Professional Documents
Culture Documents
Pemeriksaan
A. Latar Belakang
Dalam melaksanakan pemeriksaan hingga penyusunan laporan hasil pemeriksaan
(LHP), BPK –terutama auditor- bersentuhan langsung dengan berbagai macam aspek
hukum yang berlaku. Salah satu aspek hukum yang langsung terkait dengan pelaksanaan
tugas dimaksud adalah aspek hukum pidana.
Untuk lebih memahami dan mengetahui mengenai aspek hukum pidana apa saja
yang dapat terkait langsung terhadap penyusunan LHP, auditor diharapkan megetahui
mengenai apa itu hukum pidana. Dengan memahami mengenai hukum pidana,
diharapkan auditor dapat menghindari adanya tuntuan secara pidana dalam melaksanakan
tugas dimaksud.
B. Permasalahan
Apakah yang dimaksud dengan hukum pidana sehingga auditor dapat lebih
memahami dan terhindar dari tuntutan pidana dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya? Apakah yang dimaksud dengan pencemaran nama baik dan bagaimana
auditor menyikapinya dalam melakukan penyusunan LHP?
D. Perbuatan Pidana
Perbuatan pidana dikenal dengan beberapa istilah seperti tindak pidana, peristiwa pidana,
dan delict. Dimaksud dengan perbuatan pidana ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan
yang dapat dikenakan hukuman pidana. Suatu peristiwa hukum dapat dinyatakan sebagai
peristiwa pidana kalau memenuhi unsur obyektif dan unsur subyektif.
Syarat yang harus dipenuhi (baik perbuatan yang memenuhi unsur obyektif1 ataupun
subyektif2 yang dipersyaratkan) dalam suatu peristiwa pidana ialah:
1. Harus ada suatu perbuatan. Dimana memang benar-benar ada suatu kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang. Kegiatan tersebut terlihat sebagai suatu
perbuatan tertentu yang dapat dipahami oleh orang lain sebagai sesuatu yang merupakan
peristiwa. Perbuatan tersebut harus bertentangan dengan hukum;
2. Perbuatan tersebut harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan hukum.
Perbuatan sebagai suatu peristiwa hukum memenuhi isi ketentuan hukum yang berlaku pada
saat itu. Pelakunya memang benar-benar telah berbuat seperti yang terjadi dan terhadapnya
wajib mempertanggung jawabkan akibat yang timbul dari perbuatan itu. Berkenaan dengan
syarat ini hendaknya dapat dibedakan bahwa ada suatu perbuatan yang tidak dapat disalahkan
dan terhadap pelakunya tidak perlu mempertanggung jawabkan.
1
suatu tindakan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum atau perbuatan yang dilarang oleh hukum dengan
ancaman pidananya. Menjadi titik utama dari pengertian obyektif ini adalah tindakannya.
2
perbuatan seseorang atau beberapa orang yang berakibat pada hal yang tidak dikehendaki oleh undang-undang.
Menjadi titik utama dari pengertian subyektif ini adalah adanya seseorang atau beberapa orang yang melakukan
tindakan.
3. Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggung jawabkan. Perbuatan yang
dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang itu harus dapat dibuktikan sebagai suatu
perbuatan yang disalahkan oleh ketentuan hukum.
4. Harus tersedia ancaman hukumannya. Adanya ketentuan yang mengatur tentang larangan
atau keharusan dalam suatu perbuatan tertentu dan ketentuan tersebut memuat sanksi
ancaman hukumannya. Ancaman hukuman tersebut dinyatakan secara tegas maksimal
hukuman yang harus dilaksanakan oleh para pelakunya.
Sehingga, untuk menghindari adanya tindak pidana dalam penyusunan LHP, BPK –
dalam hal ini terutama auditor- diharuskan untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya
berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku3. Dengan melaksanakan tugas dan
kewajibannya sesuai dengan peraturan yang berlaku, BPK dengan sendirinya terhindar dari tindak
pidana yang dapat menjeratnya.
Namun, selain harus mematuhi peraturan perundangan yang berlaku, BPK-terutama
auditor- diharapkan dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya di lapangan tetap
memperhatikan hukum adat yang berlaku dimana BPK melakukan pemeriksaan. Walaupun
secara hukum tertulis perbuatan yang dilakukan oleh BPK tersebut tidak termasuk pidana, namun
jika secara hukum adat perbuatan dimaksud adalah tindak pidana, maka auditor BPK tersbut
3
Hal ini dikenal dengan asas Legalitas Formil, Pasal 1 (1) KUHP mengatur asas legalitas tersebut sebagai berikut:
“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah
ada sebelum perbuatan dilakukan”. Konsekuensi dari Asas dimaksud adalah :
4
Hal ini dikenal dengan asas Legalitas Materiel. Hal ini di dasarkan pada:
2. Pasal 27 ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman.
“Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum
yang hidup dalam masyarakat.”
penguasa yang berwenang. Pemeriksa dalam melaksanakan tugas di lapangan adalah bagian dari
pelaksanaan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang.
2. Alasan Pembenar
Dasar penghapus berdasakan alasan pembenar melihat dari sisi perbuatannya
(obyektif). Pada alasan pembenar, suatu perbuatan kehilangan sifat melawan hukumnya,
sehingga menjadi legal/diperbolehkan dan pelakunya tidak dapat disebut sebagai pelaku
tindak pidana.
a. Menjalankan peraturan undang-undang (Pasal 50 KUHP)
b. Pembelaan terpaksa dari serangan atau ancaman yang melawan hukum, yang
dilakukan untuk diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda
sendiri maupun orang lain (noodweer) (Pasal 49 ayat (1) KUHP)
Penghapusan pidana berdasarkan alasan pembenar menyatakan bahwa suatu perbuatan
tidak dianggap tindak pidana jika ia melaksanakan ketentuan undang-undang. Untuk menghindari
tindakan pidana, auditor dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan
ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.
5
Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun
bukan badan hukum (Pasal 1 angka 2 UU No 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang)
hanya auditor saja yang dapat dituntut secara pidana, BPK selaku badan hukum publik juga dapat
dituntut di muka pengadilan secara pidana.
(1). Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan
jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata
akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara
selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-.
(2). Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan,
dipertunjukan pada umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu dihukum
karena menista dengan tulisan dengan hukuman penjara selama-lamanya satu
tahun empat bulan atau denda sebanyakbanyaknya Rp 4.500,-.
(3). Tidak termasuk menista atau menista dengan tulisan, jika ternyata bahwa
sipembuat melakukan hal itu untuk kepentingan umum atau lantaran terpaksa
perlu untuk mempertahankan dirinya sendiri.
Pasal 311 ayat (1)
Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam
hal ia diizinkan untuk membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang
diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukuman
penjara selama-lamanya empat tahun.
Pasal 315
Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat menista atau menista
dengan tulisan, yang dilakukan kepada seseorang baik ditempat umum dengan
lisan, atau dengan tulisan, maupun dihadapan orang itu sendiri dengan lisan
atau dengan perbuatan, begitupun dengan tulisan yang dikirimkan atau
diterimakan kepadanya, dihukum karena penghinaan ringan, dengan hukuman
penjara selama-lamanya empat bulan dua minggu atau denda sebanyak-
banyaknya Rp 4.500,-.
Pasal 317 ayat (1)
Barangsiapa dengan sengaja memasukkan atau menyuruh menuliskan surat
pengaduan atas pemberitahuan yang palsu kepada pembesar negeri tentang
seseorang sehingga kehormatan atau nama baik orang itu jadi tersinggung,
maka dihukum karena mengadu dengan memfitnah, dengan hukuman penjara
selama-lamanya empat tahun.
Pasal 318 ayat (1)
Barangsiapa dengan sengaja dengan melakukan sesuatu perbuatan,
menyebabkan orang lain dengan palsu tersangka melakukan sesuatu perbuatan
yang dapat dihukum, maka dihukum karena tuduhan memfitnah, dengan
hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.
Berdasarkan Pasal 310 ayat (1) KUHP, penghinaan yang dapat dipidana harus
dilakukan dengan cara menuduh seseorang telah melakukan perbuatan yang tertentu dan
bermaksud agar tuduhan itu akan tersiar (diketahui orang banyak). Tuduhan tersebut harus
dilakukan dengan lisan, apabila dilakukan dengan tulisan (surat) atau gambar, maka
penghinaan itu dinamakan “menista/menghina dengan surat (secara tertulis)”, dan dapat
dikenakan Pasal 310 ayat (2) KUHP. LHP BPK termasuk ke dalam Pasal 310 ayat (2)
dikarenakan berbentuk tulisan. Tuduhan melakukan perbuatan tertentu tersebut tidak harus
perbuatan pidana seperti membunuh, mencuri, dan sebagainya. Tuduhan tersebut dapat
berupa perbuatan biasa yang tidak merupakan perbuatan pidana seperti “kyai A berlangganan
majalah dewasa”.
Penghinaan yang diatur tersebut adalah delik aduan, sehingga hanya dapat dituntut
jika ada pengaduan dari orang yang menderita/terhina/ternista. Penghinaan menurut Pasal 310
ayat (1) dan (2) diatas dapat dikecualikan (tidak dapat dihukum) apabila tuduhan atau
penghinaan itu dilakukan untuk membela “kepentingan umum” atau terpaksa untuk
“membela diri”. Patut atau tidaknya pembelaan kepentingan umum dan pembelaan diri yang
diajukan oleh tersangka terletak pada pertimbangan hakim. Selain dikarenakan alasan untuk
membela kepentingan umum dan membela diri, suatu perbuatan tidak akan dipidana jika
melaksanakan ketentuan Undang-undang dan melaksanakan perintah jabatan yang diberikan
oleh penguasa yang berwenang. Pemeriksa dalam melakukan penyusunan LHP merupakan
pelaksanaan perintah jabatan dan merupakan pelaksanaan amanat UU. Walaupun demikian,
hal tersebut tidak menghilangkan hak seseorang untuk melakukan pengaduan jika ia merasa
bahwa LHP BPK mencemarkan nama baiknya.
BPK dapat dituntut ke muka pengadilan karena adanya pengaduan dari orang
perorangan yang merasa bahwa dirinya terhina/ternista oleh LHP BPK. Berdasarkan Pasal
311 ayat (1) BPK diizinkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan, jika tidak dapat
membuktikan maka dihukum karena salah memfitnah. Pembuktian kebenaran itu berdasarkan
pasal 312 diizinkan dalam hal menimbang perkataan terdakwa bahwa ia melakukan perbuatan
tersebut untuk kepentingan umum atau karena mempertahankan diri sendiri dan melakukan
perbuatan dalam menjalankan perkerjaannya (jabatannya). Pembuktian di muka pengadilan
untuk membuktikan apakah tuduhan tersebut adalah kebenaran (fakta), dilakukan untuk
kepentingan umum atau mempertahankan dirinya sendiri atau melakukan perbuatan dalam
menjalankan perkerjaannya (jabatannnya).
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 184, alat bukti yang
sah ialah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Untuk
membuktikan bahwa apa yang BPK tulis dalam LHP adalah fakta, BPK dapat
membuktikannya di muka pengadilan dengan menunjukkan alat bukti yang sah sesuai
pengaturan KUHAP.
6
Pasal 1 angka 21 UU ITE, 21. “Orang adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara
asing, maupun badan hukum”.
Tidak ditemukan adanya larangan untuk mencantumkan nama dalam peraturan
perundang-undangan, maka dari itu auditor dalam melakukan penyusunan LHP
diperbolehkan mencantumkan nama. Penyusunan LHP adalah pengungkapan fakta yang
nyata dan sebenar-benarnya dan merupakan amanat dari UU, maka auditor tidak perlu takut
untuk mencantumkan nama di dalam LHP. Namun, pencantuman nama dalam LHP dimaksud
dilakukan hanya setelah auditor memiliki bukti yang memadai sehingga pencantuman nama
tersebut adalah pengungkapan fakta yang sebenarnya.
Walaupun merupakan pelaksanaan ketentuan UU, pengungkapan suatu fakta dan
tidak ditemukan adanya larangan untuk mencantumkan nama dalam LHP. Hak untuk
melakukan penuntutan secara pidana tetap dapat dilakukan oleh orang perorangan yang
merasa nama baik dan kehormatannya dirusak dengan pencantuman nama dalam LHP. Untuk
mengurangi resiko adanya penuntutan atas pencemaran nama baik, auditor dapat mengganti
pencantuman nama dengan jabatan dari si pemilik nama tersebut, misal “Kepala Dinas
Pendidikan Kabupaten A”. Secara substansi, antara pencantuman jabatan dan nama tersebut
tidak ada bedanya karena tetap saja dapat ditelusuri siapa pemilik jabatan tersebut.
I. Kesimpulan
1. Hukum Pidana adalah Hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang atau
diharuskan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membawa akibat
diterapkannya hukuman (pidana) bagi mereka yang melakukan atau tidak melakukan
perbuatan dimaksud. Misal, melakukan korupsi atau tidak menggunakan helm.
2. Perbuatan pidana ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang bertentangan
dengan hukum yang dapat dikenakan hukuman pidana. Untuk menghindari melakukan
perbuatan pidana, BPK dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan mematuhi
peraturan yang berlaku.
3. Dalam hukum pidana dikenal adanya alasan penghapus pidana, salah satu alasannya
adalah pelaksanaan ketentuan UU dan pelaksanaan perintah jabatan yang diberikan penguasa.
Dengan demikian, dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya pemeriksa terhindar dari
tuntutan pidana selama ia mematuhi ketentuan UU dan melaksanakan perintah jabatan.
4. KUHPidana hanya mengenal orang-perorangan sebagai subyek hukum. Dalam
perkembangannya, korporasi (badan hukum) masuk kedalam subyek pidana, pengaturan
mengenai hal ini dapat dijumpai salah satunya pada UU ITE.
5. Penghinaan dalam KUHP adalah menuduh seseorang baik secara lisan maupun tulisan
dengan suatu perbuatan tertentu dengan maksud agar tuduhan tersebut tersebar. Penghinaan
dimaksud termasuk kedalam delik aduan.
6. Berbeda dengan KUHP, pada UU ITE diatur bahwa korporasi (badan hukum) dapat
melakukan perbuatan pidana, termasuk pencemaran nama baik. Namun, BPK sebagai badan
hukum tidak memiliki kesengajaan seperti yang disyaratkan dalam UU tersebut.
7. Dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya berdasarkan peraturan yang berlaku, BPK
terhindar dari segala tuntutan pidana. Pencantuman nama dalam LHP tidak merupakan tindak
pidana karena ia merupakan pelaksanaan ketentuan peraturan perundangan dan bukan
merupakan tuduhan namun fakta.
8. Untuk menghindari adanya penuntutan secara pidana atas pencemaran nama baik, BPK
dapat mencantumkan jabatan sebagai pengganti nama. Secara substansi pencantuman jabatan
tidak berbeda dengan pencantuman nama, karena tetap saja dapat ditelusuri siapakah pemilik
jabatan tersebut.
9. Perbuatan tidak menyenangkan tidak terkait langsung dengan penyusunan LHP, namun
dapat terjadi pada tahap pemeriksaan. Missal, perekaman tanpa sepengetahuan narasumber.