You are on page 1of 272

REKONTRUKSI PESANTREN MASA DEPAN

(Dari Tradisional, Modern, Hingga Post Modern)

Oleh

Drs.H.Rohadi Abdul Fatah M. Ag

Drs.M.Tata Taufik M.Ag

Drs. Abdul Mukti Bisri, M.Ag

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ____________________________________________1

A. Pesantren Sebuah Diskripsi_________________________________________2

B. Definisi Pondok Pesantren________________________________________14

C. Asal Usul Pesantren dan Sejarah Perkembangannya_____________________16

D. Sistem Pendidikan Pesantren_______________________________________20

E. Tujuan Pendidikan Pesantren_______________________________________24

BAB II MATERI PEMBELAJARAN PONDOK PESANTREN_____________27

A. Literatur Pesantren_______________________________________________27

B. Penjenjangan Materi Pengajian_____________________________________34

C. Materi pembelajaran_____________________________________________37

BAB III MENGENAL METODE PEMBELAJARAN PESANTREN________54

A. Sorogan_______________________________________________________54

B. Wetonan atau Bandongan_________________________________________64

C. Halaqoh_______________________________________________________70

D. Hafalan atau Tahfizh_____________________________________________73

E. Metode Hiwar atau Musyawaroh___________________________________76

F. Metode Bahtsul Masa`il (Mudzakaroh)______________________________78

G. Metode Fathul Kutub____________________________________________80

H. Metode Muqoronah_____________________________________________81

2
I. Metode Muhawarah / Muhadatsah__________________________________82

BAB IV ISYU-ISYU PEMBAHARUAN PESANTREN__________________85


A. KH. Imam Zarkasyi_____________________________________________86

B. K.H A. Wahid Hasyim dan Tebu Ireng______________________________92

C. KH. Ahmad Dahlan DanPerguruan Muhammadiyah__________________102

BAB V POLA PEMBERDAYAAN SANTRI DI PONDOK PESANTREN__120

A. Potret Kegiatan Santri di Pesantren________________________________120

A. Potret Asrama Dan Santri _______________________________________131

B. Organisasi Santri______________________________________________134

C. Potret Kegiatan PRAMUKA_____________________________________156

D. Tentang Ta'jir / Hukuman________________________________________163

E. Pola Hubungan Guru & Murid____________________________________166

H. Santri: Sebuah Harapan Masa Depan_______________________________168

BAB VII PROFIL ALUMNI PESANTREN____________________________261

A. M. Quraisy Shihab_____________________________________________188

B. Nurcholish Madjid_____________________________________________193

C. Hamzah Haz__________________________________________________207

BAB VII PESANTREN MASA DEPAN (POST MODERN) _____________222

A. Bingkai Pesantren_____________________________________________223

B. Problem Yang dihadapi Pesantren________________________________226

C. Medan-Medan Pengembangan___________________________________237

D. Pesantren Dan Ekonomi_______________________________________242

3
E. Pesantren Dan Masyarakat____________________________________246

F. Pesantren Dan Negara________________________________________249

G. Pesantren Dan Media Massa___________________________________251

BAB VIII PENUTUP___________________________________________261

BIODATA PENULIS

DAFTAR PUSTAKA

4
BAB I

PENDAHULUAN

A. Pesantren Sebuah Diskripsi

Dalam struktur pendidikan nasional, pesantren merupakan mata rantai yang

sangat penting. Hal ini tidak hanya karena sejarah kemunculannya yang relatif lama,

tetapi juga karena pesantren telah secara signifikan ikut andil dalam upaya

mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam sejarahnya, pesantren merupakan lembaga

pendidikan yang berbasis masyarakat (society based-education). Dalam kenyataannya,

pesantren telah mengakar dan tumbuh dari masyarakat, kemudian dikembangakan oleh

masyarakat, sehingga kajian mengenai pesantren sebagai sentra pengembangan

masyarakat sangat menarik beberapa peneliti akhir-akhir ini.

Kendatipun pesantren—atau popular pondok pesatren—merupakan kenyataan

sosial yang sudah mapan dalam masyarakat Indonesia, namun tidak memperoleh

perhatian dan intervensi yang signifikan dari pemerintah untuk mengembangkan

ataupun memberdayakannya. Hal ini menjadikan pesantren tumbuh dengan kemampuan

sendiri—yang pada akhirnya menumbuhkan varian yang sangat besar, karena sangat

tergantung pada kemampuan masyarakat itu sendiri. Kadang, kesan yang muncul adalah

bahwa pesantren merupakan lembaga yang eksklusif dan kurang mengakomodasi

perkembangan zaman. Dalam sistem dan metodologi pembelajaran, misalnya, pesantren

terkesan terlalu lamban bahkan acuh-tak acuh dengan berbagai temuan baru berkenaan

dengan bagaimana sebuah lembaga pembelajaran serta kelompok "professional" di

5
dalamnya dapat terus menerus meningkatkan hasil-hasil pembelajarannya.

Perkembangan penelitian pembelajaran, berikut berbagai teori pembelajaran,

melahirkan apa yang disebut teknologi pembelajaran (educational technology, learning

technolology) yang menyediakan berbagai teknik pembelajaran yang dipandang efektif

dan efisien. Dalam bentuknya yang paling menarik, misalnya, saat ini sudah muncul

sebuah sistem—atau lebih tepat pendekatan—pembelajaran yang disebut dengan

Quantum Learning yang berpasangan dengan Quantum Teaching. Kehadiaran dua

pendekatan ini disebut oleh para tokoh pembelajaran sebagai indikasi terjadinya

revolusi pembelajaran (learning revolution).

Adalah sebuah hal yang patut disyukuri lahirnya pendidikan madrasah di

masyarakat—yang hal ini sekarang menjadi basis pesantren untuk mengakomodasi

perkembangan itu, kendatipun sampai saat ini masih tampak lamban, yang tetntunya hal

ini sangat dipengaruhi oleh terbatasnya sumber-sumber belajar dan pusat sumber belajar

yang dapat dikembangkan oleh pesantren.

Dalam hal pembelajaran, pesantren sampai saat ini harus dapat dibedakan

dengan sistem pendidikan madrasah seperti dikenal saat ini. Pesantren adalah lembaga

pendidikan masayrakat yang pada dasarnya tidak mengembangkan sistem madrasah

dalam penyelenggaraan pendidikannya—jadi lebih bersifat informal, dalam arti

masyarakat menikmati pembelajaran di dalam lembaga pesantren secara lues, tanpa

batasan-batasan artifisial dan formal seperti usia dan latar belakang sosial lainnya.

Tetapi, dalam perkembangannya—dan ini karena pengaruh-pengaruh sistem sekolah

modern—pesantren tidak hanya mempertahankan sistem pembelajaran informal, tetapi

6
juga menganut sistem pembelajaran klasikal berupa madrasah.

Sistem madrasah ini sekarang justeru merupakan komponen pembelajaran yang

dominan di pesantren. Bahkan, sebagian pesantren dapat disebut sebagai lembaga

pendidikan madrasah itu sendiri—sehingga menjadi identik pesantren dan madrasah—

karena komponen pembelajaran informalnya hilang. Masyarakat umum tidak lagi dapat

menikmat kesempatan belajar yang luwes di pesantren sebagaimana dahulu menjadi ciri

pokok pesantren. Pesantren pada saat ini—dengan demikian—menjadi semakin

eksklusif. Pembelajaran yang dikembangkannya sudah beralih dari pembelajaran massal

kepada pembelajaran klasikal. Tetapi, jika diperhatikan dari sudut pandang pendekatan

pembelajaran modern, pada dasarnya pesantren—dilihat dari sebagian cara atau

prosedur pembelajarannya, seperti dalam sistem sorogan—sudah menerapkan

pembelajran individual, kendatipun belum dalam bentuknya yang paling terorganisir

dan terstruktur. Sekarang, terjadi semacam proses tarik-ulur antara mengedepankan citra

konvensional dengan mengakomodasi perkembangan modern.

Kehadiran sistem madrasah di pesantren tampaknya tidak terelekkan sifatnya,

bukan hanya karena tuntutan modernitas, tetapi juga berkenaan dengan elan-vital

pesantren tetapi juga persoalan akomodasional pesantren untuk mengakses masa depan.

Bahkan, pesantren juga ingin menjamin survivalnya. Sebagian pesantren, yang terus

ingin mempertahankan corak konvensional pesantren sebagai lembaga pendidikan

masyarakat, hanya dapat melakukan pembelajaran agama kepada masyarakat dengan

cara kiainya mendatangi mushalla dan masjid tertentu di luar pesantren untuk

memberikan pembelajaran agama. Namun, tetap saja tampak corak eksklusifnya karena

7
tidak menyediakan ruang dan kesempatan belajar massal di dalam pesantren.

Sebelum menggunakan sistem madrasah, pesantren memakai sistem

pembelajaran konvensional. Sistem pembelajaran ini mempunyai karakteristik, terutama

tidak menganut ketentuan-ketentuan formalistic dan procedural yang ketat. Hal ini

karena organisasi sistem pembelajaran itu sendiri tidak terbentuk sebagaimana

mestinya. Dalam pembelajaran pesantren konvensional tidak dijumpai komponen-

komponen pembelajaran formal, seperti daftar santri (peserta) pengajian, daftar

pelajaran, desain pembelajaran, media pembelajaran, dan tidak ada pula evaluasi hasil

belajar. Mata ajaran yang diajarkan hanyalah ilmu-ilmu keagamaan—terutama dari

kitab-kitab abad pertengahan yang dikenal dengan kitab-kitab klasik/kuning (al-kutub

al-qadimah). Metode pendekatan yang berkisar pada sorogan, bandongan, cocogan,

setoran, muthalaah dan musyawarah.

Berbeda dengan pembelajaran agama konvensional, pembelajaran di madrasah

dilaksanakan dengan sistem kelas (classical sistem) yang terorganisir dan terstruktur.

Murid dikelompokkan ke dalam kelas-kelas, dan setiap murid baru diperkenankan

mengambil mata pelajaran berikutnya sesudah menyelesaikan mata pelajaran di tingkat

sebelumnya. Dalam sistem madrasah, semua elemen penting pendidikan mulai dari

kurikulum, pendekatan, metode, rekruitmen, sampai evaluasi hasil belajar diatur secara

terencana, terukur dan terkontrol.

Jika ditinjau dari sistem pendidikan yang diterapkan di pondok pesantren,

terutama sebelum masa orde baru, maka pendekatan yang sering dipergunakannya

adalah pendekatan holistik, hal itu dibuktikan paling tidak dengan prinsip-prinsip

8
yang tercermin dari sistem pendidikannya. Sistem pendidikan pesantren,

mendasarkan filsafat pendidikannya pada filsafat theocentric,1 yang memandang

bahwa semua aktivitas pendidikan dipandang sebagai ibadah kepada Tuhan dan

merupakan bagian integral dari totalitas kehidupan muslim, sehingga belajar dan

mengajar di pesantren tidak dipandang sebagai alat tetapi dipandang sebagai tujuan.

Implikasi dari prinsip tersebut, maka para pengajar di Pondok Pesantren memandang

bahwa kegiatan di pesantren sebagai ibadah kepada Tuhan, sehingga

penyelenggaraan Pondok Pesantren dilaksanakan "di bawah bayang-bayang Tuhan",

sukarela dan dijadikan sebagai media pengabdian kepada sesama manusia dalam

rangka mengabdi kepada Tuhan. Hal itu juga tercermin dari kearifan dan

kesederhanaan hidupnya sehari-hari yang menyiratkan semacam kesadaran

transcendental. Kesederhanaan di sini adalah identik dengan kemampuan bersikap

dan berpikir wajar, proporsional, dan tidak tinggi hati.

Berbeda dengan masa setelah orde baru, banyak Pondok Pesantren yang

menyelenggarakan pendidikan seperti pendidikan formal—sekolah/madrasah—dan

metode pengajarannya tidak lagi hanya berkisar pada sistem konvensional:

bandongan, halaqah, sorogan dan hafalan, tetapi sudah menerapkan metode belajar

mengajar seperti sekolah.

Sebagai lembaga pendidikan, Pondok Pesantren walaupun dikategorikan

1
Yaitu pandangan yang menyatakan bahwa semua kejadian berasal, berproses dan kembali
kepada Tuhan, filsafat ini Memandang banhwa manusia dilahirkan sesuai fitrahnya dan perkembangan
selanjutnya tergantung pada lingkungan dan pendidikan yang diperolehnya.
Mastuhu, Dinamika Pendidikan Pondok Pesantren, (jakarta: Inis, 1985) h, 63

9
sebagai lembaga pendidikan tradisional, mempunyai sistem pengajaran tersendiri,

dan itu menjadi ciri khas yang dapat dibedakan dari sistem dan metodologi

pembelajaran dilakukan di lembaga pendidikan formal.

Yang menjadi tantangan bagi pesantren saat ini adalah bagaimana pesantren

mengupayakan pengembangan sistem dan metodologi pembelajarannya, setidak-

tidaknya agar proses pembelajarannya lebih efektif dan efisien. Pengembangan ini dapat

berarti pemberdayaan dan pemerkayaan sistem dan metodologi pembelajaran

konvensional; atau, berarti pengubahan sistem dan metodologi yang berimplikasi pada

disingkirkannya sistem dan metodologi yang tidak efisien dari sistem konvesional.

Pengembangan pembelajaran di Pondok Pesantren ini juga dapat dibedakan dari dua

poros, yaitu pengembangan ke dalam (internal), dalam arti pemberdayaan dan

pemerkayaan; dan pengembangan keluar (external), yang berarti bahwa pesantren

mengakomodasi sistem dan metodologi pembelajaran modern untuk melengkapi atau

bahkan mengganti sistem dan metodologi konvensional.

Sistem dan metodologi pembelajaran konvensional yang dianut pesantren pada

umumnya berkisar pada varian-varian seperti sorogan, weton/bandongan, halaqah dan

hafalan. Sorogan, berasal dari kata sorog (bahasa Jawa), yang berarti menyodorkan

atau menyerahkan. Dalam kenyataannya, sorogan diterapkan dengan cara setiap santri

menyodorkan kitab kajiannya di hadapan kyai atau asisten kyai, untuk selanjutnya sang

kiai atau asistennya mengajar santri yang bersangkutan berdasarkan kitab yang

disodorkannya itu.

Sistem sorogan ini termasuk penerapan sistem pembelajaran dengan pendekatan

10
individual. Seorang santri berhadapan dengan seorang guru, dan terjadi interaksi

saling mengenal di antara keduanya. Sistem sorogan ini terbukti sangat efektif

sebagai langkah inisiasi bagi seorang murid yang bercita-cita menjadi orang

berilmu. Sistem ini memungkinkan seorang guru melakukan pendekatan-pendekatan

personal, bahkan pendekatan spiritual dengan para santri. Para kyai mengawasi, menilai

dan membimbing secara maksimal kemampuan seorang murid dalam menguasai

bahasa Arab.

Bahkan lebih dari itu, kedekatan personal kiai-santri dilengkapi dengan

hubungan spiritual yang saling mendukung, yang dilakukan dengan cara saling

mendo'akan.

Weton/bandongan, istilah weton ini berasal dari kata wektu (bhs. Jawa) yang

berarti waktu. Penamaan metode ini mengikuti praktik nyata terjadinya pembelajaran

dimaksud. Istilah Weton ini di Jawa Barat disebut dengan bandungan.

Dalam pengajian dengan metode Weton, pembelajaran dilakukan pada waktu-

waktu tertentu, misalnya sebelum atau sesudah melakukan shalat fardlu. Metode weton

ini merupakan metode kuliah, dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk

di sekeliling kyai yang menerangkan pelajaran secara kuliah, sementara santri

mengikuti pembacaan kitan oleh kiai dengan melihat dan memperhatikan kitab-kitab

yang mereka bawa masing-masing. Santri juga membuat catatan seperlunya, baik

dituliskan pada sisi kitab atau menyisipkannya di lembar-lembar catatan lain.

Halaqah ini merupakan sistem kelompok kelas dari sistem bandongan.

Halaqah yang arti bahasanya "lingkaran murid", atau sekelompok siswa dengan formasi

11
duduk melingkar, yang belajar di bawah bimbingan seorang guru atau belajar bersama

dalam satu tempat. Halaqah ini juga merupakan kelompok belajar dengan

menggunakan metode diskusi tak-terstruktur untuk memahami isi kitab. Diskusi

berkisar pada persoalan apa kandungan atau hikmat pelajaran yang dapat diambil dari

bacaan, baik dari sumber kitab al-Qur'an, kitab Hadits, atau kitab-kitab kuning lainnya;

dan bukan untuk mempertanyakan benar-salahnya apa-apa yang diajarkan oleh kitab.

Aspek kritisnya bukan diletakkan pada kemampuan mempertanyakan normativitas isi

kitab tetapi kemampuan berijtihad mengenai apa maksud yang diajarkan oleh kitab.

Bila dipandang dari sudut pengembangan intelektual, menurut Mahmud Yunus

sistem ini hanya bermanfaat bagi santri yang cerdas, rajin dan mampu serta bersedia

mengorbankan waktu yang besar untuk studi ini. Sistem ini juga hanya dapat

menghasilkan satu persen murid yang pandai dan yang lainnya hanya sebatas

partisipan.2

Pendapat Mahmud Yunus di atas, tentu saja lebih merupakan penilaian atas

kenyataan penerapan metode halaqah saat itu, yaitu yang hanya dapat dinikmati oleh

segelintir siswa yang tergolong mampu menganalisis masalah dan mampu pula

mengungkapkan hasil pikirannya secara lisan maupun tulisan. Tetapi, saat ini metode

halaqah ini justeru harus diperkaya. Salah satu alasannya adalah bahwa forum yang

dibangun dengan metode halaqah itu sudah merupakan metode pembelajaran yang

paling di andalkan dalam sistem pembelajaran siswa aktif.

2
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:Hidakarya,1990), h, 50

12
Yang kedua adalah bahwa belajar dalam pandangan modern tidak hanya untuk

mengejar pengetahuan sebagai hasil belajar satu-satunya, melainkan menginternalisasi

nilai-nilai yang secara laten dapat diperoleh dari halaqah, seperti belajar kemampuan

cara menganalisis masalah dan kemampuan mengenai cara mengungkapkan pemikiran.

Jadi, halaqah tidak hanya menghasilkan instructional effect, tetapi juga formal effect

atau disebut juga nurturent effect. Instruktional effect adalah hasil belajar seperti yang

dibatasi oleh tujuan pembelajaran yang telah disusun. Sedangkan nurturent effect adalah

hasil belajar laten yang diberoleh dari pembelajaran, yang biasanya berupa perubahan

kualitas-kualitas personal seseorang dalam belajar, baik dalam bentuk sikap perhatian

maupun motivasi belajar.

Hafalan/Tahfiz, metode hapalan yang diterapkan di pesantren-pesantren,

umumnya dipakai untuk menghafal kitab-kitab tertentu, misalnya Alfiyah Ibn Malik.

Metode hafalan juga sering diterapkan untuk pembelajaran al-Qur`an-Hadits. Dalam

pembelajaran al-Qur'an metode ini biasa disebut metode Tahfizh al-Qur'an. Biasanya

santri diberi tugas untuk menghafal beberapa bait dari kitab alfiyah, dan setelah

beberapa hari baru dibacakan di depan kyai/ustadnya. Dalam pengembangan metode

Hafalan atau Tahfizh ini, pola penerapannya tidak hanya menekankan hafalan tekstual

dengan berbagai variasinya, tetapi harus juga melibatkan atau menyentuh ranah yang

lebih tinggi dari kemampuan belajar. Artinya, hafalan tidak saja merupakan kemampuan

intelektual sebatas ingatan (retensi) tetapi juga sampai kepada pemahaman

(comprehension), analisis (analysis), dan evaluasi.

Bagaimanapun, hafalan sebagai metode pembelajaran maupun sebagai hasil

13
belajar tidak dapat diremehkan, seperti yang sering terdengar dari pernyataan-

pernyataan sumbang para pengamat pembelajaran. Hafalan harus dipandang sebagai

basis untuk mencapai kemampuan intelektuan yang lebih tinggi. Dalam berfikir,

misalnya, seseorang tidak mungkin dapat berfikir secara cermat jika bahan-bahan untuk

berfikir tidak tersedia. Jadi harus ada apersepsi sebelum seseorang mempersepsi. Harus

ada kenyataan sebelum seseorang melahirkan konsepsi. Yang menjadi prinsip dalam

berfikir bahwa apa yang dipikirkan harus sudah lebih dulu diketahui seluk beluknya,

dan itulah pengetahuan yang sebagiannya diperoleh dari pembelajaran hafalan.

Yang kemudian menjadi persoalan lagi adalah bagaimana pembelajaran dengan

metode hafalam ini dapat memperkaya khazanah pengetahuan siswa lebih dari sekedar

hafalan mekanistik saja, tetapi hafalan kualitatif. Hafalan mekanistik adalah seperti

merekam audio atau audio-visual; sedangkan hafalan kualitatif adalah rekaman dasar

yang dipersiapkan untuk diedit dan dilakukan pemerkayaan. Dan ini sudah menjadi

kewajiban para guru untuk mencarikan cara dan kreativitas para santri agar hafalannya

lebih bermutu, lebih bervariasi, dan lebih merangsang pemikiran kritis.

Keempat metode itulah yang banyak diterapkan di pondok-pondok pesantren,

dan antara metode yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan erat dan

mempunyai kelemahan serta kelebihan masing-masing, sehingga pondok-pondok

pesantren sampai sekarang masih mempertahankan metode tersebut, dan itu menjadi

lambang supremasi serta ciri khas metode pengajaran di Pondok Pesantren.

Berbeda dengan masa setelah orde baru, banyak Pondok Pesantren yang

menyelenggarakan pendidikan seperti pendidikan formal—sekolah/madrasah—dan

14
metode pengajarannya tidak lagi hanya berkisar pada sistem bandongan, halaqah,

sorogan dan hafalan, tetapi sudah menerapkan metode belajar mengajar seperti

sekolah.

Selain metode yang empat diatas (bandongan, halaqah, sorogan dan hafalan) di

Pondok Pesantren juga mengenal metode-metode lain seperti Bahtsul masa`il, Hiwar,

Fathul Kutub, Muqaranah, dan metode-metode lain yang banyak di peraktekkan di di

Pondok Pesantren.

Metode Bahtsul Masa`il mengacu kepada pemecahan masalah-masalah dalam

persoalan fiqh (hukum Islam atau furu`iyah). Metode ini bisa digambarkan sebagai

bentuk kegiatan belajar mengajar dalam sebuah forum (biasanya di kelas atau masjid)

yang dipandu oleh seorang pembimbing/guru dan diikuti oleh santri-santri yang

dianggap sudah menguasai kitab-kitab tertentu untuk memecahkan permasalahan

kontemporer di sekitar hukum-hukum fiqh (termasuk di dalamnya fiqh ibadah). Metode

ini biasanya diterapkan untuk pengajaran santri-santri yang sudah senior, dimana santri-

santri tersebut sudah dianggap mampu atau menguasi kitab-kitab yang menjadi rujukan

masalah yang akan di bahas.

Metode Hiwar hampir sama dengan metode metode diskusi yang umum kita

kenal selama ini. Bedanya metode hiwar dilaksanakan dalam rangka pendalaman atau

pengayaan materi-materi yang sudah di pelajari (kitab-kitab kuning). Yang menjadi ciri

khas dari hiwar ini, adalah bahwa santri dan guru biasanya terlibat dalam sebuah forum

perdebatan untuk memecahkan masalah yang ada dalam kitab-kitab (berbahasa Arab)

yang sedang di pelajari. Dalam Hiwar terjadi proses kritik dan agumentasi (mujadalah)

15
untuk memperkuat kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh.

Dengan diterapkannya metode ini, tidak semua pondok pesantren

memasyarakatkannya sebagai metode yang dikembangkan dalam kegiatan belajar

mengajar di di Pondok Pesantren. Sebab di sementara pondok masih ada norma-norma

yang bersifat doktrinal yang belum bisa di reformasi, seperti siswa/santri tidak boleh

banyak bertanya, harus menundukkan wajah ketika berhadapan dengan guru, dan

semacamnya.

Metode Fathul Kutub biasanya dilaksanakan untuk santri-santri senior yang

sudah akan menyelesaikan pendidikan tingkat tertentu di Pondok Pesantren. Pada

dasarnya metode ini adalah metode penugasan mencari rujukan (reference) terhadap

beberapa topik dalam bidang ilmu tertentu (Fiqh, Aqidah, Tafsir, Hadits, dll.).

Metode muqoronah adalah sebuah metode yang terfokus pada kegiatan perbandingan,

baik perbandingan materi, faham (madzhab), metode, maupun perbandingan kitab.

Metode muqoronah akhirnya berkembang pada perbandingan ajaran-ajaran agama.

Untuk model metode muqoronah ajaran agama biasanya berkembang di bangku

Perguruan Tinggi Pondok Pesantren (Ma`had `Ali).

Saat ini, dengan diterapkannya sistem klasikal di Pondok Pesantren, yaitu

dengan dikenalkannya sistem Madrasah Diniyah, mau tak mau pengayaan metodologi

tidak lagi sebatas yang sudah di kenal di kalangan Pondok. Hal itu disebabkan karena

terpengaruh oleh perkembangan hidup modern yang menuntut orang maupun lembaga

untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan tersebut. Karena itulah cara yang

bisa ditempuh agar di Pondok Pesantren tetap bisa digandrungi oleh masyarakat.

16
Artinya dengan memadukan pola pendidikan tradisional dengan pola pendidikan

modern.

B. Definisi Pondok Pesantren

Kata pondok berasal dari kata Funduq yang berarti hotel atau asrama. Sedangkan

dalam bahasa Indonesia mempunyai banyak arti, di antaranya adalah madrasah tempat

belajar agama Islam. Sekarang lebih dikenal dengan nama pondok pesantren. Di

Sumatra Barat dikenal dengan nama surau, sedangkan di Aceh dikenal dengan nama

rangkang .

Pesantren berasal dari kata santri yang dapat diartikan tempat santri. Kata santri

berasal dari kata Cantrik (bahasa Sansekerta, atau mungkin jawa) yang berarti orang

yang selalu mengikuti guru, yang kemudian dikembangkan oleh Perguruan Taman

Siswa dalam sistem asrama yang disebut Pawiyatan. Istilah santri juga ada dalam

bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji, sedang C. C Berg berpendapat bahwa istilah

tersebut berasal dari istilah shastri, yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu

buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci agama

Hindu.Terkadang juga dianggap sebagai gabungan kata saint (manusia baik) dengan

suku kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan

manusia baik-baik

Secara terminologi dapat dikemukakan di sini beberapa pandangan yang

mengarah kepada definisi pesantren. Abdurrahman Wahid, mendefinisikan pesantren

17
secara teknis, pesantren adalah tempat di mana santri tinggal.3 Mahmud Yunus,

mendefinisikan sebagai tempat santri belajar agama Islam.4 Sedang Abdurrahman

Mas’ud, mendefinisikan pesantren refers to a place where the santri devotes most of his

or her time to live in and acquire knowledge.5

Definisi di atas menunjukkan betapa pentingnya sosok pesantren sebagai sebuah

totalitas lingkungan pendidikan dalam makna dan nuansanya secara menyeluruh.

Secara definitif Imam Zarkasyi, mengartikan pesantren sebagai lembaga

pendidikan Islam dengan sistem asrama atau pondok, di mana kiyai sebagai figur

sentralnya, mesjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya, dan pengajaran agama

Islam dibawah bimbingan kyai yang diikuti santri sebagai kegiatan utamanya.6 Secara

singkat pesantren bisa juga dikatakan sebagai laboratorium kehidupan, tempat para

santri belajar hidup dan bermasyarakat dalam berbagai segi dan aspeknya. .

Definisi pesantren yang dikemukakan oleh Imam Zarkasyi (pendiri Pondok

Modern Daarussalam Gontor) sama dengan definisi yang dikemukakan oleh

Zamakhsyari Dhofier dalam menentukan elemen-elemen pesantren, seperti: Kiyai,

santri, masjid, pondok, dan pengajaran agama Islam

3
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi; Esai-esai Pesantren, (Yogyakarta: LKIS,2001,
cet-ke-1,h,17
4
Mahmud Yunus, Op.Cit, h, 231
5
Ismail SM (ed), Pendidikan Islam , Demokrasi dan Masyarakat Madani, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2000) Cet ke-1, h,171
6
Amir Hamzah Wirosukarto,et.al., KH. Imam Zarkasyi dari Gontor Merintis Pesantren Modern,
(Ponorogo: Gontor Press,1996) Cet, ke-1,h,56

18
Walaupun sama dalam menentukan elemen-elemen pesantren, namun keduanya

mempunyai perbedaan dalam menentukan materi pelajaran dan metodologi pengajaran.

Zamakhsyari menentukan materi pelajaran pesantren hanya terbatas pada kitab-kitab

klasik dengan metodologi pengajaran tradisional, yaitu sorogan dan wetonan,7

sedangkan Imam Zarkasyi tidak membatasi materi pelajaran pesantren dengan kitab-

kitab klasik serta menggunakan metodologi pengajaran sistem klasikal (madrasi).

Demikianlah pesantren didefinisikan oleh pengamatnya baik yang barasal dari

dalam maupun dari luar pesantren, di mana variasi yang dihasilkan merupakan suatu

keniscayaan yang tidak dapat dipungkiri. Hal tersebut disebabkan perbedaan semacam

itu, jusrtu semakin menambah khazanah dan wacana yang sangat diharapkan secara

akademis.

C. Asal Usul Pesantren dan Sejarah Perkembangannya

Pesantren atau yang lebih dikenal dengan pondok pesantren adalah lembaga

pendidikan Islam tradisional8 tertua di Indonesia. Menurut para ahli, lembaga

pendidikan ini sudah datang sebelum Islam datang ke Indonesia. Hal ini dikemukakan

oleh I. J. Brugman dan K. Meys, yang menyimpulkan dari tradisi pesantren seperti,

penghormatan santri kepada kiyai, tata hubungan keduanya yang tidak didasarkan

7
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, studi Tentang Pandangan Hidup Kyai,(Jakarta:
LP3ES, 1995) h,44-60
8
Pengertian tradisional dalam arti bahwa lembaga ini hidup sejak ratusan tahun yang lalu dan
telah menjadi bagian dari kehidupan sebagian besar ummat Islam Indonesia, dan telah mengalami
perubahan dari masa ke masa sesuai dengan perjalanan ummat, bukan tradisional dalam arti tetap tanpa
mengalami penyesuaian .
Mastuhu, Dinamika Pendidikan Pesantren, , (Disertasi Pasca Sarjana IPB,1989) h, 114

19
kepada uang, sifat pengajaran yang murni agama dan pemberian tanah oleh negara

kepada para guru dan pendeta. Gejala lain yang menunjukkan azas non-Islam pesantren

tidak terdapat di negara-negara Islam.

Pesantren dilihat dari segi bentuk dan sistemnya, berasal dari India. Sebelum

proses penyebaran Islam di Indonesia sistem tersebut telah dipergunakan secara umum

untuk pengajaran dan pendidikan agama Hindu di Jawa. Kemudian pendidikan ini

diislamisasikan tanpa meninggalkan tradisi yang ada. Perbedaan yang mendasar ialah

pada masa Hindu pendidikan tersebut hanya milik kasta tertentu, sedang pada masa

Islam, pendidikan tersebut milik setiap orang tanpa memandang keturunan dan

kedudukan, karena dalam pandangan Islam seluruh manusia merupakan umat yang

egaliter.

Karena itu Islam dapat diterima oleh masyarakat dan pesantren dapat

berkembang, oleh karena itu pesantren merupakan salah satu bentuk kebudayaan asli

Indonesia.

Tentang kehadiran pesantren secara pasti di Indonesia pertama kalinya, di mana,

dan siapa pendirinya tidak dapat diperoleh keterangan yang pasti. Ada pendapat yang

maengatakan, pesantren pertama kali didirikan oleh Syeikh Maulana Malik Ibrahim.

Beliau adalah ulama yang berasal dari Gujarat, India agaknya tidak sulit baginya untuk

mendirikan pesantren karena sebelumnya sudah ada perguruan Hindu-Budha dengan

sistem biara asrama sebagai tempat belajar mengajar. Dan mempunyai persamaan

dengan pendidikan di India.

Meski begitu, tokoh yang dianggap berhasil mendirikan dan mengembangkan

20
pesantren dalam arti yang sesungguhnya adalah Raden Rahmat atau Sunan Ampel. Ia

mendirikan pesantren di Kembang Kuning, yang pada waktu didirikan hanya memiliki

tiga orang santri, yaitu: Wiryo Suroyo, Abu Hurairah, dan Kyai Bangkuning. Kemudian

ia pindah ke Denta, Surabaya, dan mendirikan pesantren di sana, dan akhirnya beliau

dikenal dengan sebutan Sunan Ampel. Sunan Ampel diambil menantu oleh penguasa

Tuban bernama Ario Tejo. Di sini dapat disimpulkan adanya hubungan yang mesra

antara ulama dan umara. Hubungan ini dijalin dengan da’wah, selain itu Ario Tejo

membutuhkan bantuan sunan Ampel untuk mengamankan daerah Tuban, Gresik, dan

Surabaya, sebagai kunci kemakmuran negara.

Pesatnya pertumbuhan dan perkembangan Pesantren Ampel Denta pada

dasarnya didukung oleh beberapa faktor, Pertama, letaknya yang strategis di pintu

gerbang utama Majapahit, sehingga mau tidak mau mesti bersinggungan langsung

dengan sirkulasi perdagangan Majapahit, karena seluruh kapal dari dan ke Majapahit

mesti melewati pelabuhan Surabaya.

Kedua, lembaga pendidikan tersebut mirip dengan pendidikan sebelumnya.

Ketiga, lembaga pendidikan tersebut dapat diikuti oleh setiap orang tanpa memandang

keturunan dan kedudukan.

Pada awal berkembangnya, ada dua fungsi pesantren, pertama, sebagai lembaga

pendidikan. Kedua, sebagai lembaga penyiaran agama. Kendati kini telah banyak

perubahan yang terjadi namun inti fungsi utama itu masih melekat pada pesantren.

Pesantren di Indonesia tumbuh dan berkembang sangat pesat. Berdasarkan

laporan pemerintah pemerintah kolonial Belanda, tahun 1831 di Jawa saja terdapat tidak

21
kurang dari 1.853 buah dengan jumlah santri tidak kurang 16.500 orang. Kemudian

suatu survai yang diselenggarakan oleh kantor Shumubu ( Kantor Urusan Agama ) pada

masa Jepang tahun 1942 jumlah pesantren bertambah menjadi 1.871 buah, jumlah

tersebut belum dijumlah dengan pesantren di luar Jawa dan pesantren-pesantren kecil.

Pada masa kemerdekaan jumlah pesantren terus bertambah, berdasarkan laporan

Departemen Agama RI tahun 2001 jumlah pesantren di Indonesia mencapai 12.312

buah.9

Perkembangan pesantren terhambat ketika Bangsa Eropa datang ke Indonesia

untuk menjajah. Hal ini terjadi karena pesantren bersikap non-kooperatif bahkan

mengadakan konfrontasi terhadap penjajah. Akibat dari sikap tersebut maka pemerintah

kolonial ketika itu mengadakan kontrol dan pengawasan yang ketat terhadap pesantren.

Setelah Indonesia merdeka, pesantren tumbuh dan berkembang dengan pesat. Ekspansi

pesantren juga bisa dilihat dari pertumbuhan pesantren yang semula hanya rural based

institution kemudian berkembang menjadi pendidikan urban. Lihatlah kemudian

pesantren tumbuh di Ibukota Jakarta seperti Pondok Pesantren Darun Najah, Darul

Rahman, As-Shiddiqiah, dan lain-lain. Bahkan kini pesantren bukan hanya milik

organisasi tertentu tetapi milik umat Islam Indonesia.

D. Sistem Pendidikan Pesantren

Sistem pendidikan pesantren menurut M. Arifin adalah sarana yang berupa

perangkat organisasi yang diciptakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang

9
www.depag.net.id

22
berlangsung dalam pesantren.10 Unsur-unsur sistem pendidikan pesantren menurut

Mastuhu dapat dikelompokkan sebagai berikut:

Aktor atau pelaku, seperti: kiyai, santri, Sarana perangkat keras, seperti Masjid, asrama,

atau pondok, rumah kyai dan sebagainya. Sarana perangkat lunak, seperti: tujuan,

kurikulum, metodologi pengajaran, evaluasi, dan alat-alat pendidikan lainnya.11

Unsur-unsur pesantren berbeda antara satu pesantren dengan pesantren lainnya,

hal ini dapat dilihat dari besar kecilnya pesantren bersangkutan. Untuk pesantren kecil

unsur-unsurnya cukup dengan kyai, santri, asrama atau pondok, kitab-kitab keagamaan,

dan metode pengajaran, akan tetapi untuk pesantren besar perlu ditambah dengan unsur-

unsur lain, seperti : Ustadz sebagai pembantu kyai dalam pengajaran, gedung sekolah

atau madrasah, pengurus, tata tertib dan lain sebagainya sesuai dengan kebutuhan

pesantren.

Kyai atau pengasuh pondok pesantren merupakan elemen yang sangat esensial

dari suatu pesantren. Ia seringkali merupakan pendirinya. Sudah sewajarnya bahwa

pertumbuhan pesantren semata-mata bergantung kepada kemampuan kyainya.

Menurut asal usulnya perkataan kiyai dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga

jenis gelar yang saling berbeda: Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang

dianggap keramat, umpamanya: “kiyai Garuda Kencana” dipakai untuk sebutan Kereta

Emas yang ada di Kraton Yogyakarta. Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada

10
M.Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta: Biona Aksara.1995) Cet, ke-
3, h,257
11
Mastuhu, Op.Cit, h, 55-56

23
umumnya. Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang

memiliki atau menjadi pimpinan pesantren.

Kiyai dalam pembahasan ini mengacu kepada pengertian yang ketiga. Istilah

kiyai dipakai di Jawa Tengah dan Jawa Timur, di Jawa Barat istilah tersebut dikenal

dengan Ajengan, di Aceh Tengku, di Sumatra Utara Buya. Gelar kyai saat ini tidak lagi

hanya diperuntukkan bagi yang memiliki pesantren. Gelar tersebut kini digunakan untuk

seorang ulama yang mumpuni dalam bidang keagamaan walau ia tidak mempunyai

pesantren, seperti : Kyai Haji Ali Yafie, Kyai Haji Muhith Muzadi, dan lainnya. Bahkan

gelar kyai digunakan untuk sebutan seorang Dai’ atau Muballigh.

Santri adalah siswa yang belajar di pesantren, Zamakhsyari Dhofier membagi

santri membagi dua kelompok: Santri mukim dan santri kalong, santri mukim adalah

santri yang berasal dari daerah dan menetap dalam kelompok pesantren. Sebagai santri

mukim mereka mempunyai keewajiban-kewajiban tertentu. Santri kalong adalah santri

yang berasal dari masyarakat sekitar pesantren atau yang biasanya tidak menetap di

pesantren. Untuk mengikuti pelajarannya di pesantren, mereka bolak-balik dari

rumahnya sendiri.12

Selain dua istilah santri diatas, dalam dunia pesantren dikenal juga istilah “santri

kelana”. Santri kelana adalah santri yang pindah belajar dari satu pesantren ke

pesantren lain untuk memperdalam ilmu pengetahuan yang menjadi keahlian dari

seorang kyai. Setelah pesantren mengadopsi sistem madrasah tradisi santri kelana kini

12
Zamakhsyari, Op.Cit, h, 55

24
mulai ditinggalkan.

Kedudukan mesjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan

manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional. Hal ini telah terjadi

sejak zaman Nabi Muhamad kemudian diteruskan oleh para sahabat, kholifah Islamiyah

hingga sampai sekarang.

Secara etimologis, masjid berasal dari kata sajada, yang berarti patuh, taat, serta

tunduk dengan penuh hormat dan takzim. Sedangkan secara terminologis, masjid adalah

tempat melaksanakan aktifitas manusia yang mencerminkan kepatuhan kepada Allah.

Upaya menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan berimplikasi pada tiga hal:

Pertama, mendidik anak agar tetap beribadah kepada Allah. Kedua, menanamkan rasa

cinta pada ilmu pengetahuan dan solidaritas sosial, serta menyadarkan hak-hak dan

kewajiban. Ketiga, memberikan ketentraman, kemakmuran, potensi-potensi melalui

pendidikan kesabaran, keberanian kesadaran optimisme.

Kendatipun saat sekarang kebanyakan pesantren telah melaksanakan proses

belajar mengajar di dalam kelas dengan gedung tersendiri, namun mesjid tetap

difungsikan sebagai tempat belajar. Hingga saat ini kyai sering mempergunakan masjid

sebagai tempat membaca dengan metode bandongan. Disamping itu pula para santri

memfungsikan masjid sebagai tempat belajar yang utama, karena kondisi masjid relatif

lebih tenang serta mempunyai nilai ibadah.

Sebuah pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam

tradisional di mana para siswanya tinggal bersama-sama dan belajar dibawah bimbingan

seorang kiyai. Ada tiga alasan utama mengapa pesantren harus menyediakan asrama

25
bagi santrinya

: Pertama, kemashuran seorang kiyai dan kedalaman pengetahuannya tentang

Islam, menarik santri-santri dari jauh untuk dapat menggali ilmu dari kiyai tersebut

secara teratur dan dalam waktu yang lama , untuk itu ia harus menetap. Kedua, hampir

semua pesantren berada di desa-desa di mana tidak tersedia perumahan (akomodasi)

yang cukup untuk menampung santri-santri, dengan demikian perlulah adanya asrama

khusus para santri. Ketiga, ada timbal balik anrtara santri dan kiyai, di mana para santri

menganggap kiyainya seolah-olah seperti bapaknya sendiri, sedang para kiyai

menganggap para santri sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa dilindungi.

Disamping alasan-alasan diatas, kedudukan pondok sebagai salah satu unsur

pokok pesantren sangat besar sekali manfaatnya diantaranya adalah santri dapat

dikondisikan dalam suasana belajar sepanjang hari.Kehidupan berasrama para santri

juga sangat mendukung bagi pembentukan kepribadian. Di dalam asrama

memungkinkan untuk mempraktekkan apa-apa yang telah dipelajari. Nilai-nilai agama

yang secara normatif dipelajari di kelas, dapat dilatihkan untuk disosialisasikan dalam

kehidupan sehari-hari dengan begitu dimungkinkan mereka tidak hanya menjadi

“having” tetapi “being”.

E. Tujuan Pendidikan Pesantren

Amat sulit untuk menggambarkan tujuan pendidikan pesantren sacara pasti dan

seragam. Hal ini disebabkan karena pesantren mempunyai kebiasaan untuk tidak

mempunyai kebiasaan untuk tidak merumuskan dasar dan tujuan pendidikannya secara

26
eksplisit. Hal ini karena sifat kesederhanaan pesantren, sesuai dengan dorongan

berdirinya, di mana kiyai mengajar dan santri belajar, semata-mata untuk ibadah

lillahita’ala, dan tidak pernah dihubungkan dengan tujuan tertentu dalam lapangan

kehidupan atau tingkat jabatan tertentu dalam hirarki sosial.

Adapun tujuan didirikannya pesantren menurut M.Arifin pada dasarnya terbagi

menjadi dua hal, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan Khususnya adalah

mempersiapkan para santri untuk menjadi orang yang alim dalam ilmu agama yang

diajarkan oleh kiyai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat.

Sedangkan tujuan umumnya adalah membimbing anak didik untuk menjadi manusia

yang berkepribadian Islam yang sanggup dengan ilmu agamanya menjadi mubaligh

Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya.13

Untuk mengenal tujuan pendidikan pesantren ada baiknya dikemukakan

beberapa pernyataan para pendiri pesantren, KH. Ahmad Sahal misalkan, salah seorang

pendiri Pondok Modern Gontor menyatakan: "amanak-anakku nanti harus menjadi

orang yang a'lim, sholeh, sugih supaya tidak tamak"… dalam kesempatan lain juga

beliau sampaikan: " di pesantren ini (Gontor) anak-anak akan diajari bahasa Arab-

bahasa Inggris dan tonil (drama)"…

Dari dua pernyataan di atas dapat diketahui bahwa tujuan pendirian pesantren

adalah untuk mendidik generasi muda Islam dengan pendidikan sehingga nantinya

menbjadi anak yang alim (memiliki ilmu pengetahuan) dan sholeh dalam arti

13
M. Arifin, Op.Cit, h, 248

27
menjalankan pengetahuannya tersebut, serta bisa menjadi kaya (kaya harta dan hati)

supaya tidak tamak. Oleh karena itu muncul pernyataan kedua yang berarti harus

menzaman, sesuai dengan kebutuhan zaman dan kecakapan yang dimiliki sesuai dengan

zamannya. Konon ungkapan kedua ini muncul setelah pertemuan ulama yang saat itu

membutuhkan delegasi muslim Indonesia untuk di kirim ke dunia Internasional, yang

dibutuhkan adalah yang mahir dalam bahasa Arab dan Inggris, tapi yang tersedia waktu

itu hanya menguasai bahasa Arab saja dan tidak menguasai bahasa Ingris, dan

sebaliknya. Jadi tujuan penyusunan materi pelajaran disesuaikan dengan tantangan

kebutuhan ummat. Sama halnya dengan semboyan perekat ummat yang muncul sebagai

jawaban atas kondisi ummat Islam pada tahun 1920 an; pertentangan khilafiyah dan

konflik internal.

Selain melalui pernyataan para pendirinya tujuan pendidikan pesantren juga bisa

diketahui dengan melihat semboyan dan motto yang dikembangkan suatu pesantren,

semboyan-semboyan yang senantiasa didengungkan oleh pimpinan pesantren (kyai) itu

biasanya merupakan "kerangka nilai" yang diharapkan dapat dicerna oleh para santri

dan menjadi pedoman hidup mereka dalam kehidupannya kelak Seperti pepatah dalam

dunia pesantren yang sangat populer, al muhafadhatualal qadimis shalih wal akhdu alal

bil jadidil ashlah. Dalam hal ini pesantren merupakan lembaga pendidikan yang gigih

mempertahankan tradisi. konservasi terhadap tradisi dilakukan tanpa sikap “reserve”,

bahwa tradisi mengandung segala yang baik, sehingga kebutuhan untuk mengadopsi

yang modern dimungkinkan sejauh itu lebih baik dari apa yang terdapat dalam tradisi

itu sendiri.

28
Berkenaan dengan tujuan pendidikan pesantren, bagi pesantren-pesantren baru

yang lebih modern biasanya telah merumuskan tujuannya dalam bentu visi dan misi

pesantren, rumusan biasanya sekitar hal-hal berikut:

• Membangun masyarakat melalui pendidikan

• Dakwah Islamiyah

• Mempersiapkan generasi muda muslim dengan membekali mereka

pengetahuan agama dan umum.

Secara tegas KH Imam Zarkasyi menyatakan tujuan pendidikan di pesantrennya

adalah untuk "kemasyarakatan dan dakwah Islamiyah" artinya pendidikan diarahkan

pada kebutuhan masyarakat muslim pada khususnya dan masyarakat luas pada

umumnya serta kepentingan dakwah Islamiyah.

29
BAB II
MATERI PEMBELAJARAN PONDOK PESANTREN

A. Literatur Pesantren

1. Asal-usul dan jenis

Satu hal penting yang jarang disebut para ahli ketika mengidentifikasi ciri-ciri

fisik pesantren ialah kitab kuning sebagai literatur khas pesantren. Kitab kuning

sebetulnya merupakan ciri penting yang tidak dapat dibuang dari pesantren, setidaknya

hingga hari ini. Seseorang disebut kyai antara lain karena ia dianggap menguasai

keilmuan keislaman yang berhubungan erat dengan kitab kuning. Sistem pengajian

pesantren yang diselenggarakan di masjid juga cocok karena yang diaji adalah kitab

kuning. Pendek kata, masjid, kyai, santri dan pondok yang merupakan elemen penting

pndok pesantren, tidak dapat dipisahkan dari kitab kuning.

Kitab kuning sering disebut al-kutub al-qadimah. Disebut demikian karena

kitab-kitab tersebut dikarang lebih dari seratus tahun yang lau. Ada juga yang

menyebutkannya sebagai al-kutub al-shafra’ atau “kitab kuning” karena biasanya kitab-

kitab itu dicetak di atas kertas berwarna kuning, sesuai kertas yang tersedia waktu itu.

Ciri lain dari literatur yang dipergunakan di pesantren itu ialah beraksara Arab Gundul

(huruf Arab tanpa harakat atau syakal). Keadaannya yang gundul itu pada sisi lain

ternyata merupakan bagian dari pembelajaran itu sendiri. Pembelajaran kitab-kitab

gundul itu keberhasilannya antara lain ditentukan oleh kemampuan membuka

kegundulan itu dengan menemukan harakat-harakat yang benar, dan

mengucapankannya secara fasih.

30
Al-kutub al-qadimah itu jumlahnya sangat banyak. Akan tetapi, yang banyak

dimiliki para kyai dan diajarkan di pesantren di Indonesia adalah kitab-kitab yang

umumnya karya ulama-ulama madzhab Syafi’i (Syafi’iyyah). Menurut Martin van

Bruinessen, seorang peneliti dari Belanda, pada akhir abad ke-20 ini judul kitab-kitab

kuning yang beredar dikalangan kyai di pesantren-pesantren Jawa dan Madura

jumlahnya mencapai 900 judul. Padahal L.W.C. van den Berg dalam penelitian

sebelumnya, pada akhir abad 19, hanya menemukan 54 judul saja.

Meningkatnya jumlah judul kitab itu sebetulnya disebabkan oleh beberapa hal.

Pertama, banyak kiyai yang mulai menulis kitab sendiri, baik dengan menggunakan

Bahasa Arab, maupun dengan menggunakan bahasa lokal yang ditulis dengan huruf

Arab Melayu (pegon). Kedua, beberapa ulama atau kyai di Nusantara mulai menyusun

kitab sendiri. Bentuknya bermacam-macam. Ada yang merupakan tashnif (karangan

sendiri) dengan kitab-kitab yang berasal dari Timur Tengah sebagai rujukan, ada yang

menyusun sendiri tetapi merupakan penggabungan dari topik-topik atau bidang-bidang

yang sudah ada (iqtibas), dan ada yang melakukan penyederhanaan (mukhtashar)

terhadap kitab-kitab yang ada dalam rangka penyesuain materi, topik, bahasa, maupun

pembahasannya.

Ketiga, mulai diadopsinya kitab-kitab yang tadinya dianggap tabu karena tidak sealiran

dengan faham pesantren, misalnya kitab-kitab di luar madzhab Syafi’i. Keempat,

pesantren juga mulai mengaji kitab-kitab al-‘ashriyyah, karya ulama modern. Kitab-

kitab al-‘ashriyyah ini mulai masuk ke Indonesia, sejalan dengan perkembangan

teknologi pada awal abad 20, yang ditandai oleh kemudahan orang-orang Indonesia

31
untuk melakukan ibadah haji dan belajar, baik di Makkah, Madinah, Kairo, Baghdad,

Yaman dan pusat-pusat belajar lain di Timur Tengah. Banyak diantara mereka yang

mengaji ataupun berhaji kemudian mengirim dan membawa pulang kitab-kitab al-

‘ashriyyah yang memang beredar di tempat-tempat itu.

Kitab kuning yang di-aji di pesantren itu pada dasarnya adalah kitab-kitab yang

materinya dianggap relevan dengan tujuan pesantren sendiri, yakni mendidik dan

mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam, sebagai upaya mewujudkan manusia yang

tafaqquh fi al-din. Kendati pola pendidikan yang diselenggarakan di pesantren cukup

beragam, fungsi yang diemban pesantren tidak keluar dari itu. Kesamaan tersebut dapat

dilihat dari jenis-jenis bidang aji (bidang kajian) yang diajarkan di pesantren. Hampir

seluruh pesantren di tanah air mengajarkan bidang aji yang sama, yang dikenal dengan

ilmu-ilmu keislaman. Bidang kajiannya meliputi ilmu-ilmu terapan, yang sering

digolongkan ilmu-ilmu yang fardlu ‘ain, yang mencakup: Aqidah, Tajwid (al-Qur’an),

Fiqih, Akhlaq-Tasawuf, dan Ilmu Alat (Bahasa Arab, yang biasanya mencakup: Nahwu

atau sintaksis, Sharaf atau morfologi, dan Balaghah); dan ilmu-ilmu yang berguna

dalam mengembangkan wawasan seperti: Mantiq, Ushul Fiqh, Tafsir, Ilmu Tafsir,

Hadits, Ilmu Hadits , dan Tarikh Islam. Hanya saja perhatian terhadap kelompok ilmu

yang terakhir ini memang masih terbatas dan belum merata.

Cara pesantren yang umumnya mengandalkan pada kitab kuning sesengguhnya

memiliki kelemahan tersendiri. Kitab-kitab kuning umumnya bukan disusun oleh ulama

Indonesia, atau setidaknya disusun pada masa lalu . Karena itu, kuantitas materi,

relevansi materi, dan tingkat pembahasannya belum tentu sesuai dengan tuntutan

32
kebutuhan dan kemampuan santri di Indonesia saat ini.

Menyadari itu, beberapa pesantren yang telah melakukan pembaharuan

melakukan langkah-langkah akomodatif, antara lain: Pertama, tidak mengambil secara

keseluruhan materi-materi yang ada pada suatu kitab dari kitab-kitab kuning itu,

melainkan menyesuaikannya dengan menangguhkan materi-materi yang belum

dianggap perlu dan menambahnya dengan muatan-muatan baru berdasarkan kekhususan

dan kebutuhan tertentu. Kedua, memberikan perhatian yang memadai terhadap ilmu-

ilmu yang berpotensi memperluas wawasan, dan Ketiga,menambah materi pembelajaran

dengan ilmu-ilmu umum serta ketrampilan-ketrampilan khusus, seperti pertanian,

peternakan, koperasi dan bisnis, qira’at, kaligrafi, komputer dan lain sebagainya.

2. Pola Penyajian dan Penulisan

Kitab-kitab yang menjadi bahan kajian di pesantren tidak ditulis pada masa yang

sama. Penulisnya pun memiliki latar belakang yang beragam. Penulisan kitab yang

dilakukan pada masa yang lebih tua (salaf) biasanya menggunakan bahasa yang lebih

rumit dari yang ditulis belakangan (khalaf), sesuai dengan perkembangan bahasa Arab

itu sendiri. Latar belakang penyususn (mushannif) juga akan menyebabkan perbedaan

cara pandang dan cara penyajiannya, walaupun berada pada masa yang sama dan dalam

madzhab yang sama pula. Hal ini menjadikan kitab-kitab di pesantren merupakan

khazanah ilmu yang unik dan sekaligus kaya. Namun, pada saat yang sama juga

berpotensi menimbulkan banyak masalah.

Bila dilihat dari gaya penyajian atau pemaparannya, kitab kuning dapat dikelompokkan

menjadi:

33
a) Kitab-kitab natsr (esai)

Kitab natsr ialah kitab yang dalam menyajikan atau memaparkan materinya

menggunakan essai (natsr). Keuntungannya ialah bahwa materi dapat dipaparkan

dengan menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah. Walaupun perlu diketahui

bahwa pola tulis bahasa Arab pada kitab-kitab tua sebetulnya cukup rumit, tidak seperti

sekarang. Bentuk kalimatnya biasanya panjang, dengan menggunakan kata ganti

(dhamir) yang berulang sehingga sulit mencari rujukanya (‘aaid), disamping belum

berkembangnya atau mungkin belum dimanfaatkannya secara baik tanda-tanda baca

(adawat al-tarqim). Kitab kuning jenis ini adalah yang paling umum.

b) Kitab-kitab nadzam

Cara penyajian materi yang lain ialah dengan menggunakan nadzam atau syi’ir

(sair). Kitab-kitab kuning yang memanfaatkan gaya ini cukup banyak. Dan itu

dilakukan tidak terbatas pada kitab-kitab untuk pemula saja. Pada umumnya tujuan

pemaparan dengan cara ini ialah untuk mempermudah, terutama bagi pemula dengan

asumsi bahwa santri-santri pemula lebih senang terhadap nyanyian dan pada sat yang

bersama penghafalan lewat lagu itu juga lebih mudah. Contoh kitab ini misalnya

Hidayat al-Shibyan. Untuk tingkat lebih atas, penyajian dengan menggunakan nadzam

ini lebih bertujuab untuk meringkas dan memudahkan menghafalnya juga. Termasuk

dalam kategori ini misalnya kitab al-Maqshud, ‘Imrithi, atau Alfiyah ibn Malik.

Dibanding dengan pola natsr, pola nadzm ini memiliki kesukaran tersendiri,

yaitu untuk memahaminya memerlukan kemampuan bahasa yang lebih tinggi karena

nadzam dalam pembuatannya tidak jarang memerlukan variasi, jika bukan

34
penyimpangan, dari pola tata bahasa yang biasa digunakan dalam natsr. Itulah sebabnya

pola natsr dikatakan lebih mudah dan sederhana.

Variasi gaya pemaparan, kelihatannya tidak dapat dilepaskan dari ikhtiar para

penulisnya agar kitab-kitabnya dapat berfaidah, baik karena menarik dan mudah

difahami, atau karena memberikan informasi atau pengetahuan yang lebih banyak.

Dalam semangat seperti itulah maka rupanya kitab kuning juga memiliki variasi dalam

format penyajiannya.

Bila dikaji dari Format penyajian, maka Kitab Kuning dibagi menjadi :

1. Kitab Matn

Kitab matn pada dasarnya adalah kitab asal atau kitab inti. Sebetulnya nama

matn itu baru terjadi ketika pada kitab itu dilakukan pengembangan, baik menjadi syarh

maupun dalam bentuk hasyiah. Karena itu kitab matn dapat berupa kitab natsr maupun

kitab nadzm. Contoh kitab kuning yang termasuk kelompok ini adalah: kitab matn al-

Ajurumiyah, matn Taqrib, matn Alfiyah, Shahih Bukhari, al-Jami’ al-Shahih karya

Imam Muslim dan seterusnya.

2. Kitab Syarh atau Hasyiyah

Kitab jenis kedua ini merupakan kitab yang secara khusus mengulas, memberi

komentar atau memperluas penjelasan dari suatu kitab matn. Kitab syarh adalah kitab

perluasan (komentar) tingkat pertama, sedangkan kitab yang memperluas lebih lanjut

kitab syarh disebut hasyiah. Kitab kuning yang masuk ke dalam kelompok syarh

misalnya adalah kitab Asymawi yang menjelaskan lebih jauh isi teks kitab al-

Ajurumiyah, kitab Hall al-Maqal min Nadzam al-Maqshud yang memberi komentar dan

35
penjelasan atas kitab al-Maqshud, Dahlan Alfiyyah yang mengomentari Alfiyah ibn

Malik serta kitab Kaylani yang mengulas kitab al-‘Izz dan kitab al-Iqna’ yang men-

syarah kitab al-Taqrib. Dapat dikategorikan hasyiah ialah al-Shabban yang merupakan

komentar dari al-Asymuni, karena yang terakhir ini sesungguhnya merupakan kitab

komentar atas Alfiyah Ibn Malik.

Kitab kuning secara umum ditulis dengan menggunakan format (lay out) yang

terdiri dari dua bagian: matn dan syarh. Matn merupakan teks inti dari sebuah kitab

yang ditulis pada bagian pinggir (margin) sebelah kanan dan kiri. Sedangkan syarh

merupakan teks penjelas atau komentar terhadap matn yang terletak di bagian dalam

atau tengah dari setiap halaman kitab. Karena sifatnya sebagai penjelas, maka teks syarh

lebih banyak dan panjang dari teks matn. Pemisahan antara teks matn dan syarh

dilakukan dengan memberi tanda kurung yang membingkai teks syarh, sedangkan matn

berada di luar kurung bingkai ini. Akan tetapi, pola penyajian seperti ini tidak berlaku

secara keseluruhan. Pada beberapa kitab lain, penyajian materi dibedakan antara teks

matn dan teks syarh ke dalam kitab sendiri-sendiri tidak disatukan dalam satu kitab

sebagaimana pola penyajian yang dilakukan di atas.

c) Kitab Mukhtashar

Kitab Mukhtashar adalah kitab kuning yang menyajikan materinya dengan cara

meringkas materi suatu kitab yang panjang lebar untuk dijadikan karangan singkat

tetapi padat. Karena sifatnya yang demikian, kitab ini dengan kata lain merupakan kitab

ringkasan yang hanya memuat pokok-pokok masalah. Kitab kuning yang termasuk

kelompok ini misalnya adalah kitab Alfiyah ibn Malik yang merupakan ringkasan dari

36
kitab al-Kafiyah, atau kitab Lubb al-Ushul yang meringkas kitab Jam’ al-Jawami’ karya

as-Subki. Atau karya paling akhir dari jenis ini ialah Mukhtashar Ibn Katsir karya Ali

al-Shabuni yang merupakan ringkasan dari kitab tafsir Ibn Katsir. Dengan melakukan

ringkasan ini, hal lain yang biasanya dilakukan ialah menyederhanakan kalimat,

memperbaharui istilah, menyaring informasi atau melengkapi data.

Adapun bila dilihat dari kandungan maknanya, kitab kuning dapat dibagi

menjadi dua: pertama, kitab kuning yang berbentuk penawaran atau penyajian ilmu

secara polos (naratif), seperti kitab kuning yang menyajikan materi sejarah, tafsir, dan

hadits; kedua, kitab kuning yang menyajikan materi berbentuk kaidah-kaidah keilmuan

seperti kitab-kitab yang membahas nahw, ushul al-fiqh, mushthalah al-hadits, dan

sejenisnya.

B. Penjenjangan Materi Pengajian

Tidak seluruh kitab keislaman berbahasa Arab yang beredar di kalangan

pesantren diajarkan kepada santri. Bahkan kebanyakannya merupakan bacaan para

ustadz dan kyai, sebagai pengkayaan bahan aji. Adakalanya, sebagian kitab itu juga

didiskusikan secara terbatas diantara mereka. Kitab-kitab yang diajarkan kepada santri

itu bertingkat. Ada kitab yang disediakan untuk tingkat pemula (awwaliyah), ada yang

untuk tingkat menengah (wustha), dan ada untuk tingkat tinggi (‘aly). Walaupun tidak

selalu, tingkatan-tingkatan ini juga kadangkala ditentukan oleh pola penyajian kitab itu

sendiri, yaitu pola matan, syarah, dan khasyiyah. Biasanya, kitab matan untuk tingkat

pemula, syarh untuk menengah, dan hasyiah untuk tingkat tinggi. Namun, tidak selalu.

Yang menjadi dasar ialah tingkat informasi atau kesulitan kitab itu sendiri. Pola lain

37
dalam penyajian kitab yang tampaknya memperkuat kecenderungan pembagian

tingkatan itu ialah adanya kitab-kitab jenis muchtashar yang merupakan ringkasan dari

kitab yang ada, mubassathah atau mutawassithah yang tampaknya berisai tambhan

penjelasan, dan muthawwalah yang memberikan tambahan penjelasan yang lebih

banyak, namun bukan syarah atau bukan pula khasiyah. Pembagian tingkat kitab

pembelajaran itu sendiri dari sisi lain memang merupaka suatu kebutuhan dan usaha

pedagogis untuk memenuhi keragaman tingkat kemampuan pembelajar, dalam hal ini

santri.

Adalah amat bagus bahwa judul dan jenis kitab yang beredar amat banyak. Hal

itu memberikan banyak pilihan terhadap kitab-kitab yang hendak diaji untuk setiap

tingkatnya. Sehingga sangat mungkin kitab yang diajarkan pada satu pesantren berbeda

dengan yang diajarkan pesantren lain, walaupun dalam tingkatan yang sama.

Catatan yang cukup menarik dalam sistem pembelajaran di pesantren ialah :

Prtama, perpindahan dari satu tingkat ke tingkat yang lain, yaitu dari tingkat awwaliyah

ke tinggkat wustha, dan dari wustha ke ‘aly pada dasarnya terbuka luas. Sepenuhnya

diserahkan kepada santri, atau secara negatif tidak terkontrol. Para kyai di pesantren

biasanya hanya menyediakan pengajian atau balaghnya saja. Kedua, para kyai

umumnya menjalankan sistim “ijazah” atau izin kepada santrinya untuk mengajarkan

ilmu yang diperolehnya kapada orang lain. Umumnya, “ijazah” itu diberikan kepada

santri yang diketahui rajin dan diyakini berkemampuan serta mengikuti balag-nya dari

awal hingga akhir. Bagi kyai, sistem ini sebetulnya merupakan penerapan “belajar

tuntas,” dalam pengertian bahwa seorang santri diharapkan menyelesaikan dulu secara

38
tuntas sebuah kitab, sebelum ia diperkenankan pindah ke kitab lainnya yang setingkat

atau lebih tinggi. Sebetulnya sistem ini pulalah yang memberikan mekanisme kontrol

diri kepada para santri untuk tetap pada tingkatnya atau melanjutkan ke tingkat di

atasnya. Ketiga, pembelajaran di pesantren selalu menjaga keterkaitan materi pada suatu

mata aji dengan mata aji lainnya. Inilah yang sekarang dikenal denga prinsip korelasi.

Misalnya, apa yang diajarkan dalam ilmu Fiqh tidak dilepaskan dari hubungannya

dengan akhlaq atau dengan aqidah. Dengan demikian, nuansa komprehensif dari

pengetahuan santri bisa terpelihara.

Namun, perlu diakui bahwa dengan sistem liberal, pesantren dalam hal

pemilihan bidang aji dan penjenjangannya, seperti tergambar di atas, sering terjadi

sebuah kesenjangan kemampuan yang cukup merugikan santri sendiri. Sering terjadi,

seorang santri telah mencapai tarap tinggi dalam pengetahuan tertentu, namun ternyata

masih berada pada kemampuan tingkat awal pada pengetahuan dasar-dasar

metodologisnya. Misalnya seorang santri berada pada tingkat tinggi dalam fiqih, tetapi

penguasaan terhadap ilmu-ilmu mantiq, ushul fiqh dan qawa’id fiqh masih berada di

tingkat awal. Sebagai akibatnya, penguasaan atas materi fiqh itu lalu bersifat mekanistik

atau hafalan saja, dan kurang mampu untuk dihadapkan pada situasi yang berbeda dan

berubah di lapangan kehidupan nyata. Hal serupa sangat mungkin terjadi dalam bidang

aji Tafsir ataupun Hadits. Pada pesantren yang telah lebih maju, hal tersebut telah

dicoba diatasi dengan pengaturan dan kontrol program setiap individu santri, atau

dengan penetapan kurikulum yang harus ditaati oleh setiap santri.

Kalau diikuti latar belakang historis dari penjenjangan pengajian di pesantren,

39
maka beberapa pendekatan biasanya menjadi bahan pertimbangan untuk memperoleh

susunan materi pembelajaran yang mudah diterima para santri:

Penggunaan kategorisasi yang diterapkan pada teks-teks tersebut, sesuai dengan jenjang

yang diakui selama ini. Kalau materi pelajaran Fiqh sebagai contohnya, maka pokok-

pokok yang dikandung oleh teks-teks Matn Taqrib menjadi materi untuk tingkat dasar,

teks dari Fath al-Qarib dan Fath al-Mu’in menjadi materi untuk tingkat menengah serta

al-Muhhalla menjadi materi untuk tingkat tinggi.

Pendekatan sosio-historis, dalam pengertian bahwa pembahasan sebuah topik aji

diberikan pembahasan latar belakangnya secara tuntas, misalnya dalam bentuk asbabun

nuzul, hikmah tasyri’ dan seterusnya. Walaupun masih perlu pengolahan, apa yang

disajikan dalam tafsir-tafsir klasik bil ma’tsur sudah mengarah demikian.

Pendekatan studi kasus atau faktual. Pendekatan ini sesungguhnya merupakan

pendekatan yang umum dipakai di pesantren. Dengan pendekatan ini kejadian-kejadian

yang terdapat dalam realitas kehidupan mendapatkan pembahasan secara tuntas dari

berbagai bidang aji.

Pendekatan kemasyarakatan yang jelas yaitu dengan jalan senantiasa

dikemukakan dampak sosial dari setiap kegiatan seorang muslim dalam menunaikan

kewajiban agama. Kerangka ini biasanya menjadi penunjang bagi semua pendekatan di

atas

C. Materi pembelajaran

Dalam pelaksanaan kurikulum ini perlu diperhatikan hal-hal yang

memungkinkan pendidikan di benar-benar efektif dan efisien. Adapun hal-hal tersebut

40
adalah sebagai berikut :

1. Fleksibilitas Program Pembelajaran

Fleksibilitas Program digunakan dalam melaksanakan kurikulum. Ustadz/guru

memperhatikan santri (kecerdasan, kemampuan, pengetahuan yang telah dikuasai),

metode-metode mengajar yang akan digunakan disesuaikan dengan sifat bahan

pengajaran dan kematangan santri, bahan pengajar sesuai dengan kemampuan santri.

Dalam penyampaian bahan pelajaran, contoh-contoh yang digunakan oleh Ustadz/guru

ketika menerangkan sebaiknya contoh yang pernah dialami, dilihat serta dirasakan

santri. Dengan kata lain contoh itu terdapat dalam kehidupan santri sehari-hari. Unsur-

unsur yang demikian akan menimbulkan motif dan minat si santri untuk belajar,

sehingga sifat kebosanan akan hilang. Misalnya, dalam pengajaran materi fiqh (seperti

yang dipakai adalah Kitab Al-Umm karya Imam Syafi’i), dalam pengajaran bab pertama

(Kitabut Thoharoh), pembelajaran akan lebih efektif apabila setelah menerangkan (baik

menggunakan metode Bandongan atau tarjamah), santri langsung menyaksikan praktek

Wudlu atau disuruh mencontohkan.

Bahan pelajaran dan metode mengajar yang tidak sesuai dengan keadaan santri

akan menimbulkan kontradiksi dalam diri santri, seolah-olah dirinya dipaksa untuk

belajar. Jiwanya merasa tertekan. Keadaan demikian akan menimbulkan kejengkelan,

kebosanan, sikap masa bodoh, sehingga perhatian dan minat tidak terpusat lagi kepada

pelajaran yang diterangkan oleh Ustadz/guru, yang dapat menyebabkan kegagalan untuk

mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Mungkin hal ini tidak menjadi masalah di

bebrapa Madarasah Diniyah yang masih menerapkan pendekatan belajar adalah kasbul

41
Barokah (mencari berkah) sebagaimana yang didokrinkan dalam Kitab Ta’limul

Muta’allim karya Az-Zarnuji. Tetapi di yang berorientasi kepada hasil belajar, maka

perlu diperhatikan hal ini.

Dalam hal Fleksibilitas Program mungkin dapat diupayakan suatu inovasi dari

pada yang tersedia dalam susunan program Misalnya seluruh bahan pelajaran Tafsir

(Biasanya Tafsir Jalalain , Shofwatut Tafasir, dan Tafsir al-Munir) jatah alokasi waktu I

tahun dapat dituntaskan dengan belajar berturut-turut dan suatu konsentrasi waktu tanpa

diselingi mata pelajaran lain. Yang penting bahan pelajaran tiap mata pelajaran dalam I

tahun dapat diselesaikan dalam tahun yang sama.

2. Berorientasi Kepada Tujuan

Sebagaimana telah diungkapkan di muka, bahwasannya Tujuan Pembelajaran

(baik tujuan khusus maupun tujuan umum) di di Pondok-pondok tidak diungkapkan

secara explisit dan terpola dalam formart GBPP (Garis-Garis Besar Program

Pengajaran). Tujuan ini biasanya terdapat dalam bagian pendahuluan kitab yang akan

diajarkan.

Proses Pembelajaran harus berorientasi kepada Tujuan. Pemilihan kegiatan-

kegiatan dan pengalaman-pengalaman belajar yang fungsional serta obyektif diperlukan

kriteria yang jelas dan didasarkan pada ilmu pengetahuan dan perubahan masyarakat.

Jadi sebelum menentukan waktu dan bahan pelajaran terlebih dahulu ditetapkan tujuan-

tujuan yang harus dicapai oleh santri / murid dalam mempelajari suatu mata pelajaran

(bidang studi). Proses identifikasi ini di dalam perumusan tujuan berlangsung dari

tingkat yang umum (tujuan institusional) sampai kepada tujuan yang paling khusus

42
(tujuan pembelajaran khusus).

Atas dasar pertimbangan di atas maka waktu yang tersedia harus benar-benar

dimanfaatkan bagi pengembangan kepribadian santri sesuai dengan tujuan yang hendak

dicapai oleh pendidikan Madrasah Diniyah.

3. Efektifitas dan Efisiensi

Tujuan utama menyelenggarakan di Pondok adalah pembentukan pribadi

(character building), transformasi ilmu pengetahuan, dan pengkaderan Ulama. Karena

banyaknya bahan pelajaran serta padatnya kegiatan yang menyita perhatian, energi dan

waktu santri, maka penyelenggaraan poses pembelajaran harus diupayakan seefektif dan

seefisien mungkin. Dalam menyusun jadwal pelajaran tidak boleh terlalu ketat

berpegang pada alokasi waktu dalam susunan program. Misalnya bosan pengajaran

yang dialokasikan perminggu dapat diselesaikan dalam waktu yang lebih singkat

dengan sistim paket atau pesantren kilat pada hari Ahad.

4. Kontinuitas

Dalam pelaksanaan kurikulum di pondok selalu diusahakan adanya hubungan

hierarkis fungsional, yang harus diterapkan ketika menyusun program-program

pengajaran dari Madrasah tingkat Awaliyah (‘Ula), Wustha dan `Ulya. Misalnya dalam

satu mata pelajaran Aqidah Akhlak (menggunakan Kitab Akhlaq lil Banin, Taysir al-

Khallaq, al-Tahliyyah wa al- Targhib, Nadzam Aly al-Bari) yang mengandung

pendekatan spiral, perluasan serta pengalaman suatu pokok bahasan dari tingkat

pendidikan ketingkat berikutnya harus disusun secara berencana dan sistimatis. Para

pelaksana (terutama Ustadz/guru) diharapkan dapat memahami hubungan fungsional

43
dan hierarkis antara mata pelajaran yang diberikan pada tingkat Awaliyah, Wustha, dan

`Ulya tiap tingkatan.

Kitab kuning sebagai materi kurikulum utama dalam proses pembelajaran di di

Pondok Pesantren sering disebut al-kutub al-qadimah, al-kutub al-shafra’ atau "kitab

kuning" karena biasanya kitab-kitab itu dicetak di atas kertas berwarna kuning, sesuai

kertas yang tersedia waktu itu. Ciri lain dari literatur yang dipergunakan di pesantren itu

ialah beraksara Arab Gundul (huruf arab tanpa harakat atau syakal). Al-kutub al-

qadimah itu jumlahnya sangat banyak. Akan tetapi, yang banyak dimiliki para kyai dan

diajarkan di pesantren di Indonesia adalah kitab-kitab yang umumnya karya ulama-

ulama madzhab Syafi’i (Syafi’iyyah). Judul kitab-kitab kuning yang beredar dikalangan

kyai di pesantren-pesantren Jawa dan Madura jumlahnya mencapai 900 judul.

Kitab-kitab kuning yang dipakai di di Pondok Pesantren bila dikelompokkan

menurut materi (disiplin /cabang ilmu) dikelompokkan menjadi 11 bidang disiplin ilmu.

Berikut ini adalah gambaran sekilas dari masing-masing bidang ilmu.

1. Bidang Aqidah / Ilmu Tauhid

Aqidah diambil dari bahasa Arab, asal kalimat ialah aqada dipindahkan menjadi

aqidah, artinya ikatan. Kalau telah ber-aqidah berarti hati manusia telah terikat oleh

suatu kepercayaan atau pendirian. Secara bahasa, aqidah artinya mengikat tepi-tepi

barang atau mengikatkan suatu sudut pada sudut lain. Jadi, timbulnya akidah didalam

hati, ialah setelah lebih dahulu fikiran itu terbang dan kemudian lepas entah kemana.

Tidak berujung dan tak tentu tempat hinggap. Kemudian dapatlah suatu kesimpulan

pandangan, lalu menjadi keyakinan. Terikat tidak retak lagi. Sebab itu maka suatu

44
pendapat yang tidak timbul dari pertimbangan akal fikiran yang lantaran hanya taklid

buta. Lantaran turut-turutan belumlah bernama aqidah. Orang yang beri’tikad didalam

suatu perkerjaan tidaklah mau mengerjakan suatu atau menginggalkan suatu pekerjaan

dengan tidak berfikir. Kesimpulan berfikir adalah i’tikadnya. Aqidah / Tauhid memiliki

cabang-cabang yaitu Tauhidullah, Iman, Ma’rifatullah, rezeki, Arasy dan Al-Haqq.

Beberapa kitab yang biasanya diajarkan untuk tingkat Ula ialah: Aqidah al-Diniyyah,

Tijan Darari. Matn al-Bajuri. Sanusiyah, ‘Aqidat al-‘Awam, Khoridat al-Bahiyah, al-

Dar al-Farid, Qatr al-Ghats. Sedangkan untuk tingkat menengah kitab yang dapat dan

biasa diajikan adalah : Kifayat al-Awam, al-Jawahir al-Kalamiyyah, Umm al-Barahin.

Adapun untuk tingkat tinggi sering diajarkan kitab-kitab seperti al-Husn al-Hamidiyah

dan Fajr al-Shadiq.

2. Bidang Tajwid (Baca al-Qur’an)

Tujuan dari pengajaran al-Qur’an di di Pondok adalah membentuk kemampuan

membaca secara benar (fasih) dalam ucapan setiap hurufnya (Makhraj), dan jaudah

(baik) dalam bacaan (persambungannya). Pada tingkat ‘Ula (Awwaliyah) pengajaran

membaca al-Qur’an itu diarahkan pada bacaan-bacaan yang ada dan diperlukan dalam

shalat, khususnya surat al-Fatihah yang merupakan bacaan wajib dalam setiap sholat,

dan surat-surat pendek yang ada dalam Juz ‘Amma (Juz Tiga puluh). Kitab-kitab

Tajwid yang biasa diajarkan: Syifa al-Jinan, Nadzam Hidayat al-Shibyan, atau Tuhfat

al-Athfal. Kitab-kitab ini berisikan uraian-uraian tentang ilmu tajwid yang disajikan

dalam bentuk syair sehingga guna memudahkan santri pemula dalam mengingatnya.

karena biasanya syair-syair ini diucapkan dengan dilagukan sesuai selera santri itu.

45
Tujuan pengajaran pembacaan al-Qur’an pada Wustho (lanjutan) di Pondok Pesantren

adalah santri dapat menjelaskan alasan-alasan mengapa suatu huruf dibaca demikian

tetapi pada tempat lain dibaca beda, apa hukum bacaan tersebut serta berapa panjang

nada bacaan itu dan seterusnya. Bahkan terkadang alasan-alasan yang diberikan santri

harus didukung oleh dalil dari teks kitab tajwid tertentu. Hal ini dimaksudkan agar para

santri tadi tidak hanya mampu memahami dan menerapkan pengetahuannya tentang

tajwid ini untuk dirinya, akan tetapi mereka juga mampu mengajarkannya kepada orang

lain kelak. Kitab-kitab Tajwid yang biasa menjadi bahan aji adalah: Al-Khoridat al-

Bahiyyah, Hilyat al-Thilawah wa Zinat al-Ada wa al-Qiraat, Nadzam Jazariyyah, atau

Siraj al-Qaari.

Tujuan dari pembelajaran pembacaan al-Qur’an tingkat Ulya (tinggi) adalah

agar santri yang telah menguasai pengetahuan tentang tajwid juga memiliki

pengetahuan perbedaan-perbedaan pembacaan al-Qur’an menurut versi Imam yang

tujuh. Kitab-kitab tajwid serta kitab Qira'at as-Sab’ah karya Imam Mujahid.

3. Bidang Akhlaq/Tasawuf

Tujuan pembelajaran Akhlaq/Tasawuf adalah membentuk santri agar memiliki

kepribadian muslim yang berakhlaq karimah baik dalam hubungannya dengan Allah

atau hablum minallah (hubungan vertikal) maupun dalam hubungannya dengan sesama

manusia, hablun minannass (hubungan horisontal) serta dalam hubungannya dengan

alam sekitar atau makhluq lainnya.

Dari itu, maka materi yang dipilih untuk diajarkan di pesantren ialah mengenai

sifat-sifat mahmudah seperti pengendalian diri, sikap dan tatakrama sebagi pencari ilmu

46
yang akan berhubungan baik dengan guru maupun dengan ilmu itu sendiri, sikap dan

tatakrama dengan orang tua atau sebagai orang tua, sikap dan tatakrama dengan teman

sebaya, dengan yang lebih tua dan semisalnya, bahkan sikap dan tatakrama seorang

isteri kepada suami dan sebaliknya, yang semuanya menyangkut kehidupan keseharian

manusia.

Tujuan pembelajaran akhlaq pada tingkat Ula / dasar adalah agar para santri

memiliki akhlaq yang mulia ketika berhubungan dengan orang tua, teman sebaya,

tentangga dan lingkungan sekitar. Kitab yang digunakan : Akhlaq lil Banin serta Akhlaq

lil Banat, Taysir al-Khallaq, al-Tahliyyah wa al-Targhib, Nadzam Aly al-Bari. Kitab-

kitab ini pada dasarnya menyajikan materi pendidikan akhlaq yang meliputi pokok-

pokok akhlaq yang berhubungan dengan keluarga, tetangga dan lingkungan sekitar serta

menumbuhkan sikap kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya.

Pada di Pondok Pesantren tingkat Wustho (lanjutan) kitab yang digunakan :

Ta’lim al-Muta’allim, Bidayat al-Hidayah, Risalat al-Mu’awanah, Nashaih al-‘Ibad,

Nashaih al-Diniyyah, al-Riyadh al-Badi’ah. Pelajaran akhlaq yang disampaikan oleh

kitab-kitab itu menjelaskan tentang akhlaq kepada Allah, kepada Rasul-Nya, kepada

orang tua, kepada sesama manusia, serta kepada sesama makhluq. Ini semua dilakukan

karena dilandasi oleh kecintaan kepada Allah di atas kecintaan kepada segala-galanya.

Di samping itu, pelajaran yang disajikan oleh kitab-kitab ini adalah memperdalam serta

memperluas apa yang telah diberikan pada tingkat awal ditambah dengan hubungan

kemasyarakatan serta pengenalan akan ajaran-ajaran tasawuf.

Tujuan pembelajaran akhlaq untuk tingkat menengah adalah membentuk santri

47
yang ber-akhlaqul karimah dalam hubungannya dengan Allah, dengan sesama manusia

serta dengan sesama makhluq yang dilandasi oleh karena kecintaannya kepada Allah

Swt.

Tujuan pembelajaran akhlaq/tasawuf pada tingkat tinggi adalah agar para santri

memiliki wawasan akhlaq yang lebih menyeluruh dalam setiap aspek kehidupannya

sehingga perilaku mereka dihiasi oleh akhlaq al-karimah yang dibimbing oleh hati yang

suci. Kitab-kitab yang diajarkan adalah antara lain Kifayat al-Atqiya, Mau’idzat al-

Mu’minin, al-Hikam serta Ihya Ulumuddin. Kitab-kitab ini tidak lagi hanya mengulas

pelajaran akhlaq, tetapi lebih diwarnai oleh corak tasawufnya dan dengan penjelasan-

penjelasan yang lebih filosofis.

Tujuan pembelajaran akhlaq/tasawuf pada tingkat tinggi adalah agar para santri

memiliki wawasan akhlaq yang lebih menyeluruh dalam setiap aspek kehidupan

sehingga perilaku mereka dihiasi oleh akhlaq al-karimah yang dibimbing oleh hati yang

suci.

4. Bidang Bahasa Arab (Nahwu – Sharaf)

Bahasa Arab yang diajarkan di di Pondok Pesantren terfokus kepada pengkajian

ialah "ilmu alat" yang biasanya meliputi Nahwu, Sharaf, Balaghah, bahkan Manthiq

(Logika).

Pada tingkat Ula (awaliyah) di Pondok Pesantren pengajaran Nahwu dan Sharaf

biasanya dimaksudkan agar santri mampu membuat (tashrif) kata-kata (kalam) Arab,

dapat mengenali jenis-jenisnya, mampu memastikan ucapan (harakat) nya pada

kedudukannya yang berbeda-beda dalam kalimat (jumlah), mampu mengenali dan

48
membuat jumlah (kalimat) yang berbeda-beda. Pada tingkat menengah dan tinggi tujuan

yang diharapkan sama, hanya saja lebih detail dan lebih luas karena menyangkut

variasi-variasi dan anomali-anomali kata dan kalimat yang ada dalam bahasa Arab. Ilmu

Balaghah biasanya diberikan pada tingkat tinggi untuk mempertajam pemahaman

terhadap makna kalimat dan mengenali keindahannya.

Kitab-kitab wajib yang menjadi acuan utama kalangan pesantren untuk

mempelajari bahasa Arab biasanya : Awamil, Ajrumiyyah, Fath nabb al-Bariyyah,

Syarh Ajrumiyyah, Kaylani, Al-Bina wa al-Asas, Qawaid al-I’lal, Asymani, Amthilatut

Tashrifiyah, Mutamminah, dan Qawaid al-Natstsar. Pada tingkat Wustho (lanjutan)

kitab yang digunakan biasanya al-Qawaid al-Sharfiyyah, Nadzam Maqshud, Imrithi,

dan Alfiyah ibn Malik. Dan pada tingkat Ulya (tinggi) kitab yang digunakan al-Jauhar

al-Maknun (karya Abd. Rahman al-Anshori), Sullam al-Munawwaroq, dan Uqud al-

Juman (karya Jalaluddin As-Suyuthi).

5. Bidang Fiqih

Seperti akhlaq, materi aji fiqih menyangkut segi-segi praktis dalam hubungan

manusia dengan Allah (ibadah) maupun hubungan manusia dengan manusia

(muamalah) dan makhluq yang lain. Bedanya, jika akhlaq memperhatikan hubungan itu

dalam kontek batin atau kejiwaannya, maka fiqih lebih menonjolkan pada segi formal

dan lahiriah hubungan tersebut. Materi pelajaran syari’at Islam, atau fiqih biasanya

dibagi menjadi :

• Ibadah (ibadah dalam arti sempit)

• Mu’amalat (tentang kerjasama antar manusia semisal jual beli dan lain-lain)

49
• Munakahat (tentang pernikahan)

• Jinayat (tentang pelanggaran dan pembunuhan)

Fiqh Ibadah biasanya diberikan pada tingkat Ula (awwaliyah), sedangkan

mu’amalat diberikan pada tingkat Wustho (lanjutan). Tingkat tinggi biasanya materi

yang diajarkan bab munakahat dan jinayat. Selain itu, pada tingkat tinggi biasanya

dilakukan perluasan wawasan dengan menjangkau pula fiqih-fiqih dari berbagai

madzhab.

Kitab-kitab yang menjadi referensi utama untuk materi Fiqh adalah: Sullamul

Munajat (Muhammad Nawawi), Safinat al-Najat (Muhammad Nawawi), Sullam at-

Taufiq (Muhammad Qasim al-Ghozi), Fath al-Qarib Safinat al-Shalah, Minhaj al-

Qawim, Bahjat al-Wasiil, Umdat al-Salik, Tausyih ala ibn Qasim (Muhammad

Nawawi al-Jani), Fath al-Muin (Zaenuddin bin Abdul Aziz), I’anat al-Talibin (Sayyid

Abu Bakr), Kifayat al-Ahyar (Imam Taqiyuddin Abu bakr, Fath al-Wahhab, al-Iqna’

(Abu yahya Zakariyya al-Ansori), al-Mahalli (Jalaluddin bin Ahmad al-Mahalli),

Bidayat al-Mujtahid (Ibn Rusyd), al-Mizan al-Kubra (Abu al-Mawahib Abd.Wahab),

al-Fiqh ala Madzahib al-Arbaah (al-Jaziri), al-Umm (Imam Syafi’i), dan al-

Muhadzdzab Fi Fiqh al-Imam Syafii (Abu Ishaq Ibrahim)

6. Ushul Fiqih

Ushul Fiqh membahas dasar-dasar dan metode untuk menarik (istinbath) sebuah

hukum. Fiqh pada tataran tertentu adalah produk, prosesnya dicakup dalam Ushul Fiqh

ini. Tujuan Ushul Fiqh santri diharapkan dapat mengetahui proses bagaimana sebuah

hukum dihasilkan, dari sejak menetapkan masalahnya, pencarian dasar-dasarnya,

50
penetapan alasan-alasannya, serta bagaimana alasan itu diolah hingga sampai kepada

keputusan tertentu.

Pada tingkat ‘Ula (dasar) kebanyakan di pesantren belum memberikan materi

ini. Pemberiannya pada tingkat menengah untuk menumbuhkan kesadaran bahwa

sebuah hukum itu lahir dari sebuah proses pertimbangan dan pengolahan yang

sistematis metodologis, sehingga dapat memahami dan mentoleransi adanya perbedaan-

perbedaan produk hukum, atau fiqh.

Untuk tingkat menengah, selain mematangkan apa yang diperoleh pada tingkat

pertama, biasanya ditingkatkan melalui perluasan wawasan dengan mengetengahkan

secara intensif berbagai ragam proses pembuatan hukum. Di samping itu, pada tahap ini

ditingkatkan kajian studi kasus, sehingga dengan demikian santri diharapkan mampu

secara mandiri menetapkan hukum melalui proses-proses standard.

Adapun buku-buku teks yang menjadi sumber materi Ushul Fiqh antara lain

Waraqatal-Dimyathi ala Syarh al-Waraqat karya Ahmad bin Muhammad al-Dimyati,

Ghayat al-Wushul karya Abu Yahya Zakaria al-Ansori, dan Faraid al-Bahiyyah karya

Abu Bakr al-Yamani semuanya diberikan di tingkat Wustho (lanjutan). Pada tingkat

Ulya (aliyah/tinggi) kitabnya : Tashil al-Thuruqat, Jam’ al-Jawami, Lathaif al-Isyarat

karya Imam Tajuddin Abdul Wahab al-Subhi, dan Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusd.

7. Bidang Tafsir

Tafsir pada santri pemula tetapi mulai diberikan kepada para santri tingkat

menengah serta tingkat tinggi. Pesantren yang sudah mengajarkan tafsir untuk santri

pemula biasanya hanya diberikan kitab tafsir "kecil" atau tipis halamannya. Tafsir untuk

51
tingkat dasar ini dimaksudkan hanya sebagai pengenalan bagi para santri.

Dalam pengajaran tafsir, penekanan utama diberikan pada: Pertama, kemampuan

mengetahui kedudukan suatu kata dalam struktur kalimat (i’rab) serta mengetahu dan

membedakan makna mufradat (pengertian kata-kata) ayat-ayat al-Qur’an baik ditinjau

dari segi morfem (sharaf) maupun persamaan makna katanya (muradif). Kedua, asbabun

nuzul, makkiyah-madaniyah, serta nadikh dan mansukh suatu ayat. Ketiga, kandungan

utama ayat itu secara tekstual maupun kotekstual sehingga santri menemukan relevansi

ayat itu dalam realitas kehidupan. Keempat, perbandingan penjelasan makna ayat-ayat

al-Qur’an dengan kitab tafsir lain. Kelima, pada beberapa pesantren tertentu kitab tafsir

yang dibaca ditekankan pada kitab tafsir yang bercorak hokum (tafsir ahkam).

Kitab tafsir yang menjadi pegangan santri untuk tingkat dasar pada beberapa

pesantren tertentu di antaranya adalah tafsir Yasin. Kitab ini hanya menguraikan

penafsiran terhadap ayat-ayat dalam surat Yasin dengan penjelasan singkat bahkan

menyerupai pegertian kata-kata (mufradat) sehingga dilihat dari jumlah halamannya

kitab ini sangatlah tipis. Sebagian pesantren bahkan menggunakan kitab tafsir yang

telah disusun oleh kyai setempat, yang biasanya terdiri dari ayat-ayat terpilih dan telah

diberi makna (diafsahi) dengan menggunakan bahasa daerah lokal, ataupun bahasa

Indonesia.

Untuk tingkat menengah (Wustho) kitab-kitab tafsir yang banyak dibaca adalah

pilihan dari beberapa kitab tafsir, seperti Tafsir Jalalain, Shafwa al-Tafasir, Tafsir al-

Munir, dan tafsir-tarsir yang setingkat dengan itu. Tujuan pembelajaran tafsir pada

tingkat menengah ini adalah agar para santri memiliki pengetahuan tentang makna ayat-

52
ayat al-Qur’an melalui pemahaman kitab-kitab tafsir hasil karya ulama baik yang klasik

maupun moderen.

Pada tingkat 'Ulya (Aliyah) atau tinggi biasanya kitab-kitab tafsir yang menjadi

materi pembelajaran adalah Tafsir Showi, Tafsir Ibn Katsier, Tafsir Ayaat al-Ahkam,

serta Tafsir al-Maraghi. Bahkan pada beberapa pesantren dipergunakan juga kitab tafsir

yang bercorak tafsir bi al-‘ilm (ilmu pengetahuan/science) yaitu tafsir Thanthawi

Jauhari.

8. Bidang Ulumul Qur’an

Yang dimaksud dengan Ulumul Qur’an adalah ilmu-ilmu tenteng Al-Qur’an.

Yaitu ilmu-ilmu yang dibutuhkan dan berguna untuk menafsirkan teks al-Qur’an.

Topik-topik yang dibahas dalam ilmu ini antara lain: apa dan bagaimana al-Qur’an itu,

syarat-syarat untuk menjadi mufassir, kaidah-kaidah menafsirkan al-Qur’an, metode

menafsirkan al-Qur’an serta ilmu-ilmu lain yang berguna untuk mengenal, mengerti dan

memahami teks-teks bahasa al-Qur’an yang bahasa Arab. Pada tingkat 'Ula

(Awwaliyah) belum diberikan materi Ulumul Qur’an. Di tingkat Wustho, kitab-kitab

yang diajarkannya biasanya kitab al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an karya imam Jalaluddin al-

Suyuthi. Tujuan pembelajaran pada tingkat Wustho adalah agar setelah mempelajari

kitab-kitab di atas para santri memiliki pengetahuan dasar tentang ilmu-ilmu yang

diperlukan untuk memahami makna al-Qur’an serta mengetahui pola struktur kalimat

yang digunakan dalam al-Qur’an.

Pada tingkat tinggi kitab-kitab yang bisa diajarkan antara lain adalah, Ilm al-

Tafsir karya al-Nawawi, al-Tafsir wa al-Mufassirin karya al-Dzahaby, atau Asrar Tartib

53
al-Qur’an karya Jalaluddin al-Suyuthi. Tujuan pembelajaran Ilmu Tafsir pada tingkat ini

biasanya ditekankan pada pemahaman dan penguasaan metodologi penafsiran, sehingga

para santri nantinya mampu melakukan secara mandiri penafsiran yang benar dan

memadai terhadap al-Qur’an.

9. Bidang Hadits

Pengajian hadits di Ula bertujuan untuk memperkenalkan hadits dengan

menonjolkan kandungan materinya. Materi yang dipaparkan biasanya juga merupakan

materi-materi utama tingkat dasar pula, seperti tentang iman, tentang islam, ikhsan atau

akhlaq-akhlaq utama. Oleh karena itu, hadits yang diangkatnya pun biasanya pendek-

pendek dan mulai dari shahabat, dengan tidak menampilkan silsilah sanad yang

lengkap. Jika pun dari kitab yang tersedia dijumpai silsilah sanad yang lengkap, hal itu

tidak lantas menjadi pembahasan. Jelasnya konsentrasi pengkajiannya terpusat pada

matan dan dengan pembahasan yang sederhana saja, sesuai dengan kemampuan santri

pada tingkat ini. Kitab-kitab yang banyak digunakan ialah: Tsalats al-Rasail karya

Ustadz Abu Said al-Khadimi, Arba’ al-Rasail karya Ahmad Zaini Dahlan, maupun

Arbain al-Nawawi karya Imam Nawawi.

Pada tingkat Wustha, corak pengajaran hadits tampak lebih jelas. Perhatian

kepada sanad hadits mulai ditekankan, begitu juga terhadap rijal al-hadits-nya, dengan

tetap memberikan perhatian pada kandungan matan. Jadi tujuannya lebih meningkat

dari tingkat awal. Adapun kitab-kitab yang biasa digunakan pada tingkat ini ialah Bulug

al-Maram karya al-Hafidz Ibn Hajar al-‘Asqalani, dan Mukhtar al-Akhadits yang

disusun oleh al-Sayyid Ahmad al-Hasyimi Bek.

54
Pada tingkat ‘Ulya /‘Aly pengkajian hadits benar-benar telah memasuki tahap

lengkap. Tujuannya adalah penguasaan lengkap terhadap hadits yang dipelajari, yang

meliputi pengetahuan tentang sanad dan variasi sanadnya, sosok dan karakter

perawinya, cara periwayatannya, serta matan dan variasinya, berikut asbab al-wurudnya

dan materi kandungannya. Pada tingkat ini, kitab yang diharapkan dan sering dipakai

ialah kitab-kitab hadits standard seperti Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Muwatha

Malik, Subulus Salam, dan Riyadlus Sholihin.

10. Bidang Ulumul Hadits

Ilmu-ilmu Hadits atau Ulumul Hadits adalah ilmu tentang seluk-beluk Hadits.

Ilmu Hadits biasanya diberikan kepada santri tingkat Wustho atau lanjutan. Materinya

meliputi seluk beluk hadits, dari mulai posisinya sebagai sumber hukum , sejarah

penulisannya, kualitas dan jenis-jenisnyanya—baik dilihat dari segi matan, sanad, atau

keduanya--, kitab-kitabnya, perawi-perawinya dan seterusnya. Pada tingkat tinggi,

biasanya juga ditambah dengan keterampilan Takhrij al-Hadits, yaitu bagaimana

menetapkan kualitas hadits berdasarkan metode-metode yang ada untuk menentukan

status dan kualitas hadits.

Kitab-kitab yang biasa dikaji adalah Minhat al-Mughits karya al-Hafidz Hasan

al-Mas’udi, ‘Ilm Mushtolah al-Hadits karya Abd. Qadir Hasan, Taisir Musthalah al-

Hadits karya Dr. Mahmud al-Thahhan, Ulum al-Hadits wa Mustholahuh karya Dr.

Subhi Shalih, Minhaj Dzawi al-Nadzar karya ulama Indonesia, Muhammad Mahfudz al-

Termasi, al-Manhal al-Latif fi Ushul al-Hadits al-Syarif karya al-Sayyid Muhammad al-

‘Alawy al-Maliky, dan kitab-kitab lain yang umumnya sepadan. Adapun kitab-kitab

55
takhrij yang dapat diajarkan untuk tingkat tinggi adalah: Thuruq Takhrij Hadits

Rasulillah karya Abu Muhammad Mahdi ibn Abd. Qadir ibn Abd, Hadi, Ushul Takhrij

wa Dirasat al-Asanid karya Dr. Mahmud al-Tahhan, Manhaj al-Muhadditsin fi Dhabt al-

Sunnah karya Dr. Mahmud Ali al-Fayyad dan sebagainya.

11. Bidang Tarikh (Sejarah Islam)

Tarikh atau sejarah Islam diajarkan di di Pesantren bertujuan untuk mengenal

secara kronologis pertumbuhan dan perkembangan umat Islam semenjak masa

Rosulullah hingga masa kehidupan Turki Ustmani.

Pada tingkat, materi yang diberikan biasanya dibatasi hingga hanya pada masa

Rasulullah. Kitab yang dipakai biasanya Kulasahoh Nurul Yaqin, Qishotiul Mi’roj, dan

Durr Tarikh al-Islam. Sejarah pada masa Khulafa al-Rasyidin baru diberikan pada

tingkat Wustho (Lanjutan). Pada tingkat tinggi, materi biasanya penekanannya tidak

terbatas pada fakta sejarah, namun menjangkau makna di balik fakta itu. Kitab-kitab

yang menjadi bacaan utama pada tingkat Wustho adalah Sirah ibn Ishaq, Nurul Yaqin,

dan Siroh Nabawiyah.

56
BAB III

MENGENAL METODE PEMBELAJARAN PESANTREN

Sebagai lembaga pendidikan, Pondok Pesantren walaupun dikategorikan

sebagai lembaga pendidikan tradisional mempunyai sistem pengajaran tersendiri, dan

itu menjadi ciri khas sistem pengajaran/metodik-didaktik yang lain dari sistem-sistem

pengajaran yang dilakukan di lembaga pendidikan formal. Pengembangan KBM di

Pondok Pesantren dalam bidang pendidikan pada dasarnya terdiri atas dua poros, yaitu

pengembangan ke dalam (internal) dan keluar (external). Pengembangan internal

terpusat pada upaya-upaya menjadikan kegiatan belajar mengajar lebih efektif, terutama

dengan mengembangkan metode-metode pembelajaran.

Ada beberapa metode pengajaran yang diberlakukan di pesantren-pesantren,

diantaranya: Sorogan, weton/bandongan, halaqah, hafalan, Hiwar, Bahtsul Masa’il,

fathul kutub, dan muqoronah. Metode-metode pembelajaran tersebut tentunya belum

mewakili keseluruhan dari metode-metode pembelajaran yang ada di pondok pesantren,

tetapi setidaknya paling banyak diterapkan di lembaga pendidikan tersebut. Berikut ini

adalah gambaran singkat bagaimana penerapan metode dimaksud dalam sistem

pembelajaran santri.

A. Sorogan

Sorogan, berasal dari kata sorog (bahasa Jawa), yang berarti menyodorkan,

sebab setiap santri menyodorkan kitabnya di hadapan kyai atau pembantunya --

asisten kyai.

57
Sistem sorogan ini termasuk belajar secara individual, dimana seorang santri

berhadapan dengan seorang guru, dan terjadi interaksi saling mengenal di antara

keduanya. Sistem sorogan ini terbukti sangat efektif sebagai taraf pertama bagi

seorang murid yang bercita-cita menjadi seorang alim. Sistem ini memungkinkan

seorang guru mengawasi, menilai dan membimbing secara maksimal kemampuan

seorang murid dalam menguasai bahasa Arab.

Dalam metode sorogan, murid membaca kitab kuning dan memberi makna

sementara guru mendengarkan sambil memberi catatan, komentar, atau bimbingan bila

diperlukan. Akan tetapi, dalam metode ini, dialog antara guru dengan murid belum atau

tidak terjadi. Metode ini tepat bila diberikan kepada murid-murid seusia tingkat dasar

(ibtidaiyah) dan tingkat menengah (tsanawiyah) yang segala sesuatunya masih perlu

diberi atau dibekali.

Metode ini menyimpan beberapa kelemahan, di antaranya adalah ketika tidak

terjadi dialog antara murid dan guru. Murid menjadi pasif. Kegiatan belajar belajar

mengajar terpusat pada guru. Akhirnya, daya kreativitas dan aktivitas murid menjadi

lemah. Dalam hal ini, guru tidak segera memperoleh umpan balik tentang penguasaan

materi yang disampaikan. Maka, untuk hal yang terakhir ini, guru menyediakan se-

kurang-kurangnya waktu dan kesempatan kepada murid untuk ber-tanya.

Metode sorogan merupakan kegaiatan pembelajaran bagi para santri yang lebih

menitikberatkan pada pengembangan kemampuan perseorangan (individu), di bawah

bimbingan seorang ustadz atau kyai. Pengajian dengan sistem sorogan ini biasanya

diselenggarakan pada ruang tertentu di mana di situ tersedia tempat duduk seorang kyai

58
atau ustadz, kemudian di depannya terdapat bangku pendek untuk meletakkan kitab bagi

santri yang menghadap. Santri-santri lain, baik yang mengaji kitab yang sama atau pun

berbeda duduk agak jauh sambil mendengarkan apa yang diajarkan oleh kyai atau

ustadz kepada temannya sekaligus mempersiapkan diri menunggu giliran dipanggil.

Pelaksanaannya dapat digambarkan sebagai berikut :

• Santri berkumpul ditempat pengajian sesuai dengan waktu yang ditentukan

dengan masing-masing membawa kitab yang hendak diaji,

• Kyai atau ustadz masuk ke dalam ruang dan duduk ditempat yang disediakan.

• Sebelum menunjuk santri yang mendapatkan giliran, terlebih dahulu kyai

membuka majelis dengan membaca basmalah, hamdallah, shalawat, lalu berdo’a

(adakalanya bersama) agar para santri mendapat kemudahan dalam menyerap ilmu

dan seterusnya.

• Seorang santri yang mendapatkan giliran menghadap langsung secara tatap

muka kepada gurunya. Ia membuka bagian yang kan diaji dan meletakkannya di

atas meja yang telah tersedia di depan kyai atau ustadz, Kyai atau ustadz

membacakan teks dalam kitab itu. Adakalanya dengan melihat teks, tetapi tidak

jarang juga secara hafalan, khususnya pada kitab-kitab sederhana (tingkat awal).

• Kyai atau ustadz kemudian memberikan arti teks dengan menggunakan

bahasa melayu atau bahasa daerahnya. Panjang atau pendeknya teks yang dibaca

sangat bervariasi, tergantung perkiraan guru terhadap kemampuan santri.

• Santri dengan tekun mendengarkan apa yang dibacakan kyai atau ustadz, dan

59
mencocokkannya dengan kitab yang dibawanya. Selain mendengarkan, santri

melakukan pencatatan atas: Pertama, bunyi ucapan teks Arab dengan melakukan

pemberian harakat (syakal) terhadap kata-kata arab yang ada dalam teks kitab.

Pensyakalan itu, yang sering juga disebut pendlabithan (pemastian harakat),

meliputi semua huruf yang ada baik huruf awal, tengah, maupun akhir (i’rab).

Kedua, menuliskan arti setiap kata yang ada dengan bahasa Indonesia atau bahasa

daerah langsung bawah setiap kata Arab (diafsahi) dengan menggunakan huruf Arab

pegon dengan berbagai pertambahannya, untuk disesuaikan dengan susunan kata

dalam bahasa pengantar. Kata-kata penyesuaian itu, biasanya juga dicatat melalui

perlambang seperti telah dicontohkan di atas. Namun demikian, ada pula kyai atau

ustadz yang tidak menghendaki pencatatan demikian, melainkan semuanya harus

diingat secara baik,

• Santri kemudian menirukan kembali apa yang dibacakan kyai atau ustadznya

secara sama. Kegiatan ini biasanya diminta oleh kyai atau ustadz untuk diulang pada

pengajian berikutnya sebelum dipindahkan pada pelajaran selanjutnya, Kyai atau

ustadz mendengarkan dengan tekun pula apa yang dibaca santrinya sambil

melakukan koreksi-koreksi seperlunya. Setelah tampilan santri dapat diterima, tidak

jarang juga kyai atau ustadz memberikan tambahan penjelasan agar apa yang dibaca

dapat lebih demengerti,

• Kyai menutup majelis dengan do’a dan hamdallah, atau al-Fatihah, rerus

salam. Bila jumlah santri sedikit, adakalanya kyai atau ustadz lalu bersalaman

dengan santrinya.

60
Metode pembelajaran ini termasuk metode pembelajaran yang sangat bermakna,

karena santri akan merasakan hubungan yang khusus ketika berlangsung kegiatan

pembacaan kitab oleh dirinya di hadapan kyai atau ustadznya. Mereka tidak saja

senantiasa dapat dimbimbing dan diarahkan cara pembacaannya tetapi juga dapat

dievaluasi dan diketahui perkembangan kemampuannya. Dalam situasi demikian

tercipta pula komunikasi yang baik antara santri dengan kyai atau ustadznya sehingga

dapat meninggalkan kesan yang mendalam pada jiwa santri maupun kyai atau ustadz

sendiri. Hal ini membawa pengaruh yang baik karena kyai semakin tumbuh

kharismanya, santri semakin simpati sehingga ia berusaha untuk selalu mencontoh

perilaku gurunya itu.

Sekalipun kelihatannya hanya cocok untuk pemula, metode ini sesungguhnya

dapat diterapkan untuk tingkat lanjutan bahkan tingkat tinggi sekalipun. Tentu saja

dengan melakukan beberapa modifikasi.

Untuk tingkat lanjutan, dapat saja yang mulai membaca adalah santri. Kyai atau

ustadz hanya mendengarkan dan memperhatikan kefasihan, ketepatan ucapan, nada dan

intonasi bacaan yang sekaligus menunjukkan tingkat pemahaman santri terhadap apa

yang dibacanya. Kyai atau ustadz selanjutnya dapat langsung menjelaskan apa yang

terkandung dalam teks yang dibaca tadi. Kyai atau ustadz dalam hal ini mempercayai

kemampuan santri akan makna perkata atau bahkan perkalimat apa yang dibaca oleh

santri sehingga tidak perlu lagi mengulang arti perkata seperti yang dilakukan pada

tingkat awal.

Pada tingkat tinggi, polanya bisa sama dengan pada tingkat lanjutan. Namun, di

61
sini santrilah yang diminta menjelaskan sendiri apa yang dapat difahaminya dari yang

dibacanya, bila perlu dengan menggunakan bahasa Arab. Interaksi yang terjadi

kemudian berbentuk munaqasyah antara santri dan kyai atau ustadz. Para kyia tertentu

di beberapa pesantren sesungguhnya sudah lama menerapkan ini, namun biasanya

sangat khusus dan diperuntukkan bagi mereka yang telah terpilih dianggap mampu

untuk melakukan balagh pengajian tersendiri. Pada tingkat ini biasanya kyai secara

khusus memberikan ijazah secara lisan yang dapat diartikan pula sebagai tanda

perkenanan bagi sang santri untuk mengajarkan kitab yang disorogkan kyai atau ustadz

kepada santri-santri yang lain. Tidak jarang dalam pemberian ijazah itu seorang kyai

atau ustadz melengkapinya dengan silsilah (rangkaian) dari mana kitab itu dipelajari

mulai dari dirinya, terus dari siapa yang menjadi gurunya, dan seterusnya secara

berkesinambungan hingga sampai pada mu’allif (pengarang, penyususn) kitab itu.

Kualitas otoritas guru yang ada dalam rangkaian silsilah itu akan memberikan bobot

tersendiri terhadap kitab dan pembelajarannya.

Ada beberapa hal yang dipersiapkan sebelumnya oleh kyai atau ustadz maupun

oleh santri, yaitu:

• Penyusunan kurikulum yang berisi jenis materi pengajian (pembelajaran).

Pada setiap tingkatan dengan berbagai macam nama-nama kitab yang menjadi

bacaan / pegangannya.Santri dengan bimbingan ustadz memilih jenis kitab tertentu

yang akan dipelajarinya.

• Pendataan nama-nama santri yang berada dibawah bimbingan seorang ustadz.

Hal ini dilakukan untuk mendata tingkat aktivitas dan perkembangan kemampuan

62
santri untuk waktu berikutya.

• Santri menyiapkan kitab yang akan dipelajarinya beserta alat-alat tulis yang

meliputi pena atau pulpen serta buku tulis yang berfungsi untuk mencatat hal-hal

penting. Dalam pelaksanaannya, seorang kyai atau ustadz tidak secara ketat

menentukan alokasi waktu yang diberikan untuk membimbing seorang santri. Ia

hanya memberikan perkiraan berapa waktu yang disediakan untuk kegiatan

pembelajaran masing-masing santri. Jika memang santri yang akan mengaji dalam

waktu yang bersamaan jumlahnya banyak, maka ia akan membimbing dengan

waktu yang lebih singkat untuk masing-masing santri. Demikian juga bila

sebaliknya.

Adapun langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut :

• Menciptakan situasi dan kondisi yag komunikatif antara santri dan kyai atau

ustadz sendiri dalam kegiatan pembelajaran. Hal ini dimaksudkan agar kegiatan

pembelajaran membawa hasil yang lebih baik, karena santri tidak akan segan-segan

bertanya jika ada yang tidak jelas atau tidak dimengertinya.

• Dalam membaca dan menterjemahkan teks Arab gundul seorang kyai atau

ustadz menyampaikannya secara perlahan dan menggunakan bahasa yang mudah

untuk difahami oleh santrinya.

• Setelah membacakan dan menerjemahkan satu alinea atau satu topik tertentu

– sesuai keinginan dan pertimbangan kyai atau ustadz-, santri diminta membaca dan

menerjemahkan teks yang telah di baca tadi. Ketika itu dilakukan pembetulan-

63
pembetulan apabila terdapat kekeliruan dalam pembacaan dan penerjemahannya.

• Setelah membaca dan menerjemahkan dengan benar, seorang kyai atau

ustadz biasanya menanyakan atau meminta kepada santri untuk menjelaskan

maksud dari teks yang telah dibaca tadi. Ini dilakukan untuk melatih daya tangkap

(pemahaman) santri terhadap teks.

• Setelah santri menjelasakan, kyai atau ustadz biasanya sedikit mengulas apa

yang telah difahami santri, serta menambahkan atau membetulkan apabila

penyampaian santri ada hal-hal yang kurang atau keliru.

Selain biasanya metode ini ditujukan untuk pemula, dalam keadaan tertentu

metode sorogan juga dipergunakan untuk pembelajaran kepada santri khusus yang

memiliki kemampuan untuk dididik menjadi ustadz, kegiatannya dilakukan melalui:

Santri diminta untuk membaca teks kitab yang dipilihnya dengan mengurangi

penggunaan harakat atau syakal. Ini dapat dilakukan karena mereka adalah para santri

yang telah menguasai nahwu dan sharaf dengan baik. Mereka diminta untuk tidak akan

memberi harakat pada setiap huruf dalam kalimat. Dhamir, isim tasniyah, jama’

mudzakkar salim dan jama’ muannats salim, demikian juga harakat-harakat panjang

tidak lagi harus diberi syakal seperti yang dilakukan para santri pemula. Kepada para

santri diminta juga untuk tidak memberi catatan pada teks kitab yang dibacanya dengan

simbol-simbol (tanda-tanda) seperti biasanya. Kepada santri diminta untuk menjelaskan

isi teks dengan menggunakan bahasa Arab yang benar

Evaluasi dilakukan oleh kyai atau ustadz untuk mengetahui kemampuan santri

dalam aspek pengetahan (kognisi), aspek sikap (afeksi), dan aspek keterampilan (skill)

64
terhadap materi pembelajaran yang tela diberikannya.

Penilaian dilakukan di samping berguna untuk mengetahui tingkat

perkembangan kemampuan penguasaan santri juga berfungsi sabagai umpan balik (feed

back) bagi seorang kyai atau ustadz untuk meninjau kembali cara-cara yang

dilakukannya berkenaan dengan penggunaan suatu metode pembelajaran tertentu.

Karena, keberhasilan pembelajaran kepada para santri amat ditentukan oleh kemampuan

belajar santri dan kemampuan membimbing kyai atau ustadz.

Untuk mengevaluasi kemampuan para santri dalam pembelajaran dengan

menggunakan metode sorogan biasanya dilakukan kegiatan berikut: Santri diminta

membaca dan menerjemahkan teks yang telah disampaikan oleh kyai atau ustadz pada

pertemuan yang lalu. Jika seorang santri berhasil membaca dan menerjemahkan dengan

baik, maka pelajaran yang baru dapat dilanjutkan. Akan tetapi, jika sebaliknya maka

santri tadi diharuskan untuk mempelajari kembali (mengulang).

Jika materi pembelajaran yang dipelajari dalam tatap muka yang telah dianggap

telah dikuasai dengan baik oleh santri, kegiatan pembelajaran dapat dimulai dengan

materi baru tanpa terlebih dahulu meminta santri untuk membaca dan menerjemahkan

teks terdahulu. Dengan demikian, kegiatan evaluasi dapat dilakukan sewaktu-waktu,

jika dalam perkiraan kyai atau ustadz diperlukan untuk mengecek mater-materi yang

telah dipelajari beberapa pertemuan yang lampau.

Penilaian dapat juga dilakukan pada saat seorang santri diminta untuk membaca

dan menterjemahkan teks Arab gundul setelah dibacakan dan di terjemahkan oleh

ustadz. Hal-hal yang biasanya diperhatikan dalam menilai tingkat kemampuan para

65
santri dengan menggunakan metode sorogan adalah:

• Pembacaan yang dilakukan oleh seorang santri apakah sudah benar dalam arti

sesuai dengan aturan tata bahasa Arab baik pada tingkat kata (sharaf) maupun pada

tingkat kedudukan suatu kata dalam struktur kalimat (nahwu) atau masih belum

sesuai.

• Santri mampu menunjukkan kedudukan suatu kata dengan menggunakan

ucapan simbolik tertentu melalui pola terjemahan kata demi kata disertai pelafalan

simbol atau tanda oleh santri. Simbol atau tanda-tanda yang menunjukkan

kedudukan kata dalam kalimat. Sebagai contoh dalam kasus bahasa Jawa, di

antaranya yang sering muncul adalah: pengucapan lafal “utawi” berarti kata yang

diucapkan sesudahnya berkedudukan sebagai “mubtada” atau sebagai subjek,

pengucapan “iki” berarti kata yang dilafalkan sesudahnya itu berkedudukan sebagai

“khabar” atau predikat. Pelafalan kata “sopo” menunjukkan bahwa kata yang

disebutkan setelahnya itu berkedudukan sebagai fa’il atau pelaku, pengucapan kata

“ing” menunjukkan bahwa kata yang diucapkan sesudahnya berkedudukan sebagai

“maf’ul bih” atau sebagai objek dan seterusnya.

• Pemahaman terhadap teks yang telah dibaca dalam bentuk uraian penjelasan

atau kandungan teks setelah seorang santri menyelesaikan pembacaan sekian

kalimat atau sekian paragraf

Adapun untuk evaluasi akhir apabila telah menyelesaikan pembelajaran sebuah

kitab tertentu, seorang kyai atau ustadz melakukannya dengan sistem acak. Kyai/ustadz

66
menyodorkan kepada santri yang akan diujinya sebuah kitab yang telah berhasil

diselesaikan pembelajarannya, tetapi kitab ini adalah kitab yang masih bersih tanpa

syakl dan catatan terjemahan. Kemudian santri tadi disuruh membaca dan

menterjemahkan sekaligus dan menjelaskan isinya secara singkat pada baian-bagian

tertentu yang dianggap penting (acak)

B. Wetonan atau Bandongan

Weton / bandongan, istilah weton ini berasal dari kata wektu (bhs. Jawa) yang

berarti waktu, sebab pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu

sebelum dan atau sesudah melakukan shalat fardlu.

Metode weton ini merupakan metode kuliah, dimana para santri mengikuti

pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai yang menerangkan pelajaran secara kuliah,

santri menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan padanya.

Istilah weton ini, di Jawa Barat disebut dengan bandungan, merupakan adalah cara

penyampaian kitab kuning di mana seorang guru, kiai, atau ustadz membacakan dan

menjelaskan isi kitab kuning, sementara santri, murid, atau siswa mendengarkan,

memberi makna, dan menerima. Dalam metode ini, guru berperan aktif sementara murid

bersifat pasif. Metode bandongan atau wetonan dapat bermanfaat ketika jumlah murid

cukup besar dan waktu yang tersedia relatif sedikit, sementara materi yang harus

disampaikan cukup banyak.

Pengajian di pondok pesantren dalam proses pembelajarannya menggunakan

sistem pendidikan klasik. Sebagaimana yang berlangsung pada sebelum abad ke-12 M,

tradisi pendidikan klasik menyelenggarakan pendidikan dengan sistem bebas. Bebas di

67
sini dipahami dengan kebebasan peserta untuk mengikuti pelajaran dan menentukan

guru siapa saja. Ia boleh mengikuti pengajian itu berdasarkan kemauan dan minatnya

masing-masing. Di pihak lain, guru menyelenggarakan pengajian secara masing-masing

dengan membahas kitab sesuai dengan konsentrasi dan kemauannya. Pada sisi ini,

pengajian pasaran sesungguhnya merupakan sistem pengajaran yang asli di dalam

tradisi pendidikan Islam.

Secara teknis, pengajian biasanya dimulai setelah shalat fardhu atau pada waktu-

waktu yang ditentukan. Sang kiai melakukan pengajiannya dengan menggunakan

metode bandongan. Setelah pengajian selesai dilaksanakan, sang kiai langsung menutup

pengajian dan santri-santri pun pulang ke tempatnya masing-masing.

Metode Bandongan disebut juga dengan metode wetonan. Pada metode ini –

berbeda dengan metode sorogan. Metode Bandongan dilakukan oleh seorang kyai atau

ustadz terhadap sekelompok peserta didik, atau santri, untuk mendengarkan dan

menyimak apa yang dibacanya dari sebuah kitab. Seorang kyai atau ustadz dalam hal ini

membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas teks-teks kitab

berbahasa Arab tanpa harakat (gundul). Sementara itu santri dengan memegang kitab

yang sama, masing-masing melakukan pendhabithan harakat, pencatatan simbol-simbol

kedudukan kata, arti-arti kata langsung dibawah kata yang dimaksud, dan keterangan-

keterangan lain yang dianggap penting dan dapat membantu memahami teks.

Posisi para santri pada pembelajaran dengan menggunakan metode ini adalah

melingkari dan mengelilingi kyai atau ustadz sehingga membentuk halaqah (lingkaran}

Dalam penterjemahannya kyai atau ustadz dapat menggunakan berbagai bahasa yang

68
menjadi bahasa utama para santrinya, misalnya : bahasa Jawa, Sunda atau bahasa

Indonesia.

Sebelum dilakukan pembelajaran dengan menggunakan metode Bandongan,

seorang kyai atau ustadz biasanya mempertimbangkan hal-hal berikut;

Jumlah jamaah pengajian adalah para santri yang telah menguasai dengan baik

pembelajaran dengan menggunakan metode sorogan. Oleh karena itu, metode

Bandongan biasanya diselenggarakan untuk para santri yang bukan lagi pemula,

melainkan untuk para santri tingkat lanjutan dan tinggi.

Penentuan jenis dan tingkatan kitab yang di pelajari biasanya memperhatikan

tingkatan kemampuan para santri. Walaupun yang lebih aktif dalam pembelajaran

dengan menggunakan metode ini adalah kyai atau ustadz, tetapi para santri dilibatkan

keaktifannnya dengan berbagai macam cara, misalnya diadakan tanya jawab, santri

diminta untuk membaca teks tertentu, dan lain sebagainya.

Untuk membantu pemahaman para santri, seorang kyai atau ustadz terkadang

mempergunakan pula alat bantu atau media pengajaran seperti : papan tulis, OHP,

pengeras suara, peta, dan alat peraga lainnya.

Sebelum dilakukan kegiatan pembelajaran, biasanya terlebih dahulu seorang

kyai atau ustadz mempersiapkan apa-apa yang diperlukan sesuai dengan pemilikan

metode pembelajaran, yaitu ;

• Memiliki gambaran mengenai tingkat kemampuan para santri guna

menyesuaikan dengan bahasa dan penjelasan yang akan disampaikan.

• Merumuskan tujuan yang akan dicapai dari pemilihan kitab tersebut dan

69
tujuan pada setiap kali pertemuan.

• Menetapkan waktu yang diperlukan untuk pembacaan dan penjelasan, waktu

yang diperlukan untuk memberi kesempatan kepada para santri untuk bertanya, dan

waktu yang diperlukan untuk evaluasi pada setiap kali pertemuan.

• Mempersiapkan alat bantu atau alat peraga yang diperlukan pada pertemuan

tersebut.

• Mempersiapkan catatan-catatan khusus tentang batas-batas materi yang akan

disajikannya dan tentang penilaian kepada para santri.

• Mempersiapkan bahan yang dapat digunakan untuk perluasan pembahasan

atau penambahan wawasan.

Untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode

bandongan biasanya dilakukan langkah-langkah berikut ini ;

• Seorang kyai menciptakan komunikasi yang baik dengan para santri,

• Memperhatikan situasi dan kondisi serta sikap para santri apakah sudah siap

untuk belajar atau belum,

• Membaca do’a baik secara sendirian atau bersama-sama santri, kemudian

membukanya dengan mambaca basmallah dan shalawat.

• Seorang kyai atau ustadz dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan

membaca teks Arab gundul kata demi kata disertai dengan terjemahannya dan

pembacaan ungkapan-ungkapan atau istilah-istilah khusus (seperti = “utawi”, “iku”,

“sopo”, dsb) pada topik atau faslun (pasal) tertentu di sertai pula dengan penjelasan

70
dan keterangan-keterangan, Pada pembelajaran tingkat tinggi, seorang kyai atau

ustadz terkadang tidak langsung membaca dan menerjemahkan. Ia terkadang

menunjuk sacara bergiliran kepada para santrinya untuk membaca dan

menerjemahkan sekaligus menerangkan suatu teks tertentu. Di sini kyai atau ustadz

berperan sebagai pembimbing yang membetulkan apabila terdapat kesalahan dan

menjelaskan bila ada hal-hal yang dipandang oleh para santri sebagai sesuatu yang

asing, sulit atau rumit.

• Setelah menyelesaikan pembacaan hingga pada batas tertentu, seorang kyai

atau ustadz memeberi kesempatan kepada para santri untuk menanyakan hal-hal

yang belum jelas. Jawaban dilakukan langsung oleh kyai atau ustadz atau memberi

kesempatan terlebih dahulu kepada para santri yang lain,

• Di akhir pengajian seorang kyai atau ustadz terkadang mengemukakan

kesimpulan-kesimpulan yang dapat ditarik dari kegiatan pembelajaran yang telah

berlangsung.

Posisi pengajian para santri dengan menggunakan metode bandongan pada

praktiknya dilakukan bermacam-macam, ada yang menggunakan bentuk lingkaran

penuh seperti huruf O atau berbentuk setengah lingkaran seperti seperti huruf U atau

berbentuk berjejer lurus dan berbanjar ke belakang menghadap berlawanan arah dengan

kyai atau ustadz. Dari berbagai macam bentuk ini yang jelas para santri berkerumun

dengan duduk bersila menghadap kyai.

Pada beberapa pesantren metode ini telah diberdayakan dengan memberi

peluang tanya jawab, diskusi, bahkan sebagian telah meninggalkan metode nahwa wa

71
al-tarjamah dan menggantinya dengan langsung menggunakan bahasa Arab. Pada

keadaan demikian, kyai atau ustadz akan mempersilahkan salah seorang santri

seniornya untuk membacakan teks bahasa Arab. Kyai atau ustadz kemudian

menjelaskan langsung dengan menggunakan bahasa Arab. Selanjutnya bisa diberi ruang

waktu untuk bertanya. Teknik bandongan seperti ini akhir-akhir ini diperkenalkan oleh

kyai dan ustadz yang memiliki pengalaman belajar dengan teknik yang serupa di

negara-negara Arab.

Untuk mengevaluasi kegiatan pembelajaran di atas, seorang kyai atau ustadz

biasa melakukannya melalui dua macam tes. Pertama, pada sela-sela tatap muka atau

pada tatap muka tertentu. Kedua, pada saat telah dikhatamkannya pengkajian terhadap

suatu kitab tertentu.

Seorang kyai atau ustadz menilai berbagai aspek yang ada pada santri, baik

aspek pengetahuan terhadap penguasaan materi kitab itu, atau perilaku yang mesti

ditunjukannya sebagai hasil dari pengkajian materi kitab, ataupun keterampilan atau

praktik tertentu yang diajarkan dalam kitab tersebut.

Aspek pengetahuan (kognitif) dilakukan dengan menilai kemampuan santri

dalam membaca, menterjemahkan dan menjelaskan. Aspek sikap (afektif) dapat dinilai

dari sikap dan kepribadaian santri dalam kehidupan keseharian. Aspek keterampilan

(skill) yang dikuasai oleh para santri dapat dilihat melalui praktik kehidupan sehari-hari

ataupun –dalam bidang fiqh, misalnya– dapat dilakukan dengan praktik atau

demonstrasi yang dilakukan oleh para santri pada halaqah tersebut.

Untuk lebih memudahkan kegiatan penilaian, biasanya seorang kyai atau ustadz

72
memiliki juga catatan-catatan khusus atau memberikan perhatian khusus. Dengan

demikian diharapkan para santri belajar secara sugguh-sungguh karena merasa diawasi

dan di monitor perkembangan kemampuannya.

C. Halaqoh

Halaqah, sistem ini merupakan kelompok kelas dari sistem bandongan. Halaqah

yang arti bahasanya lingkaran murid, atau sekelompok siswa yang belajar di bawah

bimbingan seorang guru atau belajar bersama dalam satu tempat. Halaqah ini juga

merupakan diskusi untuk memahami isi kitab, bukan untuk mempertanyakan

kemungkinan benar salahnya apa-apa yang diajarkan oleh kitab, tetapi untuk memahami

apa maksud yang diajarkan oleh kitab.

Bila dipandang dari sudut pengembangan intelektual, menurut Mahmud Yunus

sistem ini hanya bermanfaat bagi santri yang cerdas, rajin dan mampu serta bersedia

mengorbankan waktu yang besar untuk studi ini, sistem ini juga hanya dapat

menghasilkan 1 persen murid yang pandai dan yang lainnya hanya sebatas partisipan.

Metode Halaqoh dikenal juga dengan istilah munazaharah yang dikembangkan dengan

baik sekali oleh KH Mustain Romli dari Jombang. Metode ini dimaksudkan sebagai

penyajian bahan pelajaran dengan cara murid atau santri membahasnya bersama-sama

melalui tukar pendapat tentang suatu topik atau masalah tertentu yang ada dalam kitab

kuning. Dalam metode ini, kiai atau guru bertindak sebagai “moderator”. Metode

diskusi bertujuan agar murid atau santri aktif dalam belajar. Melalui metode ini, akan

tumbuh dan berkembang pemikiran-pemikiran kritis, analitis, dan logis.

Pelaksanaan metode ini, beberapa orang santri –dengan jumlah tertentu– membentuk

73
halaqah yang dipimpin langsung oleh seorang kyai atau ustadz, atau mungkin juga

santri senior, untuk membahas atau mengkaji suatu persoalan yang telah ditentukan

sebelumnya. Dalam pelaksanaannya, para santri dengan bebas mengajukan pertanyaan-

pernyataan ataupun pendapatnya. Dengan demikian, metode ini lebih menitik beratkan

pada kemampuan perseorangan didalam menganalisis dan memecahkan suatu persoalan

dengan argumen logika yang mengacu pada kitab-kitab tertentu. Musyawarah dilakukan

juga untuk membahas materi-materi tertentu dari sebuah kitab yang dianggap rumit

untuk memahaminya. Musyawarah pada bentuk kedua ini bisa dugunakan oleh santri

tingkat menengah untuk memebedah topik materi tertentu.

Untuk melakukan pembelajaran dengan menggunakan metode musyawarah kyai atau

ustadz biasanya mempertimbangkan ketentuan-ketentuan berikut :

Peserta musyawarah adalah para santri yang berada pada tingkat menengah atau tinggi,

Peserta musyawarah tidak memiliki perbedaan kemampuan yang mencolok. Ini

dimaksudkan sebagai upaya untuk mengurangi kegagalan musyawarah,

Topik atau persoalan (materi) yang dimusyawarahkan biasanya ditentukan terlebih

dahulu oleh kyai atau ustadz pada pertemuan sebelumnya,

Pada beberapa pesantren yang memiliki santri tingkat tinggi, musyawarah dapat

dilakukan secara terjadwal sebagai latihan untuk para santri.

Langkah persiapan terpenting pada metode ini adalah terlebih dahulu memberikan

topik-topik materi yang akan dimusyawarakan. Pilihan topik itu sendiri amat

menentukan. Topik yang menarik umumnya mendapatkan respon yang baik dan

74
memberikan dorongan kuat kepada para santri untuk belajar. Penentuan topik secara

lebih awal ini dimaksudkan agar para peserta dapat mempersiapkan diri jauh-jauh hari

sebelum pelaksanaan. Selain itu, juga disampaikan penjelasan tentang cara-cara yang

dilakukan berkenaan dengan dipilihnya metode musyawarah.

Sebagai permulaan, seorang kyai atau ustadz, atau salah seorang santri senior

menjelaskan secara singkat permasalahan yang akan dibahas. Pada pesantren yang

memiliki ma’had aly (tahasus tingkat tinggi) penyaji adalah para santri yang telah

disusun secara terjadual dengan topik tertentu untuk meyampaikan pemikiran-pemikiran

atau persoalan-persoalannya. Para santri yang lain berfungsi sebagai penanggap yang

berkesempatan untuk menanggapi apa yang disajikan oleh penyaji yang telah

mendapatkan tugas.

Dalam kegaiatan musyawarah ini, tanggapan, pertanyaan atau sanggahan dari para

santri peserta musyawarah diarahkan langsung oleh kyai atau ustadz. Tangggapan dan

jawaban balik dari penyaji dilakukan secara bergiliran setelah tanggapan dari peserta.

Apabila terdapat kebuntuan, pimpinan musyawarah biasanya memberkan arahan-arahan

atau pemecahan mengenai persoalan atau permasalahan tersebut. Kyai atau ustadz

biasanya hadir ditempat untuk mengarahkan dan membimbing jalannya musyawarah

dan agar santri tidak kabur dari kegiatan ini.

Kegiatan penilaian dilakukan oleh seorang kyai atau ustadz selama kegiatan

musyawarah berlangsung. Hal-hal yang menjadi perhatiannya adalah kualitas jawaban

yang diberikan oleh peserta yang meliputi : argumentasi yang logis, ketepatan dan

kevalidan referensi, serta ketepatan dan kejelasan bahasa penyampaian, serta kualitas

75
pertanyaan atau sanggahan yang dikemukakan. Hal lain yang dinilai adalah pemahaman

terhadap teks bacaan, juga ketepatan peserta dalam membaca dan menyimpulkan isi

teks yang menjadi persoalan atau teks yang menjadi rujukan.

D. Hafalan atau Tahfizh

Hafalan, metode hapalan yang diterapkan di pesantren-pesantren, umumnya

dipakai untuk menghafal kitab-kitab tertentu, misalnya Alfiyah Ibn Malik atau juga

sering dipakai untuk menghafal al-Qur`an, baik surat-surat pendek maupun secara

keseluruhan. Biasanya santri diberi tugas untuk menghafal beberapa bait dari kitab

alfiyah, dan setelah beberapa hari baru dibacakan di depan kyai/ustadnya.

Hafalan adalah sebuah metode pembelajaran yang mengharuskan murid mampu

menghafal naskah atau syair-syair dengan tanpa melihat teks yang disaksiskan oleh

guru. Metode ini cukup relevan untuk diberikan kepada murid-murid usia anak-anak,

tingkat dasar, dan tingkat menengah. Pada usia di atas itu, metode hafalan sebaiknya

dikurangi sedikit demi sedikit, dan lebih tepat digunakan untuk rumus-rumus dan

kaidah-kaidah.

Dalam metode hafalan Para santri diberi tugas untuk menghafal bacaan-bacaan

tertentu dalam jangka waktu tertentu. Hafalan yang dimiliki santri ini kemudian

di”setorkan” dihadapan kyai atau ustadznya secara priodik atau insidental tergantung

kepada petunjuk sebelumnya.

Materi pembelajaran di pondok pesantren yang disajikan dengan menggunakan

metode hafalan dapat menyangkut seluruh materi pembelajaran di pesantren. Materi

juga dapat berbentuk esai atau nadzam. Dalam kegiatan pembelajarannya, seorang santri

76
ditugasi oleh kyai atau ustadz untuk meghafalkan satu bagian bacaan tertentu dari suatu

kitab, atau keseluruhan teks dari suatu kitab, sekumpulan hadits, atau sekumpulan ayat

al-Qur’an.

Dengan demikian, titik tekan pada pembelajaran ini adalah santri mampu

megucapkan atau melafalkan sekumpulan materi pembelajaran secara lancarr dengan

tanpa melihat atau tanpa membaca teks. Pengucapan atau pelafalan itu dapat dilakukan

secara perorangan dengan masing-masing menghadap (bertatap muka langsung) kepada

gurunya ataupun dilakukan secara berkelompok, diucapkan secara bersama-sama pada

waktu-waktu tertentu, baik secara khusus ataupun tidak. Seorang santri yang sudah

dapat menghafalkan suatu teks tertentu dengan baik oleh gurunya biasanya

dipersilahkan untuk menghafal teks kelanjutannya. Demikian seterusnya sampai target

hafalan yang telah ditentukan berhasil dicapai.

Metode hafalan ini dapat juga digunakan dengan metode sorogan atau metode

bandongan, yaitu setelah para santri mendapat materi pelajaran tertentu dari sebuah

kitab, santri tersebut disuruh menghafal teks yang telah dipelajari tadi untuk disetorkan

(diucapkan secara hafal) pada pertemuan berikutnya.

Metode hafalan ini termasuk yang banyak diterapkan oleh pesantren. Selain

mengandung manfaat, metode ini merupakan beban berat bagi kebanyakan santri dan

sering menyebabkan kurang berkembangnya kreativitas santri. Di banyak pesantren

kelemahan ini telah banyak disadari, karena itu mulai menguranginya dan

mengimbanginya dengan diskusi terprogram.

Evaluasi kegiatan belajar para santri dengan menggunakan metode hafalan ini

77
biasanya dilakukan dengan dua cara. Pertama, evaluasi yang dilakukan pada setiap kali

tatap muka dimana seorang santri menyetorkan kepada kyai atau ustadz tugas-tugas

hafalannya. Jika ia hafal dengan baik, ia diperbolehkan untuk melanjutkan tugas hafalan

berikutnya. Sebaliknya, jika ia belum berhasil, ia diharuskan mengulang lagi sampai

lancar untuk disetorkan kembali pada pertemuan yang akan datang.

Kedua, evaluasi setelah diselesaikannya seluruh tugas hafalan. Seorang kyai atau ustadz

menugaskan seorang santri untuk mengucapkan bagian-bagian tertentu dari hafalan

yang dimintanya, atau diminta melanjutkan kalimat atau lafadz yang diucapkan oleh

gurunya tersebut. Evaluasi model kedua ini merupakan evaluasi dengan sistem acak.

Jika dilihat dari sisi geneologi tradisi pendidikan, metode hafalan merupakan

implikasi dari pola pemikiran ahl al-hadits dan dampak dari asumsi dasar tentang

konsep ilmu sebagai “apa yang diketahui dan tetap”. Ada sebuah argumen yang

diajukan untuk mempertahankan metode ini, yakni “orang-orang yang hafal adalah

argumen atas mereka yang tidak hafal”.

Beberapa metode diatas banyak diterapkan di pondok-pondok pesantren, dan

antara metode yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan erat dan mempunyai

kelemahan serta kelebihan masing-masing, sehingga pondok-pondok pesantren

sampai sekarang masih mempertahankan metode tersebut, dan itu menjadi lambang

supremasi serta ciri khas metode pengajaran di Pondok Pesantren.

Selain metode yang empat diatas (bandongan, halaqah, sorogan dan hafalan) di

Pondok Pesantren juga mengenal metode-metode lain seperti Hiwar (musyawaroh),

bahtsul masa`il, Hiwar, Fathul Kutub, Muqaranah, dan metode-metode lain yang banyak

78
di peraktekkan di di Pondok Pesantren.

E. Metode Hiwar atau Musyawaroh

Metode Hiwar atau musyawaroh, hampir sama dengan metode metode diskusi

yang umum kita kenal selama ini. Metode ini banyak dijumpai di pondok pesantren

salafiyah, salah satunya di Pondok Pesantren Kempek, Cirebon. Bedanya metode hiwar

dilaksanakan dalam rangka pendalaman atau pengayaan materi-materi yang sudah di

santrii (kitab-kitab kuning). Yang menjadi ciri khas dari hiwar ini, santri dan guru

biasanya terlibat dalam sebuah forum perdebatan untuk memecahkan masalah yang ada

dalam kitab-kitab (berbahasa arab) yang sedang di santrii. Hiwar biasanya disebut juga

dengan istilah Musyawaroh.

Kegiatan Hiwar atau musyawarah adalah merupakan aspek dari proses belajar

dan mengajar di pesantren salafiyah yang telah menjadi tradisi khususnya bagi santri-

santri yang mengikuti sistem klasikal. Kegiatan ini suatu keharusan bagi para santri,

sama halnya seperti keharusan mengikuti kegiatan belajar kitab-kitab dalam proses

belajar mengajar. Bagi santri yang tidak mengikuti atau mengindahkan peraturan

kegiatan musyawarah, akan dikenai sangsi, karena musyawarah sudah menjadi

ketetapan pesantren yang harus ditaati untuk dilaksanakan.

Dalam hiwar, santri melakukan suatu kegiatan belajar secara kelompok untuk

membahas bersama materi kitab yang telah diajarkan oleh kyai atau ustadz. Dalam

belajar kelompok ini para santri tidak sebatas membahas topik / sub-sub topik bahasan

kitab belaka, tetapi dapat dilakukan pembahasan secara luas lafadz demi lafadz, kalimat

demi kalimat ditinjau dari gramatika bahasa Arab (ilmu alat) kemudian sampai dengan

79
bisa memahami arti/makna dan kesimpulannya. Oleh karenanya belajar dengan cara

musyawarah dipandang sangatlah efektif dan relatif cukup berhasil sehingga sampai

dewasa ini oleh pesantren salafiyah tetap dipertahankan.

Disamping untuk memperdalam dan penguasaan materi pelajaran kitab-kitab

yang telah diajarkan kyai terhadap para santri, musyawarah ternyata implikasinya

sangat positif bagi pembentukan jiwa demokratis para santri da toleransi terhadap

pendapat orang lain yang argumentatif. Kegiatan musyawarah ini umumnya

dilaksanakan setelah jama’ah sholat ‘ Isya hingga kurang lebih pukul 22.00 yang

dimonitoring langsung oleh ustadz-ustadz / santri senior.

Dalam kegiatan ini apabila santri menemui beberapa kesulitan bisa ditanyakan

langsung pada ustadz yang memandu dan memonitoring itu, sehingga hampir semua

permasalahan yang menyangkut pelajaran dari kitab yang telah diajarkan tersebut dapat

terpecahkan dan kalau ternyata masih ada permasalahan yang tersisa belum bisa

terpecahkan maka dapat dijadikan PR buat ustadz. Setelah menemukan jawabannya

ustadz tersebut akan menyampaikan pada kegiatan musyawarah berikutnya.

Dengan di akomodasinya metode ini, tidak semua pondok pesantren

memasyarakatkannya sebagai metode yang dikembangkan dalam kegiatan belajar

mengajar di di Pondok Pesantren. Sebab di sementara pondok masih ada dokrin-dokrin

yang belum bisa di reformasi, seperti siswa/santri tidak boleh banyak bertanya, harus

menundukkan wajah ketika berhadapan dengan guru, dan semacamnya.

F. Metode Bahtsul Masa`il (Mudzakaroh)

Metode Mudzakarah atau dalam istilah lain bahtsul masa’il merupakan

80
pertemuan ilmiyah, yang membahas masalah diniyah, seperti ibadah, aqidah dan

masalah agama pada umumnya. Metode ini sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan

metode musyawarah. Hanya bedanya, pada metode mudzakarah pesertanya adalah para

kyai atau para santri tingkat tinggi. Mudzakarah (diskusi) ini dapat dibedakan menjadi

dua macam : a) Mudzakarah yang diadakan sesama kyai atau ustadz. Pada tipe ini

biasanya disediakan kitab-kitab besar yang merupakan rujukan utama dan dilengkapi

dengan dalil-dalil dan metode istimbath (pengambikan hukum) yang lengkap.

Tujuannya untuk memecahkan sesuatu masalah agama dan kemasyarakatan yang timbul

atau sekedar untuk memperdalam pengetahuan agama, b) Mudzakarah yang diadakan

antara sesama santri. Tujuannya untuk melatih para santri dalam memecahkan masalah

dengan menggunakan rujukan-rujukan yang jelas dan melatih cara berargumentasi

dengan menggunakan nalar yang lurus. Mudzakarah seperti biasanya dipimpin oleh

seorang ustadz atau santri yang senior yang ditunjuk oleh kyai.

Untuk melakukan pembelajaran dengan menggunakan metode mudzakarah kyai

atau ustadz biasanya mempertimbangkan hal-hal berikut :

• Peserta mudzakarah adalah para kyai atau para santri tingkat tinggi yang

dipersiapkan untuk menjadi ustadz,

• Mudzakarah yang diperuntukkan bagi santri, pesertanya telah betul-betul

mempersiapkan diri. Ini dimaksudkan sebagai upaya untuk mengurangi kegagalan

mudzakarah,

• Topik atau persoalan (materi) yang di mudzakarahkan biasanya ditentukan

81
oleh kyai pada pertemuan sebelumnya,

Pada beberapa pesantren yang memiliki santri tingkat tinggi yang cukup,

mudzakarah biasanya dilakukan secara terjadwal sebagai latihan bagi para santri.

Langkah persiapan terpenting pada metode ini adalah menyiapkan dan pemberitahuan

topik-topik atau materi yang akan dimudzakarahkan. Hal ini dimaksudkan agar jauh-

jauh hari para peserta sudah mempersiapkan diri. Selain itu, juga disampaikan

penjelasan tentang cara-cara yang akan dilakukan berkenaan dengan teknik yang akan

dilakukan dalam mudzakarah.

Pelaksanaan metode ini, mula-mula kyai menjelaskan secara singkat

permasalahan yang akan dibahas. Pada pesantren yang telah memiliki ma’had aly

(tahasus tingkat tinggi) penyaji adalah para santri yang telah disusun secara terjadual

dengan topik tertentu untuk meyampaikan pemikiran-pemikiran atau persoalan-

persoalannya. Para santri yang lain berfungsi sebagai penanggap yang berkesempatan

untuk menanggapi apa yang disajikan oleh penyaji tadi.

Dalam kegaiatan mudzakarah ini, tanggapan, pertanyaan atau sanggahan dari

para santri peserta mudzakarah dipimpin langsung oleh kyai atau ustadz. Tangggapan

dan jawaban balik dari penyaji dilakukan secara bergiliran setelah tanggapan dari

peserta. Apabila terdapat kebuntuan, pimpinan mudzakarah biasanya memberkan

arahan-arahan atau pemecahan mengenai persoalan atau permasalahan tersebut. Kyai

atau ustadz biasanya dengan tekun mengarahkan dan membimbing jalannya

mudzakarah sehingga tidak melenceng dari tujuan.

Kegiatan penilaian dilakukan oleh seorang kyai selama kegiatan mudzakarah

82
berlangsung. Hal-hal yang menjadi perhatiannya adalah kualitas jawaban yang

diberikan oleh peserta yang meliputi : kelogisan jawaban, ketepatan dan validitas

referensi yang digunakan, nalar dan bahasa yang ditampilkan, serta kualitas pertanyaan

atau sanggahan yang dikemukakan. Hal lain yang dinilai adalah pemahaman terhadap

teks bacaan, juga kebenaran dan ketepatan peserta dalam membaca dan menyimpulkan

isi teks yang menjadi persoalan atau teks yang menjadi rujukan.

Pada dasarnya Metode Bahtsul Masa`il mengacu kepada pemecahan masalah-

masalah dalam hal fiqh (hukum Islam atau furu`iyah). Metode ini bisa digambarkan

sebagai bentuk kegiatan belajar mengajar dalam sebuah forum (bisasnya di kelas atau

masjid) yang dipandu oleh pembimbing / guru dan diikuti oleh santri-santri yang

dianggap sudah menguasai kitab-kitab tertentu untuk memecahkan permasalahan

kontemporer di sekitar hukum-hukum fiqh (termasuk di dalamnya ibadah). Metode ini

biasanya diterapkan untuk pengajaran santri-santri yang sudah senior, dimana santri-

santri tersebut sudah dianggap mampu atau menguasi kitab-kitab yang menjadi rujukan

masalah yang akan di bahas.

G. Metode Fathul Kutub

Metode Fathul Kutub biasanya dilaksanakan untuk santri-santri senior yang

sudah akan menyelesaikan pendidikan di (Pondok Pesantren). Pada dasarnya metode

ini adalah metode penugasan mencari rujukan terhadap beberapa topik dalam bidang

ilmu tertentu (Fiqh, Aqidah, Tafsir, Hadits, dll.)

Kegiatan Fathul Kutub merupakan kegiatan latihan membaca kitab (terutama

kitab klasik) untuk santri senior di pondok pesantren, sebagai wahana menguji

83
kemampuan mereka—setelah memsantrii B. Arab. Santri diberi tugas untuk membahas

persoalan-persoalan tertentu dalam akidah, fiqih, hadis, tafsir, tasawwuf, dll., serta

kemudian membuat dan menyerahkan laporan tertulis mengenai hasil kajiannya kepada

guru pembimbing. Termasuk dalam kegiatan ini adalah Fath al-Mu’jam, yaitu latihan

dan ujian membuka kamus berbahasa Arab untuk meningkatkan ketrampilan dan

kemampuan berbahasa Arab santri, terutama dalam menelusuri dan mencari makna kosa

kata.

H. Metode Muqoronah

Metode muqoronah adalah sebuah metode yang terfokus pada kegiatan

perbandingan, baik perbandingan materi, paham (madzhab), metode, maupun

perbandingan kitab. Metode muqoronah akhirnya berkembang pada perbandingan

ajaran-ajaran agama. Untuk model metode muqoronah ajaran agama biasanya

berkembang di bangku Perguruan Tinggi Pondok Pesantren (Ma`had `Ali) dikenal

dengan istilah Muqoronatul Adyan. Sedangkan perbandingan paham atau aliran dikenal

dengan istilah muqoronatul madzahib (perbandingan Mazhab).

Saat ini, dengan diterapkannya sistem klasikal di Pondok Pesantren, yaitu dengan

dikenalkannya sistem Madrasah, mau tak mau pengayaan metodologi tidak lagi sebatas

yang sudah di kenal di kalangan Pondok. Hal itu disebabkan karena terpengaruh oleh

perkembangan hidup modern yang menuntut orang maupun lembaga untuk

menyesuaikan diri dengan perkembangan tersebut. Karena itulah cara yang bisa

ditempuh agar di Pondok Pesantren tetap bisa digandrungi oleh masyarakat. Artinya

dengan memadukan pola pendidikan tradisional dengan pola pendidikan modern.

84
Pengembangan metode pendidikan saat ini sudah mulai mengenalkan metode-metode

seperti tanya jawab , Diskusi, ceramah, penugasan, dan seterusnya. Metode metode ini

tidak kami bahas dalam buku ini, mengingat metodologi tersebut sudah umum dan

banyak dibahas di buku-buku metodologi pendidikan.

I. Metode Muhawarah / Muhadatsah

Metode muhawarah adalah merupakan latihan bercakap-cakap dengan

menggunakan bahasa Arab. Aktivitas ini biasanya diwajibkan oleh Pondok Pesantren

kepada para santri selama mereka tinggal di Pondok Pesantren. Para santri diwajibkan

untuk bercakap-cakap baik dengan sesama santri maupun dengan para ustadz atau kyai

dengan menggunakan bahasa Arab pada waktu-waktu tertentu. Kepada mereka

diberikan perbendaharaan kata-kata bahasa Arab atau Inggris yang sering dipergunakan

untuk dihafalkan sedikit demi sedikit sehingga mencapai target yang telah ditentukan

untuk jangka waktu tertentu. Setelah para santri telah menguasai banyak kosa kata,

kepada mereka diwajibkan untuk menggunakannya dalam percakapan sehari-hari.

Pada beberapa pesantren, bahasa asing yang dipergunakan sebagai alat komunikasi

untuk para santri, tidak hanya menggunakan bahasa Arab tetapi juga bahasa Inggris.

Sehingga percakapan sehari-hari yang dipergunakan santri adalah bahasa Arab dan

Inggris.

Di beberapa pondok pesantren lain, latihan muhawarah atau muhadasah ini tidak

diwajibkan setiap hari, akan tetapi hanya satu kali atau dua kali dalam seminggu dan

digabungkan dengan latihan Muhadlarah/Khitabah (Pidato). Pada pesantren ini latihan

bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa asing, baik Arab maupun Inggris

85
hanyalah merupakan pelajaran tambahan (complementer) bukan pelajaran pokok.

Dalam pembelajaran dengan menggunakan metode ini, dilakukan langkah-

langkah berikut ini:

• Para santri diberikan buku panduan yang berisi daftar kosa kata dalam bahasa

Arab (atau Inggris), contoh-contoh percakapan serta aturan-aturan lainnya,

• Kepada mereka diwajibkan untuk menghafal sejumlah kosa kata dari buku

panduan tersebut. Biasanya diberikan target harian,

• Kegaiatan pembelajaran dilakukan secara kelompok atau klasikal dengan

dipandu oleh seorang ustadz berdasarkan jadual yang telah ditentukan sebelumnya

secara rutin. Biasanya satu minggu sekali,

• Ustadz melakukan tanya jawab dengan para santri dengan menggunakan

bahasa Arab atau ustadz meminta dua orang santri atau lebih untuk memperagakan

tanya jawab di hadapan teman-temannya secara bergiliran. Latihan percakapan

dapat juga dilakukan dengan meminta para santri untuk mendiskusikan

(musyawarah) topik tertentu dengan menggunakan bahasa Arab atau Inggris,

Pada pesantren yang menjadikan bahasa Arab dan Inggris sebagai alat

kominkasi sehari-hari latihan percakapan tidak hanya dilakukan di kelas dalam waktu

terjadual, tetapi dilakukan di mana dan kapan saja selama mereka berada dalam

lingkungan pesantren. Kepada mereka yang tidak menggunakan bahasa Arab atau

Inggris dikenai sangsi tertentu sebagai alat pendidikan,

Untuk meningkatkan motivasi santri, pesantren biasanya menciptakan

86
lingkungan bahasa asing itu. Misalnya, nama-nama benda dan tempat di lingkungan

pesantren ditulis dengan menggunakan bahasa Arab atau Inggris itu.

Untuk mengevaluasi kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode

muhadatsah atau muhawarah ini dapat dilakukan dengan :

• Menilai kualitas jawaban santri ketika dilakukan tanya jawab dengan ustadz,

• Menilai percakapan para santri ketika mendemonstrasikan kemampuannya di

hadapan teman-temannya,

• Mengamati percakapan para santri sewaktu kegiatan musyawarah dengan

menggunakan bahasa Arab atau Inggris,

• Meminta santri untuk mengomentari kandungan teks kitab tertentu dengan

menggunakan bahasa Arab atau Inggris.

87
BAB IV

ISYU-ISYU PEMBAHARUAN PESANTREN

Pembaharuan pendidikan di kalangan pesantren sebenarnya sudah banyak

dilakukan, setidaknya melalui sumbangan pemikiran atau pun usulan-usulan tertentu.

K.H Wahid Hasyim, misalnya mengusulkan kepada ayahnya suatu perubahan radikal

dalam sistem pengajaran di pesantren. Menurut K.H Wahid Hasyim sistem pengajaran

di atas seharusnya diganti, dari sistem Bandungan diganti dengan sistem Tutorial, yang

sistematis dan tepat diterapkan pada anak didik di suatu lembaga pendidikan sekarang

ini. Tujuannya untuk mengembangkan inisiatif dan kepribadian para santri di pesantren

dan murid-murid di sekolahan. Tapi usulannya tersebut tidak disetujui oleh ayahnya

dengan dalih jika diterapkan akan menciptakan kekacauan antara sesama pimpinan

pesantren, sehingga beliau mengusulkan untuk mendirikan Madrasah Nidzomiyah pada

tahun 1934 dengan menempatkan pengajaran pengetahuan umum 70 % dari seluruh

kurikulum Madrasah tersebut.

Pada kesempatan yang lain K.H Mahin Ilyas dengan persetujuan K.H Hasyim

Asy’ari memasukkan mata pelajaran umum, misalnya membaca, menulis huruf latin,

ilmu bumi, sejarah dan bahasa Melayu di lembaga pendidikannya, sejak saat itu surat

kabar berbahasa Melayu masuk pesantren.

K.H Hasyim Asy’ari di anggap cukup konservatif, namun pembaharuannya

dalam pesantren sempat menimbulkan reaksi yang cukup hebat, sejumlah orang tua

memindahkan anaknya ke pesantren lain karena Tebu Ireng dianggap sudah terlalu

88
modern.

H.A Mukti Ali mengatakan dalam masalah ini perlu adanya pembaharuan sistem

pendidikan di pesantren. Perlu pemikiran yang integral sebagai suatu kemutlakan dalam

mengarahkan pondok pesantren menjadi potensi pembangunan. Dalam hal ini

perkembangan pesantren harus di sesuaikan dengan kebutuhan pembangunan. Beliau

menunjuk nilai strategis pondok pesantren yang umumnya berada di desa, dan secara

historis memegang peran penting dalam kebangkitan Nasional, juga untuk

mempertahankan kemerdekaan yang sudah diraih oleh rakyat Indonesia. Harapannya

agar pondok pesantren dapat lebih melihat pengalaman-pengalaman Islam di luar, baik

soal-soal kurikuler maupun kelembagaannya, begitu juga pengalaman-pengalaman

lembaga pendidikan keagamaan agama lain.

A. KH. Imam Zarkasyi

Pembaharuan yang dilakukan oleh Imam Zarkasyi di Pondok Pesantren yang

dibinanya adalah meliputi :

a. Metode dan Sistem Pengajaran

Metode pengajaran sebenarnya merupakan hal yang setiap kali dapat

berkembang dan berubah sesuai dengan penemuan metode yang lebih efektif dan efisien

untuk mengejarkan masing-masing cabang ilmu pengetahuan. Meskipun demikian,

dalam waktu yang sangat panjang pesantren secara agak seragam mempergunakan

metode pengajaran yang lazim disebut dengan sistem Weton atau Sorogan sebagaimana

dibahas di muka.

Berbeda dengan sistem pengajaran pesantren yang berlaku di kebanyakan

89
pesantren KH Imam Zarkasyi dengan pendekatan "efisiensi waktu" dalam pengajaran,

yakni biaya dan waktu yang dikeluarkan sedikit tetapi dapat menghasilkan produksi

yang besar dan bermutu. Maka dieperlukan pembaharuan metodologi dan sistem

pengajaran.

Landasan efesiensi waktu ini kemudian dijadikan dasar dalam pembaharuan

pesantren yang kemudian dalam bentuk nyata yaitu Pondok Modern Gontor. Bagi

Imam Zarkasyi yang terpenting bagi lembaga pendidikan adalah pimpinannya atau

kepala sekolah jika itu berbentuk sekolah, kemudian gurunya, karena guru adalah

pelaku pendidikan, setelah itu cara atau metode pengajaran, sementara materi baru

menduduki rengking berikutnya. Hal ini senantiasa didengungkan beliau pada acara

perkenalan tentang pondok maupun acara-acara kuliah umum dihadapan santrinya.

Menurut beliau ukuran dari suatu lembaga pendidikan itu bukanlah materi

pelajarannya, materi pelajaran boleh sederhana, tapi dengan cara pengajaran yang baik

akan menghasilkan hasil yang baik. Berangkat dari situ kemudian beliau mengadakan

perubahan dalam cara mempelajari bahasa Arab, belajar bahasa Arab adalah untuk bisa

membaca, menulis, mendengarkan dan mengucapkan,14 dengan alasan membekali kunci

ilmu pengetahuan agama islam dan umum, maka pembaharuan yang pertama adalah

dalam hal mempelajari bahasa, anak didik dicanangkan harus menguasai bahasa

sebagai kunci pengetahuan, dengan berbekal bahasa mereka bisa menggali sendiri ilmu

pengetahuan untuk bekal hidup mereka, mereka bisa mengembangkan pengetahuan

14
Ini merupakan kriteria yang diakui para ahli pengajaran bahasa modern, dengan ungkapannya
bahasa yang tidak diucapkan sama dengan tidak dipelajari.

90
keagamaannya dengan merujuk sendiri kepada kitab-kitab referensi yang ditulis dengan

bahasa Arab, sementara untuk pengetahuan umumnya para santri dipersiapkan dengan

penguasaan bahasa Inggris. Untuk itulah pengajaran bahasa Arab maupun Inggris

diorientasikan pada penguasaan keempat kemahiran bahasa di atas dengan

mengutamakan praktek, parktek dalam berbicara, dalam mendengarkan, menulis baik

menuliskan huruf maupun mengarang, serta membaca. Al-hasil pesantren menjadi

semacam labolatorium bahasa alami dengan bahasa asing yang dipelajari sebagai bahasa

komunikasi anatara sesama santri, guru dan kyainya.

Untuk mewujudkan proses pembelajaran bahasa seperti itu didukung dengan

menyediakan berbagai sarana dan prasarana, seperti ustadz yang siap ditanya kapan

saja, berbagai kegiatan seperti latihan pidato dalam tiga bahasa Arab, Inggris, Indonesia,

lomba teater dalam tiga bahasa, lomba baca puisi juga dalam tiga bahasa, penerbitan

majalah dinding yang dikelola santri yang juga dalam tiga bahasa, serta latihan

muhadatsah baik Arab maupun Ingris, dengan pendek kata semua kegiatan dipesantren

mendukung pembelajaran bahasa dari ucapan, penglihatan maupun pendengaran.

Repolusi pengajaran bahasa ini merupakan hasil dari suatu rencana yang

panjang, yaitu jangan sampai usia habis hanya dipakai untuk menguasai kaidah bahasa

atau gramatika saja, sementara tujuan pengarajan bahasa sebagai alat untuk mencari

pengetahuan terabaikan, dengan langklah perbaikan metodologis pengajaran bahasa ini

diharapkan "waktu" yang terbuang untuk menggeluti gramatika bisa dipakai untuk

menggali pengetahuan agama dari sumbernya yang berbahasa Arab. Setelah itu

diharapkan akan membukakan wawasan pengetahuan santri hingga mampu menjadi

91
"perekat ummat" sebagai agenda utama ummat Islam.

Metode dan sistem pengajaran tersebut diterapkan dalam teori dan praktek yang

tepat. Suatu contoh dalam hal berdisiplin, yang berlaku baik bagi santri maupun guru.

Sehingga untuk santri yang bertindak sebagai pemberi sanksi adalah pengurus

organisasi yang ditunjuk oleh Kiai untuk menindak mereka yang melanggar aturan

tersebut. Guru pun demikian, bagi guru yang melanggar disiplin tersebut akan diberi

sanksi di hadapan guru-guru yang lain pada acara pembinaan mingguan yang dikenal

dengan kemisan.

. Untuk mewujudkan teorinya tentang kepala sekolah dan guru sebagai sentral

aktivitas pendidikan KH Imam zarkasyi sangat ketat memperhatikan metodologi

pengajaran, yaitu dengan memberlakukan fungsi kontrol atas penggunaan metode

pengajaran, tugas guru sebelum mengajar yang paling utama adalah membuat rencanan

pengajaran dan persiapan satuan pelajaran (Satpel) yang di Gontor dikenal dengan

sebutan I'dad Tadris, bagi guru yang akan mengajar pada keesokan harinya harus

membuat I’dad (persiapan mengajar) tertulis, dimana guru akan menyerahkan I’dadnya

tersebut kepada guru yang lebih senior yang ditunjuk oleh pimpinan pesantren. Jadi

guru dituntut untuk menguasai metodologi pengajaran, karena menurut Imam Zarkasyi

bahwa penguasaan metodologi pengajaran lebih penting daripada penguasaan materi

atau substansi itu sendiri yang dikenal dalam bahasa Arabnya At-Thariqah Ahammu

Min al-Maddah.15

15
Disarikan dari ceramah-ceramah KH. Imam Zarkasyi (Kuliah Umum) dan pengamatan
penulis secara partisifatif, gambaran di atas tidak bisa dijadikan dasar untuk mengklaim bahwa Gontor

92
Perubahan yang dilakukan KH. Imam Zarkasyi bagaimanapun mata rantainnya

dihubungkan dengan Prof. Mahmud Yunus, Imam Zarkasyi boleh dikatakan berhasil

dalam menerapkan metode pengajaran bahasa tersebut karena melaksanakannya secara

utuh.

b. Kurikulum Pendidian Pesantren

Kurikulum yang diterapkan oleh Imam Zarkasyi pada lembaga pendidikan

Pondok Modern (KMI) adalah kurikulum yang dicanang untuk pendikan dasar, artinya

anak -anak dibekali cara ibadah sehari-hari dengan baik --biasa disampaikan dalam

ceramah beliau-- dengan harapan output dari pesantren tersebut bisa beribadah, bisa

beramal sholeh, dan bisa mengembangkan dirinya di masyarakat, mengembangkan

pengetahuannya dengan bermodalkan bahasa baik pengetahuan umum maupun agama.

Jadi tidak mengacu pada kurikulum Departemen Agama atau Departemen Pendidikan

Nasional. Juga berbeda dengan kurikulum yang ada di pesantren tradisionil16.

Sebagai contoh, di lembaga pendidikannya para santri diajarkan pemahaman

ilmu Fiqh dari kitab Bidayatul-Mujtahid karangan Ibnu Rusyd di mana di pesantren

tradisionil jarang diajarkan. Di pesantren lain diajarkan pendalaman ilmu Nahwu Sharaf

dari kitab Alfiyah Karangan Imam Malik, tetapi di lembaga pendidikannya beliau

memakai kitab kecil Nahwul-Wadhih yang banyak ikhtisar contoh-contohnya. Di

hanya mengajarkan bahasa, karena gambaran suatu sistem pesantren lebih merupakan pengalaman
individu para penghuninya, dan tidak bisa diungkapkan lewat tulisan yang singkat ini.

16
Kini kurikulum KMI Gontor telah dikembangkan di tidak kurang dari 300 pesantren alumni
Gontor yang mneyebar di Indonesia dengan berbagai variannya.

93
lembaganya para santri diajarkan kitab Tafsir al-Manar karangan Muhammad Abduh

di mana di pesantren lain jarang diajarkan kepada para santrinya. Di samping itu pula

diajarkan ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan agama seperti : Bahasa

Indonesia, Al-jabar, Matematika, Fisika, Ilmu tata buku (administrasi), Psikologi,

Bahasa Inggeris dan Grammarnya, Geografi, Sejarah, dan lain sebagainya. Di samping

mempelajari kitab Durusul-Lughah (dasar-dasar bahasa Arab), Mantiq, Nahwu Sharaf,

Mahfudzat, Insya’ dan lain sebagainya yang berkaitan dengan pengetahuan ilmu agama.

Berbeda dengan Zamakhsari Dlofir, Imam Zarkasyi tidak menganggap pengajaran

kitab-kitab Islam klasik sebagai elemen dasar dari tradisi suatu pesantren, tapi

merupakan khazanah yang perlu dikaji untuk mengingat kembali zaman keemasan

peradaban Islam dahulu kala. Di mana santri perlu diberi wawasan pengetahuan agama

dan pengetahuan umum yang tak dapat dipisahkan satu sama lainnya untuk menghadapi

era globalisasi di masa yang akan datang.

Pemikiran pendidikan yang diterapkan oleh KH. Imam Zarkasyi dimulai sejak

berakhirnya masa belajar beliau di berbagai tempat dari tahun 1935 hingga tahun

wafatnya beliau, pada tahun 1985. Dalam benak Imam Zarkasyi timbul pemikiran

tentang perpaduan pengajaran ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum, di

samping penggunaan dua bahasa, Arab dan Inggeris dalam teori dan praktek, ketika

beliau mendengar pemberitahuan dari pemerintah tentang seorang utusan/delegasi yang

mampu menguasai dua bahasa sekaligus untuk dikirim ke suatu Pertemuan Kenegaraan.

Sejak saat itu beliau mulai berfikir untuk menerapkan suatu pemikiran pendidikan yang

mengarah ke masalah tersebut.

94
Pemikiran pendidikan Imam Zarkasyi sudah mendapat pengakuan dari

kalangan akademisi di Indonesia, di mana beliau pernah berjasa kepada agama, berupa

lembaga pendidikan yang sudah diakui keberadaannya dan kepada negara di mana

beliau pernah duduk dalam kepemerintahan pada Departemen Agama. Beliau

meninggalkan peninggalan yang berharga yang akan menjadi amal jariah beliau di

akhirat kelak.

B. K.H A. Wahid Hasyim dan Tebu Ireng

a. Sekilas Tentang Tebu-ireng

Tebu-ireng merupakan salah satu kiblat pesantren di Jawa bahkan Indonesia.

Dari pesantren ini lahir Jam’iyah Nahdhatul Ulama yang mengikat kyai dan umat Islam

Indonesia. Tebu-ireng didirikan oleh K.H.Hasyim Asy’ari yang mula-mula belajar

dibawah bimbingan ayahnya sendiri, kemudian melanjutkannya ke beberapa pesantren

di Wonokromo Probolinggo, Bangkalan Madura, dan Siwalan Panji. Kyai Ya’kub,

Pemimpin pesantren Siwalan mengambil K.H.Hasyim Asy’ari sebagai menantu dan

kemudian dikirim ke Makkah untuk melanjutkan studi dan menetap disana selama

tujuh tahun.

Sekembalinya dari Makkah, K.H. Hasyim Asy’ari memilih untuk mendirikan

pesantren di Tebu-ireng, desa yang dipandang hitam. Masyarakat Tebu-ireng terbiasa

dengan perjudian, mabuk-mabukan, perzinahan, dan perampokan. Kondisi inilah yang

menariknya untuk mendirikan sebuah pesantren.

Hal seperti ini pun kemudian diikuti oleh murid-murid beliau. Pesantren ini tercatat

95
resmi tahun 1899 M / 1324 H.

Pesantren Tebu-ireng sebagaimana pesantren lainnya memusatkan kegiatan

akademiknya dalam bidang agama, terutama mata pelajaran hadist. Pengenalan mata

pelajaran hadist sebagai objek studi di pesantren, menurut Martin Van Bruinessen

merupakan inivasi baru dalam dunia pendidikan pesantren. Van den berg seperti

dikutip Martin dalam penelitiannya tentang kitab-kitab yang digunakan di pesantren

pada abad ke-19 tidak mencantumkan kitab hadist. K.H.Hasyim Asy’ari seorang ulama

yang pertama kali memperkenalkan dan mengajarkan mata pelajaran tersebut. Salah

seorang gurunya Kyai Khalil Bangkalan, sering hadir mengikuti halaqah hadist yang

sampaikannya.

Dalam sistem pengajaran, pesantren Tebu-ireng mulai sejak berdirinya tahun

1899 sampai tahun 1916 memakai sistem sorogan dan bandongan sebagai metode utama

dalam mentransformasi ilmu. Kesamaan mata pelajaran dan metode pengajaran tidak

bisa lepas dari kebersamaan pemimpin pesantren dalam menuntut ilmu dari berbagai

ulama di berbagai pesantren di tanah air dan tanah suci. Namun demikian bukan berarti

mereka tidak mau mengadakan perubahan dalam bidang studi maupun metode yang

digunakan.

Setelah tahun 1916, pesantren Tebu-ireng menggunakan metode musyawarah

yang dikembangkan di kalangan santri senior dalam rangka memperdalam

pengetahuannya serta menumbuhkan sikap kritis pada para santri. Mereka diberi

kebebasan dalam mengajukan argumen terhadap suatu masalah yang diajukan serta

berdebat, dengan syarat ada rujukan dari berbagai sumber, terutama karya-karya Imam

96
Syafi’i dalam masalah fiqih.

Metode musyawarah yang dikembangkan K.H.Hasyim Asy’ari di pesantren

Tebu-ireng sangat efektif dalam proses belajar mengajar para santrinya, sehingga

banyak santri mejadi ulama dan akhirnya memimpin pesantren, seperti : Kyai Manaf

Abdul Karim (Lirboyo, Kediri), Kyai Abbas (Buntet Cirebon), Kyai As’ad Syamsul

Arifin (Asembagus, Situbondo), Kyai Jazuli (Ploso, Kediri), Kyai Zubair (Reksosari,

Salatiga), dan banyak lagi yang lainnya.

Prakarsa pembaharuan pendidikan pesantren Tebu-ireng datang dari murid dan

putranya, yaitu K.H.Muhammad Ilyas, dan Wahid Hasyim putra beliau sendiri.

Pada tahun 1916, Kyai Ma’sum menantu K.H.Hasyim Asy’ari , dengan dukungan

Wahid Hasyim, memasukkan sistem madrasah ke dalam sistem pendidikan pesantren.

Pada tahun 19Tiga tahun berikutnya kurikulum madrasah tersebut ditambah dengan

pendidikan umum, seperti : Bahasa Indonesia (Melayu), Matematika, dan ilmu Bumi.

Pada tahun 1926, K.H . Muhammad Ilyas memasukkan pelajaran bahasa Belanda dan

sejarah kedalam kurikulum madrasah atas persetujuan K.H.Hasyim Asy’ari.

Pembaharuan pendidikan pesantren Tebu-ireng menimbulkan reaksi yang cukup

hebat dari masyarakat dan kalangan pesantren, sehingga sejumlah orang tua

memindahkan anak-anaknya ke pesantren yang lain, karena pesantren Tebu-ireng sudah

dianggap sudah terlalu modern. Reaksi tersebut tidak menyurutkan proses pembaharuan

pesantren Tebu-ireng. Hal tersebut terus berlangsung dan dilanjutkan oleh Wahid

Hasyim dengan mendirikan madrasah modern di lingkungan pesantren.

b. Pemikiran Wahid Hasyim tentang Pendidikan Pondok Pesantren

97
Umat Islam yang mulai menyadari akan kelemahan dan keterbelakangannya di

abad 20, mulai berusaha mengadakan pembaharuan dalam segala bidang kehidupan,

untuk mengejar ketinggalan dan keterbelakangan mereka, termasuk usaha-usaha dalam

bidang pendidikan, maka muncullah para pembaharu dalam dunia Islam seperti :

Abdullah bin Abdul Wahab, Jalaluddin al-Afghani, Rasyid Ridha, Muhammad Abduh,

dan lainnya. Gerakan pembaharuan di dunia Islam berpengaruh pula ke Indonesia. Hal

ini mempengaruhi pemikiran Wahid Hasyim dalam memperbaharui sistem pendidikan

pesantren.

1. Aspek Tujuan

Pada tahun 1993, Wahid Hasyim kembali ke Indonesia, ia mulai terjun dalam

dunia pendidikan, yaitu di pesantren Tebu Ireng. Secara berhati-hati ia menyusun dan

mengembangkan ide-ide tentang pembaharuan pendidikan Islam. Disamping itu ia juga

mengadakan perjalanan untuk mengadakan studi comparative tentang berbagai model

pendidikan yang sedang berkembang di lingkungan pesantren maupun sekolah-sekolah

umum yang dikelola oleh Pemerintah Kolonial Belanda.

Studi comporative tidak hanya dilakukan didalam negeri, bahkan ia mengadakan

studi cooperative ke luar negeri, terutama di negara-negara Islam Timur Tengah.

Disamping itu ia mempelajari literatur yang ada kaitannya dengan masalah yang sedang

dihadapi. Dengan demikian ia banyak menggunakan waktunya untuk membaca buku-

buku, majalah, dan surat kabar yang mendukung perjuangannya.

Majalah dan surat kabar yang ia baca, antara lain : Penyeber Semangat, Daulat

Ra’jat, Pandji Pustaka, Umul Qurra, Sautul hijaz, al-Lata’if al- Musyawarah, Kullu

98
Syaiin wal Dunya, dan al-Istnain. Ketiga majalah Indnesia tersebut diterbitkan oleh

kalangan nasionalis, sedang kelima majalah Arab di atas diterbitkan di Timur Tengah.

Adalah sangat menarik diperhatikan disini bahwasannya sejak muda ia telah melibatkan

diri dengan pola pikir dari kelompok masyarakat dan golongan yang lebih luas. Hal ini

memudahkan kita untuk memahami mengapa ia mengadakan rekonstruksi terhadap

sistem pendidikan pesantren.

Dalam mengadakan perubahan terhadap sistem pendidikan pesantren, ia

membuat perencanaan yang matang. Ia tidak ingin gerakan ini gagal di tengah jalan.

Untuk itu, ia mengadakan langkah-langkah sebagai berikut :

Menggambarkan tujuan dengan sejelas-jelasnya.

Menggambarkan cara mencapai tujuan itu.

Memberikan keyakinan dan cara, bahwa dengan sungguh- sungguh tujuan dapat

dicapai.

Pada awal tujuan yang pendidikan Islam khususnya pesantren lebih

berkonsentrasi pada urusan ukhrawiyah (akhirat), nyaris terlepas dari urusan

duniawiyah (dunia). Karena tujuannya yang demikian, warna sistem pendidikan

pesantren sangat didominasi oleh warna-warna fiqih, tasawuf, ritual, sakral dan

sebagainya. Orientasinya kemasa lampau dan terpaku ke “dunia sana”, sedangkan

“dunia kini” dianggap sebagai dunia mainan. Orientasi demikianlah menurut Mastuhu,

disebabkan oleh sumber teologi yang fatalistis dan tidak rasional.

Orientasi pendidikan yang hanya berkonsentarsi pada urusan akhirat menurut

Al-Amir Syakib Arsalan, merupakan salah satu penyebab tertinggalnya kaum muslim

99
dengan negara-negara lain, Penolakan tersebut menurutnya tidak rasional dan

bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Bukankah manusia diciptakan oleh Allah

untuk menjadi khalifah di muka bumi dan memakmurkannya. Bagaimana manusia

dapat memakmurkan bumi tanpa ilmu pengetahuan.

Dari hal diatas kemudian tujuan pesantren dirumuskan hanya sebagai

“mencetak” para ulama / ahli agama belaka, mengakibatkan pesantren tidak menerima -

untuk tidak dikatakan menolak- pelajaran non-agama masuk dalam kurikulum

pesantren. Dengan alasan pelajaran tersebut tidak sesui dengan tujuan keagamaan yang

dimiliki pesantren. Dalam hal tujuan belajar di pesantren, Wahid Hasyim memberikan

alternatif lain kepada para santri. Ia menyarankan hendaknya sebagian besar santri

untuk tidak menjadi ulama.

Hal tersebut cukup beralasan, karena dalam kenyataanya bahwa dalam sietem

pendidikan agama yang paling eksklusif sekalipun, tidak semua siswanya dapat

“dicetak” menjadi ulama. Di samping itu pengertian ulama dalam kalangan pesantren

telah mengalami penyempitan makna, sehingga ulama hanya digunakan untuk orang-

orang yang menekuni bidang-bidang ilmu agama dan merendahkan ilmu- ilmu umum.

Ada beberapa alasan mengapa Wahid Hasyim mengusulkan alternatif demikian,

antara lain:

• Para santri tidak perlu menghabiskan waktu sampai puluhan tahun untuk

belajar bahasa Arab dan mengakumulasi pengetahuan dari para kyai di berbagai

pesantren.

• Para santri dapat mempelajari agama Islam dari buku-buku yang ditulis

100
dengan bahasa latin.

• Para santri dapat memfokuskan waktunya untuk mempelajari berbagai

pengetahuan dan ketrampilan lainnya yang dapat digunakan untuk kepentingan

dirinya sendiri dan masyarakat.

Walau demikian, ia tetap berharap adanya sebagian santri yang betul-betul

menjadi ulama dengan mempelajari bahasa Arab dan pengetahuan agama secara

mendalam.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan pesantren menurut

Wahid Hasyim adalah mencetak santri yang berkepribadian muslim dan bertaqwa

kepada Allah serta memiliki ketrampilan sehingga santri dapat mandiri dan berkiprah

pada masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Dengan rumusan tujuan pendidikan

yang demikian ia tidak ingin lagi melihat santri yang lebih rendah kedudukannya dalam

masyarakat dari kaum terpelajar Barat.

2. Aspek Kurikulum

Meski tidak pernah mengenyam pendidikan modern, wawasan berfikir Wahid

Hasyim dikenal cukup luas. Hal ini dapat diduga sebagai hasil dari luasnya bacaan

beliau, sebagai mana telah disinggung diatas. Wawasan ini kemudian diaplikasikan

dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial dan pendidikan. Pada tahun 1935,

misalnya, ia bersama K.H Muhammad Ilyas mendirikan madrasah Nizhamiyah.

Berkembangnya madrasah di Indonesia di awal abad ke-20, merupakan wujud dari

upaya pembaharuan pendidikan Islam yang dilakukan oleh cendikiawan muslim

termasuk didalamnya Wahid Hasyim, yang melihat bahwa lembaga pendidikan Islam (

101
pesantren ) dalam beberapa hal tidak lagi sesuai dengan tintutan dan perkembangan

zaman.

Kedekatan sistem belajar mengajar ala madrasah dengan sistem belajar mengajar

ala sekolah yang dikembangkan Pemerintah Kolonial Belanda saat itu, membuat

banyak orang berpendapat bahwa madrasah sebenarnya merupakan bentuk lain dari

sekolah, hanya saja diberi muatan dan corak keislaman.

Madrasah Nizamiyah didirikan dengan pertimbangan bahwa kurikulum pesantren yang

hanya memfokuskan kepada ilmu-ilmu agama mengakibatkan santri mengalami

kesulitan untuk bersaing dengan siswa yang mendapat pendidikan Barat. Kelemahan

santri menurut Wahid Hasyim, disebabkan oleh lemahnya penguasaan pengetahuan

umum (sekuler), bahasa asing, dan skill dalam berorganisasi.

Dengan penguasaan ketiga komponen tersebut santri akan mampu bersaing

dengan mereka yang mendapatkan pendidikan Barat dalam menempati posisi di

masyarakat. Untuk itu ia mendisain kurikulum madrasah tersebut dengan kurikulum

yang hanya ilmu-ilmu agama tetapi juga ilmu-ilmu umum, termasuk bahasa Belanda

dan Inggris.

Apa yang dilakukan Wahid Hasyim jelas merupakan inovasi baru bagi kalangan

pesantren. Pada saat itu, pelajaran umum masih dianggap tabu dalam kalangan

pesantren karena identik dengan penjajah. Kebencian pesantren terhadap penjajah

membuat pesatren mengharamkan semua yang berkaitan dengannya, seperti memakai

pantalon, dasi dan topi,bahkan pengetahuan umum.

Usaha pembaharuan yang dilakukannya bukan pekerjaan yang tanpa resiko,

102
banyak kritikan yang datang datang dari masyarakat bahkan ulama pesantren. Ia

dianggap telah mencampuradukkan perkara agama dan dunia, ia pun dianggap telah

merusak sistem pendidikan pesantren, dan lain sebagainya. Kritikan itu disambut

olehnya dengan tenang dan ia tetap berjalan dengan keyakinannya sebagai seorang

idealist.

Yang menonjol dalam hal kurikulum ini adalah pemahaman Wahid Hasyim

terhadap konsep ilmu. Ia menganggap bahwa Islam tidak memisahkan pengetahuan

agama dan pengetahuan umum. Saksinya ratusan ayat Al-Qur’an, kata ilmu dengan

berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Al-Qur’an. Dalam pandangan Al-Qur’an,

ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia unggul tehadap makhluk-makhluk

lain guna menjalankan fungsi kekhalifahan.

Selain itu ia pun ingin menghilangkan dikotomi ilmu pengetahuan agama dan

ilmu pengetahuan umum yang saat itu melanda dunia pendidikan Islam pada umumnya

dan khususnya pondok pesantren.

Tidak ada yang menyangkal dikotomi pendidikan di Indonesia, yaitu pendidikan

umum disatu pihak dan pendidikan agama dipihak lain adalah warisan Kolonial

Belanda. Dikotomi tersebut menurut Wahid Hasyim sangat berbahaya bagi umat Islam

Indonesia, sistem pendidikan semacam ini akan melahirkan ilmuan-ilmuan yang tak

bermoral dan ulama yang tidak kenal zamannya.

3. Aspek Metode Pengajaran

Wahid Hasyim ketika berumur 17 tahun sempat belajar selama 1 tahun di

Makkah. Sekembalinya ke Tebu-ireng, ia mengusulkan kepada ayahnya suatu

103
perubahan metode pengajaran di pesantren. Usulan itu antara lain agar sistem

bandongan di ganti dengan sistem tutorial yang sistematis dengan tujuan untuk

mengembangkan inisiatif dan kepribadian santri. Hal ini dikarenakan dalam kelas yang

menggunakan metode tersebut santri datang hanya mendengar, menulis catatan, dan

menghapalkan mata pelajaran yang telah diberikan, tidak ada kesempatan untuk

mengajukan pertanyaan atau berdiskusi. Secara singkat, menurut Wahid Hasyim,

metode bandongan akan menciptakan kepastian dalam diri santri.

Wahid Hasyim belum merasa puas dengan perubahan yang ia lakukan, ia pun

menganjurkan para santri untuk belajar organisasi dan membaca. Pada tahun 1936 ia

mendirikan IKPI ( Ikatan Pelajar Islam ). Selain itu ia juga mendirikan perpustakaan

dengan koleksi buku 1.000 buku yang kebanyakan buku-buku keagamaan. Perpustakaan

tersebut juga berlangganan majalah dan surat kabar, seperti : Panji Islam, Dewan Islam,

Islam Bergerak, Berita Nahdhatul Ulama, Adil, Nurul Islam, Al-Munawarah, Panji

Pustaka, Pustaka Timur, Pujangga Baru, dan Penyebar Semangat. Kesebelas jurnal

diatas mewakili Pandangan kaum tradisionalis, modernis, dan nasionalis

. Perubahan metode pengajaran dan pendirian perpustakaan merupakan kemajuan

yang luar biasa yang terjadi pada pesanten ketika itu. Dengan hal tersebut Wahid

Hasyim mengharapkan terjadinya proses belajar mengajar yang dialogis, dimana posisi

guru ditempatkan bukan lagi sebagai satu-satunya sumber belajar, pendapat guru

bukanlah suatu kebenaran mutlak sehingga kendapatnya dapat dipertanyakan bahkan

dibantah oleh santri ( murid ) dan proses belajar mengajar berorientasi pada murid

sehingga potensi yang dimiliki akan terwujud dan ia akan menjadi dirinya sendiri.

104
Dalam proses pembelajaran murid tidak hanya dijadikan objek pendidikan akan tetapi ia

dijadikan subjek pendidikan itu sendiri. Sedangkan Guru memposisikan diri sebagai

motivator, dan fasilitator dalam proses pembelajaran.

C. KH. Ahmad Dahlan DanPerguruan Muhammadiyah

Mengapa perlu mengemukakan profil Ahmad Dahlan dalam pembahasan

pondok pesantren ini. Mungkin itu pertanyaan yang pertama kali dilontarkan ketika

nama pendiri Muhammadiyah, sebagai ormas Islam terbesar kedua setelah Nahdlatul

Ulama, diulas dalam buku ini. Tidak ada alasan spesifik memang, tetapi beliau

merupakan cikal bakal Perguruan Muhammadiyah yang beberapa diantaranya bida

disebut dengan Pondok Pesantren, paling tidak kita bisa mengenal ide-ide dalam

pendidikan dan kepesantrenan dalam Perguruan Muhammadiyah.

Dilihat dari jumlah amal usahanya Muhammadiyah merupakan organisasi Islam

terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Dibandingkan dengan amal usaha lainnya,

bidang pendidikan merupakan amal usaha Muhammadiyah yang terbesar. Bahkan,

pendidikan telah menjadi “trade-mark” gerakan Muhammadiyah. Berbagai jenis

pendidikan sepertisekolah, madrasah, dan pesantren dari jenjang pendidikan dasar

sampai perguruan tinggi berdiri kokoh di seluruh penjuru Nusantara Bahkan di beberapa

negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.

Besarnya jumlah lembaga pendidikan tersebut merupakan bukti konkrit peran

penting Muhammadiyah dalam proses pemberdayaan umat Islam dan pencerdasan

bangsa. Dalam konteks ini Muhammadiyah tidak hanya berhasil mengentaskan bangsa

Indonesia dan umat Islam dari kebodohan dan penindasan, tetapi juga menawarkan

105
suatu model pembaharuan sistem pendidikan “modern” yang tetap terjaga identitas dan

kelangsungannya.

Diskusi tentang pendidikan Muhammadiyah sebagai salah satu pembaharu

pendidikan Islam di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pemikiran para pendirinya.

Salah satu tokoh pendidikan Muhammadiyah yang paling menonjol adalah Ahmad

Dahlan ; penggagas dan pendiri gerakan Muhammadiyah yang karena perjuangan dan

kepeloporannya dalam memajukan bangsa dan pendidikan nasional dianugerahi gelar

Pahlawan Nasional.

Ahmad Dahlan tidak pernah mengenyam pendidikan formal di sekolah-sekolah

model pendidikan Belanda. Ahmad Dahlan menikah dengan Siti Walidah, gadis

Kauman yang masih sepupunya. Dari pernikahannya dengan Siti Walidah, Ahmad

Dahlan dikaruniai dua orang putra dan empat orang putri.

Seperti umumnya para santri pada waktu itu, setelah memiliki dasar-dasar

pendidikan agama Islam Ahmad Dahlan menjadi “musafir pencari ilmu” yang

mengembara dari satu pesantren ke pesantren lainnya untuk mendalami ilmu agama

seperti ilmu fiqh, nahwu, hadits, qira’ah dan falaq. Dalam salah satu sejarah disebutkan

Ahmad Dahlan pernah belajar ilmu falaq kepada Kyai Saleh Darat, salah seorang ulama

terkenal yang tinggal di kampung Darat, Semarang. Di pesantren ini pula, KH Hasyim

Asy’ari, pendiri Nahdhatul Ulama (NU) pernah belajar.

Pada tahun 1890, di saat usia mencapai 22 tahun, Ahmad Dahlan dikirim oleh

ayahnya untuk melaksanakan ibadah haji dan memperdalam ilmu agama. Dalam

kesempatan tersebut, Ahmad Dahlan banyak belajar ilmu agama dari para ulama

106
terkenal. Diantara gurunya adalah Sayyid Bakri Syata’, salah seorang mufti Madzhab

Syafi’i yang bermukim di Makkah. Bahkan Sayyid Bakri Syata’-lah yang memberikan

atau mengganti nama Muhammad Darwis menjadi Ahmad Dahlan . Sepulang dari

ibadah haji yang pertama Ahmad Dahlan kemudian mulai mengajar mengaji di

kampungnya dan beberapa kali menjadi badal ayahnya bahkan karena kemampuannya,

Ahmad Dahlan kemudian diangkat menjadi salah seorang khatib di masjid Besar

Kasulthanan Yogyakarta menggantikan posisi ayahnya.

Setelah beberapa tahun lamanya bekerja sebagai khatib dan berdagang batik di

beberapa daerah, Ahmad Dahlan mendapat kesempatan untuk menunaikan ibadah haji

yang kedua kalinya. Setelah ibadah haji, Ahmad Dahlan tidak langsung pulang ke

tanah air melainkan menyempatkan diri tinggal di Makkah selama satu setengah tahun

untuk memperdalam ilmu agama kepada para ulama Timur Tengah. Ahmad Dahlan

memperdalam ilmu fiqh kepada Kyai Machfudz Termas dan Said Babusyel, ilmu hadits

kepada mufti Madzhab Syafi’i, ilmu falaq kepada Kyai Asy’ari Bacaan dan ilmu qiraah

kepada Syeikh Ali al-Musri Makkah.

Dalam kesempatan bermukim di Makkah tersebut Ahmad Dahlan juga sempat

berdialog dengan para ulama Nusantara yang bermukim di Makkah di antaranya

Muhammad Khatib Minangkabau, Kyai Nawawi Banten, Kyai Mas Abdullah Surabaya

dan kyai Faqih Kumambang Gresik. Kesempatan dialog yang pada akhirnya

mengilhami dan mendorongnya untuk melakukan reformasi di Indonesia adalah

dialognya dengan Syeikh Muhammad Rasyid Ridha, seorang tokoh modernis dari

Mesir.

107
Di samping aktif melakukan dialog dengan para ulama Ahmad Dahlan juga

aktif membaca majalah dan kitab. Majalah yang dibacanya adalah al-Manar dan al-

Urwat al-Wutsqa. Sedangkan kitab yang sering dikaji dan diajarkannya adalah , At-

Tauhid (Muhammad Abduh), Kanz al-‘Ulum, Tafsir Juz Amma (Muhammad Abduh),

Da’irah al-Ma’arif (Farid Wajdi), Al-Islam Wal Nasriyyah (M. Abduh) - Tafshil

al-Nasyatin Tahshil al-Sa’adatain Fi’il Bid’ah (Ibnu Taimiyah), Izhar al-Haqq (Rahmat

Allah al-Hindi), Matan al-Hikam (Ibnu‘Atha Allah), Al-Tawassul wa al-Wasilah

siyyah al - Qashaid al-Aththa (‘Abd Athithas), dan lain-lain.

Dengan kedalaman ilmu agama dan ketekunannya dalam mengikuti gagasan-

gagasan pembaharuan Islam, Ahmad Dahlan kemudian aktif menyebarkan gagasan

pembaharuan Islam ke pelosok-pelosok tanah air. Sambil berdagang batik Ahmad

Dahlan melakukan tabligh dan diskusi keagamaan, dan pada akhirnya -atas desakan

dari para muridnya- pada tahun 1912 M. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi

Muhammadiyah.

Faktor terpenting yang mendorong Ahmad Dahlan untuk mendirikan organisasi

adalah:

• Kenyataan bahwa umat Islam Indonesia telah banyak yang meninggalkan al-

Qur’an dan Sunnah. Mereka cenderung melakukan perbuatan-perbuatan yang

termasuk takhayul, bid’ah, dan syirk. Amalan-amalan mereka merupakan campuran

antara yang hak dan yang batil.

• Lembaga-lembaga pendidikan agama Islam yang ada ketika itu tidak efisien;

tidak menjawab tantangan dan tuntutan perkembanganmasyarakat. Lembaga

108
pendidikan terpecah menjadi dua: pendidikan sekuler dan pendidikan pesantren

yang hanya mempelajari ilmu-ilmu agama dalam arti sempit. Akitabnya umat

terpecah dan hal ini menyebabkan semakin melemahnya kekuatan umat.

• Mayoritas umat Islam yang terdiri dari petani dan buruh menjadi semakin

miskin. Sementara yang kaya tidak ingat berzakat, sehingga hak-hak orang miskin

terabaikan.

• Aktivitas misi Kristen semakin gencar. Bahkan mereka mendapat bantuan

dari penjajah Belanda.

• Kebanyakan umat Islam terperangkap dalam fanatisme sempit, taklid buta,

dan pola hidup yang statis.

Untuk mewujudkan tujuan-tujuan di atas Muhammadiyah melakukan berbagai

aktivitas sebagai berikut:

• Menggalakkan dan meningkatkan mutu pendidikan umat Islam. Hal ini

dimaksudkan agar umat Islam dapat mengerti ajaran-ajaran agama mereka secara

benar. Ajaran agama yang benar itu ialah yang memurnikan tauhid, memperteguh

iman, meningkatkan ibadah, memperbaiki akhlak, meluaskan dakwah amar makruf

nahi mungkar

• Mengadakan pembaruan ajaran-ajaran agama agar selaras dengan tantangan

zaman.

• Memperbarui ajaran-ajaran agama dan sistem pendidikan Islam.

• Mempertahankan Islam dari segala pikiran dan perbuatan yang bertentangan

109
dengan Kitab dan Sunnah.

Ahmad Dahlan adalah seorang yang sangat berani. Baginya, kebenaran harus

tetap dilaksanakan dan ditegakkan, sekalipun harus berhadapan dengan kekuasaan. Hal

ini dia buktikan dalam dua hal. Pertama, kiblat masjidBesar Kasultanan yang menurut

Ahmad Dahlan tidak sama persis dengan perhitungan falaq. Ahmad Dahlan kemudian

mengundang para Khatib dan penghulu untuk melakukan diskusi tentang kiblat Masjid

Besar tersebut, yang sekalipun tidak dihadiri oleh para Khatib, tetapi kemudian banyak

diikuti oleh kalangan muda Kauman yang kemudian membuat garis-garis shaf sesuai

konsep falaq Ahmad Dahlan.

Kasus kedua adalah ketika terjadi perbedaan penentuan tanggal 1 Syawwal atau

Hari Raya Idul Fitri antara perhitungan falaq dengan perhitungan aboge (kalender

Jawa). Ahmad Dahlan dengan diantar oleh Kanjeng Penghulu memberanikan diri

menghadap Kanjeng Sulthan dan menyampaikan perhitungan falaqnya. Gagasan

Ahmad Dahlan diterima. Shalat ‘Id dilaksanakan sesuai dengan perhitungan Ahmad

Dahlan tetapi grebeg dilaksanakan sesuai dengan perhitungan aboge.

Selain aktif menyebarkan gagasan pembaharuan keagamaan dan menyerukan

gerakan kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah serta memberantas segala bentuk

Takhayul, Bid’ah, Curafat (TBC) dan Taklid, Ahmad Dahlan juga mendirikan sekolah

dan madrasah Muhammadiyah serta mengajarkan pelajaran agama sebagai pelajaran

ekstra kurikuler di Kweekschool, Jetis, Yogyakarta dan Osvia Magelang. Menurut

Ahmad Dahlan sebagai calon pamong praja, para siswa di sekolah tersebutperlu

mendapatkan pelajaran agama. Inilah terobosan dan gagasan besar Ahmad Dahlan.

110
Ahmad Dahlan adalah sosok yang banyak melakukan amal daripada menulis. Di

samping aktif di Muhammadiyah Ahmad Dahlan juga aktif di partai politik seperti

Budi Utomo dan Sarikat Islam. Hampir seluruh hidupnya digunakannya untuk beramal

dan memperjuangkan kemajuan umat Islam dan bangsa. Ahmad Dahlan meninggal

pada tanggal 7 Rajab 1340 H atau 23 pebruari 1923 M dan dimakamkan di

Karangkadjen, Kemantren, mergangsan, Yogyakarta.

a. Pemikiran Pendidikan Ahmad Dahlan

Ahmad Dahlan adalah tokoh yang tidak banyak meninggalkan tulisan. Ahmad

Dahlan lebih menampilkan sosoknya sebagai manusia amal atau praktisi daripada

filosuf yang banyak melahirkan pemikiran dan gagasan-gagasan tetapi sedikit amal.

Sekalipun demikian tidak berarti bahwa Ahmad Dahlan tidak memiliki gagasan. Amal

usaha Muhammadiyah merupakan refleksi dan manifestasi pemikiran Ahmad Dahlan

dalam bidang pendidikan dan keagamaan. Istilah pendidika di sini dipergunakan dalam

konteks yang luas tidak hanya terbatas pada sekolah formal tetapi mencakup semua

usaha yang dilaksanakan secara sistematis untuk mentransformasikan ilmu

pengetahuan, nilai dan ketrampilan dari generasi terdahulu (tua) kepada generasi muda.

Dalam konteks ini termasuk dalam pengertian pendidikan adalah kegiatan pengajian,

tabligh dan sejenisnya.

Pada bagian ini akan dibahas pemikiran kependidikan Ahmad dahlan

sebagaimana yang dikemukakannya dalam ceramah dan pengajian serta tulisan-

tulisannya dan yang tercermin dalam amal usaha Muhammadiyah terutama pendidikan

(sekolah, madrasah dan pesantren).

111
b.Tujuan Pendidikan

Ahmad Dahlan tidak secara khusus menyebutkan tujuan pendidikan. Tetapi dari

pernyataan yang disampaikannya dalam berbagai kesempatan, tujuan pendidikan

Ahmad Dahlan adalah : “ Dadijo Kijahi sing kemadjoean, adja kesel anggonmoe

njamboet gawe kanggo Moehammadijah”. Dalam pernyataan sederhana tersebut,

terdapat beberapa hal penting, yaitu “kijahi”, “kemadjoean” dan “njamboet gawe

kanggo Moehammadijah”. Istilah Kiai merupakan sosok yang sangat menguasai ilmu

agama.

Dalam masyarakat Jawa, seorang Kiai, adalah figur yang shalih, berakhlaq mulia

dan menguasai ilmu agama secara mendalam. Istilah kemajuan secara khusus menunjuk

kepada kemoderenan sebagai lawan dari kekolotan dan konservatisme. Pada masa

Ahmad Dahlan kemajuan sering diidentikkan dengan penguasaan ilmu-ilmu umum atau

intelektualitas dan kemajuan secara material. Sedangkan kata “njamboet gawe kanggo

Moehammadijah” merupakan manifestasi dari keteguhan dan komitmen untuk

membantu dan mencurahkan pikiran dan tenaga untuk kemajuan umat Islam, pada

khususnya, dan kemajuan masyarakat pada umumnya. Berdasarkan pemahamam

tersebut, tujuan pendidikan menurut Ahmad Dahlan adalah untuk membentuk manusia

yang :

1.‘Alim dalam ilmu agama;

2. Berpandangan luas, dengan memiliki pengetahuan umum;

3.Siap berjuang, mengabdi untuk Muhammadiyah dalam menyantuni nilai- nilai

keutamaan pada masyarakat.

112
Rumusan tujuan pendidikan tersebut merupakan “pembaharuan” dari tujuan

pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan pesantren dan

pendidikan sekolah model Belanda. Di satu sisi pendidikan pesantren hanya bertujuan

untuk menciptakan individu yang salih dan mendalami ilmu agama. Di dalam sistem

pendidikan pesantren tidak diajarkan sama sekali pelajaran dan pengetahuan umum

serta penggunaan huruf latin. Semua kitab dan tulisan yang diajarkan menggunakan

bahasa dan huruf Arab.

Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan “sekuler”

yang di dalamnya tidak diajarkan agama sama sekali. Pelajaran di sekolah ini

menggunakan huruf latin. Akibat dualisme pendidikan tersebut lahirlah dua kutub

intelegensia : lulusan pesantren yang menguasai agama tetapi tidak menguasai ilmu

umum dan lulusan sekolah Belanda yang menguasai ilmu umum tetapi tidak menguasai

ilmu agama.

Melihat ketimpangan tersebut Ahmad Dahlan berpendapat bahwa tujuan

pendidikan yang “sempurna” adalah melahirkan individu yang “utuh” : menguasai ilmu

agama dan ilmu umum, material dan spiritual serta dunia dan akhirat. Bagi Ahmad

Dahlan kedua hal tersebut (agama-umum, material-spiritual dan dunia-akhirat)

merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Inilah yang menjadi alasan

mengapa Ahmad Dahlan mengajarkan pelajaran agama ekstra kurikuler di

Kweekschool Jetis dan Osvia Magelang serta mendirikan madrasah Muhammadiyah

yang didalamnya mengajarkan ilmu agama dan ilmu umum sekaligus.

b. Materi Pendidikan

113
Berangkat dari tujuan pendidikan tersebut Ahmad Dahlan berpendapat bahwa

kurikulum atau materi pendidikan hendaknya meliputi :

Pendidikan moral, akhlaq yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik

berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah.

Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang

utuh yang berkeseimbangan antara perkembangan mental dan jasmani, antara keyakinan

dan intelek, antara perasaan dengan akal pikiran serta antara dunia dan akhirat.

Pendidikan kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan

keinginan hidup bermasyarakat. (Arifin, 1987)

Meskipun demikian, Ahmad Dahlan belum memiliki konsep kurikulum dan

materi pelajaran yang baku. Muatan kurikulum pelajaran agama menurut Ahmad

Dahlan bisa dilihat dari materi pelajaran agama yang diajarkannya dalam pengajian-

pengajian di madrasah dan pondok Muhammadiyah. K.R.H Hadjid, salah seorang murid

Ahmad Dahlan, mengumpulkan ajaran gurunya ke dalam sebuah buku berjudul “Ajaran

Ahmad Dahlan dan 17 Kelompok Ayat-Ayat Al-Quran” yang merupakan catatan

pribadinya selama mengikuti pelajaran agama. Dari pelajaran tersebut dapat

dikelompokkan bahwa Ahmad Dahlan banyak menyampaikan materi yang berkaitan

dengan keimanan, akhlak dan semangat untuk berjuang membela agama dan membantu

sesama.

B. Muhammadiyah dan Pemberdayaan Masyarakat

Dengan visi-visi Ahmad Dahlan, Muhammadiyah tercatat sebagai salah satu

organisasi sosial keagamaan yang memainkan peranan penting dalam memperkuat

114
posisi masyarakat, memberdayakan rakyat dan mengembangkan masyarakat madani.

Sebagai organisasi sosial kemasyarakatan yang lingkupnya luas, Muhammadiyah

menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat.

Jauh sebelum diskursus tentang masyarakat sipil atau masyarakat madani marak

di Indonesia, Muhammadiyah telah memunculkan suatu perbincangan tentang

masyarakat utama. Istilah masyarakat utama ini kemudian dimantapkan pada muktamar

ke-41 tahun 1985 di solo dan dimasukkan kedalam rumusan tujuan Muhammadiyah.

Disamping disebut sebagai padanan istilah khairu ummah, konsep tentang masyarakat

utama inipun oleh para tokoh Muhammadiyah dicoba didekati dengan pendekatan civil

society.

Pada awalnya, organisasi ini merupakan gerakan pembaruan Islam di Indonesia

yang kemudian berkembang, tidak hanya memberantas TBC (tahayul, bid’ah dan

Kurafat) –dalam transliterasi sekarang ditulis khurafat- tapi juga meningkatkan kualitas

hidup umat. Karena arah organisasi ini selalu modern, maka Kuntowijoyo

menyebuutnya sebagai gejala kota. Muhammadiyah mewakili masyarakat baru,

masyarakat industri dan modern yang membedakannya dengan organisasi keagamaan

lainnya yang tradisionalis. Dalam Anggaran Dasar (AD) awalnya hingga dalam jangka

waktu lama, cita-cita kemasyarakatan Muhammadiyah memang tidak begitu tampak.

Yang lebih menonjol adalah rumusan tentang pedoman bertindak dancara-cara

berorganisasi. Dan yang menggerakkan hati . Ahmad Dahlan untuk membentuk

organisasi ini adalah QS. Ali Imran, 3:104.

Seorang tokoh Muhammadiyah yang juga tokoh ICMI, M. Dawam Rahardjo

115
mengemukakan bahwa dalam perspektif ajaran Islam, Muhammadiyah menggunakan

istilah yang lebih konseptual dan substansial, yaitu masyarakat utama (al-Mujtama al-

Fadhil). Menurutnya, istilah ini merupakan terjemahan dari istilah Quran: “Khairu

Ummah”. Istilah Quran itu sendiri memang masih memrlukan penjelasan, bahkan

sampai saat inipun diperlukan penggaliannya dari al-Quran dan sejarah Nabi SAW.

Dalam mensubstansikan masyarakat utama, masyarakat madani, masyarakat baru,

ataupun khairu ummah diperlukan konsep atau teori. Konsep civil society merupakan

konsep yang dapat dipakai untuk memahami istilah-istilah tersebut.

Gagasan ideal untuk mewujudkan masyarakat madani seperti yang diagendakan

Muhammadiyah ke-41 di Solo, memang patut kita cermati, mengingat Muhammadiyah

memang memiliki ruang lingkup gerakan dan amal usaha yang sangat luas. Hampir

disetiap daerah perkotaan kita dapat menemukan berbagai amal usahanya, mulai dari

lembaga pendidikan, panti asuhan ataupun rumah sakit. Secara sederhana kenyataan ini

menunjukkan bahwa Muhammadiyah memiliki pusat kegiatan sosial yang telah mapan

dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Perkembangan kuantitatif amal usaha ini

disertai dengan pertumbuhan kualitatif yang tercermin dari pengaruh Muhammadiyah

terhadap kelahiran berbagai peran sosial yang diusulakan oleh kelompok ataupun tokoh

masyarakat.

Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi yang teleh mengobarkan jiwa

pembaruan pemikiran Islam di negeri ini. Jiwa pembaruan yang melekat pada diri

pendiri organisasi ini telah ditempa sejak dia belajar di Mekkah selama 5 tahun, yaitu

antara 1890-1895. Pada tahun 1903 dia kembali ke Mekkah untuk belajar lagi selama 3

116
tahun. Di Mekkah dia belajar tauhid, tafsir, fikih, tasawwuf, qira’at, mantiq, dan falak.

Selama di Mekkah tokoh ini tertarik dengan pikiran-pikiran Ibn Taimiyah, Muhammad

bin Abdul Wahhab, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Rida.

Perkenalannya dengan pemikiran tokoh-tokoh itu dimungkinkan karena lingkungan

Mekkah saat itu telah dipengaruhi dan diwarnai oleh ide-ide pembaruan yang

dimunculkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab yang kemudian dilanjutkan dan

dikorbarkan oleh para pengikutnya.

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa ide-ide pembaruan yang digagas oleh Ibn

Taimiyyah sangat mendalam pengaruhnya dalam semangat dan pikiran-pikiran

pembaruan Muhammad bin Abdul Wahhab. Pengobaran semangat pembaruan yang

dilakukan Ibn Abdul Wahhab ini kemudian berpengaruh bagi meningkatnya minat para

ulama untuk menelaah kembali karya-karya Ibn Taimiyyah. Kondisi kondusif untuk

pembaruan yang diupayakan oleh para pengikut Ibn Abdul Wahhab, termasuk dan

terutama para penguasa Kerajan Arab Saudi dari keturunan Muhammad Sa’ud,

memungkinkan lahirnya para tokoh pembaru semisal Jamaluddin, Abduh, dan Rida.

Pengaruh mereka inilah yang kemudian terlihat kental dalam oraganisasi yang didirikan

oleh K.H. Ahmad Dahlan ini.

Sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, saat ini Muhammadiyah telah

menjangkau seluruh pelosok Indonesia. Pertumbuhan ini berlangsung begitu cepat,

tidak sampai 15 tahun dari masa berdirinya organisasi ini telah menjangkau wilayah-

wilayah yang cukup luas di luar Jawa.

Di Aceh Muhammadiyah telah masuk untuk pertama kali tahun 1922/1923 melalui

117
Djajasukarta. Perkembangannya menjadi sangat cepat setelah A.R. Sutan Mansur masuk

ke wilayah ini pada tahun 1927.

Wilayah Sumatra Barat telah dimasuki Muhammadiyah sejak tahun 1925. Di

sini Muhammadiyah mendapat dukungan kuat dari seorang ulama kenamaan Dr. Haji

Abdul Karim Amrullah, pelopor gerakan pembaruan di wilayah ini.

Pada tahun 1927 Muhammadiyah tersebar di Sumatra bagian timur dibawa oleh orang-

orang yang datang dari Tapanuli, Sumatera Barat dan Jawa. Merekalah yang pertama

mendirikan Muhammadiyah di tempat ini.

Untuk wilayah Kalimantan, Muhammadiyah masuk melalui para saudagar yang

datang ke sana. Perintis Muhammadiyah di Kalimantan adalah H. Usman Amin, dari

Alabio, Hulu Sungai Utara. Tokoh ini masuk menjadi anggota Muhammadiyah tahun

1923, dan pada 1925 dia kembali ke Alabio untuk menyiarkan Muhammadiyah di sana.

Pada 1925 Muhammadiyah memasuki wilayah Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah.

Sedangkan untuk Kalimantan Selatan, Muhammadiyah imasuk ke wilayah ini pada

tahun 1926.

Melalui seorang orator ulung H. Abdullah, Muhammadiyah masuk ke daerah

Sulawesi. Keberadaan Muhammadiyah di Sulawesi ini menjadi semakin berkembang

setelah Pimpinan Pusat Muhammdiyah mengutus M. Yunus Anis ke daerah ini tahun

1928.

Perkembangan Muhammadiyah ini tidak hanya terbatas di dalam negeri, bahkan

ia telah menjangkau negeri-negeri jiran. Pada tanggal 25 Desember 1957 berdirilah

Muhammadiyah di Singapur yang dirintis oleh Ustadz Abdurrahman Haron. Sedangkan

118
di Malaysia, Muhammadiyah untuk pertama kali didirikan di Pulau Penang tahun 1967

oleh Ustadz Zainal Abidin Zamzam. Selanjutnya Muhammdiyah didirikan di Thailand

pada tanggal 11 Agustus 1988, tepatnya di Kabupaten Canak, Propinsi Songkhla,

Thailand Selatan.

Demikian pula, sebagai organisasi besar, Muhammadiyah mempunyai beberapa

organisasi otonom yang gerak dan tujuannya seiring dengannya. Organisasi-organisasi

itu adalah:

• Aisyiyah, didirikan tahun 1917 oleh K.H. Ahmad Dahlan. Organisasi ini

bergerak dan berjuang di kalangan kaum ibu atau muslimat Indonesia.

• Nasyi’atul Aisyiyah, berdiri tahun 1930, untuk membina remaja putri Islam.

• Pemuda Muhammadiyah, didirikan tahun 1350/1932 berdasarkan hasil

keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-21 di Ujung Pandang. Organisasi ini

dimaksudkan untuk membina dan menggerakkan potensi pemuda Islawm.

• Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), didirikan tahun 1381/1961. Organisasi

ini bertugas membina dan menggerakkan potensi para pelajar Islam.

• Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), didirikan tahun 1384/1964. IMM

dibentuk untuk membina dan menggerakkan potensi para mahasiswa Islam; baik

dalam bidang keagamaan, kemasyarakatan, ataupun kemahasiswaan.

• Tapak Suci, didirikan tahun 1963. Tapak Suci juga disebut Persatuan Pencak

Silat Putra Muhammadiyah.

• Hizbul Wathan (HW), didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan tahun 1918.

119
Organisasi ini bergerak di bidang kepanduan. Andil HW cukup besar dalam

menyiapkan para pemuda Indonesia untuk menghadapi penjajah Belanda. Di antara

mantan anggota HW adalah Jenderal Sudirman yang pada tahun 1945 diangkat oleh

Presiden RI, Sukarno, menjadi Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat yang

menjadi cikal bakal TNI. Pada tahun 1961, HW ditiadakan dan dileburkan ke dalam

Gerakan Pramuka.

Muhammadiyah dengan segala perangkat organisasi, amal usaha, dan

perjuangannya telah memberikan andil yang cukup besar dalam mencapai dan

mengisi kemerdekaan negeri ini; baik dalam sisi pendidikan, dakwah,

kemasyarakatan, dan ekonomi.

Paparan di atas mencerminkan adanya usaha-usaha keras yang dilakukan para

ulama (intelektual muslim) yang senantiasa mencoba mengadakan perbaikan dalam

tehnis dan materi penyampaian ajaran Islam kepada ma syarakat, selain juga

mencerminkan adanya upaya pembaruan pesantren secara khusus dan pendidikan

ummat secara lebih umum sperti yang dilakukan Ahmad Dahlan. Berbagai ide-ide

cemerlang tersebut pada akhirnya saling mlengkapi dan mewujudkan trend baru dalam

kepesantrenan, Pesantren kini telah menjadi trade mark pendidikan Islam di Indonesia

secara umum dengan berbagai variasi baik yang bersifat organisasi kelembagaan,

variasi materi pembelajaran dan bahkan variasi mazhab yang dianutnya sesuai dengan

latarbelakang keilmuan dan keyakinan tokoh para pendirinya.

Sampai di sini nampak pembaharuan di bidang metodologi pengajaran dan

sistem nampaknya sudah mulai menunjukkan adanya upaya modernisasi pesantren.

120
Dan hasil yang dapat dilihat adalah terbentuknya pola pesantren dengan istilah

salafiyah17 yang berarti mengajarkan kitab-kitab sebagaimana yang berlaku di pesantren

pada umumnya, pesantren yang berpola modern dengan cara klasikal dan penjenjangan,

penyederhanaan materi dan perbaikan metodologi, yang lazim disebut pesantren

modern. Dua tipe pesantren ini kemudian banyak melahirkan corak dan ragamnya, di

antaranya ada pesantren salafiyah plus madrasah Aliyah, dengan pembagian waktu

bagai santri untuk belajar disekolah-sekolah Aliyah atau SMA dan belajar mengaji ke

pesantren serta tinggal di sana sepulang sekolah, dari pesantren pola ini biasanya --

sebagaimana juga pesantren modern--melahirkan alumni yang bisa melanjutkan

studinya hingga jenjang perguruan tinggi.

Kenyataan ini pada gilirannya akan merubah --ini mulai nampak-- pola ke

kyaian, kini mulai bermunculan kyai yang bergelar sarjana yang tentu saja akan

berpotensi melahirkan kultur baru dalam kepesantrenan. Selain itu nampak juga terlahir

tipe -tipe peantren yang akarnya bisa di tarik dari iide pembaharuan di atas. Secara

singkat tipe tersebut akan penuli sajikan dalam bentuk tabel di bawah ini:

Tabel Tipe Pesantren di Indonesia Pasca Pembaharuan

NO Tipe Metode & Kurikulum Contoh Pesantren


1 Salafiyah Murni Sorogan, Wetonan, bahsul Pesantren kecil di
masaail. Kurikulum pesantren pedesaan
Pada umumnya, tauhid, ilmu
alat, fiqih, tafsir, dll.
2 Salafiah Plus Selain metode salafiyah dan Biasanya pesantren
Madrasah pengajian kitab juga besar seperti Tebu
menyelenggarakan pendidikan Ireng, Pesantren
sekolah Mts, Aliyah atau SLTP, Buntet, almasturiyah

17
Istilah ini diakui dan sering kali disebutkan dalam papan nama serta kop surat pesantren.

121
SLTA Sukabumi dll
3 Salafiyah Plus Metode dan materi salafiyah, Daru Tauhid
sekolah di luar namun memperbolehkan bagi Arjawinangun,
pesantren santri untuk belajar di sekolah Miftahul Huda
lain Manonjaya dll
4 Pesantren Modern ala Klasikal dengan materi dan KMI Gontor dan
Gontor Murni. kegiatan tersusun kurikulum Cabang-cabangnya,
TMI/KMI Gontor ponpes Modern Al-
Ikhlash Kuningan, Al-
Amin, Prenduan
Madura dll.
5 Pesantren Modern ala Kegiatan sama dengan Gontor Ponpes Laa Tansa
Gontor Plus Mts .MA diikut sertakan Aliyah dan Cipanas Lebak,
Tsanawiyah atau SLTP, SMA Daruunajah Jakarta,
dll.
6 Pesantre Modern + Mengambil sebagian kegiatan Pesantern Miftahul
Salafiyah pola Gontor dan Falah Ciomas Bogor
menyelenggarakan pengajian dll.
kitab-kitab pesantren salafiyah

Selain enam tipe di atas sebenarnya masih banyak varian lain yang sangat

ditentukan oleh konsep dari pimpinan pesantren sendiri seperti takhashush dalam

tahfiidz al-Qur'an, tafsir, kaligrafi,18pertanian dan lain sebagainya dan penulis yakin

akan senantiasa muncul varian baru sesuai dengan perkembangan

intelektual,pengalaman dan wawasan para pendiri atau pemimpin pesantren.

18
Baru dirintis Drs. Didin Sirajuddin MA di Gunung puyuh, Sukabumi.

122
BAB V

POLA PEMBERDAYAAN SANTRI DI PONDOK PESANTREN

Pembahasan mengenai santri, bagaimana sebaiknya menjadi santri atau

memberdayakan santri dalam keterpaduan kegiatan intra maupun ekstra asrama

(Pondok Pesantren) masih kurang sekali. Padahal santri dan pembinaan santri

merupakan komponen yang tidak kalah pentingnya dari komponen komponen lain

Pondok Pesantren yang saling terkait menjadi sebauah kesatuan system19 (Kyai, Ustadz,

Asrama, Masjid, Kitab, dst).

Tulisan singkat ini akan memberikan wawasan bagaimana profil santri Pondok

Pesantren, bagaimana santri memposisikan diri dalam intensitas kegiatan Pondok

Pesantren dan kegiatan di luar asrama, dan bagaimana santri menyusun agenda

programnya secara mandiri untuk menyiapkan masa depannya. Pembahasan ini akan

mendiskripsikan kegiatan santri mengambil setting pemberdayaan santri di beberapa

Pondok Pesantren, antara lain Pondok Darul Ma’rifat Gurah, Kediri, Pondok Pesantren

Al-Barokah Nganjuk, dan Pondok Pesantren Burhanul Abror Besuki Situbondo.

Ketiganya dipilih untuk merepresentasikan Pondok Pesantren dengan setting modern20

(Kholafiyah), pertengahan dan tradisional (Salafiyah).

A. Potret Kegiatan Santri di Pesantren

19
Tentang pembahasan ini ada catatan pemaknaan kegiatan di Gontor yang ditulis oleh Muhammad
Arwani, Denyut Nadi Santri, (Yogyakarta: Tajidu Press,2001) cet-ke1.
20
Yang dimaksud setting modern adalah peantren-pesantren dengan Pondok Modern Gontor sebgai
modelnya, biasanya pesantren tersebut didirikan dan dikelola oleh alumni Gontor, dikenal dengan sebutan
pondok alumni Gontor. Kegiatan santri di pesantren tersebut pada umumnya sama dengan kegiatan di
Gontor.

123
Kegiatan santri di dalam asrama biasanya dikoordinasikan dan ditangani oleh

Pengasuhan Santri, sebagai perpanjangan tangan pengasuh pondok (Kyai) dalam

mebina dan mendidik santri. Kegitan santri di asrama ini biasanya melaui organisasi

santri (OSIS kalau di SMU) dan Gerakan Pramuka. Di sini hanya akan diuraikan

mengenai jadwal kegiatan santri. Badan pengasuhan santri di pondok-Pondok Pesantren

yang berkategori Salafiyah biasanya ditangani oleh organisasi santri dan kepala asrama

(lurah pondok). Organisasi santri juga membawahi beberapa bagian, salah satunya

bagian keamanan dan organisasi asrama. Pada bahasan berikut ini akan dikemukakan

profil kegiatan santri di asrama dengan mengambil setting Pondok Pesantren Darul

Ma’rifat, Sumbercangkring, Gurah, Kediri Jawa Timur.

Kegiatan santri di Pondok Pesantren darul Ma’rifat Kediri dapat dibagi menjadi

kegiatan harian, mingguan, tengah tahunan, dan tahunan. Tabel berikut ini akan

memberikan gambaran secara ringkas kegiatan harian santri.

1. Kegiatan Harian

Jadwal Kegiatan Harian

No Jam Kegiatan
1 04.00-05.30 1. Bangun tidur
2. Salat Subuh berjam’ah.
3. Penambahan kosa kata (Arab atau Inggris)
4. Membaca al-Qur’an

2 05.30-06.00 Olahraga
Mandi
Kursus-kursus bahasa, kesenian, ketrampilan, dll.

3 06.00-06.45 Makan pagi


Persiapan masuk kelas

4 07.00-12 .30 Masuk kelas pagi

124
5 12.30-14.00 Shalat Zuhur berjamaah
Makan Siang
6 14.00-15.00 Masuk kelas sore
7 15.00-15.45 Shalat Ashar berjamaah
Membaca al-Qur'an
8 15.45-16.45 Aktivitas bebas / olahraga
9 16.45-17.15 Mandi
Persiapan ke Mesjid
10 17.15-18.30 Shalat Magrib berjamaah
Baca al-Qur'an
11 18.30-19.30 Makan Malam
12 19.30-20.00 Shalat Isya berjamaah
13 20.00-22.00 Belajar malam
14 22.00-04.00 Istirahat dan Tidur
Pergantian dari satu kegiatan ke kegiatan lain ditandai dengan bunyi bel. Ada

dua bel yang digunakan: besar dan kecil; bel besar dibunyikan sebagai tanda pergantian

kegiatan dari pagi sampai sore, sedangkan pada malam hari, mulai maghrib digunakan

bel kecil.

Kegiatan santri sehari-hari diawali dengan bangun pagi, salat subuh berjama’ah

di kamar masing-masing untuk kelas I-IV dan di masjid untuk kelas V dan VI, terus

pemberian kosa kata atau struktur kalimat bahasa Arab atau Inggris, serta kemudian

membaca al-Qur’an. Setelah itu itu santri punya kegiatan bebas, ada yang belajar,

mencuci dan mandi, berolahraga, mengikuti kursus-kursus bahasa, kursus kesenian,

kursus ketrampilan, dll. Pada jam enam bel berbunyi tanda kegiatan-kegiatan kursus dan

olahraga sudah harus berhenti, kemudian mandi, makan pagi, dan persiapan masuk

sekolah.

Jam 06.45 bel berbunyi tanda berakhirnya waktu makan pagi dan santri sudah

mengosongkan asrama, kamar mandi, dapur, dan tempat-tempat lain untuk masuk kelas.

Jam 07.00 mulailah kegiatan belajar pagi di kelas-kelas sampai jam 12.50, diselingi

125
istirahat dua kali, jam 08.30-09.00 dan jam 11.15-11.30. Jam 12.50 sekolah pagi

berakhir dan santri bersiap-siap salat zuhur berjama’ah, dilanjutkan dengan makan siang

dan istirahat sekadarnya sebelum kemudian pada jam 14.00 murid-murid kelas IV ke

bawah masuk kursus sore.

Kelas kursus sore difokuskan untuk materi-materi bahasa dan materi-materi lain

untuk menunjang program masuk kelas pagi. Guru-guru yang mengajar kursus sore

sebab besar terdiri santri-santri senior (kelas VI), sebagai wahana pendidikan mengajar,

ditambah guru-guru yunior khususnya untuk mengajar kelas IV dan III intensif.

Pengaturan pelajaran sore ini dilakukan oleh Bagian Pengajarn dengan bimbingan guru-

guru bagian pelajaran sore. Ini merupakan media yang baik untuk berlatih

kepemimpinan dalam wujud mengatur dan menyelenggarakan kegiatan sosial untuk

tujuan akademik intelektual.

Jam 15.00 tepat bel berbunyi tanda berakhirnya kursus sore dan kemudian salat

`Ashar berjama’ah dan dilanjutkan kemudian dengan membaca al-Qur’an. Jam 15.45

bel berbunyi lagi tanda dimulainya waktu kegiatan bebas setelah salat `Ashar. Kegiatan

bebas ini sama dengan kegiatan bebas pada pagi hari. Sampai kemudian berbunyi bel

jam 16.45 tanda seluruh kegiatan bebas harus sudah berhenti dan bersiap-siap untuk

salat Maghrib berjama’ah. Jam 17.00 seluruh santri harus sudah berada di Masjid guna

membaca al-Qur’an menyongsong datangnya Maghrib. Setelah waktu salat Maghrib

tiba dikumandangkan azan, setelah itu dibaca Sya’ir Abu Nawas, yang selalu dibaca

setiap selesai azan dan sebelum salat ditunaikan. Sya’ir ini berisi penyesalan seorang

hamba yang telah banyak berbuat dosa kemudian bertobat memohon ampunan-Nya.

126
Seusai salat Maghrib dan wiridan, Bagian Penerangan membacakan

pengumuman-pengumuman dalam bahasa Arab atau Inggris, yang berisi permohonan

dibacakan doa al-Fatihah untuk santri atau kerabat santri yang sakit; pengumuman

pertemuan-pertemuan konsulat, klub-klub olahraga, kursus-kursus, dll. Pengumuman ini

biasanya didengarkan oleh sebab santri dengan harap-harap cemas; cemas karena

merasa melanggar disiplin dan menunggu pengumuman di panggil ke kantor bagian

yang berwenang, misalnya kantor Bagian keamanan, kantor Bagian Penggerak Bahasa,

kantor Bagian Pengajaran, atau kantor Staf Pengasuhan Santri untuk panggilan

pelanggar disiplin dari kelas V dan VI; sedangkan harap, berharap dapat panggilan dari

Bagian Penerimaan Tamu untuk menemui orang tua atau kerabatnya yang datang.

Lepas salat Maghrib para santri membaca al-Qur’an sampai berbunyi bel tanda

waktu makan malam. Pada jam makan malam ini sebab santri ada yang langsung makan

dan ada yang mengikuti pertemuan-pertemuan serta ada yang mendatangi panggilan ke

kantor-kantor penegek disiplin seperti disebutkan di atas untuk disidang

mempertanggungjawabkan pelanggarannya.

Jam 19.30-20.00 waktunya jama’ah salat Isya. Seusai salat Isya para santri

belajar malam untuk mengulangi pelajaran dan mempersiapkan untuk pelajaran hari

esok. Belajar malam ini dilakukan secara bersama di bawah bimbingan wali kelas

masing-masing. Belajar malam ini terkadang digunakan oleh guru-guru yang materinya

tertinggal atau belum mencapai target yang telah ditentukan untuk menambah pelajaran

guna mengejar ketertinggalan tersebut. Kegiatan ini berlangsung hingga jam 22.00 saat

santri memasuki waktu istirahat malam dan seterusnya tidur, untuk kemudian bangun

127
esok hari jam 04.00 dan melaksanakan kegiatan harian seperti biasanya.

2. Kegiatan Mingguan

Untuk memberi gambaran tentang kegiatan di Pondok Pesantren Darul Ma’rifat

dalam kurun waktu seminggu, berikut ini adalah gambaran kegiatan mingguan.

Jadwal Mingguan

No Hari Kegiatan
1 Sabtu Tidak ada perubahan dari jadwal harian
2 Ahad Pagi hari sesuai jadwal harian
Pagi hari seperti jadwal harian, malam hari,
setelah Jama’ah `Isya’ ada latihan pidato
(muhadharah) dalam Bahasa Inggris untuk kelas
I-IV, kelas V acara diskusi, dan kelas VI menjadi
pembimbing untuk kelompok-kelompok latihan
pidato.
3 Senin Tidak ada perubahan dari jadwal harian
4 Selasa Pagi hari, sesetelah jama’ah subuh, latihan
percakapan bahasa Arab/Inggris, dilanjutkan lari
pagi wajib untuk para santri.

5 Rabu Tidak ada perubahan dari jadwal harian


6 Kamis Dua jam terakhir pelajaran pagi digunakan untuk
latihan pidato dalam bahasa Arab. Siang, jam
13.45-16.00, dipakai latihan Pramuka. Malam
hari, jam 20.00-21.30 ada latihan pidato dalam
bahasa Indonesia.
7 Jumat Pagi hari ada kegiatan percakapan dalam bahasa
Arab/Inggris dan dilanjutkan dengan lari pagi
wajib untuk para santri. Setelah lari pagi diadakan
kerjabhakti membersihkan lingkungan kampus.
Selanjutnya acara bebas.

Perlu sedikit diterangkan mengenai sebab kegiatan mingguan di atas:

• Latihan pidato

Latihan pidato diadakan 3 kali seminggu, masing-masing untuk bahasa

Inggris, Arab, dan Indonesia, di bawah bimbingan santri kelas VI. Latihan pidato ini

128
ditangani oleh Bagian Pengajaran dan guru-guru pembimbing. Santri dibagi dalam

kelompok-kelompok terdiri dari lebih kurang 40 orang. Tiap-tiap kelompok itu

dibagi lagi menjadi beberapa kelompok kecil lebih kurang 8 orang untuk

memudahkan penggiliran tugas berpidato ataupun piket menyiapkan dan

membersihkan ruangan. Tiap-tiap anggota kelompok yang mendapatkan tugas

berpidato untuk bahasa tertentu menulis persiapannya dalam buku khusus untuk

kemudian diserahkan kepada pembimbing latihan pidato untuk dikoreksi. Setelah

dikoreksi buku dikembalikan ke pemiliknya untuk dibaca dan dihapalkan guna

dipidatokan pada waktu yang telah ditentukan.

Acara pidato dipimpin oleh seorang pembawa acara, dimulai dengan

pembacaan al-Qur’an, selanjutnya pembukaan, pidato-pidato secara bergiliran oleh

anggota kelompok yang bertugas, tanggapan dan komentar atau ulasan dari kira-kira

5 peserta selain anggota kelompok yang sedang bertugas yang ditunjuk oleh

pembawa acara, pengabsenan dan pengumuman-pengumuman mengenai petugas

untuk kesempatan-kesempatan berikutnya serta nasehat-nasehat dari pembimbing,

terakhir penutup. Pakaian yang dikenakan peserta adalah seperti pakaian masuk kelas

pagi: baju warna polos dimasukkan ke celana dan bersepatu, pembawa acara berdasi

dan mengenakan jas, adapun pembicara semuanya mengenakan dasi.

• Lari Pagi dan Latihan Percakapan Arab/Inggris

Lari pagi diadakan seminggu dua kali: Selasa dan Jum’at. Lari pagi ini diatur

oleh Bagian Olahraga dan dipimpin secara langsung oleh pengurus asrama. Pakaian

lari pagi adalah pakaian olahraga: kaos, training, dan sepatu. Setiap asrama

129
mempunyai kaos tersendiri untuk lari pagi, dan santri wajib mengenakan kaos

tersebut saat lari pagi. Seusai Salat Subuh santri langsung berganti pakaian olahraga,

kemudian secara per kamar dan per asrama menuju tempat yang telah ditentukan.

Sebelum lari pagi mereka mengadakan latihan percakapan bahasa Arab/Inggris

dengan topik dan teks yang sebelumnya telah dibagikan, di bawah pengawasan

bagian penggeraka bahasa dan bagian penggerak bahasa di asrama-asrama.Setelah

latihan percakapan selesai, dikomando mulai lari per anggota kamar dan per asrama.

Bagian olahraga kamar dan ketua kamar memimpin langsung lari pagi untuk setiap

kamar dan untuk kelompok asramanya dipimpin oleh bagian olahraga asrama

dibantu oleh ketua asrama dan bagian keamanan asrama. Jarak tempuh lari pagi lebih

kurang 2,5 km., untuk hari Selasa dan 4 km., untuk hari Jum’at.

• Latihan Pramuka

Latihan pramuka ditangani oleh organisasi kepramukaan yang ada, dengan

dibantu oleh pembina-pembina pramuka dari seluruh siswa kelas V. Sehari

sebelumnya, yakni Rabu sore, para andika dan pembina serta pembantu pembina

telah menyiapkan perangkat-perangkat latihan yang diperlukan, di antaranya

pioneering, untuk latihan Kamis sore itu di tempat yang ditentukan. Dalam berlatih

pramuka seluruh santri wajib memakai pakaian pramuka dan atribut-atribut yang

telah ditentukan. Latihan dimulai dengan upacara pembukaan (pengibaran bendara)

dan ditutup dengan upacara penutupan (penurunan bendera). Santri dibagi menjadi 9

gugusdepan demikian pula pembina dan pembantu pembinanya. Setiap gugusdepan

dibagi lagi menjadi pramuka penggalang dan penegak. Penggalang dibagi lagi

130
menjadi satuan-satuan ramu, rakit, dan terap, kemudian masing-masing dibagi

menjadi regu-regu; penegak juga dibagi menjadi satuan bantara 1 dan 2 serta laksana

1 dan 2, selanjutnya semuanya dibagi lagi menjadi sangga-sangga.

Dalam melatih, pembantu pembina harus mempunyai persiapan tertulis di

buku yang telah dicetak untuk kepentingan tersebut. Persiapan latihan itu diserahkan

kepada Majelis Pembimbing Gugusdepan, terdiri dari guru-guru yang ditunjuk,

untuk diteliti dan disahkan. Pembantu pembina yang melatih tanpa persiapan akan

dikenai sangsi. Materi-materi latihan sangat variatif yang meliputi latihan upacara,

baris-berbaris dengan segala variasinya, sandi-sandi, semaphore, tali-temali,

ketangkasan, bernyanyi, bermain, berkemah, ketrampilan, P3K, SAR, dll.

3. Kegiatan Tahunan

Di antara acara tahunan yang sangat penting adalah penyelenggaraan Pekan

Perkenalan Khutbatul `Arsy (orientasi kePesantrenan), yang bertujuan mengenalkan

kepada santri kehidupan di Pondok secara menyeluruh. Acara-acara yang diadakan pada

Pekan Perkenalan ini antara lain:

• Pengajaran lagu Hymne Pondok (Oh Pondokku) untuk siswa baru.

• Pekan olahraga dan seni. Olahraga yang dilombakan meliputi: atletik, sepak

bola, bola basket, voly, bulutangkis, tenis meja, dan sepak takraw. Sedangkan lomba

seni meliputi: baca puisi, tarik suara, menulis cerpen, kaligrafi, volk song, dan

beladiri. Di samping itu pada pekan ini juga diadakan lomba-lomba permainan dan

ketangkasan yang menghibur.

131
• Jambore dan Raimuna, yang dihadiri oleh pondok-pondok cabang dan

pondok-pondok yang dikelola alumni, diadakan di lapangan Pondok, selama 3 hari.

• Lomba cerdas tangkas antar asrama

• Lomba membaca al-Qur’an dengan lagu atau MTQ

• Lomba senam antar rayon (asrama)

• Lomba baris-berbaris antar rayon

• Apel Tahunan, apel ini wajib diikuti oleh seluruh santri dan guru. Santri atau

guru yang absen dari acara ini dikenai skors selama setahun. Acara ini diawali

dengan upacara dan yang bertindak sebagai inspektur upacara adalah Pimpinan

Pondok. Seusai upacara diadakan parade barisan yang terdiri dari barisan Pengibar

bendera, Bhinneka tunggal ika (barisan santri yang mengenakan pakaian suku-suku

di seluruh Indonesia), barisan pramuka peserta Jambore dan Raimuna dari pondok-

pondok cabang dan pondok alumni Gontor, barisan (sebab) guru KMI, barisan

(sebab) kelas VI; kemudian diselingi dengan atraksi-atraksi: Marching Band

Pondok, senam ketangkasan, Reog, Jaranan, Gajah-gajahan, Ondel-ondel Betawi,

pencak silat, ketangkasan menunggang kuda, ketangkasan naik sepeda; selanjutnya

barisan sepeda dan becak hias, sepeda motor hias, dan mobil hias (semuanya milik

Pondok dan keluarga Pondok). Seterusnya barisan konsulat-konsulat seluruh

Indonesia dan luar negeri. Seluruhnya kemudian secara teratur dalam barisan

masing-masing keliling desa sekitar Pondok. Kuliah Umum Khutbatul `Arsy

• Demonstrasi bahasa (bahasa daerah dan bahasa internasional).

132
• Pentas rebana dan teater

• Pentas aneka seni dan budaya ``Aneka Ria Nusantara`` yang menampilkan

aneka budaya daerah ditampilkan oleh santri yang berasal daerah tersebut.

• Lomba vocal group antar rayon.

• Festival lagu dan baca puisi

• Pentas musik santri KMI

• Pentas musik mahasiswa

• Drama Arena (pentas seni oleh siswa kelas V, acaranya mirip dengan

Panggung Gembira)

• Panggung Gembira (pentas seni siswa kelas VI, antara lain: pentas wayang

orang, lenong, komedi, pantomim, drama, musik pop dan dangdut, teaterikal puisi,

rebana dan nasyid, choir, beladiri, dll.)

Sebagaimana telah disebutkan di atas, tampaknya sulit untuk bisa memberikan

batasan-batasan yang tegas tentang perbedaan kegiatan intra dan ekstra kurikuler

(akademik dan non-akademik) dalam pendidikan dan pengajaran yang diselenggarakan

di dunia Pesantren. Kegiatan belajar di kelas di luar waktu belajar pagi, misalnya kursus

sore dan belajar bersama waktu malam, dapat dikategorikan ke dalam dua kemungkinan

jenis kegiatan, yaitu intra-kurikuler dan ekstra-kurikuler. Kegiatan tersebut dapat

menunjang kegiatan akademik kurikuler belajar pagi dalam rangka pencapaian tujuan

akademik, tetapi juga sekaligus dapat memberikan pengalaman belajar dalam

tercapainya tujuan-tujuan pengalaman dan sikap sosial. Pengalaman belajar bersama

133
yang menumbuhkan sikap sosial ini perlu bagi santri untuk bekal mereka terjun ke

masyarakat.

Di samping kegiatan-kegiatan sosial yang bernilai akademik dan kegiatan-

kegiatan akademik yang bernilai sosial, dijumpai juga kegiatan-kegiatan sosial yang

bertujuan ke arah tercapainya tujuan-tujuan pendidikan sosial, sesuai orientasi

kemasyarakatan dari pendidikan dan pengajaran di Pondok ini, seperti dan Gerakan

Pramuka yang mengola segala kegiatan di luar jam pelajaran pagi, termasuk kegiatan

kesenian, ketrampilan, olahraga, penerbitan, kesehatan, latihan pidato, diskusi,

mengelola koperasi, menerima tamu, dan kegiatan-kegiatan kepramukaan. Tujuan

umum dari kegiatan-kegiatan ini ialah mempersiapkan anak untuk menjadi manusia

masyarakat, manusia yang tidak asing dari kehidupan masyarakat, menjadi anggota

yang aktif dan konstruktif, dan mampu meneropong masyarakat serta mengadakan

pembaruan dalam kehidupan mereka.

Nilai-nilai yang dikandung dalam segala kegiatan di atas meliputi nilai

kemasyarakatan, ketrampilan, kewarganegaraan, kepemimpinan, dan nilai-nilai moral.

Dari sini dapat diharapkan tercapainya pengembangan dan pembinaan sikap sosial di

bidang kepemimpinan, koperasi, partisipasi, dan tanggung-jawab. Perencanaan,

pengorganisasian, pelaksanaan, dan penilaian kegiatan-kegiatan santri dilaksanakan

oleh santri sendiri secara self-government melalui wadah organisasi-organisasi yang

ada. Tentu saja semua ini berlangsung dengan bimbingan intensif dan efektif dari para

guru terutama Staf Pengasuhan Santri dalam rangka mencapai tujuan pendidikan dan

pengajaran yang telah ditetapkan.

134
B. Potret Asrama Dan Santri

Penyelenggaraan asrama untuk para santri di Pondok Pesantren Salafiyah

berbeda dengan penyelenggaraan asrama di Pesantren jenis kholafiyah, apa lagi asrama

bagi pelajar dan mahasiswa. Berdirinya asrama untuk para santri yang lazim disebut ‘

pondok ‘biasanya bermula dari adanya seorang kyai yang ‘ alim yang relatif menguasai

ilmu-ilmu agama Islam yang menetap di suatu tempat (bermukim). Kemudian datanglah

santri-santri yang ingin belajar kepadanya dan turut pula bermukim di tempat tersebut.

Karena banyaknya santri yang datang mereka pun berupaya mendirikan pondok di

sekitar rumah kyai atau mesjid.

Biasanya tanah yang dibangun untuk pondok tersebut tanah milik pribadi kyai,

ada yang kemudian diwakafkan untuk umat Islam dan ada pula yang masih tetap

berstatus milik keluarga kyai yang dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat,

tentunya kepentingan pendidikan Islam bagi masyarakat.

Di komplek Pondok Gotor, nama-nama asrama sebab diberi nama dari mana

dana pembangunan asrama itu di dapat. Contohnya gedung Al-Azhar, menunjukkan

dana yang digunakan untuk pembangunan asrama tersebut dari Al-Azhar Cairo, Mesir.

Di Pondok Pesantren Salafiyah, misalnya di pondok Kempek Ciwaringin Cirebon, tiap

bangunan asrama didirikan berdasarkan asal daerah dan diberi nama sesuai dengan

nama asal daerah masing-masing atau mengambil nama – nama tokoh ulama salaf,

seperti ; Al – Ghozali, Imam Syafi’i, Imam Turmudzi dan lain-lain, atau bisa dengan

haruf abjad dari A sampai Z.

Dalam mewujudkan bangunan pada Pondok Pesantren Salafiyah biasanya ada

135
dua cara yang biasa dilakukan. Pertama : orang-orang tua / wali santri dari asal

daerahnya masing-masing dikoordinir oleh seorang koordinator membangun asrama

untuk para putranya yang siap bermukim. Segala kebutuhan material ditanggung

bersama-sama orang tua / wali santri dan atau bisa dibantu oleh para donatur sesama

daerah, kyainya sendiri hampir tidak tau menau urusan bangunan asrama hanya

menyediakan tanah milik pribadi di sekeliling rumahnya dan masjid, seperti yang terjadi

di beberapa Pesantren Salafiyah di Kabupaten Cirebon pada tahun 1970 an kebalakang,

seperti ; Pesantren Babakan Ciwaringin yang saat itu masih bentuk Salafiyah murni,

Pesantren Kempek. Kedua : dirancang dan diprakarsai langsung oleh kyai yang dalam

pelaksanaannya di serahkan kepada orang keperceyaannya, para orang tua / wali santri,

alumni dan masyarakat dapat memberi konstribusi berupa dana maupun material

seikhlasnya, seperti yang terjadi pada dewasa ini di kebanyakan Pesantren khususnya di

Kabupaten Cirebon.

Pengelolaan asrama di Pondok Darul Ma’rifat ditangani oleh personel-personel

yang diangkat oleh organisasi pelajar. Kepengurusan asrama, di pondok Darul Ma’rifat

dikenal dengan istilah Rayon, diketuai oleh seorang kepala Rayon, dibantu oleh

sekretaris, bendahara, dan beberapa seksi seperti seksi keamana, kesehatan, olahraga,

kesenian, dan ketrampilan. Pengurus rayon ini dibantu juga oelh kepengurusan lain

yang dinamakan organisasi penggerak bahasa Pondok Pesantren, yang bertugas

emmantau dan memberikan pengajaran bahasa di rayon.

Pengolahan asrama di Pesantren Salafiyah biasanya dipimpin oleh seorang ketua

yang kazim disebut ‘Lurah Pondok ‘ yang dilengkapi dengan susunan kepengurusan dan

136
dibantu seksi-seksi sesuai kebutuhan. Seorang Katua asrama biasaya dari santri senior

yang dipilih secara demokratis oleh perwakilan-perwakilan dari tiap-tiap kamar asrama.

Calon-calon Ketua yang akan dipilih adalah mereka yang telah mendapat restu dari

kyainya. Atau untuk seorang Ketua asrama bisa ditunjuk langsung oleh kyainya, sedang

para pembantunya diserahkan kepada Ketua untuk memilih. Masa jabatan pengurus

tergantung aturan yang ditetapkan Pesantren masing-masing.

Sistem makan di Pesantren Salafiyah, umunya para santri menanak nasi sendiri

secara berkelompok masing-masing kamar, sedang untuk lauk pauknya bisa membeli di

warung-warung milik masyarakat di sekitar pondok. Bagi mereka yang malas memasak

bisa makan sepenuhnya di warung, sehingga dengan sistem makan yang demikian

secara langsung dapat menjalin hubungan emosional antara santri dengan masyarakat

sekeliling Pondok Pesantren dan masyarakat sendiri merasa diuntungkan dengan adanya

Pondok Pesantren. Manfaatnya di sisi yang lain, para santri terbiasa dengan pola hidup

sederhana dan mandiri, dengan jatah bekal yang diberikan orang tua dituntut harus

mampu mengatur dalam pengeluarannya. Hal ini berbeda dengan Pesantren jenis

kholafiyah (modern).

Di Pesantren jenis ini para santri dikenakan berbagai biaya termasuk uang

makan tiap bulannya, mereka jelas harus makan di asrama dalam satu koordinasi,

bahkan hampir semua jenis kebutuhan santri dari makanan, alat-alat kebutuhan belajar

hingga pakaian telah tersedia, mereka harus membeli semua kebuthan di asrama.

Sebenarnya pengkoordinasian secara penuh dalam segala aspek kebutuhan santri di

asrama, selain yang mengarah dan relevan dengan pendidikan akan berdampak negatif,

137
akan terganggunya kreatifitas, jiwa demokratis dan hubungan sosial kemasyrakatan bagi

para santri yang merupakan bagian dari ruh Pondok Pesantren.

Untuk biaya operasional asrama di Pesantren Salafiyah ini, seperti untuk

keperluan sarana administrasi, biaya listrik biaya-biaya keperluan harian di asrama dan

lain-lain, biasanya santri-santri dipungut biaya sekedarnya yang relatif cukup murah bila

dibanding dengan tempat-tempat lain yang lazim disebut ‘ianah atau syahriyah.

Tetapi untuk biaya-biaya yang berat, seperti rehab bangunan fisik asrama

maupun upaya pengembangan mengingat santri bertambah banyak bisa dari kyainya

sendiri, swadaya para alumni dan masyarakat maupun sumbangan dari pemerintah

penyelenggaraan asrama di Pondok Pesantren Salafiyah yang dikelola secara organisasi

ini di samping merupakan tempat para santri bermukim, yang terpenting adalah

terciptanya situasi di asarma yang kondusif yang menunjang keberhasilan belajar para

santri dalam sistem pengawasan di bawah pimpinan seorang kyai, baik secara langsung

maupun tidak langsung. Sehingga Pesantren Salafiyah ini dapat melahirkan kader-kader

muslim militan, santri-santri yang ‘alim yang dapat mengamalkan ilmunya sebagaimana

dicontohkan kyainya sebagai pengambdian kepada agama Allah, meski tidak harus

menjadi kyai memimpin Pondok Pesantren.

C. Organisasi Santri

Kegiatan organisasi di Pondok Pesantren merupakan kegiatan yang sangat

diminati oleh santri pondok, oleh karena itu santri di Pondok Pesantren membentuk

wadah organisasi tersendiri yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kegiatan yang

dilakukan. Pembahasan tentang organisasi Pondok Pesantren akan dibagi dalam

138
kegiatan organisasi di Pondok Pesantren Ashriyah (Modern) dan Pondok Pesantren

Salafiyah (Tardisional).

1. Organisasi Santri di Pondok Modern

Kegiatan berorganisasi di Pondok telah diadakan sejak awal berdirinya

Pondok ini. Hal ini dimaksudkan untuk memberi bekal dan pengalaman kepada

santri untuk hidup di masyarakatnya kelak. Kegiatan berorganisasi ini merupakan

kegiatan yang tak terpisahkan dari kehidupan santri sehari-hari, sebab berorganisasi

di Pondok ini berarti pendidikan untuk mengurus diri sendiri dan tentu saja orang

lain. Seluruh kehidupan santri selama berada di dalam Pondok diatur oleh mereka

sendiri (self-government) dengan dibimbing oleh santri-santri senior atau guru-guru.

Kegiatan-kegiatan ini selalu didasari oleh Panca Jiwa, Falsafah, dan Moto

pendidikan dan pengajaran Pondok.

Induk organisasi santri di Pondok ada dua : Organisasi Pelajar Pondok

(OPPM) dan Gerakan Pramuka. Untuk gerakan pramuka akan dikemukakan dalam

pembahasan tersendiri.

Pengurus Organisasi Pelajar adalah santri-santri kelas V dan VI (setingkat

dengan kelas II dan III SMU) yang terpilih melalui musyawarah. Proses pemilihan

berlangsung sebagai berikut: Seluruh santri kelas V yang berasal dari kelas reguler,

bukan intensif, di tiap konsulat otomatis menjadi kandidat. Pemilihnya adalah

seluruh anggota konsulat termasuk santri kelas VI. Dua kandidat peraih suara

terbanyak maju untuk ke pemilihan lebih lanjut untuk menentukan formatur yang

terdiri dari 6-10 orang. Formatur tersebut kemudian memilih di antara mereka

139
diajukan untuk ikut dalam setiap konsulat kemudian mengajukan 2 orang yang akan

duduk sebagai pengurus berasal dari utusan tiap-tiap konsulat yang dipilih oleh

anggota konsulat. Para utusan terpilih itu kemudian memilih di antara mereka

formatur yang akan menentukan ketua dan susunan pengurus selengkapnya. Susunan

pengurus yang dirancang itu dikonsultasikan ke wali kelas dan staf Pembantu

Pengasuhan Santri, terakhir dikonsultasikan ke Pimpinan Pondok.

Pada setiap bulan Ramadan atau sebelum memasuki tahun ajaran baru

mereka mengadakan Musyawarah Kerja untuk merancang Program Kerja selama

satu periode masa bakti.

Pada setiap akhir masa jabatan, seluruh pengurus Organisasi ini melaporkan

kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan selama setahun di depan seluruh santri

dan guru-guru serta pimpinan-pimpinan lembaga dan Pimpinan Pondok. Pimpinan

Pondok biasanya memberikan tanggapan, penilian, koreksian, dan arahan-arahan

pada acara-acara seperti itu dengan menegaskan bahwa semua ini adalah untuk

pendidikan. Seusai laporan pertanggungjawaban diadakan serah terima jabatan dari

pengurus lama ke pengurus baru terpilih. Acara laporan pertanggungjawaban dan

serah terima jabatan ini biasanya berlangsung 2 hari. Mengingat pentingnya acara

ini sebagai wahana mendidik bergorganisasi, santri diliburkan dari kegiatan belajar

di kelas.

a. Bagian-bagian

Kegiatan- kegiatan santri di dalam Pondok diurus oleh 20 bagian dalam .

Bagian-bagian tersebut terdiri dari pengurus harian: ketua, sekretaris, bendahara, dan

140
keamanan, dan 16 bagian yang lain, yaitu: Bagian Pengajaran, Bagian Penerangan,

Bagian Kesehatan, Bagian Olahraga, Bagian Kesenian, Bagian Kesenian, Bagian

Perpustakaan, Bagian Koperasi Pelajar, Bagian Penerimaan Tamu, Bagian Koperasi

Dapur, Bagian Warung Pelajar, Bagian Penggerak Bahasa, Bagian Penatu, Bagian

Fotografi, dan Bagian Bersih Lingkungan.

b. Tugas-tugas dari bagian-bagian

Secara singkat, tugas bagian-bagian dari organisasi santri tersebut diatas

adalah sebagamanan yang digambarkan di bawah ini :

1) Ketua: bertanggungjawab atas kelancaran pekerjaan tiap-tiap bagian dalam;

bertanggungjawab atas jalannya , ke dalam dan ke luar; memberikan arahan dan

mengontrol tiap-tiap bagian dalam menjalankan tugas-tugasnya.

2) Sekretariat: bertanggungjawab atas ketertiban administrai atau ketatausahaan

organisasi dan memipin sekretaris bagian-bagian , sekretaris asrama, sekretaris

konsulat, sekretaris klub-klub dan kursus-kursus.

3) Bendahara: bertanggungjawab mengatur keuangan dan mengkoordinir

bendahara asrama-asrama, klub-klub olahraga, kursus-kursus bahasa, dan

konsulat-konsulat.

4) Bagian Keamanan: bertanggungjawab atas berjalannya disiplin dan sunnah-

sunnah Pondok serta terjaganya ketertiban dan ketentraman Pondok. Di antara

tugas Bagian ini adalah:

• Mengawasi dan mengontrol disiplin berjama’ah, disiplin berolahraga, disiplin

berpakaian, disiplin makan dan minum, jalannya latihan berpidato, santri-santri yang

141
bepergian ke luar kampus, piket-piket asrama dan piket malam, tidur malam santri,

rambut santri, menyensor seluruh surat dari luar Pondok yang dialamatkan kepada

santri, dll.

• Mendisiplin dan memberi sanksi santri-santri yang melanggar. Ada

pelanggaran berat dan ada pelanggaran ringan. Pelanggaran berat bisa yang bisa

menyebabkan pelakunya diusir, yaitu berpacaran, mencuri, berkelahi, menghina

pengurus. Beberapa alasan edukatif dijadikan landasan pengusiran pelanggaran ini,

misalnya mencuri. Santri yang mencuri, apapun yang dicuri, meskipun hanya pulpen

akan diusir. Masalahnya bukan terletak pada nilai pulpen, tetapi lebih ditekankan

pada jiwa mencuri. Santri yang mencuri berarti sudah ada jiwa mencuri di

dalamnya. Jiwa yang berupa keberanian untuk mencuri ini yang berbahaya, bukan

nilai benda yang dicuri, sekarang mungkin mencuri pulpen, di lain waktu bisa

mencuri sesuatu yang lebih besar, karena sudah mempunyai jiwa pencuri.

Sedangkan alasan pengusiran berkelahi adalah di lingkungan Pondok, hal-hal yang

merusak kedamaian tidak boleh ada. Di tambah lagi berkelahi itu bertentangan

dengan jiwa ukhuwwah Islamiyah. Pondok adalah lembaga pendidikan, bukan

bengkel. Maka segala tindakan yang dapat merusak iklim pendidikan tersebut harus

dijauhkan. Pemberian sanksi ini tidak pilih kasih dan tidak pandang bulu, siapa saja

yang melanggar mesti dikenai sanksi yang berlaku, termasuk keluarga pondok, dan

bahkan anak Kyai juga dikenai sanksi jika melanggar. Contohnya, salah seorang

anak Kyai—sekarang menjadi salah seorang Pimpinan Pondok—juga pernah diberi

sanksi cukur gundul karena meninggalkan kampus tidak sesuai dengan ketentuan

142
yang berlaku. Ini merupakan penanaman jiwa egaliter yang dapat menjadi motor dan

jiwa penegakan disiplin.

• Menangani perizinan santri untuk keluar kampus. Santri yang akan ke

luar kampus harus izin ke Keamanan Pusat, dengan cara menyerahkan kartu

perizinan kepada Sekretaris asrama sehari sebelumnya. Esok harinya santri yang

izin itu menghadap ke Kantor Keamanan Pusat untuk mengecek apakah dia diberi

izin atau tidak. Jika diberi izin maka dia dibolehkan keluar Pondok ke tujuan yang

dimaksud. Santri yang telah diizinkan itu diberi surat izin dan kartu perizinannya

ditinggal di Kantor Bagian Keamanan. Di kartu itu tercatat hari, tanggal, alasan, dan

tempat tujuan yang akan didatangi. Dari kartu itu dapat diperiksa frekuensi izin yang

bersangkutan.

• Menyediakan trayek kendaraan kediri-Darul Ma’rifat pada hari-hari

libur atau pada hari-hari menjelang santri kembali ke Pondok setelah liburan.

5) Bagian Pengajaran: bertanggungjawab atas pelaksanaan pelajaran sore,

peringatan hari-hari besar Islam, latihan dan lomba pidato santri, jam’iyyatul

qurra’, dan diskusi kelas V serta bertanggungjawab atas ketertiban dan

kebersihan masjid, imam shalat dan khatib jum’at.

6) Bagian Penerangan: bertanggungjawab atas penyebaran berita-berita dari

dalam Pondok dan dari luar, menyediakan sound system dalam setiap kegiatan

di Pondok yang memerlukannya, memutar lagu-lagu dan instrumentalia, dan

menempatkan surat kabar di beberapa etalase yang tersedia. Bagian ini juga

143
membawahi penerbitan koran dinding dwi-mingguan ``Darussalam Post``.

Koran ini dikelola santri-santri kelas III-V.

7) Bagian Penggerak Bahasa: bertanggungjawab atas jalannya disiplin

berbahasa (Arab dan Inggris) serta usaha-usaha peningkatannya, antara lain

melalui pengkayaan kosa kata, percakapan, kursus, lomba (cerdas cermat,

mengarang karya ilmiah dan cerpen, baca koran dan majalah serta kitab, debat,

majalah dinding, menerjemah, drama, baca puisi, dan reportase olahraga),

pemutaran kaset dan video serta CD (berita, lagu, percakapan, dan film), dan

menerbitkan teks-teks dan buku. Bagian ini membawahi bagian penggerak

bahasa di asrama-asrama santri serta klub-klub kursus bahasa Arab dan Inggris.

8) Bagian Ketrampilan: bertanggungjawab atas penyelenggaraan berbagai

kursus ketrampilan untuk santri, misalnya: sablon, elektronik, membuat limun,

membuat sabun, merangkai bunga, merangkai janur, membuat akuarium,

melukis, dekorasi, dll.

9) Bagian Kesenian: bertanggungjawab menanamkan dan mengembangkan jiwa

seni di kalangan santri dengan mengadakan berbagai kursus, pentas, ekshibisi

dan publikasi karya, lomba kesenian, dll. Klub-klub dan kursus-kursus kesenian

yang ada di bawah bagian ini antara lain: teater, kaligrafi, musik (drum, gitar,

organ, drum, calung, dan piano), tarik suara, melukis, letter dan dekorasi,

beladiri. Bagian ini juga mempunyai studio musik dan art gallery.

10) Bagian Penerimaan Tamu: bertanggungjawab menyambut, melayani, dan

memberikan penjelasan tentang Pondok kepada para tamu yang datang, serta

144
menyediakan konsumsi dan akomodasi untuk para tamu itu.

11) Bagian Koperasi Dapur: bertanggungjawab atas pengelolaan dapur santri.

12) Bagian Toko Koperasi Pelajar: bertanggungjawab atas pengelolaan toko

pelajar dan penyediaan kebutuhan santri sehari-hari, mulai buku/kitab, peralatan

tulis-menulis, pakaian, makanan, perlengkepan mandi dan mencuci, souvenir,

dll.

13) Bagian Koperasi Warung Pelajar: bertanggungjawab atas pengelolaan

warung pelajar termasuk penyediaan makanan ringan dan lauk-pauk,

bekerjasama dengan masyarakat sekitar Pondok.

14) Bagian Olahraga: bertanggungjawab atas kegiatan dalam seluruh cabang

olahraga yang ada, porseni, Pesantren Cup, dan koordinasi seluruh klub

olahraga yang ada. Ada olahraga yang wajib diikuti oleh seluruh santri yaitu lari

pagi 2 kali seminggu (Selasa pagi dan Jum’at pagi). Sarana olahraga yang

tersedia di Kampus Pondok antara lain: 1 Gedung Olah Raga yang memuat 2

lapangan basket dan atau 6 lapangan bulutangkis, 3 lapangan sepak bola, 3

lapangan basket di tempat terbuka, 2 lapangan bulutangkis di tempat terbuka, 2

lapangan voly, 3 lapangan sepak takraw, beberapa meja tenis, perangkat atletik,

perangkat senam dan bodybuilding.

15) Bagian Kesehatan: bertanggungjawab memberikan pelayanan kesehatan

santri, bekerjasama dengan Balai Kesehatan Santri dan Masyarakat (BKSM),

mengelola toko obat-obatan.

16) Bagian Perpustakaan: bertanggungjawab mengelola perpustakaan santri,

145
termasuk pengelolaan majalah dinding, majalah dwi-mingguan, warta dwi-

harian Syawwal, kelompok kajian, buletin, distribusi majalah dan jurnal).

17) Bagian Penatu: bertugas mengkordinir pencucian pakaian santri yang

menghendaki pelayanan pencucian, bekerjasama dengan masyarakat sekitar.

18) Bagian Fotografi: bertanggungjawab menangani foto-foto dokumentasi

Pondok, mendokumentasikan berbagai kegiatan di Pondok dalam bentuk foto

dan video, mengadakan kursus fotografi, dan sesekali mengadakan ekspo foto-

foto dokumenter.

19) Bagian Fotokopi: bertanggungjawab memberikan pelayanan fotokopi

kepada para santri dan berbagai pelayanan yang erat dengan masalah fotokopi.

20) Bagian Bersih Lingkungan: bertanggungjawab atas kebersihan lingkungan

Pondok, penghijauan, dan pelestarian tanaman-tanaman di lingkungan Pondok.

Organisasi Pelajar Pondok merupakan organisasi induk, dimana organisasi ini

juga membawahi beberapa organisasi, antara lain: organisasi asrama, organisasi

daerah, klub-klub olahraga, klub-klub kursus kesenian, klub-klub kursus

ketrampilan, dan klub-klub kursus bahasa.

2. Organisasi Santri Pondok Salafiyah

Untuk profil kegiatan santri di Pondok Pesantren Salafiyah dalam bahasan

ini diambil dari Pondok Pesantren Kempek dan Kaliwungu Cirebon. Dalam Pondok

Pesantren Salafiyah terdapat dua macam organisasi santri, yaitu Organisasi Intra

Pesantren dan Organisasi ekstra :

a. Organisasi santri (Salafiyah) Intra Pesantren

146
Organisasi ini semacam OSIS dalam sistem sekolah atau madrasah.

Dalam sistem Pesantren Salafiyah organisasi intra merupakan wadah yang

mengelola kegitan santri. Adapun nama organisasi bermacam-macam tergantung

nama Pondok Pesantren di mana mereka belajar ( mesantren ), suatu contoh

santri-santri dari Pondok Pesantren Al-Muayyad di Solo, mereka membentuk

organisasi yang diberi nama ‘Ikatan Santri Al-Muayyad’. Organisasi intra

Pesantren biasanya bersifat otonom, tidak ada campur tangan dari kekuasaan

kyai. Para santri secara demokrasi dapat memilih ketua, menentapkan orang-

orang dalam struktur kepengurusan dan merumuskan program-program kerjanya

secara mendiri para santri. Kendati demikian kyai berpeluang ikut mengambil

manfaat dari organisasi intra tersebut walau sekedar dalam kepentingan-

kepentingan yang ringan sifatnya.

Organisasi santri intra Pesantren sebagimana halnya organisasi-

organisasi lain dipimpin oleh seorang ketua dibantu oleh anggota pengurus

lainnya. Seorang ketua yang memimpin organisasi intra Pesantren ini

merupakan hasil pemilihan langsung secara demokratis oleh Majelis Perwakilan

Santri ( MPS) sebagai wkil-wakil santri dari tiap kamar atau cukup tiap

kelompok asrama. Pemilihan pengurus ( ketua ) dilakukan biasanya dalam acara

musyawarah tahunan yang khusus diadakan untuk acara tersebut. Dalam

musyawarah ini di samping pemilihan pengurus juga diadakan evaluasi terhadap

pelaksanaan pengurus periode lalu, merumuskan program kerja periode

mendatang dan mrmbuatrekomendasi-rekomendasi yang bersifat internal

147
maupun eksternal. lama masa jabatan pengurus maupun diadakannya

musyawarah tahunan tergantung kesepakatan masing-masing, tidak ada

keharusan yang pasti melainkan fleksibel.

Struktur organisasinya, biasanya bersifat luwes dan menyesuaikan

dengan kebutuhan masing-masing. Dengan kata lain struktur orgnisasi sangat

tergantung dari besar atau kecilnya sebuah Pesantren. Tetapi sebagimana

lazimnya sebuah organisasi, di dalam struktur tersebut komposisinya terdiri dari

: Penasehat, pengurusharian yang terdiri dari ketua dan beberapawakil ketua,

sekretaris dan beberapa wakil sekretaris, bendahara dan beberapa wakil

bendahara. Sedangkan untuk seksi-seksi dapat dibentuk berdasarkan kebutuhan

serta sumber daya manusia ( santri ) yang tersedia.

Sebagaimana kita maklumi, bertemunya santri-santri putra dengan santri

putri masih dipandang tabu dalam tradisi Pesantren Salafiyah. Oleh karenanya di

dalam organisasi santri intra Pesantren tersebut mereka terpisah, atau bahkan

bagi santri-santri putri biasanya tidak memerlukan terbentuknya organisasi, lebih

cenderung mereka membentuk kelompok ikatan emosional yang secara formal

tidak ada kepengurusannya. Pada yang sebenarnya organisasi santri intra

Pesantren ini belum merata ada di setiap Pesantren Salafiyah, baru ada pada

sebab Pesantren saja. Sebab sebagaimana dijelaskan, kyai merupakan figur

sentral Pesantren dan menjadi idola bagi para santri dalam segala aspeknya di

Pesantrenya masing-masing, sedang kyai-kyainya sendiri di Pesantren jenis ini

masih banyak yang kurang mengerti terhadap organisasi kurang begitu penting.

148
Bila kita melihat potensi organisasi santri ini cukuplah besar, sejarah

telah membuktikan, dalam Pondok Pesantren ternyata menyimpan kekuatan

besar yang cukup dapat diandalkan. Dari Pondok Pesantren dapat lahir

pimimpin-pimimpin yang handal baik informal maupun formal. Dalam

kepemimpinan formal misalnya: K.H. Abdurrahman Wahid, seorang alumni

Pesantren Tebu Ireng Jombang, K.H. Wahid Hasyim ( orang tua K.H.

Abdurrahman Wahid ), K.H. Sayifuddin Zuri, K.H.A Dahlan, masing-masing

pernah menduduki jabatan Menteri Agama RI. Apa lagi menjadi pemimpin

informal, baik bersifat lokal maupun nasional.

Sangatlah banyak tidak dapat kita hitung dengan hitungan jari. Di

samping itu, yang cukup berhasil dalam bebagai profesi pun tidaklah sedikit ,

seperti : petani sukses, pengusaha, politisi, dalam dunia pendidikan, lebih-lebih

dalam lembaga pendidikan Pesantren atau pun madrasah. Bagitu besarnya

potensi yang dimiliki Pondok Pesantren, namun untuk sementara ini belum ada

sebuah wadah untuk menghimpun santri-santri yang berskala nasional

sebagaimana hal Pramuka dalam lingkungan sekolah atau Madrasah, sehingga

beberapa kelebihan dan pengalaman masing-masing Pondok Pesantren bisa

untuk saling melengkapi dan kemungkinan-kemungkinannya bekerja sama

sesama para santri antar Pondok Pesantren. Tentunya kerja sama yang paling

ideal kerja yang yang mengarah pada pendidikan, ketrampilan, takhnologi dan

hal-hal lain yang bisa meningkatkan Sumber Daya Manusia ( SDM ) yang

dewasa ini masih kita prihatinkan. Bila di Pesantren masing-masing kyainya

149
merupakan tokoh politik atau punya kecenderungan pada politik-politik tertentu,

wadah/ organisasi santri ini tidak boleh di pengaruhi untuk kepentingan politik

tersebut.

Kegiatan Intra Pesantren, kegiatan utama dari santri adalah mengikuti

pengajian pokok yang diselenggarakan oleh Kyai dari Pondok Pesantren

tersebut. Karena Pondok Pesantren Salafiyah berbeda dengan Pondok Pesantren

sistem kholafi yang menyelenggarakan kegiatan madrasah atau sekolah secara

formal, maka kegiatan ngaji merupakan kegiatan pokok atau utama, para santri

di Pondok Pesantren biasanya mengaji mulai ba’da subuh ( sesudah itu kembali

mengaji sampai pukul 12.00 siang dan istirahat sampai pukul 14.00, diteruskan

mengaji kembali sampai 16.00. antara waktu sholat Ashar sampai magrib ini

istirahat kembali, dan biasanya digunakan untuk jalan-jalan sore. Antara waktu

Magrib sampai Isya digunakan oleh santri untuk membaca Al Qur’an, waktu-

waktu ini sangat ketat dan santri dilarang keluyuran antara waktu-waktu

tersebut, bila ada santri dilihat keluyuran, maka akan ditangkap oleh juru piket

dan ia di-ta’jir ( dihukum), biasanya ia akan digundul dan kepalanya disiram

dengan air ceboran.

Sesudah sholat Isya, antara pukul 20.00 sampai dengan pukul 22.00

santri tergabung dalam kegiatan belajar bersama yang dikenal dalam istilah

Pesantren “ Musyawaroh ”, dalam belajar bersama inilah tiap-tiap kelompok

memiliki pemandu yang terdiri dari seorang santri senior dari tiap kelompoknya.

Sesudah pukul 22.00 keadaan Pondok Pesantren mulai hening karena kelompok-

150
kelompok belajar yang semula terdiri dari puluhan santri mulai menyusut, kini

kelompok terpecah terdiri dari kelompok-kelompok yang lebih kecil antara 3

atau 4 santri sedang diskusikan pengajian-pengajian untuk pagi harinya atau

lebih memperdalam penguasaan materi kepada yang lebih pandai.

Sesudah pukul 24.00 keadaan Pondok Pesantren akan cukup hening,

hanya beberapa orang santri piket saja yang masih terjaga, terutama di halaman

depan Pesantren. Kegiatan lain dari Intra Pesantren adalah semacam “ tutorial ”

yakni santri-santri yunior dibimbing oleh para santri senior untuk mengaji dan

biasanya seputar tata cara membaca kitab gundul / kitab yang tidak

mencantumkan harakat. Dengan belajar secara privat ini, diharapkan ketika nanti

santri harus belajar langsung dengan Kyainya ia telah lancar membaca dan

sedikit memiliki pemahaman terhadap materi kitabtersebut.

Dapat kita katakan hampir tidak ada santri baru yang masih hijau

penguasaan ilmu agamanya langsung belajar pada kyainya. Biasanya anak-anak

baru ini dibimbing terlebih dahulu oleh para senior yang telah dipercaya, dalam

proses pembimbingan inilah digunakan metode sorogan (semacam belajar

individual antara guru dan murid ), sedang santri-santri senior yang diberi tugas

membantu Kyai dalam kalangan Pondok Pesantren disebut dengan “ badal ”.

kegiatan yang tidak kalah pentingnya adalah “Bahsul Masail Diniyah”, ini

semacam pembahasan persoalan-persoalan keagamaan dan kemasyarakatan

yang sedang aktual dan berkembang dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Umpamanya persoalan Tenaga Kerja Wanita, menikah di bawah tangan (

151
seorang laki / perempuan yang menikah tidak dicatatkan pada petugas KUA, ini

biasanya sang wanita menjadi istri kedua ), perdagangan saham, asuransi jiwa

sampai dengan persoalan politik seperti Presiden Perempuan, gerakan

separatisme, kudeta terhadap kekuasaan yang syah, demontrasi dan seterusnya.

Karena persoalan-persoalan di atas, merupakan persoalan yang cukup

berat dan serius, maka biasanya hanya santri-santri yang betul-betul mumpuni

yang dapat terlibat dalam pembahasan masalah-masalah tersebut. Kebanyakan

yang hadir dalam persoalan-persoalan ini adalah santri-santri senior yang cukup

“ Faham ” dengan persoalan-persoalan kekinian.

Pada tataran yang lebih tinggi dan ini biasanya hanya ada pada pondok-

Pondok Pesantren besar tertentu , diadakan pula “Halaqoh” semacam seminar

terhadap persoalan-persoalan yang benar-benar hangat dan sedang dibutuhkan

pemecahannya dalam kehidupan masyarakat bahkan bangsa. Umpamanya

beberapa waktu yang lalu di Pondok Pesantren Al Hikam Malang dihalaqohkan

persoalan hubungan antara ; Agama, Militer dan masyarakat sipil.

Selintas persoalan di atas, kurang menyentuh kebutuhan sehari-hari

komunikasi santri, tetapi bila ditilik lebih kedalam, maka ini merupakan jawaban

cerdasdari kalangan Pesantren ( yang selama ini dianggap ortodox / kuno )

terhadap persoalan yang kini sedang dihadapi bangsa. Halaqoh biasanya tidak

hanya melibatkan santri-santri dari satu Pesantren, tetapi juga diundang dari

pondok-Pondok Pesantren lain, yang dianggap mampu juga memberikan

kontribusi pemikiran terhadap masalah yang sedang dibahas. Diundangnya

152
peserta dari lain Pesantren, ini mengindikasikan sebenarnya keterbukaan

menerima pemikiran dari luar bukan hanya monopoli kalangan perguruan tingi

saja, tetapi juga kalangan Pondok Pesantren pun telah melakukan hal yang

serupa, keterbukaan akan informasi dan sharing pendapat kini mulai

berkembang di kalangan pondok pesanren, sejalan dengan makin intersipnya

hubungan antara kalangan Pesantren dengan dunia luar.

b. Organisasi Santri (Salafiyah) Ekstra Pesantren

Organisasi Ekstra Pesantren anggotanya adalah santri-santri dari Pondok

Pesantren, namun aktivitasnya ada di luar Pondok Pesantren. Organisasi ini

sering disebut pula sebagai organisasi santri bersifat kedaerahan, karena para

anggota memang berasal dari suatu daerah-daerah tertentu yang berlatar

belakang suku atau sosial budaya tertentu, seperti ; santri-santri asal Kabupaten

Cirebon yang mesantren di Pondok Pesantren Kaliwungu, atau di mana masing-

masing membentuk organisasi. Kalau di Perguruan Tinggi Organisasi ini agak

mirip dengan PMII, GMNI, atau HMI, Cuma bedanya terdapat pada aktivitasnya

kegiatan maupun program-program. Kegiatan organisasi ekstra santri dalam

melaksanakan kegiatannya biasanya hanya pada moment-moment tertentu saja,

seperti : saat liburan panjang Pondok Pesantren pada bula puasa – syawal

mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang antara lain seperti : pertemuan,

silahturahmi, bakti sosial dan lain-lain.

Kalau kita lihat organisasi ekstra Pesantren ini masih belum berjalan

efektif, aktifitasnya masih sangat minim, begitu pula sasaran programnya

153
sebahagian besar masih belum jelas. Sehingga kurang begitu besar gaungnya di

masyarakat. Manfaatnya baru bisa dilihat pada hal-hal yang bersifat praktis,

seperti: Sebagai penghubung antar mereka yang sedang belajar di Pondok

Pesantren dengan orang tua / wali santri di daerahnya masing-masing. Di

samping itu, sebagai pneyalur informasi tentang keberadaan aktivitas Pondok

Pesantren bersangkutan dengan para alumni yang kurang sempat menjalin

komunikasi secara kontinyu. Oleh karena itu perlu adanya perhatian yang lebih,

khususnya dari para alumni Pesantrenya masing-masing maupun kyai, agar

organisasi santri ekstra pesanren ini dapat secara optimal membuat dan

melaksanakan program-programnya sehingga manfaatnya akan bisa lebih lagi,

baik bagi para santri, alumni ataupun masyarakat pada umumnya.

Namun untuk pengembangan organisasi ini perlu dikelola secara baik

dan hati-hati, mengingat para anggotanya berlatar belakang dan bersifat

kedaerahan atau suku tertentu, dikhawatirkan terbentuknya embrio rasa

kedaerahan dan rasa kesukuan yang berlebihan sehingga mengakibatkn

berpandangan sempit, bisa timbul gep yangjustru akan menjadi kontra produktif

dengn misi Pondok Pesantren itu sendiri yang merupakan lembaga pendidikan

Islam. Di mana dalam ajaran Islam sendiri tidak mengenal adanya disriminatif

antara daerah, suku danbangsa dengn lainnya.

Hingga dewasa ini sebenarnya kekhawatiran itu belum pernah terjadi

bahkan indikasi saja belumlah nampak sama sekali, hanya dari kita sebagai

orang yang memiliki peduli terhadap keberadaan Pondok Pesantren perlu

154
antisipasi agar hal-hal yang mengkhawatirkan tidak akan terjadi. Tapi sebaliknya

diharapkan dari organisasi santri ekstra Pesantren ini dapat melahirkan tokoh-

tokoh pemimpin yang berpandangan luas, lintas daerah maupun lintas suku.

Kegiatan Extra Pesantren, yakni kegiatan yang sebenarnya tidak ada

sangkut pautnya secara langsung dengan kegiatan mengaji kegiatan semacam ini

mirip dengan bakti sosial yang dilakukan kalangan mahasiswa atau pelajar.

Sehingga kegiatan extra Pesantren sangat kosmopoliti sehingga Pesantrenya

penuh dengan aneka ragam kegiatan, tidak melulu mengaji, umpamanya

kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh Pondok Pesantren Salafiyah Kempek

Ciwaringin Cirebon.

Di Pondok Pesantren ini ada beberapa kegiatan yang patut dicontoh

Pondok Pesantren lain seperti: Santri Raksa Desa21, kegiatan ini semacam KKN,

tetapi lebih luas sebab melibatkan banyak instansi baik kalangan pemerintah

maupun swasta. Dalam pelaksanaannya santri-santri yang telah mengikuti

semacam “ training ” diterjunkan ke desa-desa selama kurang lebih 45 hari,

mereka dititipkan di rumah-rumah penduduk dan melakukan kegiatan bakti

sosial yang berdimensi keagamaan semacam, melatih anak-anak untuk belajar

Al-Qur’an, baca tulis arab, belajar barzanji, disamping juga ada kegiatan-

kegiatan fisik semisal membuat WC sederhana, mengeraskan jalan, membantu

21
Kegiatan ini merupakan produk dari Pemda Jawa Barat pada masa HR. Nuriana dan dilaksanakan di
wilayah Jawa Barat, seperti Kuningan, Cirebon , dll. Selain kegiatan santri ke desa-desa juga Pemda Jabar
meluncurkan (pada tahun 2000 an ) program pos kesehatan pesantren (Poskestren) dengan pembangunan
yang dibiyayai pemda diperuntukkanbagi pesantren dan lingkungannya.

155
kelancaran saluran air dan seterusnya.

Kegiatan santri raksa desa ini tujuannya adalah mengenalkan santri-santri

Pondok Pesantren dengan realitas kehidupan masyarakat. Beberapa Pondok

Pesantren melanjutkan kegiatan tersebut dengan lebih menekankan pada

program pembinaan mental spiritual, sesuai dengan misi Pesantren itu, tentu

juga karena kucuran dana dari pemerintah propinsi mulai susut.

Santri Raksa Usaha, program ini berbeda dengan program santri raksa

desa, bila program pertama bertujuan melakukan perbantuan untuk mempercepat

pembangunan khusunya pembangunan fisik dan mental, maka program kegiatan

santri raksa usaha bertujuan melakukan pembimbingan ekonomi kerakyatan. Ini

bukan santri-santri yang diterjunkan dalam program santri raksa usaha, adalah

mereka yang telah dibekali dengan pelatihan-pelatihan praktis di bidang

pembukuan sederhana, motivasi ekonomi, keterampilan-keterampilan yang biasa

digunakan kalangan pedesaan seperti ; tukang batu, las, kayu, instansi listri

sederhana, tukang cukur,pembuatan anyaman, kueh dan seterusnya.

Sebelumnya santri-santri tersebut diterjunkan dalam kegiatan

pembimbingan mereka dibagi-bagi terlebih dahulu sesuai dengan minat, bakat

serta keterampilan dasarnya. Sesudah dipilah-pilah, maka mereka diwajibkan

mengikuti pembekalan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Instansi lain yang

terkait, pembekalan biasanya selama 3 (tiga) bulan. Dalam pembekalan itulah

nanti diketahui mana santri yang berbakat dan memiliki kemampuan yang

memadai, hanya mereka yang berbakat dan memiliki kemampuan saja yang

156
terjun dalam kegiatan santri raksa usaha

Bila kita lihat sosok tampilan santri Salafiyah adalah mereka yang tidak

berpendidikan formal, bahkan ada Kyai yang “ melarang ” sama sekali santri-

santrinya untuk belajar pada lembaga pendidikan formal. Hal ini kemungkinan

besar masih dihinggapi semangat anti terhadap sesuatu yang berbau nilai-nilai

barat. Seperti kita ketahui, budaya persekolahan merupakan tradisi yang berasal

dari orang-orang belanda yang dibawa ke Indonesia. Dan seperti kita ketahui,

kelompok masyarakat Pesantren merupakan kelompok yang paling gigih

menentang segala sesuatu yang berasal bahkan berbau budaya barat.

Bukan hanya sekolah yang ditolak kalangan Pesantren kala itu, tetapi

juga ditolak cara berpakaian ( waktu itu santri dilarang memakai celana panjang,

dasi dan sejenisnya ), cara maka dengan garpu sampai dengan nama-nama yang

berbau barat.

Kerasnya sikap kalangan Pesantren terhadap budaya dan tradisi barat ini

kalau dilihat dalam konteks perlawanan terhadap penjajah waktu itu memang

patut kita banggakan, sebab kita tahu hanya kalngan Pesantren saja ( disamping

nasionalis lainnya ) yang betul-betul frontal dan total dalam melawan penjajah.

Tetapi dalam konteks alam kemerdekaan bahkan budaya dunia yang semakin

mengglobal, maka mengingat bahkan konfrontatif total dengan budaya barat,

dimana ada juga sisi-sisi positif budaya barat itu, jelas-jelas merupakan sikap

yang merugikan diri sendiri. Artinya dalam konteks pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi, mau tidak mau kita harus berguru kepada bangsa-

157
bangsa barat yang kenyataannya jauh lebih maju dalam bidang pengembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi.

Tetapi dengan makin banyaknya umat Islam yang bergaul dengan aparat

birokrasi, bahkan telah banyak anak-anak Kyai yang tamat perguruan tinggi dan

ahirnya masuk menjadi birokrat, maka kemudian ada perubahan-perubahan yang

mulai mengerah kepada hal-hal yang positif. Banyaknya keluarga Kyai yang

terjun dalam dunia usaha, seperti kita ketahui, keluarga Kyai-Kyai dari

Pesantren Salafiyah umpamanya, Lirboyo, Asembagus, beberapa Pesantren di

Bandung, Kempek Cirebon yang aktif dalam dunia usaha dan pertanian

(Agribisnis) makin memperdekat persepsi akan pentingnya ilu-ilmu “sekuler”

bagi keluarga Pesantren. Tentu kedepan sangat perlu kita pikirkan bahwa

dekatnya keluarga Pesantren dengan ilmu pengetahuan serta iptek “ sekuler ”

tidak serta merta akan membawa mereka terhanyut kehilangan jati dirinya.

Salah satu kelemahan alumni Pondok Pesantren Salafiyah yang karena

mereka tidak mau mempelajari ilmu-ilmu umum, ahirnya mereka kurang

memiliki kemampuan dalam mengakses persoalan-persoalan kekinian, mereka

juga hanya berkutat pada sektor-sektor non formal.

Dalam perkembangan berikutnya, Pondok Pesantren Salafiyah akhirnya

terkotak menjadi dua kelompok, Salaf murni dan campuran (tidak murni).

Salafiyah murni ini benar-benar “ anti sekolah ” bahkan ada salah satu pondok

Salafiyah dimana ada aturan tak tertulis, bangunan-bangunan yang berbau lokal

“ madrasah-madrasah ” harus jauh dari bangunan pondok. Pada Pondok

158
Pesantren jenis ini, kegiatan sehari-hari murni kegiatan keagamaan dan sama

sekali tidak bersentuhan dengan dunia sekolah dan madrasah. Alumni dari

Pesantren Salafiyah jenis ini akan tampil sebagai seorang Kyai yang biasanya

sangat teguh memegang norma-norma Islam dan bersifat “ agak anti pemerintah

”. Alumni Pondok Pesantren ini karena tidak mempelajari pelajaran umum,

mereka akan terjun pada sektor-sektor non formal. Dalam dunia organisasi

keagamaan pun alumni Pondok Pesantren ini hanya akan bersentuhan dengan

kegiatan-kegiatan yang murni keagamaan, mereka kurang tertarik dengan dunia

lain diluar itu.

Problem kita adalah bagaimana menarik minat mereka yang sebenarnya

sangat anti sekolah / madrasah agar sedikit demi sedikit memahami bahwa

madrasah atau sekolah merupakan satu keniscayaan yang harus dilakoni, untuk

itu tokoh-tokoh utama dari Pondok Pesantren Salafiyah ini perlu diadakan

pendekatan untuk bisa memahami betapa pentingnya pendidikan sekolah /

madrasah tersebut. Sehingga mau tidak mau secara alami atau jangka panjang

juga mereka akan membutuhkan atau bersentuhan dengan dunia sekolah /

madrasah.

Persoalannya adalah bagaimana kita mampu melakukan pendekatan

dengan tokoh-tokoh kunci dari dunia Pesantren Salafiyah ini, sebab figur ini

sangat menentukan dari pendekatan yang dilakukan, bila tokoh-tokoh kunci ini

bisa memahami dan berubah maka santri-santri Salafiyah juga akan berubah,

hanya kapan dan dari mana kita memulai itulah problemnya.

159
Salafiyah campuran, pada Pondok Pesantren model ini sistem salaf masih

digunakan, tetapi pihak Pesantren memberikan kelonggaran kepada santri-

santrinya untuk mengikuti pendidikan formal di luar jalur pondok, bahkan pada

beberapa Pondok Pesantren tertentu menyediakan lembaga pendidikan formal,

disamping tetap teguh melaksanakan aktivitas-aktivitas Salafiyahnya. Idealnya

sistem Pondok Pesantren Salafiyah adalah seperti tersebut di atas, artinya sistem

salaf yang tidak kaku serta mutlak-mutlakan menentang segala bentuk sekolah

dan madrasah. Tetapi tidak langsung larut kehilangan jati diri sehingga sistem

salaf malah lebur ke dalam bentuk totak sekolah atau madrasah.

Dalam praktek umpamanya, anak-anak yang usia sekolah dasar,

disamping ia tetap mengaji secara salaf, ia juga harus belajar ilmu-ilmu pokok

yang menjadi standar anak usia sekolah dasar semisal, Matematika, IPA, Bahasa

Indonesia dan seterusnya, kemudian di ahir jenjang pendidikan ia juga harus

mengikuti evaluasi yang standar layaknya anak lulusan SD / MI, dengan cara

seperti ini maka santri - santri salaf tidak akan ketinggalan dengan kemajuan

pendidikan sekolah / madrasah yang berjalan di luar Pesantren

Pendidikan pun harus dilakukan secara berjenjang, artinya setelah anak

dapat menempuh ujian standar SD / MI, maka tingkat SLTP / MTs, dengan pola

yang sama, hanya beberapa mata pelajaran pokok saja yang diajarkan pada

jenjang ini, lama pelajaran juga tidak mutlak tiga tahun, tetapi materi pokok dari

keseluruhan materi yang biasa diajarkan pada jenjang SLTP / MTs harus

diberikan secara tuntas dan evaluasi juga harus dilakukan secara berkala dan

160
berjenjang, harus ada semacam “ kenaikan kelas ”. ini sangat penting untuk

menjadi kontinuitas pendidikan dan keteraturan jenjang belajar, sebab pada

hakekatnya semua manusia itu memiliki kemampuan yang sepadan sehingga

jenjang pendidikan perlu diberlakukan dan ini juga digunakan untuk mencapai

pendidikan yang standart.

Dengan diperbolehkan anak-anak usia sekolah ikut ujian atau mendapat

mata pelajaran di luar sistem ngaji salaf maka hal itu nanti akan menghilangkan

tembok penyekat antara santri salaf dengan anak-anak sekolah yang selama ini

terjadi dan itu sebenarnya sangat merugikan perjuangan umat Islam secara

keseluruhan, sebab kita tidak menghemndaki adanya sekelompok umat Islam

yang tertinggal dalam ilmu pengetahuan dan teknologi walau mereka sendiri

tidak merasa tertinggal.

Alangkah bahagianya bila di masa mendatang, kita aktivis Islam akan

menyaksikan santri-santri yang selalu bersarung dan berkopiyah itu, yang fasih

melafalkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan Al Hadist tetapi juga menguasai teori-

teori Fisika, Matematika, Kimia, Biologi, Ekonomi bahkan politik kontenporer.

Sekalipun santri tersebut merupakan perpaduan antara kemampuan ilmu-ilmu

agama dengan kepiawaian ilmu-ilmu umum, bukankah dulu para ilmuan Islam

semisal, Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, Imam Ghozali juga merupakan sosok seorang

ulama sekaligus ilmuwan sekuler.

D. Potret Kegiatan PRAMUKA

161
Gerakan Pramuka di beberapa Pondok dianggap sangat penting sebagai sarana

pendidikan yang dapat menanamkan kepribadian, mental, dan akhlak mulia untuk bekal

para santri dalam hidup bermasyarakat. Gerakan Pramuka di Pondok Darul Ma’rifat

telah mewajibkan seluruh santri untuk aktif dalam kegiatan kepramukaan, sehingga

seluruh santri Pondok adalah anggota Pramuka. Kegiatan kepramukaan ini ditangani

oleh organisasi yang disebut Koordinator Gugusdepan, di bawah pengawasan Majlis

Pembimbing Harian.

1. Susunan Organisasi

Bagian-bagian dalam Koordinator Gerakan Pramuka Pondok ini terdiri dari:

• Ketua: bertindak sebagai koordinator seluruh kegiatan organisasi dan

bertanggung jawab atas jalannya program-program kerja tiap-tiap anadalan.

• Andalan Koordinator Urusan Kesekretariatan: bertanggungjawab atas

ketertiban administrasi organisasi dan memimpin sekretaris Gugusdepan, dan

Marching Band.

• Andalan Koordinator Urusan Keuangan: bertanggungjawab atas keuangan

Koordinator, Gugusdepan, dan Marching Band.

• Andalan Koordinator Urusan Latihan: bertanggungjawab mengkoordinir

latihan dan kegiatan kepramukaan. Latihan pramuka wajib untuk seluruh santri

diadakan pada setiap Kamis sore.

• Andalan Koordinator Urusan Perpustakaan: bertanggungjawab mengangani

perpustakaan pramuka.

162
• Andalan Koordinator Urusan Kedai Pramuka: bertanggungjawab menangani

kedai pramuka yang menjual barang-branga keperluan pramuka, benda-benda pos

dan korespondensi.

• Andalan Koordinator Urusan Perlengakapan: bertanggungjawab mengadakan

dan memelihara segala barang keperluan organisasi.

Gugusdepan, terdiri dari 9 satuan. Gugusdepan merupakan satuan terdepan

dalam Gerakan Pramuka yang menjadi wadah untuk menghimpun dan membina

peserta didik sesuai dengan golongan usia dan jenis kelamin. Gugusdepan ini

dibentuk untuk memudahkan pengelolaan dan penyelenggaraan kegiatan dalam

mencapai tujuan Gerakan Pramuka.

Kepengurusan ini berlangsung selama setahun masa bhakti yang diakhiri

dengan laporan pertanggungjawaban dan seterusnya diadakan pergantian pengurus.

Pada bulan Ramadhan organisasi ini mengadakan Rapat Kerja Koordinator

untuk membahas dan menetapkan program kerja Koordinator dalam satu tahun.

2. Kursus dan Latihan Kepramukaan

Untuk meningkatkan kualitas kepramukaan para santri, Gerakan Pramuka

Gugus Depan mengadakan kursus-kursus orientasi. Di antaranya adalah: Pembina

Pramuka Mahir Tingkat Dasar (KMD), Masa Pengembangan dan Pamantapan

(MPP), Drumb Band, Saka Bhayangkara, Saka Wana Bhakti, Saka Bhakti Husada,

Gladian Pimpinan Regu dan Sangga, Latihan Pengembangan Kepemimpinan (LPK),

Latihan Search And Rescue (SAR)

Di samping itu Koordinator Gerakan Pramuka Pondok juga mengadakan

163
Lomba Perkemahan Penggalang dan Penegak (LP3) Antar Gerakan Pramuka Pondok

Alumni, Lomba Tingkat (LTII) Antar Gugusdepan, lomba wide game, cross country,

cerdas tangkas kepramukaan, mencipta lagu-lagu pramuka.

Perlu dicatat pula bahwa seluruh pengurus organisasi ini berada di bawah

bimbingan majelis guru yang disebut Staf Pengasuhan Santri. Ini berarti seluruh

pengurus tidak kebal dari disiplin dan sanksi. Jika melanggar mereka juga

mendapatkan sanksi yang sama, bahkan lebih dari sanksi yang dikenakan kepada

para anggota.

E. Potret Kegiatan Belajar Santri

Pada bagian ini akan dikemukakan profil kegiatan santri di madrasah. Kegiatan

yang dimaksudkan di sini bersetting di KMI (Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyah,

lembaga pendidikan setingkat SLTP-SMU) di Pondok Pesantren Darul Ma’rifat Gurah

Kediri.. Kegiatan belajar di kelas ini meliputi kegiatan intra- kurikuler (dalam kelas),

ko-kurikuler dan ekstra-kurikuler. Sebagaimana disebutkan di atas kegiatan KMI ini

terdiri dari harian, mingguan, tengah tahunan, dan tahunan, berikut ini uraiannya.

1. Kegiatan Harian

Kegiatan ini meliputi:

1) Supervisi proses pengajaran, dilakukan oleh bagian Proses Belajar Mengajar

dan Pembinaan Karir Guru atau guru-guru yang telah ditunjuk.

2) Pengecekan persiapan mengajar, dilakukan oleh guru-guru senior yang

bertugas secara bergantian sesuai dengan jadwal yang ditetapkan.

3) Pengawasan disiplin masuk kelas mulai jam 06.45 WIB, oleh guru-guru staf

164
Kantor KMI, agar tidak ada santri yang terlambat masuk kelas. Pengawasan ini juga

dilakukan pada waktu masuk kelas lagi setelah jam istirahat.

4) Pengontrolan kelas saat pelajaran berlangsung, oleh guru yang piket.

Pengontrolan kelas untuk mengecek apakah ada kelas yang tidak ada gurunya dan

mengetahui ketepatan waktu hadir guru di kelas. Jika ada kelas yang kosong, guru

piket tersebut segera menghubungi staf KMI yang kemudian akan mencarikan guru

pengganti. Salah satu moto pengajaran di Darul Ma’rifat berbunyi ``Kelas kosong

(dari guru) itu dosa besar``. Hasil kontrol dicatat di buku yang telah disediakan

untuk dievaluasi, baik secara langsung dan atau pada pertemuan mingguan guru hari

Kamis.

5) Pengontrolan asrama santri saat pelajaran berlangsung oleh guru yang

bertugas. Beberapa guru yang bertugas mendatangi asrama dan kamar-kamar santri

untuk mengontrol apakah ada santri yang tidak masuk kelas dan apa alasannya serta

adakah dia sudah punya surat izin tidak masuk kelas. Di samping itu guru juga

mengontro suasana asrama santri: kebersihan, keasrian,dan kenyamannya.

6) Penyelenggaraan belajar malam (muwajjah) bersama wali kelas, berlangsung

dari jam 20.00-21.45.

7) Pembagian tugas jum’at bersih untuk tiap kelas, untuk menjaga kebersihan

kelas.

2. Kegiatan Mingguan

Kegiatan ini antara lain:

1) Pertemuan guru KMI setiap Kamis (Kemisan) yang bertujuan untuk

165
mengevaluasi kegiatan belajar mengajar selama seminggu, meliputi absensi guru,

kontrol persiapan mengajar guru. Forum ini juga digunakan oleh Pimpinan Pondok

untuk membicarakan program-program dan masalah-masalah Pondok secara

keseluruhan.

2) Pertemuan ketua-ketua kelas (Jum’at malam) untuk menyampaikan informasi

seputar aktifitas belajar-mengajar, disiplin dalam kelas, dan nasehat-nasehat.

3. Kegiatan Tengah Tahunan

Program tengah tahunan di KMI adalah ujian semester I dan II. Ujian ini

dipanitiai oleh beberapa guru yang diberi amanat dengan dibantu oleh seluruh siswa

kelas VI (membantu kesekretariatan, membantu menguji lisan, membantu mengawas

ujian, dll.)

4. Kegiatan Tahunan

Kegiatan-kegiatan ini lebih merupakan penunjang untuk keberhasilan belajar siswa.

Program ini meliputi:

1) Fath al-Kutub: Kegiatan ini adalah latihan membaca kitab (terutama kitab

klasik) untuk kelas V dan VI, sebagai wahana menguji kemampuan mereka—

setelah mempelajari Bahasa Arab hingga kelas V dan VI. Santri diberi tugas untuk

membahas persoalan-persoalan tertentu dalam akidah, fiqih, hadis, tafsir, tasawwuf,

dll., serta kemudian membuat dan menyerahkan laporan tertulis mengenai hasil

kajiannya kepada guru pembimbing. Kegiatan ini berlangsung seminggu.

2) Fath al-Mu’jam: latihan dan ujian membuka kamus berbahasa Arab untuk

meningkatkan ketrampilan dan kemampuan berbahasa Arab santri, terutama dalam

166
menelusuri dan mencari makna kosa kata.

3) Manasik al-Haj: latihan ibadah praktek ibadah haji bagi siswa baru, berlokasi

di lingkungan kampus, di bawah bimbingan guru-guru yang sudah menunaikan haji.

4) Amaliyat al-Tadris, yakni praktek mengajar untuk siswa kelas 6. Program ini

diselenggarakan sebagai berikut:

a) Diadakan pengarahan-pengarahan amaliyah ini, 2 hari.

b) Dilanjutkan dengan ulangan-ulangan tertulis dan langsung dikoreksi

mengenai seluruh materi ilmu pendidikan dan didaktik-metodik pengajaran, 1-2

hari. Ulangan ini untuk mendalami materi dan sekaligus menentukan santri-santri

yang akan mengadakan praktek mengajar pertama kali, berbadasarkan rangking nilai

ulangan.

c) Penunjukkan siswa-siswa yang akan praktek mengajar pertama, untuk

kemudian membuat SAP, di bawah bimbingan guru senior.

d) Amaliyah pertama oleh beberapa (5-7) siswa dilaksanakan, berdasarkan

kelompok-kelompok yang telah ditentukan. Selulruh anggota kelompok dan

pembimbing ikut masuk ke dalam ruang kelas tempat praktek mengajar untuk

mengamati dan mengevaluasi jalannya proses pengajaran. Karena ini masih

kelompok besar, kelas-kelas yang dipakai praktek dipindahkan ke ruangan yang

memadai.

e) Seusai praktek mengajar diadakan forum evaluasi/kritik. Seluruh anggota

kelompok dan pembimbing, juga guru yang praktek itu sendiri, menyerahkan

lembaran evaluasi/kritik yang telah ditulis kepada pembimbing utama, untuk

167
kemudian dibacakan satu-persatu hinga selesai. Ini biasanya berlangsung 2 hari.

Evaluasi/kritik diberikan ke keseluruhan gerak-gerik dan kegiatan guru selama

mengajar, termasuk cara menyampaikan pertanyaan, cara menulis, dll., tetapi yang

lebih dipentingkan adalah kritik terhadap metode dan sistematika pengajaran. Kritik

yang ditulis itu harus diberi bukti tertulis juga, jika tidak, tidak akan diterima.

f) Pada praktek mengajar berikutnya, siswa dibagi ke dalam kelompok-

kelompok kecil terdiri lebih kurang 15 orang, dan proses pengajaran dan kritiknya

biasanya selesai dalam sehari. Dengan demikian seluruh santri yang tamat KMI

pernah mengalami praktek mengajar.

5) Al-Rihlah al-Iqtishadiyah (economic study tour): orientasi tentang dunia

usaha dan kewiraswastaan, untuk menanamkan jiwa kemandirian dan

kewiraswastaan kepada para santri. Kegiatan ini diberikan melalui ceramah-ceramah

dan kungjungan ke obyek usaha di wilayah Jawa Timur dan sebab wilayah Jawa

Tengah.

6) Penulisan karya ilmiah mengenai berbagai persoalan keagamaan dan

kemasyarakatan dalam bahasa Arab, untuk meningkatkan keilmuan santri kelas 6.

7) Pembekalan wawasan mengenai berbagai persoalan untuk santri kelas 6

menjelang tamat belajar di KMI. Pembekalan ini meliputi kegiatan-kegiatan berikut:

a) Orientasi tentang: dunia pers dan jurnalistik, belajar di perguruan tinggi,

wawasan pengembangan kemasyarakatan, kepondokmodernan, perpustakaan, studi

islam, dan metode dakwah.

b) Ceramah dan dialog mengenai Darul Hadis (LDII), Syi’ah, orientalisme,

168
gerakan-gerakan Islam sempalan, dan Jama’ah Tabligh.

c) Kursus komputer dan penataran untuk mengajar TPA/Q.

8) Termasuk acara tahunan adalah penerimaan santri baru setiap bulan

Syawwal.

F. Tentang Ta'jir / Hukuman

Dalam penjalanan disiplin dan aturan pondok sebagaimana digambarkan dalam

paparan di atas, yang seringkali mendapat kritikan pedas adalah berkenaan dengan

praktek hukuman, terlebih lagi jika hukuman itu berbentuk hukuman fisik, sebagai

ilustrasi gambaran. Mencuatnya kasus seperti di SMPN 4 Wado Sumedang22 tentang

hukuman jalan merangkak bagi paskibra, sampai ke DPRD menunjukkan adanya pihak

yang belum memahami betul praktik pendidikan. Barangkali kenyataan ini karena isyu

demokratisasi dalam pendidikan dan isyu violence (kekerasan) lebih populer ketimbang

isyu lainnya. Padahal bagi pelaku pendidikan masih banyak isyu lain seperti masalah

hukuman dan hadiah misalnya.

Putu Wijaya mencerminkan pergolakan sekitar hukuman tersebut. dalam

cerpennya yang berjudul Guru (1)23 tersebut mngisahkan "kegelisahan" seorang guru

yang diangkat jadi kepala sekolah. Ia merasa terputus dari kegiatan mengajar, sibuk

dengan administrasi sekolah, tak kenal murid dengan segala latarbelakangnya,

sementara dipikirannya terbayang suatu cita-cita tuk membangun generasi muda yang

tangguh, penuh tanggungjawab, tidak cengeng, dan bukan generasi santai. Dengan apik

22
HU. Republika, 8 Oktober 2004
23
Putu Wijaya, Protes, (Jakarta:Grafiti, 1995,) h, 37

169
Putu Wijaya melukiskan kondisi pendidikan yang ada dan sedang berlaku dewasa ini. Ia

lukiskan bagaimana perubahan generasi muda yang serba menuntut kebebasan, anti

disiplin, dan perubahan-perubahan lainnya, dihubungkan dengan pak kepala sekolah

yang semakin gelisah dan akhirnya memutuskan untuk menjadi guru lagi serta

melepaskan jabatannya sebagai kepala sekolah. Akhirnya pak kepala sekolah yang jadi

guru itu mengajar dengan segala obsesinya sebagai pencetak generasi, karena protes

dari dewan guru, akhirnya ia dipecat oleh kepala sekolah hasil binaannya sendiri,

dengan alasan kolot, tidak menjaman, dan bertindak kekerasan.

Yang penulis pahami --mudah-mudahan tidak salah paham--dari goresan pena

Putu Wijaya adalah pesan betapa niatan baik dan tanggungjawab terhadap pembinaan

generasi seringkali berakhir dengan resiko tinggi (pemecatan). Selain merupakan kritik

pedas bagi pelaku pendidikan yang semakin tak beraturan dan tunduk kepada kemauan

"kebebasan" anak usia belasan tahun dengan dalih demokratis.

Punishment adalah perangsang yang menyebabkan peserta didik atau seseorang

menghindarkan diri darinya atau menjauhinya (Richard L. Solomon, 1964) menurut

Solomon pengaruh hukuman besar sekali terhadap sikap belajar peserta didik, karena

mereka umumnya akan berupaya tidak memperoleh hukuman bila hasil belajarnya tidak

baik, secara psikologis semua manusia tidak senang dan menghindarkan diri dari

hukuman.24

24
Aminuddin Rasyad ,Teori belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: UHAMKA Press ,2003) Cet.ke- 3, h,98-
99.

170
Ada beberapa pentahapan dalam hal pelaksanaan hukuman (punishment),

pertama mengkomunikasikan hukuman, semacam aturan atau tata tertib sekolah yang

harus dipatuhi murid, kedua pelaksaan sangsi terhadap pelanggar aturan dalam hal ini

berarti pemberian hukuman. Sebagaimana fungsinya hukuman diberikan untuk pelaku

pelanggaran dengan maksud untuk memelihara ketertiban sekolah atau ketertiban kelas

serta merupakan rangsangan yang sengaja diberikan agar tidak melakukan pelanggaran.

Kelas yang tertib adalah tanggungjawab guru yang bersangkutan. Demikian juga

ketertiban sekolah menjadi tanggungjawab semua dari kepala sekolah , pembina OSIS

hingga guru-guru yang menjadi awak sekolah tersebut. Suatu sistem aturan tidakakan

bisa berjalan tanpa adanya pelaksanaan sangsi bagi pelanggar aturan dan hadiah atau

pujian bagi yang melaksanakan aturan dengan baik. Jadi masalah hukuman dan hadiah

adalah suatu motivasi yag secara silih berganti lumrah dilaksanakan dalam dunia

pendidikan baik pesantren maupun sekolah25.

Dalam pelaksanaannya hukuman tidaklah semata dalam bentuk hukuman fisik,

bisa juga bersifat tatapan mata (melotot), teguran, sindiran, demikian juga sebaliknya

hadiah tidak melulu berbentuk materi, bisa juga berupa pujian, acungan jempol dan

perhatian. Ada trend yang berlaku dewasa ini di dunia pendidikan sangat berlebihan

dalam menghindari hukuman, sama halnya dengan berlebihannya dalam memberikan

hadiah, akibatnya kadang ditemui upacara-upacara pemberian hadiah yang berupa

25
M. Tata Taufik, Hukuman & Hadiah Catatan kecil untuk Pelaku Pendidikan, HU.Mitra Dialog , Sabtu
30 Okt.2004

171
material demikian meriah, sementara sedikit sekali ditemui upacara pemberian

hukuman, dan ketika yang terakhir ini terjadi malah menjadi sorotan publik.

Ada suatu nasehat yang diberikan Rasul SAW kepada Abi Hurairah berkenaan

dengan hukuman ini; "Hai Abu Hurairah, Janganlah kamu memukul untuk memperbaiki

adab (pendidikan) lebih dari tiga kali, jika kamu lakukan lebih dari tiga kali maka kamu

mendapatkan qishahsh pada hari kiamat, hai Abu Hurairah, didiklah anak-anak

keluargamu dengan ucapan (lisan) untuk melaksanakan shalat dan thaharah, jika mereka

sampai usia 10 tahun (dan membangkang.pen), maka pukullah ia tapi jangan lebih dari

tiga kali".26 Kutipan na sihat ini mengambarkan etiket pemberian hukuman dalam

pendidikan anak. Ada saat pemberian informasi, komunikasi dengan lisan, dan ada saat

tindakan fisik yang terrencana dan tidak membahayakan.

G. Pola Hubungan Guru & Murid

Manusia adalah produk dari kebiasaannya (Hadits)

Dari sederetan kegiatan para santri sebagaimana digambarkan tadi merupakan

suatu pemaparan yang perlu pemaknaan, hal itu kalau dibahasakan akan merupakan

hubungan sinerji antara guru dan murid (Kyai/ Ustadz dan santri) dengan landasan

motivasi keagamaan yang mendalam suatu yang harus ada dalam kegiatan

pembelajaran27

Tugas utama kehidupan adalah belajar, siapa yang paling aktif dalam belajar

maka ia yang paling mampu untuk bertahan hidup. Seorang balita aktif berlatih untuk

26
Abdul Hamid Syakir, Khitabu al-Rasul, h, 80
27
Lihat M. Tata Taufik , "Motivasi Religius Guru & Murid ",Mitra Dialog Sabtu 09-10-2004

172
mengekpresikan perasaannya, menangis, meniru kemudian merangkak, berdiri, tegak

dan melangkah hingga mahir berjalan. Perkembangan berikutnya ia menjadi piawai,

dan akhirnya sampailah pada tahap bijak begitulah sampai akhirnya ia menemui ajalnya.

Tanpa ada usaha yang serius seperti penyelenggaraan sekolah amupun pesantren

pun proses belajar di atas tetap dialami oleh manusia, memperhatikan, menyimak,

menyimpulkan dan akhirnya memilih sutau tingkah laku yang dilakukan semua bisa

diamati dalam proses kehidupan yang dialami manusia termasuk diri kita. Secara

dialektis mata kita menatap suatu benda, otak kita menangkap, lalu mengolah dan

akhirnya memutuskan untuk memilih melakukan atau tidak melakukan sesuatu, atau

sebaliknya pikiran kita berkerja memikirkan suatu lalu dihubungkan dengan realitas dan

ia menciptakan suatu tindakan untuk membuat realitas sesuai dengan idea yang ada

dalam pikiran. Kedua teori ini sangatlah sederhana dalam melihat prilaku kita sebagai

makhluk yang berfikir dan belajar.

Secara etimologis belajar berarti mendapatkan pengetahuan atau kemampuan,

dalam istilah pendidikan berarti kemampuan atau pengetahuan yang didapat melalui

usaha pendidikan. Dalam itilah psikologi belajar adalah perubahan pengetahuan, atau

perubahan yang relatif permanen dalam pengetahuan, memahami dan dalam tingkah

laku. learn·ing [lúrning] n

.1acquiring of knowledge: the acquisition of knowledge or skill

.2education acquired knowledge: knowledge or skill gained through education

173
.3psychology change in knowledge: a relatively permanent change in, or acquisition

of, knowledge, understanding, or behavior.28

Secara terminologis belajar berarti mendapatkan pengetahuan atau

mengembangkan kemampuan untuk melakukan suatu tingkahlaku yang baru ,Learning,

acquiring knowledge or developing the ability to perform new behaviors.29 Jadi dalam

proses belajar ada mendapatkan pengetehauan berarti dari nol menuju isi ada juga

pengembangan sesuatuyang sudah dimiliki.

Selanjutnya kegiatan pemberian pelajaran disebut mengajar (teaching) yang

berarti systematic presentation of facts, ideas, skills, and techniques to students.30 dan

kegiatannya dinamakan pengajaran (instruction) teaching in a particular subject or

skill, or the facts or skills taught.31 Jadi pengajaran atau mengajar adalah

mempresentasikan fakta, ide, atau skil serta tehnik tertentu kepada murid secara

sistematis.

Jika dilihat dari sudut guru mengajar pada hakikatnya adalah "belajar", dan

kegiatan pengajaran bagi guru berarti 'membuat siswa belajar". Dengan mengajar

seorang guru belajar banyak hal, belajar akan materi (bahan ajar), belajar methode,

28
Microsoft® Encarta® Reference Library 2003. © 1993-2002 Microsoft Corporation. All rights
reserved
29
Ibid
30
Ibid, Ryan,Kevin, "Teaching",
31
Ibid.

174
belajar tentang aspek-aspek kesiswaan dan perkembangannya, belajar situasi kelas dll.

Dan guru yang berhasil adalah guru yang mempu membuat anak didiknya belajar.

Kegiatan pengajaran baik dipesantren maupun di sekolah kalau dipotret akan

membrikan gambaran adanya tiga komponen utama dalam aktifitas tersebut source >

message > receiver, yang pertama adalah guru, yang kedua informasi atau pengetahuan

dan yang ketiga adalah siswa.

Guru adalah sebutan untuk orang yang kerjanya mengajar 32,kalau melihat

pernyataan ini nampak guru sangat sederhana; orang yang kerjanya mengajar. Namun

kenapa semua orang bertumpu pada guru, ungkapan seperti "berguru pada siapa"

nampak kata guru di sini berwibawa sekali. Nampaknya apa yang diungkap oleh

Purwadarminta belum bisa mewakili maksud dari kata guru, selain hanya dari sudut

pekerjaan saja, dalam Encarta ditulis guru berasal dari bahasa Sansakerta digunakan

sejak awal abad 17 berarti; Pemimpin keagamaan atau pengajar keagamaan, pemimpin

spriritual atau intelektual bagi group keagamaan tertentu yang sangat berpengaruh

dalam membuat gerakan.33 Kata guru memiliki medan makna antara lain; keagamaan,

pemimpin, pengajar, gerakkan, dan berpengaruh, dan diikuti. Maka tidak heran jika

32
W.J.S. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta, PN Balai Pustaka, 1984) cet.VII,
h.334
33
or Sikh religious teacher: in Hinduism and Sikhism, a religious leader or teacher. 2. leader Hindu .1
of religious group: a spiritual leader of or intellectual guide for a religious group or movement especially
one being described as non-mainstream. 3. somebody influential: somebody who is prominent and
influential in a specific field and sets a trend or starts a movement. 4. individual’s revered teacher and
counselor: a teacher or counselor in spiritual or intellectual matters who is especially revered and
followed by an individual. Op.Cit. "guru" Microsoft® Encarta® Reference Library 2003.

175
guru demikian berwibawa pada masa silam, dan sangat berpengaruh dalam

menentukkan jalan hidup muridnya.

Dalam Istilah pendidikan guru deikenal tidak saja sebagai instuktur, tapi lebih

dari itu ia berperan sebagai perancang pengajaran, manajer pengajaran pengevaluasi

hasil belajar dan sebagai direktur belajar.34

Murid berasal dari bahasa Arab yang berarti secara harfiah orang yang

mempunyai keinginan, istilah ini digunakan sebagai sebutan bagi pengikut sufi yang

mempunyai keinginan untuk belajar pada gurunya (Syaikh atau Mursyid), murid berarti

seorang yang memiliki keinginan kuat untuk memahami dan mencapai apa yang dicapai

oleh gurunya.

Bila melihat dari pengertian di atas baik guru maupun murid sebenarnya nampak

kinerja yang sangat indah antara keduanya ; guru sebagai pemimpin, pemberi pengaruh,

pemberi pengetahuan, penggerak, sedang kan murid di satu sisi sebagai orang yang

dengan penuh semangat ingin mencapai apa yang telah dimiliki gurunya. Murid dalam

bahasa Arab disebut tha>lib, atau mutaa'lim, yang pertama berarti penuntut, dan yang

kedua berarti orang yang belajar, kedua kata tersebut menunjukan sifat aktif murid

dalam belajar, ia selalu menuntut (bukkan menunggu) dan senantiasa belajar hingga

memiliki ilmu.

Dari sini tergambar pola hubungan guru-murid; guru sebagai pemberi dan murid

sebagai penuntut dan penerima dalam arti yang luas. Pemberi akan lebih bermanfaat

34
Bandung: Pustaka Bani Quraisy,2004) ) ,Paikologi Pembelajaran & Pengajaran ,Surya, Muhammad
Cet, I, h, 54

176
jika 'tindakan" memberi itu disadari dengan keikhlasan, demikian juga halnya dengan

penerima, siapapun akan kurang pas menerima sesuatu dengan keterpaksaan,

karenannya perlu dikembangkan pola hubungan guru murid dengan keikhlasan sebagai

dasarnya. Untuk ini kalangan pendidik masa silam (dalam Islam) mengembangkan

suatu norma bagi murid yang berisikan tata cara mencari ilmu dan menghargai guru.35

Guru dan murid memiliki kebutuhan psikis yang sama; karena keduanya

manusia juga, kebutuhan psikis guru itu juga kebutuhan psikis murid. Tulisan ini tidak

akan membicarakan seekor kera belajar dari rangsangan untuk mendapatkan pisang, tapi

akan lebih menyoroti kebutuhan dasar manusia sebagaimana yang digagas Maslow

berkenaan dengan motivasi: ada 6 (enam) rangking kebutuhan dasar manusia; 1)

Kebutuhan pisiologis, 2) Kebutuhan akan rasa aman. 3) Kebutuhan untuk mencinta dan

memiliki. 4) Kebutuhan untuk berkompeten, prestis dan berharga. 5) Kebutuhan untuk

memenuhi kebutuhan dirinya, 6) Kebutuhan untuk mengetahui dan memahami.36

Keenam kebutuhan tersebut dapat dijadikan motivasi bagi seseorang untuk melakukan

sesuatu.

Satu tindakan atau kegiatan dilakukan seseorang mungkin berbeda motivasinya,

si A mengajar melakukannya karena untuk sesuap nasi, berarti ia bekerja (memenuhi

kebutuhan pertama dan kedua?), si B mengajar juga, ia melakukannya agar dicintai

35
Ta'li>m al-Muta'alim? Ada juga suatu doktrin belajar sebagai berikut: engkau tidak akan mendapatkan
ilmu kecuali memiliki enam syarat berikut: 1, cerdas, 2 tamak,3, kesungguhan, 4dirham (biaya).5
menemani guru,6 waktu yang panjang,
36
Maslow ranks human needs as follows: (1) physiological; (2) security and safety; (3) love and feelings
of belonging; (4) competence, prestige, and esteem; (5) self-fulfillment; and (6) curiosity and the need to
understand. Microsoft® Encarta® Reference Library 2003.

177
masyarakat (memenuhi kebutuhan ketiga?). Si C mengajar karena ingin dirinya terkenal

dengan sebutan guru (kebutuhan keempat) Si D melakukannya karena dirinya

memerlukan orang lain tempat ia mencurahkan apa yang diketahuinya (kebutuhan

kelima). Dan terakhir si E melakukannya agar dia lebiha banyak tahu tentang siswa dan

memahami seluk beluk mengajar (kebutuhan ke 6). Semua kegiatannya dinamakan tetap

disebut mengajar. Hal yang sama juga bisa terjadi pada murid, untuk apa ia pergi ke

sekolah? Agar diberi bekal, agar tidak dimarahi? Agar disayangi orang tua? Agar

berharga? Dst.

Semua kebutuhan yang diajukan Maslow tadi bagaimanapun juga mewakili

dari berbagai need yang ada pada diri manusia, hanya saja ada yang tertinggal di situ,

yaitu kebutuhan akan keberagamaan, atau bisa dimasukkan pada need ke 2 yaitu

kebutuhan akan rasa aman, atau bahkan pada rangking ke 3 untuk dicinta dan

mencinta,rangking ke 5 kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan dirinya, atau semuanya?

Maksudnya semua basic need tadi dibingkai dengan suasana religiousness, ada agama

dalam mencari makan, ada agama dalam mencari nama dll.

Berangkat dari pengenalan akan need dasar manusia, sampailah pada pengertian

bahwa manusia melakukan sesuatu karena kebutuhun tersebut yang harus dipenuhinya,

alasan tersebut dalam psikologi disebut motivasi,37 motivasi digambarkan sebagai suatu

lingkaran yang terus menerus; kejadian (realitas) memotivasi untuk melakukan sesuatu

37
mo·ti·va·tion, n 1.giving of a reason to act: the act of giving somebody a reason or incentive to do
something. 2.enthusiasm: a feeling of interest or enthusiasm that makes somebody want to do something,
.3 reason: a reason for doing something or behaving in some or something that causes such a feeling
4.psychology forces determining behavior: the biological, emotional, cognitive, Microsoft® way.
Encarta® Reference Library 2003.

178
suatu pencapaian akan realitas tadi menjadi motivasi juga untuk pencapaian akan

realitas berikutnya, dan begitu seterusnya.

Dalam kaitannya dengan kegiatan inetarksi guru-murid (pembelajaran dan

pengajaran) sebagaimana dikemukakan di atas banyak motivasi bisa didapat tergantung

kepada individu masing-masing pelakunya. Pada kesempatan ini penulis mencoba

mengangkat agama sebagai motivasi kegiatan belajar dan pembelajaran tersebut,

melihat bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Dalam kitab suci

banyak bisa digali berbagai teori kehidupan, lebih-lebih yang menyangkut teori

psikologis. Ambil contoh kitab suci Al-Qur'an, ungkpan-ungkapan ayat Al-Qur'an

sangat sarat dengan motivasi kearah hidup yang bermakna karena memang ia ditujukan

kepada hati dan jiwa manusia.

Sistem kepercayaan akan kitab suci sangatlah potensial untuk dijadikan bahan

dalam memacu semangat untuk berbuat. Tugas kita --dalam masyarakat yang memiliki

sistem kepercayaan tersebut-- hanya tinggal memanfaatkan sistem keyakinan tadi untuk

dijadikan landasan dalam membina masyarakat dengan jalan menggali informasi

sebanyka-banyaknya dari ajaran untuk dijadikan bahan pembinaan. Berhubungan

dengan kegiatan pembelajaran dan pengajaran, berarti upaya tersebut bisa dilakukan

dengan cara mengumpulkan pernyataan-pernyataan tekstual Al-Qur'an atau Al-Hadits

yang bertemakan pembelajaran dan pengajaran. Dengan demikian berarti kita sudah

memanfaatkan potensi dasar yang dimiliki seseorang untuk mengembangkan dirinya.

179
Motivasi tersebut bisa dijabarkan dalam sederetan informasi mulai dari

pentingnnya ilmu pengetahuan, anjuran untuk mencari ilmu, untuk apa mencari ilmu,

kewajiban menyampaikan ilmu dan seterusnya .

Tentang pentingnya ilmu misalkan teks Al-Qur'an mengungkapkan sebagai

berikut:

‫ﺸﺰُﻭﺍ َﻳ ْﺮﹶﻓ ِﻊ ﺍﻟﱠﻠ ُﻪ‬


ُ ‫ﺸﺰُﻭﺍ ﻓﹶﺎْﻧ‬
ُ ‫ﺴ ِﺢ ﺍﻟﱠﻠ ُﻪ ﹶﻟ ﹸﻜ ْﻢ َﻭِﺇﺫﹶﺍ ﻗِﻴ ﹶﻞ ﺍْﻧ‬
َ ‫ﺴﺤُﻮﺍ َﻳ ﹾﻔ‬
َ ‫ﺲ ﻓﹶﺎ ﹾﻓ‬
ِ ‫ﺴﺤُﻮﺍ ﻓِﻲ ﺍﹾﻟ َﻤﺠَﺎِﻟ‬
‫ﻳَﺎﹶﺃﱡﻳﻬَﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳ َﻦ ﺀَﺍ َﻣﻨُﻮﺍ ِﺇﺫﹶﺍ ﻗِﻴ ﹶﻞ ﹶﻟ ﹸﻜ ْﻢ َﺗ ﹶﻔ ﱠ‬

(11:‫ﺕ ﻭَﺍﻟﻠﱠﻪُ ِﺑﻤَﺎ َﺗ ْﻌ َﻤﻠﹸﻮ ﹶﻥ َﺧِﺒ ٌﲑ )ﺍﺠﻤﻟﺎﺩﻟﺔ‬


ٍ ‫ﺍﱠﻟﺬِﻳ َﻦ ﺀَﺍ َﻣﻨُﻮﺍ ِﻣْﻨ ﹸﻜ ْﻢ ﻭَﺍﱠﻟﺬِﻳ َﻦ ﺃﹸﻭﺗُﻮﺍ ﺍﹾﻟ ِﻌ ﹾﻠ َﻢ َﺩ َﺭﺟَﺎ‬

Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah

dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu.

Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan

meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu

pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

QS: Al-Mujadalah:11

‫ﺴَﺘﻮِﻱ ﺍﱠﻟﺬِﻳ َﻦ َﻳ ْﻌﹶﻠﻤُﻮ ﹶﻥ ﻭَﺍﻟﱠـﺬِﻳ َﻦ ﻟﹶـﺎ‬


ْ ‫ﺤ ﹶﺬﺭُ ﺍﻟﹾﺂ ِﺧ َﺮ ﹶﺓ َﻭَﻳ ْﺮﺟُﻮ َﺭ ْﺣ َﻤ ﹶﺔ َﺭﱢﺑ ِﻪ ﹸﻗ ﹾﻞ َﻫ ﹾﻞ َﻳ‬
ْ ‫ﺖ ﺀَﺍﻧَﺎ َﺀ ﺍﻟﻠﱠْﻴ ِﻞ ﺳَﺎ ِﺟﺪًﺍ َﻭﻗﹶﺎِﺋﻤًﺎ َﻳ‬
ٌ ‫ﹶﺃ ْﻡ َﻣ ْﻦ ﻫُ َﻮ ﻗﹶﺎِﻧ‬

( 9:‫ﺏ )ﺍﻟﺰﻣﺮ‬
ِ ‫َﻳ ْﻌﹶﻠﻤُﻮ ﹶﻥ ِﺇﱠﻧﻤَﺎ َﻳَﺘ ﹶﺬﻛﱠﺮُ ﺃﹸﻭﻟﹸﻮ ﺍﹾﻟﹶﺄﹾﻟﺒَﺎ‬

)Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah

di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat

dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang

180
mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang

berakallah yang dapat menerima pelajaran.

Pemahaman tentang pentingnya ilmu38 merupakan suatu pola pemikiran yang

harus dimiliki oleh pelaku pembelajaran dan pengajaran, karena secara psikologis orang

akan mencari atau menyampaikan suatu yang dianggap penting baginya.

Selanjutnya tentang anjuran mencari ilmu ini merupakan motivasi lain bagi

pelajar / siswa sehingga ia merasa apa yang diperjuangkannnya dalam pembelajaran

betul-betul sutu yang bermakna dan menunaikan kewajiban agama, ungkapan seperti

hadits 39
‫ﻃﻠﺐ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻓﺮﻳﻀﺔ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﻣـﺴﻠﻢ‬mencari ilmu adalah wajib bagi setiap muslim bisa

dijadikan motivasi bagi anak didik untuk senantiasa belajar, banyak ungkapan lain yang

senada seperti ;barangsiapa pergi untuk mencari ilmu berarti ia pergi dijalan Allah

sampai ia kembali, tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negri Cina, tuntutlah ilmu dari

buaian sampai ke liang lahat dll. Firman Allah dalam Al-Qur'an juga bisa digali seperti

anjuran kepada Nabi untuk belajar dan bertanya kepada "ahli"

(43:‫ﻚ ِﺇﻟﱠﺎ ِﺭﺟَﺎﻟﹰﺎ ﻧُﻮﺣِﻲ ِﺇﹶﻟْﻴ ِﻬ ْﻢ ﻓﹶﺎ ْﺳﹶﺄﻟﹸﻮﺍ ﹶﺃ ْﻫ ﹶﻞ ﺍﻟ ﱢﺬ ﹾﻛ ِﺮ ِﺇ ﹾﻥ ﹸﻛْﻨُﺘ ْﻢ ﻟﹶﺎ َﺗ ْﻌﹶﻠﻤُﻮ ﹶﻥ) ﺍﻟﻨﺤﻞ‬
َ ‫َﻭﻣَﺎ ﹶﺃ ْﺭ َﺳ ﹾﻠﻨَﺎ ِﻣ ْﻦ ﹶﻗْﺒِﻠ‬

Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri

wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan

jika kamu tidak mengetahui,

38
Thara>iq al-Nabiy fi> ta'li>mi ashh}a>bihi (Beirut:Da>r Ibnu ,Ahmad, Muhammad, al-'Alimiy
Hajm, 2001) cet.I. h. 28
39
Ibnu Majah, hadits no 224 Hadits riwayat

181
‫ﺴ َﺪ ِﺇﻟﱠﺎ ﻓِﻲ ﺍﹾﺛَﻨَﺘْﻴ ِﻦ َﺭ ُﺟ ﹲﻞ ﺁﺗَﺎ ُﻩ‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ ُﻪ َﻋﹶﻠْﻴ ِﻪ َﻭ َﺳﻠﱠ َﻢ ﻟﹶﺎ َﺣ‬
َ ‫ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ َﺭﺳُﻮ ﹸﻝ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ‬: ‫ﺿ َﻲ ﺍﻟﱠﻠ ُﻪ َﻋْﻨﻪُ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ‬
ِ ‫ﺴﻌُﻮ ٍﺩ َﺭ‬
ْ ‫ﺚ َﻋْﺒ ِﺪ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ْﺑ ِﻦ َﻣ‬
‫َﺣﺪِﻳ ﹸ‬

* ‫ﺤ ﱢﻖ َﻭ َﺭﺟُ ﹲﻞ ﺁﺗَﺎ ُﻩ ﺍﻟﱠﻠ ُﻪ ِﺣ ﹾﻜ َﻤ ﹰﺔ ﹶﻓﻬُ َﻮ َﻳ ﹾﻘﻀِﻲ ِﺑﻬَﺎ َﻭُﻳ َﻌﱢﻠ ُﻤﻬَﺎ‬


َ ‫ﺴﻠﱠ ﹶﻄﻪُ َﻋﻠﹶﻰ َﻫﹶﻠ ﹶﻜِﺘ ِﻪ ﻓِﻲ ﺍﹾﻟ‬
َ ‫ﺍﻟﱠﻠ ُﻪ ﻣَﺎﻟﹰﺎ ﹶﻓ‬

Tidak ada iri kecuali dalam dua hal; iri terhadap orang yang memiliki harta lalu

digunakannya sampai habis untuk kebenaran, dan iri terhadap seseorang yang diberi

pengetahuan oleh Allah lalu dia mengamalkannya dan mengajarkannya. (haits riwayat

Ibnu majah).

Tentanng tujuan mencari ilmu atau katakanlah niat mencari ilmu untuk apa, disini yang

diperlukan adalah meluruskan nia, dari niat mencari ijazah kepada niat ibadah,

menjalankan perintah agama, niat membekali diri untuk supaya diri lebih baik dan bisa

menjalani hidup sesuai tuntunan Ilahi.

‫ﺸ ِﺮ ْﻙ‬
ْ ‫ﺸ ٌﺮ ِﻣﹾﺜﻠﹸﻜﹸ ْﻢ ﻳُﻮﺣَﻰ ِﺇﹶﻟ ﱠﻲ ﹶﺃﱠﻧﻤَﺎ ِﺇﹶﻟﻬُﻜﹸ ْﻢ ِﺇﹶﻟ ٌﻪ ﻭَﺍ ِﺣ ٌﺪ ﹶﻓ َﻤ ْﻦ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ َﻳ ْﺮﺟُﻮﺍ ِﻟﻘﹶﺎ َﺀ َﺭﱢﺑ ِﻪ ﹶﻓ ﹾﻠَﻴ ْﻌ َﻤ ﹾﻞ َﻋ َﻤﻠﹰﺎ ﺻَﺎِﻟﺤًﺎ َﻭﻟﹶﺎ ُﻳ‬
َ ‫ﹸﻗ ﹾﻞ ِﺇﱠﻧﻤَﺎ ﹶﺃﻧَﺎ َﺑ‬

(110: ‫ِﺑ ِﻌﺒَﺎ َﺩ ِﺓ َﺭﱢﺑ ِﻪ ﹶﺃ َﺣﺪًﺍ )ﺍﻟﻜﻬﻒ‬

Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang

diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang

Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia

mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam

beribadat kepada Tuhannya".

(162:‫ﲔ ) ﺍﻻﻧﻌﺎﻡ‬
َ ‫ﺏ ﺍﹾﻟﻌَﺎﹶﻟ ِﻤ‬
‫ﻱ َﻭ َﻣﻤَﺎﺗِﻲ ِﻟﻠﱠ ِﻪ َﺭ ﱢ‬
َ ‫ﺤﻴَﺎ‬
ْ ‫ﺴﻜِﻲ َﻭ َﻣ‬
ُ ‫ﺻﻠﹶﺎﺗِﻲ َﻭُﻧ‬
َ ‫ﹸﻗ ﹾﻞ ِﺇﻥﱠ‬

182
Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk

Allah, Tuhan semesta alam,

Ayat di atas menunjukkan bahwa semua kegiatan kehidupan kita diperuntukkan hanya

untuk Allah semata, terma suk di dalamnnya mencari ilmu.

Selanjutnya berhubungan dengan pengajar / guru ada kewajiban untuk menyampaikan

ilmu, siapa yang memiliki ilmu maka ia berkewajiban untuk membaginya kepada orang

lain.

‫َﻭﻣَﺎ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﺍﹾﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣﻨُﻮ ﹶﻥ ِﻟَﻴْﻨ ِﻔﺮُﻭﺍ ﻛﹶﺎﻓﱠ ﹰﺔ ﹶﻓﹶﻠ ْﻮﻟﹶﺎ َﻧ ﹶﻔ َﺮ ِﻣ ْﻦ ﹸﻛﻞﱢ ِﻓ ْﺮﹶﻗ ٍﺔ ِﻣْﻨ ُﻬ ْﻢ ﻃﹶﺎِﺋ ﹶﻔ ﹲﺔ ِﻟَﻴَﺘ ﹶﻔﻘﱠﻬُﻮﺍ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪﱢﻳ ِﻦ َﻭِﻟﻴُْﻨ ِﺬﺭُﻭﺍ ﹶﻗ ْﻮ َﻣ ُﻬ ْﻢ ِﺇﺫﹶﺍ َﺭ َﺟﻌُﻮﺍ ِﺇﹶﻟْﻴ ِﻬ ْﻢ‬

(122: ‫ﺤ ﹶﺬﺭُﻭ ﹶﻥ)ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ‬


ْ ‫ﹶﻟ َﻌﻠﱠﻬُ ْﻢ َﻳ‬

Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi semuanya (ke medan perang).

Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk

memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan

kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat

menjaga dirinya.

(71:‫ﺤ ﱠﻖ َﻭﹶﺃْﻧُﺘ ْﻢ َﺗ ْﻌﹶﻠﻤُﻮ ﹶﻥ)ﺍﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥ‬


َ ‫ﺤ ﱠﻖ ﺑِﺎﹾﻟﺒَﺎ ِﻃ ِﻞ َﻭَﺗ ﹾﻜُﺘﻤُﻮ ﹶﻥ ﺍﹾﻟ‬
َ ‫ﺏ ِﻟ َﻢ َﺗ ﹾﻠِﺒﺴُﻮ ﹶﻥ ﺍﹾﻟ‬
ِ ‫ﻳَﺎﹶﺃ ْﻫ ﹶﻞ ﺍﹾﻟ ِﻜﺘَﺎ‬

Hai Ahli Kitab, mengapa kamu mencampur adukkan yang haq dengan yang bathil, dan

menyembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahui?

(37:‫ﻀِﻠ ِﻪ َﻭﹶﺃ ْﻋَﺘ ْﺪﻧَﺎ ِﻟ ﹾﻠﻜﹶﺎِﻓﺮِﻳ َﻦ َﻋﺬﹶﺍﺑًﺎ ُﻣﻬِﻴﻨًﺎ) ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ‬


ْ ‫ﺨ ِﻞ َﻭَﻳ ﹾﻜُﺘﻤُﻮ ﹶﻥ ﻣَﺎ ﺀَﺍﺗَﺎﻫُﻢُ ﺍﻟﱠﻠ ُﻪ ِﻣ ْﻦ ﹶﻓ‬
ْ ‫ﺱ ﺑِﺎﹾﻟُﺒ‬
َ ‫ﺨﻠﹸﻮ ﹶﻥ َﻭَﻳ ﹾﺄ ُﻣﺮُﻭ ﹶﻥ ﺍﻟﻨﱠﺎ‬
َ ‫ﺍﻟﱠ ِﺬﻳ َﻦ َﻳْﺒ‬

183
)yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir dan

menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Dan kami

telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan.

Cuplikan dari teks ayat maupun hadits di atas hanya sebagian kecil dari sekian

pernyataan yang nampaknya secara psikologis dapat menjadi motif seseorang untuk

melakukan kegiatan pembelajarabn dan pengajaran, masih banyak lagi pernyataan lain

yang bisa ditelusuri lebih jauh. Namun setidaknya dari pernyataan tersebut tergambar

sutu pola pembelajaran dengan motivasi religius sebagai brikut:

Motivasi Religius

Ajaran sebagai motif Tingkahlaku yang dicapai Pelaku


Konsep Tahuhid -Belajar Lillah Murid
Guru
-Mengajar Lillah
Kewajiban Mencari Ilmu Belajar = menunaikan keajiban ; Murid
taat perintah Tuhan
Ilmu itu Penting Belajar / mengajar = Melakukan Guru + Murid
suatu yang bermakna, cinta ilmu

Dakwah Wajib, Mengajar = melaksanakan Guru


Menyampaikan ilmu yang kewajiban
dimiliki wajib

Gambaran sinngkat di atas menunjukkan tingkah laku yang bisa dicapai dengan

motif ajaran yang diambil dari sietem kepercayaan (nilai) yang dianut, yang menurut

hemat penulis secara psikologis berperan dalam kegiatan pengajaran dan pembelajaran.

Kenyataan seperti itulah yang tergambar dari rangkaian kegiatan pembelajaran di

pesantren baik salafiyah maupun yang modern, nuansa motivasi religius yang

184
dikembangkan dan menjiwai aktivitas keseharian kehidupan pesantren termasuk

belajar.

Belajar dari guru mulia yang memiliki sifat jujur, bisa dipercaya, selalu

menyampaikan kebebnaran, dan cerdas, itulah guru kita semua Rasulullah S.A.W. dan

yang terpenting adalah, bahwa setiap diri kita apapun profesinya adalah guru, minimal

guru untuk diri sendiri, keluarga, tetangga, dan seterusnya Selain guru kita juga murid

yang harus selalu belajar sampai ajal nanti.

Dalam semuanya itu motivasi adalah hal yang harus ada dalam berbagai

tindakan, maka alangkah baiknya jika motivasi itu bernuansa ukhrawi sehingga bisa

terlaksana dengan baik tujuan yang sifatnya duniawi .

H. Santri: Sebuah Harapan Masa Depan

Mengapa perlu membuat rencana untuk masa depan ? Mungkin pertanyaan

semacam ini tidak perlu dilontarkan apabila kita mengacu kepada fenomena

pembangunan dan kemajuan di segala bidang di sekitar kita, tidak satupun yang tidak

direncanakan. Kemajuan teknologi mengacu kepada serangkaian master-plan yang

menjadi kerangka acuan untuk mendesainnya. Bangunan pencakar langit sampai rumah

tingggal membutuhkan site-plan atau denah gambar yang terinci dalam skala. Bahkan

pembangunan sebuah bangsa membutuhkan serangkaian pembahasan untuk

menentukan APBN dan Repelita.

Bila kita mengamati fenomena perubahan di sekitar kita, tidak satupun pekerjaan

besar, di negeri ini maupun di mana saja yang tidak direncanakan. Pembangunan

185
gedung pencakar langit maupun rumah petak di komplek perumahan masih memerlukan

site-plan gambar rancang bangun. Pembangunan bangsa membutuhkan sidang-sidang

menentukan APBN, kepanitiaan dari tingkat RT sampai tingkat nasional mebutuhkan

rapat atau serangkaian agenda meeting untuk menentukan langkah-langkah yang akan

dituju. Logikanya, apabila rencana mampu membangun sebuah model pesawat ruang

angkasa, mampu menentukan nasib sebuah bangsa dengan penduduk jutaan orang,

bagaimana bila diaplikasikan untuk merencanakan masa depan seorang santri.

Logikanya, rencana dapat menentukan nasib sebuah bangsa dengan jutaan

penduduk, membangun gedung-gedung megah, dan menemukan berbagai terobosan

teknologi, apalagi jika dapat diterapkan dalam kehidupan individu santri. Mungkin

wawasan tentang bagaimana membuat rencana yang baik untuk menentukan masa

depan itu masih sangat kurang, sehingga sangat jarang santri yang manjalani hidupnya

secara terencana, sehingga meraih kesuksesan di segala bidang.

Wawasan Islam tentang rencana atau membuat rencana akan tampak jelas jika

kita kembali kepada ayat-ayat al-Qur’an yang menceritakan kisah Adam, dimana Allah

mengajak para malaikat berdialog tentang rencana-Nya menciptakan makhluq manusia.

Masih tentang rencana juga, Al-Que’an mengisahkan Imron yang merencanakan anak

yang masih dikandung istrinya untuk menjadi rahib, ternyata anaknya perempuan.

Masalahnya sekarang, anak-anak santri kita kurang bisa membuat rencana yang baik,

sehingga masa depan yang nantinya dijalani tidak sekedar menjalani hidup, tetapi

meraih satu-satu segala yang direncanakan. Sukses demi sukses diraih, untuk menjadi

pengabdi terbaik, wakil Tuhan di muka bumi.

186
Membuat rencana dimulai dengan menentukan target-target yang ingin diraih

dalam kurun waktu tertentu. Perlu diketahui, rencana mestinya dibuat dalam 3 tahap

sekaligus. Rencana jangka pendek untuk jangka waktu 1 tahun, rencana jangka

menengah untuk waktu 5 tahun, dan rencana jangka panjang untuk waktu 10 tahun.

Target adalah hal-hal yang ingin kita raih dalam kurun waktu tersebut. Misalnya dalam

waktu 3 tahun kita ingin menguasai satu buku tertentu, menguasai satu ketrampilan,

atau menjadi ketua dalam satu organisasi, membeli peralatan yang sangat kita inginkan,

atau keinginan-keinginan lain. Dalam 5 tahun mungkin kita menentukan kelulusan

dalam bidang ilmu atau satu jenjang pendidikan, meneruskan sekolah, memilih jurusan,

dan seterusnya.

Untuk rencana jangka panjang atau 10 tahun, mungkin target yang akan kita raih

berupa prestasi tertentu, bidang usaha yang ditekuni, tempat tinggal atau tempat

bermukim, bidang usaha yanga kan digeluti, dan setrusnya. Target ditu dita tulis secara

berurutan dengan prioritas target mulai dengan yang paling atas, tapi harus dibedakan

mana yang paling penting dan mana yang lebih penting.

Setelah menentukan target-target yang akan diraih untuk masing-masing jangka

waktu, kita perlu juga merumuskan disamping target-target tersebut target-target

alternatif apabila target utama tidak bisa diraih. Contoh, apabila kita menentukan untuk

meneruskan studi ke jurusan IPA (eksakta) mungkin kita bisa memilih alternatif dengan

memilih jurusan teknik atau sosial. Dengan adanya target altenatif ini sebuah rencana

akan tertata secara fleksibel, tidak kaku, dan sangat mungkin untuk dievaluasi.

Langkah ketiga dalam membuat rencana adalah mencari cara-cara atau langkah-

187
langkah yang ditempuh untuk merealisasikan atau mencapai target tersebut. Yang perlu

dicatat disini, semua target atau langkah itu disesuaikan dengan situasi dan kondisi,

kemampuan pribadi, dan kemungkinan direalisasikan.

Ada satu hal penting lagi dalam membuat rencana, yaitu diadakannya evaluasi

secara berkala untuk tiap-tiap rencana. Evaluasi itu memungkinkan target-target dan

langkah-langkah berubah. Perubahan yang terjadi itu didasarkan kepada situasi dan

kondisi yang terjadi, perpindahan tempat, dan seterusnya. Perubahan dalam rencana

bukanlah menunjukkan kita tidak konsisten dalam membuat rencana.

Menurut Sigmund Freud seorang ahli psiko-analisa dari Jerman, manusia pada

dasarnya memiliki 10 dimensi kesadaran, dimana yang satu bagian adalah yang

disadari, sementara 9 bagian yang lainnya ada dalam dimensi bawah sadar. Kekuatan

alam bawah sadar mungkin bias digambarkan dengan adanya tenaga dalam, orang kebal

dalam permainan Debus (Banten), kuda lumping yang mampu makan pecahan gelas dan

memanjat kelapa. Pekerjaan-pekerjaan itu dilakukan orang ketika menggunakan alam

bawah sadar, atau dilakukan juga ketika mereka dalam dimensi “tidak sadar”.

Jika ditulis dalam perbandingan bagaimanan kekuatan alam bawah sadar dengan

kekuatan bawah sadar, kira-kira kekuatan 1 banding 9. Kekuatan yang besar ini bisa

dimanipulasi atau bisa diarahkan untuk hal-hal positif, seperti untuk mencapai cita-cita.

Dalam membuat rencana, sebenarnya kita sedang mengarahkan kekuatan yang besar (9

kekuatan bawah sadar) untuk meraih satu-satu target atau prestasi. Sekarang

masalahnya, maukah kita membuat perubahan dan meraih sukses dengan selembar

kertas, membuat rencana, agar hidup yang kita jalani lebih terarah, terencana dan

188
menuju ke satu arah.

Pada dasarnya manusia diciptakan untuk menjadi pengabdi, hamba Tuhan

selama hayatnya. Untuk menjadi seorang hamba yang baik, Tuhan membekali tiap

individu dengan berbagai macam potensi, kemampuan akal, dan berbagai kelebihan,

baik lahir maupun bathin. Dengan akalnya manusia terbukti mampu menggali berbagai

rahasia penciptaan, makrokosmos (alam semesta) maupun mikrokosmos (diri manusia

sendiri), membuka cakrawala baru kemajuan, dan menjadi khaliah dimuka bumi.

Santri, dengan latar belakang pendidikan religius yang kuat, tidak diragukan lagi

sebagai aset penting pembangunan di segala bidang. Bahkan akhir-akhir ini golongan

santri telah mampu menunjukkan sebuah prestasi besar di segala bidang di tanah air,

memberikan sumbangsih yang sangt berarti bagi proses perubahan di setap lini. Tapi

harus diakui, untuk mencapi kearah sukses itu dibutuhkan sebuah proses yang panjang,

yang harus dimulai dengan sebuah kalimat kunci; merencanakan masa depan.

Renungan

Jika seorang anak hidup dalam suasana kritik , Ia belajar untuk menyalahkan
Jika seorang anak hidup dalam permusuhan , Ia belajar untuk berkelahi
Jika seorang anak hidup dalam ketakutan , Ia belajar untuk gelisah
Jika seorang anak hidup dalam belas kasihan diri , Ia belajar mudah memaafkan
dirinya sendiri
Jika seorang anak hidup dalam ejekan , Ia belajar untuk merasa malu
Jika seorang anak hidup dalam kecemburuan , Ia belajar untuk iri hati
Jika seorang anak hidup dalam rasa malu , Ia belajar untuk merasa bersalah
Jika seorang anak hidup dalam semangat , Ia belajar untuk percaya diri
Jika seorang anak hidup dalam menghargai orang lain , Ia belajar setia dan sabar
Jika seorang anak hidupnya apa adanya , Ia belajar untuk mencintai
Jika seorang anak hidup dalam suasana rukun, Ia belajar untuk mencintai dirinya
sendiri
Jika seorang anak hidupnya dimengerti , Ia belajar bahwa sangat baik untuk bercita-
cita

189
Jika seorang anak hidup dalam suasana adil , Ia belajar akan kemurahan hati
Jika seorang anak hidup dalam kejujuran dan sportivitas , Ia belajar akan kebenaran
dan keadilan
Jika seorang anak hidup dalam rasa aman , Ia belajar percaya pada dirinya dan orang
lain
Jika seorang anak hidup penuh persahabatan ,
Ia belajar bahwa dunia ini merupakan suatu tempat yang indah untuk hidup
Jika seorang anak hidup dalam ketenteraman anak-anakmu,
Ia akan hidup dalam ketenangan batin40

40
Bandingkan dengan sajak Dorothy Law Nolte "Chidren Learn What They
Live" yang dikutip Jalaluddin Rahmat, Psikologi Komunikasi, Bandung Rosda Karya,
1992, h, 102

190
BAB VII

PROFIL ALUMNI PESANTREN :

Selain menjadi pusat pengajaran keilmuan Islam, pesantren juga menjadi pusat

gerakan dan perkembangan tasawuf, dalam hal ini tarekat. Menurut Zamakhsyari

Dhofiier, sebenarnya yang menjadi landasan pengajaran tarekat di pesantren adalah

ajaran-ajaran nabi sendiri, terutama tentang tiga pilar ajaran Islam yaitu, Islam, iman

dan ihsan41.

Orang yang telah mengakui Islam sebagai agamanya disebut Muslim, tetapi

belum tentu Muslim itu mu’min, kecuali setelah disertai dengan keimanan. Sebab iman

merupakan ketaatan dan keterikatan secara terus menerus dengan Tuhan. Sedangkan

ihsan merupakan tingkatan yang lebih tinggi lagi, karena ihsan berupa kemampuan

untuk menembus ke dalam inti wahyu ketuhanan. Ketiga pilar tersebut kalau ditarik

pada bidang keilmuan akan melahirkan apa yang dikenal dengan syariah, tauhid dan

akhlak (tasawuf). Jadi, antara tiga pilar tersebut, sebenarnya bukanlah sesuatu yang

harus dibedakan, tetapi harus menjadi satu kesatuan.

Ihsan sendiri, menurut Hasyim Asy’ari dalam Nurcholish Madjid, yang

kemudian dipraktekkan melalui ajaran tarekat untuk dapat menangkap wawasan tentang

kebulatan dan kebenaran dalam segala dimensinya42. Kemampuan untuk menangkap

41
Zamakhzyari, Op.Cit, h, 136
42
Lihat Nurcholish Madjid, "Islam, Iman dan Ihsan Sebagai Trilogi Ajaran Ilahi", dalam Budihy
Munawar Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah (Bandung: Mizan,1995) h, 478

191
kebenaran yang utuh ini merupakan sesuatu yang sangat sulit dicapai manusia.

Sebabnya adalah kebenaran dalam dimensinya yang utuh itu, justru dalam dirinya

mengandung paradoks, dan orang dapat belajar menangkap keutuhan kebenaran itu

dengan melakukan latihan-latihan dalam melihat paradoks-paradoks dan berusaha

menangkap hakikat yang ada dibalik penampakan lahiriyah tersebut.

Corak sufisme dan ascetisme di Pondok Pesantren sangat kental mewarnaii

kehidupan santri sehari-hari di Pondok Pesantren, sehingga muncul semacam cap yang

melekat dalam setiap santri dan alumni sebagai sosok yang sufistik, waro, kurang

memikirkan keduniaan. Padahal labels emacam itu tidak perlu lagi ada, terutama jika

melihat eksistensi Pondok Pesantren kontemporer yang yang sarat dengan nuansa

kemodernan.

Nuansa kemodernan dan progresifitas tersebut akan tampak nyata bila kita

mengembalikan image sufistik tersebut pada sosok-sosok alumni yang berkiprah di

dunia keilmuan, ekonomi, social, budaya, bahkan politik sekalipun. Untuk itu BAB iniil

ini berusaha menampilkan sosok alumni dimaksud melalui tiga orang tokoh, Quraish

Shihab, Nurcholis Majid, dan Hamzah Haz.

Quraish Shihab, sosok pertama yang akan diulas singkat dalam buku ini adalah

seorang tokoh akademisi di lingkungan IAIN. Karirnya sebagai dosen dan guru besar di

bidang tafsir pernah mengantarkannya menduduki beberapa posisi penting di Indonesia,

mulai dari ketua MUI, ICMI, Menteri agama, bahkan terakhir tercatat sebagai Duta

Besar. Tetapi sentra kajian kita di sini adalah konsistensi beliau pada bidang ilmu yang

ditekuninya, yaitu Tafsir dan ulumul Qur’an, sehingga banyak melahirkan banyak karya

192
Sosok kedua adalah Nurcholis Majid, alumni Gontor yang sempat mengenyam

studi di Chicago yang terkenal dengan ide-ide pembaharannya di bidang pemikiran

Islam. Pengabdiannya dalam kajian keislaman mengantarkan sosok Nurcholis menjadi

tokoh terkemuka di HMI, ICMI, LIPI, bahkan terakhir di Paramadina. Bebarapa jabatan

strategis pernah dipegang, dan diantaranya dalam struktur instansi pemerintah. Tetapi

focus kajian kita dalam buku ini adalah apa yang telah diakukan Nurcholis dalam

rangka pencerahan intelektual Indonesia.

Sebagai fokus pembahasan ketiga adalah sosok kader NU dari Kalimantan ,

Hamzah Haz. Pernah tercatat sebagai politikus yang handal, sehingga karir politiknya

sempat mengantarkan beliau sebagai Wakil Presiden RI mendampingi Ibu Megawati di

tahun 2001. Sosok pendidikannya yang dimulai di Madrasah Diniyah, lembaga

pendidikan miniatur pesantren, mengantarkannya sebagai sosok terkemuka di panggung

politik.

A. M. Quraisy Shihab

1. Dari Pesantren ke Mesir

Alquran itu laksana samudra yang keajaiban dan keunikannya tidak akan pernah

sirna ditelan masa, sehingga lahirlah bermacam-macam tafsir dengan metode yang

beraneka ragam pula.

Keragaman ini menurut Al-Farmawi ditunjang oleh Alquran itu sendiri yang

keadaannya adalah bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang

193
berbeda dengan apa apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain.43

Kedua perumpamaan di atas, setidak-tidaknya dapat memperkuat suatu

pernyataan bahwa ayat-ayat Alquran itu selalu terbuka untuk interpretasi baru. Bahkan

hingga dewasa ini penafsiran terhadap Alquran-pun tidak hanya terbatas pada

persoalan-persoalan metode belaka, melainkan sampai pada tataran disiplin ilmu dan

aliran aliran tertentu. Demikian pula para penafsirnya, tidak hanya terbatas di kawasan

Timur Tengah saja melainkan juga di Indonesia dan negara-negara lainnya. Salah

seorang tokohnya adalah M. Quraish Shihab, yang banyak dikenal orang karena karya-

karyanya dalam Tafsir kontemporer, atau kiprahnya sebagai akademisi, atau sebagai

sosok yang pernah menjadi menteri agama RI, Ketua MUI, dan Duta besar.

Nama lengkapnya Muhammad Quraish Shihab, lahir di Rappang Sulawesi

Selatan pa tanggal 16 Pebruari 1944. Ia adalah seorang anak kandung dari K.H.

Abdurrahman Shihab (1905-1986) seorang ulama terkemuka dan sebagai guru besar

dalam bidang tafsir di Universitas Muslim Indonesia (UMI), sebuah perguruan tinggi

swasta terbesar untuk kawasan Indonesia bagian timur, dan IAIN Alauddin

Ujungpandang, sejak tahun 1999 hingga sekarang dikenal dengan Makassar. Bahkan, ia

tercatat sebagai mantan rektor pada kedua perguruan tinggi tersebut

Quraish sejak kecilnya telah mendapatkan motifasi dan benih kecintaan terhadap

bidang studi tafsir dari ayahnya yang sering mengajak anak-anaknya duduk

43
Abd. Hayy Al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhu’iy: Dirasah Manhajiah
Maudhu’iyah, Penrj. Suryan A. Jamrah dengan judul: Metode Tafsir Maudhu’iy: Sebuah Pengantar
(Jakarta: Raja Grafindo Persada; 1994), h, 11

194
berdampingan. Pada saat-saat seperti inilah sang ayah menyampaikan nasihatnya yang

kebanyakan bernuansa Qur’ani.

Pendidikan formalnya dimulai dari Sekolah Dasar di Ujungpandang. Setelah itu

ia melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di kota Malang sambil nyantri di

Pondok Pesantren Darul Hadis al-Faqihiyyah di kota yang sama. Untuk lebih

mendalami studi keislamannya, Quraish dikirim oleh ayahnya ke Al-Azhar, Kairo pada

tahun 1958 dan diterima di kelas dua Tsanawiyah. Setelah itu, ia melanjutkan studinya

ke Universitas Al-Azhar pada fakultas Usuluddin, jurusan tafsir dan hadis. Pada tahun

1967, ia meraih gelar LC (setingkat sarjana S1). Dua tahun kemudian (1969) Quraish

berhasil memperoleh gelar M.A. pada jurusan yang sama dengan tesis yang berjudul al-

I’jaz al-Tasyri’i li al-Qur’an al-Karim (Kemukjizatan Al-qur’an al- Karim dari segi

hukum).

Sekembalinya ke Ujungpandang, Quraish Shihab memperoleh kepercayaan

untuk menjabat sebagi wakil rektor bidang akademis dan kemahasiswaan pada IAIN

Alauddin Ujungpandang pada tahun 1973-1980. Selain itu, ia juga diserahi jabatan-

jabatan lain, misalnya sebagai Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Wilayah VII

Indonesia Bagian Timur), Pembantu Pimpinan Kepolisian Indonesia Timur dalam

bidang pembinaan mental, dan sederetan jabatan lainnya di luar kampus. Di celah-

celah kesibukannya itu, ia masih sempat merampungkan beberapa tugas penelitian yang

antara lain tentang Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur (1975)

dan Masalah Waqaf Sulawesi Selatan (1978).

2. Karya-karya Quraisy Shihab

195
Untuk mewujudkan cita-citanya dalam mendalami studi tafsir, pada tahun 1980,

Quraish Shihab kembali menuntut ilmu ke almamaternya Al-Azhar, mengambil

spesialisasi dalam studi tafsir Alquran. Ia hanya memerlukan waktu dua tahun untuk

meraih gelar doktor dalam bidang ini. Disertasinya berjudul Nazm al-Durar li al-Biqa’i:

Tahqiq wa Dirasah , suatu kajian terhadap kitab Nazm al-Durar (Rangkaian Mutiara)

karya al-Biqa’i telah berhasil dipertahankannya dengan predikat summa cum laude

dengan penghargaan mumtaz ma’a martabah asy-syaraf al-ula (sarjana teladan dengan

prestasi istimewa)

Sekembalinya ke Indonesia sejak 1984, Quraish Shihab ditugaskan di Fakultas

Usuluddin dan Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu, ia

juga dipercayakan untuk menduduki berbagai jabatan. Antara lain: Ketua Majlis Ulama

Indonesia (MUI) pusat sejak 1984; Anggota Lajnah Pentashih Alquran Departemen

Agama sejak 1989; Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional sejak 1989. Ia

juga terlibat dalam berbagai oraganisasi lainnya, misalnya: sebagai Pengurus

Perhimpunan Ilmu-ilmu Syariah, Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Muslim

Indonesia (ICMI), bahkan pernah diangkat sebagai Menteri Agama pada kabinet

terakhir Presiden Suharto. Kesibukannya saat ini adalah Duta Besar Indonesia untuk

Mesir, sejak tahun 2000.

Kontribusi Quraish Shihab dalam segi intelektualitasnya terbukti dari berbagai

karyanya di antaranya ialah (a) Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan,

diterbitkan oleh Mizan, Bandung pada tahun 1994, sebuah antologi essai tentang makna

196
dan ungkapan Islam sebagai sistem religius bagi individu mukmin dan bagi komunitas

Muslim Indonesia; (b) Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam

Kehidupan Masyarakat, diterbitkan oleh Mizan, Bandung, 1992. Sebuah artikel yang

ditulis selama periode dua puluh tahun berkenaan dengan berbagai aspek Al-Quran dan

mengkaji secara terinci posisi pentingnya Al-Quran bagi komunitas Muslim; (c)

Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, diterbitkan oleh

Mizan Bandung 1996; (d) Tafsir Amanah, diterbitkan oleh Pustakan Katini, 1992; (d)

Tafsir Al-Quran al-Karim: Tafsir Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya

Wahyu, diterbitkan oleh Pustaka Hidayah , Bandung 1997: (e) Yang Tersembunyi: Jin,

Iblis, Setan dan Malaikat dalam Al-Quran dan As-Sunnah serta Wacana Pemikiran

Ulama Masa Lalu dan Masa Kini, diterbitkan oleh Lentera Hati Jakarta, 1999, dan

karya-karya44 lainnya yang tidak disebutkan disini.

Buku-buku karya Quraisy Shihab di atas, sungguhpun tidak terpampang sebutan

tafsir, namun pada prinsipnya dapat dikategorikan sebagai gagasan yang sarat dengan

problematika sekaligus solusi-solusi atasnya yang bernuansa qur’ani. Selama ini, kajian

tentang Tafsir memang membutuhkan semangat dan ketekunan yang luar biasa,

dirasakan sangat sulit apalagi untuk dicerna sambil lalu. Quraisy Shihab juga berusaha

memadukan dua dorongan yang ada pada diri manusia --nalar dan intuisi-- sehingga

dapat dipahami secara mudah oleh akal dan juga uraian yang sulit dipahami kendati

44
Uraian karyanya daparte diperoleh dalam Howard M.Federspiel, Popular Indonesian
Literature of the Qur’an, Penerjemah Tajul Arifin dengan judul Kajian Al-Quran di Indonesia Dari
Mahmud Yunus Hingga Quraish shihab (Mizan: Bandung, 1996),h, 295-299

197
tidak bertentangan dengan akal, namun dapat diterima sepenuh hati oleh siapapun bila

ia menggunakan kalbunya.

B. Nurcholish Madjid

1. Dari Pesantren ke Amerika

Dilahirkan di desa Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur pada 17 Maret 1929.

Pendidikannya dimulai dari SR (Sekolah Rakyat) di pagi hari dan madrasah di sore hari.

Ketika memperoleh ijazah SR IV dari Sekolah Rakyat Bareng, pada saat yang sama ia

pun menyelesaikan sekolah agamanya di madrasah ayahnya, Madrasah Al-Wathoniyah

Nurcholish Madjid selalu memperoleh prestasi akademik yang luar biasa,

khususnya selama belajar di Madrasah. Pada usia ke-14 Nurcholish Madjid pergi belajar

ke pesantren Darul Ulum Rejoso di Jombang dan di sini ia juga memperoleh prestasi

yang mengagumkan. Dua tahun kemudian Nurcholish Madjid pindah ke pesantren

Pondok Modern Gontor. Ketika itu Nurcholish Madjid berumur 16 tahun dan ia dapat

menyelesaikan studinya pada umur 21 tahun. Setelah itu ia mengabdi beberapa tahun

sebagai pengajar di bekas almamaternya tersebut .

Pilihan Abdul Madjid (ayahnya) menyekolahkan Nurcholish Madjid ke pondok

Modern Gontor juga merupakan keputusan yang sangat mendukung bagi

pengembangan wawasan intelektual Nurcholishnya. Kurikulum Gontor menghadirkan

perpaduan liberal, yakni tradisi belajar klasik dengan gaya modern Barat, yang

diwujudkan secara baik dalam sistem pengajaran maupun mata pelajarannya. Para santri

yang belajar di Pesantren Gontor tidak hanya diproyeksikan mampu menguasai Arab

klasik, tetapi juga bahasa Inggris, dengan alasan bahwa bahasa Inggris merupakan

198
bahasa yang dibutuhkan dalam mencari ilmu untuk masa sekarang.

Iklim pendidikan di Gontor mengajarkan para siswanya untuk bersikap kritis dan

tidak memihak pada salah satu mazhab sehingga para siswa yang tamatan pondok ini

terbiasa untuk berpikir komparatif yang dengan itu membuat mereka tidak mudah

terjebak pada fanatisme mazhab.

Dengan demikian, jika diukur dengan masa sekarang, pendidikan di Gontor,

ketika Nurcholish Madjid nyantri di akhir 1950-an, pola pendidikan yang

dikembangkan dapat dianggap sebagai pendidikan yang progresif. Dan jika diukur pada

saat itu, gaya pendidikan yang dipelopori Gontor sangat revolusioner.

Nurcholish Madjid melanjutkan ke IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Fakultas

Adab Jurusan Bahasa Arab dan Sejarah Kebudayaan Islam). Skripsinya berjudul Al-

Quran ‘Arabiy-un Lughat-an wa ‘Alamiy-un Ma’na (al-Quran Dilihat dari Segi Bahasa

bersifat Lokal [bahasa Arab], tetapi dari Segi Makna Bersifat Universal) menunjukkan

kecenderungannya untuk melakukan analisa filosofis dan inklusufistik terhadap ajaran

dasar Islam. Paham inklusufisme ini semakin berkembang lantaran pergaulannya yang

begitu dekat dengan almarhum Buya Hamka (5 tahun Nurcholish Madjid tinggal di

asrama Masjid Agung al-Azhar). Nurcholish Madjid sering mengemukakan respek dan

kekagumannya pada Buya Hamka yang dinilainya mampu mempertemukan pandangan

kesufian, wawasan budaya, dan semangat al-Quran sehingga dakwah dan paham

keislaman yang ditawarkannya sangat menyentuh dan efektif untuk masyarakat Islam

kota. Selama kuliah, dia aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yang ketika itu

tidak populer, disebabkan anggapan bahwa HMI dipertimbangkan sebagai gerakan

199
kaum modernis sehingga dianggap sebagai mitra kerja Masyumi.

Cak Nur terpilih menjadi Ketua Umum PB HMI untuk dua periode berturut-

turut dari tahun 1966-1968 hingga 1969-1971. Rentang tahun 1967-1969 Nurcholish

Madjid menjadi Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT) dan

pada tahun 1968-1971 menjadi wakil Sekretaris Umum International Islamic Federation

of Student Organisation (IIFSO, Himpunan Organisasi Mahasiswa Islam se-Dunia),

sehingga dia mendapat berkesempatan untuk melakukan kunjungan-kunjungan

internasional, seperti ke Amerika dan Timur Tengah. Fenomena kehidupan masyarakat

di kedua wilayah tersebut telah membuka matanya untuk melihat persoalan-persoalan

yang berkaitan dengan diskursus Islam. Dalam pengamatannya, Amerika ternyata lebih

islami dibanding negara-negara Timur Tengah, yang note bene adalah negara-negara

atau berpenduduk mayoritas beragama Islam, dalam hal keadilan sosial, persamaan hak,

dan kesempatan yang merupakan pesan-pesan moral yang terdapat dalam al-Quran.

Tanggal 3 Januari 1970, Nurcholish Madjid mendapat undangan sebagai

pembicaraDalam makalah yang berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan

Masalah Integrasi Umat”, Nurcholish Madjid secara terang-terangan mengungkapkan

gagasan pemkirannya dengan menggunakan istilah-istilah sekularisasi, liberalisasi,

desakralisasi, intelectual freeom, ijtihad, idea of progress, keadilan sosial, dan

demokrasi. Istilah-istilah tersebut digunakan untuk mengemukakan maksud dalam

menolak tradisionalisme dan sektarianisme. Karena isi makalah tersebut, Nurcholish

Madjid, yang dulunya dipuji sebagai Natsir Muda yang akan menjadi pemimpin baru

aktivis muslim di bidang politik, dihujat dan dianggap telah berbalik 180 derajat dari

200
lintasannya yang konservatif menjadi seorang modernis sekuler.

Dari tahun 1971-1974, Nurcholish Madjid menjadi tokoh masyarakat dengan

sorotan tajam terhadap ide-ide yang ia lontarkan. Gerakan secara luas untuk menolak

ide-ide Nurcholish Madjid semakin hidup, dan tulisan-tulisan kritis yang menanggapi

ide-ide pembaharuan pemikirannya seringkali menafikan sosok Nurcholish Madjid

sendiri sebagai pusat perhatian.

Dalam menghadapi kritikan-kritikan tersebut, Nurcholish Madjid lebih memilih

untuk bersikap diam dan menyibukkan diri dalam forum-forum diskusi ; diantaranya

yang terpenting adalah Yayasan Samanhudi. Di yayasan ini Nurcholish Madjid bertemu

dengan Djohan Effendi, Ahmad Wahib, M. Dawam Rahardjo, Syu’bah Asa, dan

Abdurrahman Wahid. Kelompok ini ternyata berlanjut pada pembentukan pertemuan

Reboan di tahun 1980-an dan 1990-an. Melalui kegiatan tidak resmi semacam itu

gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam tumbuh dan berkembang. Selanjutnya pada

tahun 1974-1976, Nurcholish Madjid menjadi Direktur Lembaga Kebajikan Islam

Samanhudi di Jakarta., lembaga yang didirikan oleh Yayasan Samanhudi. Dan dalam

masa ini juga Nurcholish menjadi Wakil Direktur I Lembaga Studi Ilmu

Kemasyarakatan di Jakarta.

Gerakan Pembaruan ini juga disosialisasikan dalam bentuk penerbitan majalah

yang sangat provokatif, Mimbar Jakarta. Nurcholish Madjid sendiri menjadi pimpinan

majalah ini selama tiga tahun dari tahun 1971-1974. Melalui majalah ini gagasan

tersebut menyebar ke masyarakat luas sehingga Nurcholish Madjid harus menikmati

kritikan bahkan hujatan dari para pengkritiknya.

201
Tahun 1973 Fazlur Rahman dan Leonard Binder berkunjung ke Indonesia untuk

pertama kalinya, mencari peserta yang tepat untuk program seminar dan lokakarya di

University of Chicago yang didanai Ford Foundation yang akan dilaksanakan pada

tahun 1976. Mulanya pilihan jatuh ke H.M. Rasyidi, pengkritik utama pikiran

Nurcholish Madjid, tetapi setelah mempertimbangkan usianya yang sudah tua, pilihan

itu dibatalkan dan dialihkan kepada Nurcholish Madjid. Nurcholish Madjid mendapat

dukungan dari Rayburn Smith, pegawai Ford Foundation yang bertempat di Jakarta.

Namun untuk memenuhi persyaratan Ford Foundatrion, Nurcholish Madjid harus

menjadi Pegawai Negeri Sipil. Untuk itu kemudian ia dilantik menjadi tenaga peneliti

LIPI.

Di Universitas Chicago, Nurcholish Madjid meminta pada Leonard Binder agar

ia dapat kembali lagi dengan stasus mahasiswa setelah penelitian di Chicago berakhir.

Setelah pulang ke Indonesia, pada th 1978 Nurcholish Madjid kembali ke Amerika

Serikat untuk mengambil program pasca sarjana di University of Chicago dibawah

bimbingan Fazlur Rahman. Nurcholish Madjid lulus pada tahun 1984 dengan yudisium

Cumlaude, dengan judul disertasinya Ibn Taymiya on Kalam and Falsafah: A Problem

of Reason and Revelation in Islam (Ibn Taymiyah dalam Ilmu Kalam dan Filsafat:

Masalah Akal dan Wahyu dalam Islam).

2. Karya-karya Nurcholish Madjid

Nurcholish Madjid dapat digolongkan sebagai seorang cendikiawan yang

produktif, terbukti dengan banyaknya karya-karya ilmiah baik berupa makalah maupun

artikel atau Buku. Karya-karyanya yang kini telah beredar dalam bentuk buku di

202
pasaran Indonesia antara lain:

1) Khazanah Intelektual Islam (Editor, 1984). Karya ini menurut penulisnya

dimaksudkan untuk memperkenalkan salah satu segi kejayaan Islam di bidang

pemikiran, khususnya yang berkenaan dengan filsafat dan teologi. Ia

memperkenalkan sarjana-sarjana Muslim Klasik, antara lain al-Kindi, al-Asy’ari, al-

Farabi, Ibn Sina’, al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Taymiyah, Ibn Khaldun, al-Afghani,

dan Muhammad Abduh. Sebagaimana diakui oleh Nurcholish sendiri, buku ini

merupakan sekedar pengantar pemikiran kepada kajian yang lebih luas dan

mendalam tentang khazanah kekayaan pemikiran Islam. Meskipun hanya sebuah

pengantar, tetapi ini merupakan sumbangsih berharga, khususnya terhadap literatur-

literatur pemikiran Islam yang berbahasa Indonesia.

2) Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (1987). Buku ini sampai dengan tahun

1999 telah dicetak ulang sebanyak 12 kali. Di dalamnya merupakan kumpulan

tulisan-tulisan Nurcholish Madjid, yang menurutnya dikerjakan dalam rentang

waktu dua dasawarsa sebagai respon terhadap berbagai persoalan dan isu-isu yang

berkembang pada saat itu. Di bawah prinsip “untuk mencari dan terus mencari

kebenaran, secara tiada berkeputusan” dan berkeyakinan bahwa Tuhan adalah

Kebenaran dan bahwa hanya Dia-lah Kebenaran Mutlak, Nurcholish Madjid

melontarkan gagasan-gagasannya di sekitar kemodernan, keislaman, dan

kemanusiaan.

3) Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah

Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan (1992). Buku ini berisi kumpulan

203
makalah, yang ditulis Nurcholish Madjid pasca studi di Chicago, sekaligus

merupakan karya monumentalnya, yang berupaya menghadirkan ajaran-ajaran Islam

dengan adil, inklusif, dan kosmopolit. Di dalamnya terungkap gagasan-gagasannya

di bawah tema tauhid dan emansipasi harkat manusia, disiplin ilmu keislaman

tradisional, membangun masyarakat etika, serta universalisme Islam dan

kemodernan. Dalam pengantarnya, Nurcholish Madjid menyebutkan bahwa agama

(Islam) telah mengajarkan manusia bagaimana seharusnya menjaga keselamatannya

di dunia dan akhirat. Kita, kata Nurcholish Madjid, harus mempunyai tujuan hidup

yang transedental berdasarkan iman. Tuntutan iman ini harus juga dinyatakan dalam

amal yang menjadi kebajikan sosial, sekaligus menciptakan masyarakat yang

egaliter dan inklusif yang memungkinkan manusia saling menjaga dan

mengingatkan tentang kebenaran dan keadilan.

4) Islam, Kerakyatan dan Keindonesiaan: Pikiran-pikiran Nurcholish “Muda”

(1994). Sebagaimana dalam bukunya islam kemoderenan dan Keindonesiaan, dalam

buku ini Nurcholish Madjid berbicara mengenai Keislaman, Keindonesiaan, dan

Kemodernan, dengan penekanan bagaimana menciptakan masyarakat yang

berkeadilan berdasarkan prinsip-prinsip tauhid.

5) Pintu-pintu Menuju Tuhan (1994). Buku ini sebenarnya merupakan

kumpulan sebagian besar tulisan Nurcholish Madjid pada kolom “Pelita hati” di

Harian Pelita (1981-1991) dan Tempo. Merupakan penjelasan yang lebih sederhana

mengenai ajaran yang inklusif dan universal yang menjadi tema besar dalam buku

Islam Doktrin dan Peradaban. Dalam buku ini, tema-tema besar tersebut, mencakup

204
masalah iman, peradaban, etika, moral, dan politik Islam kontemporer, disajikan

dengan bahasa yang lugas, ringan, dan sederhana, sehingga mudah dimengerti.

Namun demikian, hal tersebut tidaklah mengurangi akan kedalaman dan keluasan

visi dan wawasan dari sang penulisnya, melainkan justru merupakan salah satu

keistimewannya. Membaca buku ini, halaman per halaman tak ubahnya ibarat kita

mendaki pegunungan, semakin ke atas semakin terasa sejuk.... Menurut Gunawan

Muhammad, yang memberikan kata pengantar untuk buku ini mengatakan bahwa

tulisan-tulisan Nurcholish Madjid tersebut tetap bertahan dalam tradisi humanis,

yang juga menekankan kembali peran manusia sebagai khalifah di muka bumi.

6) Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam

dalam Sejarah (1995). Sebagaimana buku Islam Doktrin dan Peradaban, pemikiran-

pemikiran Nurcholish Madjid dalam buku ini merupakan analisis dan refleksi

terhadap wacana keislaman secara mendasar. Hanya saja, pemikiran-pemikiran

Nurcholish Madjid yang tertuang dalam buku ini lebih terarah pada makna dan

implikasi penghayatan iman terhadap perilaku sosial. Lebih dari itu, Nurcholish

Madjid dalam buku ini membahas tema-tema pokok ajaran Islam yang telah

berkembang dan mengalami distorsi di tangan umat Islam sendiri, sehingga menjadi

mitos dan dongeng. Dalam pengertian lain, seringkali sulit dibedakan antara nilai-

nilai Islam yang bersifat substansial dan fundamental dari ajaran yang sekunder dan

terbuka untuk penafsiran bahkan perubahan. Diungkapkan oleh Komaruddin

Hidayat dalam pengantar buku ini, melalui buku ini Nurcholish Madjid

menunjukkan konsistensinya sebagai pemikir yang apresiatif dan memiliki akses

205
intelektual terhadap khazanah Islam klasik, namun berbarengan dengan itu ia tetap

setia pada cita-cita humanisme dan modernisme Islam. Ditambah lagi dengan

wawasan kesejarahan dan sosiologis yang dipelajarinya telah memungkinkan

Nurcholish Madjid untuk menyuguhkan wawasan dan interpretasi ajaran dasar Islam

yang terbebas dari mitos pemihakan ideologis karena kepentingan politik praktis.

7) Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam

Indonesia, (1995). Buku ini menghadirkan ajaran Islam secara lebih humanis, adil,

inklusif, dan egaliter yang bertolak dari paradigma tauhid dan etika. Hanya saja,

Nurcholish Madjid dalam buku ini, menyajikan pemikiran-pemikirannya dengan

wawasan yang lebih kosmopolit dan universal sekaligus mempertimbangkan aspek

parsial dan kultural paham-paham keagamaan yang berkembang. Hal ini merupakan

konsekuensi logis bagi Nurcholish Madjid agar ajaran-ajaran Islam yang universal

senantiasa memiliki relevansinya dengan tuntutan ruang dan waktu, harus selalu

dilakukan dialog kultural antara ajaran yang universal dengan yang partikular.

Dikatakan oleh Wahyuni Nafis dalam kata pengantar buku ini, Nurcholish Madjid

mengajak kita untuk bisa memahami mana yang benar-benar agama—yang dengan

demikian bersifat mutlak—dan mana yang benar-benar sebagai budaya—yang

dengan demikian bersifat relatif dan sementara. Agama dan budaya sebagaimana

sudah banyak disuarakan oleh banyak pemikir kebudayaan, pada kenyataannya tidak

dapat dipisahkan, namun dapat dibedakan.

8) Masyarakat Religius (1997). Buku yang berisi lima bab ini mengetengahkan

Islam dan konsep kemasyarakatan, komitmen pribadi dan sosial, konsep keluarga

206
Muslim, prinsip medis dan kesehatan keluarga muslim serta konsep mengenai

eskatologis dan kekuatan supra alami.

9) Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia

(1997). Buku ini terdiri dari empat bab, yaitu pertama, kajian ilmiah terhadap Islam

di Indonesia, kedua, bagaimana peran umat Islam Indonesia menyonsong era tinggal

landas, ketiga, dimensi sosial budaya pembangunan di Indonesia, dan keempat,

demokrasi di Indonesia. Dalam buku ini Nurcholish membahas peran dan fungsi

Pancasila, organisasi-organisasi politik dan Golkar, Pemilu, demokrasi,

demokratisasi, oposisi, keadilan, dan dinamika perkembangan intelektual Islam di

Indonesia. Kecuali itu, yang menarik ketika Nurcholish Madjid berbicara mengenai

oposisi, yang dimaksudkan adalah “oposisi loyal”. Oposisi seperti inilah yang

dibenarkan dalam masyarakat yang memegang teguh prinsip-prinsip musyawarah.

Dalam konteks ini Nurcholish Madjid menegaskan bahwa oposisi memang

diperlukan karena ia mempertajam pemikiran.

10) Kaki Langit Peradaban Islam (1997). Buku ini merupakan suntingan

sebagian kumpulan makalah Nurcholish Madjid yang ditulis dalam rentang waktu

10 tahunan, antara tahun 1986-1996. Buku ini berisi tiga bab. Pertama,

mengetengahkan wawasan peradaban Islam. Kedua, menjelaskan sumbangan

pemikiran-pemikiran para tokoh Muslim, antara lain al-Syafi’i dalam bidang hukum

Islam, al-Ghazali dalam bidang tasawuf, Ibn Rusyd dalam bidang filsafat dan Ibn

Khaldun dalam bidang filsafat sejarah dan sosial. Dan ketiga, mengenai dunia Islam

dan dinamika global.

207
11) Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (1997). Buku ini merupakan

seleksi atas makalah-makalah Nurcholish Madjid sekitar duapuluh tahun yang lalu.

Buku ini memuat deskripsi dunia pesantren dengan segala dinamika

perkembangannya, berhadapan dengan wacana modernisasi. Meskipun telah berlalu

kurang lebih 20-an tahun, kehadiran buku ini tetap menunjukkan signifikansinya

dalam rangka mencari dan menemukan format baru dunia pesantren berhadapan

dengan realitas eksternal yang mengitarinya.

12) Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik

Kontemporer (1997). Buku ini sangat berbeda dengan buku-buku Nurcholish

Madjid lainnya, karena ia merupakan kumpulan wawancara yang pernah dimuat

dalam berbagai media massa dari sekitar tahun 1970-an sampai 1996-an dengan

tema yang sangat beragam dan spontan, meliputi berbagai persoalan aktual: politik,

budaya, pendidikan, peristiwa 27 Juli, dan lain-lain. Meskipun lebih merupakan

bacaan ringan dengan kata pengantar yang panjang lebar dari seorang pengamat

politik seperti Fachri Ali, buku ini sangat menarik dan menjadi pendukung penting

untuk dapat menangkap semua gagasan yang pernah dilontarkan Nurcholish Madjid

dalam buku-buku yang lain.

13) Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi (1999). Buku ini dapat dikatakan

merupakan perjalanan panjang pandangan sosial politik Nurcholish Madjid dalam

wacana perpolitikan di Indonesia. Sebagaimana diungkapkan oleh pemberi kata

pengantar buku ini, buku ini dapat menyarikan pemikiran-pemikiran yang selama ini

digeluti Nurcholish Madjid, yakni bahwa semua gagasan yang pernah

208
dilontarkannya dalam berbagai bidang merupakan transformasi nilai-nilai al-Quran

dalam mewujudkan masyarakat madani, istilah yang sekarang makin populer dalam

wacana nasional bangsa Indonesia.

Di samping itu karya tulis Nurcholish juga tersebar dalam beberapa buah buku,

jurnal maupun majalah, baik yang berbahasa Indonesia, Inggris, maupun Arab, dan

bahkan banyak makalah-makalahnya yang belum diterbitkan. Di antara karya-karya

tulis itu adalah:

Al-Quran, ‘Arabiyy-un Lughat-an wa ‘Alamiyy-un Ma’n-an (1968). Merupakan karya

skripsi sarjananya di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam karya tulis ini Nurcholish

Madjid membahas al-Quran dilihat dari segi makna dan bahasanya. Menurutnya, al-

Quran dilihat dari segi bahasa bersifat lokal karena menggunakan bahasa Arab, sebab

diturunkan di kawasan Jazirah Arab. Akan tetapi, dari segi makna, al-Quran memiliki

kandungan pengertian universal, sebab ia merupakan kitab rahmat bagi seluruh alam

semesta. Belum diterbitkan.

Ibn Taymiyah on Kalam and Falsafah: Problem of Reason and Revelation in Islam

(1984). Karya ini merupakan disertasi doktoralnya di Chicago University, AS., yang

mengetengahkan tentang kajian kalam dan filsafat. Belum diterbitkan.

“Pesantren dan Tasawuf”, dalam M Dawam Rahardjo (ed.) Pesantren dan Pembaharuan.

“Tasawuf Sebagai Inti Keberagamaan” dalam Pesantren No 3/Vol. II/1985.

“Akhlak dan Iman” dalam Adi Bajuri (peny.) dalam Pelita Hati.

“Pengaruh Kisah Israiliyat dan Orientalisme Terhadap Islam” dalam K.H. Abdurrahman

Wahid, et. al., Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia (1991)

209
“Al-Quds” dalam Wahyuni Nafis (ed.), Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam

(1996).

“Aktualisasi Ajaran Ahlussunnah wal jama’ah dalam M. Dawam Rahardjo (pengantar),

Islam Indonesia Menatap Masa Depan (1989).

“The Issues of Modernization among Muslim in Indonesia: From a Participant’s View”,

dalam Gloria Davis (ed.), What is Modern Indonesia? (1979).

“Islam ini Indonesia: Challenges and Opprtunities”, dalam Cyriac K. Pullaphilly (ed.),

Islam in the Contemporary World (1980).

Dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus (ed.), Passing Over, Melintas Batas

Agama, Nurcholish menyumbangkan tiga tulisan, yaitu:

“Dialog Agama-agama dalam Perspektif Universalisme al-Islam”

“Kebebasan Beragama dan Pluralisme dalam Islam”

“Keluarga Imran, Siti Maryam, dan Isa al-Masih”

Dan masih banyak lainnya yang tidak mungkin dicantumkan dalam tulisan ini.

Secara ringkas, ide-ide pembaruan yang digagas Nurcholish Madjid dapat

dijelaskan sebagai berikut. Pertama, umat Islam, kecuali sebagian kecil, sudah tidak

tertarik lagi dengan partai-partai/organisasi-organisasi Islam karena partai-partai itu

tidak lagi menyalurkan aspirasi-aspirasi umat Islam secara keseluruhan, tetapi lebih

banyak berjuang untuk kepentingan partai atau kelompok masing-masing. Untuk itu,

Nurcholish Madjid menyuarakan jargon “Islam, Yes; Partai Islam, No.

Dengan rumusan ini Nurcholish Madjid menegaskan pendiriannya bahwa

komitmennya hanyalah pada Islam, bukan kepada institusi-institusi keislaman. Dengan

210
kata lain, penolakan terhadap institusi kepartaian politik Islam haruslah dipahami

sebagai penolakan bukan karena Islamnya, tetapi penolakan terhadap pemanfaatan

Islam oleh mereka yang terlibat dalam kehidupan partai politik Islam.

Kedua, umat Islam harus melepaskan diri dari kejumudan berpikir dari dirinya

termasuk kelembagaan politik yang dimilikinya. Untuk itu diperlukan pembaruan

pemikiran yang rasional dan sesuai dengan kondisi empiris yang ada ketika itu. Untuk

bisa sampai pada tahapan ini, cara efektif adalah dengan terlebih dahulu menetapkan

sikap dasar terhadap pembaruan, sebagai pijakan untuk menempuh langkah-langkah

operasional. Dalam hal ini Nurcholish menekankan liberalisasi pandangan terhadap

ajaran-ajaran Islam. Inilah salah satu letak perbedaan pandangan Nurcholish Madjid

dengan tokoh seniornya yang lebih mementingkan pandangan skripturalis dan dokrinal

dalam meresponi perkembangan modern. Yang dimaksud dengan liberalisasi di sini erat

kaitannya dengan membebaskan diri dari nilai-nilai yang tradisional,

danmenggantinya dengan nilai-nilai yang berorientasi masa depan. Proses liberalisasi

ini mencakup setidak-tidaknya tiga hal: sekularisasi, kebebasan berpikir, dan gagasan

kemajuan.

Ketiga, guna menggerakkan dan merumuskan pikiran-pikiran baru yang segar

dan progresif, diperlukan kelompok-kelompok pemikir yang “liberal”, yang non-

tradisionalis dan non-sektarian. Pikiran ini didasarkan pada pengamatannya bahwa

organisasi-organisai yang dikenal sebagai wadah pembaru selama ini sudah tidak lagi

menceminkan sikap itu. Mereka sudah tidak sanggup lagi menangkap semangat dari ide

pembaruan itu sendiri, yaitu dinamika dan progresivitas. Sebaliknya, organisasi-

211
organisasi yang dulunya kontra reformis mengambil alih apa yang menjadi hak

monopoli kaum pembaru selama ini walaupun mereka tidak sepenuh hati. Keadaan ini

mengakibatkan stagnasi menyeluruh yang menimpa umat Islam. Untuk itu diperlukan

adanya kelompok pembaruan Islam baru yang liberal dengan konsekuensi logis non-

tradisionallisme dan non-sektarianisme.

C. Hamzah Haz

1. Dari Madrasah Diniyah ke Panggung Politik

Hamzah Haz dilahirkan di Ketapang sebelah selatan propinsi Kalimantan Barat

pada tanggal 15 Februari 1940, tepatnya didaerah Pesaguan, sebuah desa kecil yang

terletak di kecamatan Molahilir Kabupaten Ketapang. Hamzah dibesarkan dalam

keluarga yang taat beragama dan ketat dalam menjalankan ajaran Islam.

Ayahnya, H. Abdullah H. Ahmad, adalah seorang yang pada awalnya berprofesi

sebagai guru Sekolah Rakyat (SR) dan pada pendudukan Jepang sampai masa

kemerdekaan menjadi kepala Desa, dan jabatan ini dijalaninya selama kurang lebih 20

tahun.

. Masa sekolahnya dilaluinya mulai dari Pesaguan. Pagi hari sekolah di SR dan

sore harinya sekolah di Madrasah Diniyah. Namun di tempat kelahiranya itu hanya

sampai kelas 3. Hamzah kecil melanjutkan kelas 4 dan 5 di ketapang, sambil sore

harinya menuntut ilmu di Madrasah Diniyah. Tinggal bersama nenek dari pihak ayah,

Hamzah mulai belajar hidup mandiri, jauh dari orang tua. Seminggu sekali ia pulang ke

Pesaguan dengan menggunakan sepeda, karena jarang mobil atau kendaraan umum

212
melewati daerah tersebut.

Setelah menyelesaikan sekalah rakyat pada tahun 1954, Hamzah melanjutkan ke

SMPN 1 Pontianak sampai kelas II, Hamzah kemudian pindah ke SMPN Ketapang,

untuk kumpul bersama orang tuanya, sambil meneruskan pendidikan di Madrasah

Diniyah.

Pendidikan agama diperolehnya melalui madrasah diniyah hingga tamat,

disamping pendidkan agama yang diberikan orang tuanya secara langsung kepada anak-

anaknya. Bahkan diakuinya faktor orang tua sangat mempengaruhi proses pengenalan

dia terhadap agama Islam sampai Hamzah tumbuh menjadi politisi yang mampu

bertahan dalam posisinya hingga sekarang. Pendidikan orang tua begitu besar

mempengaruhi prilaku dan mentalitas Hamzah hingga menjadi politisi yang dikenal

memiliki integritas perjuangan dan konsistensi sikap itu.

Ketika di SMPN, Hamzah sudah tertarik dengan organisasi dan sering mengikuti

berbagai aktivitas yang diadakan oleh sekolah maupun organisasi lainnya. Keinginan

untuk menjadi pengusaha pada waktu kecil menggambarkan betapa pengaruh orang tua

begitu besar, yang pada waktu itu sudah menjadi pengusaha yang relatif sukses. Dari

keinginan itu pula yang menjadikan Hamzah melanjutkan ke Sekolah Menengah

Ekonomi Negeri (SMEAN) Pontianak setelah tamat SMP pada tahun 1957. Di sini

Hamzah mulai mengembangkan hobi berorganisasi yang mengantarkan Hamzah

menjadi wakil ketua organisasi Ikatan Pelajar SMEAN Pontianak. Bahkan ketika itu

pula Hamzah pernah menjadi salah satu ketua Himpuanan Siswa Ekonomi Seluruh

Indonesia (HIMSEKSI) Kalimantan Barat. Bahkan, , Hamzah sempat mengikuti

213
Kongres HIMSEKSI di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Setamat dari SMEAN, Hamzah lebih tertarik untuk mengikuti Kursus Perbankan

di Bandung. Keinginan untuk masuk di dunia perbankan bersamaan dengan niat

pemerintah Daerah yang akan mendirikan Bank Perintis milik Masyumi. Hingga

selesai kursus perbankan, hamzah tidak langsung bekerja di bank tersebut karena

sampai Hamzah lulus Bank tersebut tidak kunjung berdiri. Dengan kata lain Hamzah

sempat menjadi pengangguran untuk beberapa waktu. Pada saat yang sama ada

lowongan untuk menjadi wartawan surat kabar “Bebas” (sebuah koran daerah).

Hamzah pun mengirim lamaran diterima masuk menjadi wartawan koran tersebut.

Ketika menjadi “wartawan muda”, hobi berorganisasi Hamzah terus terlihat,

terbukti Hamzah sempat menjadi calon ketua PWI (persatuan Wartawan Indonesia).

Saat menjadi wartawan inilah, Hamzah menikahi gadis yang bernama Asminah, pada

pertengahan tahun 1961 dan tahun berikutnya dikaruniai seorang putra. Sampai

kemudian Hamzah memutuskan untuk pulang kembali ke Ketapang untuk mengajar

SMA Ketapang dan dengan modal sebagai wartawan di Pontianak, Hamzah mendirikan

surat Kabar “Berita Pawan” yang terbit tiga kali dalam seminggu dan dicetak dengan

stensilan. Pada saat itu pula Hamzah pernah dipanggil oleh Pejabat daerah itu

berkaitan dengan tulisan-tulisan yang kritis dan vokal terhadap pemerintah daerah.

Tidak lama setelah menjadi wartawan, bersama empat orang lainnya Hamzah

Haz mendapakan tugas belajar dari Koperasi Kopra Kalimantan Barat untuk kuliah di

Akademik Koperasi Negara Yogyakarta. Itu terjadi pada tahun 1962 sampai dengan

1965. Hal ini karena orang tuanya sebagai anggota Koperasi Kopra dan mempunyai hak

214
untuk itu. Di waktu kuliah, Hamzah termasuk orang yang sangat rajin dan tekun, itu

terlihat misalnya dari hasil mata kuliah yang tidak pernah gagal dalam setiap ujian.

Di Yogyakarta, hobi berorganisasi Hamzah semakin mendapatkan saluran,

apalagi suasana saat itu mengaharuskan orang untuk menentukan pilihan, karena

kehidupan politik dan organisasi dikalangan mahasiswa sedang hangat-hangatnya.

Hamzah kemudian masuk Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) komisariat

Akademi Koperasi Negara Yogyakarta. Bahkan Hamzah termasuk pendiri komisariat

tersebut dan pernah menjadi ketuanya. Mengapa PMII, bukan GMNI, HMI atau lainya

?. Pertimbanganya, karena PMII merupakan organisasi ekstra Universiter yang berada

di bawah Nahdlatul Ulama (NU) sementara Hamzah Haz sendiri adalah pengurus NU

cabang Ketapang.

Pada periode yang sama, yaitu 1962-1965 Hamzah juga menjabat sebagai ketua

pelajar/mahasiswa kalimantan Barat di Yogyakarta. Dalam berbagai aktivitasnya yang

cukup banyak itu, Hamzah bahkan pernah menjadi peserta Konferensi PERTANU

(persatuan Tani NU), sebuah organisasi onderbouw NU yang bergerak di bidang

pertanian.

Di Yogyakarta, Hamzah banyak mengalami perubahan signifikan yang banyak

membentuk dan mempengaruhi pola dan karakter politiknya dikemudian hari. Di kota

yang dunia mahasiswanya dikenal sangat dinamis ini, Hamzah muda mulai banyak

belajar tentang organisasi dan politik secara lebih dewasa. Naluri politik Hamzah muda

sebagai aktivis mahaiswa mulai tumbuh dan berkembang di kota ini selama kurang

lebih tiga tahun.

215
Setelah kurang lebih tiga tahun kuliah di Yogyakarta, persis peristiwa Gestapu,

Hamzah menjalani ujian akhir. Belum selesai pengumuman ujian, Hamzah sudah bisa

pulang ke Pontianak (bukan ke Ketapang), oleh karena tidak pernah her dalam setiap

ujiannya. Di Pontianak Hamzah mengabdikan dirinya pada lembaga yang telah

memberinya kesempatan tugas belajar, dengan menjadi pengurus Koperasi Kalimantan

Barat, yang pada awalnya sebagai sekretaris yang kemudian menjadi ketua.

Pada tahun 1965-an, orang yang bertitel sarjana muda di Kalimantan Barat

masih sangat sedikit, maka kehadiran Hamzah memiliki posisi tersendiri dalam

lingkungan masyarakat itu. Sambil terus mengembangkan hobinya berorganisasi,

Hamzah melanjutkan kuliah dengan memasuki Fakultas Ekonomi Universitas

Tanjungpura, ditingkat IV, bahkan kemudian dipercaya sebagai asisten dosen Hendro S,

dan secara resmi diangkat oleh PTIP dengan gaji sebesar Rp. 150. Di samping itu

Hamzah juga mengajar di SKOPMA (Sekolah Koperasi Menengah Atas).

2. Karir Politik Hamzah Haz

Keterlibatan Hamzah dalam politik berawal dari ajakan guru agamanya, yaitu

KH. Buchori untuk menjadi pengurus NU Cabang Ketapang. Dalam usianya yang

relatif masih muda, yakni 20 tahun, Hamzah sudah resmi menjadi pengurus NU Cabang

Ketapang. Kecintaanya pada NU, salah satunya disebabkan NU bukan hanya karena

mengurusi masalah duniawi tetapi juga hal ukhrowi (hablumminallah

wahablumminannas)

Hamzah memilih NU karena kecintaannya terhadap NU, ditambah pada waktu

itu Masyumi sebagai partai politik sudah dilarang oleh pemerintah. Apalagi di Ketapang

216
tidak ada perbedaan secara mencolok antara NU dan Muhammadiyah dalam hal

ubudiyah, semua memakai qunut, tahlil atau lainnya. Tetapi yang menarik adalah

perbedaan pilihan politik dalam sebuah keluarga tidak mempengaruhi hubungan antar

keluarga. Bahkan dalam kampanye pemilu pada waktu itu mereka mewakili partai yang

berbeda, ayahnya mewakili Parmusi dan Hamzah mewakili NU.

Hamzah menjadi anggota DPRD bukan “mewakili” NU, melainkan mewakili

KAMI (kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) Kalimantan Barat atau angkatan 66.

Tetapi itu tidak berlangsung lama, karena Hamzah mengundurkan diri menjadi anggota

DPRD dari KAMI dan lebih memilih NU. Pada waktu itu ada peraturan pemerintah

yang mengharuskan semua orang KAMI atau angkatan 66 harus masuk Golkar atau

berhenti. Tetapi pada saat yang sama, setelah keluar, kebetulan ada kursi kosong dari

NU yang kemudian Hamzah diminta untuk mengisi kembali

Pengabdian Hamzah di NU sampai pada tingkat yang terus meningkat, dari

mulai cabang Ketapang sampai tingkat wilayah. Di tingkat wilayah Kalimantan Barat,

setelah menjadi sekretaris wilayah, Hamzah kemudian dipercaya menjadi wakil ketua

tanfidziyah NU wilayah Kalimantan Barat.

Pada tahun pemilu 1955, wilayah kalimantan Barat tidak memiliki wakil di DPR

RI, karenanya Hamzah dan kawan-kawan lainnya melakukan konsolidasi dan

pembenahan sehingga pada tahun pemilu 1971 Kalimantan Barat memperoleh kursi di

DPR RI, dengan wakil Hamzah sendiri. Ketika itu usianya 30 tahun, usia yang relatif

muda dan mengagumkan dalam sebuah partai dengan sistem rekrutmen kader yang

cukup ketat. Di Senayan itu, Hamzah sudah mulai kenal dan “berguru” kepada senior-

217
seniornya seperti KH. Idham Kholid, KH. Ahmad Syaikhu, KH. Masykur dan lainnya.

Hamzah sangat berbahagia sekali dapat berkumpul bersama mereka dan belajar

terhadap pengalaman mereka. Pengalaman itu misalnya tentang konsistensi untuk

memperjuangkan umat Islam dan bagaimana membangun hubungan dan relasi dalam

berpolitik dan sebagainya. Maka dari itu, penghormatan terhadap mereka begitu terlihat

sampai sekarang, bahkan kepada putra-putri kyai/ulama yang menjadi “guru

politik”nya, Hamzah masih tetap menghormati.

Hamzah yang belum begitu menonjol pada saat itu, membuatnya nekat untuk

belajar dan bekerja lebih keras lagi untuk “mengejar ketertinggalanya”, maka Hamzah

menjadikan DPR sebagai “sekolah”, learning by doing, gurunya adalah orang-orang

sudah lebih dulu mengenyam asam garam menjadi anggota DPR.

Lebih dari itu, muncul kebijakan pemerintah Orde baru untuk menyederhanakan

partai-partai menjadi tiga partai politik NU bersama PERTI, MI, PERSIS dan partai

Islam lainnya mengaharuskan untuk berfusi dalam satu wadah yaitu Partai Persatuan

Pembangunan (PPP). Karena Hamzah menjadi anggota DPR RI dari NU, maka secara

automatis Hamzah menjadi anggota MPW (Majelis Pertimbangan Wilayah) PPP

Kalimantan Barat, dan inilah kiprah awal Hamzah di lingkungan PPP.

Perjalanan Hamzah Haz menjadi anggota DPR cukup panjang, sejak masuk pada

tahun 1971 sampai akhir tahun 1999, sejak menjadi anggota biasa sampai kemudian

menjadi wakil ketua DPR, dijalaninya dengan penuh tanggung jawab karena sebuah

kepercayaan. Kiprahnya di DPR diawali sebagai anggota komisi APBN. Karena

pengalamanya yang cukup panjang, mengantarkan Hamzah menjadi wakil ketua komisi

218
APBN selama 10 tahun dari 1982-1992.

Kepakaran dan pengalaman Hamzah dalam bidang APBN, membuat orang

menjulukinya sebagai Ayatullah APBN. Kecermatan analisisnya menjadi sumber dalam

setiap penyusunan APBN. Bahkan bukan hanya itu masalah-masalah ekonomi yang

berakit dengn devisa dan harta negara menjadi perhatian utamanya. Dari kasus kredit

macet BNI senialai 633,6 milyar paada tahun 1980 sampai pada kasus likuidasi dan

penjualan tanah serta gedung KBRI di Singapura. Bahkan karena penguasaanya

terhadap APBN secara lebih mendetail dan menyeluruh, Hamzah seringkali disebut

sebagi kamus berjalan APBN yang selalu siap berkomentar tentang APBN kapan saja

dimana saja. Bahkan bersama rekannya Umar Basalim (sekjen MPR RI dan Rektor

Universitas Nasional), Hamzah menulis di surat kabar tentang persoalan politik dan

terutama ekonomi. Hamzah menjadi anggota Dewan sampai empat kalidisamping

dipercaya sebagai ketua Fraksi PPP selama tahun 1992-1997 dan 1997-1998.

Bahkan pada era Reformasi, tepatnya ketika Habibie menjadi Presiden

menggantikan Soeharto yang lengser pada tahun 10 Mei 1998, Hamzah sempat menjadi

menteri Negara Investasi/Kepala BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal). Kiprah

Politik Hamzah di Dewan berakhir setelah Ia menduduki posisi sebagai wakil Ketua

DPR mendampingi Akbar Tanjung. Karena setelah itu Hamzah diangkat menjadi

Menteri Koordinartor Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan

(Menko Kesra dan Taskin) pada Kabinet Persatuan Nasional yang di bawah Komando

KH. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden.

Pada Pemilu tahun 1999 merupakan tantangan berat buat PPP untuk bertarung

219
bersama partai-partai Islam lainnya. Seperti banyak dikatakan, bahwa pemilu 1999

diikuti oleh puluhan partai-partai Islam yang berarti jumlah pesaing semakin banyak

dan beragam. Maka menjadi ujian tersendiri buat PPP untuk bisa mempertahankan basis

konstituenya untuk di DPR mapun DPRD.

Muktamar IV PPP yang diselenggarakan tanggal 29 November 1998, memiliki

makna yang sangat strategis. Setidaknya ada tiga hal penting yang dihasilkan muktamar.

Pertama, ditetapkannya asas Islam menjadi asas partai menggantikan Pancasila,

penggantian ini diperikirakan memiliki pengaruh yang signifikan dan meluas. Kedua,

menetapkan kembali Ka’bah sebagai lambang partai menggantikan bintang dan Ketiga,

terpilihnya Dr. Hamzah Haz menjadi Ketua Umum DPP PPP periode 1999-2004

mengalahkan pesaing tunggal Dr. Ir. AM Saifuddin yang waktu itu juga menjabat

sebagai Menteri Negara Urusan Pangan dan Holtikultura pada Kabinet Reformasi

. Hal yang ketiga ini cukup peting terutama untuk basis NU di PPP, karena lebih 20

tahun lebih orang NU baru kembali memperoleh posisi Ketua Umum.

Ketika Habibie menggantikan Soeharto menjadi presiden pada tahun 1998, ada

upaya untuk mengakomodir kekuatan partai lain selain Golkar untuk masuk dalam

kabinet, Maka Habibie dalam merekrut kabinet mengakomodir dari partai lain termasuk

PPP untuk menjadi kabinet Reformasi. Dari PPP ada dua orang yang masuk menjadi

menteri, yakni Hamzah Haz sebagai Menteri Investasi dan Kepala BKPM dan AM

Saifuddin menjadi menteri Urusan Pangan dan Holtikultura.

Setelah satu tahun kurang tiga belas hari, Hamzah bekerja sebagai

Maninvest/kepala BKPM dengan penuh tanggung jawab dan sepenuh hati maka

220
Hamzah mengajukan pengunduran dirinya kepada presiden. Pilihan untuk

mengundurkan diri sebagai menteri adalah konsekwensi yang harus diterima karena

Hamzah terpilih sebagai Ketua Umum dan calon legeslatif dari daerah pemilihan

Jakarta. Hal itu pun diikuti juga oleh beberapa menteri lainnya seperti Akbar Tanjung

yang terpilih sebagai Ketua umum Partai Golkar.

Kekuatan poros tengah dalam sidang Umum MPR 1999, kembali membawa

Hamzah masuk dalam jajaran kabinet KH. Abdurrahman Wahid (atau yang akrab

dipanggil Gus Dur). Dalam kabinet Gus Dur itu Hamzah menduduki posisi sebagai

Menteri Koodinator Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan (Menko Kesra

Taskin). Sejak dari awal, sesungguhnya tidak ada niat atau keinginan sedikitpun diriinya

untuk menjadi menteri karena berat dan besarnya tanggung jwab yang harus dikerjakan.

Hal itu sebenarnya sudah sering dikatakanya dalam intern PPP sendiri maupun poros

tengah. Tetapi karena desakan dan situasi politik pada waktu itu, maka Hamzah pun

menerima tawaran tersebut. Sejak menjadi menteri dirinya tidak pernah sekalipun

datang ke kantor PPP, padahal tamu yang datang banyak sekali. Maka ketika harus

memilih antara pertai atau menteri maka dirinya lebih memilih partai.

Hal itu terbukti ketika dirinya tidak bisa berbuat apa-apa lagi terhadap partai

karena kesibukannya menjadi menteri dengan perhatian yang minim dan lain

sebagianya, membuat Hamzah akhirnya lebih memilih mengundurkan diri dari Menko

Kesra Taskin dan kosentrasi mengurus partai. Bahkan dalam siaran persnya, Hamzah

mengatakan, kemunduran dirinya dari Kabinet Persatuan Nasional, sangat melegakan.

Karena dengan demikian Ia bisa berkosentrasi penuh pada partai

221
. Pada umumnya ketua umum partai memiliki jabatan formal, maka Hamzah

justru tidak. Ia ingin merombak tradisi itu. Bahkan ketua umum harus memosisikan

dirinya seperti komisaris dalam perusahaan yang hanya berfungsi mengontrol, membuat

policy, yang merencanakan. Sedangkan yang lain seperti direkturnya berfungsi

melaksanakan tugas dari kebijakan-kebijakan tersebut.

Pemilihan Umum tahun 1999 mengahasilkan PPP sebagai pemenang ketiga

setelah PDI Perjuangan dan Partai Golkar. Beberapa partai Islam selain PPP hanya

mendapatkan kursi yang tidak terlalu signifikan. Hal itu cukup berpengaruh terhadap

peta politik dan atmosfir politik Indonesia.

Kemenangan PDI Perjuangan dengan Megawati sebagai calon presidennya

dalam pemilu 1999 membuat kelompok ini memilki keberanian dan kepercayaan diri

dari para elite partai maupun masyarakat bawah yang sangat fanatik, untuk memastikan

dan memperjuangkan Megawati sebagai Presiden RI. Pada saat yang sama Partai Golkar

dengan Habibie sabagai calon presidenya tidak jauh berbeda suasana psikologis-

politisnya dengan PDI Perjuangan. Ditambah Habibie didukung juga oleh beberapa

kelompok Islam. Maka persaingan dan permusuhan politik pun tidak bisa dihindarkan.

Mengatasi kebuntuan politik dan menghindarakan dari Sidang Umum MPR dari

ancaman deadlock maka para politisi yang tergabung dalam kelompok Islam

membentuk suatu “kekuatan politik tandingan” sebagai kekuatan alternatif, dengan KH.

Abdurrahman Wahid sebagai calon presidennya

Kekuatan tandingan itu yang kemudian populer disebut sebagai “Poros Tengah”

terbukti berhasil mampu menggeser kekuatan politik utama dan menjadikan semua

222
skenario politik Indonesia berubah drastis. Poros tengah kemudian berubah menjadi

kekuatan sentral yang menentukan. Terbukti mampu menggilkan Gus Dur dan Amin

Rais dalam posisi yang penting. Sementara Megawati dan Akbar Tanjung sebagai

pemenang pemilu pertama dan kedua hanya mendapatkan posisi wakil presiden dan

ketua DPR.

Dalam pada itu, PPP dengan 58 kursi ditambah dengan 13 utusan daerah

mempunyai peran yang sangat diperhitungkan terutama ketika bergabung dalam

kelompok baru, poros tengah. Menyadari posisi tersebut, Hamzah memainkan kartu-

kartu politiknya untuk melakukan bargaining position dengan kawan maupun lawan

kelompoknya.

Sebagai kekuatan politik alternatif, Poros tengah sesungguhnya, seperti yang

disebutkan oleh Azyumardi Azra, sifatnya sesaat dan kontraktual. Artinya ikatan dan

konsensi yang terjadi antara kelompok satu dengan yang lain dalam wadah poros tengah

terbatas pada kepentingan yang terjadi pada saat itu, seiring dengan kecenderungan

politik. Maka tidak ada keterkaitan politik apapun ketika semua kepentingan sudah

berhenti misalnya pada Sidang Umum belaka. Tidak mengherankan apabila dalam

perjalananya, presiden Abdurrahman Wahid mendapatkan serangan dan kritik

politiknya justru dari kelompok yang dulu membidani poros tengah.Dus, poros tengah

sebagai kekuatan politik secara formal pada saat ini dianggap telah bubar dan tidak ada.

Meskipun secara individual mereka masih melakukan aktivitas politik secara bersama-

sama, tapi lagi lagi itu bukan mengatasnamakan secara eksplisit sebagai poros tengah.

Poros tengah hanya bisa disebutkan dalam konteks politik pada waktu sidang umum

223
MPR 1999.

Aep Saifulloh Fatah, pengamat politik dan dosen ilmu politik Universitas

Indonesia mengibaratkan bahwa poros tengah sebagai politik mut’ah, artinya politik

yang dibatasi oleh waktu dan situasi tertentu karena kepentingan tertentu dan akan habis

ketika kepentingan itu sudah tercapai. Karennya, poros tengah pada saat itu tidak terlalu

solid, dalam arti dapat bubar, karena kecurigaan-kecurigaan akan monufer politik yang

berkembang sangat cepat dan dinamis45.

Karir politik Hamzah sampai pada puncaknya, ketika Gus Dur akhirnya harus

lengser karena “dilengserkan” oleh sidang umum MPR tahun 2001. Megawati naik

menjadi presiden dan sidang memutuskan Hamzah Haz sebagai wakil presiden.

Pendidikan pesantren mengalami perubahan dari pola “tradisional” kepada pola-

pola “modern”. Interaksi santri dengan dunia yang terus melaju pesat, nampaknya tidak

mampu lagi dihadapi hanya dengan pola pengajaran keagamaan semata, tetapi penting

rasanya juga dibekali dengan ilmu-ilmu keterampilan yang dapat mendukung

pergumulan mereka dengan dunianya. Beberapa nama alumni menghiasi deretan

panjang tokoh-tokoh terkemuka di Indonesia46 dari masa ke masa. Beberapa posisi

penting, bahkan hampir di tiap lini kehidupan sosok santri dapat berkiprah dan

menunjukkan eksistensinya, bersama membangun agama dan bangsa.

45
Eep Saifulloh Fatah, Zaman Kesempatan, Agenda-Agenda Demokratisasi Pasca Orde
Baru,h. 59

46
Untuk lebih dekat dengan tohoh-tokoh Indonesia baik dari pesantren maupun non pesantren,
sekarang sudah ada ensiklopedi tokoh, silahkan klik www.tokohindonesia.com

224
BAB VII

PESANTREN MASA DEPAN (POST MODERN)

Pesantren adalah dimensi pendidikan yang memiliki elemen-elemen penunjang

yang khas, baik elemen yang bersifat hard-ware seperti : mesjid, pondok, ruang belajar,

kitab-kitab dan lain sebagainya. Selain itu pesantren ,mempunyai elemen yang bersifat

soft-ware, seperti: tujuan pendidikan, kurikulum, metode pengajaran, sistem evaluasi,

dan perangkat lainnya yang menunjang proses belajar mengajar.

Dunia pesantren yang nyaris dipahami oleh masyarakat sebagai dimensi yang

tidak berubah, yang selama ini dianggap simbol kejumudan (kebekuan) dan

kemandegan (stagnasi), pada kenyataannya memiliki dinamika perkembangan yang

dinamis, bisa berubah, mempunyai dasar-dasar yang kuat untuk ikut mengarahkan dan

menggerakkan perubahan yang diinginkan., mampu beradaptasi dengan perkembangan

zaman.

Pesantren bukan berarti tidak mempunyai kelemahan dan kekurangan, untuk itu

perlu adanya perbaikan dengan cara melakukan rekonstruksi terhadap sistem pendidikan

yang ada. Keharusan untuk mengadakan rekonstruksi ini sebetulnya telah dimaklumi.

Bahkan dunia pesantren telah memperkenalkan kaidah yang sangat populer al-

muhafadzatu ‘ala qodimissalih wal-‘akhdu bil-jadidil ashlah (membina budaya-budaya

klasik yang baik dan terus menggali budayua-budaya baru yang lebih konstruktif ).

Kebebasan membentuk sistem pendidikan baru merupakan keniscayaan, asalkan

tidak lepas dari bingkai ashlah (lebih baik). Begitu pula, ketika dunia pesantren

225
diharuskan mengadakan rekonstruksi sebagai konsekuensi dari kemajuan dunia modern,

maka aspek ashlah merupakan aspek kunci yang harus dipegang. Pesantren modern

berarti pesantren yang selalu tanggap terhadap perubahan dan tuntuan zaman.

Rekonstruksi sistem pendidikan pesantren bukan berarti merombak seluruh

sistem yang ada yang berakibat hilangnya jati diri pesantren. Sistem pendidikan

pesantren tidak seluruhnya baik dan tidak seluruhnya jelek, untuk itu pimpinan

pesantren dituntut untuk dapat memilih dan memilah mana yang harus diperbaharui dan

mana yang harus dipertahankan.

Rekonstruksi sistem pendidikan pesantren tidak harus merubah orientasi atau

mereduksi orientasi dan idealisme pesantren sebagai lembaga tafaqquh fiddiin dalam

pengertian luas. Pelajaran agama tidak hanya diartikan ilmu-ilmu keagamaan dan

apriori terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga diharapkan pesantren

mampu melahirkan ulama-ulama intelek yang mampu menjawab tantangan zaman.

Rekonstruksi sistem pendidikan pesantren tidak perlu mengorbankan nilai-nilai,

seperti : keikhlasan, kesedarhanaan, ukhuwah Islamiah, kemandirian, dan bebas dalam

memilih alternatif jalan hidup dan menetukan masa depan dengan jiwa besar dan sifat

optimis menghadap segala problematika hidup berdasarkan nilai-nilai Islam.

H. Bingkai Pesantren

Sebagaimana diungkap di atas bahwa rekontruksi pesantren atau perubahan

apapun terhadap pendidikan pesantren harus selalu memperhatikan bingkai pesantren.

Bingkai tersebut merupakan suatu yang harus ada dan menjiwai kehidupan dipesantren

226
yang memang merupakan hasil pengamatan yang mendalam atas kehidupan yang

dikembangkan di pesantren.

Dalam hal ini KH Imam Zarkasyi mencoba merumuskan hasil pengamatannya

terhadap dunia pesantren, menurutnya pesantren itu memiliki minimal lima jiwa:

Keikhlasan, kesederhanaan, berdikari, ukhuwah Islamiyah, dan kebebasan. Jadi suatu

lembaga bisa disebut pesantren bila kehidupan didalamnnya digerakkan oleh keikhlasan

dan mendidik santrinya untuk mewarisi keikhlasan dalam beramal, hal ini berlaku

umum disemua pesantren tidak hanya Gontor saja. Para kyai dan ustadz mengajar

dengan ikhlash47 bukan karena imbalan materia (gaji), demikian juga para santrin

belajar dengan ikhlash niat ibadah mencari ilmu, bukan karena mereka sudah bayar atau

membayar guru. Dengan suasana ini diharapkan ada keterikatan batin anatara kyai

sebagai guru dan santri sebagai murid dengan satu tujuan ibadah, maka ilmu yang

didapat diharapkan bermanfaat. Bentuk keikhlasan ini bisa beraneka ragam sesuai

dengan tradisi yang dikembangkan di pesantren masing-masing, ada yang

mengembangkan konsep khidmah48 kepada guru sebagai wujud dari keikhlasan. Ada

yang menjadikan kepatuhan pada aturan yang digariskan pimpinan sebagai wujud dari

keikhlasan, dan seterusnya. Yang jelas semua aktivitas tidak dimotori atau diukur oleh

imbalan material.

47
Ikhlash adalah inti yang membedakan anatara pesantren dengan lembaga pendidikan lain,
jika suatu lembaga pendidikan walaupun mengambil bentuk pesantren namun tidak ada semangat
keikhlasan pengelolanya, maka menurut kerangka ini bukan pesantren tapi lebih tepat disebut sekolah
berasrama atau boarding school atau lainnya, apa lagi kalau tercerabut dari akar perjuangan dakwah
Islamiyah.
48
Santri membantu pekerjaan Kyai baik di rumah maupun di ladang tanpa mengharapkan
imbalan material.

227
Kedua adalah jiwa kesederhanaan, kehidupan dipesantren diwarnai

kesederhanaan, untuk mengerti arti sederhana yang paling mudah adalah menunjukkan

lawan katanya yaitu kemewahan atau berlebihan. Jadi kehidupan di pesantren tidak

berdasarkan pada hidup mewah dan serba berlebihan, akan tetapi sebatas memenuhi

kebutuhan, kebutuhan untuk hidup, supaya bisa beribadah lebih banyak;"makan untuk

hidup bukan hidup untuk makan".

Ketiga adalah berdikari, atau jiwa mandiri, kehidupan di pesantren harus mandiri

dan mendidik santrinya agar bisa mandiri, bisa menyelesaikan masalahnya sendiri,

pekerjaannya sendiri serta tidak manja.

Keempat suasana persaudaran, persaudaraan sesama muslim, bersaudara karena

satu agama, satu keyakinan dan satu perguruan, hal ini akan tercermin dalam suasana

latihan tolong-menolong, dan saling membantu. Untuk mengambarkan kondisi ini tidak

jarang pak Kyai membantu santrinya yang menghadapi kesulitan keuangan, atau juga

sesama temannya, sehingga tergambar suatu tatanan masyarakat yang memiliki rasa

persaudaraan.

Kelima adalah kebebasan, bebas dalam menentukan jalan hidup dalam arti tidak

diikat oleh mazhab atau partai kyainya, harus menjadi itu dan ini, yang penting adalah

bagaimana bisa mewujudkan bentuk keislamannya bagi dirinya dan bagi keluarga serta

masyarakat sekelilingnya.

Selain kelima jiwa minimal yang membingkai pesantren bisa juga

dikembangkan dengan menambah jiwa-jiwa lian yang bisa diamati dari kehidupan di

pesantren, seperti jiwa perjuangan, pengorbanan, serta kepedulian dan seterusnya.

228
I. Problem Yang dihadapi Pesantren

Pesantren sebagai refleksi dari kebutuhan masyarakat muslim atas lembaga

pendidikan yang dapat mendidik dan mengajari putra-putri mereka tentang agama Islam

dan pembiasaan kehidupan berpolakan ajaran Islam, hampir semuanya terbangun atas

dasar swadaya para santri dan orangtua santri serta masyarakat sekitar. Sebagaimana

diungkap dalam kisah lahirnya pondok pesantren, ada kyai yang memiliki ilmu, datang

para santri yang mau menuntut ilmu dan belajar pada kyai, karena rumah kyai tidak bisa

menampung santri yang berdatangan, maka para santri dibantu masyarakat sekitar

mulai membangun pondokan-pondokan untuk tinggal mereka.

Budaya swadaya ini begitu kental dalam dunia pesantren, dan menjadi pilar

kemandirian pesantren maupun kemandirian para santrinya nanti. Walaupun demikian

bukan berarti masalah pendanaan tidak menjadi problema, tapi tetap menjadi salah satu

problema pesantren ketika kebutuhan akan sarana semakin meningkat sejalan dengan

meningkatnya populasi santri. Selain masalah pendanaan ada beberapa permasalahan

lain yang dihadapi pesantren yang bisa disebutkan di sini:

• Pendanaan

• Pengembangan & Manajemen Pengelolaan

• Pengakuan dan Legalitas

• Pencitraan

• Informasi dan Publikasi

• Politik

229
1. Pendanaan

Masalah pendanaan hampir menjadi kendala setiap pergerakan apapun,

bagi pesanatren masalah ini menjadi permasalahan serius49 ketika dituntut

pasilitas sejalan dengan meningkatnya populasi santri, berbeda dengan sekolah

atau perguruan tinggi, masalahnya menjadi lebih kompleks, karena selain

mempersiapkan ruangan belajar, sebuah pesantren juga harus mempersiapkan

ruang tinggal dan saranannya seperti WC dan kamar mandi dengan ratio

minimal 1 berbanding 10-20 orang santri. Jika asrama menampung seratus santri

artinya harus tersedia minimal 10 kamar mandi dan WC dengan persediaan air

bersih yang cukup, 1 orang 60 liter air per hari,50 aran jemuran pakain dll. Lain

halnya dengan sekolah atau perguruan tinggi untuk prasarana standard cukup

ruang belajar, kantor guru, mushala, dan beberapa buah WC.

Permasalahan akan semakin komplek ketika pesantren memilih pola

anak asuh bagi para duafa dan yatim piatu, karena pendanaan tidak saja

dibutuhkan untuk sarana dan prasarana tapi juga untuk konsumsi para santri dan

para asatidznya.

49
Pengungkapan masalah pendanaan ini tidak berarti pesantren atau kyai mengeluh, tapi
semata-mata mengungkap realitas hasil pengamatan, karena dalam prakteknya kalangan pesantren
sentiasa terus berjuang dan gigih, tidak pernah terhenti kegiatannya dengan alasan dana, tidak ada
pesantren terhenti kegiatannya karena alasan dana, jika ada yang terpaksa terhenti juga biasanya karena
kekosongan kaderisasi kyai atau karena kyai alih profesi.
50
Masalah air ini masih menjadi kendala bagi kebanyakan pesantren, apa lagi di musim kering,
jika para santri ikut ke sumur-sumur penduduk sekitar, berdasarkan pengalaman mereka tidak bisa
mengizinkannya, karena jika diserbu 10 orang santri saja sumur mereka bisa kering

230
Selain masalah di atas, juga sarana konsumsi seperti dapur dan ruang

makan menjadi agenda tambahan, lahan bermain, serta sarana olahraga,

transportasi, sarana kesehatan, ruang inap tamu yang semuanya semakin

memperluas medan kebutuhan pesantren sesuai dengan tuntutan zaman dan pola

hidup yang berkembang dimasyarakat. Karena berbagai pasilitas tadi menjadi

tuntutan baik intansi pemerintahan maupun masyarakat yang akan

memesantrenkan anaknya.

Untuk memenuhi kebutuhan pendanaan ini sejak awal pesantren sebagai

lembaga swadaya yang mandiri berusaha menyelesaikannya sendiri, biasanya

pesantren tidak menggantungkan diri pada bantuan pemerintah baik pusat

maupun daerah, apalagi pada masa-masa awal pemerintahan adalah pihak

penjajah yang menganggap pesantren sebagai ancaman.

Pola-pola swadaya pesantren dalam pembangunan biasanya

menghidupkan kegiatan infaq dan shadaqaoh dari kalangan masyarakat, wali

santri dan bahkan dari pengelola pesantren sendiri. Dewasa ini jika diinventarisir

sumberdana pesantren adalah:

• Kyai

• Masyarakat Muslim

• Wali Santri

• Intansi Pemerintah mauapun Swasta

231
Pertama Kyai, biasanya kyai berperan sebagai pelopor pendanaan pesantren,

baik dari usahanya atau dari hasil ladangnya, banyak kyai yang memiliki usaha

atau bergerak dalam bidang tertentu yang kemudian sebagian dari

penghasilannya itun dipakai untuk pendanaan pesantrennya.51

Kedua Masyarakat Muslim, yakni para simpatisan yang peduli terhadap aktivitas

pendidikan Islam dan dakwah Islamiyah biasanya dengan sukarela membantu

pembangunan pesantren, kalau bangunan itu berbentuk pisik, maka bantuan

bervariasi antara barang dan uang, atau bahkan unit-unit gedung. Tidak jarang

para dermawan yang kaya misalkan memngambil jatah pasir, besi ataubahan-

bahan material bangunan lainnya, ada juga yang mensuplay kebutuhan bangunan

untuk satu lokal ruang belajar. Selain pola di atas bagi pesantren pemula yang

belum dilihat hasil pendidikannya,biasanya pola pengumpulan dana

pembangunan dengan mengirimkan delegasi pengumpul dana yang berkeliling

ke desa-desa dengan mebawa rencanan pembangunan, serta formulir atau list

berisikan daftar penyumbang dengan nominal sumbangan yang

diberikan,52penerbitan kalender atau penjualan produk pesantren. Akhir-akhir ini

ada trend baru penghimpunan dana dengan membuat "jaringan" di jalan raya

51
Sebagai contoh, di daerah sekitar penulis tinggal, tepatnya desa Susukan Ciawigebang
Kuningan ada sekitar 80 santri yang selain tinggal dipesantrennya (al-makmur) juga disekolahkan /
kuliah dengan biaya dari hasil usaha pak kyainya termasuk konsumsi mereka sehari-hari.
52
Tehnik pengumpulan dana seperti ini sering melahirkan kecurigaan di kalanagan masyarakt
penderma yang meragukan kebenaran program dan kejujuran para pengumpul derma, lihat Ahmad
Toharri Cerpen berjudul "Atasnama Agama" dalam kumpulan cerpennya Mas Mantri Menjenguk Tuhan,
(Jakarta: Risalah Gusti,),1997, h, 11, lihat juga Hasan Basri "Kasta Di Antrara Kita" http://www.mail-
archive.com/indonews@indo-news.com/msg02774.html

232
atau mengirimkan santri untuk berkeliling ke desa-desa dengan menghimpun

infaq baik berupa uang maupun beras.

Selain cara di atas, penghimpunan dana juga dengan jalan silaturahmi kepada

para hartawan / pengusaha lokal, biasanya dilakukan sendiri oleh kyai yang

berpengaruh dan memaparkan kebutuhannya, dalam hal ini kharisma kyai

sanagtlah menentukan.

Ketiga wali santri, pola-pola pendanaan dari wali santri sangat beragam, ada

pesantren yang mencanangkan saja uang pangkal dan uang bangunan pada saat

pendaftaran santri baru setiap angkatan, walaupun demikian tidak menutup

kemungkinan bagi wali santri yang ingin berinfaq lebih dari yang di gariskan

pesantren, dengam membangunkan sarana tertentu atau mengirimkan pasilitas

tertentu, biasanya tergantung pada latar belakang usaha atau profesi wali santri.

Bantuan wali santri bisa juga sebagai respon atas kegiatan yang dilakukan

pesantren, atau kebutuhan sesuai kesimpulan yang diambil wali santri sendiri,

artinya ia mengusulkan dan ia juga yang membuatnya. Selain itu bisa juga

berupa sisa uang makan dan spp santri yang diorganisir pesantren termasuk uang

jajan santri, caranya dengan menyelenggarakan koperasi dapur, warung-warung

serta kantin untuk jajan santri yang semuanya diorganisir hingga labanya bisa

dipakai pembangunan pondok dan kebutuhan pondok lainnya dengan motto dari

kita oleh kita untuk kita. Hal ini berjalan seperti di pesantren Daarunnajah

Jakarta, Al-Basyariyah Bandung dan pesantren lainnya.

233
Keempat intansi pemerintah maupun swasta serta organisasi-organisasi

keagamaan seperti Rabithah Alam Islami dan Haiah Igotsah yang programnya

memang mendukung kativitas dakwah Islmaliyah. Untuk intansi yang formal

spereti ini biasanya pihak pesantren mengajukan permohonan tertulis dengan

proposal lengkap, bila yang dituju organisasi seperti Robithah maka dokumen

harus disertai sertifikat wakaf dan laporan modal yang tersedia di pesantren.

2. Pengembangan dan Manajemen Pengelolaan

Problem lain bagi pesantren adalah masalah manajemen dan pengelolaan, karena

status dan kedudukan kyai maka perubahan ke arah pengembangan dan

manajemen di dunia pesantren harus hati-hati, karena sangat berhubungan erat

dengan sistem soial masyarakat pesantren. Seperti sudah dimaklumi bahwa

sistem suatu pesantren mengakar tidak saja di dalam lingkungan pesantren tapi

juga di dalam tubuh komunitas pesantren dalam hal ini masyarakat luas yang

biasa menghargai pesantren dan memiliki kerangka berpikir sendiri tentang

pesantren (katakanlah sebuah sistem norma, ajaran dan kualifikasi suatu yang

disebut dengan pesantren, diluar definisi akademik).

Perubahan bisa dilakukan hanya dengan kaderisasi dan persiapan calon

kyai, ini pada tahap pertama, tahap berikutnya adalah tahap sosialisasi terhadap

masyarakat luas yang merupakan basis pesantren, tentu saja dengan

menyelenggarakanacara-acara reini alumni dan semisalnya untuk

mengkomunikasikan.

234
Beberapa instansi yang mecoba masuk ke pesantren dengan gagasan-

gagasan perbaikan adalah departemen koperasi dan UKM, pada tahun 1997 an di

kab Kuningan Jawa Barat ada semacam pembentukan kopontren besar-besaran

dan obral badan hukum --walaupun akhirnya tidak semuanya berjalan-- mereka

mencoba menawarkan ide perkoprasian, selain depkop juga departemen

pertanian dengan gagasan agribisnis pesantren, kehutanan dengan HPH-nya,

termasuk juga departemen kesehatan dan intansi lainnya seperti kependudukan

dll. Belakangan departemen agama sejak tahun 2000 an mulai memperhatikan

pesantren demikian juga diknas53.

3. Pengakuan dan Legalitas

Masalah yang dihadapi pesantren adalah masalah legalitas lulusannya,

pada tahun 2004 belakangan ini berkenaan dengan legalitas menjadi mencuat

ketika lulusan pesantren dicalegkan dan menpata dukungan yang banyak,

mereka terpaksa menghadapi masalah dengan dibutuhkannya ijazah formal

seperti Aliyah, Tsanawiyah, SMP atau SMA.

Masalah ini kini menjadi suatu yang diperjuangkan pesantren, walaupun

telah ada program kejar paket A, B, & C yang biasanya diarahkan ke pesantren

sebagai solusi untuk memperkenalkan pelajaran umum, dan baca tulis di dunia

pesantren, namun permasalahan legalitas bukan berarti terselesaikan. Bahkan

53
Usaha yang dilakukan biasanya berbentuk penataran dan pengarahan pimpinan pondok, untuk
wilayah Jawa Barat bentuk nyata dari depkes adalah dengan dilibatkannya pesantren dalam pelayanan
kesehatan terhadap masyarakat dalam bentuk poskestren pada masa Nuriana menjabat Gubernur.

235
pada masa kampanye presiden tahun 2004 menjadi janji calon presiden dan

tuntutan masyarakat pesantren dalam berbagai dialog dan pertemuan.

Pada tahun 2003 an pesantren-pesantren ala Gontor (KMI/TMI)

menyusul pesantren induknya mendapat penyetaraan dengan tamatan SMA

Departemen Pendidikan Nasional, melalui SK Mendiknas

Nomor:240/C/KEP/MN/2003 tertanggal 20 Juni 2003 msilannya diakui 9

pesantren antara lain, TMI Pesantren Darunnajah, Ulu Jami Jakarta Selatan,

MMI Pesantren Mathabul Ulum, Lenteng Sumenep Madura, KMI Pesantren

Ta'miiruyl Islam Tegalsari Surakarta Jawa Tengah, TMI Pesantren Modern Al-

Mizan Narimbang Rangkas Bitung Banten. TMI pesantren Al-Basyariyah

Cibaduyut Bandung dan TMI Pesantren Modern Al-Ikhlash Ciawilor Kuningan

Jawa Barat.54

Semoga adalam waktu dekat sesuai dengan perkembangan budaya dan

cara hidup yang semakain maju, legalitas pesantren bisa dinikmati seluruh

lemabga pendidikan pesantren di Indonesia, tentu saja dengan usaha

pembenahan di sana-sini dan dengan kualifikasi yang mampu mengangkat

pendidikan kita.

4. Pencitraan

54
Lihat SK Mendiknas Nomor: 240/C/KEP/MN/2003 dan lampirannya. SK ini juga disusul
dengan surat edaran bernomor, 2414/C/MN/2004 tertanggal 20 April 2004 kepada seluruh rektor
perguruan tinggi negri mapun swasta yang menjelaskan bahwa Ijazah yang dikeluarkan pesantren
tersebut bisa dijadikan syarat tes masuk ptn/pts di Indonesia

236
Yang tidak kalah seriusnya pesantren menghadapi masalah pencitraan di

mata ummat dan bangsa, pencitraan tersebut biasanya dikaitkan dengan

kebersihan dan penataan lingkungan, sering terdengar istilah jorok dan kumuh

dinisbahkan kepada pesantren. Walaupun sebagian pesantren telah menata diri

tapi kesan tersebut masih belum sirna.

Berkenaan dengan pencitraan lain adalah karena kegiatan pengumpulan

dana pembangunan dengan pola jaringan dan delegasi pengumpul derma keliling

ke kampung-kampung juga meninggalkan kesan pesantren dan santri selalu

"mengemis". Penjelsan tentang metode pengumpulan dana seperti itu

sebenarnya kalangan pesantren memiliki misi, yaitu mengingatkan kepada

khalayak bahwa sebagian rijqi perlu dinafkahkan di jalan Allah, menuntut hak

shodaqoh yang kalau tidak didatangi juga tidak ingat akan keharusan

bersedekah. Selain juga mempasilitasi mereka yang mau berderma supaya tidak

usah jauh-jauh atau repot-repot mencari sasaran. Agak apologi memang, tapi

yang perlu ditandaskan bahwa dalam harta kita ada jatah untuk kepentingan

agama dan kepentingan umum. Dan masalah pendidikan agama adalah

tanggungjawab semua, pihak pesantren hanya menyelenggarakan sesuai dengan

tugasnya dakwah Islamiyah, sementara masyarakat muslim berkewajiban

menyokong kegiatan tersebut sehingga terciptalah sinergi yang kuat antara

lembaga pendidikan dan ummat sebagai penggunanya.

5. Informasi dan Publikasi

237
Informasi dan publikasi bagi pesantren agak tertinggal, ada semacam

tabu bagi pesantren untuk mengiklankan kegiatannya, kecuali beberapa

pesantren dan short couse yang dilakukan penyelenggara pesantren kilat di

Puncak yang dengan mudajh bisa kita baca di koran misalnya.

Tidak seluruh masyarakat mengetahui kegiatan dan keberadaan

pesantren, semua ini mungkin karena minimnya publikasi dan informasi tentang

pesantren, juga karena pencitraan buruk sebagaimana dikemukakan di atas.

Kenyataan ini membentuk pesantren menjadi suatu komunitas turun temurun,

artinya jika bapaknya dasri pesantren, maka anaknya juga dipesantrenkan, atau

jika keluarganya dari pesantren maka ada kerabat lain yang juga mesantren. Ada

semacam daur ulang input pesantren, alumni memasukkan anaknya ke pesantren

almamaternya. Ini gejala umum, walaupun ada juga kalangan non pesantren

dengan niatan mendalami agama memasukkan anaknya ke pesantren

sebagaimana alumni pesantren menyebrangkan anaknya ke luar pesantren.

6. Politik

Islam sebagai agama mayoritas bangsa Indonesia memungkinkan untuk

dijadikan bahan rujukan berbagai persoalan; mulai dari isu-isu politik isu

pembangunan, ekonomi, bahkan sampai pada isu terosrisme seperti "image"

yang sedang dibangun AS di mata Internasional.

Perjuangan men"citrakan" Islam dalam kancah percaturan kehidupan

sosial dan budaya dengan upaya Islamisasi berbagai sektor dan komponen

kehidupan menjadi suatu keharusan dan kewajiban setiap individu muslim di

238
tengah "penggunaan isu-isu keislaman" seperti diungkap di muka. Hal ini

menjadi penting untuk dikritisi karena ada perbedaan tajam antara 'mencitrakan

Islam" dengan menjadikan Islam sebagai perisai suatu kekusaan tertentu dalam

kancah politik.55

Konstelasi politik juga sering menjadi permasalahan bagi pesantren

walau kadang menguntungkan juga. Seperti kegiatan safari Romadlan yang

dilakukan Harmoko dengan mengunjungi pesantren-pesantren pada saat ia jadi

mentri, menguntungkan bagi pesantren dari satu sisi yaitu publikasi (Harmoko

pemilik media saat itu karena menjabat menteri penerangan) pesantren bisa

masuk TV, halaman berita koran dan majalah. Namun bisa juga mengancam

keberadaan pesantren karena terkotakkan pada parpol tertentu.

Problema lain adalah ketika kyai-nya dipercaya atau diminta untuk

dicalegkan ini di satu sisi positif karena medan dakwah kyai menjadi luas, di sisi

lain menjadi negatif karena pengkotakan tadi dan karena dunia politik seringkali

pada dataran tertentu berlawanan dengan misi pesantren.56

Selain masalah di atas juga sistem pemerintahan, ketika pemerinatahan

kurang menghargai pesantren seebagai asset bangsanya, yang terjadi adalah --

sebagaimana di masa penjajahan-- pesantren sebagai suatu yang harus dijauhi

55
M. Tata Taufik, Islam, Citra atau Perisai? (sebuah catatan untuk Pemda & DPRD) HU
Mitradialog Selasa 11Januari2004
56
Pernah terjadi di masa ORBA suatu pesantren terhenti kegiatannya karena pimpinannya
begabung dengan partai atau peserta pemilu.

239
dan dimusuhi, ungkapan pesantren sebagai "sarang teroris" misalkan yang

muncul pada tahun 2000an ikut memperkeruh kesan terhadap pesantren.

Selain keenam permasalahan di atas sebenarnya masih banyak lagi

problema lain yang bisa ditemukan dalam dunia pesantren, dan bisa kita analisa

untuk membantu berpikir mencarikan jalan keluarnya.

J. Medan-Medan Pengembangan

1. Dimensi SDM

Berangkat dari permasalahan di atas, untuk pengembangan pesantren

dalam berbagai segi baik pendanaan, pengelolaan maupun manajemen serta

permasalahan lainnya, yang harus ditempuh adalah pengembangan sumber daya

manusia, pernyataan ini tidak berarti bahwa SDM pesantren dewasa ini lemah,

yang dimaksud di sini adalah pengembangan terus-menerus serta kaderisasi.

Jangan sampai suatu pesantren "terhenti" hanya karena meninggalnya kyai yang

biasanya menjadi komandan sekaligus tumpuan kepercayaan ummat maupun

santri, sehingga ketika kyai tersebut (figur) wafat maka pesantrennya ikut mati

juga.

Bersamaan dengan kaderisasi juga pengayaan SDM yang ada dengan

berbagai kemahiran baik manajerial maupun kemahiran lain yang sesuai dengan

tuntutan zaman. Cara mudah dalam hal ini adalah mengembangkan budaya baca

dan budaya dengar di pesnatren, karena kepiawaian dalam berpidato maupun

240
berdebat (biasanya sudah dimiliki para santri) harus didukung dengan informasi

(pengetahuan) yang luas supaya tidak tertinggal, tehnik penyampaian gagasan

(presentasi) dan tehnik pembuatan proposal bisa juga dijadikan kemahiran

tambahan. Pengembangan seperti ini dapat dilakukan pesantren dengan mudah

karena sekarang sudah banyak sarjana-sarjana IAIN misalnya yang ada disekitar

/mengelola pesantren. Tehnik pembuatan surat resmi serta kemahiran

administratif lainnya juga layak untuk diajarkan terutama bagi santri senior yang

biasanya dilibatkan membantu kyai mengelola pesantren.

Mungkin kegiatan sebagaimana di atas bagi beberapa pesantren bukan

hal yang asing, bila demikian adanya, maka bentuk pengembangan lain bisa

dilakukan misalnya dengan menambah kemahiran teulis menulis baik tulis halus

(kaligrafi) maupun penulisan karangan atau artikel serta kegiatan lain yang bisa

membantu pengembangan diri santri di masa datang baik untuk dirinya maupun

untuk pesantrennya.

Di masa depan nampaknya sumberdaya yang handal sangat membantu

pengembangan pesantren untuk senantiasa bisa eksis di era global tanpa harus

meninggalkan nilai-nilai tradisi baik yang telah dimiliki, coba bayangkan

alangkah indahnya jika ilmuwan kita nanti, para pemimpin negara kita serta

pengarah kebijakan kita adalah orang-orang yang memiliki dasar pengamalan

dan pengetahuan agama yang baik---sementara pengamalan keagamaan di

pesantren telah menjadi tradisi.

241
Pengembangan ke arah ini tidak berarti mengesampingkan peran

pesantren sebagai pencetak ulama dan tempat mengaji agama, tapi justru akan

lebih mendukung semangat peran tadi dengan melahirkan ulama yang mumpuni.

Dalam kesejarahannya ulama itu dituntut serba bisa mulai dari memimpin sholat

sampai memimpin perang sebagaimana yang dicontohkan Rasul SAW. Mulai

dari mengajarkan agama sampai mengajar berniaga dan memimpin negara.

2. Dimensi Fisik

Selanjutnya sebagai jawaban atas pencitraan buruk pesantren yang sering

dikesankan kumuh, kedepan pesantren dituntut untuk menata bangunan fisiknya

sehingga indah menawan, ini juga termasuk kegiatan dakwah, dakwah harus

berpenampilan simpatik dan memiliki daya tarik, apalagi zaman sekarang,

sebelum membawa anaknya ke pesantren wali santri biasanya melakukan survei

terlebih dahulu. Artinya jangan sampai niatan baik masyarakat untuk

mempercayakan pendidikan anaknya di pesantren terhalang karena kurangnya

daya tarik penampilan fisik pesantren.

Idealnya bangunan pesantren sebagaimana tempat pendidikan lainnya

memiliki ruang belajar sesuai standard, baik pencahayaan maupun luas

ruangannya. Selain itu harus memiliki halaman dan tempat gerak / bermain yang

memadai baik halaman asrama maupun ruang belajar. Dalam daftar isian

akreditasi diknas misalnya mencantumkan pertanyaan sekitar; ruang kantor,

perpustakaan, laboratorium, ruang makan, dapur, asrama dan ruang belajar serta

sarana olahraga.

242
3. Dimensi Materi dan Dimensi Metodologi

Untuk materi sebagaimana telah dibahas dalam Bab II tentang

metodologi dan upaya pembaruan, tergantung haluan yang mau dijadikan

pijakan apakah tepe salafiyah plus madrasah atau salafiyah murni, tepe KMI

Gontor atau pesantren modern sesuai konsep dan pilihan yang dianggap tepat

bagi para pengelolanya. Cuma barangkali tipe manapun yang diambil

pengembangan materi maupun metodologi bisa senantiasa dilakukan sejalan

dengan pola-pola pengajaran yang lebih banyak dipakai atau secara variasi. Bisa

saja misalkan materi "fathul kutub" dipakai sebagai cara pengenalan kitab-kitab

kontemporer kepada para santri senior, bisa juga pengajaran kitab-kitab klasik

dengan metode diskusi atau dengan metode pengajaran modern yakni dengan

langkah-langkah misalkan penyampaian materi, pencarian kosa kata yang sulit,

pembacaan tek bahan ajar serta tanya jawab sebagai variasi dari metode sorogan

atau wetonan.Begitu juga sebaliknya bagi pesantren modern bisa mengenalkan

kitab-kitab klasik lewat acara fathulkutub dst.

Mengenai materi umum di pesantren salafiyah apakah harus dimasukkan

atau tidak, yang pasti para santri nantinya akan hidup di masyarakat yang

demikian kompleks, sudah barang tentu mereka harus mengenal cara-cara

bermasyarakat dengan baik, hidup sehat, serta bisa menghitung. Walaupun tidak

diajarkan secara rutin ilmu-ilmu kemasyarakatan tersebut bisa disajikan dalam

bentuk studium general atau penataran.

243
Sejalan dengan kemajuan zaman dan perkembangan tehnologi,

nampaknya bisa juga diajukan gagasan pesantren kejuruan, artinya kegiatan

pesantren tetap sebagaimana adanya baik materi maupun metodologi, tapi ada

tambahan kemahiran khusus bagi santri misalkan pertanian, dakwah, atau

pendidikan, semacam jurusan di perguruan tinggi. Kalau kejuruan yang diambil

pertanian, maka materi tambahannya selain mengaji adalah bertani dengan cara

yang benar sesuai perkembangan ilmu pertanian, jika yag diambil adalah

kejuruan dakwah, maka materi tambahannya adalah metodologi dakwah, ilmu

jiwa dan sosiologi. Demikian juga jika yang diambil jurusan pendidikan maka

ada penambahan materi khusus berkenaan dengan pendidikan. Misalkan yang

dirintis Drs Didin Sirajuddin M.Ag, ia mengembangkan pesantren dengan

kaligrafi sebagai kejuruannya, tidak mustahil nanti ada pesantren dengan

kejuruan perfilman, penyiaran, jurnalistik, tata boga, akuntansi, perikanan,

peternakan dll.

4. Dimensi Teknologi

Bagi pesantren, pengembangan masalah tekhnologi ini tidak berarti pada

dataran pembuat, tapi lebih berupa pengenalan tekhnologi dan penggunaannya.

Bagaiamana cara menggunakan (mengoperasikan) komputer, atau alat-alat bantu

pembelajaran lainnya (tehnologi pendidikan) karena biasanya para santri selepas

pesantren lebih akrab dengan dunia pembelajaran dan presentasi (ceramah dan

pidato).

244
Dewasa ini berkenaan dengan teknologi nampaknya pesantren sudah

tidak asing, bahkan kreatifitas para santri relatif lebih "nakal" dalam merekayasa

teknologi kecil-kecilan seperti merangkai elektronik (tape player, pembuatan

pemancar gelap FM, penyambungan lampu dan merakit sound system bahkan

menyediakan jasa penyewaan sound sitem) menyediakan jasa cetak undangan

(sablon) serta setting komputer.57

K. Pesantren Dan Ekonomi

1. Ekonomi Pesantren

Yang dimaksud ekonomi pesantren di sini adalah bagaimana suatu

pesantren menggali "potensi dalam" untuk perekonomiannya, sehingga

pesantren tersebut bisa mandiri dan anggup memenuhi kebutuhannya dari sisi

ekonomi.

Potensi swadaya dan kemandirian pesantren yang cukup bagus (tidak

melulu menunggu bantuan pemerintah) akan lebih bagus lagi jika memiliki

sumber dana yang pasti yang digali dari dalam pesantren. Seperti yang kita

ketahui pesantren memiliki santri, wali santri, dan para ustadz serta warga

sekitar, setiap komponen tadi ma sing-masing memiliki daya beli yang tinggi,

untuk itu pesantren bisa memanfatkan suasana tersebut dengan membuat warung

yang bisa memenuhi kebutuhan mereka, dan sebagai labanya bisa dijadikan

57
Berdasarkan pengamatan penulis terhadap pesantren salafiyah "Raudlatul Huda" Ciawilor
Kuningan Jawa Barat.

245
masukkan untuk pesantren. Selain warung, pesantren juga bisa menggorganisir

makan santri, jika ada sisanya bisa dijadikan infaq untuk keperluan pesantren.

Hal ini biasa dilakukan di pesantren-pesantren modern seperti Gontor

Darunnajah Jakarta serta pesantren lainnya, bahakan di Al-Zaytun lebih dari

sekedar potensi dalam, di sana terjadi daur ulang siklus kehidupan. Ada juga

pesantren yang mengembangkan pertanian sebagai sumber masukkan pesantren

semuanya disesuakan dengan situasi dan kondisi pesantren itu berada. Di Kaso

Malang Subang misalkan pesantren "Daarussalam" mengembangkan

perekonomiannya dengan pabrik tahu dan pembuatan jamur tiram, selain juga

membuat jasa relay TV swasta.

2. Ekonomi Pengelola

Biasanya para pengelola pesantren berjiwa wira usaha yang tinggi, sesuai

dengan sunnah para nabi yamsyuuna fil aswaaq (berjalan dipasar untuk

berusaha) jadi mereka berusaha menghidupi dirinya baik dengan jalan

berdagang; pagi hari setelah menjagajar subuh, pergi ke pasar untuk berdagang,

setelah dzuhur mengajar lagi, ada juga dengan cara menerima panggilan

ceramah, pada tahun tujuh puluhan pola pencarian nafkah kyai yang penulis

saksikan sendiri dengan jalan jualan kitab, obat dan minyak wangi keliling

kampung dengan bersepeda, ada juga yang menjadi pkl di pasar menjual pakaian

jadi.

Bagi pesantren-pesantren besar biasaya perekonomian pengelolanya

dengan cara kesejahteraan bulanan (gaji?) Namaun itupun biasanya dibahasakan

246
sebagai pengganti uang sabun serta untuk membantu kesejahteraan agar bisa

tetap beribadah mengajar, bukan gaji sebagai imbalan atau honor. Jadi walau

prakteknya gajian juga ditanamkan nilai religius dalam penyampaiannya

sehingga para pengelola (asatidz) tidak "bekerja" sebagai pengajar hingga

berhak mendapat upah, tapi beribadah mengajar para santri lillah sedang

kesejahteraan yang diterima adalah rijqi dari Allah.

Ada pola lain yaitu dengan memproduksi jajanan bagi santri yang

dikirim atau dititipkan di warung pondok / kantin, penggarapan sawah ladang

milik pesantren dengan status penggarap dan lain sebagainya.

Dari paparan ini yang terlihat adalah semangat "mengajar" kalangan

pesantren bukan karena upah atau gaji, tapi karena semangat menyebarkan ilmu

pengetahuan dan tanggungjawab dakwah Islamiyah, potensi inilah yang

kemudian mampu mentransfer tidak saja pengetahuan tapi juga praktek

ubudiyah amaliah serta jiwa wirausaha kepada para santrinya dan membekas di

tubuh santri, by doing not by mouth, dengan contoh dan keteladanan bukan

hanya bicara. Sebagai ilustrasi, semangat untuk berkarya dan berbuat tanpa

melihat kelas sosial (maksudnya gengsi) yang penulis alami sendiri adalah

bayangan waktu penulis nyantri, saat itu penulis menyaksikan ustadz Edi

Kusnanto ---semoga pengalaman ini menjadi ilmu yang bermanfaat bagi beliau

mungkin tanpa beliau sadari--- membonceng esbatu di sepedahnya lewat

dihadapan anak-anak yang diajarinya tanpa gengsi untuk berjualan di

warungnya, kesan ini selalu membekas dibenak penulis, dan sering dijadikan

247
motivasi bagai rekan-rekan asatidz maupun santri. Hal ini berbeda dengan apa

yang dituduhkan Hasan Basri --entah siapa dia--ketika dia menulis "proletar:

kasta di antara kita' dalam e-mail tentang kasta dalam agama berikut

kutipannya: "Dalam Religi terdapat: 1. Habib, Ayatulah ( keturunan nabi )

Uskup, ikan Paus. 2. Kyai, Utadzah,Romo, Pendeta ( tukang kumpul duit ) 3.

Santri ( yang di duitin / calon pengumpul duit ) 4. Umaah atau umat ( yang mesti

di takut takuti agar duitnya keluar ) 5. Sekularis ( kurang beriman, tapi pelit dan

cerdas ) 6. Atheis,agnostik,paganis ( lets worship humanism..)"58 Sebuah

ungkapan yang perlu digarisbawahi karena dipublikasikan, penyataan tersebut

mencerminkah suatu sudut pandang dalam melihat pesantren dari kaca matanya

sendiri yang materialistis dan mengukur dengan keadaan dirinya, serta mewakili

pendapat sebagian masyarakat.

L. Pesantren Dan Masyarakat

1. Pesantren Terhadap Masyarakat

Sejak awal kemunculannya pesantren dibangun untuk dan oleh

masyarakat, dan ia merupakan agen perubahan bagi masyarakatnya, kiprah

kemasyarakatan pesantren misalkan dari segi ekonomi, dari segi kepemimpinan

dan dari segi pelayanan umum.

58
http://www.mail-archive.com/indonews@indo-news.com/msg02774.html, Didistribusikan tgl.
12 May 1999 jam 02:41:56 GMT+1 oleh: Indonesia Daily News Online <[EMAIL PROTECTED]>
http://www.Indo-News.com/

248
Dalam perannya sebagai agen perubahan, pesantren --karena

kharismanya atau karena dinilai punya masa-- bisa diajak untuk

mengkomunikasikan pesan-pesan moral dan pembangunan. Pada dimensi ini

pemerintahan masa Orba sangat lihai menggunakan pesantren sebagai lembaga

dalam penggalangan massa dan komunikator pembangunan, selain juga

dijadikan alat untuk meredam isu-isu atau gejolak di masyakarakat yang

bertemakan agama. Ingat kasus mie instan dengan isyu lemak babi, di zaman

Orba, serta kasus Ajinomoto di masa Gus Dur yang dipungkas dengan tayangan

iklan di media massa dengan menggunakan story Kyai dan komunitas

keagamaan.

Dari gambaran di atas menunjukkan potensi pesantren yang luar biasa

dalam membentuk opini dan mempengaruhi khalayak, potensi ini seharusnya

bisa disadari kalangan pesantren untuk mengembangkan misinya sebagai

lembaga pendidikan dan lembaga dakwah Islamiyah, bukan hanya puas dipakai

sebagai "alat" propaganda pihak lain. Dalam hal ini pesantren bisa menata

kegiatannya yang berhubungan dengan pengembangan masyarakat,

mempelopori kegiatan bakti sosial, pelayanan umum dan menggagas kemajuan

bagi masyarakat dengan santri sebagai pilarnya. Selain ia juga harus bisa

mewakili masyarakat dalam membaca peluang usaha, peluang kegiatan dan

permasalahn yang ditemui dimasyakat untuk kemudian dikomunikasikan kepada

pihak yang berwenang. Jadi kalangan pesantren tidak saja menjadi komunikator

249
pemerintah, namun sebaliknya juga menjadi komunikator masyarakat terhadap

pemerintah baik pusat maupun daerah, hingga tercipta hubungan yang sinergis.

Selain peran sebagai agen pembangunan, dari sudut perekonomian

masyarakat, pesantren membantu meningkatkan pendapatan mereka, lapangan

kerja yang bisa direkrut pesantren seperti; pekerja bangunan, juru masak, sopir,

bagian kebersihan, suplayer kayu bakar, binatu, produk makanan ringan

(jajanan) jasa transportasi bahkan sampai tukang cukur. Lingkungan masyarakat

disekitar pesantren besar relatif maju. Dari sudut ini pesantren bisa

membangkitkan gairah hidup berwira usaha dan perokonomian masyarakat.

Dari sudut kesehatan, pesantren bisa melakukan pelayanan kesehatan

terhadap masyarakat, dalam bentuk penyuluhan hidup sehat, dalam hal ini

biasanya mengakses dinas kesehatan setempat dan mengumpulkan masyarakat

di kampus pesantren, bentuk lain juga bisa dilakukan dengan membuka

poliklinik untuk melayani pengobatan dengan biaya terjangkau. Apa yang

dilakukan Pesantren Modern Al-Iklash Ciawilor Kuningan misalnya, setiap hari

kerjanya Poskestren rata-rata melayani 10 pasen perhari dengan biaya yang

cukup ringan (Rp.5000,_) pe kunjungan. Bentuk lain juga bisa menjembatani

anatara masyarakat dan dinas kesehatan berupa penyampaian informasi dan

kondisi kesehatan di masyarakat sekitarnya.

2. Masyarakat Terhadap Pesantren

Masyarakat --terutama masyarakat muslim-- adalah pemilik pesantren,

yang pengelolaannya dipercayakan kepada para kyai dan ustadz, tugas utama

250
dari masyarakat adalah memelihara dan menjaga kelangsungan hidup pesantren

dengan berbagai cara baik moril maupun materil.

Di desa-desa biasanya pesantren senantiasa mengkomunikasikan

rencana-renacananya kepada masyarakat, dan dari situlah tercipta kerjasama

yang "unik" kehidupan gotong royong dalam menghadapi kepentingan bersama.

Bentuk sokongan dari masyarakat terhadap pesantren besar biasanya terungkap

dalam kebanggaan dan penyebaran "informasi baik", meminjam istilah pak

Amal Fathullah 'menciptakan kesan baik" dari mulut ke mulut, ini sangat

membantu pengembangan pesantren di masa datang.

Perhatian dan rasa memiliki masyarakat terhadap pesantren tersebut

harus senantiasa dikembangkan sebagai pilar kelangsungan hidup lembaga,

berbagai cara bisa dilakukan dengan membuat kegiatan -kegiatan yang dirasakan

meaningfull oleh masyarakat. Menjalin silaturahim antara pengelola pesantren

dengan masyarakat, mengadakan pembinaan generasi muda, baik latihan-latihan

kewirausahaan atau kegiatan lainnya, sebagai ilustrasi, Buya Saiful Azhar di

pesantren Al-Basyariyah Margahayu Bandung misalkan menghimpun dan

memfasilitasi ojek motor, demikian para kyai yang aktif melayani kegiatan di

masyarakat seperti tahlilan, kenduri dan tradisi masyarakat lainnya.

M. Pesantren Dan Negara

1. Negara Terhadap Pesantren

Negara adalah negara kita, dan pesantren mempelopori kegitana

pembentukan negri ini. Pertanyaannya adalah mungkinkah pesantren berniat

251
menghancurkan negara yang dibangunnya sendiri, yang telah menelan banyak

korban baik dari santri maupun kyai pada saat perintisannya? Jawabannya pasti

tidak mungkin, tapi kalau berperan sebagai kontrol sisial itu bisa terjadi bahkan

harus. Menurut hemat penulis apa yang dilakukan pesantren adalah sebatas

kegiatan kontrol sosuial terhadap pemerintahan, walau nampak keras dalam segi

ucapan atau kritikan tapi tidak dalam bentuk kegiatan makar.

Berdasarkan pada kenyatan bahwa pesantren jauh telah lahir sebelum

negara ini berdiri, maka tuduhan pesantren sebagai sarang teroris dan tuduhan

miring lainnya tidak bisa begitu saja dilontarkan terhadap pesantren. Ada

perbedaan yang mendasar antara kegiatan jihad pesanatren masa penjajahan

dengan pasca kemerdekaan. Jika pada masa penjajahan, pemerintah (penjajah)

melihat pesantren sebagai anacaman, karena pesantren mengobarkan semangat

kemerdekaan, jika cara pandang lama tersebut dipakai pasca kemerdekaan

menjadi lucu dan menggelikan.

Pada pasca kemerdekaan orientasi jihad pesantren adalah amar ma'ruf

dan nahyi munkar, menyerukan kebaikan dan mencegah terjadinya kemunkaran.

Kegiatan ini dilakukan baik melalui komunikatornya ustdaz maupun kyai atau

oleh para santri sendiri. Dari sudut pembinaan masyarakat sebenarnya yang

terjadi justru pesantren membantu negara dalam pendidikan dan pembinaan ma

syarakat. Ada semacam pembagian tugas dalam mengatur negara.

Karena pola hubungan tugas seperti di atas, maka sikap negara terhadap

pesantren hendaknya memandang dan bersikap sebagai partner bukan lawan.

252
Dan senantiasa ikut memperjuangkan keberadaan pesantren baik moril maupun

materil.59

Selain sikap kerja sama, pemerintah juga harus mulai mengembangkan

wacana sekitar legalitas, dengan tidak mengakui legalitas para santri dalam hal

pendidikan, secara statistik akan nampak tetertinggalan Indonesia dari segi

pendidikan, selain juga akhirnya sering mengesampingkan kompetensi dan

mendahulukan sertifikat.

2. Pesantren Terhadap Negara

Sampai saat ini yang bisa dipotret aadalah kenyataan bahwa pesantren

sama dengan lembaga pendidikan lainnya berperan aktif adalm membangun

negara terutama dari sektor pendidikan.

Sebagaimana diungkap dalam berbagai tema terdahulu, pesantren

membantu negara dalam sektor ekonomi, pendidikan, dan pembangunan sejalan

dengan peran dan fungsi suatu lembaga dalam suatu negara.

Bahkan bagi pemerintahan daerah, nampak sekali pesantren membantu

pendapatan daerah, karena keberadaan santri dari berbagai wilayah misalnya

menghidupkan perekonomian daerahnya, karena kiriman biaya pendidikan (SPP

& uang jajan) akan mengalir dari berbagai daerah kepada daerah lokasi

pesantren.

59
Masih segar dalam ingatan bagaimana Orba memperlakukan di masa awal dan menjelang
akhir pemeintahannya, apada awal cenderung menjauihi dan pada masa pertengahan menuju akhir
cenderung mendekati, pada masa reformasi saat Megawati berkuasa, hampir mau memojokkan pesantren
namun menjelang akhir mencoba meraih, masa sekarang ? wait and see.

253
Selain itu keberadaan dan keberhasilan suatu pesantren seringkali

mengangkat 'keharuman" nama suatu daerah dan menjadikan daerah tersebut di

kenal baik secara nasional maupun internasional. Sebut saja satu kota Kediri,

Jombang, Rembang, Ponorogo, Boundowoso, Gresik, Cirebon, Tasikmalaya,

Ciamis, secara ikonik pikiran kita akan langsung mengingat Pesantren Tebu

Ireng, Lirboyo, Pesantren Rembang ,Gontor, Manonjaya, Cipasung , Buntet,

Ciwaringin dst.

N. Pesantren Dan Media Massa

Yang dimaksud media massa di sini adalah media massa dalam kerangka Ilmu

Komunikasi, yaitu suatu alat yang memungkinkan untuk membawa pesan bukan saja

dari satu orang kepada yang lainnya seperti telepone atau telegrap, tapi lebih dari itu

suatu medium yang berlaku secara massal dan dapat membawa pesan dari seseorang

kepada ribuan atau jutaan orang sekaligus.60

Sedikitnya ada enam (6) media yang dimaksud pembahasan ini yaitu tiga media

cetak; surat kabar, majalah dan buku, serta tiga media elektronik; televisi, radio dan

film. Namun sekarang --sejak tahun 1997an-- bisa ditambahkan lagi dua media

elektronik yaitu internet d an telepone seluler.

Posisi pesantren dihadapan media massa bisa berperan sebagai pelaku; dengan

penerbitan majalah, koran tabloid atau buku, pendirian radio serta pendirian stasiun TV

60
Leo.W. Jeffres, Mass Media Processes and effects, (Illinois: Wapeland Press, Inc. 1986),h.1

254
, bisa juga menjadi objek; konten dari media tersebut. Bisa juga menjadi pemerhati atau

kontrol terhadap media.

Berkaitan dengan yang pertama, sebagai pelaku media, ada beberapa pesantren

yang menerbitkan kegiatan berkala secara priodik tahunan atau semesteran, biasanya

berupa laporan kegiatan tahunan di pesantren tersbut untuk diinformasikan kepada

santri atau wali santri bahkan lebih luas lagi kepada khalayak dan para alumni. Selain

yang bersifat intern atau laporan tahunan, beberapa pesantren juga telah menjadi pelaku

media dengan penerbitan majalahnya seperti Al-Muslimun dari Bangil, Suara

Hidayatullah dari pesantren Hidayatullah di kalimantan, belakangan ini Majalah Gontor

dari Pondok Modern Daarussalam Gontor.

Sebagai pelaku juga dalam bentuk penerbitan buku -buku bacaan untuk umum

baik materi dakwah, kamus, buku pelajaran, biografi, kumpulan doa-doa dan buku

populer. Sebagai contoh kamus Al-Munawir dari Krapyak Yogyakarta, Amtsilah

Tashrifiyah dari Jombang, serta buku-buku Aagym dari Daru Tauhid Bandung.

Selain penerbitan buku juga pesantren bisa bergerak di bidang broadcasting atau

penyiaran baik TV maupun Radio Siaran. Ini sudah dilakukan oleh Persantren Modern

Al-Ikhlash Kuningan dengan Radio DM Fm-nya, begitu juga Daruttauhid Geger Kalong

Bandung dengan MQ FM dan MQ TV-nya At-Tahiriyah Jakarta dengan Radio FM-

Nya, Gontor dengan Swargo FM begitu juga pesantren lain seperti Pesantren Suryalaya

Tasikmalaya juga sudah mulai merintis Radio Siaran.

255
Lebih jauh lagi Daru Tauhid Bandung selain menyediakan layanan pesan-pesan

dakwah dengan Radio dan Produksi TV, DT juga sudah mulai menyediakan layanan

dengan download menu MQ melalui telepon seluler dan mailing list.

Kini pesantren sudah mulai menjadi pemain dalam hal media massa, tidak saja

bertindak sebagai objek dan menjadi konten media tapi lebih jauh sudah bisa membuat

format media, menentukan berita dan menyajikan pilihan bagus bagi pengguna media

(user). Selain media modern konvensional (istilah untuk TV,Radio Surat Kabar Dll),

pesantren juga telah melangkah pada media modern seperti internet.

Di dunia maya ini sudah banyak yang memiliki alamat web sendiri; untuk

memberikan informasi pesantren dan kegiatannya kepada halayak di satu sisi untuk

memberikan pelayanan dakwah di sisi lain dengan servis jaringan informasi yang

diberikannya.

Selain web site yang dimiliki dan diselenggarakan sendiri oleh pesantren juga

ada portal pesantren yang dikelola oleh alumni pesantren atau mereka yang peduli

terhadap studi Islam melalui web. Dapat dikemukakan misalkan

www.pesantrenonline.com, portal milik telkom yang berisikan direktori pesantren

diskusi dan informasi keislaman. Selain itu juga ada yang dirintis dibawah bimbingan

KH Mustofa Bisri dengan alamat www.pesantrenvirtual.com. www.myquran.com dan

lainnya.

Kedua sebagai objek atau konten media, pesantren biasanya mengisi

pemberitaan atau penyiaran majalah, koran radio atau tv, ini biasanya dihubungkan

256
dengan kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan pesantren tersebut. Semakin banyak

kegiatan yang dilakukan semakin banyak juga pesantren menjadi konten media.

Ketiga sebagai kontrol media, pesantren biasanya berperan mengkritik konten

media yang dinilai tidak sejalan dengan norma agama dan merusak generasi bangsa,

berikut ini catatan pengalaman penulis yang berhubungan dengan kontrol media yang

dilakukan pesantren.

Hikayah ini terjadi saat penulis menerima undangan untuk penjemputan santri

wati tanggal 2 Oktober 2004 yang lalu, undangan tersebut dimaknai penulis sebagai

undangan out bound di halaman Pesantren Gontor Putri 2 dengan peserta tidak kurang

dari 1000 orang, yang mulai berdatangan sejak tanggal 25 September untuk berkemping

di sana. Tidak ada pendaftaran secara resmi ke panitia, selain booking di Bapenta, acara

out bound nampaknya meriah, dan puncak kedatangan peserta terjadi pada tanggal 29

oktober malam. Para peserta dari berbagai kalangan memenuhi arena out

bound;halaman muka kampus putri 2.

Pada tanggal 30 September pagi suasana tegang menyelimuti peserta yang terdiri

dari calon santri wati dan walinya, sekitar pukul 8.00 WIB penceramah yang ditunggu

tiba di temapt, beliau adalah Ust. KH. Hasan Abdullah Sahal, setelah dipersilahkan

beliau menaiki podium dan mulai menyampaikan pesan-pesan kepada peserta. Setelah

terlebih dahulu berterima kasih atas kedatangan para peserta yang telah lama hadir di

lokasi dengan meninggalkan berbagai macam kesibukan dan atribut keseharian mereka.

Alasan inilah hingga penulis menyebut acara tersebut sebagai out bound, karena semua

peserta dengan ikhlash melepas 'aktivitas keseharian dan menanggalkan atribut mereka'

257
untuk merasakan, menyimak dan mendengar serta mengamati dengan suasana

kegembiraan yang penuh, ini terlihat dari air muka para peserta yang berseri-seri dan

bersemangat.

Ada beberapa poin yang dismpaikan penceramah pada acara tersebut --

sebagaimana biasa denga gaya jenakanya beliau mampu memukul sambil menghibur--

pertama beliau mengemukakan bahwa lembaga pendidikan Islam harus bonafid, dan

memilih lembaga pendidikan harus selektif, kemudian pembicaraan mengarah kepada

perbandingan pondok pesantren, menurut beliau sekarang ini semakin banyak

bermunculan ponpes, ada yang dibangun atas dasar ketaqwaan dan tanggung jawab

terhadap Islam, ada juga yang dibangun atas dasar niatan yang lainnya; ma'had dliraar,

sampai pernyataan ini penulis mulai deg-degan apa gerangan yang akan muncul untuk

perbandingan? Ternyata yang dimaksud ma'had dlirar versi beliau adalah AFI (akademi

fantasinya Indosiar) dan Indonesian Idolnya RCTI serta pemilihan Abang dan Nona

atau sejenisnya.

Sembari menyimak apa yang disampaikan beliau, kenakalan berfikir penulis

terus saja mengomentari apa yang beliau sampaikan, dan yang paling menarik adalah

analisis Pak Kyai terhadap media terutama media TV, ini dengan intens beliau lakukan

dan senantiasa dikomunikasikan bukan saja pada acara out bound tadi. Saat penulis

bertemu di Bandung beliau juga mengomentari Megawati, kemudian pada perjumpaan

tahun berikutnya di Cirebon tahun 2002 saat itu beliau didampingi Ust. Akrim dan

Samsul Hadi Untung, melakukan juga hal yang sama, beliau mengomentari tayangan

TV, "inilah tontonan kita, semuannya disuguhkan kepada masyarakat, dari iklan

258
makanan sampai ke iklan sabun, pembalut wanita dan kosmetika, semakin parah" . Saat

itu penulis bertanya, solusinya gimana? Beliau hanya menatap, tapi Ust. Akrim

berkomentar, 'ente, solusinya, yang kita lakukan ini, ngurus pondok" (baca dengan

intonasi beliau), padahal jawaban yang penulis harapkan saat itu adalah; ya kita harus

jadi pemain.

Teori Triple S: Puncak dari berbagai komentar itu didapat penulis saat aout

bound di Mantingan, saat itu belaiu mengajukan --penulis menyebutnya -- teori media

triple S, menurut beliau semakain banyak program yang dilakukan maahid dlirar,

dengan mengngunakan tiga S, pertama syirik, ini untuk menyifati berbagai tayangan

horor dan misteri yang senantiasa menghiasi layar kaca sekitar kita, kedua Sadisme, dan

yang teraakhir Sex. Dengan ketiga tayangan berformat seperti itulah "jamaah" di garap

setiap harinya. Menurut teori ini ada suatu "power" yang membiayai tayangan seperti

itu dan sengaja dilakukan dalam rangka de-moralisasi, de-humanisasi dan deislamisasi.

Pertanyaan berikutnya adalah siapa yang dimaksud "power" yang membiayai

itu? Organisasi, perorangan, atau agen tertentu? Mneurut hemat penulis power di sini

adalah pasar, kalau benar pasar berarti power ada pada masyarakat secara umum. Pada

tahun 1970 De Fleur mengadakan penelitian tentang sistem media di AS, ia mengajukan

teori bahwa ada pembagian selera penonton yang dianut oleh media : a large base of

people with lowbrow tastes, penonton dengan selera rendah dengan jumlah yang sangat

banyak, fewer with middlebrow tastes, kemudian penonton dengan selera menengah

berada di atasnya and even fewer with highbrow tastes, terakhir penonton dengan selera

tinggi berada diatas selera medium (digambar sebagai piramida, dari atas kebawah;

259
selera tinggi, medium dan rendah). Maka tidak heran jika dalam sistem pasar bebas out

put dari media akan sesuai dengan proporsi penontonnya. Artinya tayangan yang

berisikan selera rendah akan lebih banyak menghiasi layar media ketimbang tayangan

yang berisi selera menengah dan selera tinggi. Karena dari merekalah diharapkan

"media" dapat keuntungan secara finansial, 'give the public what they want'.

Dari sini nampak bahwa apa yang dijalani oleh pelaku media TV terutama --

walau tidak semuanya-- di Indonesia lebih berhaluan kepada pasar bebas, dengan

menyajikan tontonan selera rendah karena pertimbangan pasar dan bisnis. Memang ada

sitem lain yang dipakai media seperti sistem tanggungjawab sosial, artinya media

dikontrol oleh khalayak penonton, pemerintah dan lembaga swasta, namun untuk kasus

Indonesia, lembaga pengontrol itu relatif belaum berfungsi, kasus BCG yang diprotes

MUI sudah menunjuk ke arah kontrol media, tapi bagaimana dengan stori-strori iklan,

cara makan anak-anak ynag dipertontonkan oleh stori iklan misalkan masih sangat

berlawanan dengan etika makan yang diajarkan keluarga, sekolah atau pesantren,

demikian juga halnya dengan cara duduk atau tingkah laku lainnya.

Sebagai kelanjutan dari teori Pak Kyai Hasan yang penulis sambung dengan

teori De Fleur untuk menyelesaikan "power" tadi , rekomendasinya adalah bagaimana

menyelesaikan pemilihan sistem media dalam kontek Indonesia, apakah pasar bebas

atau tanggungjawab sosial, kalau melihat dibentuknya KPI (Komisi Penyiaran

Indonesia) dan Dewan Perss nampaknya akan mengarah ke sistem tanggujwab sosial

namun di lapangan para praktisi media menggunakan sistem pasar bebas. Inilah jurang

yang harus diselesaikan. Dalam UU Pers nasional ada aturan tentang perikalanan yang

260
mungkin bisa dijadikan payung pergerakan kontrol media; Perusahaan iklan dilarang

memuat iklan yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu

kerukunan hidup antarumat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan

masyarakat (Pasal 13:I), termasuk juga aturan tengan penyiaran yang berlawanan

dengan agama yang berbunyi: Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan

opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta

asas praduga tak bersalah. (Pasal 5:1).

Teori Penonton Versi KH Imam Zarkasyi: Gambaran di atas mencerminkan

praktek 'menonton" tv dengan aktif, artinya kita yang memprogram informasi (seeking

information theory) bukan kita yang diprogram media, ajaran ini penulis ingat suatu saat

ketika al-marhum KH. Imam Zarkasyi berpidato di hadapan para santri di BPPM, beliau

katakan; "saya juga nonton tv tapi saya, pilih-pilih saya nonton "Dunia Dalam Berita",

kalau film-film sih buat pembantu" maknanya kurang lebih begitu.

Pernyataan di atas jika dihubungkan dengan diskusi kita bersama pak Hasan

ada kesinambungan pak Zar mengajarkan santrinya untuk menjadi penonton yang aktif

tidak pasif, pak Hasan mengajak untuk aktif menganalisis media, sehingga "pesan" yang

diterima dari hasil nonton bisa berbalik menjadi positif, berangkat dari realitas yang ada

yakni konten media melahirkan teori triple S, artinya informasi yang disuguhkan media

tidak mampu memberikan "pesan" sebagaimana yang dikehendaki malah sebaliknya

menjadi konfrontatif dan melahirkan kritik. Ajaran yang sama juga diwarisi Pak

Syukri:"masa, santri gontor tidak nonton even sebesar EURO" arahannya adalah santri

Gontor harus tanggap dan peduli dengan sekeliling.

261
Sebetulnya masih banyak oleh-oleh dari Mantingan saat mengikuti out bound di

sana, bukan hanya masalah media saja, seperti semangat calon wali santri saat

menginformasikan tentang Gontor kepada siapa saja yang dijumpainya, para peserta

nampaknya aktif dan merasa sebagai nara sumber paling kompeten dalam wasfu Gontor

(mendiskripsikan Gontor). Acara yang penulis sebut out bound adalah acara

pengumuman kelulusan di Mantingan, selain suasananya yang membuat penulis

memilih istilah tersebut karena misi Gontor untuk dakwah dan mendidik, bukan hanya

santri tapi juga wali santri dan masyarakat.

Melalui pembahasan Bab ini tergambar ke mana arah pesantren di masa

yang akan datang, ada sisi ekonomi, sisi lay out bangunan fisik, sisi

kemasyarakatan dan kesejahteraan, ada juga sisi dakwah Islamiyah yang lain,

seperti perambahan pesantren terhadap media massa, ini sangat diperlukan,

idealnya setiap pesantren bisa memiliki media masa sendiri. Penyebaran ilmu

pengetahuan selain dengan melalui pendidikan formal di kelas-kelas, juga

melalui penyiaran publik bisa mulai dilirik pesantren. Terobosan-terobosan

beberapa pesantren untuk menjadi "pemain" dalam berbagai sektor harus sudah

mulai disosialisasikan dan diadopsi oleh pesantren yang ribuan banyaknya di

Indonesia ini. Mengingat di abad 21 tidak bisa melepaskan diri dari

ketergantungannya kepada media, dunia dewasa ini dipenuhi oleh berbagai

media sperti televisi, radio, film, surat kabar, majalah, buku serta media lainnya

yang semuanya bisa diakses kapan dan di mana saja, oleh siapa saja--sementara

Islam dan Al-Qur'an di sisi lain sering disebut-sebut sebagai agama yang cocok

262
untuk segala zaman. Media menjadi suatu yang tak terelakkan sebagai produk

peradaban modern.61 Ia bisa menemui siapa saja dan menyampaikan informasi

baik yang dikehendaki maupun yang tidak dikehendaki. Stanley J. Baran

mengawali tulisannya tentang media sebagai berikut: " The mass media play a

large and growing role in how we spend our time and live our lives, as we

devote more time to interacting with the mass media: television, news paper,

radio, film, magazines, and books, our environments change. We experience

things vicariously or indirectly and people around us share those experience

and have others of their own".62 Maka dakwah Islamiyah dan pendidikan serta

pembinaan ummat harus bersifat multi dimensi --tak terkecuali melalui

pemanfaatan media.

61
Modern di sini berarti: current, up-to-date, up-to-the-minute, recent, new, present, fresh,
prevailing, modern-day, antonym: old-fashioned. Jadi peradaban modern berarti peradaban masa kini
yang kemajuannya bisa dilihat dan dirasakan.
62
Baran. Stanley. J. Self, Symbols, and Society, (Massachusetts: Addison-Wesley Publishing
Company, Inc, 1984) h. 1

263
BAB VIII

PENUTUP

Pesantren adalah asset ummat dan bangsa yang telah mengakar selama ratusan

tahun dan berjasa dalam pendidikan dan pengembangan ummat, ia juga telah

melahirkan banyak pemimpin dan pelopor di masyarakat. Selain sebagai kantong

pertahanan dan penyebaran agama, juga sebaga laboratorium sosial kemasyarakatan.

Kalau para ilmuwan sosial untuk menarik teori-teori sosialnnya tidak memiliki

laboratotium, tradsisi "pembiasaan di pesantren" menjadi suatu hal yang menarik

sebagai miniatur masyarakat.

Dikatakan miniatur masyarakat karena kegiatan yang ada di pesntren kalau

diperhatikan merupakan suatu proses pembelajaran sekaligus pengamalan nilai-nilai

keagamaan dengan berbagai tantangan dan proses penyelesaiannya. Kepemimpinan

dalam komunitas pesantren nampak berfungsi sebagai "pemimpin" yang senantiasa

membina, mengayomi dan mengarahkan anggotanya, ada fungsi kontrol dan wibawa

dalam kepemepinan yang tergambar dalam kehidupan sosial pesantren.

Dari segi norma ajaran juga mencerminkan adanya norma yang berlaku dan

dipatuhi oleh para santri dan ustadz sebagai anggota masyarakatnnya, proses penjalanan

hukuman dan mekanisme penjalanan hukum juga merupakan miniatur keadilan atas

dasar keikhlasan yang berorientasi pada kontruksi tingkahlaku dan perbaikan,bukan

pada pendahuluan kepentingan sendiri --me first generation-- atau mumpungisme. Yang

ada hanaya usaha-usaha memperbaiki dan mendamaikan bukan sebaliknya.

264
Semua itu mengindikasikan bahwa sebenarnya masyarakat yang terartur dan

suasana ibadah bisa tercipta dalam suatu komunitas baik kecil maupun besar, asalkan

sarana dan prasarana terpenuhi baik yang bersifat aturan, penegakkan hukum, pelaku

kontrol dan dasar kehendak untuk melakukan perbaikan tersedia dan dijalankan.

Tatanan masyarakat ideal baldah tayyibah wa rabun ghafuur jika dikaitkan dengan

situasi pesantren di atas nampaknya bukan suatu yang mustahil dan bisa direalisir.

Asalkan semua yang terlibat baik dari pimpinan hingga pengelola dan anggota

masyarakatnya memiliki semangat yang sama, tujuan yang sama dan bekerja sama

untuk mewujudkan cita-citanya, sehingga semua pemikiran kegiatan diarahkan secara

terpusat pada pencapaian tujuan, aturan diciptakan untuk perbaikan, pengelola dan

pimpinan bertujuan untuk memperbaiki dan membina, semua kondisi; baik tindakan

maupun pembicaran diarahkan untuk mendidik dan memperbaiki. Katakanlah ekonomi

untuk sarana perbaikan ibadah dan kelangsungan hidup, pembicaraan apakah diskusi,

seminar dan musyawarah berorientasi pada perbaikan bukan pada kemenangan

kelompok maupun individual, asanya adalah mshlahat untuk umum. Media pemebritaan

juga untuk pendidikan anggota masyarakat bukan untuk pemuasan nafsu atau keinginan.

Jadi tugas pesantren ke depan adalah memperluas medan dakwah dan

pendidikannya tidak hanya dalam komunitasnya saja tapi dengan menciptakan

komunitas "santri maya" yang bisa jutaan orang jumlahnya dan menyebar diseluruh

Nusantara dengan media massa sebagai sarananya, pada tanggal 14 September 2004

HU Mitra Dialog menurunkan sebuah profil pesantren Daarul Mukhlisin Cisantana

Cigugur Kuningan dengan ungkapan pak kyai (Drs H Yayat Hidayat )mengajar ribuan

265
santri, sementara penulis tahu kalau jumlah santri di situ cuma sekitar 60 orangan,

ketika dikomformasi pihak Redaksi menyatakan" Kan punya radio yang didengar ribuan

orang".63

Dengan singkat dapat digambarkan aspek pembaruan yang terus-menerus bisa

dilakukan pesantren, bermula dari tradisional dalam arti sesuai kebutuhan pada

masanya, kemudian dikembangkan dengan perbaikan metodologi dan materi dengan

sistem klasikal dan perluasan materi / bahan ajar dengan penambahan pengetahuan

umum disebut pesantren modern, pada saat itu kegiatan dakwah pesantren hanya

sebatas menunggu memproduk alumni sebagai calon anggota masyarakat dan

diharapkan bisa mewarnai masyarakat dengan sistem nilai dan bekal yang didapat, itu

bisa dilakukan karena populasi penduduk masih sedikit, dan serangan-serangan

informasi negatif belum gencar sebagaimana sekarang. Dewasa ini kalau pesantren

diam, tidak bergerak dan bermain dalam dunia media dan informasi, masyarakat luas

siapa yang membina? Siapa yang akan mengisi perpustakaan? Dengan materi bacanaan

macam apa? Siapa yang menyapa masyarakat? Bagaimana mereka disapa, menuju ke

arah mana mereka dibawa? Maka pesantren harus merekontruksi dirinya sebagai

pembaruan generasi ke tiga dengan memperluas medan garapan dan membuat

komunitas santri maya, maka garis pembaruan pesantren menjadi:

Tradisional Modern Post Modern

63
HU Mitra Dialog edisi 14 September 2004.

266
Dalam nentuk tabel bisa dilihat sebagai berikut ciri-ciri umum perkembangan tersebut

yang menggambarkan inovasi pesantren sesuai dengan perkembangan pola kebutuhan

masyarakat dan ketersediaan sarana dan situasi politik.

Tabel Pembaruan Pesantren

No Tradisional -1920an Modern1920- Post Modern 1990-


1990an Sekarang
1 Metodologi Metodologi Sama dengan sistem
Tradisional pengajaran dg modern
sistimatika modern
2 Materi Kitab Kuning/ Kitab-kitab Sama dengan sistem
kitab klasik kontemporer dan modern
penyederhanaan
materi
3 Media Tradisional: Media Modern alat Media elektronik,
pidato, bahasa lisan, bantu pelajaran, Cyber Media (internet)
pembacaan teks, penerbitan, media dan Broadcasting.
elektonik
4 Pelajaran tambahan Pelajaran tambahan: Pengembangan dari
:ilmu bela diri public speaking,
modern sesuai
jurnalistik, penulisan
perkembangan zaman,
ilmiah, manajemen dan
pemanfaatan teknologi
5 Bahasa lokal, daerah, Bahasa Indonesia, Sama dengan sistem
Arab bahasa Irab Inggris modern
6 Komunitas kecil/ Komunitas luas Komunitas luas tak
lokal Ukuran jelas terbatas ,Ukuran terbatas /maya, Ukuran
jelas tak jelas
7 Kejuruan jika ada Kejuan berbagai Kejuruan menjadi
terpokus pada profesi dan meluas dengan
pertanian kecakapan munculnya pfosesi baru

Gambaran pembaharuan dengan ketiga istilah di atas hanya untuk menunjukkan

perkembangan yang sejalan dengan time lines (waktu) karena praktenya baik yang

tradisonal maupun modern sebagaimana diungkap pada tabel tipologi pesantren pada

BAB IV menunjukkan adanya variasi sistem. Dan semuanya sejalan dengan kemajuan

267
teknologi dan perubahan kebutuhan manusia bisa juga melangkah menuju sitem post

modern. Jadi pesantren post modern lebih bersifat pembaruan teknologi dan keluasan

jangkauan serta berperan sebagai pelaku, sebagai pemilik dan penentu, Sementara pada

pesantren modern, pesantren sudah masuk pada posisi pelaku namun terbatas dalam

bentuk penerbitan, sedangkan perkembangan lainnya hanya sebatas berperan sebagai

pengisi acara atau penulis buku / artikel.

Semua pembaruan tersebut adalah sebagai matarantai dari sistem tradisional

yang memproduk para moderis, dan sistem modern membentuk post modernis64

pesantren. karena melihat kebutuhan dan perkembangan dalam masyarakat.

PR kita saat ini adalah rumusan yang tegas mengenai pesantren post modern

apakah kehadiran seperti ma'had Al-Zaytun di Indramayu atau Daaru Tahuid di

Bandung bisa dikembangkan sebagai model pesantren post modernis paska modernisasi

tahun 1920 an yang ditandai dengan lahirnya Pondok Modern Gontor? Allahuma amiin.

64
Istilah ini digunakan dalam pengertian sederhana, kediatan pesasntren yang merupakan babak
baru dari kegiatan yang sebelumnya dan dinilai sebagai modern. Jadi tidak menunjuk pada aliran
pemikiran tertentu dalam filsafat misalnya.

268
Daftar Pustaka

Atabik Ali, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Yogyakarta, Yayasan Ali Ma’sum,
1997 , cet. ke-2
Abdurrahman Wahid, Menggerakan Tradisi ; Esai-esai Pesantren, Yogyakarta, LKiS,
2001 , cet.ke-1,
______, Bunga Rampai Pesantren Jakarta: Dharma Bakti, 1984,
A.Mukti Ali, Ta’lim al-Muta’alim Versi Imam Zarkasyi, Ponorogo, Trimurti, 1991,
Cet.ke-1,
Abd. Hayy Al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhu’iy: Dirasah Manhajiah
Maudhu’iyah, Penrj. Suryan A. Jamrah dengan judul: Metode Tafsir
Maudhu’iy: Sebuah Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada; 1994
Ahmad, Muhammad, al-'Alimiy, Thara>iq al-Nabiy fi> ta'li>mi ashh}a>bihi
Beirut:Da>r
Ibnu Hajm, 2001
Ahmad Tohari, Mas mantri Menjenguk Tuhan, jakarta: Risalah Gusti, 1997
Amir Hamzah Wirosukarto, et.al., K.H. Imam Zarkasyi dari Gontor Merintis Pesantren
Modern, Ponorogo : Gontor Press, 1996 , Cet.ke-1
Arif Mudatsir Mandan, (Penyusun) , Di Bawah Panji-Panji Ka’bah, Konsistensi dan
integritas Perjuangan, 60 Tahun Dr. Hamzah Haz, Jakarta:Georai Pratama
Press, 2000, Cet. Ke-1
Azyumardi Azra, Islam Substantif Agara Umat tidak Menjadi Buih, Mizan, Bandung:
Mizan, 2000,, Cetakan I,
Budhy Munawar Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah Jakarta:
Mizan, 1995,.
Baran. Stanley. J. Self, Symbols, and Society, Massachusetts: Addison-Wesley
Publishing Company, Inc, 1984
Eep Saifulloh Fatah, Zaman Kesempatan, Agenda-Agenda Demokratisasi Pasca Orde
Baru,
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal Indonesia : Pemikiran Neo-Modernisme
Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid,
terj. Nanang Tahqiq, (Jakarta, Paramadina, 1999), Cet ke-1
Haidar Putra Daulah, Historisitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah, dan Madrasah,
Yogyakarta : PT Tiara Wacana, 2001, Cet.ke-1,
Hasan Muarif Ambari, Menemukan Peradaban Arkeologi dan Islam di Indonesia,
Jakarta : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1998
Howard M.Federspiel, Popular Indonesian Literature of the Qur’an, Penerjemah Tajul
Arifin dengan judul Kajian Al-Quran di Indonesia Dari Mahmud Yunus Hingga
Quraish shihab Mizan: Bandung, 1996

Hilmi Faisal, IPNU dan Tantangan Masa Depan. Jakarta, PP. IPNU, 1997, cet I,
Ismail SM (ed), Pendidikan Islam, Demokratisasi, dan Masyarakat Madani,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000, cet.ke-1,

269
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun
Modern,Jakarta:LP3ES, 1994,
Kafrawi, Pembaharuan Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta : PT Cemara Indah,
1978
Kompas, edisi 4 Juni 1999
Leo.W. Jeffres, Mass Media Processes and effects, Illinois: Wapeland Press, Inc. 1986
Mastuhu, Dinamika Pendidikan Pondok Pesantren,(Jakarta: Inis, 1985).
Muhammad Arwani, Denyut Nadi Santri, Yogyakarta: Tajidu Press,2001, cet-ke1
M. Habib Chirzin, Ilmu dan Agama dalam Pesantren, LP3ES, Jakarta, 1995, hal. 88
Mahmud Yunus, Sejarah pendidikan di Indonesia, Jakarta: Hidakarya,1990, 50
Manfred Ziemek, Pesantren dan Perubahan Sosial, Jakarta, P3M, l996 , cet.ke-1,
M. Dawam Raharjo (ed), Pergulatan dunia pesantren, Jakarta : P3M, 1985 , Cet.ke-1,
M.Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, Jakarta : Biona Aksara, 1995,
Cet.ke-3,
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Bandung : Mizan, 1996 , Cet.ke-2,
______ Membumikan Alquran: Fungsi dan Peran wahyu dalam kehidupan Masyarakat
Bandung: Mizan, 1992,
Microsoft® Encarta® Reference Library 2003. © 1993-2002 Microsoft Corporation.
All rights reserved
Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi
Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995, Cet. ke-1,
______, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia,
Jakarta: Paramadina, 1997
Republika, 2 Desember 1998., Forum Keadilan, 14 Desember 1998
Suplemen Ensiklopedi Islam II Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta: 1996,.
Syamsuddin Haris, PPP dan Politik Orde Baru, Jakarta, PT. Gramedia, 1991,Cet. Ke-1
Suharsono, Cemerlangnya Poros Tengah, Parenial Press, Jakarta;1999,
Surya, Muhammad, Paikologi Pembelajaran & Pengajaran, Bandung: Pustaka Bani
Quraisy,2004
Wahjuetomo, Perguruan Tingi Pesantren, Jakarta: Gema Insani Press, 1997 Cet.ke-1
W.J.S. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta, PN Balai Pustaka,
1984) cet.VII Ridin Sofwan, Islamisasi di Jawa, Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2000 , Cet.ke-1,
Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta:
LP3ES, 1984
Zuhairini, et.al., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bina Aksara, 1997 , Cet.ke-7,
HU Mitradialog Selasa 11 Januari2004,14 September 2004,
www.al-ikhlash.net
www.tokohindonesia.com
www.gontor.et
www.hidayatullah.com
www.darunajah.com
www.pesantrenonline.com

270
www.pesantrenvirtual.com
www.myquran.com
www.deptan.go.id

BIODATA PENULIS

Nama : M. Tata Taufik


Tempat Tanggal Lahir: Kuningan 4 Desember 1966
Pekerjaan : Pimpinan Pondok Modern al-Ikhlash 1990- Sekarang
: Komisaris Utama PT. Radio Duta Muslim Kuningan 2000-
: Sekarang, Pengajar Ianstitut Agama Islam Latifah Mubarokiyah
Suryalaya,
:
Alamat : Kampus Pondok Modern al-Ikhlash Ciawilor Ciawigebang
Kuningan Jawa Barat.
Riwayat Pendidikan :
1. MI. al-Ikhlash Ciawilor Kuningan 1979
2. KMI Pondok Modern Daarussalaam Gontor 1985
3. IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fak. Tarbiyah / B.
Arab 1992
4. IAIN SGD Bandung Program Pasca Sarjana. 2001
Pengalaman Organisasi:
1. Ketua Kosma B. Arab F.Tarbiyah IAIN Syahid
Jkt.1987-1988
2. Departemen Penerbitan SEMA F. Tabiyah 1988-1989
3. Perintis dan Pemred Majalah Bahasa Arab al-
Nasyaath, Kosma B. Arab IAIN Syahid Jkt. 1988

271
4. Pemred Majalah Gema Tarbiyah Fak Tarbiyah IAIN
Jkt. 1989
5. Pengurus Puskoppan Pesantren Jawa Barat. 1999-
Sekarang

272

You might also like