selama 2008—2009 ini belum
bisa mengimbangi kenaikan harga di perdesaan. Inflasi Maret 2009
terhadap Maret 2008 untuk konsumsi rumah tangga di perdesaan

108
106,79
106

104

102

100 100 99,87

98

96
Maret 2007 Maret 2008 Maret 2009

Gambar 4.1

Nilai Tukar Petani Papua Barat, 2007—2009

ANALISIS KEMISKINAN PROVINSI PAPUA BARAT 2006—2009 23


mencapai 12,75 persen. Hal ini diduga mengakibatkan daya beli
masyarakat di perdesaan tetap rendah meskipun terjadi kenaikan tingkat
pendapatan.
Perbandingan perkembangan indeks kedalaman kemiskinan
menurut kabupaten/kota di Papua Barat disajikan pada Tabel 4.2.
Tampak bahwa indeks kedalaman kemiskinan di Kabupaten Teluk
Bintuni terbesar baik pada tahun 2006, 2007 maupun 2008. Ini
menunjukkan bahwa jarak rata-rata pengeluaran per kapita per bulan
dari penduduk miskin terhadap garis kemiskinan di Kabupaten Teluk
Bintuni paling jauh dibandingkan kebupaten/kota lain di Papua Barat.
Kondisi serupa ditemukan di Kabupaten Teluk Wondama.
Masalah di kedua kabupaten pemekaran tersebut identik. Akses

Tabel 4.2 Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Papua Barat Menurut


Kabupaten/Kota, 2006—2008

Indeks Kedalaman Kemiskinan 
Kabupaten/Kota 
2006  2007  2008 
(1)  (2)  (3)  (4) 
Kab. Fak-fak 8,61  8,79  9,21 
Kab. Kaimana 7,87  7,31  5,58 
Kab. Teluk Wondana 11,18  13,02  13,02 
Kab. Teluk Bintuni 12,33  14,59  16,29 
Kab. Manokwari 10,49  12,75  14,21 
Kab. Sorong Selatan 8,75  7,48  9,31 
Kab. Sorong 6,92  6,83  10,36 
Kab. Raja Ampat 5,53  6,84  6,64 
Kota. Sorong 8,77  9,41  7,93 
Provinsi Papua Barat 8,08  12,97  10,83 
Sumber: Dihitung berdasarkan data Susenas Panel Modul Konsumsi Maret 2006, 2007 dan 2008

ANALISIS KEMISKINAN PROVINSI PAPUA BARAT 2006—2009 24


transportasi terbatas karena wilayah terisolir mengakibatkan distribusi
barang/jasa terhambat. Akibatnya, harga kebutuhan pokok sangat tinggi
dan masyarakat khususnya penduduk miskin terkendala oleh
kemampuan meningkatkan daya belinya. Lihat saja indkes kedalaman
kemiskinan di Kabupaten Teluk Bintuni dan Kabupaten Teluk Wondama
selama 2006—2008 tidak pernah turun.

4.2 Indeks Kedalaman Kemiskinan di Katimin, 2006—2009


Dalam hal indeks kedalaman kemiskinan di Katimin, posisi relatif
Provinsi Papua Barat hampir sama dengan Provinsi Papua. Bedanya,
Provinsi Papua mempunyai pola perkembangan pada periode 2006—
2007 turun dari 12,07 menjadi 10,84, pada tahun 2008 naik menjadi
10,89, dan pada tahun 2009 turun lagi menjadi 9,07. Perkembangan
indeks kedalaman kemiskinan di Papua Barat menunjukkan pola
sebaliknya yaitu naik pada periode 2006—2007 diikuti tren turun pada
2007—2008 dan naik kembali pada periode 2008—2009.
Indeks kedalaman kemiskinan di Provinsi Maluku Utara dan Maluku
lebih rendah daripada Provinsi Papua dan Papua Barat. Perkembangan

Tabel 4.3 Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) di Katimin, 2006—2008

Indeks Kedalaman Kemiskinan (Persen) 
Tahun 
Maluku  Maluku Utara  Papua Barat  Papua 
(1)  (7)  (8)  (9)  (10) 
Maret 2006  7,51  2,01  8,08  12,07 
Maret 2007  6,38  2,23  12,97  10,84 
Maret 2008  5,89  1,65  9,18  10,89 
Maret 2009  5,59  1,44  9,75  9,07 
Sumber: Dihitung berdasarkan data Susenas Panel Modul Konsumsi Maret 2006, 2007 2008 dan
2009

ANALISIS KEMISKINAN PROVINSI PAPUA BARAT 2006—2009 25


indeks kedalaman kemiskinan di kedua provinsi ini menunjukkan pola
menurun selama periode 2006—2009.
Indeks kedalaman kemiskinan di Provinsi Maluku Utara terendah di
Katimin. Hal ini sejalan dengan posisi garis kemiskinan di provinsi ini
yang juga terendah. Selain itu, jumlah dan persentase penduduk
miskinnya juga paling rendah.

ANALISIS KEMISKINAN PROVINSI PAPUA BARAT 2006—2009 26


“Kondisi sosial ekonomi masyarakat Papua terutama yang berada di
kampung-kampung tidak memperlihatkan perubahan yang berarti,
selama kurang lebih 50 tahun pembangunan di daerah ini, termasuk
dalam lima tahun pelaksanaan Otsus“
(Sintese Kapasitas Pembangunan Papua, 2004 )

BAB V
INDEKS KEPARAHAN
KEMISKINAN

Indeks keparahan kemiskinan mengukur distribusi pengeluaran di


antara penduduk miskin itu sendiri. Semakin besar indeks keparahan
kemiskinan di suatu wilayah menunjukkan kemiskinan di wilayah itu
semakin parah yang ditandai dengan besarnya perbedaan pengeluaran
di antara penduduk miskin. Pendek kata, ketimpangan pengeluaran di
antara penduduk miskin semakin melebar.

5.1 Indeks Keparahan Kemiskinan di Papua Barat, 2006—2009


Meskipun persentase penduduk miskin di Papua Barat pada tahun
2009 menduduki peringkat dua teratas di Indonesia tetapi tingkat
kedalaman kemiskinan sangat mengkhawatirkan. Selain itu, tingkat
kemiskinan di Papua Barat pada tahun 2009 paling parah se-Indonesia.

ANALISIS KEMISKINAN PROVINSI PAPUA BARAT 2006—2009 27


Tabel 5.1 Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Papua Barat, 2006—2009

Indeks Keparahan Kemiskinan 
Tahun 
Kota  Desa  Kota dan desa 
(1)  (5)  (6)  (7) 
Maret 2006  0,86  3,44  2,62 
Maret 2007  0,12  7,29  5,66 
Maret 2008  0,24  4,46  3,50 
Maret 2009  0,04  4,61  3,57 

Sumber: Dihitung berdasarkan data Susenas Panel Modul Konsumsi Maret 2006, 2007 2008 dan
2009

Indeks keparahan kemiskinan pada Maret 2009 sebesar 3,57. Indeks ini
lebih tinggi 0,7 poin dibandingkan kondisi Maret 2008 dan 0,95 poin
dibandingkan kondisi Maret 2006 tetapi lebih rendah 1,09 poin daripada
kondisi Maret 2007.
Tingkat kemiskinan di desa lebih parah daripada di kota. Pada
Maret 2009 misalnya, indeks keparahan kemiskinan di kota hanya 0,04
sementara di desa 4,61. Pada Maret 2007 perbandingan indeks
keparahan kemiskinan desa dan kota sangat nyata yaitu 7,17 poin.
Kondisi kemiskinan di Papua Barat berbeda antara satu kabupaten/
kota dengan kabupaten lain. Data kemiskinan kabupaten/kota pada
Maret 2006— Maret 2008 disajikan secara lengkap pada Tabel 5.2.
Tampak kondisi Maret 2009, dari 9 kabupaten/kota hanya Kabupaten
Kaimana yang indeks keparahan kemiskinannya di bawah dua. Selain
itu, perkembangan indeks keparahan kemiskinan di Kabupaten Kaimana
menunjukkan pola menurun.
Indeks keparahan kemiskinan di Kabupaten Teluk Bintuni bahkan
mencapai 7,32 dan merupakan indeks keparahan kemiskinan tertinggi.

ANALISIS KEMISKINAN PROVINSI PAPUA BARAT 2006—2009 28


Tabel 5.2 Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Papua Barat Menurut
Kabupaten/Kota 2006—2008

Indeks Keparahan Kemiskinan 
Kabupaten/Kota 
2006  2007  2008 
(1)  (2)  (3)  (4) 
Kab. Fak‐fak  2,62  3,12  2,98 
Kab. Kaimana  2,88  2,12  1,65 
Kab. Teluk Wondana  3,10  4,30  4,42 
Kab. Teluk Bintuni  4,21  5,58  7,32 
Kab. Manokwari  3,36  4,53  5,94 
Kab. Sorong Selatan  3,26  2,91  3,71 
Kab. Sorong  1,91  1,89  3,65 
Kab. Raja Ampat  1,51  1,89  2,31 
Kota. Sorong  2,93  3,55  4,94 
Provinsi Papua Barat  2,62  5,66  4,55 
Sumber: Dihitung berdasarkan data Susenas Panel Modul Konsumsi Maret 2006, 2007 dan 2008

Perkembangan indeks keparahan kemiskinan di Kabupaten Teluk


Bintuni menunjukkan pola meningkat. Pendek kata, kondisi kemiskinan
di Kabupaten Bintuni dari tahun ke tahun semakin parah. Kondisi
kemiskinan serupa dengan Kabupaten Bintuni adalah di Kabupaten
Teluk Wondama, Kabupaten Manokwari, Kabupaten Raja Ampat dan
Kota Sorong.
Lima dari sembilan kabupaten/kota di Papua Barat menunjukkan
kemiskinan yang semakin parah selama 2006—2008. Hal ini
menandakan kesenjangan pendapatan yang semakin lebar di antara
penduduk miskin itu sendiri di kelima kabupaten/kota itu. Program BLT
yang diharapkan memperkecil kesenjangan pendapatan penduduk
miskin dan hampir miskin tampaknya belum efektif mengatasi keparahan
kemiskinan di Tanah Papua.

ANALISIS KEMISKINAN PROVINSI PAPUA BARAT 2006—2009 29


5.2 Indeks Keparahan Kemiskinan di Katimin, 2006—2009
Tingkat kemiskinan di Papua Barat dan Papua sangat parah.
Hanya dua provinsi ini yang indeks keparahan kemiskinan lebih dari dua
poin pada Maret 2009. Di Provinsi Maluku Utara saja, indeks keparahan
kemiskinan tidak lebih dari angka satu.
Perkembangan indeks keparahan kemiskinan di Provinsi Maluku
Utara dan Provinsi Maluku selama 2006—2009 cenderung turun.
Sebaliknya, perkembangan indeks keparahan kemiskinan di Provinsi
Papua dan Papua Barat masih berfluktuasi.
Yang pasti, perkembangan harga kebutuhan barang dan jasa di
Provinsi Papua dan Papua Barat seolah-olah liar tidak terkendali. Bisa
saja pada bulan tertentu inflasi sangat tinggi tetapi di bulan lain terjadi
deflasi sangat rendah. Apabila pemerintah Provinsi Papua dan Papua
Barat tidak mengintervensi perkembangan harga barang dan jasa maka
sangat sulit bagi penduduk miskin untuk keluar dari garis kemiskinan.
Setidaknya ada dua sasaran pengentasan kemiskinan. Pertama,
peningkatan pendapatan penduduk miskin. Kedua, pengurangan
Tabel 5.1 Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Katimin, 2006—2009

Indeks Keparahan Kemiskinan 
Tahun  Maluku 
Maluku  Papua Barat  Papua 
Utara 
(1)  (2)  (3)  (4)  (5) 
Maret 2006  2,60  0,57  2,62  4,97 
Maret 2007  1,84  0,64  5,66  3,88 
Maret 2008  1,75  0,39  3,50  4,01 
Maret 2009  1,67  0,36  3,57  2,98 
Sumber: Dihitung berdasarkan data Susenas Panel Modul Konsumsi Maret 2006, 2007 2008 dan
2009

ANALISIS KEMISKINAN PROVINSI PAPUA BARAT 2006—2009 30


Gambar 5.1 Strategi Utama Penanggulangan Kemiskinan

ANALISIS KEMISKINAN PROVINSI PAPUA BARAT 2006—2009 31


pengeluaran kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan.
(perhatikan Gambar 5.1). Kedua sasaran tersebut harus ditopang oleh
empat pilar yang kokoh, yaitu: menciptakan kesempatan kerja,
pemberdayaan masyarakat, peningkatan kapasitas, dan perlindungan
sosial. Selain itu, juga dibutuhkan sinkronisasi kebijakan makro dan
mikro serta sinkronisasi kebijakan operasional.
Penanggulangan kemiskinan di Tanah Papua bisa dimulai dengan
membangun komitmen bersama seluruh lapisan masyarakat. Data
penduduk miskin by name by address sesungguhnya telah tersedia di
Badan Pusat Statistik Provinsi Papua dan Papua Barat. Data ini telah
didiseminasikan sejak tahun 2005 kemudian dimutakhirkan pada tahun
2006. Pemutakhiran data penduduk miskin terakhir pada tahun 2008
melalui kegiatan Pendataan Penduduk dan Perlindungan Sosial.
Alangkah efektif dan efisiennya jika satu data kemiskinan dijadikan
rujukan bagi seluruh pelaku pengentasan kemiskinan. Penyaluran beras
miskin (raskin), program nasional pemberdayaan masyarakat mandiri
(PNPM Mandiri/Respek), dan program pengentasan kemiskinan lainnya
semua mengacu pada tujuan sama yaitu mengentaskaan kemiskinan
guna meningkatkan taraf hidup masyarakat yang sejahtera.

ANALISIS KEMISKINAN PROVINSI PAPUA BARAT 2006—2009 32


BAB VI

KESIMPULAN

Sebagai bagian akhir dari penelusuran situasi kemiskinan di


Provinsi Papua Barat, berikut disampaikan kesimpulan yang dapat
dipetik:
• Meskipun telah mengalami sedikit perbaikan, situasi kemiskinan di
Tanah Papua khususnya Provinsi Papua Barat masih sangat
mengkhawatirkan.
• Persentase penduduk miskin di Provinsi Papua Barat pada Maret
2009 tercatat 35,71 persen dan menduduki tempat kedua teratas
setelah Provinsi Papua.
• Perkembangan persentase penduduk miskin selama 2006—2009
menunjukkan pola naik dan turun (fluktuasi).
• Tingkat Kemiskinan di Provinsi Papua Barat pada tahun 2009
tergolong sangat dalam dan sangat parah. Indeks kedalaman dan

ANALISIS KEMISKINAN PROVINSI PAPUA BARAT 2006—2009 33


indeks keparahan kemiskinan Provinsi Papua Barat tahun 2009
tertinggi di Indonesia.
• Pola perkembangan indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan
selama 2006—2009 berfluktuasi.

Saran dan Rekomendasi


Kondisi kemiskinan di Tanah Papua tidak boleh terus dibiarkan.
Pemerintah Provinsi Papua Barat (termasuk pemerintah kabupaten/kota
di Papua Barat) harus menjadikan kemiskinan sebagai musuh bersama
untuk diberantas. Berbagai strategi penanggulangan kemiskinan telah
banyak dipaparkan. Namun semua itu tidak akan ada artinya apabila
tidak segera diimplementasikan. Beberapa program pengentasan
kemiskinan yang dapat diimplementasikan adalah:
• Program bebas biaya pendidikan dan kesehatan. Program ini
ditujukan untuk mengurangi pengeluaran penduduk miskin untuk
kebutuhan dasar mereka. Apabila pemerintah menanggung
pengeluaran kebutuhan dasar diharapkan sisa pendapatan
penduduk miskin dapat dialihkan untuk memenuhi kebutuhan
pokok lainnya. Selain itu, daya beli penduduk miskin diharapkan
meningkat.
• Program pemberdayaan masyarakat seperti PNPM Respek agar
terus dijalankan dengan mengoptimalkan fungsi pengawasan.
Jangan dibiarkan PNPM Respek tidak memberikan manfaat
maksimal bagi masyarakat.
• Program BLT harus lebih disempurnakan dengan lebih
meningkatkan akurasi data penduduk miskin.

ANALISIS KEMISKINAN PROVINSI PAPUA BARAT 2006—2009 34


DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik, (2007a), Data dan Informasi Kemiskinan Tahun


2005-2006 Buku 1: Provinsi, Jakarta.
__________________, (2007b), Data dan Informasi Kemiskinan Tahun
2005-2006 Buku 2: Kabupaten/Kota, Jakarta.
________________________, Analisis dan Penghitungan Tingkat
Kemiskinan 2007, Jakarta.
__________________, (2008a), Data dan Informasi Kemiskinan Tahun
2007 Buku 1: Provinsi, Jakarta.
__________________, (2008b), Data dan Informasi Kemiskinan Tahun
2007 Buku 2: Kabupaten/Kota, Jakarta.
—————————–-, (2008), Analisis dan Penghitungan Tingkat
Kemiskinan 2008, Jakarta.
BPS Provinsi Papua Barat, (2008), “Profil Kemiskinan di Provinsi Papua
Barat Maret 2008,” Berita Resmi Statistik No. 06/ 07/91/Th. II, 1 Juli
2008
_____________________, (2009), “Perkembangan Nilai Tukar Petani,
Harga Produsen Gabah dan Upah Buruh,” Berita Resmi Statistik
No.19/05/91 Th. III, 1 Mei 2009
_____________________, (2009), “Profil Kemiskinan di Provinsi Papua
Barat Maret 2009,” Berita Resmi Statistik No. 30/ 07/91/Th. III, 1
Juli 2009
Departemen Komunikasi dan Informatika R.I, (2008), Permasalahan
APBN 2008 dan Program Kompensasi Kemiskinan, Jakarta.

ANALISIS KEMISKINAN PROVINSI PAPUA BARAT 2006—2009 35

You might also like