You are on page 1of 11

ADOPSI DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENERAPAN

TEKNIK REHABILITASI LAHAN DAN KONSERVASI TANAH (RLKT)


(Kasus di Desa Wanadri, Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara)
People Soil Conservation Technological Adoption and Participation in Implementation
of Land Rehabilitation

(A Case Study in Wanadri Village, Bawang Sub District, Banjarnegara District,


Central Java Province)

Oleh/by:
D.R. Indrawati, N. Haryanti, T. M. Basuki, B. Haryadi, dan M. Sidiq

ABSTRACT

The enlargement of critical land especially in non-forest area does not followed
with the land rehabilitation effort. This condition is not only influenced by the
compatibility of the applied technology with the physical condition, but also with the
socio economic condition (problem).
The research objective is to investigate people adoption and participation in
application of the suggested land rehabilitation technique, soil conservation technique
and the influencing factors. The research is conducted in Wanadri village, Bawang Sub
District, Banjarnegara District. In that village is developed two research plots, namely:
1). critical land rehabilitation and 2). soil conservation. The two research plots was
developed on dry land area. Interview, group discussion, and observation are applied on
data collecting. Data are analyzed with qualitative description method.
The result shows that: 1) people is lack of knowledge about land rehabilitation
and soil conservation. This condition is showed by the applied farming system that still
growth annual cropping in the slope area without conservation; 2) From the institutional
aspect, there are no institution and norm related with land rehabilitation and soil
conservation; 3) Generally, the approach used in implementation of land rehabilitation
and soil conservation is top down without people involvement in planning; 4) People
adoption to the offered innovation is in evaluation level and people participation in land
rehabilitation and soil conservation is low. Therefore, the extension should be activated
and followed with the development of some demonstration plot made by local
government. Hopefully, people can see the plots, aware with the technology, apply and
adopt the technology.

Keywords: Critical land, Adoption, Participation, Land Rehabilitation and Soil


Conservation.

140
Prosiding Hasil Litbang ‘Rehabilitasi Lahan Kritis’
Banjarnegara, 6 Desember 2003
I. PENDAHULUAN

Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk maka meningkat pula kebutuhan


masyarakat terutama akan pangan. Namun di sisi lain, luas lahan pertanian justru semakin
sempit karena dengan meningkatnya jumlah penduduk meningkat pula permintaan lahan
untuk pemukiman, industri, perkantoran, pendidikan dan pemanfaatan lahan di luar sektor
pertanian lainnya. Hal tersebut akan mengakibatkan penggunaan lahan marginal untuk
kegiatan pertanian yang melebihi daya dukungnya. Pemanfaatan lahan marginal secara
berlebihan dengan pengolahan tanah yang kurang sesuai dengan kaidah konservasi tanah
akan menurunkan produktivitas lahan, meningkatkan erosi dan mengakibatkan lahan
menjadi tidak produktif dan bahkan kritis.
Luas lahan kritis di Indonesia menurut Departemen Kehutanan (2000) mencapai
23.242.881 ha, dimana untuk lahan kritis di luar kawasan hutan mencapai 15.106.234 ha.
Salah satu upaya untuk mengatasi masalah lahan kritis adalah rehabilitasi lahan dan
konservasi tanah. Namun mengingat lahan kritis di luar kawasan hutan pada umumnya
merupakan lahan masyarakat, dalam upaya rehabilitasinya diperlukan peran serta
(partisipasi) masyarakat.. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan
tersebut, pemerintah telah mencanangkan gerakan penghijauan sejak tahun 1961. Namun
demikian, laju kegiatan rehabilitasi lahan, khususnya di luar kawasan hutan melalui
penghijauan hanya mencapai 400.000 – 500.000 ha per tahun (Departemen Kehutanan,
2000). Dilihat dari sasarannya, kegiatan rehabilitasi yang telah dilakukan tersebut masih
jauh dari yang diharapkan.
Rendahnya tingkat keberhasilan upaya rehabilitasi lahan kritis tersebut terjadi
antara lain karena tidak cocoknya teknologi konservasi yang dianjurkan dengan keadaan
biofisik dan sosial ekonomi setempat, sehingga sulit diterima petani (Agus 1997b dan
1998b dalam Agus dan Adimihardja, 1998). Suatu teknologi baru yang diperkenalkan
kepada masyarakat akan berkembang jika diadopsi dan ada partisipasi dari masyarakat.
Untuk itu, perlu diketahui tingkat adopsi dan partisipasi masyarakat dalam penerapan
teknik RLKT yang dianjurkan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

141
Prosiding Hasil Litbang ‘Rehabilitasi Lahan Kritis’
Banjarnegara, 6 Desember 2003
II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi

Kegiatan dilakukan di Desa Wanadri, Kecamatan Bawang, Kabupaten


Banjanegara yang secara pembagian DAS masuk dalam wilayah Sub DAS Sapi.
Lokasi tersebut dipilih karena di sana sedang dilakukan 2 (dua) kegiatan uji coba
teknik RLKT yaitu :
1. Teknik Rehabilitasi Lahan Kritis yang dilakukan pada 2 (dua) mikro DAS di
Blok Saga. Adapun perlakuan yang diterapkan adalah pengapuran, pemberian
pupuk kandang, penanaman gliricidae, trucuk bambu dan tanaman keras (jati,
petai, jenetri dan merica). Perlakuan tersebut di samping utnuk mengurangi laju
erosi dan meningkatkan kesuburan tanah, juga untuk peningkatan pemanfaatan
lahan (Basuki, dkk, 2003).
2. Teknik Konservasi Tanah pada Lahan Kering di Blok Jambon dan Kali Gintung.
Perlakuan yang diterapkan adalah teknik konservasi tanah secara mekanis
(perbaikan teras dan SPA), secara vegetatif (rumput pada tampingan teras dan
tanaman keras) serta pemupukan (Haryadi, dkk, 2003).

B. Pengumpulan dan Analisa Data

Data dikumpulkan melalui wawancara dengan responden yang terdiri dari


petani peserta plot uji coba (9 orang) dan masyarakat sekitar lokasi kegiatan (20
orang), diskusi kelompok dengan masyarakat sekitar lokasi kegiatan serta
pengamatan lapangan. Adapun parameter yang diamati adalah pengetahuan,
pandangan, penerimaan dan kemampuan masyarakat untuk menerapkan teknik
RLKT yang diterapkan serta keterlibatan masyarakat mulai dari perencanaan
kegiatan RLKT termasuk di dalamnya tingkat keswadayaan masyarakat. Data yang
terkumpul kemudian diolah dan dideskripsikan secara kualitatif.

142
Prosiding Hasil Litbang ‘Rehabilitasi Lahan Kritis’
Banjarnegara, 6 Desember 2003
III. SISTIM USAHATANI DAN UPAYA RLKT YANG TELAH DITERAPKAN
MASYARAKAT

Lahan pertanian di Desa Wanadri terdiri dari lahan tegal. Pada umumnya lahan
tersebut ditanami tanaman semusim seperti jagung, ketela pohon dan kacang tanah,
dimana jenis tanaman yang paling dominan adalah ketela pohon. Jenis-jenis tanaman
tersebut dipilih karena faktor kebiasaan atau karena tanaman tersebut sudah membudaya
dalam masyarakat. Sedang untuk tanaman ketela pohon karena didukung dengan adanya
pasar berupa pabrik tapioka di sekitar lokasi kajian. Namun saat ini, masyarakat juga
sudah mulai menanam cabe dengan pertimbangan tanaman cabe dapat memberikan
pendapatan yang lebih tinggi.
Melihat kelerengannya yang cukup curam, lahan tersebut sebenarnya tidak sesuai
untuk tanaman semusim dan lebih tepat untuk tanaman keras. Akan tetapi pada umumnya
petani tetap bertahan untuk menanam tanaman semusim dengan alasan hasil lahan
tersebut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Walaupun masyarakat menyadari bahwa
penggunaan pupuk semakin lama semakin bertambah, masyarakat juga belum melakukan
upaya konservasi tanah pada lahan tegalnya. Kalaupun ada sebagian masyarakat yang
telah membuat teras, bentuk teras pada umumnya masih belum sempurna (teras miring
keluar), sehingga erosi yang terjadi masih tinggi. Kenyataan tersebut mencerminkan
masih kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap pentingnya upaya
RLKT dan diduga kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap upaya RLKT akan
membawa implikasi negatif pada penerapan praktek RLKT pada lahan miliknya.

IV. TINGKAT ADOPSI MASYARAKAT TERHADAP TEKNIK RLKT YANG


DIPERKENALKAN

Adopsi dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku baik yang berupa
pengetahuan (cognitive), sikap (affective), maupun ketrampilan (psychomotoric) pada diri
seseorang setelah menerima “inovasi” yang disampaikan (Pusluh, 1997). Sedang inovasi
sendiri menurut Mardikanto (1988) adalah sesuatu ide, perilaku, produk, informasi dan
praktek-praktek baru yang belum banyak diketahui, diterima dan digunakan/
diterapkan/dilaksanakan oleh sebagian besar warga masyarakat dalam suatu lokalitas
tertentu, yang dapat digunakan atau mendorong terjadinya perubahan-perubahan di segala

143
Prosiding Hasil Litbang ‘Rehabilitasi Lahan Kritis’
Banjarnegara, 6 Desember 2003
aspek kehidupan masyarakat demi terwujudnya perbaikan-perbaikan mutu hidup setiap
individu dan seluruh warga masyarakat yang bersangkutan.
Proses adopsi yang dimuali dari penyampaian inovasi sampai dengan terjadinya
perubahan perilaku melalui beberapa tahapan. Tahapan yang dilalui dalam proses adopsi
tersebut menurut Pusat Penyuluhan Kehutanan (1997) yaitu : (1) sasaran mulai sadar
tentang adanya inovasi (awareness); (2) tumbuh minat yang biasanya ditandai dengan
keinginan bertanya dan mengetahui lebih banyak tentang inovasi (interest); (3)
memberikan penilaian terhadap baik/buruk atau manfaat dari inovasi (evaluation); (4)
mencoba dalam skala kecil (trial) dan (5) menerapkan dengan penuh keyakinan
(adoption).
Disamping itu, kecepatan masyarakat mengadopsi suatu teknologi dipengaruhi
oleh beberapa hal (Pusluh, 1997) yaitu :
1. Sifat inovasi yang ditawarkan yaitu sifat intrinsic (yang melekat pada inovasinya)
antara lain keunggulan teknis, ekonomis dan budaya; mudah tidaknya
dikomunikasikan dan diamati; serta sifat ekstrinsik yang mencakup kesesuaian
lingkungan setempat dan tingkat keunggulan relatif disbanding teknologi yang sudah
ada.
2. Sifat sasaran yaitu cepat atau tidaknya sasaran mengadopsi suatu inovasi.
3. Cara pengambilan keputusan (individu atau kelompok).
4. Saluran komunikasi yang digunakan (media massa, kelompok atau media antar
pribadi).
5. Keadaan penyuluh yaitu tergantung bagaimana kegigihan dan kerajinan penyuluh
dalam menyampaikan inovasi.
6. Sumber informasi antara lain media massa, penyuluh, teman, tetangga, pedagang dan
lain-lain.
Dalam kegiatan ini, inovasi yang disampaikan dan diharapkan diadopsi oleh
masyarakat adalah teknik rehabilitasi lahan dan konservasi tanah sebagai berikut :
1. Teknik rehabilitasi lahan kritis dengan perlakuan pengapuran, pemberian pupuk
kandang, penanaman gliricidae, trucuk bambu dan tanaman keras (jati, petai, jenetri
dan merica). Perlakuan tersebut disamping untuk mengurangi laju erosi dan
meningkatkan kesuburan tanah, juga untuk peningkatan produktivitas lahan.
144
Prosiding Hasil Litbang ‘Rehabilitasi Lahan Kritis’
Banjarnegara, 6 Desember 2003
2. Teknik konservasi tanah pada lahan kering secara mekanis (perbaikan teras dan
Saluran Pembuangan Air/SPA) dan secara vegetatif (rumput pada tampingan teras dan
tanaman keras) serta pemupukan.
Jika dilihat dari inovasi yang diperkenalkan, sebanarnya cukup mudah untuk
diterapkan dan mudah untuk diamati karena plot percontohan ada di sekitar lahan
masyarakat. Hasil pengamatan dan wawancara menunjukkan sebagian besar masyarakat
sadar bahwa mereka membutuhkan teknik RLKT tersebut, namun pada umumnya
masyarakat belum menerapkan teknik RLKT yang diperkenalkan. Hal ini disebabkan
oleh kendala biaya dan tenaga kerja seperti pengapuran dan penanaman trucuk bambu.
Disamping itu ada alasan lain yang diakibatkan oleh kurangnya pengetahuan masyarakat
tentang teknik RLKT. Sebagai contoh pembuatan teras belum diterapkan karena
ketakutan akan berkurangnya bidang olah. Penanaman gliricidae untuk tampingan teras
juga ditakutkan akan mengganggu pertumbuhan tanaman ketela pohon yang merupakan
tanaman utama. Sedang untuk tanaman keras, masyarakat sudah mulai menerapkan
terutama untuk tanaman seperti petai dan sengon. Kendala utama pemasyarakatan
tanaman keras adalah kurangnya inisiatif masyarakat untuk menyediakan bibit dan masih
tingginya keinginan masyarakat untuk mengusahakan lahannya dengan tanaman semusim
seperti ketela pohon dan kacang tanah, dimana tanaman ini secara sosial sudah
membudaya dalam masyarakat.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa meskipun teknologi yang diperkenalkan
tidak terlalu rumit dan mudah diamati, namun ada faktor lain yang mempengaruhi tingkat
adopsi masyarakat. Dari hasil kajian diketahui bahwa faktor-faktor tersebut :
1. Masih kurangnya pengetahuan masyarakat tentang teknik RLKT, yang menunjukkan
masih kurangnya atau kurang tepatnya teknik sosialisasi mengenai RLKT kepada
masyarakat. Sosialisasi sangat menentukan keberhasilan penerapan teknologi baru oleh
masyarakat, dimana tujuan dari sosialisasi suatu ide baru adalah agar masyarakat
bersedia menjadi agent of change dan menyadari bahwa ada sesuatu yang perlu diubah
untuk mencapai tingkat kehidupan yang lebih baik.
2. Kemampuan ekonomi masyarakat juga mempengaruhi diterapkan atau tidaknya suatu
teknologi baru. Kemiskinan menyebabkan masyarakat tidak mampu menerapkan suatu
teknologi untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Sebab pada umumnya teknologi
145
Prosiding Hasil Litbang ‘Rehabilitasi Lahan Kritis’
Banjarnegara, 6 Desember 2003
yang diperkenalkan membutuhkan biaya, sementara masyarakat merasa tidak
mempunyai jaminan bahwa teknologi tersebut dapat memberikan keuntungan dalam
waktu yang dekat. Sedang di sisi lain mereka harus menjaga kelangsungan ekonomi
rumah tangganya.
3. Sosial dan budaya mesyarakat juga berpengaruh terhadap tingkat adopsi masyarakat,
seperti budaya menanam ketela pohon yang sulit diubah, tingkat pendidikan dan
pengetahuan yang rendah serta ketersediaan tenaga kerja untuk melaksanakan kegiatan
yang berkaitan dengan penerapan teknologi yang baru.

V. KELEMBAGAAN DALAM KEGIATAN RLKT

Secara teknis, lembaga yang langsung bertanggung jawab pada pelaksanaan


RLKT adalah Dinas Kehutanan (PKT) yang saat ini menjadi Sub Dinas Kehutanan pada
Dinas Pertanian. Namun dalam pelaksanaannya, harus juga dilakukan koordinasi dengan
instansi lain seperti Bagian Lingkungan Hidup dan Perum Perhutani KPH Banyumas
Timur. Peran dinas tersebut dalam kegiatan RLKT adalah sebagai fasilitator, motivator
dan stimulator (memberikan dukungan materi/bantuan). Bantuan pada umumnya
diberikan dalam bentuk bibit dan upah tanam.
Kegiatan yang telah dilakukan antara lain pembuatan kebun bibit desa (KBD),
kebun rakyat, rehabilitasi teras, pembuatan dam pengendali serta penanaman tanaman
lorong. Dana pada umumnya diperoleh dari pusat, sedang dana daerah (APBD) hanya
merupakan dana pendukung. Hal ini menunjukkan bahwa upaya RLKT belum menjadi
prioritas kegiatan pemerintah daerah.
Bantuan yang pernah diberikan untuk Desa Wanadri berupa bibit tanaman keras
seperti sengon laut (Paraserianthes sp.), kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan sengon
(Paraserianthes falcataria). Namun dalam perkembangannya mengalami kegagalan
karena jenis tanaman yang diberikan tidak sesuai dengan keinginan masyarakat.
Disamping itu, tidak ada upah pemeliharaan sehingga masyarakat lebih
mengkonsentrasikan kegiatannya untuk merawat tanaman semusim yang dapat segera
memberikan hasil. Dari sisi kelembagaan, di Desa Wanadri tidak ada lembaga, aturan dan
norma yang mengatur kegiatan RLKT sehingga saat ini masyarakat hanya melakukan
sesuai pemahaman dan kemampuannya. Kelompok tani yang adapun tidak memiliki
146
Prosiding Hasil Litbang ‘Rehabilitasi Lahan Kritis’
Banjarnegara, 6 Desember 2003
kegiatan. Disamping itu, kegiatan penyuluhan saat ini juga sudah tidak aktif lagi. Hal
tersebut merupakan sebab akibat dari kondisi-kondisi yang ada di lokasi kegiatan, dimana
penyuluh yang tadinya rajin memberikan penyuluhan menjadi kendor karena merasa
masyarakat kurang memberi respon terhadap apa yang diberikan dan tidak berusaha
untuk mencari penyebabnya. Di sisi lain, masyarakat yang semula aktif menghadiri
pertemuan menjadi kendor karena merasa tidak ada masalah yang menantang dan
semakin jarangnya kehadiran penyuluh. Dengan kondisi tersebut, masyarakat tidak lagi
memiliki jembatan untuk dapat menyampaikan aspirasi dan permasalahannya.
Sebagai upaya menumbuhkan kembali dinamika kelompok, selain membuat plot
uji coba teknik RLKT, Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai Indonesia Bagian Barat (BP2TPDAS-IBB) juga telah melakukan
beberapa upaya yaitu :
1. Mengadakan beberapa kali pertemuan dengan masyarakat sekitar lokasi kegiatan
sebagai sarana untuk memberikan penyuluhan dan mengetahui pemahaman
masyarakat terhadap upaya RLKT.
2. Memberikan bantuan berupa ternak kambing kepada kelompok tani dengan maksud
dapat memberi tambahan pendapatan, disamping untuk membudayakan masyarakat
untuk menanam rumput pada tampingan teras. Dimana aturan pengelolaan ternak
diserahkan sepenuhnya kepada anggota kelompok.
3. Mengadakan studi banding untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan petani.

VI. TINGKAT PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM UPAYA RLKT

Menurut Cohen dan Uphoff (1977) dalam Sumaryati (1984), partisipasi dalam
pembangunan masyarakat pedesaan adalah keterlibatan masyarakat dalam proses
pengambilan keputusan tentang apa yang akan dikerjakan dan bagaimana caranya,
keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan program dan keputusan dengan
menyumbangkan beberapa sumber daya atau bekerjasama dalam organisasi/kegiatan
tertentu, bagian manfaat dari program pembangunan, dan/atau keterlibatan masyarakat
dalam upaya evaluasi program. Oleh karena itu, pengukuran partisipasi dilakukan dengan
melihat keterlibatan para pihak dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan,
pelaksanaan dan pemeliharaan/pemanfaatan hasil kegiatan.
147
Prosiding Hasil Litbang ‘Rehabilitasi Lahan Kritis’
Banjarnegara, 6 Desember 2003
Namun demikian dalam implementasinya, kegiatan yang partisipatif terkadang
harus melalui proses yang panjang karena beberapa persoalan yang harus diselesaikan
terlebih dahulu. Conyers dalam Slamet (1993) menyatakan bahwa seringkali kegiatan
partisipatif terkendala oleh tidak adanya keinginan masyarakat untuk terlibat dalam
kegiatan tersebut. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : 1) manfaat yang dirasakan, biaya yang
harus dikeluarkan dan resiko yang harus dihadapi (Bryant, 1983); 2) variabel demografi
seperti umur, status perkawinan dan pendidikan (Civilize dalam Sumaryati, 1984); 3)
tingkat pendapatan, pekerjaan, pendidikan dan luas lahan yang diolah (Atienza dan
Antonio dalam Sumaryati, 1984); serta 4) karakteristik petani (umur, pendidikan, status
sosial, lama pengalaman), tingkat pendapatan, kondisi fisik lapangan, sumber informasi
dan tipe ajakan (Kristanto, 1993).
Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan RLKT, dinas terkait
sudah mulai mencoba melibatkan masyarakat dalam tahapan perencanaan kegiatan
RLTK. Hanya saja pada waktu pelaksanaan proyek penghijauan, jenis tanaman keras
sudah ditetapkan oleh pusat, sehingga proyek mengalami kegagalan karena tidak sesuai
dengan kebutuhan masyarakat. Contoh lain upaya peningkatan partisipasi masyarakat
adalah kesepakatan yang mewajibkan masyarakat untuk menanam rumput gajah pada
bibir teras dan bagi yang tidak menanam akan dikenakan sanksi. Namun kenyataannya,
sanksi tidak diterapkan pada pelanggar aturan, bahkan banyak rumput gajah yang telah
ditanam hasilnya dicuri orang. Hal ini menimbulkan keengganan bagi masyarakat untuk
melakukan upaya konservasi tanah tersebut.
Belajar dari pengalaman tersebut, pihak BP2TPDAS-IBB mencoba untuk
menjaring keinginan masyarakat mengenai jenis tanaman yang dibutuhkan masyarakat,
serta share apa yang akan diberikan masyarakat untuk mengimplementasikan rencana
yang telah disusun. Dari diskusi kelompok diketahui bahwa jenis tanaman yang
diinginkan masyarakat adalah petai, sengon, dan durian yang disamping sebagai upaya
konservasi tanah juga ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani dengan jalan
memberikan alternatif pendapatan di luar tanaman ketela yang biasa diusahakan. Namun
dari diskusi kelompok diketahui bahwa sebagian besar masyarakat masih mengharapkan
bantuan baikt itu bibit, pupuk maupun upah tenaga kerja, berarti share masyarakat cukup
148
Prosiding Hasil Litbang ‘Rehabilitasi Lahan Kritis’
Banjarnegara, 6 Desember 2003
rendah karena hanya menyediakan lahan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa partisipasi
masyarakat dalam kegiatan RLKT yang direncanakan masih rendah. Rendahnya tingkat
partisipasi pada penyediaan sarana konservasi antara lain dipengaruhi oleh pendapatan
masyarakat serta tingkat pengetahuan masyarakat terhadapa teknik RLKT. Untuk itu,
perlu dilakukan pendekatan dan penyuluhan secara intensif.

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Pengetahuan masyarakat mengenai kegiatan RLKT masih kurang, yang
antara lain ditunjukkan dengan pola tanamnya serta belum adanya upaya
RLKT yang diterapkan.
2. Tingkat adopsi masyarakat masih sampai pada tahap memberikan penilaian
terhadap inovasi yang diperkenalkan.
3. Belum ada lembaga dan norma yang berkaitan dengan kegiatan RLKT,
bahkan kegiatan penyuluhan saat ini juga sudah tidak berjalan dengan baik.
4. Telah dilakukan beberapa upaya untuk dapat menghidupkan kembali
kelompok antara lain dengan mengadakan pertemuan dengan masyarakat,
pemberian bantuan ternak dan studi banding.
5. Belum ada partisipasi yang nyata dari masyarakat dalam kegiatan RLKT.

B. Saran
1. Salah satu upaya yang perlu diambil untuk merubah persepsi masyarakat
tentang kegiatan RLKT yaitu perlu diaktifkannya kembali kegiatan
penyuluhan, namun dengan materi dan cara penyajian yang lebih menarik
dan yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat.
2. Pemerintah dalam hal ini Dinas Pertanian khususnya Sub Dinas Kehutanan,
perlu membuat demonstrasi plot teknik RLKT sehingga masyarakat dapat
melihat pola tanam yang menguntungkan ditinjau dari segi konservasi
maupun ekonomi dan budaya

149
Prosiding Hasil Litbang ‘Rehabilitasi Lahan Kritis’
Banjarnegara, 6 Desember 2003
DAFTAR PUSTAKA

Agus, A. dan A. Adimihardja. 1998. Aplikasi Teknik Konservasi Tanah pada Lahan
Kritis di Indonesia. Makalah Ekspose Hasil Penelitian Teknik Rehabilitasi Lahan
Kritis dan Reboisasi. Wanariset II, Kuok. Balai Penelitian Kehutanan Pematang
Siantar. KUOK.

Basuki, T.M. dkk. 2003. Kajian Teknik Rehabilitasi Lahan Kritis di Areal Lahan Kering.
Laporan Hasil Penelitian Balai Litbang Teknologi Pengelolaan DAS Indonesia
Bagian Barat. Surakarta.

Departemen Kehutanan. 2000. Pola Umum dan Standar Kriteria Rehabilitasi Hutan dan
Lahan. Direktorat Rehabilitasi Lahan dan Konservasi tanah. Direktorat Jenderal
Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Departemen Kehutanan.

Haryadi, B. dkk. 2003. Kajian Teknik Konservasi Tanah pada Lahan Kering Palawija.
Laporan Hasil Penelitian Balai Litbang Teknologi Pengelolaan DAS Indonesia
Bagian Barat. Surakarta.

Kristanto, A. dan Oemarsono, H. 1993. Upaya Penanggulangan Sedimentasi pada Waduk


: Model Pengalaman Pelaksanaan Penghijauan RLKT di Kabupaten Dati II
Wonogiri. Pemerintah Daerah Kabupaten Dati II Wonogiri. Wonogiri.

Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret University


Press. Surakarta.

Pusat Penyuluhan Kehutanan. 1997. Buku Pintar Penyuluhan Kehutanan. Departeman


Kehutanan.

Slamet, Y. 1993. Pembangunan Masyarakat Berwawasan Partisipasi. Sebelas Maret


University Press. Surakarta.

Sumaryati. 1984. People’s Participation in The Government’s Land Rehabilitation


Program in A Selected Sub Watershed of Upper Solo, Indonesia. Institute of
Social Work and Community Development. University of Philippines.

150
Prosiding Hasil Litbang ‘Rehabilitasi Lahan Kritis’
Banjarnegara, 6 Desember 2003

You might also like