You are on page 1of 10

Aspek Hukum Pidana Dalam Penyusunan Laporan Hasil

Pemeriksaan

A. Latar Belakang
Dalam melaksanakan pemeriksaan hingga penyusunan laporan hasil pemeriksaan
(LHP), BPK –terutama auditor- bersentuhan langsung dengan berbagai macam aspek
hukum yang berlaku. Salah satu aspek hukum yang langsung terkait dengan pelaksanaan
tugas dimaksud adalah aspek hukum pidana.
Untuk lebih memahami dan mengetahui mengenai aspek hukum pidana apa saja
yang dapat terkait langsung terhadap penyusunan LHP, auditor diharapkan megetahui
mengenai apa itu hukum pidana. Dengan memahami mengenai hukum pidana,
diharapkan auditor dapat menghindari adanya tuntuan secara pidana dalam melaksanakan
tugas dimaksud.
B. Permasalahan
Apakah yang dimaksud dengan hukum pidana sehingga auditor dapat lebih
memahami dan terhindar dari tuntutan pidana dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya? Apakah yang dimaksud dengan pencemaran nama baik dan bagaimana
auditor menyikapinya dalam melakukan penyusunan LHP?

C. Definisi Hukum Pidana


Definisi Hukum Pidana menurut beberapa ahli adalah :
1. APELDOORN (1952: 251 – 260), menyeatakan bahwa Hukum Pidana dibedakan dari
diberikan arti :
Hukum Pidana materiil yang menunjuk pada perbuatan pidana dan yang oleh sebab
perbuatan itu dapat dipidana, dimana perbuatan pidana itu mempunyai dua bagian, yaitu :
a. Bagian objektif merupakan suatu perbuatan atau sikap yang bertentangan dengan
hukum pidana positif, sehingga bersifat melawan hukum yang menyebabkan tuntutan
hukum dengan ancaman pidana atas pelanggaranya.
b. Bagian subjektif merupakan kesalahan yang menunjuk kepada pelaku untuk
dipertanggung jawabkan menurut hukum.
Hukum pidana formil yang mengatur cara bagaimana hukum pidana materiil dapat ditegakan.
2. D. HAZEWINKEL-SURINGA, (1968: 1), dalam bukunya membagi hukum pidana
dalam arti:
a. Objektif (ius poenale), yang meliputi:
1) Perintah dan larangan yang pelanggaranya diancam dengan sansi pidana oleh
badan yang berhak.
2) Ketentuan-ketentuan yang mengatur upaya yang dapat digunakan, apabila norma
itu dilanggar, yang dinamakan Hukum Panitensier.
b. Subjektif (ius puniendi), yaitu: hak Negara menurut hukum untuk menuntut
pelanggaran delik dan untuk menjatuhkan serta melaksanakan pidana.
Dapat disimpulkan bahwa Hukum Pidana adalah Hukum yang mengatur perbuatan-
perbuatan yang dilarang atau diharuskan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
membawa akibat diterapkannya hukuman (pidana) bagi mereka yang melakukan atau tidak
melakukan perbuatan dimaksud. Misal, melakukan korupsi dan tidak menggunakan helm.

D. Perbuatan Pidana
Perbuatan pidana dikenal dengan beberapa istilah seperti tindak pidana, peristiwa pidana,
dan delict. Dimaksud dengan perbuatan pidana ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan
yang dapat dikenakan hukuman pidana. Suatu peristiwa hukum dapat dinyatakan sebagai
peristiwa pidana kalau memenuhi unsur obyektif dan unsur subyektif.
Syarat yang harus dipenuhi (baik perbuatan yang memenuhi unsur obyektif1 ataupun
subyektif2 yang dipersyaratkan) dalam suatu peristiwa pidana ialah:
1. Harus ada suatu perbuatan. Dimana memang benar-benar ada suatu kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang. Kegiatan tersebut terlihat sebagai suatu
perbuatan tertentu yang dapat dipahami oleh orang lain sebagai sesuatu yang merupakan
peristiwa. Perbuatan tersebut harus bertentangan dengan hukum;
2. Perbuatan tersebut harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan hukum.
Perbuatan sebagai suatu peristiwa hukum memenuhi isi ketentuan hukum yang berlaku pada
saat itu. Pelakunya memang benar-benar telah berbuat seperti yang terjadi dan terhadapnya
wajib mempertanggung jawabkan akibat yang timbul dari perbuatan itu. Berkenaan dengan
syarat ini hendaknya dapat dibedakan bahwa ada suatu perbuatan yang tidak dapat disalahkan
dan terhadap pelakunya tidak perlu mempertanggung jawabkan.

1
suatu tindakan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum atau perbuatan yang dilarang oleh hukum dengan
ancaman pidananya. Menjadi titik utama dari pengertian obyektif ini adalah tindakannya.
2
perbuatan seseorang atau beberapa orang yang berakibat pada hal yang tidak dikehendaki oleh undang-undang.
Menjadi titik utama dari pengertian subyektif ini adalah adanya seseorang atau beberapa orang yang melakukan
tindakan.
3. Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggung jawabkan. Perbuatan yang
dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang itu harus dapat dibuktikan sebagai suatu
perbuatan yang disalahkan oleh ketentuan hukum.
4. Harus tersedia ancaman hukumannya. Adanya ketentuan yang mengatur tentang larangan
atau keharusan dalam suatu perbuatan tertentu dan ketentuan tersebut memuat sanksi
ancaman hukumannya. Ancaman hukuman tersebut dinyatakan secara tegas maksimal
hukuman yang harus dilaksanakan oleh para pelakunya.
Sehingga, untuk menghindari adanya tindak pidana dalam penyusunan LHP, BPK –
dalam hal ini terutama auditor- diharuskan untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya
berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku3. Dengan melaksanakan tugas dan
kewajibannya sesuai dengan peraturan yang berlaku, BPK dengan sendirinya terhindar dari tindak
pidana yang dapat menjeratnya.
Namun, selain harus mematuhi peraturan perundangan yang berlaku, BPK-terutama
auditor- diharapkan dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya di lapangan tetap
memperhatikan hukum adat yang berlaku dimana BPK melakukan pemeriksaan. Walaupun
secara hukum tertulis perbuatan yang dilakukan oleh BPK tersebut tidak termasuk pidana, namun
jika secara hukum adat perbuatan dimaksud adalah tindak pidana, maka auditor BPK tersbut

3
Hal ini dikenal dengan asas Legalitas Formil, Pasal 1 (1) KUHP mengatur asas legalitas tersebut sebagai berikut:
“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah
ada sebelum perbuatan dilakukan”. Konsekuensi dari Asas dimaksud adalah :

1. Suatu tindak pidana harus dirumuskan/disebutkan dalam peraturan perundang-undangan.


2. Peraturan perundang-undangan itu harus ada sebelum terjadinya tindak pidana (tidak boleh berlaku surut).
dapat dikenakan pidana4. Sehingga, dalam pelaksanaan tugas, auditor diharuskan untuk tetap
memperhatikan hukum adat yang masih hidup di tempat ia melaksanakan tugas.

E. Alasan Penghapusan Pidana


Di dalam Hukum Pidana dikenal adanya penghapusan pidana. Penghapusan pidana
adalah hapusnya suatu pidana dikarenakan alasan-alasan yang dibenarkan oleh peraturan
perundang-undangan. Alasan penghapusan pidana adalah :
1. Alasan Pemaaf
Dasar penghapus berdasar alasan pemaaf melihat dari sisi pelakunya (subyektif).
Pada alasan pemaaf, maka suatu tindakan tetap melawan hukum, tetapi terdapat hal-hal
khusus yang menjadikan si pelaku tidak dapat dipertanggung jawabkan, atau dengan kata lain
menghapuskan kesalahannya.
a. Tidak dapat dipertanggungjawabkan (Pasal 44 KUHP)
b. Daya paksa (overmacht) (Pasal 48 KUHP)
c. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas dikarenakan kegoncangan jiwa yang
hebat (noodweer exces) (Pasal 49 ayat (2) KUHP)
d. Melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang
(Pasal 51 ayat (1) KUHP)
Penghapusan pidana berdasarkan alasan pemaaf menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak
dianggap pidana dan dimaafkan jika ia melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh

4
Hal ini dikenal dengan asas Legalitas Materiel. Hal ini di dasarkan pada:

1. Pasal 5 (3) sub b Undang-undang No. 1 Drt. 1951.


“Bahwa suatu perbuatan menurut hukum yang hidup harus dianggap suatu perbuatan pidana, akan tetapi
tiada bandingannya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap dengan hukuman yang tidak lebih
tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman
adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap
sepadan oleh hakim dengan dasar kesalahan si terhukum.
Bahwa hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim melampaui padanya dengan hukuman
kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukuman
pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukuman adat yang menurut paham hakim
tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa diganti seperti tersebut di atas.
Bahwa suatu perbuatan menurut hukum yang hidup harus dianggap suatu perbuatan pidana dan yang ada
bandingannya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama
dengan hukuman bandingannya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu.”

2. Pasal 27 ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman.
“Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum
yang hidup dalam masyarakat.”
penguasa yang berwenang. Pemeriksa dalam melaksanakan tugas di lapangan adalah bagian dari
pelaksanaan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang.
2. Alasan Pembenar
Dasar penghapus berdasakan alasan pembenar melihat dari sisi perbuatannya
(obyektif). Pada alasan pembenar, suatu perbuatan kehilangan sifat melawan hukumnya,
sehingga menjadi legal/diperbolehkan dan pelakunya tidak dapat disebut sebagai pelaku
tindak pidana.
a. Menjalankan peraturan undang-undang (Pasal 50 KUHP)
b. Pembelaan terpaksa dari serangan atau ancaman yang melawan hukum, yang
dilakukan untuk diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda
sendiri maupun orang lain (noodweer) (Pasal 49 ayat (1) KUHP)
Penghapusan pidana berdasarkan alasan pembenar menyatakan bahwa suatu perbuatan
tidak dianggap tindak pidana jika ia melaksanakan ketentuan undang-undang. Untuk menghindari
tindakan pidana, auditor dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan
ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.

F. Subyek Hukum Pidana


Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) hanya mengenal orang-perseorangan
(Persoon) sebagai subjek hukum pidana. Badan hukum (publik dan privat) dalam KUHP tidak
dipandang sebagai subjek hukum pidana. Jika kita merujuk pada KUHP, maka BPK selaku badan
hukum publik tidak dapat dituntut secara pidana. Dengan demikian, yang dapat dituntut secara
pidana menurut KUHP dalam hal proses penyusunan LHP adalah pegawai BPK-auditor- secara
orang perorangan.
Namun dalam perkembangannya, korporasi5 telah dianggap sebagai subyek hukum
pidana. Hal ini dapat dilihat dari pengaturan pada pasal 20 UU No 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001, UU No
15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang telah diubah dengan UU no 25
Tahun 2003, Perpu No 1 Thn 2002 Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah
ditetapkan menjadi UU No 15 Tahun 2003, UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, dan yang mungkin terdapat dalam pengaturan UU yang lainnya. Selain
yang terdapat dalam UU yang tersebut, pengaturan mengenai korporasi sebagai subyek hukum
pidana juga dimasukkan ke dalam Rancangan KUHP pada Pasal 47 yang menyatakan bahwa
korporasi merupakan subyek tindak pidana.
Dengan melihat pengaturan pada UU diatas dan perkembangan yang terdapat dalam
RUU tentang KUHP, korporasi termasuk kedalam subyek tindak pidana. Dengan demikian tidak

5
Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun
bukan badan hukum (Pasal 1 angka 2 UU No 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang)
hanya auditor saja yang dapat dituntut secara pidana, BPK selaku badan hukum publik juga dapat
dituntut di muka pengadilan secara pidana.

G. Pencemaran Nama Baik


Definisi mengenai pencemaran nama baik belum diatur dalam peraturan perundang-
undangan. Pengaturan mengenai pencemaran nama baik dapat dilihat pada KUHP dan UU
Informasi dan Transaksi Elektronik.
1. KUHP
Dalam KUHP pencemaran nama baik diistilahkan sebagai penghinaan/penistaan
terhadap seseorang. Pengaturan mengenai penghinaan/penistaan pada KUHP adalah sebagai
berikut :
Pasal 310

(1). Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan
jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata
akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara
selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-.
(2). Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan,
dipertunjukan pada umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu dihukum
karena menista dengan tulisan dengan hukuman penjara selama-lamanya satu
tahun empat bulan atau denda sebanyakbanyaknya Rp 4.500,-.
(3). Tidak termasuk menista atau menista dengan tulisan, jika ternyata bahwa
sipembuat melakukan hal itu untuk kepentingan umum atau lantaran terpaksa
perlu untuk mempertahankan dirinya sendiri.
Pasal 311 ayat (1)
Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam
hal ia diizinkan untuk membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang
diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukuman
penjara selama-lamanya empat tahun.
Pasal 315
Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat menista atau menista
dengan tulisan, yang dilakukan kepada seseorang baik ditempat umum dengan
lisan, atau dengan tulisan, maupun dihadapan orang itu sendiri dengan lisan
atau dengan perbuatan, begitupun dengan tulisan yang dikirimkan atau
diterimakan kepadanya, dihukum karena penghinaan ringan, dengan hukuman
penjara selama-lamanya empat bulan dua minggu atau denda sebanyak-
banyaknya Rp 4.500,-.
Pasal 317 ayat (1)
Barangsiapa dengan sengaja memasukkan atau menyuruh menuliskan surat
pengaduan atas pemberitahuan yang palsu kepada pembesar negeri tentang
seseorang sehingga kehormatan atau nama baik orang itu jadi tersinggung,
maka dihukum karena mengadu dengan memfitnah, dengan hukuman penjara
selama-lamanya empat tahun.
Pasal 318 ayat (1)
Barangsiapa dengan sengaja dengan melakukan sesuatu perbuatan,
menyebabkan orang lain dengan palsu tersangka melakukan sesuatu perbuatan
yang dapat dihukum, maka dihukum karena tuduhan memfitnah, dengan
hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.

Berdasarkan Pasal 310 ayat (1) KUHP, penghinaan yang dapat dipidana harus
dilakukan dengan cara menuduh seseorang telah melakukan perbuatan yang tertentu dan
bermaksud agar tuduhan itu akan tersiar (diketahui orang banyak). Tuduhan tersebut harus
dilakukan dengan lisan, apabila dilakukan dengan tulisan (surat) atau gambar, maka
penghinaan itu dinamakan “menista/menghina dengan surat (secara tertulis)”, dan dapat
dikenakan Pasal 310 ayat (2) KUHP. LHP BPK termasuk ke dalam Pasal 310 ayat (2)
dikarenakan berbentuk tulisan. Tuduhan melakukan perbuatan tertentu tersebut tidak harus
perbuatan pidana seperti membunuh, mencuri, dan sebagainya. Tuduhan tersebut dapat
berupa perbuatan biasa yang tidak merupakan perbuatan pidana seperti “kyai A berlangganan
majalah dewasa”.
Penghinaan yang diatur tersebut adalah delik aduan, sehingga hanya dapat dituntut
jika ada pengaduan dari orang yang menderita/terhina/ternista. Penghinaan menurut Pasal 310
ayat (1) dan (2) diatas dapat dikecualikan (tidak dapat dihukum) apabila tuduhan atau
penghinaan itu dilakukan untuk membela “kepentingan umum” atau terpaksa untuk
“membela diri”. Patut atau tidaknya pembelaan kepentingan umum dan pembelaan diri yang
diajukan oleh tersangka terletak pada pertimbangan hakim. Selain dikarenakan alasan untuk
membela kepentingan umum dan membela diri, suatu perbuatan tidak akan dipidana jika
melaksanakan ketentuan Undang-undang dan melaksanakan perintah jabatan yang diberikan
oleh penguasa yang berwenang. Pemeriksa dalam melakukan penyusunan LHP merupakan
pelaksanaan perintah jabatan dan merupakan pelaksanaan amanat UU. Walaupun demikian,
hal tersebut tidak menghilangkan hak seseorang untuk melakukan pengaduan jika ia merasa
bahwa LHP BPK mencemarkan nama baiknya.
BPK dapat dituntut ke muka pengadilan karena adanya pengaduan dari orang
perorangan yang merasa bahwa dirinya terhina/ternista oleh LHP BPK. Berdasarkan Pasal
311 ayat (1) BPK diizinkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan, jika tidak dapat
membuktikan maka dihukum karena salah memfitnah. Pembuktian kebenaran itu berdasarkan
pasal 312 diizinkan dalam hal menimbang perkataan terdakwa bahwa ia melakukan perbuatan
tersebut untuk kepentingan umum atau karena mempertahankan diri sendiri dan melakukan
perbuatan dalam menjalankan perkerjaannya (jabatannya). Pembuktian di muka pengadilan
untuk membuktikan apakah tuduhan tersebut adalah kebenaran (fakta), dilakukan untuk
kepentingan umum atau mempertahankan dirinya sendiri atau melakukan perbuatan dalam
menjalankan perkerjaannya (jabatannnya).
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 184, alat bukti yang
sah ialah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Untuk
membuktikan bahwa apa yang BPK tulis dalam LHP adalah fakta, BPK dapat
membuktikannya di muka pengadilan dengan menunjukkan alat bukti yang sah sesuai
pengaturan KUHAP.

2. UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)


Selain sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), berkaitan dengan “pencemaran nama baik” juga diatur dalam UU No. 32 Tahun
2002 tentang Penyiaran dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Dalam UU No. 32 Tahun 2002, Pasal 36 ayat (5) menyebutkan bahwa :
“Isi siaran dilarang :
a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;
b. menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan
narkotika dan obat terlarang; atau mempertentangkan suku, agama, ras,
dan antargolongan.”
dan UU No. 11 Tahun 2008, Pasal 27 ayat (3) yang menyebutkan :
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik.”
Berbeda dengan KUHP yang tidak mengenal badan hukum sebagai subyek hukum,
UU ITE, mencantumkan badan hukum selaku subyeknya. 6 KUHP mengatur mengenai
perbuatan penghinaan/penistaan, maka dala UU ITE mengatur mengenai pendistribusian
dan/atau pentramisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya dokumen elektronik yang
memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
BPK selaku badan hokum tidak dapat dituntut berdasarkan Pasal 27 ayat (3) tersebut,
karena :
a. BPK selaku badan hukum tidak memiliki kesengajaan seperti yang diatur
dalam pasal tersebut karena kesengajaan hanya dimiliki oleh perseorangan (persoon).
b. BPK mendistribusikan LHP tersebut bukan tanpa hak, namun merupakan
kewajiban BPK berdasarkan amanat UUD dan UU 15/2004.

3. Pencantuman Nama dalam LHP

6
Pasal 1 angka 21 UU ITE, 21. “Orang adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara
asing, maupun badan hukum”.
Tidak ditemukan adanya larangan untuk mencantumkan nama dalam peraturan
perundang-undangan, maka dari itu auditor dalam melakukan penyusunan LHP
diperbolehkan mencantumkan nama. Penyusunan LHP adalah pengungkapan fakta yang
nyata dan sebenar-benarnya dan merupakan amanat dari UU, maka auditor tidak perlu takut
untuk mencantumkan nama di dalam LHP. Namun, pencantuman nama dalam LHP dimaksud
dilakukan hanya setelah auditor memiliki bukti yang memadai sehingga pencantuman nama
tersebut adalah pengungkapan fakta yang sebenarnya.
Walaupun merupakan pelaksanaan ketentuan UU, pengungkapan suatu fakta dan
tidak ditemukan adanya larangan untuk mencantumkan nama dalam LHP. Hak untuk
melakukan penuntutan secara pidana tetap dapat dilakukan oleh orang perorangan yang
merasa nama baik dan kehormatannya dirusak dengan pencantuman nama dalam LHP. Untuk
mengurangi resiko adanya penuntutan atas pencemaran nama baik, auditor dapat mengganti
pencantuman nama dengan jabatan dari si pemilik nama tersebut, misal “Kepala Dinas
Pendidikan Kabupaten A”. Secara substansi, antara pencantuman jabatan dan nama tersebut
tidak ada bedanya karena tetap saja dapat ditelusuri siapa pemilik jabatan tersebut.

H. Perbuatan Tidak Menyenangkan


Perbuatan tidak menyenangkan diatur dalam Pasal 335 KUHP.
(1). Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah:
1. barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya
melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai
kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan,
atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun
perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun
orang lain;
2. barang siapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau
membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis.
(2). Dalam hal sebagaimana dirumuskan dalam butir 2, kejahatan hanya dituntut atas
pengaduan orang yang terkena.

Pada Pasal ini yang harus dibuktikan adalah:


1. Ada orang yang dengan melawan hak dipaksa untuk melakukan sesuatu,
tidak melakukan sesuatu atau membiarkan sesuatu.
2. Paksaan itu dilakukan dengan memakai kekerasan, suatu perbuatan lain atau
suatu perbuatan yang tidak menyenangkan, ataupun ancaman kekerasaan, ancaman
perbuatan lain, atau ancaman perbuatan yang tidak menyenangkan, baik terhadap orang itu
maupun orang lain.
Perbuatan tidak menyenangkan tidak terkait langsung dengan penyusunan LHP,
namun dapat terjadi pada saat pelaksanaan pemeriksaan. Contoh atas kejadian yang dapat
dikenakan pasal ini misalnya memaksa dengan cara tersebut pada pasal ini, seorang pekerja
untuk berkerja atau tidak berkerja, atau sopir memaksa orang untuk menaiki taksinya dan
contoh pada pemeriksaan adalah melakukan perekaman tanpa sepengetahuan narasumber.

I. Kesimpulan
1. Hukum Pidana adalah Hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang atau
diharuskan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membawa akibat
diterapkannya hukuman (pidana) bagi mereka yang melakukan atau tidak melakukan
perbuatan dimaksud. Misal, melakukan korupsi atau tidak menggunakan helm.
2. Perbuatan pidana ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang bertentangan
dengan hukum yang dapat dikenakan hukuman pidana. Untuk menghindari melakukan
perbuatan pidana, BPK dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan mematuhi
peraturan yang berlaku.
3. Dalam hukum pidana dikenal adanya alasan penghapus pidana, salah satu alasannya
adalah pelaksanaan ketentuan UU dan pelaksanaan perintah jabatan yang diberikan penguasa.
Dengan demikian, dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya pemeriksa terhindar dari
tuntutan pidana selama ia mematuhi ketentuan UU dan melaksanakan perintah jabatan.
4. KUHPidana hanya mengenal orang-perorangan sebagai subyek hukum. Dalam
perkembangannya, korporasi (badan hukum) masuk kedalam subyek pidana, pengaturan
mengenai hal ini dapat dijumpai salah satunya pada UU ITE.
5. Penghinaan dalam KUHP adalah menuduh seseorang baik secara lisan maupun tulisan
dengan suatu perbuatan tertentu dengan maksud agar tuduhan tersebut tersebar. Penghinaan
dimaksud termasuk kedalam delik aduan.
6. Berbeda dengan KUHP, pada UU ITE diatur bahwa korporasi (badan hukum) dapat
melakukan perbuatan pidana, termasuk pencemaran nama baik. Namun, BPK sebagai badan
hukum tidak memiliki kesengajaan seperti yang disyaratkan dalam UU tersebut.
7. Dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya berdasarkan peraturan yang berlaku, BPK
terhindar dari segala tuntutan pidana. Pencantuman nama dalam LHP tidak merupakan tindak
pidana karena ia merupakan pelaksanaan ketentuan peraturan perundangan dan bukan
merupakan tuduhan namun fakta.
8. Untuk menghindari adanya penuntutan secara pidana atas pencemaran nama baik, BPK
dapat mencantumkan jabatan sebagai pengganti nama. Secara substansi pencantuman jabatan
tidak berbeda dengan pencantuman nama, karena tetap saja dapat ditelusuri siapakah pemilik
jabatan tersebut.
9. Perbuatan tidak menyenangkan tidak terkait langsung dengan penyusunan LHP, namun
dapat terjadi pada tahap pemeriksaan. Missal, perekaman tanpa sepengetahuan narasumber.

You might also like