You are on page 1of 9

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Resiko merupakan penyimpangan dari ekspektasi tingkat pengembalian yang diharapkan, pelaku
bisnis selalu mengharapkan perusahaannya akan beroperasi dengan baik dan mendapatkan
keuntungan, namun adanya resiko malah dapat mengakibatkan kerugian yang berdampak
perusahaan harus memutuskan sesuatu dengan sangat hati-hati dalam mengambil tindakannya.
Dalam mengambil keputusan pelaku bisnis sebaiknya juga mempertimbangkan tingka toleransi
terhadap resiko. Upaya pengambilan keputusan inilah yang membedakan individu dari setiap
pelaku usaha.
Seorang pelaku bisnis dapat dikatakan risk averse (menghindari resiko ) di mana mereka hanya
mau mengambil peluang tanpa resiko atau risk free investment. Sedangkan risk neutral ( tidak
mempertimbangkan resiko )adalah kelompok pebisnis yang melihat peluang dengan resiko tinggi
hanya sebatas ekspektasi tingkat pengembaliannya. Yang terakhir risk lover (menyukai resiko ),
pebisnis kelompok ini adalah mereka yang suka dengan resiko, dimana mengambil peluang
dengan tingkat resiko tinggi juga karena kesenangan terhadap resiko. Jadi perlu adanya
pertimbangan dalam menentukan tingkat toleransi terhadap resiko agar dapat memilih atau
menentukan perimbangan yang optimal dari ekspektasi tingkat pengembalian dengan resiko
dalam bertransaksi saham. Dalam laporan ini jenis pengambilan keputusan dikaji secara
mendalam dengan menganalisis beberapa artikel terkait yang bisa dijadikan reperensi pendalamn
kajian pengambilan keputusan pelaku bisnis.

2. Tujuan Penulisan
Resiko merupakan suatu hal yang pasti dihadapi seorang pelaku bisnis dalam menjalankan
usahanya. Untuk itu, melalui makalah ini, penulis mencoba menjelaskan mengenai pengertian
dari masing-masing jenis pengambilan keputusan dari pelaku bisnis. Serta menganalisis jnis
pengambilan keputusan dari pelaku bisnis tersebut melalui analisis artikel.

3. Manfaat Penulisan
a) Bagi Penulis
Memahami perbedaan antar jenis pengambilan keputusan seorang pelaku bisnis dalam
menghadapi resiko
b) Pelaku bisnis
Menjadi salah satu pertimbangan pelaku bisnis ndalam mengambil keputusan untuk bisa lebih
berhati-hati dalam menanggapi suatu resiko.
d) Masyarakat Umum dan Akademisi
Menambah wawasan dan pengetahuan masyarakat mengenai risiko dan jenis pengambilan
keputusan seorang pelaku bisnis dalam menghadapi resiko

PEMBAHASAN

1. Pengertian Risk Lover, Risk Neutral, dan Risk Averse


Dalam menghadapi suatu resiko terdapat beberapa jenis atau tipe pengambilan keputusan yang
diambil oleh pelaku bisnis yaitu :
• Tipe risk averse adalah tipe orang atau investor yang enggan mengambil risiko atau cendrung
berusaha menghindari risiko.
• Tipe risk lover adalah tipe orang atau investor yang menyukai atau akrab dengan risiko.
• Tipe risk moderate (Risk Neutral) adalah tipe orang atau investor yang tenang atau tidak
ekstrim dalam menghadapi risiko.

2. Analisis Artikel Profil Bisnis


a. H Endang, Pengusaha Kue Kering Tahan Banting
Sudah 18 tahun H. Endang menggeluti usaha kue kering dengan jatuh bangun. Dengan
pengalamannya selama itu, dia tak gentar menghadapi persaingan yang terasa kian keras.
Awalnya, H. Endang termasuk pedagang serabutan. Dia jualan apa saja, yang dianggapnya
menguntungkan. Sekali waktu jualan ikan, lain waktu ganti kerupuk, dan sebagainya. Cara
berdagang seperti itu, boleh jadi menguntungkan. Tapi, sifatnya tidak pasti. Bahkan hampir
mustahil dikembangkan. Suatu ketika, sang isteri iseng membuat kue nastar dan membawanya ke
pasar. "Sedikit, cuma menghabiskan setengah kilo tepung terigu," kenang Endang. Tapi,
ternyata, nastar itu langsung habis terjual. Hari berikutnya, habis lagi, walaupun jumlahnya
ditambah.
Lantas, otak bisnis Endang pun berputar, dan memutuskan untuk berkonsentrasi menggarap
usaha kue kering, yang dimulai dengan nastar itu. "Saya begitu yakin, usaha ini menjanjikan,"
tandasnya, "Karena itu, kami bertekad menggarapnya dengan serius. Tidak akan ada lagi istilah
gonta-ganti dagangan." Menggunakan sepeda motor, Endang pun bergerak menawarkan kue
yang dibuat bersama istrinya, ke toko-toko. Tidak seperti ketika menjual dalam jumlah sedikit
yang selalu langsung habis, kali ini Endang harus bekerja keras agar kuenya diterima oleh toko
dan agen. Lima tahun lamanya, Endang berjibaku memasarkan kuenya, dengan hasil yang masih
jauh dari harapan. Titik terang mulai terlihat, ketika dia menembus agen besar yang mempunyai
jaringan pemasaran luas, hingga ke berbagai supermarket di Depok, Jawa barat, seperti
Ramayana, Goro, Hero serta Gelael. Bahkan, juga melalui agen, kue kering Endang yang diberi
merek "Selera" itu, sampai ke daerah Bekasi, Tangerang dan Bogor. Dari hasil penjualan, H.
Endang menyisihkan untuk menambah aset perusahaan. Rumah di Depok yang dulunya kontrak,
kini milik sendiri dan cukup luas untuk produksi. Peralatan ditambah. Sebuah kendaraan roda
empat, dibeli untuk memperlancar kegiatan operasional.
Dalam soal keuangan, Endang berpinsip, "Kalau semua bahan baku sudah terbeli, di tangan
masih ada uang, barulah saya belanjakan untuk menambah aset. Dengan demikian saya selalu
terbebas dari utang," papar lelaki asal Garut, Jawa Barat ini. Sedangkan untuk menjaga mutu
kuenya, dia sangat menghindari bahan pengawet. "Saya juga melakukan kontrol langsung ke
toko dan supermarket tempat kue dijajakan," ujarnya. Meskipun kuenya kuat sampai dua bulan,
jika seminggu ada yang belum laku, Endang langsung menariknya. Dengan kontrol ketat itu,
Endang bisa memastikan bahwa produk yang dijual ke konsumen, masih dalam keadaan baik.
Untunglah, jumlah produk yang ditarik, rata-rata hanya sekitar 10 persen. Setiap menjelang
lebaran, merupakan masa panen besar bagi Endang. Sehari, produksinya bisa menghabiskan 100
sak tepung terigu. Harga jual lima jenis kue keringnya Rp 3.750 per bungkus, atau Rp 11 ribu per
stoples.
Ketika badai krismon datang, usaha Endang terguncang. Produksinya merosot tajam, hingga
pernah hanya menghabiskan satu sak tepung terigu sehari. Terlebih, belakangan ini, muncul
kecenderungan supermarket membuat kue sendiri, dan hanya sedikit saja menerima kue dari luar.
Sebagai langkah alternatif, sekarang ini H. Endang banyak mengarahkan pemasarannya ke
daerah lain, terutama di pinggiran Jakarta. "Di sana, kue kami kembali menemukan pasar yang
baik," ujar Endang, lega, "Sekarang, seluruh pemasaran, saya konsentrasikan ke daerah pinggiran
itu." Kalau dihitung-hitung, 18 tahun sudah Endang menggeluti usaha kue kering. Selama itu
pula, dia bergulat dengan berbagai tantangan. Pantas saja, kalau dia menjadi tahan banting.

KUNCI SUKSES:
• Memutuskan total menggarap kue kering, ketika melihat prospeknya yang bagus.
• Ulet dalam melakukan pemasaran.
• Menjaga kualitas, dengan melakukan kontrol langsung secara ketat.
• Segera mencari pasar baru, ketika pasar lama mulai tertutup.

Analisis Artikel, H Endang, Pengusaha Kue Kering Tahan Banting


Dari artikel diatas kita dapat melihat bahwa H. Endang merupakan seorang risk lover atau
pecinta risiko. Ini dapat kita lihat dari usaha H Endang,seorang pedagang serabutan, yang
mengawali usahanya dengan berjualan produk-produk mulai dari ikan,kerupuk dan usaha
lainnya. Ini menandakan bahwa ia seorang yang gigih dan tidak mudah putus asa dalam
berusaha.Usaha yang ia jalankan terus mengalami kerugian ,walau ia tidak tahu apa yang akan
terjadi dengan usaha yang akan dikakukannya kedepan tapi ia tetap menghadapi risiko yang
mungkin ia hadapi dikemudian hari. Sampai akhirnya ia menemukan usaha yang cocok dan
membawanya kepada keberhasilan saat ini. Usaha kue kering yang berawal dari kue nastar yang
hanya iseng dibuat oleh istrinya kemudian dijual kepasar dan ternyata disukai oleh konsumen.
Usaha ini pun terus berlanjut dan berkembang produk kue kering mereka masuk ke supermarket
besar.
Namun begitu disaat usaha kue kering ini mulai berkembang dengan baik,badai krisis moneter
yang menimpa Indonesia pada saat itu menyebabkan usaha H.Endang terguncang dan produksi
kue keringnya merosot tajam dan pasokan kue keringnya ke supermarket tersendat akibat
supermarket- supermarket tersebut sudah memproduksi kue kering buatannya sendiri. Risiko
bangkrutpun membayangi H. Endang. Namun, H.Endang pun mencari pasar baru dengan
memperluas pasarnya kepinggiran Jakarta dan akhirnya usaha kue kering ia pun bangkit lagi.
Dari penjelasan tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa H.Endang merupakan seorang pencinta
risiko. Ia terus melanjutkan usahanya walau ia tahu usahanya mungkin akan gagal seperti awal-
awal ia mulai melakukan usaha. Usaha kue kering mengandung risiko antara lain produk kue
yang rusak, selera konsumen yang berubah,serta pesaing uyang makin banyak. Namun H.Endang
tetap melanjutkan usahanya dan terbukti dengan vara seperti ini usahanya terus berkembang
walau tantangan terus menghadang.

b. Usaha Roti Milik Reza Malik


Santri jebolan pondok pesantren ini berhasil mengembangkan usaha roti hingga produksinya bisa
meludeskan 150 bal tepung terigu sehari. Dia masih menyimpan sebuah obsesi besar. Untuk
ukuran pengusaha roti skala kecil menengah (UKM), prestasi Reza Malik memang luar biasa.
Lihat saja volume produksinya, yang menghabiskan tepung terigu sampai 150 bal sehari. Dengan
merek Riz-Qy, roti produk Reza dipasarkan melalui 14 unit armada mobil, 50 unit gerobak
becak, dan 50 orang pedagang pikulan. Di samping itu, Reza masih memiliki tiga buah toko roti.
Dilihat dari sarana pemasarannya, jelas, Reza membidik konsumen kelas bawah, menengah
sampai atas sekaligus. "Khusus yang pikulan, saya anggap perlu agar bisa menyasar daerah
pemukiman yang sulit dijangkau kendaraan," ujar Reza, "Sedangkan yang dijajakan di toko,
adalah roti kualitas bakery, untuk kalangan menengah ke atas." Pria berusia 45 tahun itu, berniat
mengembangkan toko rotinya, dengan sistem waralaba.
Reza Malik memulai usaha roti pada 1982, dengan modal Rp 10 juta. "Ketika itu, terus terang
saja, pengetahuan saya tentang roti, nol," akunya. Usaha Reza mulai berkembang, ketika —pada
1984— mengikuti pelatihan pembuatan roti di baking school bogasari selama 2 minggu. "Dari
situ, saya bisa meningkatkan pengetahuan dan keterampilan membuat roti yang baik,"
ujarnya.Agar selalu bisa mengikuti selera konsumen, Reza melakukan observasi secara periodik.
"Ya, observasinya sederhana saja. Yang penting, kita tahu apa maunya konsumen," jelasnya,
"Intinya, kita harus tanggap dan cepat menyesuaikan diri dengan perubahan selera konsumen."
Dalam rangka itulah, Reza tak pernah bosan mencari pengetahuan baru soal pembuatan roti.
Misalnya, dia tak sungkan-sungkan mendatangi karyawan bahkan pemilik bakery terkemuka di
Jakarta, untuk mengintip rahasia pembuatan roti mereka. Buku-buku tentang roti pun, menjadi
objek pemburuannya. Kerja keras Reza memang tidak sia-sia. Usaha rotinya terus mengalami
peningkatan. Krisis ekonomi, memang sempat menggoyahkan bisnis roti Reza. "Tapi, dengan
sekuat tenaga, saya upayakan jangan sampai terjadi penurunan drastis. Paling tidak, agar tidak
terjadi PHK," ucapnya, "Kalau perlu, saya mengambil kredit bank, meskipun bunganya tinggi."
Reza, seorang santri jebolan Pesantren Gontor, Jawa Timur tahun 1978, memang memiliki jiwa
wirausaha yang luar biasa. Di samping roti, dia juga berhasil mengembangkan sebuah toko
grosir. Toko bernama "Haji Malik" yang di daerah Jatinegara, Jakarta Timur, sudah sangat
terkenal itu, juga berperan sebagai distributor tepung terigu, dengan volume penjualan sekitar 15
ribu bal per bulan. Reza juga memiliki perusahaan yang bergerak dalam bidang penyaluran
tenaga kerja ke luar negeri. "Tapi, yang paling saya nikmati, ya, bisnis roti ini," katanya.
Menurut Reza, usaha roti bisa mendatangkan kepuasan tersendiri, terutama karena bisa
memberikan manfaat pada banyak orang. Karena itu, selama menjalankan usahanya, Reza terus
memendam sebuah obsesi besar: mendirikan baking school di daerah Jakarta Timur. "Dengan
merangkul teman-teman sesama pengusaha roti, mudah-mudahan pada 2003 nanti rencana itu
bisa terwujud," tekadnya.
Reza yakin, keberadaan baking school akan sangat membantu calon-calon pengusaha makanan
berbasis tepung, atau pengusaha yang mau mengembangkan usahanya. Pasalnya dia sendiri
merasa, perkembangan usahanya sangat ditopang oleh peningkatan keterampilan dan
pengetahuan di bidang pembuatan roti. Ddy

KUNCI SUKSES:
• Serius mempelajari teknik pembuatan roti yang baik.
• Melakukan observasi secara periodik, untuk mengikuti perubahan selera konsumen.
• Membidik konsumen kalangan atas dan bawah, dengan menggunakan berbagai sarana
penjualan yang sesuai.
• Menikmati usaha yang dijalaninya.

Analisis Artikel, Usaha Roti Milik Reza Malik


Dari pengalaman usaha yang telah dijalankan oleh Reza Malik, jelas terlihat bahwa pengusaha
ini termasuk ke dalam kategori Risk Lover. Alasan mengapa pengusaha ini dikatakan Risk Lover
adalah karena beliau tipe orang atau investor yang menyukai atau akrab dengan risiko. Hal ini
dapat dilihat dari kegigihannya mengembangkan usaha roti mulai dari nol hingga saat ini
usahanya tersebut dapat menghasilkan keuntungan besar. Dengan bermodalkan uang 10 juta
rupiah, Reza tekun menjalani usaha ini selama hampir 27 tahun. Padahal pada awal memulai
usahanya beliau tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan mengenai pembuatan roti yang
baik.
Dalam menjalani usaha roti ini, tentu beliau juga mengalami berbagai kendala. Dua tahun
pertama usaha yang dijalankan tersendat karena keterbatasan pengetahuan tentang roti yang
beliau miliki. Namun hal tersebut tidak mematahkan semangat beliau untuk tetap berani
mengambil risiko dari apa yang dia usahakan. Beliau tak segan untuk terus menimba ilmu demi
kelancaran bisnisnya. Krisis ekonomi yang terjadi juga sempat menggoyahkan bisnis roti Reza.
Namun tak juga menggetarkan semangatnya, bahkan beliau berani untuk mengambil kredit bank
meskipun bunganya tinggi.
Di balik kesibukan mengelola usaha roti, Reza juga berani mengambil resiko lain dengan
menggeluti bisnis di bidang penyaluran tenaga kerja ke luar negeri dan bisnis toko grosir. Dari
sekian usaha, Reza juga belum berhenti untuk mengambil risiko dengan cara mendirikan baking
school dengan harapan baking school dapat membantu calon-calon pengusaha makanan berbasis
tepung, atau pengusaha yang mau mengembangkan usahanya.

c. Amay, Pemilik Perkebunan Centra Anggrek


Profil berikutnya yang kami bahas ialah ibu Amay, pemilik dari perkebunan centra anggrek.
Beliau awalnya memiliki pekerjaan yang mapan di bidang properti namun kemudian beliau
memutuskan bergelut di bidang pemasaran anggrek sejak tahun 1997. Perusahaan yang ia dirikan
awalnya termasuk unit usaha kecil menengah, yang dinamakan centra anggrek dengan modal
awal sekitar 5 juta rupiah perminggu. Seiring dengan berjalanya waktu usaha ini terus
berkembang menjadi besar hingga mencapai keuntungan hingga sebesar 30% dari total modal
yang ia kucurkan.
Artikel tentang profil beliau kami peroleh dari buku yang ditulis ibu Netty Aprilia, Dosen
Agribisnis. Dari buku tersebut kami peroleh keterangan mengenai profil singkat beliau , sejarah
beliau mulai dari mendirikan perusahaan sampai memperluas perusahaan, jumlah tenaga kerja
beliau hingga pengaturan pemberian gaji, jenis bunga hingga tingkat keuntungan yang diperoleh
dari hasil penjualan pada tahun 2004. (artikel ini ditulis berdasarkan hasil wawancara tahun
2004)
Berdasarkan pemaparan artikel dan hasil analsis , maka kami dapat menyimpulkan bahwa ibu
amay termasuk risk lover,. Hal itu dapat dilihat dari:
• Ibu Amay memberikan penghasilan memutuskan berhenti dari pekerjaanya di bidang properti
yang sudah mapan , demi berkosentrasi di usaha centra anggrek yang didirikanya. Faktanya bila
ia memutuskan tetap bekerja maka dia akan tetap berada di zona nyaman dengan beban dan
aktivitas pekerjaan yang tetap serta memiliki pengasilan yang tetap tiap bulanya. Ditunjang
dengan keterangan beliau termasuk mapan di bidang property maka dapat ditaksir bahwa bila
tetap bekerja maka penghasilan yang beliau peroleh cukup besar. Namun beliau memutusakan
meninggalkan itu semua agar dapat berkosentrasi bergelut di bidang usahanya yang mengandung
yang cukup tinggi yaitu lebih banyaknya beban tanggung jawab serta penghasilan yang tidak
pasti.
• Komunitas tanaman yang dipilih ialah lima jenis varietas anggrek yang relatif mahal dan
membutuhkan biaya besar untuk budidaya dan pemasaranya. Anggrek yang ia budidayakan pun
berasal dari bibit impor dari negara thailand hal ini cukup berisiko tinggi karena ia harus
menjalin komunikasi yang baik dengan para relasinya hingga tidak terjadi kesalahpahaman
dalam melakukan usaha yang dapat merugikan usahanya
• Usaha yang dijalankan terdiri dari beberapa rangkaian kegiatan mulai dari pengadaan input
berupa tanaman remaja, proses produksi sampai tanaman berbunga, pengontrolan kualitas
produk, peningkatan intensitas hubungan dengan pelanggan serta pemasaran. Hal ini tergolong
berani karena aktivitas usaha yang dirangkaikan mulai dari hulu sampai hilir dilakukan oleh
centra anggrek sendiri apalagi mengingat ibu Amay sebagai penggerak usaha centra anggrek
tidak mempunyai latar belakang bisnis dalam bidang holtikultura anggrek sebelumnya
• Secara bertahap beliau membangun centra anggrek menjadi beberapa unit antara lain kantor
pusat di Kopo Permai blok 55 A NO 17 Bandung, Jawa Barat, Jalan Raya Cipaganti serta jalan
raya sindang laya, Cipanas Puncak. Namun karena beberapa bulan kemudian yang dibagian Jalan
Sindang Raya ditutup dengan alasan kurang mendapat sambutan yang hangat, hal ini tergolong
berani karena beliau baru beberapa bulan dibuka namun langsung ditutup secepat mungkin
padahal untuk membuka satu unit centra anggrek saja mengeluarkan banyak biaya
• Setiap keuntungan yang diperoleh terus menerus disisihkan sebagian untuk membangun cabang
dan membeli kebun baru antara lain di daerah Cikole, upun Lembang dan Ciwidey Bandung. Hal
ini tergolong berani karena dana yang dibutuhkan untuk membeli maupun untuk melakukan
perawatan cukup besar apalagi kebun yang dibeli berada di daerah yang cukup jauh di rumahnya
• Beliau menjual produknya bukan hanya di sekitar daerah puncak dan bandung saja namun juga
memasok di beberapa nursery Jakarta serta rajin melakukan pameran di daerah jawa dan bali.
Hal ini tergolong berisiko tinggi karena memerbesar biaya pemasaran apalagin tidak ada jaminan
bahwa bunga anggrek yang ia bawa untuk dipasarkan di tempat selain outletnya akan laku
terjual.
• Adanya sistim bonus bagi para karyawanya. Bila ada karyawan yang masuk di hari minggu
atau hari libur maka akan mendapat tambahan sebesar 15000/rupiah dan bila karyawanya
berhasil menjual diatas 25 juta maka akan mendapat berhak mendapat bonus sebesar 2,5% dari
total keuntungan yang diperoleh. Hal ini terbilang berisiko karena ia harus mengeluarkan biaya
ekstra untuk karyawanya yang membuat total keuntungan yang diperolehnya berkurang.

d. H. Suganda; Sukses Mengeruk Untung Kerupuk


Hampir 20 tahun lamanya menekuni bisnis kerupuk. Selama itu pula, pengusaha yang satu ini
berhasil menghimpun laba dan membesarkan usahanya. Kerupuk memang makanan yang
berbobot enteng. Tapi, potensi usahanya jangan dianggap enteng. H. Suganda sudah
membuktikannya. Bisnis kerupuk yang ditekuninya dari nol sejak 1982, menghantarkannya
sebagai pengusaha yang sukses merajai pasar kerupuk di Jakarta.
Faktanya, di seantero Jakarta, kerupuk buatan Suganda yang diberi merek SHD pada kalengnya,
sudah sangat terkenal. Bahkan, saking terkenalnya, kemudian banyak pengusaha kerupuk lain
yang ikut-ikutan mencantumkan merek “SHD” pada kaleng kerupuknya. Mungkin ingin
mencantol sukses kerupuk Suganda di pasar. Tapi, bagi Suganda, penjiplakan merek itu bukan
merupakan persoalan serius. Sebab, pemasaran kerupuknya toh tetap berjalan lancar.
Suganda mengawali usaha kerupuknya dengan modal pas-pasan plus peralatan sederhana
pemberian orang tuanya. Untuk tempat produksi yang sekaligus berfungsi sebagai tempat
tinggal, diperoleh dengan cara mengontrak. Produksi awal, menghabiskan setengah kuintal
tepung tapioka, yang dicampur sedikit dengan terigu. Penjualannya, yang disebar melalui para
pedagang, ternyata berjalan lancar. Setiap keuntungan yang diperoleh, dikumpulkan. Dari situ,
Suganda membeli berbagai barang seperti peralatan pabrik, sampai tanah dan bangunan.
Suganda berprinsip, daripada menabung lebih baik diwujudkan dalam bentuk barang. Karena
itulah, kemudian dia bisa memiliki rumah dan sebuah pabrik kerupuk dengan peralatan lengkap,
serta tempat pengeringan yang cukup luas, di Jakarta.
Sekarang ini, kerupuk SHD disebar oleh sekitar 40 pedagang ke wilayah Pasar Minggu,
Mampang, bahkan sampai ke daerah Kota. Tak heran jika krupuk SHD dijumpai di mana-mana.
Produksinya rata-rata menghabiskan 4 kuintal tepung per hari. Satu kuintal tepung,
menghasilkan sekitar 7.000 biji krupuk. Bahan baku krupuk putih, adalah tepung tapioka murni.
Untuk membuat krupuk coklat/opak, setiap 50 kg tepung tapioka ditambah 7 kg tepung terigu.
Dalam mengoperasikan kegiatan produksinya, Suganda memperkerjakan 20 karyawan, yang
ditampung di sebuah bangunan samping rumahnya. Namun, sampai sekarang, Suganda masih
mengontrol secara ketat bumbu adonan, sehingga kualitas rasa kerupuknya selalu terjaga.
Untuk pemasaran kerupuknya, Suganda menyediakan gerobak dan kaleng, yang bisa digunakan
oleh pedagang. Jadi, para pedagang yang mau menjual, tinggal mengambil kerupuk mentah dan
minyak, lalu menggoreng sendiri. Seorang pedagang, rata-rata membawa sekitar 100 kaleng
krupuk, untuk dititipkan di warung-warung. Kepada pedagang, Suganda menjual kerupuknya Rp
150. Sedangkan para pedagang, bebas menetapkan harga jualnya ke warung atau toko-toko.
Meskipun sudah bisa melenggang sendiri sebagai pengusaha kerupuk yang sukses, namun
Suganda tetap peduli pada sesama pengusaha kerupuk di Jakarta. Kebetulan mereka kebanyakan
dari Ciamis, Jawa Barat, daerah asal Suganda. Salah satu bentuk kepedulian itu, diwujudkan
dengan inisiatif Suganda untuk membentuk paguyuban pengrajin krupuk wilayah Jakarta
Selatan, sekaligus memimpinnya sebagai ketua. Salah satu upaya yang sekarang tengah
dilakukan paguyuban, adalah menyeragamkan harga. “Jangan sampai terjadi persaingan tak
sehat, dengan cara saling banting harga,” kata Suganda.

KUNCI SUKSES H. SUGANDA:


• Tekun menjalankan usaha dari nol.
• Sejak awal sudah mencantumkan merk.
• Memanfaatkan keuntungan untuk pembelian asset berharga.
• Mengontrol mutu produksi secara langsung.

Analisis Artikel, H. Suganda, Sukses Mengeruk Untung Kerupuk


Berdasarkan analisis dari artikel diatas, tokoh bisnis yang melakoni usaha ker
upuk ”SHD” di jakarta yaitu H. Suganda merupakan seorang Risk Lover, karena pada awal
pendirian usahanya sangat bekerja keras guna menggapai kesuksesan dalam mengembangkan
bisnisnya ini dengan modal pas-pasan. Terbukti hampir 27 tahun H. Suganda menekuni bisnis
kerupuk, yang mungkin banyak orang menganggap kerupuk ini hanya merupakan makanan
ringan yang tidak cukup potensial untuk dijalankan. Namun hal tersebut dibantah oleh H.
Suganda yang kini merajai usaha kerupuk di Jakarta dengan merk ”SHD”. Karena
kesuksesannya itu, banyak para pengusaha lain yang juga ikut-ikutan mencantumkan merk
”SHD” pada kaleng kerupuknya. Tapi bagi H. Suganda, hal tersebut bukan persoalan serius,
sebab pemasaran kerupuknya tetap berjalan dengan baik.
H. Suganda mengawali usaha kerupuknya dengan modal pas-pasan plus peralatan sederhana
pemberian orang tuanya. Untuk tempat produksi yang sekaligus berfungsi sebagai tempat
tinggal, diperoleh dengan cara mengontrak. Suganda berprinsip, daripada menabung lebih baik
diwujudkan dalam bentuk barang. Sekarang ini, kerupuk SHD disebar oleh sekitar 40 pedagang
ke wilayah Pasar Minggu, Mampang, bahkan sampai ke daerah Kota.
Seiring dengan berkembangnya usaha kerupuk ini, analisis karakter bisnis dari H. Suganda pun
berubah ia tidak hanya sebagai risk lover, tetapi dia pun seorang pelaku bisnis yang memiliki
perhitungan untuk mebangun hubungan yang baik antar pelaku bisnis. Kami menyimpulkan
bahwa Suganda adalah seorang pelaku bisnis yang bersifat pembangun, dengan upayanya
membentuk paguyuban pengrajin kerupuk wilayah Jakarta Selatan. Mengutip dari artikel (H.
Suganda, Sukses Mengeruk Untung Kerupuk), Meskipun sudah bisa melenggang sendiri sebagai
pengusaha kerupuk yang sukses, namun Suganda tetap peduli pada sesama pengusaha kerupuk di
Jakarta. Kebetulan mereka kebanyakan dari Ciamis, Jawa Barat, daerah asal Suganda. Salah satu
bentuk kepedulian itu, diwujudkan dengan inisiatif Suganda untuk membentuk paguyuban
pengrajin krupuk wilayah Jakarta Selatan, sekaligus memimpinnya sebagai ketua. Salah satu
upaya yang sekarang tengah dilakukan paguyuban, adalah menyeragamkan harga. “Jangan
sampai terjadi persaingan tak sehat, dengan cara saling banting harga,”
Dari kutipan diatas menunjukan bahwa karakter dari H. Suganda adalah pebisnis yang
mengambil keputusan untuk fairplay dengan pengusaha lainnya walupun dia telah menjadi
pengusaha kerupuk besar yang memungkinkan untuk bisa mengembangkan usaha kerupuknya
menjadi lebih besar lagi. Upaya menyamakan harga tersebut merupakan langkah untuk
mengurang resiko yang terjadi dan untuk menciptakan suatu kestabilan harga pada produk
kerupuk tersebut. Hal ini bukan dalam arti H. Suganda merupakan pelaku bisnis yang
menghindari resiko, tetapi itu merupakan strategi guan menciptakan kestabilan harga dalam
suatu pasar.

e. Studio 76 Yogyakarta
Siapapun yang pernah ke Yogya pasti mengenal tempat ini, Kotagede. Disinilah pengrajin perak
sebagian besar tinggal. Seorang putra pengrajin perak jeli melihat peluang. Dibukanya kursus
membuat asesoris dari perak. Sasarannya, turis asing, turis lokal, maupun mereka yang tertarik
dengan kerajinan perak. Agus Budiyanto, nama pemuda Yogya iotu. Nama bengkel kerjanya
adalah Studio 76 yang berlokasi di Jl Purbayan no 3 B Yogyakarta. Studio ini menempati
bangunan baru yang November 2008 selesai dibangun di atas tanah seluas 219 meter persegi.
Bangunan seluas 3 x 12 meter itu mampu menampung sekitar 30 peserta. Jika ingin menginap
ada juga pondokan kecil.
Ide membuka kursus kerajinan perak ini spontan saja. Awalnya Agus yang kelahiran 21 Agustus
1976 itu bekerja sebagai pemandu wisata. Satu hari kepada wisatawan asing dia bercerita cara
membuat asesoris dari perak. Agus tentu amat paham lantaran ayahnya Sutojo Mulyo Utomo
adalah pengrajin perak. Rupanya turis asing itu sangat antusias. “Saya anggap ini peluang. Turis
itu ingin mencoba membuat sendiri, bukan sekedar mendengar penjelasan pemandu wisata.
Kebetulan saya juga bisa membuat perhiasan perak dan bisa berbahasa asing,” ujar pria yang
menggondol ijazah bahasa Prancis itu. Langsung saja Agus membuat kursus membuat perhiasan
perak di studio ayahnya. Kala itu Januari 1999. Tiga peserta mendaftar dan salah satunya warga
asing.
Sekarang, sedikitnya 2000 orang sudah pernah belajar di bengkelnya. Sebagian besar warga
asing (Eropa). Malah sebagian wisatawan asing tiu datang dengan rombongan. Bagi wisatawan
kursus perak jelas memperkaya pengalaman kunjungan mereka ke Yogyakarta. Akhirnya buah
jatuh tak jauh dari pohonnya. Agus yang semula emoh mengikuti jejak sang ayah sebagai
pengrajin perak akhirnya tercebut juga. Untuk menambah ilmu, Agus tak hanya belajar dari
orang tua dan lingkungannya tapi juga literatur. Bahkan secara formal dia mengambil jurusan
Kriya Logam di Institut Seni Indonesia di Yogya pada 2006.
Di sini Agus tak hanya ingin menimba ilmu, tapi mempelajari bagaimana teknik mengajar
kerajinan perak yang tepat. Proses belajar yang panjang itu juga untuk mewujudkan mimpi
besarnya membuka sekolah seni. Saat ini dia sedang mengurus Izin Mendirikan Bangunan dan
kemudian akan mengajukan izin ke Depdiknas. Agus berencana membuka sekolah ini di
Yogyakarta dan Jakarta. Menurut dia orang Jakarta itu konsumtif dan berdaya beli tinggi.
Tempat yang dibidik adalah daerah yang dihunu orang asing. Nama Studio 76 ini diambil dari
tahun kelahirannya. Bagi Agus bisnis ini amat menjanjikan. Meskipun saat ini dia juga
menyambi sebagai pemandu wisata. Yang ini agar bisa memasarkan juga kursus peraknya.
Servis yang Utama
Karena terkait pariwisata, Agus mengatakan kualitas pelayanan dalam kursus tetap utama.
Dengan servis yang bagus, katadia, peserta kursus merasa puas dan akan menceritakan ke teman-
temannya secara gethok tular. Akhirnya tempat kursusnya terus berkembang. Karena itu dia
bersyukur sempat menjasi pemandu wisata karena memahami cara melayani yang baik. Agus
juga mengakui saat ini, keterampilan membuat perhiasan perak belum banyak yang menguasai.
Jadi, persaingan kursus kerajinan ini pun belum ketat. Terlebih menjadi pengrajin berarti butuh
kreativitas dan wawasan.
Di Studio 76 ada lima pengajar selain dirinya sendiri. Agus melibatkan ayah dan teman-
temannya sesama pengrajin perka. Menurut Agus kendala bagi calon instruktur adalah bahasa
asing. Untuk 6-7 orang, peserta akan didampingi satu instruktur. Belakangan Agus juga mencari
pasar baru yakni mereka yang ingin berwiraswasta dengan menambah keterampilan baru. Selain
itu dia juga gencar memasarkan kursus ini ke sekolah internasional. Agus amat berharap
kerajinan perak dari Kotagede yang kini mulai kurang diminati anak muda lokal bakal
melahirkan lagi para bibit kreatif sehingga mengangkat lagi pamor Kotagede.

PENUTUP

Kesimpulan
Dalam menjalankan bisnis, terdapat berbagai macam resiko yang dihadapi oleh para pelaku
bisnis. Tentunya para pelaku bisnis memiliki tindakan yang berbeda-beda dalam mengambil
keputuan ketika menghadapi permasalahan bisnis tersebut. Seorang pelaku bisnis dapat
dikatakan risk averse (menghindari resiko ) di mana mereka hanya mau mengambil peluang
tanpa resiko atau risk free investment. Sedangkan risk neutral ( tidak mempertimbangkan resiko )
adalah kelompok pebisnis yang melihat peluang dengan resiko tinggi hanya sebatas ekspektasi
tingkat pengembaliannya. Yang terakhir risk lover (menyukai resiko ), pebisnis kelompok ini
adalah mereka yang suka dengan resiko, dimana mengambil peluang dengan tingkat resiko tinggi
juga karena kesenangan terhadap resiko.
Analisis yang dilakukan dalam beberapa kasus bisnis, sebagian besar pelaku bisnis mengambil
keputusan dengan menggunakan tipe risk lover, artinya para pelaku bisnis memiliki karakter
berani mengambil resiko dalam menghadapi berbagai resiko dan permasalahan bisnis lainnya.

Saran
Dalam pengambilan keputusan menghadapi resiko yang ada pelaku bisnis perlu melakukan
pertimbangan dalam menentukan tingkat toleransi terhadap resiko agar dapat memilih atau
menentukan perimbangan yang optimal dari ekspektasi tingkat pengembalian dengan resiko
dalam bertransaksi saham. Dalam laporan ini jenis pengambilan keputusan dikaji secara
mendalam dengan menganalisis beberapa artikel terkait yang bisa dijadikan reperensi pendalamn
kajian pengambilan keputusan pelaku bisnis.

You might also like