You are on page 1of 10

PENDAHULUAN

Sejarah telah menunjukkan bahawa masyarakat Indonesia pra-Islam, di sekitar abad ketujuh dan sebelumnya,
adalah masyarakat dagang dengan ciri kosmopolitan yang sangat kental.2 Bahkan Burger menyatakan bahawa,
jauh sebelum masa pra-sejarah, masyarakat Indonesia telah berkenalan dengan bangsa-bangsa lain di luar
kepulauan.
Perkembangan yang menarik buat masyarakat Indonesia adalah bahawa lambat laun ciri agrarisnya lebih
menonjol dibandingkan dengan ciri baharinya. Dampak penonjolan ini sangat besar pengaruhnya
terhadap bentuk kerajaan, sistem kekuasaan, dan corak keagamaan masyarakatnya.3 Dengan demikian
dapat pula
berpengaruh terhadap struktur sosial yang berkembang pada masa itu. Bagi Indonesia, dampak kedatangan
para pedagang sangat berpengaruh terhadap penyebaran agama Islam di nusantara. Apalagi bila diingat
bahawa, sejak dimulainya proses penyebaran Islam di Indonesia, belum terdapat suatu organisasi dakwah yang
mapan untuk memperkenalkan Islam kepada masyarakat luas.4
Proses tersebarnya Islam pada waktu itu, semata-mata mengandalkan kemampuan dan ketekunan tenaga-
tenaga da'i pedagang atau guru sufi. Kerana itu, sangat beralasan bila dikatakan proses penyebaran Islam di
Indonesia membutuhkan waktu yang relative lama bahkan berabad-abad.
Latarbelakang sejarah berkembangnya kelompok pedagang Muslim di kepulauan Indonesia merupakan
indikasi bahawa Islam disebarluaskan kepada masyarakat oleh kaum pedagang. Mereka tidak semata-mata
berperanan sebagai pedagang, namun sekaligus bertindak sebagai da'i guru agama (Islam), orang sufi yang
memberikan
bimbingan keagamaan dan kehidupan sehari-hari kepada masyarakat setempat Kerana itu, terdapat kesan kuat
bahawa Islam di Indonesia, pada awalnya, berpusat di kota yang juga merupakan pusat kegiatan dagang dan
komersial. Pemeluk-pemeluk pertamanya adalah golongan pedagang –suatu masyarakat yang ketika itu,
menempati posisi kelas sosial yang cukup baik.5 Dalam penyebarannya kemudian, Islam dipeluk oleh
masyarakat kota, baik dari lapisan atas mahupun lapisan bawah.
Keberhasilan Islam menembus dan mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia, serta menjadikan dirinya
sebagai agama utama bangsa ini, merupakan suatu prestasi yang luar biasa. Hal itu, terutama, jika dilihat dari
segi geografis, di mana jarak Indonesia dengan Negara asal Islam, Jazirah Arab, cukup jauh. Kini, Islam
relatif
telah berkembang di seluruh kepulauan Indonesia. Tetapi hal itu tidak bererti bahawa masyarakat Indonesia
sepenuhnya menerima Islam.6 Sebagaimana di dunia Islam pada umumnya, pr oses Islamisasi tetap
berlanjutan dan, pada kenyataannya hal itu merupakan suatu proses yang tidak pernah selesai.
Makalah ini akan mengelaborasi berbagai masalah sekitar perkembangan Islam di Indonesia, terutama yang
berkait dengan aspek-aspek politik, hukum dan ekonomi. Di samping itu, juga akan dibahas upaya-upaya atau
peranan Majelis Ulama Indonesia dalam perkembangan Islam di Indonesia

ASPEK-ASPEK PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA


Islam adalah sebuah ajaran yang fleksibel dalam pengertian bahawa ia merupakan kodifikasi nilai-nilai
universal. Dengan ciri demikian itu, ajaran Islam dapat berhadapan dengan berbagai bentuk dan jenis
situasi kemasyarakatan. Kerana watak ajaran seperti itu, maka Islam tidak secara serentak menggantikan
seluruh tatanan nilai yang telah berkembang di dalam kehidupan masyarakat Indonesia sebelum datangnya
Islam. Bahkan, hingga taraf-taraf tertentu, nilai-nilai kemasyarakatan yang telah ada, seperti rendah hati, sabar,
mementingkan orang lain dan sebagainya, disubordinasikan ke dalam ajaran Islam. Sebab ajaran-ajaran
seperti itu, juga dikandung oleh Islam.
Oleh kerana itu, dalam sub judul ini, akan dibahas tentang berbagai aspek perkembangan Islam di
Indonesia, terutama dalam kaitan dengan aspek politik,
hukum dan ekonomi.
A. ASPEK POLITIK.
Di antara ciri-ciri Islam yang dapat menduduki ranking par-excellence (istimewa) ialah kerana sifatnya yang
universal, setiap aspek kehidupan tidak terlepas dari peraturannya tidak terkecuali aspek politik.7
Kerananya tidak heran bila dalam nas-nasnya senantiasa kita dapatkan berbagai hukum yang berhubungan
dengan urusan kenegaraan berikut sistem pemerintahannya, hukum perang dan damai serta hubungan
international antara negara Islam dengan negara lainnya.
Membahas pembangunan politik di Indonesia dalam perspektif Islam akan melahirkan dua pemikiran penting,
iaitu pemikiran tentang hubungan antara politik dan Islam dan perlakuan oleh berbagai kekuatan politik
terhadap Islam terutama dalam sejarah perkembangan politik di Indonesia. Sejak zaman kolonial sampai era
kemerdekaan, tindakan dan kebijakan berbagai kekuatan politik terhadap Islam di Indonesia, tampak dalam
peranan yang dimainkan oleh para pemimpin yang berorientasi kepada Islam. Peranan tersebut adalah implikasi
dari situasi yang mereka hadapi dan dalam hubungan dialogis politik Islam dengan budaya politik Indonesia
yang selalu berubah. Dalam wacana tentang orientasi, gerakan atau institusionalisasi Islam di Indonesia
sering digunakan istilah-istilah: "Islam Kultural", "Islam Struktural", dan "Islam Politik". Istilah "Islam
Kultural" dan "Islam Struktural", tidak lazim digunakan dalam wacana Islam di luar Indonesia, meskipun
istilah-istilah ini sebenarnya cukup tepat untuk menjelaskan fenomena perkembangan Islam yang terjadi di
Indonesia dengan di luar,8 yakni adanya orientasi pada hampir semua gerakan Islam di luar Indonesia
pada Islam struktural dan ideologis, meski tidak semuanya mendukung atau terlibat dalam Islam politik.
Namun, penggunaan istilah-istilah ini sering kurang pasti, terutama tentang "Islam structural" dan "Islam
politik" yang sering dianggap identik. Untuk menelusuri lebih jauh term-term tersebut, paling tidak kita perlu
membedakan karakteristik Islam ke dalam dua perspektif. Pertama, adalah institusionalisasi ajaran
Islam, termasuk dalam konteks pembentukan sistem nasional, yang dikelompokkan ke dalam Islam cultural
dan Islam structural; Kedua, gerakan atau aktifitas Islam, yang dikelompokkan dalam gerakan Islam kultural
dan Islam politik. Namun demikian, terlepas dari kedua dikotomi istilah di atas, penulis akan berkonsentrasi
sekitar perkembangan politik Islam di Indonesia, baik pada masa kolonial mahupun pada masa
kemerdekaan.
1. Politik dan Islam di Masa Kolonial
Islam di Indonesia adalah bahagian yang tidak terpisahkan dari budaya Indonesia, sehingga Islam
merupakan agama yang paling banyak dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia. Signifikansi hubungan
yang begitu erat antara Islam dan Indonesia sebagai suatu daerah territorial, menyebabkan penjajahan
lebih dari tiga abad oleh Belanda dan Jepun gagal dalam upaya deislamisasi agar akidah Islam tercabut
dari umat Islam.9 Sebab melalui hubungan itu juga menjelaskan terinternalisasinya nilai-nilai Islam baik
dalam bentuk akidah, pesan-pesan moral dan sosial dalam diri pemeluknya guna membendung kolonialisme
Agaknya, uraian di atas ada benarnya, sebab mengakarnya Islam di Indonesia tidak terlepas dari sebuah
proses panjang program sosialisasi Islam yang dilakukan oleh para pemuka Islam melalui aktifitas dakwah
dan pendidikan. Dalam proses tersebut, Islam di Indonesia telah berhadapan dengan berbagai tentangan
ideologi, budaya, dan kekuatan sosial politik penguasa, sehingga memaksa Islam harus tampil dalam
berbagai bentuk gerakan, seperti, gerakan Islam melawan kolonialisme, sebagai Islam politik, dan Islam
sebagai kekuatan moral, kultural dan intelektual.
Bentuk-bentuk gerakan tersebut di atas sebagai akibat dari upaya umat Islam untuk menjadikan Islam
sebagai agama yang dinamis melalui pola-pola sosialisasi seperti pola akomodasi, modifikasi dan
sosialisasi, sehingga Islam tersosialisasi dalam berbagai bentuk kehidupan masyarakat Indonesia.
Menurut Fachry Ali, dinamika Islam yang tampil dalam berbagai bentuk gerakan, sangat dipengaruhi
oleh dominasi Barat, baik yang bersifat "positif" seperti dalam bentuk intelektualisme, sains dan
teknologi, mahupun dalam hal-hal "negative" seperti kolonialisme. Namun demikian, untuk menghadapi
dominasi itu, Islam sangat kaya dengan doctrinal dan pengalaman politik yang dapat ditranformasi dan
direkonstruksi menjadi ideologi politik tanpa meminjam ideologi lain.10 Berbeda dengan Fachry Ali, Yusril
Ihza Mahendra mengklaim bahawa gerakan Islam dipengaruhi oleh faktor rekayasa-rekayasa politik
penguasa dan faktor-faktor persaingan antara kelompok bangsa sendiri.11

Mengamati berbagai uraian di atas, dapat ditegaskan bahawa faktor-faktor tersebut menjadi faktor-faktor
dominan dalam dinamika gerakan Islam di Indonesia baik pada masa kolonial dan terus berlanjutan hingga saat
sekarang ini. Gerakan-gerakan yang dilakukan kekuatan Islam agaknya mendapat banyak tentangan dari
pihak kolonial. Sebab pemerintah kolonial Belanda dalam melestarikan penjajahannya di Indonesia
menerapkan berbagai tindakan guna melumpuhkan kekuatan Islam. Penjajah Belanda seringkali
melakukan tindakan tidak manusiawi, melanggar hak asasi manusia, invasi, eksploitasi sumber-sumber
ekonomi dan sumber daya manusia yang hanya menguntungkan pihaknya. Mereka juga melakukan upaya
de-Islamisasi dan depolitisasi terhadap umat Islam.

Namun demikian, berbagai bentuk penindasan dan kebijakan Belanda tidak menjadikan umat Islam
Indonesia lumpuh, bahkan mereka menjadikan Islam sebagai dasar pembentukan identitas bangsa dan
lambang perlawanan terhadap imperialisme. Mereka bersatu dalam perjuangan Islam melawan kolonial
Belanda. Bagi mereka, Islam tidak sekadar agama secara formal tetapi juga sebagai way of life.
Menganalisis berbagai uraian di atas, dapat difahami bahawa, selama penjajahan kolonial Belanda, Islam
secara utuh mampu tampil dalam bentuk gerakan melawan kolonialisme Belanda dan sebagai Islam politik
dalam wujud partai politik seperti Sarikat Islam dan Partai Islam Indonesia waktu itu dapat memberikan
pendidikan politik kepada rakyat dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Di sisi lain Politik Islam Hindia
Belanda yang berusaha melaksanakan deislamisasi untuk menjauhkan umat Islam dari kegiatan politik
(depolitisasi) telah mengalami kegagalan.
2. Politik dan Islam di Era Kemerdekaan
Seperti halnya di era kolonial, pembangunan politik di Indonesia pada masa kemerdekaan baik pada
masa kepemimpinan orde lama mahupun orde baru, tidak dapat dilepaskan dari eksistensi Islam dan
umatnya. Jika masa kolonial Islam berhadapan dengan ideologi kolonialisme, maka di masa
kemerdekaan Islam berhadapan dengan ideologi tertentu, seperti komunisme dengan segala perangkatnya.
Sejarah politik bangsa Indonesia menegaskan bahawa Islam melalui para pemimpinnya mempunyai andil
besar mulai dari menanamkan nilai-nilai nasionalisme sampai perumusan Undang-Undang Dasar Negara.
Ketika menyusun Undang-Undang Dasar NKRI, para tokoh Islam berhasil memasukkan rumusan
kalimat:
"dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluknya," dalam Piagam Jakarta.12 Rumusan
tersebut tampaknya merupakan perwujudan dari aspirasi yang muncul sebelumnya, bahawa kemerdekaan
merupakan peluang bagi umat Islam melaksanakan ajarannya dalam kehidupan bernegara sebagaimana
dicetuskan tokoh-tokoh Sarikat Islam (SI) di akhir tahun 1920.
Ketika sidang-sidang konstituante membahas tentang dasar Negara, para pemimpin Islam kembali
menyuarakan aspirasinya agar Islam dijadikan sebagai dasar Negara. Namun demikian usaha ini mendapat
banyak tentangan dari berbagai pihak. Bahkan kondisi ini menyebabkan Soekarno mengeluarkan Dekrit
Presiden 5 Julai 1959 untuk memberlakukan kembali UUD 1945 sekaligus membubarkan konstituante.
Di masa pemerintahan Orde Baru, umat Islam belum juga berhasil menetapkan Islam sebagai dasar Negara.
Sebaliknya, pemerintah Orde Baru menetapkan Pancasila sebagai ideologi Negara dan satu-satunya asas
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kerana itu, ideologi politik lainnya, termasuk Islam tidak diberi
hak untuk hidup dan berkembang. Akibatnya, umat Islam dan juga umat lainnya tidak dibenarkan
menampilkan Islam dalam bentuk Islam politik seperti terwujud dalam bentuk partai politik.
Namun demikian, umat Islam lainnya, tetap mendukung kebijakan Orde Baru itu. Sehingga Islam
terbahagi menjadi dua kelompok yang sangat berbeda, iaitu kelompok pendukung Orde Baru dan
kelompok penentang. Kelompok yang disebut terakhir, dinamakan dengan kaum skripturalis yang hidup
dalam suasana depolitisasi dan konflik dengan pemerintah. Sedang kelompok pertama disebut kaum
Sebagaimana dikemukakan di atas bahawa pemerintah Orde baru dalam hal politik Islam mengadakan
depolitisasi yang didukung kaum substansialis. Dukungan yang paling nyata dari kalangan substansialis
ialah slogan "Islamic Religioun: Yes", Islamic (Political) Ideologi: No". Ini bererti bahawa bagi kaum
substansialis, pemerintah Orde
Baru sangat responsive terhadap Islam selama Islam yang dimaksud bukan Islam politik yang
menghendaki Negara diatur berdasarkan ajar an Islam.14 Ringkasnya, agenda politik Orde Baru mencakup
depolitisasi Islam. Projek ini didasarkan pada sebuah asumsi bahawa Islam yang kuat secara politik
atau Islam politik akan menghambat jalannya agenda-agenda politik rezim Or de Baru. Tidak hanya itu,
Islam politik juga dituduh akan menjadi hambatan bagi jalannya modenisasi. Hal ini tampak dari
kekecewaan di kalangan elit pemerintahan Orde Baru terhadap kualitas dan kemampuan para pemimpin Islam
tradisional.15
Sejalan dengan penolakan ideologi Islam atau partai politik Islam, pemerintah Orde Baru melakukan fusi
partai. Partai-partai non pemerintah dijadikan dua kelompok, masing-masing kelompok Islam dan non
Islam. Partai yang disebut pertama difusikan sebagai Partai Persatuan pembangunan (PPP) dan partai
disebut kedua adalah Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Namun demikian perkembangan selanjutnya, PPP semakin mengalami erosi dari kandungan Islam, dan
setidaknya telah menjadi partai terbuka bagi anggota-anggota yang bukan muslim. Sebab semua partai
politik dan organisasi sosial kemasyarakatan harus menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas,
sehingga pintu untuk memberlakukan aturan yang bernafaskan Islam tertutup. Akibatnya, Nahdatul
Ulama (NU) sebagai komponen terbesar dalam PPP menyatakan keluar dan kembali menjadi organisasi
non politik.16

Mengamati uraian-uraian di atas, dapat dipahami bahawa tampilnya kaum substansialis sebagai
pendukung pemerintahan Orde Baru, mengakibatkan umat Islam Islam terpecah menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama adalah golongan skripturalis yang selalu berseberangan pemikiran dengan pemerintah,
sehingga
kelompok ini secara tidak langsung juga menjadi oposan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Sedang
kelompok kedua adalah golongan substansialis yang pandangan-pandangannya menafasi kebijaksanaan
pemerintah yang bertalian dengan Islam. Kelompok ini sangat akomodatif terhadap pemerintah, demikian
pula sebaliknya, pemerintah sangat memperhatikan kebutuhan-kebutuhan mereka.
B. ASPEK HUKUM
1. Eksistensi Hukum Islam dalam Hukum Nasional Indonesia
Hukum Islam adalah hukum yang bersifat universal kerana ia merupakan bahagian dari ajaran Islam
yang juga universal. Kerana itu, Hukum Islam berlaku bagi Orang Islam di manapun ia berada dan apapun
nasionalitasnya.
Hukum Islam sebagai tatanan hukum yang ditaati oleh mayoritas penduduk Indonesia adalah hukum yang telah
hidup dalam masyarakat, merupakan bahagian dari ajaran dan keyakinan Islam yang eksis dalam kehidupan
Hukum Nasional serta merupakan bahan dalam pembinaan dan pengembangannya.Keberadaan Hukum Islam
dalam tatanan Hukum Nasional adalah sebuah perjuangan yang telah dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam
dengan menggunakan teori eksistensi. Teori ini dalam kaitannya dengan Hukum Islam adalah sebuah
teori yang menerangkan tentang keberadaan Hukum Islam dalam Hukum Nasional, iaitu:
pertama, "ada" dalam erti sebagai bahagian integral dari Hukum Nasional Indonesia; kedua, "ada" dalam
erti keberadaan, kekuatan, dan wibawanya, diakui oleh Hukum Nasional dan diberi status sebagai Hukum
Nasional; ketiga, "ada" dalam erti Hukum Nasional dan norma Hukum Islam (agama) yang berfungsi sebagai
penjaring bahan-
bahan Hukum Nasional Indonesia; keempat, "ada" dalam erti sebagai bahan utama dan unsur utama.19
Uraian di atas mengantar kita kepada sebuah pemahaman bahawa, secara eksistensial, kedudukan Hukum
Islam dalam Hukum Nasional Indonesia merupakan subsistem dari sistem Hukum Nasional. Oleh
kerananya, Hukum Islam juga mempunyai peluang untuk memberi sumbangan pemikiran dalam pembentukan
dan pembaruan Hukum Nasional Indonesia, meskipun diakui masih banyak kendala yang dihadapi. Dalam
kenyataan ini, kini telah kita miliki berbagai peraturan perundangan yang terkait langsung dengan Hukum
Islam.
2. Pelembagaan Hukum Islam
Pelembagaan Hukum Islam pada hakikatnya merupakan aktualisasi Hukum Islam agar dapat berlaku
secara efektif dalam kehidupan bermasyarakat. Hanya saja, dalam mewujudkannya, mengalami sejumlah
kendala, diantaranya kendala yang berlatar belakang politik, sejak masa penjajahan Belanda yang
memberlakukan politik
hukum yang disesuaikan dengan kebutuhan kolonialisme.20
Hukum Islam di Indonesia meskipun tidak seluruhnya membudaya pada masyarakat, terutama menyangkut
hukum jinayat. Tetapi hukum keluarga, sejak masa kolonial sudah diakui lewat lembaga-lembaga
peradilan. Oleh kerana itu, kita banyak menemukan ordonansi-ordonansi lama yang mengatur kekuasaan
Peradilan Agama. Dan setelah zaman kemerdekaan atau setelah diundangkannya UU No. 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, ordonansi-ordonansi ini sudah tidak berlaku lagi.
Berdasarkan beberapa teori yang berkembang, misalnya teori recetie exit, teori reception a contrario,
maka Hukum Islam dikatakan eksis dalam Hukum Nasional Indonesia yang ditandai sejak berdirinya
lembaga yang bernama Departemen Agama pada tanggal 13 Januari 1946 dan ditandai pula dengan
munculnya UU No. 22 tahun
1946 tentang Nikah, Talak dan Rujuk. Dengan demikian resmilah berlaku hukum perkawinan Islam bagi
penduduk yang beragama Islam.21 Dengan diundangkannya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, maka
semakin jelas kedudukan dan peran Hukum Islam dalam Hukum Nasional. Demikian pula UU No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama telah menambah urutan kelembagaan dan perundang-undangan yang bersumber
dan bernafaskan Hukum Islam dalam konstalasi Hukum Nasional, seperti undang-undang haji dan Zakat.
Dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia, Hukum Islam telah menjadi bahagian dari berbagai kegiatan
kenegaraan dan dibentuknya kelembagaan-kelembagaan yang bersifat formal dan legal semisal Badan Amil
Zakat Nasional (BAZNAS) Pembentukan Lembaga Keuangan Syari’ah.

Menganalisis dan mencermati berbagai uraian di atas, dapat dipahami bahawa pada dasarnya Hukum Islam eksis
dalam Hukum Nasional Indonesia dan mempunyai wibawa hukum sebagai Hukum Nasional. Hal ini dapat
dilihat dari berbagai nuansa Hukum Islam yang telah ditetapkan sebagai Hukum Nasional. Keberadaan
Hukum Islam dalam tatanan Hukum Nasional dapat pula ditandai dengan terbentuknya berbagai lembaga.
Di samping itu, dapat pula dibuktikan dengan lahirnya berbagai aturan-aturan dan perundang-undangan
tertulis mahupun yang tidak tertulis. Hasilnya memberi dampak yang begitu luas terhadap umat Islam,23
bahkan akan mendorong mobilitas umat Islam, baik secara horizontal mahupun secara vertikal.24 Di
samping itu, peranan umat Islam yang ditandai dengan masuknya aktivis Muslim, terutama dalam sektor
pemerintahan yang berbasis ekonomi mulai muncul di awal tahun 1970-an walaupun masih sangat
terbatas. Namun demikian, pada 1 hingga 2 dasawarsa berikutnya, yaitu tahun 1980-an dan 1990-an telah
bermunculan gagasan-gagasan ekonomi yang berbasis Islam, misalnya bank Islam (Syari’ah).Bank Islam
adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip yang ada dalam ajaran Islam. Ide pendirian
perbankan Islam di Indonesia dapat dilihat dari bebagai keputusan organisasi ataupun lembaga-lembaga
kemasyarakatan maupun pandangan dari para intelektual Islam di Indonesia, termasuk Majelis Ulama
Indonesia

C. ASPEK EKONOMI
Salah satu aspek penting yang patut dicatat dalam perkembangan ekonomi Islam di Indonesia adalah
munculnya berbagai gerakan para tokoh Islam untuk melahirkan bank-bank Islam yang dapat
mengakomodir berbagai kebutuhan umat Islam, meskipun tidak semuanya umat Islam tertarik menjadi
nasabahnya. Usaha ini cukup menyita waktu yang banyak dalam memperjuangkannya, walaupun pada
akhirnya, dalam masa pemerintahan Orde Baru sistem ini dapat terwujud.

Pemerintahan Orde Baru tampil dalam perpolitikan nasional indonesia, tidak saja menekankan aspek
politik tetapi juga lebih menekankan aspek ekonomi. Sehingga kebijakan-kebijakan yang lahir, terutama
awal Orde Baru, diarahkan untuk mendukung pencapaian tujuan ekonomi. Posisi umat Islam ketika itu,
sebagaimana Islam politik, tidak mendapat porsi yang cukup terutama menyangkut kebijakan-kebijakan
ekonomi. Hal ini disebabkan factor sumber daya manusia yang belum memadai. Kondisi seperti di atas
menyedarkan umat Islam bahawa mereka tidak akan mampu berkompetisi dan berpertisipasi secara penuh
dalam pemerintahan Orde Baru selama mereka tidak memiliki basis pengetahuan dan teknokrasi yang
menjadi kebutuhan pemerintah. Solusinya, orang tua umat Islam, terutama kalangan kelas menengah
kota, mengarahkan anak-anaknya menggeluti dunia pendidikan dengan cara menyekolahkan anak-anak
mereka pada sekolah-sekolah modern dan mendorong mereka ke dalam kelas menengah baru.
Majelis Ulama Indonesia (MUI), baik pusat maupun daerah telah melakukan berbagai seminar dalam usaha
pendirian bank Islam. Ide pendirian bank Islam, sebenarnya dilatarbelakangi oleh perbedaan pandangan
tentang bunga bank. Akibat perbedaan itu, muncul ide baru sebagai alternatif dari kontroversi tersebut. Ide
tersebut adalah
pendirian bank Islam yang beroperasi dengan sistem non-bunga, yang pada akhirnya untuk pertama kali
menjadi sponsor pendirian Bank Mu’amalat, bank Syari’ah pertama di Indonesia. Muhammadiyah, sebagai
organisasi sosial kemasyarakatan yang banyak memusatkan perhatiannya pada kondisi sosial, pendidikan
dan ekonomi umat Islam di Indonesia juga pernah mengeluarkan seruan untuk mendirikan bank Islam
di Indonesia. Hal ini dapat dilihat ketika Majelis Tarjih melakukan sidang tentang hukum bunga bank pada
tahun 1969 di Sidoarjo, Jawa Timur. Salah satu keputusan penting yang berkaitan dengan ide pendirian bank
Islam adalah saran-saran peserta kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya
konsepsi sistem perekonomian. Khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam. Hal yang
sama juga telah dilakukan oleh Nahdatul Ulama (NU), pada sidang lajnah Baytul Mas ア il tahun 1982
di lampung. Nahdatul Ulama membuat beberapa keputusan penting yang berkaitan dengan ide
penerapan system Syari'ah dalam bidang ekonomi dan pendirian bank Islam. Hal itu dilakukan atas
pertimbangan bahawa NU adalah organisasi massa yang besar di Indonesia, di samping
Muhammadiyah, yang juga memiliki potensi dalam pembangunan Nasional Indonesia, terutama bidang
ekonomi.26 Apalagi warga NU pada umumnya adalah masyarkat pedesaan yang memiliki potensi yang
cukup besar yang harus dikembangkan
Demikian sekelumit tentang perjuangan dari umat Islam Indonesia, baik
perseorangan maupun organisasi kemasyarakatan, termasuk Majelis Ulama
Indonesia, telah berusaha maksimal mewujudkan ide pendirian bank Islam di
Indonesia, meskipun menelan waktu yang sangat lama

PERANAN MAJELIS ULAMA INDONESIA DALAM PERKEMBANGAN ISLAM DI


INDONESIA
Tidak dapat dipungkiri, betapa besar peranan atau aktivitas Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam upaya
mengembangkan syi'ar Islam di Indonesia. Baik dalam bidang ekonomi, politik maupun hukum.
Dalam bidang ekonomi, misalnya, peran Majelis Ulama dalam pendirian bank Islam sangat besar. Hal ini
dapat dilihat dari usaha Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang semakin intensif membicarakan gagasan-
gagasan tersebut pada akhir dasawarsa tahun 1980-an. Bahkan pada tanggal 18 – 20 Agustus 1990,
MUI melaksanakan Lokakarya Nasional dengan tema, "Bunga Bank dan Perbankan".27 Ini adalah sebuah
upaya mendorong terbentuknya bank Islam di Indonesia, -Lokakarya yang menjadi cikal bakal lahirnya
Bank Muamalat Indonesia-, dengan mengundang berbagai komponen bangsa, termasuk unsur pemerintah
dan bank Indonesia. Ide pendirian itu dipertegas lagi dalam Musyawarah Nasional (MUNAS) MUI ke IV di
Hotel Sahid Jakarta tanggal 22-25 Agustus 1990. Untuk itu, dibentuk sebuah yayasan yakni Yayasan Dana
Dakwah Pembangunan yang akan menjadi induk organisasi bagi bank Islam yang akan didirikan tersebut.
Yayasan tersebut diketuai oleh Ketua Umum MUI Pusat. Pendirian bank Islam di Indonesia semakin
mencapai kenyataan dengan dibentuksteering committee yang akan mempersiapkan segala sesuatu dengan
ide pendirian bank tersebut. Tim itu dinamakan Tim Perbankan MUI yang diketuai oleh Dr. Ir. Amin Aziz
dengan beberapa orang anggota. Tugas awal tim ini adalah menyiapkan buku panduan bank tanp bunga
sebagai dasar operasional bank Islam yang akan didirikan nanti.

Untuk membantu kelancaran Tim MUI ini, terutama untuk masalah-masalah hukum, dibentuk Tim Hukum
Ikatan Cendekiawan Muslim se Indonesia (ICMI).28 Tim ini menyiapkan perangkat-perangkat hukum
yang berkaitan dengan pendirian Bank Muamalat Indonesia, sebab sebuah bank pada saat pendirian
dan operasionalnya terkait dengan masalah legal formal.
Pendirian bank Islam di Indonesia mendapat respons positif dan dukungan berbagai pihak, di antaranya
pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama, kalangan perbankan, dan tentu saja mendapat sokongan yang
kuat dari ICMI. Bahkan secara khusus Presiden Soeharto, ketika itu menyatakan ketertarikannya terhadap
system bagi hasil yang akan diterapkan di bank Islam itu. Lebih jauh ia berkata bahawa system bagi hasil
adalah system perbankan yang berakar dari budaya bangsa Indonesia.
Perjalanan akhir dari rangkaian pendirian bank Islam Indonesia adalah
dilaksanakannya penandatanganan Akte Pendirian PT. Bank Muamalat Indonesia
yang dilakukan di hadapan Notaris, Yudo Paripurno, S.H dengan Akte Notaris No. 1.
1 Nov 1991. Saat itu terkumpul dana sebanyak Rp. 84 milyar, ditambah dana sumbangan Soeharto
sebanyak Rp. 3 milyar.
Demikianlah usaha-usaha yang dilakukan Majelis Ulama Indonesia dalam upaya meningkatkan Usaha
perekonomian rakyat Indonesia dengan jalan merintis berdirinya Bank Muamalat Indonesia.
Di samping dalam bidang ekonomi, peran Majelis Ulama Indonesia dalam bidang lainnya sangat besar.
Sebagai sebuah lembaga yang diakui eksistensinya oleh Pemerintah dan rakyat Indonesia, MUI telah
berperan aktif dalam bidang sosial kemasyarakatan. Hal ini dapat dilihat dari kompetensi lembaga ini untuk
memberikan sertifikat label pada setiap produk makanan, minuman dan berbagai produk lainnya yang
berhubungan dengan kebutuhan hidup bangsa Indonesia, termasuk produk-produk kosmetik. Peran MUI
dalam bidang ini sangat berpengaruh positif terhadap tingkat kesadaran umat Islam menjalankan ajaran
agamanya. Dalam hal pemberian label setiap produk makanan, menjadikan perasaan dalam diri seorang muslim
aman dalam mengkonsumsi makanan.
Peran lain yang dijalankan Majelis Ulama Indonesia adalah ikut serta terlibat dalam lembaga sensor film.
Tugas utamanya adalah menyensor dan menyeleksi film-film yang akan ditayangkan dan diedarkan kepada
masyarakat luas, terutama film-film yang berasal dari luar Indonesia yang dianggap bertentangan dengan
nilai-nilai
agama, moral, falsafah, dan budaya bangsa Indonesia. Peran MUI dalam lembaga ini merupakan peran yang
sangat strategis terutama dalam penegakan moral bangsa Indonesia dan upaya menciptakan generasi muda
yang berdaya guna dan berhasil guna bagi bangsa dan agama.

PENUTUP

Mengamati dan menganalisis berbagai uraian terdahulu, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, Agama Islam masuk ke wilayah Indonesia dengan jalan damai, tidak melalui perang.
Kerana itu, Islam berhasil merebut simpati masyarakat Indonesia yang kemudian sebahagian
besarnya menganut agama islam. Dalam masyarakat yang sudah muslim itu, lahir dan berkembang
kerajaan-kerajaan Islam yang memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan Islam di
Indonesia. Hal ini ditandai dengan begitu cepatnya Islam menyatu dengan budaya masyarakat
Indonesia, sehingga dengan mudah Islam bisa berkembang. Kedua, Perkembangan Islam di Indonesia
dapat ditilik dari berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia, di antaranya, aspek politik, hukum dan
ekonomi. Dalam aspek politik, baik pada masa colonial maupun era kemerdekaan Islam politik selalu
berusaha tampil dalam kancah perpolitikan di Indonesia, hanya saja Islam politik selalu mengalami
tekanan dan depolitisasi dari berbagai pihak, termasuk dalam pemerintahan Orde Baru. Bahkan pada masa
Orde Baru inilah Islam politik terpecah dua golongan, yaitu golongan substansialis yang pro kepada
pemerintah dan golongan skripturalis yang bertindak sebagai oposan pemerintah Orde Baru. Dalam bidang
Hukum, dapat dilihat perkembangan yang cukup signifikan, dimana Hukum Islam yang merupakan cita-cita
seluruh umat Islam Indonesia bertujuan mewujudkan dan melindungi kemaslahatan umat Islam di Indonesia
dalam seluruh aspek kepentingannya. Hukum Islam di Indonesia mempunyai prospek yang cerah dalam
system Hukum Nasional, meskipun mengalami banyak kendala. Namun demikian dengan kekuatan dan
peluang yang dimiliki, berbagai kendala itu dapat diminimalisir, meskipun membutuhkan banyak tenaga dan
waktu. Dalam bidang Ekonomi, umat Islam bisa bernafas lega dengan didirikannya bank Islam yang
kemudian disebut
Bank Muamalat Indonesia. Dengan didirikannya bank Islam ini, diharapkan umat Islam dapat melakukan
transaksi-transaksi ekonomi yang Islami. Ketiga, Peran Majelis Ulama Indonesia terhadap perkembangan
Islam di Indonesia sangat besar. Hal ini dapat dilihat dari terobosan-terobosan dan usaha-usaha Majelis
Ulama Indonesia dalam mengakomodir berbagai pikiran umat Islam Indonesia untuk mendirikan bank
Islam di Indonesia yang kemudian dinamakan Bank Muamalat Indonesia. Peran ini dapat dianggap
sebagai upaya yang sangat spektakuler terutama bertujuan untuk mensejahterakan umat Islam
Indonesia melalui transaksi-transaksi ekonomi yang Islami dengan cara bagi hasil. Peran lain yang
dimainkan oleh Majelis Ulama Indonesia adalah kompetensi Majelis Ulama Indonesia untuk memberi
sertifikat label halal dalam setiap produk makanan, minuman ataupun kosmetik. Majelis Ulama juga
ikut mengambil bahagian dalam sebuah lembaga yang disebut lembaga sensor film. Diharapkan peran
ulama dalam lembaga ini dapat maksimal guna menyensor film-film pornografi atau porno aksi
sebagai upaya menjadikan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang berbudaya dan bermoral
7
Abdillah, Masykuri, "Potret Masyarakat Madani di Indonesia", dalam Seminar
Nasional tentang "Menatap Masa Depan Politik Islam di Indonesia", Jakarta:
International Institute of Islamic Thought, Lembaga Studi Agama dan Filsafat
UIN Jakarta, 10 Juni 2003
Ali, Muhammad Daud, Asas-Asas Hukum Islam, Jakarta: Rajawali, 1991, Cet . ke-2
Antonio, Muhammad Syafi'I, Bank Syari'ah: Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani Press, 2001
Anwar, M. Syafi'i, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995
Azra, Azyumardi, Islam reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1999

Bank Muamalat Indonesia, Laporan Direksi 1992 dalam Rapat Umum Pemegang
Saham, 17 Juni 1993 di Hotel Sahid jaya
Effendy, Bahtiar, "Islam Through The Eye of Nakamura," Mizan; Indonesia For um for
Islam and Social Studies, No. 2, Vol, 2, Jakarta
Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, Rekonstruksi Pemikiran
Islam Indonesia Masa Orde Baru, Bandung: Mizan, 1986), Cet . ke-1
Gaffar, Affan, "Islam dan Politik dalam Era Orde Baru Mencari Ertikulasi Politik yang
Tepat" dalam Ulumul Qur'an, nomor 2 Vol. IV thn. 1993
Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah, Yogyakarta: Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, t.th), Cet . ke-3.
Ichtijanto, "Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia" dalam Tjun
Suryani, Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pertumbuhan,
Bandung: Rosdakarya, 1994
Kadir, Abd. S.H., "Apresiasi Hukum Islam Terhadap Hukum Lokal", Makalah, Fak.
Syari'ah IAIN Alauddin Ujungpandang, tanggal 1-2 Maret 1996
Kartodirdjo, Sartono, et. al, Sejarah Nasional Indonesia, Jakarta: Departemen P dan
K, 1975
Liddle, R W illiam, "Skripturalisme Media dakwah: Satu Bentuk Pemikiran dan Aksi
Politik Islam Masa Orde Baru", dalam Ulumul Qur'an, No. 3 Vol. IV, thn. 1993
Mahmud, Jamal al-Din Muhammad, al-Islam wa al-Musykilat al-Siyasiyah al-
Mu’asirah, Cairo: Dar al-Kitab al-Mishri, 1992/1413), Cet. Ke-1
Madjid, Nurcholish, wawancara dengan redaksi Prisma, "Indonesia Masa Mendatang
Ibarat Sosok Santri yang Canggih", dalam Prisma, No. 5, Tahun XVII, 1988
Pulungan, J. Suyuthi, Universalisme Islam, Jakarta: Moyo Segoro Agung, 2002, Cet .
ke-1
Raharjo, Dawam, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, Jakarta: LSAF, 1999
Rasdiyanah Andi, "Problematika dan Kendala yang Dihadapi Hukum Islam dalam
Upaya Transformasi ke dalam Hukum Nasional", Makalah, Fak. Syari'ah IAIN

13
&&
&
& Seminar Islam
Era Imperialisme Baru Kertas
Alauddin Ujungpandang, tanggal 1-2 Maret 1996
Shihab, Umar, "Aspek Kelembagaan Hukum dan Perundang-undangan" Makalah,
disampaikan dalam Seminar Nasional tentang "Kontribusi Hukum Islam dan
Pembinaan Hukum Nasional setelah 50 Tahun Indonesia Merdeka" di
Ujungpandang, tanggal 1-2 Maret 1996
Simnom, Gottfried, The Progress and Arrest of Islam in Sumatera, London: t.p, 1912
Sumitro, W arkum, Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga Terkait di Indonesia,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997
Syamsuddin, M.Din, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos, 2001 Cet I
Thalib, Sajuti, Receptio A Contrario, Jakarta: Bina Aksara, 1992
Van Leur, J.C, Indonesian Trade and Society, Netherland: W. Van Hoeve Publisher
Ltd-The Hague, 1967
Vlekke, Benard H.M, Nusantara A History of the East Indian Archipelago, London:
Humprey Milford, Oxford University Press, 1944

14

You might also like