Professional Documents
Culture Documents
Dave Pelzer
di antaranya:
Steven E. Ziegler
Athena Konstan
Peter Hansen
Joyce Woodworth
Janice Woods
Betty Howell
dan Perawat Sekolah
"Ampun. Jangan, jangan hari ini! Ini kan hari Jumat. Ibu
akan memukuli aku terus sampai Senin pagi dan tidak
memberiku makan..."
"Aku bebas?"
********
********
Aku sadar bila aku ingin tetap hidup, aku harus berpikir ke
de-pan. Tak mungkin lagi aku menangis seperti bayi yang
tak berdaya. Agar tetap hidup, aku tak pernah boleh
menyerah. Hari itu aku bersumpah pada diriku sendiri
bahwa aku tak akan pemah lagi satu kali pun memberi
perempuan jahat itu kepuasan menikmati suaraku yang
memohonnya untuk berhenti memukuliku.
Sejak saat itu, aku bukan lagi anggota keluarga, aku tidak
diizinkan menggunakan semua fasilitas yang digunakan
keluarga. Aku tinggal di rumah itu, tetapi aku dianggap
bukan apa-apa. Ibu bahkan tidak lagi menggunakan
namaku; ia menggunakan sebutan "anak itu". Aku tidak
diizinkan makan bersama keluarga, tidak diizinkan bermain
dengan saudara-saudaraku, tidak diizinkan nonton televisi.
Aku dilarang masuk rumah kecuali disuruh. Aku tidak boleh
memandang atau berbicara dengan siapa pun.
Pada suatu hari, ketika Ron, Stan, dan aku sedang bermain
di cabin tetangga, Ibu datang ke halaman depan cabin
tetangga itu, lalu berteriak memanggil kami untuk segera
kembali ke cabin kami. Begitu sampai di cabin kami, aku
dimarahi Ibu karena, katanya, suaraku berisik sekali ketika
bermain. Sebagai hukuman, aku tidak diizinkan ikut
bersama Ayah dan kedua saudara laki-lakiku bermain di
tempat prosotan. Aku duduk di sebuah kursi di pojok
dalam cabin. Aku gemetar karena takut, dan dalam hati
aku berharap terjadi sesuatu yang membuat Ayah dan
kedua saudara laki-lakiku tidak jadi pergi ke mana-mana.
Aku yakin Ibu tak akan sudi jari-jari tangannya jadi kotor
karena harus mengaisngais sampah sampai ke tumpukan
bawah. Maka, untuk beberapa waktu lamanya usahaku itu
berhasil. Tampaknya Ibu tahu bahwa dengan cara tertentu
aku bisa memperoleh makanan, maka ia menyiramkan
amonia ke dalam keranjang sampah. Setelah itu aku tidak
lagi mengais sisa makanan dari keranjang sampah rumah,
dan mulai memikirkan cara baru untuk memperoleh
Dari raut wajah Ayah, aku bisa bilang bahwa ia sudah tidak
tahan lagi dengan laporan "Lihat apa yang dilakukan anak
ini sekarang" yang tak habis-habisnya. Sambil memandang
ke arahku, Ayah menggeleng tak setuju dan seperti
kehabisan akal ia berkata, "Roerva, kalau begitu kau
tinggal memberi anak ini sesuatu yang bisa dimakan,
bukan?"
Pada hari itu di sekolah aku berdoa agar dunia ini hancur.
Di kelas, dalam kegelisahan karena rasa takut, aku tahu
Ibu sedang berbaring di sofa, nonton televisi, dan semakin
mabuk, sambil memikirkan sebuah tindakan yang akan
dijatuhkannya atas diriku begitu aku sampai di rumah-nya
dari sekolah. Saat berlari pulang dari sekolah sore itu,
kedua kakiku terasa berat, seperti diikat pada bongkahan
semen beton. Dalam setiap langkah, aku berdoa agar
kenalan Ibu tadi pagi tidak menelepon Ibu, atau ragu-ragu
bahwa yang ia lihat tadi pagi bisa jadi anak lain yang mirip
aku. Langit di atas kepalaku biru, dan aku bisa merasakan
Aku tidak merasa takut. Aku sudah capai sekali. Aku cu-ma
bisa berpikir, "Ayolah kita mulai. Ayo kita mulai saja biar
lekas selesai". Ibu membungkuk, lalu sekali lagi ia berkata
bahwa hanya kecepatan yang dapat menyelamatkan aku.
Kucoba menebak teka-tekinya, tapi otakku serasa buntu.
Kecelakaan • 79
Saat kepalaku tegak, kulihat Russell sedang berayun-ayun
di kaki kiri Ibu. Tampaknya ia sama sekali tidak terganggu
oleh suara Ibu yang keras dan tajam. la memandangiku
dengan sorot mata yang dingin. Sekalipun pada waktu itu
usianya baru empat atau lima tahun, Russell sudah
menjadi "Nazi kecil" bagi Ibu, yang mengawasi setiap
tindakanku, memastikan bahwa aku tidak mencuri
makanan sedikit pun. Kadang kala ia mengarang cerita
yang kemudian dipercayai Ibu, dan dengan demikian ia
bisa melihat aku dihukum. Tentu saja semua itu bukan
"Kau dengar aku?" teriak Ibu. "Lihat aku kalau aku sedang
bicara padamu!" Waktu kulihat, Ibu baru saja menyambar
pisau daging dari rak dan berteriak, "Kalau kau tidak
menyelesaikan tugas-tugasmu tepat waktu, kubunuh kau!"
********
Aku berdiri saja di depan Ibu, bengong. Tak tahu aku harus
bagaimana atau mengatakan apa. Yang sempat terpikir
olehku cuma "Kenapa?" Aku tak mengerti mengapa ia
memperlakukan aku seperti itu. Sisa makanan itu begitu
dekat sampai-sampai aku bisa mencium baunya. Aku tahu
ia berharap aku akan mengais-ngais tempat sampah itu,
tetapi aku berdiri tegak sambil menahan diri untuk tidak
menangis.
Sudah hampir sepuluh hari aku tidak makan. Baru saja aku
menyelesaikan tugas mencuci piring makan malam ketika
Ibu mengulangi permainannya: "kau punya dua menit
untuk makan". Kali itu hanya sedikit sisa makanan yang
ada di pi-ring yang ditawarkannya. Aku menduga ia akan
menyambar lagi piringnya seperti yang terjadi sebelumnya,
jadi kuubah gerakanku. Tak kuberi Ibu kesempatan untuk
menyambar piringnya seperti yang terjadi tiga malam
sebelumnya. Lang-sung kurebut piringnya dan cepat-cepat
menelan sisa makanan yang ada di piring itu, tanpa
mengunyahnya. Hanya dalam hitungan detik kuhabiskan
semua yang ada di piring itu, lalu menjilatinya hingga
tandas. "Kau makan seperti babi!" kata Ibu dengan rasa
marah yang tertahan. Kutundukkan kepalaku, seakan-akan
aku peduli. Tetapi, di dalam hati, aku menertawainya
sambil berkata, "Rasain lu! Yang penting kan gua makan!"
Aku tahu aku tidak akan mendapat makan malam itu atau
malam berikutnya. Karena Ayah tidak di rumah, aku pasti
mengalami akhir minggu yang buruk. Duduk di halaman
belakang pada anak tangga semen yang dingin, di udara
Aku mengangguk.
********
Pada malam hari, aku tidak lagi bermimpi. Pada siang hari,
aku tak membiarkan diriku berangan-angan. Khayalan
khayalanku menjadi Superman yang dulu begitu hidup,
sekarang tak ada lagi. Saat tertidur, jiwaku bagai masuk
ke sebuah lubang hitam. Pada pagi hari aku tak lagi
terbangun dalam keadaan segar; aku selalu merasa lelah
dan berkata pada diri sendiri bahwa hidupku di dunia ini
berkurang satu hari lagi.
Aku ingin menjadi kuat, tetapi dalam hati aku tahu aku
orang yang rapuh. Aku tak pemah punya keberanian untuk
melawan perempuan jalang itu, maka aku tahu
sepantasnyalah aku menerima segala sesuatu yang
menimpa diriku. Bertahun-tahun Ibu mencuci otakku
dengan menyuruhku berteriak sekeras-kerasnya, "Aku
benci diriku! Aku benci diriku!" Usahanya itu berhasil.
Beberapa minggu sebelum aku masuk ke kelas lima, aku
merasa sangat membenci diriku sendiri sampai-sampai aku
merasa ingin mati saja.
Tak ada sedikit pun aroma Ayah yang bisa kucium pada
bungkusan itu, maka aku pun terisak pelan. Pada saat itu,
Tuhanlah yang paling aku benci dari segala sesuatu yang
********
DAVE PELZER
KORBAN SELAMAT
Ya, saya tidak akan lupa David Pelzer. Waktu itu saya baru
lulus perguruan tinggi, menjadi guru baru, dan kalau saya
tengok ke belakang, sebetulnya tidak banyak yang saya
ketahui tentang kenyataan sesungguhnya dari karier yang
saya pilih itu. Dan di situlah, hal yang paling tidak saya
ketahui adalah mengenai child abuse.
********
********
Cindy M. Adams
Dave adalah penulis buku The Lost Boy, buku yang kedua
dari rangkaian tiga-buku atau trilogi, dan buku penutupnya
yang berjudul A Man Named Dave.
D-ESPRIT
P.O. Box 1846
Rancho Mirage, CA 92270
Terima kasih.