You are on page 1of 17

Kumpulan Cerpen Kompas

Kue Gemblong Mak Saniah

Masdudin jengkel melihat istrinya terbahak sampai


badannya berguncang-guncang seperti bemo yang tengah
menunggu penumpang. ”Apanya yang lucu Asyura?”

Pertanyaan itu tak serta-merta membuat Asyura berhenti terkekeh.


Khawatir makin jengkel dan penyakit bengek yang membuat
napasnya megap-megap kumat, Masdudin melangkah keluar meninggalkan istrinya dan
membiarkan perempuan yang rambutnya mulai beruban itu menelan tawa dan bahaknya
sendiri. Dia baru mendengar teriakan sang istri ketika badan pendek hitamnya hampir hilang
di balik rumah tetangga sebelah.

”Bang!”

Meski masih menyimpan rasa kesal, Masdudin menghentikan langkah.

”Sini!”

Gerimis halus masih turun dari langit. Masdudin berbalik dan mengikuti langkah istrinya ke
ruang tamu.

”Mengapa abang tiba-tiba kepingin makan kue gemblong Mak Saniah?” Asyura bertanya
ketika Masdudin tengah mengatur napas.

Masdudin berpikir untuk mencari jawaban yang pas. Dia sendiri tak tahu mengapa pagi itu,
ketika gerimis jatuh dari langit, dia ingat Mak Saniah yang biasanya menjajakan kue
gemblong ke rumahnya. Tidak setiap hari juga. Dalam sepekan, dua sampai tiga kali Mak
Saniah datang ke rumahnya.

”Syuraaaaa… Syuraaaaaaa… gemblong Neeeeeng!” Mak Saniah biasa memanggil istrinya.


Lalu tubuh rentanya duduk di teras rumah setelah meletakkan sebuah panci besar berisi
jajanan berupa kue gemblong atau kue unti.

Asyura tak pernah membiarkan Mak Saniah pulang dengan tangan hampa. Begitu mendengar
suara Mak Saniah, dia segera mengambil piring dan menjumpai Mak Saniah di luar.
Selembar uang Rp 5 ribu biasa diberikan Asyura kepada Mak Saniah dan mengambil kue
gemblong empat hingga lima buah serta unti dua sampai tiga buah. Mak Saniah tak pernah
menjual kue-kuenya lebih dari Rp 500 per buah. Dengan uang Rp 5 ribu seharusnya Asyura
bisa mengambil 10 buah kue. Namun, hal itu tak pernah dilakukan Asyura. Dia selalu
mengambil kue-kue secukupnya dan membiarkan uang kembaliannya untuk Mak Saniah.
Sesekali Asyura juga memberikan Mak Saniah lembaran uang sepuluh ribuan tapi mengambil
jumlah kue yang sama serta tak mengambil uang kembaliannya.

”Terima kasih banyak ya, Neng. Semoga rezeki Neng banyak, berkah, anak-anak pada sehat,
disayang laki, setia,” kata Mak Saniah selalu sembari menyelipkan uang di balik lipatan
kainnya (Mak Saniah semula biasa meletakkan uangnya di balik alas kue dari koran bekas di
dasar pancinya. Namun, kini tak pernah lagi dilakukannya karena dia pernah kehilangan uang
yang sudah dia kumpulkan sedikit demi sedikit dari para pembeli).

”Lucu juga kalau nggak ada angin nggak ada hujan abang tiba-tiba kepingin kue gemblong
Mak Saniah,” kata istrinya. Masdudin melirik ke depan rumah, pada tempias gerimis yang
membasahi genting rumah tetangganya. ”Abang ngidam? Ngidam istri kedua abang?”

Masdudin memalingkan wajah dari kerlingan istrinya. Bukan dia ingin menyembunyikan
sesuatu, tapi untuk membuang rasa kesal yang selalu dilakukannya jika Asyura mulai agak
merajuk. Belakangan, Asyura memang kerap melontarkan sindiran serupa itu. Mungkin juga
karena usia yang makin beranjak dan garis-garis ketuaan yang kian ramai. Padahal Asyura
pun tahu, Masdudin takkan mungkin punya istri lebih dari satu. Dia tak cukup punya modal.
Tampang pas-pasan. Kantong pas-pasan. Keberanian pun pas-pasan.

Tapi, pertanyaan itu pun wajar dilontarkan Asyura. Sejak pertama kali Mak Saniah
menjajakan kue gemblong ke rumahnya hingga kini, gemblong Mak Saniah ya begitu-begitu
saja. Bentuknya sama gepeng seperti kue-kue gemblong lainnya, agak besar dan agak
lembek. Kue gemblong Mak Saniah juga tak sekering, serenyah, dan seenak gemblong yang
pernah dibeli Masdudin ketika dia dan keluarganya jalan-jalan ke Taman Bunga di kawasan
Puncak tahun lalu. Jadi, terasa ada yang aneh jika kini dia merindukan kue gemblong Mak
Saniah.

”Bang Masdud,” Asyura mengagetkan suaminya. ”Ada apa?”

Masdudin jadi sedikit serba salah.

”Aku cuma…” Masdudin menyahut sambil coba mencari jawaban yang pas. ”Aku cuma
merasa aneh saja. Belakangan kan Mak Saniah tak pernah datang lagi. Dia kan sudah sangat
tua. Jangan-jangan….”

”Sudah meninggal maksud Abang?”

Masdudin menyambar permen di atas meja. Sisa jajanan anaknya. Ada sedikit rasa lega di
dadanya begitu rasa manis dan hangat merayapi rongga mulutnya.
Usia Mak Saniah memang sudah sangat tua bahkan ketika beberapa tahun lalu dia mulai
menyambangi rumah Masdudin. Seluruh tubuh putih wanita tinggi besar itu sudah dipenuhi
keriput. Langkahnya tertatih-tatih. Apalagi dengan beban panci berdiameter hampir 50 cm
berisi kue gemblong dan unti yang dijajakannya. Langkahnya makin terpiuh-piuh. Itulah
yang membuat Masdudin atau istrinya tak pernah bisa membiarkan Mak Saniah pergi dari
rumahnya tanpa menjual lima hingga enam kue jajanannya. Padahal, kue-kue itu pun hanya
dimakan satu-dua buah. Anak-anaknya lebih suka makan panganan lain. Kue-kue gemblong
Mak Saniah dibeli hanya agar hati Mak Saniah senang.

”Belakangan Mak Saniah memang makin jarang datang. Aku dengar dia sudah sakit-sakitan,”
kata Asyura.

”Tapi ya memang kasihan juga orang setua dia masih juga berjualan,” Masdudin menimpali.

Asyura lalu bercerita tentang Mak Saniah lebih panjang. Cerita yang sebelumnya tak pernah
dia dengar. Bahwa Mak Saniah adalah wanita dengan tujuh anak. Bahwa anak-anaknya pun
sudah pada ”jadi orang”. Bahwa Mak Saniah memilih tetap mendiami rumah sederhananya di
kampung yang bertetangga dengan kampung tempat di mana Masdudin dan keluarganya
tinggal. Bahwa Mak Saniah, setelah suaminya wafat belasan tahun lalu, memilih menghidupi
dirinya dengan berjualan kue gemblong buatannya sendiri. Dengan begitulah dia bertahan
hidup tanpa harus merepotkan anak-anak dan cucu-cucunya.

”Jadi, anak-anak Mak Saniah sebetulnya sudah melarang dia berjualan. Tapi Mak Saniah
tetap membandel,” kata Asyura menutup cerita panjang lebarnya.

Masdudin juga tak pernah meminta istrinya untuk mencari tahu bagaimana kabar Mak Saniah
saat ini, tapi pada hari Minggu berikutnya keduanya sudah berada di depan rumah Mak
Saniah setelah berusaha mencari dengan bertanya ke sana kemari. Dari bertanya itu pula
keduanya tahu bahwa Mak Saniah kini memang sudah tak lagi bisa memaksakan diri untuk
berjualan. Beragam penyakit berkumpul dan menyatu dalam tubuh rentanya. Mulai dari
pikun, rematik, pengapuran, darah tinggi, sesak napas, dan mata yang tak lagi bisa melihat
dengan jelas. Cuma kuping Mak Saniah yang masih berfungsi dengan lumayan baik.

Dari pembaringan Mak Saniah menyambut kedatangan Masdudin dan Asyura setelah seorang
cucunya, seorang gadis berusia 20-an tahun, mengantarkan mereka masuk ke kamar Mak
Saniah.

Begitu masuk ke ruangan itu Masdudin dan Asyura membaui wewangian asing tapi
menyegarkan. Kamar itu, meskipun tidak terbilang bagus, tampak sangat terawat. Tak banyak
benda-benda berserakan. Tempat Mak Saniah berbaring juga sangat bersih.

”Ya Allah mimpi apa ya Mak semalam? Elu tahu rumah Mak, Neng?” sambut Mak Saniah.
Masdudin melihat ada genangan air di kedua sudut mata Mak Saniah.
”Ya, kita kan tetangga, Mak. Tetangga kampung. Nggak jauh. Cuma satu kali naik mobil
angkutan.”

Mak Saniah tersenyum tipis. ”Ya, memang nggak jauh ya, Neng. Makanya Mak pun kalau
jualan sampai ke rumah Neng Syura….”

Tanpa diminta, gadis yang tadi mengantarkan Masdudin dan Asyura sudah menyuguhkan dua
gelas teh panas dengan sekaleng biskuit.

”Ayo, minum dulu dah, Neng. Makan tuh biskuitnya. Cuma itu yang ada. Mak sudah nggak
sanggup bikin kue gemblong,” ujar Mak Saniah begitu baki diletakkan di atas meja.

Masdudin dan istrinya bertukar pandang dan berbagi senyum.

”Mak juga sebenarnya masih kepingin jualan, Neng.” Mak Saniah melanjutkan kalimatnya
sambil menggenggam tangan Asyura yang kini sudah duduk di sisi Mak Saniah di tempat
tidur Mak Saniah. ”Bukannya apa-apa, Neng. Mak ingeeeet terus sama orang-orang yang
suka beli gemblong Mak, terutama Neng Asyura ama laki Neng Asyura yang nggak pernah
nggak beli gemblong Mak. Kalau orang sudah cocok kan susah ya, Neng. Biar banyak
makanan laen, tetep yang dicari gemblong-gemblong Mak Niah juga. Iya kan?”

Masdudin tersenyum sambil melempar kerling kepada istrinya.

”Betul, Mak. Gemblong Mak Niah memang beda dari yang lain,” Asyura menimpali,
menahan senyum. ”Manisnya pas, lembeknya pas, gedenya pas, terus nggak mahal.”

Wajah Mak Saniah tampak cengar. Berbinar. ”Ya, Mak mah kalau jualan emang nggak cari
untung gede-gede. Yang penting ada untungnya biar sedikit. Cukup buat makan. Buat apa
Neng harta dibanyakin. Amal ibadah yang harus dibanyakin. Harta mah nggak dibawa mati.”

Dua minggu berikutnya, pada Minggu yang cerah, Masdudin mendengar suara seseorang di
luar.

”Saya Cindi, Pak,” kata gadis yang berdiri di hadapan Masdudin begitu dia membuka pintu.
”Saya cucu Mak Saniah yang kemarin mengantar Bapak sama Ibu ketemu Mak.”

”O, iya… iya… saya ingat. Kan baru kemarin,” kata Masdudin seraya mempersilakan
tamunya masuk. Dari kamar belakang Asyura muncul dan memperlihatkan kekagetannya.

”Ada apa ini?” Asyura langsung bertanya. ”Apa ada kabar buruk tentang Mak Saniah?” lanjut
Asyura. Kali ini, pertanyaan itu disimpannya dalam hati. Namun, ada debar-debar di
dadanya.
Cindi mengeluarkan sebuah amplop berwarna putih dan memberikannya kepada Asyura. ”Ini
ada titipan dari Mak. Katanya minta disampaikan kepada Bu Asyura. Karena ini amanat, jadi
buru-buru saya sampaikan.”

”Surat apa ini?” Asyura bertanya.

”Nggak tahu, Bu. Saya juga nggak bertanya kepada papa yang minta saya mengantarkannya
ke sini sesuai pesan Mak.”

Asyura menimang-nimang amplop itu. Adakah Mak Saniah mengembalikan uang-uang yang
selama ini diterimanya karena menganggap dirinya berutang? Rasanya tak mungkin.

”Kabar Mak Inah gimana?” Masdudin tak lagi bisa menahan kesabarannya untuk mendengar
kabar Mak Saniah setelah beberapa saat sama-sama terdiam.

”Mak sudah meninggal,” jawab Cindi segera. Ia menatap wajah Masdudin dan Asyura
bergantian.

”Innalillahi….” Masdudin dan Asyura berucap hampir berbarengan.

”Meninggalnya hari Jumat kemarin,” lanjut Cindi.

Masdudin dan Asyura saling berpandangan. ”Kenapa kami tak dikabari?” Masdudin lebih
dulu bersuara.

Cindi mengulas bibirnya dengan senyum. ”Maaf… maaf… kami memang kepikiran untuk
memberi kabar. Tapi kami belum tahu ke mana harus memberi kabar. Rumah Bapak dan Ibu
pun baru saya coba cari hari ini sesuai petunjuk Mak waktu masih hidup. Itu pun karena
memang ada amanah yang harus kami sampaikan. Kami tidak mungkin menahan amanah,
apalagi bagi orang yang sudah wafat. Alhamdulillah ketemu.”

Membuang napas sekaligus rasa menyesalnya karena tak bisa menghadiri prosesi pemakaman
Mak Saniah, Asyura lalu ingat cerita Rosa, putri bungsunya. Hari Jumat lalu, kata Rosa
kemarin, melihat Mak Saniah duduk di teras rumah mereka dengan panci kue gemblong
tergeletak di sisinya.

”Dia nggak bilang apa-apa, bunda. Diam aja seperti patung. Terus aku ke dapur untuk
mengambil piring karena ayah nggak ada dan bunda di kamar mandi, Aku kan ada uang dua
ribu untuk beli kue gemblongnya. Tapi, waktu aku ke depan lagi, eh Mak Saniahnya udah
nggak ada. Aku cari-cari nggak ketemu. Padahal kan dia jalannya lamban. Tapi, aku kejar
sampai ke depan juga nggak ketemu. Ya udah, aku nonton TV lagi,” kata gadis berusia lima
tahun itu.
Asyura ingin menyampaikan cerita itu kepada Cindi, tapi dia membatalkannya karena Cindi
sudah buru-buru mohon diri untuk pergi. Asyura dan Masdudin melepas kepergian Cindi
dengan ucapan terima kasih berulang-ulang.

”Apa isinya, bunda?” Masdudin mengambil amplop yang masih tergeletak di atas meja.

”Aku juga penasaran. Cepat buka, Bang,” sahut Asyura.

Dengan cepat Masdudin merobek amplop itu dan mengeluarkan isinya. Berdua mereka
membaca tulisan pertama pada isi surat Mak Saniah: ”Cara Bikin Kue Gemblong Mak
Saniah”.

Tanah Kusir, 30 Desember 2009

Ada yang Menangis Sepanjang Hari…


Tangisan itu seperti kesedihan yang mengapung di udara.
Menyelesup ke rumah-rumah kampung pinggir kota itu. Karena
hampir setiap hari mendengar orang menangis, maka para warga
pun tak terlalu peduli.

Tapi ketika sampai malam tangis itu terus terdengar, sebagian


warga pun menjadi mulai terganggu. Tiba-tiba saja tangis itu seperti mengingatkan pada
banyak kesedihan yang diam-diam ingin mereka lupakan. Tangis itu jadi mirip cakar kucing
yang menggaruk-garuk dinding rumah. Bagai mimpi buruk yang menggerayangi syaraf dan
minta diperhatikan. Beberapa warga yang jengkel langsung mendatangi pos ronda.

”Siapa sih yang terus-terusan menangis begitu?!”

”Apa dia tak lagi punya urusan yang harus dikerjakan selain menangis seharian. Ini sudah
keterlaluan!”

”Suruh keparat itu berhenti menangis,” sergah warga lainnya.

”Ah paling juga itu tangisan Kumirah,” ujar seorang peronda. ”Ia pasti masih sedih karena
suaminya mati dibakar kemaren.”

Orang-orang terdiam. Mendadak saja mereka teringat Sidat yang ketangkap mencuri jagung
rebus, kemudian dibantai ramai-ramai. Belum puas melihat Sidat bonyok dan ringsek,
seseorang menyiramkan bensin ke tubuh suami Kumirah itu. Sidat mengerang-erang terkapar.
Bau daging yang melepuh terbakar itu membuat mereka merinding. Bau daging bakar yang
harum campur aroma bensin itu kini kembali tercium. Seakan masih menempel di udara. Bau
yang bagai kembali mengapung bersama isak tangis. Adakah yang lebih menyedihkan dari
tangisan itu?

Para peronda dan beberapa warga segera menuju kontrakan Kumirah. Kamar itu sepi
terkunci. Tak ada tangis merembes dari dalamnya. Tangis itu mengambang di udara entah
berasal dari mana. Seperti menggenang dan mengepung mereka. Mereka sudah sambangi tiap
rumah, tapi tak menemukan siapa yang menangis begitu sedih begitu nelangsa seperti itu.
Kadang tangis itu terdengar seperti suara tangis bayi yang rewel kelaparan. Kadang seperti
suara perempuan terisak setelah digampar suaminya yang mabok. Kadang terisak panjang.
Kadang seperti keluhan. Kadang seperti erang binatang sekarat. Kadang seperti sayatan
panjang yang mengiris malam.

Berhari-hari tangisan itu terdengar timbul-tenggelam merepihkan kesedihan yang paling


memilukan. Hidup sudah sedemikian penuh kesedihan kenapa pula mesti ditambah-tambahi
mendengarkan tangisan yang begitu menyedihkan sepanjang hari seperti itu?

”Ini sudah keterlaluan!” geram seorang warga. ”Bukannya saya melarang orang menangis,
tapi ya tahu diri dong. Masak nangis nggak berhenti-henti begitu.” Lalu kompak, warga
sepakat mengadu pada Pak RT.

”Kami harap Pak RT segera mencari siapa yang terus-menerus menangis begitu…”

”Lho, apa salahnya orang menangis. Kadang menangis kan ya perlu,” ujar Pak RT.

”Kalau nangisnya sebentar sih nggak papa. Kalau terus-terusan kan kami jadi terganggu.”

”Terus terang, kami juga jadi ikut-ikutan sedih karenanya.”

”Jadi kebawa pingin nangis…”

”Itu namanya mengganggu ketertiban!”

”Pokoknya orang itu harus segera diamankan!”

Tak ingin terjadi hal-hal yang makin meresahkan, Pak RT segera menghubungi Ketua RW,
karena barangkali yang terus-terusan menangis itu dari kampung sebelah. Seminggu lalu
memang ada warga kampung dekat pembuangan sampah yang mati gantung diri setelah
membunuh istri dan empat anaknya yang masih kecil. Mungkin roh orang itu masih
gentayangan dan terus-terusan menangis. Namun Ketua RW menjelaskan kalau suara tangis
itu memang terdengar di seluruh kampung.

”Warga seberang rel juga cerita, kalau mereka siang malam mendengar suara tangis itu,” kata
Ketua RW. ”Makanya, kalau sampai nanti malem suara tangis itu terus terdengar, saya mau
lapor Pak Lurah.”
***

Pada hari ke-3, suara tangis itu terdengar makin panjang dan menyedihkan. Tangisan itu
terdengar begitu dekat, tetapi ketika didatangi seakan berasal dari tempat yang jauh. Tangis
itu seperti air banjir yang meluber ke mana-mana. Orang-orang mendengar tangisan itu
makin lama makin sarat rintihan dan kepedihan. Tangisan yang mengingatkan siapa pun pada
kesedihan paling pedih dan tak terbahasakan. Siapakah dia yang terus-terusan menangis
penuh kesedihan seperti itu? Bila orang itu menangis karena penderitaan, pastilah itu karena
penderitaan yang benar-benar tak bisa lagi ditanggungnya kecuali dengan menangis terus-
menerus sepanjang hari.

Pada hari ke-17 seluruh kota sudah digelisahkan tangisan itu. Para Lurah segera melapor Pak
Camat. Tapi karena tak juga menemukan gerangan siapakah yang terus-terusan menangis,
Pak Camat pun segera melapor pada Walikota, yang rupanya juga sudah merasakan
kegelisahan warganya karena tangis yang terus-menerus terdengar sepanjang hari itu. Tangis
itu telah benar-benar mengganggu karena orang-orang jadi tak lagi nyaman. Tangis itu makin
terdengar ganjil ketika menyelusup di antara bising lalu-lintas. Tangis itu telah menjadi teror
yang menyebalkan. Radio dan koran-koran ramai memberitakan. Mencoba mencari tahu
siapakah yang terus- menerus menangis sepanjang hari, berhari-hari…

Orang-orang hanya bisa menduga dari manakah asal tangisan itu. Siapakah yang tahan terus-
terusan menangis seperti itu.

”Mungkin itu tangis pembantu yang disiksa majikannya…”

”Mungkin itu tangisan buruh yang baru terkena PHK.”

”Mungkin itu tangisan korban mutilasi…”

”Barangkali itu tangisan bocah yang mati disodomi dan mayatnya dibuang ke dasar kali dan
tak ditemukan sampai kini…”

”Barangkali itu tangisan pedagang kaki lima yang digusur dan tubuhnya tersiram air panas.”

”Atau bisa jadi itu tangisan kuntilanak…”

”Mungkin tangisan Suster Ngesot…”

Hingga hari ke-65 tangisan itu makin terdengar penuh kepedihan dan membuat Walikota
segera menghadap Gubernur. Ternyata Gubernur memang sudah mendengar tentang tangis
yang terdengar hingga ke seluruh provinsi. Tangisan itu bagai mengalir sepanjang jalan
sepanjang sungai sepanjang hari sepanjang malam, melintasi perbukitan kering, merayap di
hamparan sawah yang tergenang banjir dan terdengar gemanya yang panjang hingga ngarai
dan lembah yang kelabu sampai ke dusun-dusun paling jauh di pedalaman.
Tangis itu mengalun sayup-sayup bersama galau angin yang melintasi padang savana dan
teluk-teluk yang redup sampai ke pantai-pantai. Tangisan itu bagai mampu meredakan deru
ombak hingga laut terlihat bening dan datar berkilauan di bawah cahaya bulan yang
keperakan. Orang- orang termangu diluapi kesenduan setiap mendengar tangisan yang timbul
tenggelam itu. Para penyair menuliskan sajak-sajak perihal kesenduan dan kesedihan tangis
itu seakan-akan itulah tangisan paling menggetarkan yang pernah mereka dengar.

Pada hari ke-92 para menteri berkumpul membahas laporan para Gubernur perihal tangis
yang telah terdengar ke seluruh negeri. Tangis itu bahkan terdengar begitu memelas ketika
melintasi gang-gang becek di Ibu Kota. Terdengar terisak-isak serak bagai riak yang
mengapung di gemerlap cahaya lampu gedung- gedung menjulang hingga setiap orang yang
mendengar sekan diiris-iris kesedihan.

”Apakah kita mesti melaporkan hal ini pada Presiden?” kata seorang Menteri.

Menteri yang lain hanya diam.

***

Pada hari ke-100, tangis itu sampai juga ke kediaman Presiden yang asri dan megah. Tangis
itu menyelusup lewat celah jendela, dan membuat Presiden tergeragap dari kantuknya. Ia
menyangka itu tangis cucunya. Tadi sore anak dan menantunya memang mengajak cucu
pertamanya tidur di sini. Mungkin dia kehausan, batin Presiden, lalu bangkit menuju kamar
sebelah. Tapi cucunya yang mungil itu tampak lelap. Betapa pulas dan damai tidur cucunya
itu. Lalu siapa yang menangis? Seperti terdengar dari luar sana. Pelan Presiden membuka
jendela, tapi yang tampak hanya bayangan pagar yang baru direhab menghabiskan 22,5
Milyar.

Mendadak istrinya sudah di sampingnya.

”Ada apa?”

”Saya seperti mendengar suara tangis…”

”Siapa?”

”Entahlah…”

”Sudah, tidur saja. Besok kamu mesti pidato,” kata istrinya. ”Apa ya nanti kamu akan
mengeluh hanya karena mendengar tangis itu?”

Presiden hanya tersenyum. Tetap berusaha tampak anggun dan tenang. Lalu menutup jendela.

***
Sementara tangisan itu terus mengalun dan angin perlahan-lahan bagai susut. Segala suara
bagai meredup dan mengendap dalam gelap. Semesta terkesima dan seketika terdiam. Seekor
lelawa yang terbang melintas malam mendadak berhenti di udara. Sebutir embun yang
bergulir mendadak tergantung beku di ujung daun. Beberapa ekor kunang-kunang dengan
cahaya kuning yang redup pucat terlihat diam mengapung dalam dingin. Semesta begitu
hening. Tak ada suara selain tangis yang penuh kesedihan itu. Tangis yang terus mengalun
mengalir hingga galaksi-galaksi paling jauh.

Apakah kau dengar tangisan itu?

Jakarta, 2007-2010

Ditulis oleh tukang kliping

28 Maret 2010 pada 10:17

Ditulis dalam cerpen

Dikaitkatakan dengan Agus Noor

Balada Sang Putri di Gubuk Hamba

Senja warna kencana ketika putri jelita itu tiba di pesanggrahan


hamba. Tiga angsa seputih bunga kamboja mengiringinya.

Angsa-angsa ini tak mau kutinggal di puri. Selalu ingin


mengikutiku ke mana pergi,” ucapnya.

Harum cempaka merekah dari langsat kulitnya. Bibir tipisnya mirah delima. Angin cemburu
tak mampu mengurai hitam rambutnya. Hamba terpana pesona di hadapan hamba. Gerimis
merah muda mengurai cuaca di kesunyian pesanggrahan.

Hamba tuntun sang putri masuk gubuk. Langkahnya pasti menjejak lantai tanah. Mulus
betisnya memancarkan cahaya surgawi. Hamba menenteramkan riak-riak ombak di hati.

Sang putri duduk anggun di balai-balai bambu. Dia mengulum senyum. Seakan hendak
menerka rahasia dari lontar-lontar kusam masa silam, yang hamba susun rapi di peti tua
berukir bunga padma.

”Lautan dan topan sejatinya sepasang kekasih yang ingin menembangkan kidung-kidung
dewa di cangkang-cangkang kerang,” lirihnya.
Hamba merasa malu pada hati hamba, yang tiba-tiba mekar di jelita matanya. Buru-buru
hamba nyalakan pelita minyak kelapa. Malam telah membutakan jarak di pesanggrahan.

Remang cahaya pelita menggurat dua bayang di dinding kayu. Bayang yang saling termangu
merunut silsilah dan sejarah, yang mengasingkan kami sejauh tahun-tahun kepedihan,
sepanjang jarak dua belahan bumi.

”Angin apa kiranya yang membawamu ke sini, Putri? Hamba telah asingkan diri dari segala
kenangan meski parasmu masih membekas di hati. Cahaya apa menuntun langkahmu,
menyusuri jejak sunyi tak terperi, hingga tiba di gubuk hamba?”

Mata sekilau purnama menatap hamba tajam. Menembus remang ruang, remang jiwa. Bibir
seindah mirah membuka sabda: ”masih ingatkah kau pada sebilah daun lontar di mana
tertatah syair, yang kau gurat dari lubuk jiwamu?”

Hamba merasa darah hangat dari jantung yang berdegup malu, mengalir perlahan memenuhi
wajah hamba. Sudah lama sekali, belasan tahun lalu. Ketika usia kami masih ranum, begitu
hijau. Agaknya waktu telah membekukan syair itu di sebuah gua rahasia di hatinya.

”Meski bilah lontar itu telah kusam, tinta hitam dari kemiri dan jelaga hampir luntur, tapi
syair itu tak henti menitiskan rindu dan mengalir hangat di nadiku. Kini tiba saatnya bagiku
melunasi karma,” ucap Sang Putri.

Hamba terpana, menerka-nerka arah kerumunan kata yang berhamburan bagai kunang-
kunang dari bibir rekah yang dulu hamba rindui. Di luar gubuk, angsa-angsa bercengkerama
dengan malam, dengan halimun. Lengking suaranya melengkapi hening

”Jangan ragu. Aku tiba di sini untukmu. Aku akan berkisah. Dan hanya kau yang kupercayai
menggurat kisah-kisahku ini di bilah-bilah lontarmu. Karena kau pujangga istana di mana
dulu hatiku pernah bahagia….”

Hamba terkesiap, jiwa hamba berdesir, serupa angin subuh mengelus lembut kulit ari. Sudah
lama sekali hamba tak mampu menggurat syair. Tiba-tiba hamba terkenang, saat hamba
tinggalkan istana, diam-diam di tengah sunyi malam. Demi janji hamba pada keheningan dan
pengembaraan.

Pantai demi pantai hamba susuri. Gunung demi gunung menjulang hamba daki. Rimba demi
rimba rahasia hamba jelajahi. Lembah demi lembah misteri hamba hayati. Hingga tiba hamba
di pesisir timur ini.

Tak ada yang mengenali hamba. Kecuali sunyi, kawan sejati seperjalanan. Bukankah manusia
dilahirkan demi merayakan kesunyian? Dan ketika tiba saat kembali, jiwa menyusuri jalan
sunyi yang itu-itu juga….
Suatu waktu angin pegunungan mengabarkan warta. Putri jelita sangat bersedih hati tak
menemukan hamba di istana. Dia pun pergi membawa duka lara menyeberangi lautan
seorang diri, menetap di negeri asing, demi menemukan kesejatian.

Hamba memahami kesedihannya. Hamba terlanjur tergoda kesunyian. Lebih memilih


mengasingkan diri, ketimbang mendampingi sang putri melewati hari-harinya di puri. Hamba
merasa tak leluasa berada di istana, mengabdi pada raja.

Hamba hanya ingin kembali pada alam dan kaum jelata. Belajar bertani, memahami nyanyian
jengkrik dan kodok hijau. Berbaur dengan kuli, petani ladang garam dan nelayan. Mendengar
siul angin di pucuk-pucuk bambu. Belajar mengurai makna sabda cicak di dinding kayu.

”Tak perlu disesali. Waktu begitu jauh berpacu. Namun wajah dan hatimu masih seperti dulu.
Hanya beberapa helai uban tumbuh di sela-sela hitam rambutmu. Ketahuilah, kau masih
selalu pujanggaku.”

Hamba tak pernah tahu, apa wajah dan hati bisa tidak berubah. Hanya waktu yang abadi, dan
sekelumit rasa yang berupaya kekal dalam fana.

Remang jadi makin nyalang. Cahaya pelita bergoyang. Mengaburkan bayang-bayang. Angsa-
angsa sesekali melengking. Halimun melingkupi pesanggrahan. Dua ekor cicak di dinding
kayu sedari tadi menerka-nerka arah jiwa kami. Menerawang sesuatu yang makin sawang.

”Ketahuilah, pujanggaku. Aku bukan sejatinya putri istana. Aku hanya anak jadah. Meski
ayahku turunan raja, yang sungguh kasip kuketahui. Namun tak pernah kutahu rupa ibuku.
Sedari janin aku telah mencecap getir. Tangis pertamaku menyayat rahim ibu. Hatinya
memang telah lama luka. Tak diakui, malu dengan aib sendiri. Aku dibuangnya begitu saja,
seperti membilas daki di kelamin…,” keluh Sang Putri.

Hamba tercekat, sungguh terperanjat. Kata-kata berasa duri menyumbat kerongkongan. Nyeri
seperti mengalir di sumsum nadi. Hamba hanya mampu terdiam. Sang putri tak henti
berkeluh kesah.

Kisah miris ini makin meyakinkan hamba, betapa manusia sejatinya ditakdirkan mengalami
kesunyian dan kesepian. Hamba merasa sepasang cicak di dinding kayu sedari tadi tertawa.
Dan, lengking angsa menggenapi sunyi kami.

Letih dengan jiwa sendiri, sang putri terlelap di bale-bale bambu, tanpa kelambu. Di bilah-
bilah daun lontar hamba mulai menggurat syair. Di remang cahaya pelita, terbayang wajah
sang putri, sedang mengutuki dirinya….

(Karangasem, Bali, Januari 2010)

Ditulis oleh tukang kliping


21 Maret 2010 pada 08:38

Ditulis dalam cerpen

Dikaitkatakan dengan Wayan Sunarta

Bayi

Begitu pintu mobil terbuka, suara itu langsung menyergap telinga.


Dan itu aku katakan padamu.

Suara? Suara apa?” katamu sambil mengangkat kepala tinggi-


tinggi, mencoba menemukan suara yang kumaksud.

Aku berkeras, memaksamu mendengar, tapi sekali lagi kau bilang, kau tak dengar apa-apa.
Lalu kita masuk rumah. Menyalakan lampu. Mandi. Duduk di ruang tamu. Berhadapan.
Diam. Aku tetap mendengar suara itu. Melengking.

Kita duduk berhadapan. Kau membaca majalah berita setelah menyalakan radio–kau tak suka
televisi–di ruang tengah. Aku menikmati secangkir teh hangat. Suara itu, masih terdengar
juga. Tak enak di telinga. Aku bilang sekali lagi, suara itu semakin keras. Kau berhenti
membaca sebentar, memasang telinga, lalu menggeleng. ”Suara? Aku tak dengar apa-apa,”
katamu. Aku bangun dari sofa, mengecilkan radio. Kau dengar sekarang, tanyaku. Kau
memejamkan mata.

Sesaat kemudian kau bilang, ”Ya. Samar saja.” Lalu kau kembali membaca. Di telingaku,
suara itu semakin keras. Memekakkan telinga, menyakitkan kepala. Mungkin baiknya aku
tidur saja. Suara itu mengikuti.

Kau menyusul beberapa saat kemudian. Berbaring di sisiku. Napasmu hangat di telinga.
Setengah berbisik, aku katakan padamu: suara itu tak juga henti.

”Biarkan saja, nanti hilang juga,” kau menggumam, biarkan saja, nanti pasti hilang juga.

Suara itu makin keras. Seperti sangat kesakitan, kataku.

Kau menggumam lagi. Kau bilang, ”Sebentar lagi pasti berhenti.” Lalu napasmu mulai
teratur. Kau tertidur. Suara itu, masih terdengar.

***
Paginya, suara itu masih ada. Semakin keras. Kali ini, kau mengaku mendengarnya dengan
jelas, ”Suara bayi.”

Bayi yang masih sangat kecil, kataku. Aku khawatir, jangan-jangan ada yang tak beres
dengan bayi itu.

”Jangan terlalu mendramatisir.”

Aku bilang, ini bukan mendramatisir, tetapi rasanya sudah terlalu lama bayi itu menangis.
Aku khawatir.

”Mungkin dia sedang kurang enak badan. Ya, seperti kita juga, orang dewasa,” katamu.

Kalau begitu, harusnya dibawa ke dokter, lalu diberi obat, kataku. Sudah terlalu lama ia
menjerit-jerit begitu.

Kau membuang napas keras-keras, tak sabar, ”Bisa saja bayi itu sudah dibawa ke dokter,
sudah diberi obat. Tapi bayi itu terlalu manja. Minta digendong. Cengeng.”

Cengeng? Tak ada bayi cengeng, kecuali sedang sakit, kataku.

”Siapa bilang?”

Aku bilang, aku. Dari alismu yang mendadak naik, dari bentuk bibirmu yang melengkung ke
bawah, aku tahu kau tak setuju denganku.

Kau mengelak, ”Aku tak beranggapan begitu!”

Tetapi aku tahu. Aku merasakannya. Tanpa harus mengeluarkannya dari mulutmu aku tahu
apa yang di kepalamu. Kau mau bilang kalau aku tak tahu apa-apa soal bayi. Karena aku–
sampai hari ini–belum juga memberimu anak. Tak ada bayi yang datang, lalu bagaimana aku
bisa tahu tentang jenis tangisan bayi?

Kau menggeram. Mukamu memerah. Mukamu memerah. Kau cengkeram bahuku,


menyuruhku diam. Kau tahu: aku berkata benar.

***

Ketika kau pulang kemarin malam, aku bersiap tidur. Kau duduk di tepi ranjang.

”Aku masih mendengar tangisan bayi itu. Padahal malam sudah begini larut,” katamu. Aku
diam saja.

”Mungkin kau benar, ada apa-apa dengan bayi itu…”

Aku diam saja, membalikkan badan, memejamkan mata.


***

Pagi ini aku minta kau berangkat kerja sendiri. Aku tak ikut. Aku mau ke rumah bayi itu. Aku
akan ke apotik membeli bedak, minyak telon, … apa saja. Aku harus ke sana, kataku.

”Jangan!” katamu setengah berteriak.

Kenapa? Aku harus ke sana, lihat bayi itu. Pasti ada apa-apa dengannya. Jangan-jangan sakit
parah, terluka. Tangisannya itu mengisyaratkan dia sangat kesakitan, kataku. Aku tahu itu.
Kau menggelengkan kepala, dahimu berkerut. Kau tak setuju.

Sudah terlalu lama dia menjerit-jerit, kataku.

”Ya, tapi jangan sekarang. Nanti sore saja, sepulang kerja. Berdua kita berangkat
menjenguknya,” katamu.

Kita?

”Ya, sambil berkenalan. Sambil bawa makanan kecil buat ibunya. Sambil … apa sajalah.
Tapi kita berdua.”

Kenapa?

”Supaya si Ibu tak curiga kau mencari tahu soal bayinya.”

Aku ingin pergi sekarang. Tetapi mungkin kau benar, sebaiknya kita pergi bersama. Lalu kau
menambahkan akan pulang cepat sore nanti supaya tak terlalu malam bertandang ke rumah
bayi itu.

Baiklah.

***

Ternyata kau pulang sangat larut. Hampir tengah malam. Kau sengaja pulang lambat, aku
yakin itu. Selambat-lambatnya sampai kita tidak bisa bertamu ke rumah bayi itu. Kau
memang tak pernah berniat menemaniku menjenguk bayi itu. Kau memang tak ingin. Ajakan
pergi ke sana berdua sebenarnya hanya upayamu agar aku tak usah ke rumah itu. Aku tahu
itu.

”Tadi jalan macet sekali. Ban kena paku pula!” katamu.

Jalan macet sejak dahulu kala. Ban mobil kena paku? Oh, mengapa tak meledak saja
mobilmu?
Wajahmu merah padam. ”Aku lelah!” kau berteriak sambil bergegas masuk kamar, lalu
membanting pintu.

Lelah berbohong, aku balas berteriak.

Suara tangisan itu: masih juga terdengar. Memekakkan telinga. Menyakitkan kepala.

***

”Tangisan bayi itu benar-benar makin keras. Dia pasti kesakitan…,” katamu sambil
berpakaian, siap berangkat kerja. Aku tak menyahut.

Lalu kau tepuk bahuku, ”Aku yakin, ibu bayi itu pasti sudah membawanya ke dokter. Bahwa
ia masih tetap menangis, mungkin obatnya belum tepat. Tetapi sebentar lagi tangis itu pasti
berhenti.” Aku tetap diam.

***

Sore ini kau masuk rumah dengan tergesa. ”Aku sengaja pulang cepat, karena aku mau
mengantarmu ke rumah ibu bayi itu. Aku sudah janji, kan? Ayo!” katamu dengan sangat
semangat. Di tanganmu ada sekantong jeruk, di tangan yang lain ada kotak-kotak kecil
beraneka ukuran. ”Perlengkapan bayi!” katamu sambil tersenyum lebar dan
menyorongkannya padaku. Ada bedak, ada minyak telon, ada popok sekali pakai….

Tak usah, kataku.

”Ayolah, jangan begitu! Ganti baju, kita berangkat sekarang.”

Tak perlu lagi kita ke sana, kataku. Bayi itu sudah berhenti menangis. Kau tersenyum lega,
mengelus dada, menepuk bahuku, ”Ah, syukurlah!”

Lalu kusampaikan padamu, sepuluh menit lalu, sebelum kau pulang, Bu RT mengabari kalau
bayi kecil itu meninggal sebelum waktu sholat asar. Tubuhnya penuh lebam dan luka.
Dipukuli ibunya, yang sekarang sedang diinterogasi di kantor polisi.

Aku menuju dapur, meninggalkanmu.

Senyummu hilang.

Rawamangun, Februari 2010

Ditulis oleh tukang kliping

14 Maret 2010 pada 08:05


Ditulis dalam cerpen

Dikaitkatakan dengan Reda Gaudiamo

You might also like