You are on page 1of 5

Perguruan Tinggi Jangan Jadi Lembaga Penataran!

- Jaringan Islam Liberal (JIL) Page 1 of 5

Senin, 9 April 2007

Edisi Bahasa Indonesia

pencarian

Cari!

milis jil » newsletter jil »

 Depan
 Tentang JIL
 Program
 Kontak

 RUBRIK
 Editorial
 Wawancara
 Kolom
 Diskusi
 Kliping
 Tokoh
 Buku
 Pernyataan Pers

 FASILITAS
 milis
 newsletter
 direktori e-books
 direktori situs
 statistik artikel
 pengiriman artikel

Wawancara

Abdul Munir Mulkhan:

Perguruan Tinggi Jangan Jadi Lembaga Penataran!


28/03/2007

file://F:\Perguruan%20Tinggi%20Jangan%20Jadi%20Lembaga%20Penataran!%20-%20J... 09/04/2007
Perguruan Tinggi Jangan Jadi Lembaga Penataran! - Jaringan Islam Liberal (JIL) Page 2 of 5

Salah satu esensi perguruan tinggi adalah bagaimana menyuburkan pola berpikir kritis. Dengan begitu,
ilmu pengetahuan akan berkembang. Namum semua itu memerlukan iklim kebebasan akademis. Seperti
apa kebebasan akademis di kampus perguruan tinggi Islam? Berikut perbincangan Jaringan Islam
Liberal (JIL) dengan M. Shofan, mantan dosen Universitas Muhammadiyah Gresik dan Abdul Munir
Mulkhan, guru besar di Universitas Islam Negeri Jogjakarta, Kamis lalu (15/3) di KBR 68H Jakarta.

 artikel baru
 03/04/2007
M. Guntur Romli
Abu Du(r)jana
 03/04/2007
Umdah El-Baroroh
Prestasi Besar Peradaban Manusia
 03/04/2007
Pendidikan Kita Belum Sampai Beirut
 30/03/2007
M. Guntur Romli
Benturan Antar-Islam
 26/03/2007
Sarasdewi Dhamantra
Keniscayaan Liberalisme Beragama

 artikel sebelumnya
 26/03/2007
Sarasdewi Dhamantra
Keniscayaan Liberalisme Beragama
 26/03/2007
Ulil Abshar-Abdalla
Hukum Nurani
 19/03/2007
Nong Darol Mahmada
Wafa Idris
 19/03/2007
Novriantoni
Membaca Peta Industri Perbukuan Islam
 19/03/2007
Agama Orang Bali Tidak Dogmatis-Tekstualis

Salah satu esensi perguruan tinggi adalah bagaimana menyuburkan pola berpikir kritis. Dengan begitu,
ilmu pengetahuan akan berkembang. Namum semua itu memerlukan iklim kebebasan akademis. Seperti
apa kebebasan akademis di kampus perguruan tinggi Islam? Berikut perbincangan Jaringan Islam
Liberal (JIL) dengan M. Shofan, mantan dosen Universitas Muhammadiyah Gresik dan Abdul Munir
Mulkhan, guru besar di Universitas Islam Negeri Jogjakarta, Kamis lalu (15/3) di KBR 68H Jakarta.

file://F:\Perguruan%20Tinggi%20Jangan%20Jadi%20Lembaga%20Penataran!%20-%20J... 09/04/2007
Perguruan Tinggi Jangan Jadi Lembaga Penataran! - Jaringan Islam Liberal (JIL) Page 3 of 5

Mas Shofan, bagaimana kisah pemecatan Anda dari status dosen tetap di Universitas
Muhammadiyah Gresik?

MS: Ini bermula dari artikel saya tentang Islam yang dimuat di
harian Surya dan beberapa media-media lain. Sebelum itu,
sebetulnya saya sudah sangat konsen terhadap pemikiran-
pemikiran keislaman yang progresif-liberal. Buktinya saya sudah
menulis sejumlah buku yang dianggap oleh beberapa orang tidak
sesuai dengan ajaran-ajaran Islam yang murni. Misalnya, buku
saya Jalan Ketiga Pemikiran Islam. Namun begitu, buku yang
sudah diterbitkan penerbit Irqisad sejak tahun 2006 itu tidak
membawa dampak apa-apa terhadap karir saya.

Puncaknya masalahnya barangkali baru saya rasakan pada bulan Desember 2006, ketika saya menulis
artikel tentang Natal Dan Pluralisme di harian Surya. Inti dari tulisan saya itu adalah pernyataan
pentingnya makna mengucapkan selamat Natal bagi teman-teman kita yang Kristen. Di artikel itu saya
juga sertakan bukti-bukti sejarah bahwa sesungguhnya di dalam tradisi Islam sendiri banyak juga
pengalaman yang menunjukkan bahwa doktrin Islam mampu menjalin hubungan harmonis dengan
agama-agama lain. Misalnya terhadap agama Yahudi, Kristen, dan Shabean.

Karena itu, bagi saya sekadar mengucapkan Natal terhadap umat Kristen ketika mereka bergembira
merayakannya tidak ada persoalan. Hanya saja, artikel itu memicu polemik di kalangan Muhamadiyah
sendiri, lebih spesifik di kalangan Muhamadiyah Gresik. Sebagian besar warga Muhamadiyah Gresik
belum bisa menerima isi tulisan itu. Mereka menganggap artikel itu sebagai bentuk tulisan yang
meresahkan keluarga besar Muhamadiyah.

Apa yang dimaksud dengan kalimat ”meresahkan warga Muhamadiyah” di situ?

Menurut mereka, apa yang saya tuliskan itu sudah menyalahi akidah murni Muhamadiyah. Sebab
mengucapkan selamat Natal sudah difatwa haram oleh Muhamadiyah. Mereka juga mengatakan bahwa
itu juga sudah difatwa haram oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Diterangkan juga, di tubuh
Muhamadiyah sendiri, tindakan mengucap selamat Natal juga masih kontroversial dan tabu.

Apakah Majelis Tarjih Muhamadiyah sendiri pernah mengeluarkan fatwa seperti itu?

MS: Maaf, saya kurang tahu persis. Tetapi yang perlu kita pahami dan itu yang membuat saya yakin
dengan pendapat seperti itu, ada banyak contoh dari para petinggi Muhamadiyah sendiri tentang
bagaimana cara menjalin hubungan baik dengan warga non-Muslim. Itu dapat kita lihat dari sikap
tokoh-tokoh seperti Prof. Dr. Amien Rais, Prof. Dr. Syafi’i Maarif, bahkan Ketua PP Muhammadiyah
sendiri, Prof. Dr. Dien Syamsuddin. Saya ingat, satu tahun lalu, Pak Dien bahkan berupaya meyediakan
fasilitas amal usaha Muhamadiyah untuk dijadikan tempat ibadah Natal bagi umat Kristen karena
adanya beberapa kesulitan yang mereka alami dalam beberapa tahun belakangan ini.

Bagaimana Anda merasakan iklim kebebasan akademik di perguruan tinggi Islam selama ini?

MS: Di beberapa tempat di IAIN atau UIN, saya tahu ada banyak sekali dosen yang berpikiran progesif
dan sangat terbuka. Memang terkadang kasusnya sangat individual. Artinya, paradigma berpikir mereka
yang dianggap progesif-liberal itu tak sampai menjadi gejala umum di tataran mahasiswa dan dosen.
Indikasi itu misalnya bisa kita lihat dengan mudahnya kelompok-kelompok konservatif memasuk
sejumlah perguruan tinggi Islam. Kalau para mahasiswa punya pandangan yang progresif dan kritis,

file://F:\Perguruan%20Tinggi%20Jangan%20Jadi%20Lembaga%20Penataran!%20-%20J... 09/04/2007
Perguruan Tinggi Jangan Jadi Lembaga Penataran! - Jaringan Islam Liberal (JIL) Page 4 of 5

orang-orang itu tidak akan gampang menyebar pengaruhnya di perguruan tinggi.

Pak Munir, bagaimana Anda menilai tingkat kebebasan akademis di pelbagai perguruan tinggi
Islam selama ini?

AMM: pertama-tama perlu ditegaskan bahwa sesungguhnya sebuah perguruan tinggi dibangun dan
dipelihara untuk mengembangkan tingkat intelektualitas. Salah satu bentuk intelektualitas itu adalah
lewat berpikir kritis. Ketika membuat skripsi, tesis, apalagi disertasi, para mahasiswa diharuskan
berpikir kritis. Kalau tidak kritis, karyanya tidak akan jadi. Karena itu, bagi saya, salah satu esensi dari
perguruan tinggi adalah bagaimana pengembangan pola berpikir kritis.

Nah, salah satu hasil dari pola berpikir kritis itu adalah dihasilkannya teori baru atau pandangan baru.
Pandangan dan teori baru itu seringkali tampak berbeda dengan apa yang sudah ada selama ini. Nah,
seharusnya norma perguruan tinggi itu, ya seperti itu. Cuma memang, terkadang dalam beberapa kasus,
ada saja persoalan komunikasi; soal bagaimana seharusnya sebuah institusi mengelola lembaga bernama
perguruan tinggi. Bahwa sebuah organisasi punya ideologi tertentu, tentu saja iya. Perguruan tinggi juga
punya tradisi, itu juga harus tetap dihormati.

Itulah yang selama ini barangkali kurang disadari banyak pihak. Akibatnya, pihak tertentu merasa boleh
berbuat apa saja sesuai dengan kewenangan yang ia punya, seperti yang menimpa Mas Shofwan saat ini.

Anda dikenal sebagai penulis buku-buku yang kritis dan tidak maintream, seperti soal Syekh Siti
Jenar, pemikiran-pemikiran Islam pinggiran, dan lain-lain. Bagaimana Anda bisa bertahan
dalam sebuah perguruan tinggi Islam dengan trade mark seperti itu?

Pertama, seorang intelektual, kalau boleh saya menyebut begitu, harus tetap sadar akan
tanggungjawabnya dan sadar juga akan resiko yang akan dia hadapi. Kesadaran itulah nantinya yang
akan membentuk sikapnya dalam merespons dan menjawab reaksi-reaksi yang muncul di masyarakat.
Sayangnya, bukan hanya di Muhamadiyah, tapi di lingkungan perguruan tinggi Islam umumnya, apalagi
yang negeri, sikap seperti itu tidak tumbuh dengan baik.

Untuk kasus saya, mungkin karena sudah dianggap super senior, sehingga tidak terlalu banyak yang
mempersoalkan saya. Tapi kalau diingat-ingat lagi, pada awal-awalnya, saya dulu juga mengalami hal
yang sama dengan Mas Shofan. Tapi saya selalu berprinsip, kalau dosen tak punya sikap kritis, ya,
sesungguhnya wujûduhu ka`adamihi (wujudnya seperti tidak berwujud, Red), he-he... Sebab, seorang
dosen kan harus melahirkan pemikiran-pemikiran baru.

Jadi, bagi saya, kasus Mas Shofan itu harus mendorong banyak pihak untuk merumuskan kembali
bagaimana sesungguhnya hubungan antara perguruan tinggi Islam swasta dengan pihak pemilik
perguruan tinggi. Kalau tidak, kasus-kasus seperti ini nanti akan semakin banyak. Kita tahu, teknologi
informasi saat ini semakin terbuka, dan globalisasi membuat orang bisa memerkaya informasi untuk
dirinya lebih banyak dari pemilik perguruan tinggi. Nah, kalau ini tidak diantisipasi, dosen akan berlari
cepat, sementara pemilik perguruan tinggi jalan santai. Kan nggak nyambung?!

Bagaimana Anda melihat hubungan antara menguatnya kelompok puritan dengan tingkat
kebebasan akademis di dunia kampus?

Saya agak berbeda dalam melihat persoalan ini. Menurut saya, kelompok yang puritan itu bukannya
menguat. Hanya saja, sekarang media berekspresi semakin terbuka. Menguat? Menurut saya, tidak.
Kalau di tahun 1970-an, orang seperti saya, M. Amin Abdullah, atau Ulil Abshar-Abdalla, itu bisa mati-

file://F:\Perguruan%20Tinggi%20Jangan%20Jadi%20Lembaga%20Penataran!%20-%20J... 09/04/2007
Perguruan Tinggi Jangan Jadi Lembaga Penataran! - Jaringan Islam Liberal (JIL) Page 5 of 5

kutu beneran. Sekarang kan tidak?! Untuk kasus Mas Shofwan, mungkin itu terjadi karena dia masih
kecil; jadi gampang dipecat. Karena itu, yang beda saat ini adalah semakin bebasnya media dan dengan
begitu orang makin terbuka dalam mengekspresikan sikap dan pandangannya di alam demokrasi. Kini,
orang lebih gampang menampakkan sikap-sikapnya yang dulu dipendam.

Karena itu, bagi saya harus dibuat aturan tentang bagaimana caranya mengatasi perbedaan pendapat.
Kalau tidak, ya, kita akan terus bertempur setiap harinya. Akibatnya, kita lupa akan rakyat yang harus
makan nasi aking dan segenap kesulitan lainnya. Jadi menurut saya, sekali lagi, ini adalah pelajaran
berharga bagi kita untuk menghayati kode etik atau etika berperguruan tinggi.

Bagi saya, ketika ada orang menulis buku Ada Pemurtadan di IAIN itu bagus-bagus saja. Hanya
sayangnya, si penulis tidak pernah bertanya ke orang-orang yang disudutkannya di bukunya itu. Nah,
saya kira proses tabayun itu menjadi salah satu poin penting dari etika intelektual.

Menurut amatan Anda, apakah perguruan tinggi Islam bisa dikatakan bebas, setengah bebas,
atau tidak bebas?

Saya belum sampai pada kesimpulan ke sana. Tapi saya meragukan perguruan-perguruan tinggi Islam
benar-benar menyadari apa fungsi sebuah perguruan tinggi. Karena itu, saya sering mempertanyakan
apakah UIN Jogja sini misalnya, atau UIN umumnya benar-benar sebuah perguruan tinggi. Jangan-
jangan, ini hanya lembaga penataran. Karena itu, suasana berpikir kritis itu hanya milik satu dua orang,
dan suasana akademik belum lagi tumbuh.

Jadi, memang perlu disadari bahwa sebuah perguruan tinggi itu harus mengembangkan ilmu
pengetahuan dan menumbuh-kembangkan tradisi berpikir kritis. Itu memang kewajiban perguruan
tinggi. Kalau bukan seperti itu, ya, jadi lembaga kursus saja! []

^ Kembali ke atas

Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1230

 tanggapan artikel
 PT dan Daya Kritis, rati, 03/04/2007 16:04
 Tanggapan lainnya buka di sini (1).

Hak cipta © 2001-2006, Jaringan Islam Liberal (JIL). Kontak: http://islamlib.com/id/kontak.php

file://F:\Perguruan%20Tinggi%20Jangan%20Jadi%20Lembaga%20Penataran!%20-%20J... 09/04/2007

You might also like