You are on page 1of 56

MENGENAL DASAR-DASAR ILMU SASTRA

Penulis:
Wawan Setiawan

Kata Pengantar

Sastra merupakan bagian dari kebudayaan. Oleh karena itu, mempelajari sastra
merupakan bentuk penghargaan terhadap kebudayaan itu sendiri. Namun sastra seringkali
menjadi begitu asing bagi kita. Hal itu terutama disebabkan ketidaktahuan kita terhadap apa
sebenarnya sastra.
Buku ini mengajak kita sedikit mengetahui sastra yang paling mendasar. Pertanyaan
sederhana yang berusaha diurai-jawab pada buku ini adalah apakah sastra itu, apa saja
bentuk-bentuk sastra, dan bagaimana sastra pada masa lalu serta masa kini.
Secara garis besar buku ini membahas tiga jenis atau genre sastra yang utama, yaitu
puisi, prosa, dan drama. Selain itu, buku ini juga mencoba menguraikan perbedaan antara
sastra tulis yang biasa kita baca saat ini dan sastra lisan yang sebenarnya masih sering kita
saksikan dan kita dengar.
Penyusun sadar betul akan keterbatasan dan kekurangan penulisan buku ini. Oleh karena
itu kritik dan saran sangat diharapkan. Adapun sedikit materi yang terkandung di dalam buku
ini semoga menjadi manfaat bagi pembelajaran sastra.

Februari 2010,

Penyusun
BAB 1
PENGERTIAN SASTRA

A. Apa itu Sastra?


Sejak dulu definisi sastra selalu menjadi perbincangan yang hamper tidak
berkesudahan. Para ahli sastra sendiri tidak memberikan batasan yang jelas mengenai definisi
sastra. Namun demikian, berdasarkan fakta-fakta dan kecenderungan yang ada selama ini,
dapatlah dirangkum beberapa pengertian tentang apa itu sastra.

Secara sempit, sastra dapat diartikan sebagai seni yang berbentu karya tulis. Secara
harfiah, kata tersebut berasal dari kata bahasa latin (littera yang kemudian diserap pula
menjadi literature, yang artinya sesuatu yang tertulis). Pengertian ini jelas membatasi bahwa
sastra adalah karya seni yang berbentuk tulisan.

Pengertian tersebut agaknya terlalu sempit, apalagi jika kita mengingat keragaman
bangsa Indonesia yang sangat kuat dan kaya akan ragam tradisi lisan. Di antara tradisi lisan
itu, terutama ada bentuk-bentuk puisi rakyat, mantra, pantun, dongeng, mitos dan legenda
dapat pula dikategorikan sebagai sastra. Sebagai perluasanatas definisi sastra sebagai karya
seni yang tertulis muncullah istilah sastra lisan yang seakan-akan menjadi dunia sastra yang
terpisah dari budaya literer atau tertulis.

Istilah Bahasa Jerman “Wort kunst” dapat pula menjadi alternative dalam
mendefinisikan sastra. Secara harfiah, kata tersebut dapat diartikan sebagai karya seni yang
menggunakan kata-kata atau bahasa. Dengan demikian, pengertian ini dapat mencakup karya-
karya yang selama ini dianggap sastra, baik yang tertulis, maupun yang lisan/dilisankan atau
dituturkan.

Permasalahan yang muncul kemudian adalah bagaimana kita membedakan mana-


mana saja karya yang termasuk sastra dan mana-mana saja karya yang bukan
sastra/nonsastra. Untuk menjawab pertanyaan ini tidak hanya diperlukan dugaan-dugaan yang
tepat, akan tetapi diperlukan juga pengalaman dan penghayatan yang memadai terhadap
bentuk-bentuk karya yang kita temukan. Sebagai contoh sederhana adalah bagaimana kita
bisamembedakan buku novel dengan buku pelajaran sejarah atau geografi? Meskipun kita
mengetahui dengan jelas perbedaan kedua “karya” tersebut, namun terkadang kita sulit
memaparkan berbedaan di antara keduanya. Kita sering kesulitan menjelaskan perbedaan di
antara keduanya terutama jika lagi-lagi tersandung dengan batasan atau definisi.
Sebagai sedikit pemarkahan saja, sastra sering juga diartikan sebagai karya rekaan.
Artinya sastra adalah karya yang dihasilkan dengan sebuah perenungan/kontemplasi dan
diolah dengan diksi, ragam bahasa tertentu sehingga menimbulkan nilai rasa dan
subjektivitas. Supaya lebih jelas, perhatikan dua ragam teks di bawah ini.

Teks 1

Puncak Banjir Jakarta Bulan Januari 2010


Kamis, 19 November 2009 | 07:13 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia memprediksi
bencana banjir di Jakarta akan datang lebih cepat, yaitu Januari 2010. Dengan kondisi Proyek
Banjir Kanal Timur yang belum selesai, buruknya saluran drainase, masalah kerusakan di 13
aliran sungai, dan musim hujan yang mencapai puncaknya pada bulan itu, banjir diperkirakan
lebih besar dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
”Banjir diperkirakan makin besar karena berbarengan dengan datangnya banjir air
pasang laut atau rob. Banjir terus terjadi karena negara salah urus dalam mengelola sumber
daya dan penataan ruang,” kata Direktur Eksekutif Walhi Jakarta Ubaidillah, Rabu (18/11).
Walhi secara spesifik mengkritik kinerja Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Di bawah
kepemimpinan Fauzi Bowo, tidak juga ada kebijakan yang mampu mempercepat akselerasi
program penanggulangan banjir.
Banjir kian menghantui warga Jakarta, setelah Fauzi Bowo sendiri, Selasa,
mengingatkan warga yang tinggal di dekat Kali Pesanggrahan agar waspada.
Dengan banyak fakta yang mengkhawatirkan itu, Walhi mendesak pemerintah
bertindak cepat dan tepat. Walhi juga meminta masyarakat Jakarta kembali bersiap
menghadapi banjir.
Secara terpisah, Pemerintah Kota Jakarta Timur mengimbau pelaksana Proyek BKT
menjaga kebersihan jalan yang dilewati truk-truk proyek yang mengangkut tanah galian.
”Saya sudah menerima banyak keluhan warga tentang tanah yang berceceran di jalan itu,”
ujarnya. (NEL/WIN)
Teks 2

Banjir, Tangis Kotaku

Banjir lagi kotaku


Keriput kulitmu dihempas batu-batu
Disumbat serakahnya pembangunan

Meluap lagi lautku


Tak tertahan mengoyak pilar-pilar gedung tinggi
Mengeruk jalan-jalan penghidupan

Luber lagi sungaiku


Melibas gubuk-buguk liar
Merampas waktu bermain anak-anak jalanan

Bersiaplah rakyatku! Bersiaplah rakyatku!


Teriak para penguasa
Sedang banjir tak kunjung surut

Bersedia rakyatku! Bersedia rakyatku!


Teriak lagi para penguasa
Sedang sungai masih tersumbat

Setelah membaca kedua teks tersebut, cobalah membuat jawaban sendiri atas pertanyaan-
pertanyaan di bawah ini.

1. Apakah ada perbedaan teks 1 dengan teks 2?


2. Apa sajakah perbedaaan teks 1 dengan teks 2?

Menjawab pertanyaan nomor satu tentu saja mudah. Hanya ada dua kemungkinan jawaban,
yaitu ya, atau tidak. Tetapi kita dituntut untuk menjelaskan jawaban untuk pertanyaan yang
kedua.
Untuk menjawab pertanyaan yang kedua itu ada beberapa sudut pandang yang bias
kita amati, di antaranya sebagai berikut.

 Ragam bahasanya,
 Bentuk penulisannya,
 Alur penyajiannya,
 Nilai rasanya,
 Pesan yang disampaikannya, dan
 Tipografi penulisannya.

Nah, sekarang kamu dapat menyimpulkan sendiri perbedaan teks 1 dengan teks 2.
Jadi, cobalah simpulkan sendiri mana teks yang merupakan teks sastra, dan mana yang
bukan. Selanjutnya, simpulkan juga apa saja ciri-ciri atau karakterisitik dari teks sastra.

B. Sejak Kapan Sastra Ada?

Sejak kapan sastra itu ada? Mengingat bahan-bahan sastra adalah bahasa, maka pertanyaan
tersebut dapat dijawab dengan sederhana; “sastra itu ada sejak manusia mengenal dan
menggunakan bahasa”. Namun, dalam sejarah, kita sering kali dihadapkan pada pemisahan
antara karya yang biasa-biasa saja dan mudah dilupakan orang dan karya besar yang
fenomenal. Dalam kaitannya dengan sejarah sastra, maka karya yang fenomenal inilah yang
sering menjadi patokan dan menjadi catatan sejarah sastra.

Salah satu karya sastra yang dikenal adalah Epos Gilgames dari bangsa Sumeria,
Homer (dalam Iliad dan Odyssey), dan epos India Ramayana dan Mahabharata, yang
berkaitan dengan tema-tema kepahlawanan, persahabatan, kehilangan, dan pencarian hidup
yang kekal. Periode sejarah yang berbeda telah menekankan berbagai karakteristik sastra.
Karya sastra pada awalnya memiliki muatan ajaran, sejarah, dan pendidikan dan dibuat
dengan tujuan didaktik. Pada perkembangan selanjutnya, sastra dianggap lebih bermuatan
simbolis atau psikologis yang membentuk wawasan dalam penggambaran dan pengembangan
karakter.
BAB II
PUISI

A. Apa Itu Puisi?


Puisi adalah karya yang sejak dulu telah benar-benar dianggap sebagai karya sastra yang
sejati. Dibandingkan dengan prosa dan drama, puisi telah lebih dulu ada dan dianggap karya
sastra sesungguhnya. Sebagai pendahuluan, bacalah teks berjudul puisi di bawah ini.

Puisi
Karya Dodong Djiwapradja : 1968

Kun fayakun
saat penciptaan kedua adalah puisi
tertimba dari kehidupan yang kau tangisi

bumi yang kau diami, laut yang kau layari


adalah puisi

udara yang kauhirupi, air yang kauteguki


adalah puisi

kebun yang kautanami, bukit yang kaugunduli


adalah puisi

gubuk yang kauratapi, gedung yang kautinggali


adalah puisi

katakanlah: sajak

puisi adalah manisan


yang terbuat dari butir-butir kepahitan

puisi adalah gedung yang megah


yang terbuat dari butir hati yang gelisah.
(Laut Biru Langit Biru: 1977)

Dilihat dari sifatnya, puisi merupakan karya rekaan yang bersifat monolog. Artinya,
dalam puisi pada umumnya tidak ada bentuk-bentuk narasi seperti dialog antar tokoh,
pemaparan panjang seperti deskripsi dan narasi. Sementara itu, jika dilihat dari bentuknya,
puisi juga dapat dibedakan dengan karya lain terutama prosa. prosa biasanya dibangun oleh
paragraf-paragraf dan ujaran tokoh sedangkan puisi berbentuk bait-bait atau ayat.
Puisi sangat mengandalkan pencitraan, pilihan kata yang tepat, dan metafora. Puisi
pada umumnya mengungkap suatu ide atau gagasan umum dan luas dengan ungkapan yang
singkat dan simbolik. Di sisi lain, prosa biasanya mengungkapkan sebuah ide yang spesifik
dengan uraian yang panjang.

Ada kalanya puisi diubah bentuknya menjadi prosa. Pengubahan puisi menjadi prosa
sering disebut parafrase. Jadi,mengubah bentuk puisi ke dalam paragraf disebut juga
memparafrasekan puisi. Perhatikan contoh berikut.

teks 1: puisi

Situ Gintung
Ayat Rohaedi (1967)

Di danau ini
anak-anak alam
beterjunan
dan berkejaran
sepuas hati

di danau ini
gerak-gerak alam
berkejaran
dan bersahutan
seindah puisi

di danau ini
gema suara alam
bersahutan
dan bersalaman
dalam hatiku
(Laut Biru Langit Biru: 1977)

Perhatikan perbedaan puisi pada teks 1 dengan bentuk prosanya sebagai sebgau parafrase
pada teks 2 berikut ini.
Tek 2: Parafrase

Situ Gintung
Di danau ini, anak-anak yang tinggal di sekitarnya sering bermain, bekejaran di
pinggir danau. Kadang-kadang mereka terjun ke danau dan berenang bersama-sama.
Mereka merasa puas hati saat bermain di sana.
Di sekitar danau yang indah itu angin bertiup sepoi-sepoi. Pohon-pohon bergerak
dan daunnya bergerisik seindah puisi.
Keindahan alam di sekitar Situ Gintung ini selalu kuingat di dalam hati.

B. Jenis-Jenis Puisi
Menurut zamannya dan karakteristiknya, puisi dibedakan atas puisi lama dan puisi baru.

1. Puisi Lama

Ciri-ciri puisi lama:

 Merupakan puisi rakyat yang tak dikenal nama pengarangnya.


 Disampaikan lewat mulut ke mulut, jadi merupakan sastra lisan.
 Sangat terikat oleh aturan-aturan seperti jumlah baris tiap bait, jumlah suku kata
maupun rima.

Yang termasuk puisi lama adalah:

a. Mantra
Mantra adalah ucapan-ucapan yang dianggap memiliki kekuatan gaib. Mantra tidak
memiliki pola yang tetap, tetapi jika dilihat dari penggunaan bahasanya, mantra
sangat unik karena sering membawa simbol-simbol, ucapan dalam keagamaan dan
ditujukan untuk tujuan tertentu.
Ccontoh mantra:
Pengasihan
Assalammu’alaikum putri satulung besar
Yang beralun berilir simayang
Mari kecil, kemari
Aku menyanggul rambutmu
Aku membawa sadap gading
Akan membasuh mukamu

b. Pantun
Pantun adalah puisi yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
 bersajak a-b-a-b, tiap bait 4 baris,
 tiap baris terdiri dari 8-12 suku kata,
 2 baris awal sebagai sampiran, 2 baris berikutnya sebagai isi.
Contoh pantun:
1) pantun anak,
Lurus jalan ke Payakumbuh,
Kayu jati bertimbal jalan
Di mana hati tak kan rusuh,
Ibu mati bapak berjalan

2) muda-mudi,
Burung merbuk membuat sarang,
Anak enggang meniti di paya;
Tembaga buruk di mata orang,
Intan berkarang di hati saya.

3) agama/nasihat,
Letak bunga di atas dulang,
Sisipkan daun hiasan tepinya;
Banyak berdoa selepas sembahyang,
Mohon diampun dosa di dunia.

4) teka-teki, jenaka.
Orang Rengat menanam betik,
Betik disiram air berlinang;
Hilang semangat penghulu itik,
Melihat ayam lomba berenang

c. Karmina
Karmina disebt juga pantun kilat. Bentuknya seperti pantun tetapi pendek. Karmina
hanya terdiri atas dua baris, baris pertama merupakan sampiran, dan baris kedua
merupakan isi.
Contoh karmina:
Dahulu parang, sekarang besi
Dahulu sayang sekarang benci
d. Gurindam
Guurindam adalah puisi yang terdiri ata 2 baris dalamsatu bait. Gurindam bersajak a-a
dan berisi nasihat.
Contoh gurindam:
Kurang pikir kurang siasat
Tentu dirimu akan tersesat

Barang siapa tinggalkan sembahyang


Bagai rumah tiada bertiang

Jika suami tiada berhati lurus


Istri pun kelak menjadi kurus

e. Syair
Syair adalah puisi yang bersumber dari Arab dengan ciri tiap bait 4 baris, bersajak a-
a-a-a, berisi nasihat atau cerita. Syair tidak sama dengan pantun karena semua baris
dalam syair adalah isi karena syair tidak memiliki sampiran.
Contoh syair:
Pada zaman dahulu kala
Tersebutlah sebuah cerita
Sebuah negeri yang aman sentosa
Dipimpin sang raja nan bijaksana

f. Talibun
Talibun adalah pantun genap yang tiap bait terdiri dari 6, 8, ataupun 10 baris.
Ciri-ciri talibun adalah sebagai berikut.
Jumlah barisnya lebih dari empat baris, tetapi harus genap misalnya 6, 8, 10 dan
seterusnya.
 Jika satu bait berisi enam baris, susunannya tiga sampiran dan tiga isi.
 Jika satu bait berisi delapan baris, susunannya empat sampiran dan empat isi.
 Apabila enam baris sajaknya a – b – c – a – b – c.
 Jika terdiri dari delapan baris, sajaknya a – b – c – d – a – b – c – d.
Contoh talibun

Kalau anak pergi ke pekan


Yu beli belanak pun beli sampiran
Ikan panjang beli dahulu
Kalau anak pergi berjalan
Ibu cari sanak pun cari isi
Induk semang cari dahulu

2. Puisi Baru

Puisi baru bentuknya lebih bebas daripada puisi lama, baik dalam segi jumlah baris, suku
kata, maupun rima. Menurut isinya, puisi baru dibedakan atas:

a. Balada adalah puisi berisi kisah/cerita.


Balada Terbunuhnya Atmo Karpo
WS. Rendra

Dengan kuku-kuku besi kuda menebah perut bumi


bulan berkhianat gosok-gosokkan tubuhnya
di pucuk-pucuk para
mengepit kuat-kuat lutut penungang perampok
yang diburu
surai bau keringat basah, jenawi pun telanjang

Segenap warga desa mengepung hutan tu


dalam satu pusaran pulang balik Atmo Karpo
mengutuki bulan betina dan nasibnya yang malang
berpancaran bunga api, anak panah di bahu kiri.

Satu demi satu yang maju tersadap darahnya


penunggang baja dan kuda mengangkat kaki muka

- Nyawamu baran pasar, hai orang-orang bebal!


Tombakmu pucuk daun dan matiku jauh orang papa

Majulah Joko Pandan! Di mana ia?


Majulah ia kerna padanya seorang kukandung dosa

Anak panah empat arah dan musuh tiga silang


Atmo Karpo masih tegak, luka tujuh liang

- Joko Pandan! Di mana ia?


Hanya padanya seorang kukandung dosa.

Bedah perutnya tapi masih setan ia!


menggertak kuda, di tiap ayun menungging kepala

- Joko Pandan! Di mana ia?


Hanya padanya seorang kukandung dosa.

Berberita ringkik kuda muncullah Joko Pandan


segala menyibak bagi derapnya kuda hitam
ridla dada bagi derunya dendam yang tiba

Pada langkah pertama keduanya sama baja


Pada langkah ketiga rubuhlah Atmo Karpo
Panas luka-luka, terbuka daging kelopak-kelopak angsoka

Malam bagai kedok hutan bopeng oleh luka


pesta bulan, sorak-sorai, anggur darah.

Joko Pandan menegak, menjilat darah di pedang


Ia telah membunuh bapanya.

b. Himne adalah puisi pujaan untuk Tuhan, tanah air, atau pahlawan.
Himne Guru
Sartono

Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru


Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
S’bagai prasasti trima kasihku tuk pengabdianmu

Engkau sebagai pelita dalam kegelapan


Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa

c. Ode adalah puisi sanjungan untuk orang yang berjasa.


ODA BAGI SEORANG SUPIR TRUK

Sebuah truk lama


Dengan supir bersahaja
Telah beruban dan agak bungkuk
Di atas stimya tertidur
Di tepi jalan yang sepi
Di suatu senja musim ini

Dalam tidumya ia bermimpi


Jalanan telah rata. Ditempuhnya
Dengan sebuah truk baru
Dengan klakson yang bisa berlagu
Dan di sepanjang jalanan
Beribu anak-anak demonstran
Tersenyum padanya, mengelu-elukan
“Hiduplah bapak supir yang tua
Yang dulu berjuang bersama kami
Selama demonstrasi!”

Di tepi sebuah jalan di ibukota


Ketika udara panas, di suatu senja
Seorang supir lusuh dengan truk yang tua
Duduk sendiri terkantuk-kantuk Semakin letih, semakin bungkuk.

(Taufik Ismail: 1966)

d. Romansa adalah puisi yang berisi luapan perasaan cinta kasih.


Perempuan Yang Mengagumi Angin

Tiw_

Saat kau merindukan angin


Mungkin dia telah melupakan wajahmu
Tapi tunggulah dia di pagi hari
Saat kau terbangun dari mimpi
Hanya ada dia di sisimu
Membisikan lirik-lirik puisi
Seakan kau terlahir kembali
Di dunia yang berbeda

Dan jika kau cepat-cepat membuka mata


Dia segera dapat kaulihat
berjalan menuju cahaya
lalu membukakan jendela kamarmu
ditunjukkannya luas dunia
dihidangkannya sepotong pagi
untukmu yang telah lama tidur sendiri

Lekas berjalan menuju cahaya


Dan kau bisa merengkuhnya
Peluk dan jangan kau lepas
Jika kau mau memilikinya
Dan dia akan menyibak daun-daun
Yang lekat di rambutmu
(W.Setiawan: 2009)

e. Elegi adalah puisi yang berisi ratap tangis/kesedihan.


Kepergianmu
Karya Ida at DeKalb
Air matamu mengiris hatiku halus
kuusapkan telapak tanganku ke wajahmu yang pucat
terlihat ketakutan kehilangan akan nafasmu
nafasmu yang mengalir dalam nafasku

Kubelai rambutmu dengan kelembutan angin malam


terasa getaran menyatu diujung jari-jari
tak kuasa menahan gejolak kasih
limpahan nuansa kejora malam yang tak bertepi

Tak akan kutinggalkan hatimu yang manangis pilu


telah terpatri janji pada kedalaman nurani
akan ikut menyatu kegalauan kasih dalam derita
meski kekuatan malam hendak meragas
http://www.seasite.niu.edu/Indonesian/Puisi

f. Satire adalah puisi yang berisi sindiran/kritik.


KALIAN CETAK KAMI JADI BANGSA PENGEMIS,
LALU KALIAN PAKSA KAMI
MASUK MASA PENJAJAHAN BARU,
Kata Si Toni

Kami generasi yang sangat kurang rasa percaya diri


Gara-gara pewarisan nilai, sangat dipaksa-tekankan
Kalian bersengaja menjerumuskan kami-kami
Sejak lahir sampai dewasa ini
Jadi sangat tepergantung pada budaya
Meminjam uang ke mancanegara
Sudah satu keturunan jangka waktunya
Hutang selalu dibayar dengan hutang baru pula
Lubang itu digali lubang itu juga ditimbuni
Lubang itu, alamak, kok makin besar jadi
Kalian paksa-tekankan budaya berhutang ini
Sehingga apa bedanya dengan mengemis lagi
Karena rendah diri pada bangsa-bangsa dunia
Kita gadaikan sikap bersahaja kita
Karena malu dianggap bangsa miskin tak berharta
Kita pinjam uang mereka membeli benda mereka
Harta kita mahal tak terkira, harga diri kita
Digantung di etalase kantor Pegadaian Dunia
Menekur terbungkuk kita berikan kepala kita bersama
Kepada Amerika, Jepang, Eropa dan Australia
Mereka negara multi-kolonialis dengan elegansi ekonomi
Dan ramai-ramailah mereka pesta kenduri
Sambil kepala kita dimakan begini
Kita diajarinya pula tata negara dan ilmu budi pekerti
Dalam upacara masuk masa penjajahan lagi
Penjajahnya banyak gerakannya penuh harmoni
Mereka mengerkah kepala kita bersama-sama
Menggigit dan mengunyah teratur berirama
Sedih, sedih, tak terasa jadi bangsa merdeka lagi
Dicengkeram kuku negara multi-kolonialis ini
Bagai ikan kekurangan air dan zat asam
Beratus juta kita menggelepar menggelinjang
Kita terperangkap terjaring di jala raksasa hutang
Kita menjebakkan diri ke dalam krangkeng budaya
Meminjam kepeng ke mancanegara
Dari membuat peniti dua senti
Sampai membangun kilang gas bumi
Dibenarkan serangkai teori penuh sofistikasi
Kalian memberi contoh hidup boros berasas gengsi
Dan fanatisme mengimpor barang luar negeri
Gaya hidup imitasi, hedonistis dan materialistis
Kalian cetak kami jadi Bangsa Pengemis
Ketika menadahkan tangan serasa menjual jiwa
Tertancap dalam berbekas, selepas tiga dasawarsa
Jadilah kami generasi sangat kurang rasa percaya
Pada kekuatan diri sendiri dan kayanya sumber alami
Kalian lah yang membuat kami jadi begini
Sepatutnya kalian kami giring ke lapangan sepi
Lalu tiga puluh ribu kali, kami cambuk dengan puisi ini

(Taufik Ismail: 1998)

C. Unsur-Unsur Intrinsik Puisi

1. Tema ide atau gagasan yang menduduki tempat utama di dalam puisi.
2. Rasa : arti emosional (sedih, atau merasa heran dsb).
3. Nada : Intonasi puisi (suara keras atau lembut) ; penyair dapat menggurui, mencaci,
merayu, merengek, menyindir, mengajak dsb terhadap pembaca atau pendengar.
4. Amanat
5. Diksi
6. Imajinasi
a. Imajeri pandang
b. Imajeri dengar
c. Imajeri rasa
d. Imajeri kecap
7. Kata-kata kongkret
8. Gaya bahasa
9. Ritme
10. Rima
BAB III
PROSA

1. Apa itu Prosa?


Kata prosa berasal dari bahasa Latin "prosa" yang artinya "terus terang". Prosa adalah
suatu jenis tulisan yang dibedakan dengan puisi karena variasi ritme (rhythm) yang
dimilikinya lebih besar, serta bahasanya yang lebih sesuai dengan arti leksikalnya. Jenis
tulisan prosa biasanya digunakan untuk mendeskripsikan suatu fakta atau ide. Karenanya,
prosa dapat digunakan untuk surat kabar, majalah, novel, ensiklopedia, surat, serta berbagai
jenis media lainnya.
Prosa biasanya dibagi menjadi empat jenis: prosa naratif, prosa deskriptif, prosa
eksposisi, dan prosa argumentatif. Dalam kaitannya dengan karya sastra, prosa yang lebih
tepat adalah prosa naratif. Prosa naratif yang umum kita temui adalah cerpen dan novel.
Dilihat dari beberapa aspek seperti unsure-unsur dan bentuknya, cerpen dan novel memiliki
kesamaan. Namun deikian kita juga dapat membedakan cerpen dan novel tersebut dari
intensitas dan hal-hal lainnya. Tabel berikut ini menjelaskan perbedaan antara cerpen dan
novel.
No Unsur Cerpen Novel
1 Alur Sederhana Kompleks
2 Konflik Tidak selalu terjadi konflik Terjadinya konflik batin
batin, dan tidak selalu hingga menimbulkan
mengubah nasib tokoh perubahan nasib
3 Panjang cerita Menceritakan kehidupan Menceritakan sebagian besar
tokoh yang dianggap penting kehidupan tokoh
4 Tokoh Lebih Sedikit Lebih banyak, kompleks
5 Penokohan Karakter tokoh tidak Karakter tokoh disampaikan
mendetail. secara mendetail.
6 Alur Lebih sederhana, lebih sedikit Lebih panjang dan rumit,
terjadi beberapa insiden yang
mempengaruhi jalan cerita
7 Ketebalan teks Biasanya 2-30 halaman Kurang lebih 80-900 halaman
8 Waktu pembacaan 5-30 menit, biasanya dapat Minimal 30 menit sampai
diselesaikan dibaca dengan berhari-hari pada pembacaan
sekali duduk saja. kontinyu

2. Unsur-Unsur Intrinsik Prosa


Yang dimaksud unsur-unsur intrinsik dalam sebuah karya prosa adalah unsur-unsur
pembangun karya sastra yang dapat ditemukan di dalam teks karya itu sendiri. Untuk karya
sastra dalam bentuk prosa, unsur-unsur intrinsiknya ada tujuh: 1) tema, 2) amanat, 3) tokoh,
4) alur (plot), 5) latar (setting), 6) sudut pandang, dan 7) gaya bahasa.

a. Tema

Gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra disebut tema. Tema
adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita, sesuatu yang menjiwai cerita, atau sesuatu yang
menjadi pokok masalah dalam cerita.

Tema merupakan jiwa dari seluruh bagian cerita. Karena itu, tema menjadi dasar
pengembangan seluruh cerita. Tema dalam banyak hal bersifat ”mengikat” kehadiran atau
ketidakhadiran peristiwa, konflik serta situasi tertentu, termasuk pula berbagai unsur intrinsik
yang lain.

Tema ada yang dinyatakan secara eksplisit (disebutkan) dan ada pula yang dinyatakan secara
implisit (tanpa disebutkan tetapi dipahami).

Dalam menentukan tema, pengarang dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: minat
pribadi, selera pembaca, dan keinginan penerbit atau penguasa.

Dalam sebuah karya sastra, disamping ada tema sentral, seringkali ada pula tema sampingan.
Tema sentral adalah tema yang menjadi pusat seluruh rangkaian peristiwa dalam cerita.
Adapun tema sampingan adalah tema-tema lain yang mengiringi tema sentral.

b. Amanat

Amanat adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui
karyanya. Sebagaimana tema, amanat dapat disampaikan secara implisit yaitu dengan cara
memberikan ajaran moral atau pesan dalam tingkah laku atau peristiwa yang terjadi pada
tokoh menjelang cerita berakhir, dan dapat pula disampaikan secara eksplisit yaitu dengan
penyampaian seruan, saran, peringatan, nasehat, anjuran, atau larangan yang berhubungan
dengan gagasan utama cerita.

c. Tokoh dan Penokohan

Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu
mampu menjalin suatu cerita, sedangkan penokohan adalah cara menampilkan tokoh atau
pelaku dalam cerita (Aminuddin, 1995:79). Mengenai penokohan, menurut Wellek dan
Warren (diterjemahkan oleh Melani Budianta, 1990: 288), ada penokohan statis dan ada
penokohan dinamis atau penokohan berkembang.

Tokoh dapat dibedakan menjadi dua yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh
sentral atau sering disebut juga tokoh utama adalah tokoh yang banyak mengalami peristiwa
dalam cerita. Sedangkan tokoh bawahan atau disebut juga tikoh pembantu atau figuran
memiliki porsi pencreitaan yang lebih sedikit.

Tokoh juga dapat dibedakan berdasarkan karakter atau pennokohannya dalam cerita.
Berdasarkan karakternya, tokoh dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

 Tokoh protagonis, yaitu tokoh yang membawakan perwatakan positif atau


menyampaikan nilai-nilai positif.
 Tokoh antagonis, yaitu tokoh yang membawakan perwatakan yang bertentangan
dengan protagonis atau menyampaikan nilai-nilai negatif.

Penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh. Ada dua metode
penyajian watak tokoh, yaitu:

 Metode analitis/langsung/diskursif, yaitu penyajian watak tokoh dengan cara


memaparkan watak tokoh secara langsung.
 Metode dramatik/tak langsung/ragaan, yaitu penyajian watak tokoh melalui
pemikiran, percakapan, dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang. Bahkan dapat
pula dari penampilan fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau tempat tokoh.

Adapun menurut Jakob Sumardjo dan Saini KM, ada lima cara menyajikan watak tokoh,
yaitu:
 Melalui apa yang diperbuatnya, tindakan-tindakannya, terutama bagaimana ia
bersikap dalam situasi kritis.
 Melalui ucapana-ucapannya. Dari ucapan kita dapat mengetahui apakah tokoh
tersebut orang tua, orang berpendidikan, wanita atau pria, kasar atau halus.
 Melalui penggambaran fisik tokoh.
 Melalui pikiran-pikirannya
 Melalui penerangan langsung

d. Alur (Plot)

Alur atau plot merupakan urutan yang temporal dan logis sebagai implikasi atau biasa
disebut kausalitas (Todorov, 1985: 41). Menurut Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2000: 113),
alur adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan
secara sebab-akibat. Peristiwa yang satu menyebabkan atau disebabkan peristiwa yang lain.
Sedangkan pengaluran merupakan kegiatan pengembangan alur supaya indah dan menarik.

Adapun struktur alur adalah sebagai berikut:

 Bagian awal, terdiri atas: 1) paparan (exposition), 2) rangsangan (inciting moment),


dan 3) gawatan (rising action).
 Bagian tengah, terdiri atas: 4) tikaian (conflict), 5) rumitan (complication), dan 6)
klimaks.
 Bagian akhir, terdiri atas: 7) leraian (falling action), dan 8- selesaian (denouement).

e. Latar (setting)

Latar menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial
tempat peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2000: 216).
Oleh karena itu, unsur latar terdiri atas unsur tempat atau lokasi, waktu, dan latar sosial.

 Latar tempat, mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam
sebuah karya fiksi.
 Latar waktu, berhubungan dengan masalah ‘kapan’ terjadinya peristiwa-peristiwa
yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
 Latar sosial, mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku sosial
masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Latar sosial bisa
mencakup kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara
berpikir dan bersikap, serta status sosial.

f. Sudut pandang (point of view)

Sudut pandang adalah cara memandang dan menghadirkan tokoh-tokoh cerita dengan
menempatkan dirinya pada posisi tertentu. Dalam hal ini, ada dua macam sudut pandang
yang bisa dipakai:

1) Sudut pandang orang pertama (first person point of view)

Dalam pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang orang pertama, ‘aku’,
narator adalah seseorang yang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si ‘aku’ tokoh yang
berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, mengisahkan peristiwa atau
tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami dan dirasakan, serta sikapnya
terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca. Jadi, pembaca hanya dapat melihat dan
merasakan secara terbatas seperti yang dilihat dan dirasakan tokoh si ‘aku’ tersebut.

2) Sudut pandang orang ketiga (third person point of view)

Dalam cerita yang menpergunakan sudut pandang orang ketiga, ‘dia’, narator adalah
seorang yang berada di luar cerita, yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan
menyebut nama, atau kata gantinya: ia, dia, mereka. Nama-nama tokoh cerita,
khususnya yang utama, kerap atau terus menerus disebut, dan sebagai variasi
dipergunakan kata ganti.

g. Gaya bahasa

Gaya bahasa adalah teknik pengolahan bahasa oleh pengarang dalam upaya
menghasilkan karya sastra yang hidup dan indah. Pengolahan bahasa harus didukung oleh
diksi (pemilihan kata) yang tepat. Namun, diksi bukanlah satu-satunya hal yang membentuk
gaya bahasa.
Gaya bahasa merupakan cara pengungkapan yang khas bagi setiap pengarang. Gaya
seorang pengarang tidak akan sama apabila dibandingkan dengan gaya pengarang lainnya,
karena pengarang tertentu selalu menyajikan hal-hal yang berhubungan erat dengan selera
pribadinya dan kepekaannya terhadap segala sesuatu yang ada di sekitamya.

Gaya bahasa dapat menciptakan suasana yang berbeda-beda: berterus terang, satiris,
simpatik, menjengkelkan, emosional, dan sebagainya. Bahasa dapat menciptakan suasana
yang tepat bagi adegan seram, adegan cinta, adegan peperangan dan lain-lain.

3. Analisis Unsur Intrinsik Prosa (Cerpen)

Sebenarnya, menganalisis Unsur intrinsic prosa, baik cerpen maupun novel pada prinsipnya
sama saja. Yang membedakannya adalah tingkat kerumitan ataupin kompleksitasnya.
Menganalisis Novel tentu lebih rumit daripada menganalisis cerpen. Oleh karena itu, dalam
analisis karya sastra berbentuk prosa berikut ini disajikan sebuah cerpen saja. Bacalah contoh
di bawah ini.

MAKAM DI BAWAH KEMBANG KERTAS

Oleh: W.Setiawan

Dulu, aku sering bermain ke bukit di balakang rumah, menyusuri deretan


pohon cemara, menghirup uap embun yang menggeliat dari pucuk-pucuk daunan teh.
Dari puncak bukit itu dapat kulihat lekuk-lekuk lembah dan punggung perbukitan
memantulkan hijau perkebunan teh. Aku juga suka mengamati lekuk-lekuk pokok teh
yang entah berapa puluh atau ratus tahun usianya. Kakekku pernah bercerita, pokok-
pokok teh itu telah ada sejak zaman Belanda. Memang, tanah kelahiranku dulunya
afdelling sebuah perkebunan yang mutunya bagus.

Kakek juga pernah bercerita tentang segala hal peninggalan Belanda yang
dulunya ada di sini. Di tegalan yang kini ditanami singkong dan ubi oleh orang-orang
dulunya lapangan tenis, pilar-pilar yang berserakan itu adalah bekas gedung seorang
Belanda petinggi perkebunan, dan di atas tanah berbatu yang tak jelas milik siapa itu
dulunya berderet gedung-gedung yang isinya nona-nona berambut pirang. Ceritanya,
di halaman gedung itu biasa berlalu-lalang binatang hutan seperti rusa, menjangan
dan kelinci. Tuan-tuan Belanda itu memberi mereka makan setiap hari. Singkatnya,
tanah ini dulu begitu asri, indah, dan damai.

Tapi itu semua dulu, zaman Belanda. Sekarang suasananya telah berganti
menjadi wajah perkampungan yang tak teratur. Tidak ada lagi pohon cemara yang
berderet di pinggir jalan. Perkebunan pun tampak kusam, banyak pokok teh yang
sengaja ditebang untuk kayu bakar, tanahnya ditanami palawija. Demikian juga
gedung-gedung yang megah berdiri, kini tinggal tanah berpasir dan batu dengan
beberapa sisa pilar yang berserakan. Apalagi binatang-binatang yang dulu sering
berlalu-lalang di halaman, kini entah di mana, karena di hutan pun tak mudah
ditemui. Perkebunan telah bangkrut sejak enam tahun lalu. Sejak itu masyarakat
mengambil alih perkebunan yang terlantar. Sementara gedung-gedung yang berdiri
kokoh itu akhirnya rubuh setelah bagian demi bagian dipreteli oleh warga.

Sebenarnya masih ada dua sisa kejayaan perkebunan Belanda yang masih
berdiri. Satu jembatan di pinggir desa, dan satunya lagi sebentuk makam yang
dinaungi pohon kembang kertas merah muda. Bila gedung-gedung dirubuhkan
dengan alasan dianggap menjadi rumah hantu karena terpencil dan tidak berpenghuni,
maka jembatan itu sengaja dibiarkan karena memang masih dibutuhkan untuk
transportasi warga. Sedangkan makam di bawah kembang kertas itu tidak pernah
diganggu karena dianggap terlalu angker sehingga tidak ada warga yang berani
mengganggu.

Tentang makam itu kakek juga pernah bercerita. Katanya yang dikuburkan di
sana sebenarnya adalah dua orang gadis Belanda yang meningal sekitar tahun 20-an.
Di atasnya dipajang dua patung anak perempuan dari marmer kira-kira setinggi 50
cm. Kemudian di sisinya ditanamkan sebatang kembang kertas yang kini sulur-
sulurnya telah menjalar ke segala arah. Jadilah makam itu teduh dan lembab,
sehingga makam jadi berlumut, tidak bertuan, dan tidak terawat.

***

Tidak biasa orang itu bertandang ke rumah kakek. Bewok namanya. Ia


dikenal sebagai orang pintar. Selain tubuhnya yang tinggi besar, ia juga tampak seram
dengan kumis dan jenggot tebal serta jambang yang dibiarkan berjuntai di pipinya.
Selain penampilannya yang sesuai dengan namanya, ia juga dianggap memiliki
kekuatan supranatural, yaitu bisa berkomunikasi dengan mahluk gaib. Sebagian orang
memercayai kekuatan yang dimilikinya, namun banyak pula yang menganggapnya
sebagai pembohong belaka.
“Ada apa Jang? tak biasanya Ujang Bewok datang ke sini.” Tanya kakek
setelah beberapa saat berbasa-basi.

“Begini Kek, saya ingin tahu cerita tentang makam di kembang kertas itu,
Kek. Singkatnya, saya mau membandingkan temuan saya tentang makam itu denga
Kakek yang tahu sejarah zaman dulu.” Katanya.

“Ah, saya tidak tahu apa-apa, lagi pula sudah tua begini mah sudah banyak
lupa. Memangnya, Ujang Bewok teh punya temuan apa?” Kakek merendah.

“Begini, saya sudah tiga kali didatangi penunggu makam itu dalam mimpi.
Terakhir dia menunjukkan pada saya bahwa di sana dikuburkan harta. Harta karun,
Kek. yang saya lihat adalah sebuah peti yang penuh dengan perhiasan dan uang emas.
Nah, saya ke sini untuk meyakinkan, apakah benar dulu di sana ada peti yang
dikuburkan?” Bewok menjelaskan.

“Setahu kakek tidak ada apa-apa. Hanya dua mayat gadis kembar yang
dimakamkan di sana. Kakek yakin, karena kakek ikut menggali tanah dan
memakamkannya.” Kakek meyakinkan.

“Mengenai patungnya? Itu marmer, bukan?” Bewok semakin mendesak


dengan pertanyaan.

“Itu juga kakek kurang tahu, kakek tidak bisa membedakan yang mana
marmer, dan mana batu biasa, memangnya kenapa juga dengan patung itu?” Kakek
mulai curiga.

“Tidak, Kek. Tidak ada apa-apa.”

Begitulah pertemuan Kakek dengan Bewok. Aku mendengarkan dengan


seksama obrolan mereka. Sebenarnya, aku curiga ada rencana yang disembunyikan
oleh Bewok tentang makam itu. Namun setelah kecurigaan itu kuungkapkan pada
kakek, ia justru menasehatiku, “tak baik berprasangka buruk pada orang lain”,
katanya.

***

Malam itu sepi, benar-benar sepi. Tak ada riuh orang lewat meronda. Ronda
hanya ada setelah ada beberapa kali rumah warga dibobol maling. Tak ada juga suara
orang yang mengaji di surau, pengajian hanya ada malam Jum’at. Tak ada suara
anak-anak muda bermain gitar dalam tongkrongan di warung Bi Yati. Warung itu
sudah tutup sejak dua bulan yang lalu. Tak ada modal. Sedangkan warga yang lain
mungkin sudah terlelap dalam kelelahan setelah seharian kerja di ladang orang. Ya,
mereka bekerja untuk orang lain, pendatang yang punya modal. Sementara orang desa
yang asli sejak dulu hanya menjadi kuli. Bedanya, zaman belanda mereka bekerja
dengan menghasilkan sedikit gaji bulanan dan rumah bedeng. Gaji itu mereka
gunakan untuk makan sehari-hari, dan kalau sedikit menabung dapat beli baju
setahun sekali. Di bedeng mereka sekeluarga lengkap berteduh sepanjang usia.
Sementara sekarang mereka mendapat sedikit upah yang tak pasti. Rumah mereka
pun tak jauh beda dengan bedeng zaman perkebunan. Di rumahnya sekarang mereka
berteduh, namun tidak utuh. Anak-anak mereka pergi ke kota. Anak-anak perempuan
menjadi pembantu rumah tangga, dan anak-anak laki-lakinya menjadi kuli bangunan.
Jadi, apa yang beda?

Dalam lindap sunyi tengah malam aku masih terjaga. Pikiranku gelisah tak
menentu, mata terpejam tapi hati benakku terus meracau tentang sesuatu yang tak
jelas apa isinya. Tapi aku terlalu malas untuk mengenyahkan badan dari tempat tidur,
lagipula malam terlalu sunyi untuk dinikmati. Tiba-tiba kudengar lamat-lamat suara
mobil yang lewat. Rumahku hanya sekira 40 meter dari jalan desa yang tak beraspal
itu, jadi meski ada mobil yang berjalan pelan, aku masih bisa mendengarnya. Siapa
malam-malam begini lewat desaku? Tapi pikirku hanya sampai di situ. Tak ada
prasangka apa-apa. Lagipula terlalu banyak kemungkinan positif tentang mobil yang
lewat di malam hari. Ah sudahlah. Yang pasti perjuanganku untuk memetik bunga
tidur hampir kesampaian. Kantuk sudah datang.

Berkas-berkas sinar matahari baru muncul di balik perbukitan. Awan putih


masih menguning pada pagi yang ranum. Masih sedikit malas aku terbangun, buka
jendela, lemparkan selimut ke sudut kasur, lalu aku beranjak ke pancuran di belakang
rumah. Empang belakang rumah tampak menguapkan udara dingin. Aku ragu-ragu
menyentuh air yang jatuh dari sebatang bambu tua. Namun sebelum tanganku
menyentuh dinginnya air, aku dikejutkan oleh suara derap langkah yang tergesa.
Beberapa orang desa setengah berlari menuju sesuatu.

“Wooi, ada apa? Kenapa terburu-buru seperti itu?” aku berteriak pada
Usman, Amran, Agus dan Dade yang kulihat ikut dalam derap mereka.

”Ada mobil terperosok di jembatan tua?” Amran yang menjawab.

Kuurungkan niatku mencuci muka. Aku langsung mengikuti mereka menuju


jembatan tua peninggalan Belanda di batas desa. Riuh sekali orang-orang
mengerubungi jembatan itu. Aku menyelusup kerumunan untuk memastikan apa
yang terjadi. Astaga, jembatan itu rubuh, tembok tuanya bergelimpangan di atas kali.
Namun bukan itu yang membuatku merasa ngeri, sebuah colt bak terbuka tersungkur
ke dasar kali. Darah mulai mengering pada kaca dan pintu mobil. Bewok dan seorang
anak buahnya, Agun mati tak berdaya dengan nafasnya yang begitu berat. Selain
mereka tampak seseorang yang tak kukenal juga tak bergerak di belakang kemudi.
Tampaknya yang satu ini orang kota, pakaiannya terlihat mahal dan perlente, meski
kini dipenuhi bercak darah. Mereka semua luka-luka sangat parah.

Colt itu mengangkut beberapa barang. Di bak belakangnya ada sebatang


tunggul pohon dengan akarnya. Tak jelas pohon apa, sudah tak ada daunnya, tapi
tunggul itu unik bentuknya seperti batang bonsai yang besar. Selain tunggul itu,
tersungkur sebuah karung yang tampaknya berisi benda padat. Seseorang
membukanya perlahan-lahan. Pecahan batuan berwarna putih kecoklatan sedikit
gemerincing saat karung itu digerakkan. “patung euy! Ini, kepalanya ada dua” kata
lelaki yang membuka karung sambil mengangkat dua kepala patung perempuan.

Segera aku teringat pada makam di bawah kembang kertas. Pikiranku juga
terkait dengan pembicaraan Bewok dengan Kakek waktu itu. Jangan-jangan? Ah, aku
tak menunggu waktu lagi, aku berlari menuju makam kembang kertas, dari tempat itu
sekitar dua ratus meter jauhnya. Dalam nafas yang masih terengah-engah, aku
mendapati rimbun ranting kembang kertas sudah layu menindih makam. Bunga dan
guguran daunnya berserakan di atas rumput dan tanah merah. Aku singkapkan ranting
dan dedaunan itu. Di bawahnya kulihat makam telah hancur. Bekas temboknya
bergelimpangan, kedua patungnya hilang, tanahnya berlobang bekas galian.

Melihat kehancuran itu aku hanya termenung. Hanya inikah yang bisa
dilakukan orang untuk desanya? Memperkaya diri, mencari keuntungan pribadi tanpa
peduli pada kerusakan yang diakibatkan oleh usaha serakahnya itu.

***

Setelah membaca sebuah cerpen di atas, Apakah kamu dapat mengapresiasi atau menjelaskan
unsure-unsur intrinsiknya? Jika belum, coba baca sekali lagi dengan sedikit penghayatan.
Setelah itu, Perhatikanlah uraian di bawah ini.

Unsur-unsur intrinsik cerpen Makam di Bawah Kembang Kertas:

a. Tema
Cerpen Makam di Bawah Kembang Kertas berfokus kepada masalah sosial dan kemanusiaan.
Cerpen ini menitikberatkan pembahasannya kepada sikap sosial seorang tokoh terhadap
situasi kerusakan, baik lingkungan maupun moral beberapa orang di desanya. Dari sisi
kemanusiaan, Cerpen ini menyiratkan pembahasan tentang keserakahan seseorang yang
berakibat celaka pada dirinya sendiri.

b. Amanat

Amanat cerpen ini adalah:

1) Kita harus melestarikan lingkungan kita, menjaganya dari tangan-tangan yang suka
membuat kerusakan
2) Kita tidak boleh bersifat serakah, mengorbankan sesuatu yang menjadi milik
masyarakat untuk kepentingan sendiri.
3) Kita harus menghargai sejarah, termasuk sejarah lokal yang ada di sekitar desa kita.

c. Tokoh dan Penokohan

No Nama Tokoh Karakter


.
1 Aku (Pencerita) Tidak dijelaskan secara lugas, namun tokoh ini
memiliki kepedulian terhadap sejarah dan kelestarian
lingkungan desanya.
2. Kakek Orang tua yang bijaksana, mengetahui dan terlibat
langsung pada peristiwa sejarah masa lalu
3. Bewok Orang pintar, perpenampilan seram berkumis dan
berjenggot, serakah, suka mencari-cari harta karun
4. Usman, Amran, Agus dan Dade Sahabat-sahabat tokoh aku, tidak diceritakan peran
dan karakteristiknya.

d. Alur (Plot)

Cerita ini sejatinya bermula sejak kematian dua putri Belanda di sebuah desa pada zaman
penjajahan. Berpuluh-puluh tahun kemudian, ada seorang warga desa yang mengira ada harta
yang dipendam bersama pemakaman putri Belanda tersebut. Kemudian dengan
sepengatahuan tokoh “Aku Bewok, yang mencari harta karun menanyakan harta tersebut
kepada kakek.

Meskipun tidak mendapatkan keterangan yang memuaskan dari kakek, bewok tetap saja
membongkar makam putrid belanda dan mencuri patung marmernya. Namun di perjalanan
melarikan barang tersebut, Bewok dan beberapa kawannya mengalami kecelakaan karena
jembatan tua yang juga peninggalan Belanda yang mereka lewati ambruk.

Atas kejadian tersebut, tokoh aku semakin sadar, bahwa keserakahan hanya mengakibatkan
malapetaka.
e. Latar (setting)

Latar tempat cerpen Makam di Bawah Kembang kertas adalah sebuah desa yang memiliki
sejarah yang cukup panjang. Desa tersebut pernah menjadi pusat perkebunan Belanda,
sampai sekarang perkebunannya pun masih tersisa meskipun kebanyakan bangunan telah
rusak.

Rangkaian peristiwa yang terjadi tidak dijelaskan secara spesifik yang meliputi tanggal, bulan
dan tahun. Akan tetapi, dapat dipastikan bahwa cerita berlangsung di masa kini, jauh setelah
Indonesia merdeka.

Latar sosial yang paling menonjol adalah kemasyarakatan desa di daerah perkebunan
peninggalan Belanda. Latar sosial pada cerpen tersebut dengan jelas diuraikan pada sebuah
paragraph dalam kutipan berikut.

….Ya, mereka bekerja untuk orang lain, pendatang yang punya modal.
Sementara orang desa yang asli sejak dulu hanya menjadi kuli. Bedanya, zaman
belanda mereka bekerja dengan menghasilkan sedikit gaji bulanan dan rumah
bedeng. Gaji itu mereka gunakan untuk makan sehari-hari, dan kalau sedikit
menabung dapat beli baju setahun sekali. Di bedeng mereka sekeluarga lengkap
berteduh sepanjang usia. Sementara sekarang mereka mendapat sedikit upah yang
tak pasti. Rumah mereka pun tak jauh beda dengan bedeng zaman perkebunan. Di
rumahnya sekarang mereka berteduh, namun tidak utuh. Anak-anak mereka pergi ke
kota. Anak-anak perempuan menjadi pembantu rumah tangga, dan anak-anak laki-
lakinya menjadi kuli bangunan. Jadi, apa yang beda?

f. Sudut pandang (point of view)

Pengarang menggunakan sudut pandang orang pertama. Orang pertama dalam cerpen ini
berfungsi sebagai tokoh utama sekaligus narrator cerita.

g. Gaya bahasa

Pengarang menggunakan bahasa yang formal, Bahasanya relatif sesuai dengan kaidah
bahasa Indonesia. Namun demikian unsure lokal Sunda juga tampak pada penggunaan
beberapa istilah, mislanya penggunaan sapaan “Jang” atau Ujang” terhadap lelaki yang
lebih muda dari pembicara, dan kata “Euy” yang juga lekat dengan tuturan orang Sunda.
BAB IV
DRAMA

A. Apa Itu Drama?


Drama adalah satu bentuk karya sastra yang memiliki bagian untuk diperankan oleh
aktor. Kosakata ini berasal dari Bahasa Yunani yang berarti "aksi", "perbuatan". Drama bisa
diwujudkan dengan berbagai media: di atas panggung, film, dan atau televisi. Drama juga
terkadang dikombinasikan dengan musik dan tarian, sebagaimana sebuah opera.
Di Indonesia, pertunjukan sejenis drama mempunyai istilah yang bermacam-macam.
Seperti: Wayang orang, ketoprak, ludruk (di Jawa Tengah dan Jawa Timur), lenong (Betawi),
randai (minang), reog (Jawa Barat), rangda (Bali) dan sebagainya.

Sebuah karya sastra yang bercerita terbagi atas dua; tutur dan tulis. Jika cerita-cerita
prosa seperti legenda dan dongeng lahir dari sastra tutur kemudian dituliskan, drama adalah
kebalikannya, yakni dituliskan dahulu, beru kemudian dituturkan/diperankan. Drama
dipertontonkan guna mencapai estetik implementasi. Artinya, ia harus diawali dari tulisan,
kemudian diceritakan melalui penggunaan medium seni yang disebut dengan panggung.
Cerita drama yang sudah dipanggungkan disebut dengan teater. Oleh karena itu, pembicaraan
drama kerap dikaitkan dengan teater. Tak ayal, terkadang orang menyebut drama sebagai
teater dan sebaliknya, teater dikatakan dengan drama. Sejatinya, kedua hal ini tetap berbeda.
Perbedaan tersebut dapat dilihat dari tabel di bawah ini.

Drama Teater
naskah Pertunjukan
penokohan tokoh/ actor
teks Interteks/Pementasan dari teks
Penulis sutradara

Dari tabel di atas jelas bahwa dikatakan dia sebagai drama karena masih berupa
naskah (di atas kertas). Artinya, drama adalah naskah yang akan dilakonkan.

Secara sederhana, drama dapat dibagi menjadi beberapa bentuk. Pembagian secara
umum di bawah ini ditinjau dari cerita dan gaya berceritanya.

 Tragedi, yaitu drama yang melukiskan kisah duka atau kejadian pahit, sedih yang
amat dalam. Tujuan naskah ini biasanya agar penonton dapat memandang hidup
dan kehidupan secara optimis.
 Komedi, yaitu drama ringan, biasanya bercerita tentang yang lucu-lucu.
Tujuannya lebih kepada menghibur penonton.
 Melodrama (tragikomedi), yaitu drama yang berupa gabungan dari tragedi dan
komedi. Dalam naskah ini ada cerita serius, ada juga hanya cerita ringan dan lucu.
 Dagelan (farce), yaitu jenis drama murahan atau dikatakan juga dengan komedi
picisan. Biasanya naskah ini diiringi musik riang.
 Opera atau operet, yaitu dialog diiringi dengan musik yang di dalamnya juga
dimasukkan nyanyian/lagu.

B. Unsur Intrinsik dan Unsur Ekstrinsik Drama

Unsur intrinsik atau disebut juga unsur dalam adalah unsur yang tidak tampak. Ini yang kita
sebut di atas tadi sebagai kajian interteks. Dalam intrinsik ada:

1. tema; yaitu ide pokok yang ingin disampaikan dari sebuah cerita. Tema sering pula
dikatakan dengan nada dasar drama. Sebuah tema tidak terlepas dari manusia dan
kehidupan, misalkan cinta, maut, dan sebagainya. Jika ada yang menyebutkan
temanya romantis, itu adalah bias pengertian. Romantis bukan tema, tetapi gaya yang
digunakan oleh penulis. Dalam kasus dimaksud sebenarnya temanya adalah cinta/
percintaan. Jalan ceritanya yang dibuat menjadi romantis. Ini hanya perkara gaya/style
(di lain waktu akan kita bicarakan masalah gaya atau style penulis tersebut).
2. alur/ plot; yaitu jalan cerita. Dalam alur sebuah naskah drama bukan permasalahan
maju-mundurnya sebuah cerita seperti yang dimaksudkan dalam karangan prosa,
tetapi alur yang membimbing cerita dari awal hingga tuntas. Dimulai dengan
pemaparan (perkenalan awal tokoh dan penokohan), adanya masalah (konflik),
konflikasi (masalah baru), krisis (pertentangan mencapai titik puncak–klimak s.d.
antiklimaks), resolusi (pemecahan masalah), dan ditutup dengan ending (keputusan).
Ada pula yang menggambarkan alur dalam sebah naskah drama itu pemaparan—
masalah—pemecahan masalah/resolusi—keputusan.
3. penokohan; karakter yang dibentuk oleh setiap dialog tokoh.
4. latar/ setting; yaitu tempat kejadian. Latar atau setting berbicara masalah tempat,
suasana, dan waktu.
5. amanat; yaitu pesan yang hendak disampaikan penulis dari sebuah cerita. Jika tema
bersifat lugas, objektif, dan khusus, amanat lebih umum, kias, dan subjektif.
Sementara itu, unsur-unsur ekstrinsik atau unsure luar adalah unsur yang tampak, seperti
adanya dialog/ percakapan. Namun, unsur-unsur ini bisa bertambah ketika naskah sudah
dipentaskan. Dalam hal inilah muncul unsur-unsur yang harus diperhatikan seperti:

 Sutradara,
 Kostum,
 Panggung,
 Properti,
 Tata lampu/pencahayaan
 Tata suara/sound sistem,
 Tata wajah/make up
 Dan organisasi pementasan.

C. Contoh Drama

Bentuk-bentuk penulisan drama sudah mengalami banyak perkembangan. Mulai dari konsep
dialog yang terformat rata kiri, kemudian titik dua dan diikuti obrolan, ada juga bentuk
modern yang lebih bebas. Salah satu bentuk naskah drama yang cukup unik disajikan di
bawah ini. Perhatikanlah penulisan serta bagian-bagian naskah drama di bawah ini.

LENA TAK PULANG


Karya : Muram Batubara
SATU

LAMPU MENYALA.
DALAM SEBUAH RUMAH. SOFA BESAR MENGHADAP TV. MEJA MAKAN.
KULKAS. PINTU KAMAR MANDI. PINTU DAPUR. PINTU KAMAR TIDUR. PINTU
KELUAR MASUK RUMAH. PAK LENA DUDUK MEMANDANG TV. BU LENA
KELUAR DARI KAMAR MANDI.

Bu Lena
Lena sudah pulang, Pak?
Pak Lena
Belum
Bu Lena
(Duduk di kursi meja makan) Bagaimana ini? Sudah tiga hari ia tidak pulang.
Pak Lena
Nanti juga pulang
Bu Lena
Sudah tiga hari
Pak Lena
Nanti juga pulang
Bu Lena
Ya, tapi belum juga pulang, padahal sudah tiga hari. Dia itu kan perempuan.

Pak Lena
(Tetap memandang tv) Anak kita
Bu Lena
Iya, anak kita, tapi ia perempuan dan belum pulang tiga hari.
Pak Lena
Nanti juga pulang sendiri ketika bekalnya lari telah habis.
Bu Lena
Tidak segampang itu, Pak, ia itu perempuan!
Pak Lena
Jika memang ia perempuan, ia akan pulang.
Bu Lena
Tapi belum…(Menghentikan kalimat, memperhatikan pintu keluar rumah)
Ada yang datang, sepertinya itu Lena, anak kita, pulang juga ia setelah tiga hari tidak pulang.
Pak Lena
Bukan, pasti temannya datang mencari.
Bu Lena
Pasti Lena
Pak Lena
Berani taruhan
Bu Lena
Taruhan apa?
Pak Lena
Jika bukan Lena, lebaran tahun ini kita pulang ke rumah orang tuaku.
Bu Lena
Tapi tahun kemarin sudah
Pak Lena
Itu karena kau kalah taruhan
Bu Lena
Ya tidak bisa, bayangkan dalam lima tahun ini kita tidak pernah pulang ke rumah orang
tuaku.
Pak Lena
Berani taruhan tidak?
Bu Lena
(Bingung) Ehm…
Pak Lena
Dengar langkah itu sudah semakin dekat.
Bu Lena
Baik

TERDENGAR KETUKAN PINTU. BU LENA MEMBUKA PINTU. KECEWA.

Tamu I
Permisi Tante, Lenanya ada?
Bu Lena
Oh tidak ada, dia belum pulang.
Tamu I
Belum pulang? Pergi ke mana ya Tante?
Bu Lena
Tante juga tidak tahu tuh, kamu tahu tidak?
Tamu I
Ya, kalau tahu saya tidak datang Tante.
Bu Lena
Iya juga ya. Hm, kamu teman sekolahnya ya?
Tamu I
Bukan Tante, saya teman…
Pak Lena
(Memotong) Suruh duduk dulu, hanya tukang pos yang diterima di depan pintu.
Tamu I
Terima kasih Om, saya harus kembali pulang.
Pak Lena
Kenapa buru-buru?
Tamu I
Ada yang harus buru-buru saya lakukan
Bu Lena
Jika buru-buru, kenapa mencari Lena?
Tamu I
Ya itu dia, Tante. Karena Lenalah saya harus buru-buru?
Pak Lena
Masuk dulu jangan buru-buru
Bu Lena
Iya masuk dulu
Tamu I
Maaf tidak bisa, saya permisi dulu.

BU LENA MENUTUP PINTU. DUDUK DI RUANG TV.

Pak Lena
Siapa namanya?
Bu Lena
Siapa?
Pak Lena
Yang tadi?
Bu Lena
Teman Lena
Pak Lena
Iya, teman Lena tadi namanya siapa?
Bu Lena
Berarti tahun ini kita pulang ke rumah orang tuamu lagi?
Pak Lena
Jelas! Siapa nama teman Lena tadi!
Bu Lena
Sudahlah ke rumah orang tuaku saja. Kasihan ibu sudah semakin tua, dia ingin melihat kita
sekeluarga kan?

Pak Lena
Tidak bisa! Kesepakatan telah tercipta, tidak bisa dirubah. Jika terus dirubah, bagaimana
menjalankan kesepakatan itu dan untuk apa membuat kesepakatan jika tidak ada kepastian
untuk dilakukan. Siapa nama teman Lena tadi?
Bu Lena
Nggak tahu.
Pak Lena
Loh
Bu Lena
Kok loh
Pak Lena
Ya, loh, bagaimana mungkin kamu tidak menanyakannya?
Bu Lena
Kenapa bukan kamu?
Pak Lena
Aku kan sedang nonton tv dan aku tidak sedang berhadapan langsung dengannya.

TERDENGAR KETUKAN PINTU.

Pak Lena
Ada yang ketuk pintu, bukahlah.
Bu Lena
Bagaimana jika Lena?
Pak Lena
Ya tetap dibuka pintu kan?

TERDENGAR KETUKAN PINTU.

Bu Lena
Bukan itu, jika bukan Lena, perjanjian tadi batal.
TERDENGAR KETUKAN PINTU.

Pak Lena
Bukalah pintu itu, kasihan tamunya.
Bu Lena
Buat satu kesepakatan baru dulu.

TERDENGAR KETUKAN PINTU.

Bu Lena
(Teriak ke arah pintu) sebentar ya, lagi menunggu kesepakan nih, sabar ya.
Pak Lena
Ya sudah, buka sana.
Bu Lena
Kesepakatan?
Pak Lena
Yah!

PINTU TERBUKA. BU LENA PUAS. PERBINCANGAN DI DEPAN PINTU MASUK


RUMAH.

Tamu II
Kesepakatan apa Tante?
Bu Lena
Ah, tidak. Kamu siapa dan ada apa?
Tamu II
Saya temannya Lena, Tante, kebetulan saya sedang main di daerah sini.
Bu Lena
Terus

Tamu II
Ya, terus saya mampir. Karena kebetulan saya sedang main di daerah sini, jadi saya mampir
ke sini, Tante.
Bu Lena
Terus
Tamu II
Ya, karena itu Tante, hm, Lenanya ada?
Bu Lena
Jadi karena kebetulan main di daerah sini, kamu mampir dan mencari Lena?
Tamu II
Benar itu Tante.
Bu Lena
Karena kebetulan?
Tamu II
Sebenarnya tidak Tante.
Bu Lena
Yang benar yang mana?
Tamu II
Saya memang mencari Lena, Tante.
Bu Lena
Karena main di daerah sini?
Tamu II
Tidak Tante, saya memang sengaja kemari untuk mencari Lena. Sumpah, Tante.
Pak Lena
(Memotong) Suruh duduk dulu, hanya tukang pos yang diterima di depan pintu.

TAMU II MASUK DAN DUDUK DI RUANG TV. BU LENA MASUK DAPUR.

Tamu II
Nonton berita ya, Om?
Pak Lena
Tidak, cuma sedang melihat tanggapan wakil rakyat tentang bencana yang tidak
berkesudahan.
Tamu II
Itukan berita namanya, Om.
Pak Lena
Itu bukan berita, itu opini. Opini itu pendapat, kebenarannya masih belum bisa diandalkan.
Namanya berita harus mengutamakan kebenaran, kenyataan.
Tamu II
Tapi itukan acara berita, Om.
Pak Lena
Memang, beritanya, wakil rakyat sedang memberikan opini.
Tamu II
Berarti sedang nonton berita, Om.
Pak Lena
Tidak, saya sedang melihat opini. Ingat, opini!
Tamu II
Bedanya apa, Om?
Pak Lena
Opini itu tidak murni kenyataan, namanya juga pendapat, sedang berita itu nyata, kenyataan
tadi. Begini, kucing ditabrak mobil, itu berita.
Tamu II
Kalau opini?
Pak Lena
Mengapa kucing itu mau ditabrak?
Tamu II
Mungkin saja ia tidak melihat mobil yang laju, tiba-tiba saja ia sudah bersimbah darah.
Pak Lena
Itu dia opini.
Tamu II
Opini?

Pak Lena
Ya, opini kamu. Lihat omongan wakil rakyat itu, semuanya serba mungkin kan?
Tamu II
Jadi yang serba mungkin itu bukan berita?
Pak Lena
Mungkin kok berita. Mungkin itu kan belum jelas sedang berita adalah yang jelas dan pasti.
Tamu II
Tapi apa yang pasti di jaman sekarang, Om?
Pak Lena
Ya, opini.

BU LENA KELUAR DAPUR MEMBAWA TEH DALAM GELAS MENUJU KULKAS.


MEMBUKANYA.

Tamu II
Tidak usah yang dingin, Tante, lagi batuk.
Bu Lena
Mau puding?
Tamu II
Boleh, Tante.
Bu Lena
Tapi dingin?
Tamu II
Tidak apa-apa, Tante, kan cuma puding.

BU LENA KE RUANG TV DAN MELETAKKAN SAJIAN KEMUDIAN KEMBALI


MENUJU DAPUR.
Pak Lena
Kamu temannya Lena?
Tamu II
Benar itu, Om.
Pak Lena
Teman dari mana?
Tamu II
Ya teman saja, Om, tidak dari mana-mana.
Pak Lena
Yang dari sekolahan, les biola, les balet, renang, atau malah dari kelas mengaji?
Tamu II
Untuk yang terakhir tampaknya bukan, Om.
Pak Lena
Mengapa? Apa karena sudah pintar mengaji?
Tamu II
Tidak Om, saya non muslim.
Pak Lena
Oh begitu, terus dari mana?
Tamu II
Saya teman Lena dari tempat nongkrong, Om.
Pak Lena
Seingat saya Lena tidak mengambil les nongkrong.
Tamu II
Om, lucu juga. Tempat nongkrong itu tempat kita kumpul-kumpul, ya, istilah kerennya
berbincang atau berdiskusi.
Pak Lena
Oh begitu, tapi yang nongkrong itu kan tentunya berasal dari tempat tertentu. Nah, kamu itu
selain teman nongkrong Lena, teman di mana?
Tamu II
Ya tidak ada, Om. Saya cuma teman Lena di tempat nongkrong.
Pak Lena
Terlalu tipis, pertemanan itu belum begitu kuat. Hm, lalu maksud kamu mencari Lena?
Tamu II
Ya itu dia Om, saya ingin tahu tentang apa yang terjadi dengan Lena. Sudah tiga hari ia tidak
muncul, Om.
Pak Lena
Memangnya kenapa kalau ia tidak muncul dalam tiga hari?
Tamu II
Ya itu dia, Om.
Pak Lena
Apa?
Tamu II
Ehm, dia bawa sesuatu yang penting, Om. Sesuatu yang sangat saya banggakan.
Pak Lena
Oh begitu. Penting sekali?
Tamu II
Sangat penting malah, Om.
Pak Lena
Lena mengambilnya dari kamu?
Tamu II
Begitulah Om, saya malah tidak tahu bagaimana bersikap jika tidak ada kabar dari Lena.
Pak Lena
Banyakkah?
Tamu II
Ya kalau besar itu dianggap banyak, ya, banyak Om.
Pak Lena
Begini saja, kamu pulang dulu, besok kamu kembali lagi. Yang kamu punya itu pasti akan
kembali.
Tamu II
Tapi Lenanya bagaimana Om?
Pak Lena
Itu urusan saya.
Tamu II
Kalau memang begitu, tentunya dengan ada kepastian dari Om, saya menjadi yakin untuk
datang besok.

Pak Lena
Ya, ya, pulanglah.

TAMU II PERGI, BU LENA MASUK.

Pak Lena
Anakmu membawa lari uang temannya?
Bu Lena
Bagaimana bisa?
Pak Lena
Temannya yang datang tadi, yang terlalu banyak bicara itu, melaporkan apa yang telah
dilakukan anakmu.
Bu Lena
Anak kita
Pak Lena
Ya, anak kita. Pencuri.
Bu Lena
Belum tentu benar, jangan terlalu banyak percaya dengan orang yang terlalu banyak bicara.
Pak Lena
Tapi bagaimana bisa kita percaya dengan orang yang sedikit bicara, dari mana kita tahu isi
kepalanya jika tidak dikeluarkannya.
Bu Lena
Terlalu banyak bicara malah menghilangkan kata-kata kunci, kata yang seharusnya bisa
menjadi andalan.
Pak Lena
Tanpa bicara, kata kunci itu malah tidak keluar, bagaimana bisa ia tampak?
Bu Lena
Tetapi mengapa kau begitu percaya dengan anak ingusan yang terlalu banyak bicara itu?
Pak Lena
Karena tampaknya benar, sudah tiga hari Lena pun tidak muncul di tempat biasa mereka
bertemu.
Bu Lena
Bagaimana jika benar?
Pak Lena
Kita harus menggantinya, tidak bisa tidak, Lena kan anak kita.
Bu Lena
Jika tidak benar?
Pak Lena
Mau taruhan?

LAMPU PADAM

BAB V
SASTRA LISAN

A. Apa Itu Sastra Lisan?


Sastra lisan atau dalam bahasa Inggris oral literature diartikan sebagai unwritten literature,
yaitu bentuk-bentuk sastra yang hidup dan tersebar secara tidak tertulis (Finnegan, 1992: 9;
Rusyana, 1978:1; Teeuw, 1984: 279). Banyak ahli sastra yang menghindari penggunaan kata
literature yang dalam bahasa Indonesia diartikan sastra. Kata literature mengacu pada
literary/literacy yang selalu berarti tertulis. Jadi istilah oral literature atau sastra lisan
dianggap rancu karena sekaligus memuat dua unsur yang bertentangan, yaitu lisan dan
tertulis.
Sebenarnya kerancuan tersebut tidak perlu terjadi bila sastra atau literature
diterjemahkan secara luas. Maksudnya, sastra tidak selalu berarti tertulis atau dengan kata
lain, sastra tidak identik dengan bahasa tulis. Lagipula, dalam perkembangannya, istilah
literature sendiri pada saat ini tidak selalu mengacu kepada karya-karya sastra tertulis
(Teeuw, 1988: 38). Sedangkan menurut Finnegan, sastra lisan akan dapat diterima dan
berguna tergantung kapada materi yang dianalisis serta permasalahan yang diajukan dalam
analisis (Finnegan, 1992: 9).

Sebagai akibat dari anggapan kerancuan istilah, sastra lisan sering dipertukarkan
dengan istilah tradisi lisan. Tradisi merupakan budaya yang berguna, cara untuk melakukan
suatu hal, unik, berproses dalam hal pekerjaan, ide, atau nilai, dan kadang-kadang
berkonotasi kuno serta muncul secara alami. Jadi, tradisi lisan adalah tradisi yang bersifat
verbal atau tidak tertulis, milik masyarakat (folk), dan memiliki nilai (Finnegan, 1992: 7).
Sementara itu, Danandjaya justru menyamakan tradisi lisan dengan folklor lisan (Danandjaya
dalam Pudentia, 1998: 54). Memang ada karakteristik yang menyamakan sastra lisan dengan
tradisi lisan atau folklor lisan yaitu bahwa penyebaran dan pewarisannya terjadi secara lisan.
Untuk lebih jelasnya, Hutomo (1991: 11) memberikan cakupan tradisi lisan sebagai berikut:

 kesusastraan lisan,
 teknologi tradisional,
 pengetahuan folk di luar pusat-pusat istana dan kota metropolitan,
 unsur-unsur religi dan kepercayaan folk di luar batas formal agama-agama besar,
 kesenian folk di luar pusat-pusat istana dan kota metropolitan, dan
 hukum adat.

Dari uraian di atas, jelas bahwa sastra lisan merupakan salah satu bagian dari tradisi lisan
ataupun folklor lisan. jadi, sastra lisan adalah sastra yang mencakup ekspresi sastra suatu
kebudayaan yang disebarkan dan diturunkan secara lisan (Hutomo, 1991: 60).
Adapun sastra lisan dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu sastra lisan
murni dan sastra lisan yang setengah lisan. Sastra lisan murni merupakan ragam sastra lisan
yang penyampaiannya benar-benar secara lisan tanpa alat bantu lain. Sastra lisan murni pada
umumnya berbentuk prosa rakyat, prosa liris dan bentuk-bentuk puisi rakyat. Sedangkan
sastra lisan yang setengah lisan merupakan sastra lisan yang disampaikan dengan bantuan
tingkah laku serta bentuk-bentuk seni yang lain. Sastra lisan jenis ini misalnya drama
panggung dan drama arena, serta sastra lisan murni yang disampaikan dengan alat musik.
Seperti kita ketahui, carita pantun (Sunda), kaba (Minangkabau), dan kentrung (Jawa)
biasanya dipertunjukkan dengan alat musik tradisional (Hutomo, 1991: 62-64).

Sastra lisan biasanya bersifat lokal, artinya sastra lisan tersebut hanya tumbuh dan
berkembang di sebagian wilayah budaya saja. Oleh karena itu, sastra lisan di Indonesia sering
juga disebut sebagai sastra Nusantara.

B. Jenis-Jenis Sastra Lisan

Seperti halnya satra tertulis, sastra lisan juga dapat dikategorikan menjadi beberapa bagian.
Berdasarkan sifatnya, sastra lisan dapat dibagi menjadi sastra lisan yang berbentuk puisi,
prosa, dan seni pertunjukkan.

1. Sastra lisan yang berbentuk puisi (puisi lama)

Salah satu jenis sastra lisan berbentuk puisi yang paling umum adalah pantun. Jenis-jenis
pantun ini banyak ragamnya dan hampir ada hampir di semua kebudayaan, misalnya Sunda,
Minangkabau, Melayu, Batak, dan Betawi. Pantun tidak hanya berbentuk empat bait dengan
berdiri sendiri, tetapi juga pantun yang berbentuk panjang dan menuturkan sebuah kisah yang
sangat panjang. Perhatikan salah satu contoh pantun di bawah ini.

LANTUN MAHAKAM
Orang kaya banyak berharta
Ke Sumatra setiap tahun
Bismillah saya membuka kata
Berseni sastra membuat pantun

Daun ilalang pucuknya mati


Buah pisang berwarna hitam
Pantun dikarang penghibur hati
Turut kembangkan budaya Etam

Daun ilalang taruh di topi


Daun Kurma ditambah lagi
Pantun kukarang di malam sepi
Kala purnama telah meninggi

Ambil paku di Kota Raja


Di Kota Raja mendapat intan
Wahai saudaraku di mana saja
Pantun kukarang untuk kalian

2. Sastra lisan yang berbentuk prosa

Sastra lisan yang berbentuk prosa atau cerita narasi banyak ragamnya. namun dari beberapa
bentuk yang ada tersebut dapat dikategorikan menjadi beberapa kelompok besar menjadi mite
(mitos), legenda, dongeng, dan fabel.

a. Mite

Mite adalah prosa naratif yang dalam masyarakat pemiliknya diyakini sebagai kejadian
yang sungguh-sungguh terjadi di masa lampau, dianggap memiliki kekuatan untuk menjawab
ketidaktahuan, keragu-raguan, atau ketidakpercayaan, sering diasosiasikan dengan
kepercayaan dan ritual, mite biasanya dianggap suci, tokohnya bukan manusia, melainkan
binatang, dewa, atau pahlawan kebudayaan yang terjadi di dunia yang belum seperti yang
kita kenal sekarang (Sutarto,1997: 12-13).

Dalam khazanah sastra nusantara, Yus Rusyana menjelaskan bahwa mite


menggambarkan peristiwa yang dibayangkan pada masa lalu yang sudah tidak diketahui lagi
kapan terjadinya, ditokohi oleh manusia atas atau manusia suci yang mempunyai kekuatan
supranatural, atau manusia yang berasal dari atau yang mempunyai hubungan dengan dunia
atas, yaitu kedewaan atau kayangan. Mite dapat diklasifikasikan menjadi mite penciptaan dan
mite yang menceritakan asal-usul terbentuknya sesuatu (Rusyana, 2000: 5-7).
Contoh cerita mite

Kisah Kanjeng Ratu Kidul (sebuah versi: Dewi Srengenge)

Di suatu masa, hiduplah seorang putri cantik bernama Kadita. Karena


kecantikannya, ia pun dipanggil Dewi Srengenge yang berarti matahari yang indah. Dewi
Srengenge adalah anak dari Raja Munding Wangi. Meskipun sang raja mempunyai
seorang putri yang cantik, ia selalu bersedih karena sebenarnya ia selalu berharap
mempunyai anak laki-laki. Raja pun kemudian menikah dengan Dewi Mutiara, dan
mendapatkan putra dari perkawinan tersebut. Maka, bahagialah sang raja.

Dewi Mutiara ingin agar kelak putranya itu menjadi raja, dan ia pun berusaha agar
keinginannya itu terwujud. Kemudian Dewi Mutiara datang menghadap raja, dan
meminta agar sang raja menyuruh putrinya pergi dari istana. Sudah tentu raja menolak.
"Sangat menggelikan. Saya tidak akan membiarkan siapapun yang ingin bertindak kasar
pada putriku", kata Raja Munding Wangi. Mendengar jawaban itu, Dewi Mutiara pun
tersenyum dan berkata manis sampai raja tidak marah lagi kepadanya. Tapi walaupun
demikian, dia tetap berniat mewujudkan keinginannya itu.

Pada pagi harinya, sebelum matahari terbit, Dewi Mutiara mengutus pembantunya
untuk memanggil seorang dukun. Dia ingin sang dukun mengutuk Kadita, anak tirinya.
"Aku ingin tubuhnya yang cantik penuh dengan kudis dan gatal-gatal. Bila engkau
berhasil, maka aku akan memberikan suatu imbalan yang tak pernah kau bayangkan
sebelumnya." Sang dukun menuruti perintah sang ratu. Pada malam harinya, tubuh
Kadita telah dipenuhi dengan kudis dan gatal-gatal. Ketika dia terbangun, dia menyadari
tubuhnya berbau busuk dan dipenuhi dengan bisul. Puteri yang cantik itu pun menangis
dan tak tahu harus berbuat apa.

Ketika Raja mendengar kabar itu, beliau menjadi sangat sedih dan mengundang
banyak tabib untuk menyembuhkan penyakit putrinya. Beliau sadar bahwa penyakit
putrinya itu tidak wajar, seseorang pasti telah mengutuk atau mengguna-gunainya.
Masalah pun menjadi semakin rumit ketika Ratu Dewi Mutiara memaksanya untuk
mengusir puterinya. "Puterimu akan mendatangkan kesialan bagi seluruh negeri," kata
Dewi Mutiara. Karena Raja tidak menginginkan puterinya menjadi gunjingan di seluruh
negeri, akhirnya beliau terpaksa menyetujui usul Ratu Mutiara untuk mengirim putrinya
ke luar dari negeri itu.
Puteri yang malang itu pun pergi sendirian, tanpa tahu kemana harus pergi. Dia
hampir tidak dapat menangis lagi. Dia memang memiliki hati yang mulia. Dia tidak
menyimpan dendam kepada ibu tirinya, malahan ia selalu meminta agar Tuhan
mendampinginya dalam menanggung penderitaan..

Hampir tujuh hari dan tujuh malam dia berjalan sampai akhirnya tiba di Samudera
Selatan. Dia memandang samudera itu. Airnya bersih dan jernih, tidak seperti samudera
lainnya yang airnya biru atau hijau. Dia melompat ke dalam air dan berenang. Tiba-tiba,
ketika air Samudera Selatan itu menyentuh kulitnya, mukjizat terjadi. Bisulnya lenyap
dan tak ada tanda-tanda bahwa dia pernah kudisan atau gatal-gatal. Malahan, dia menjadi
lebih cantik daripada sebelumnya. Bukan hanya itu, kini dia memiliki kuasa untuk
memerintah seisi Samudera Selatan. Kini ia menjadi seorang peri yang disebut Nyi Roro
Kidul atau Ratu Pantai Samudera Selatan yang hidup selamanya.

b. Legenda

Legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap oleh yang empunya cerita sebagai
suatu kejadian yang sungguh-sungguh pernah terjadi. Berbeda dengan mite, legenda bersifat
sekuler (keduniawian), terjadinya pada masa yang belum begitu lampau, dan bertempat di
dunia yang seperti kita kenal sekarang (Danandjaya, 2002: 66).

Dalam khasanah sastra Nusantara, legenda pun dapat diklasifikasikan sebagai 1)


legenda penyebaran agama Islam, dan 2) legenda pembangun masyarakat dan budaya.
Kelompok legenda penyebar agama Islam mengandung unsur penyebaran agama Islam di
tempat tertentu di Indonesia oleh para pelaku yang memerankan tokoh ulama. Sementara itu,
tokoh legenda pembangun masyarakat dan budaya misalnya melakukan berbagai kegiatan
kemasyarakatan dan kebudayaan seperti membangun rumah, melakukan upacara tertentu,
membuat senjata, menjadi raja dan sebagainya (Rusyana, 2000: 41-42).

Legenda merupakan jenis prosa rakyat yang paling mempunyai nilai sejarah, terutama
sebagai sumber penyusunan sejarah lokal desa-desa di Indonesia dari masa yang belum
begitu lampau. Namun demikian, untuk menggunakannya sebagai sumber sejarah, legenda
harus dibersihkan dari unsur-unsur folklor yang pralogis dan memiliki formula sastra lisan,
serta perlu juga mempelajari sejarah penyatuan desa-desa tersebut dan bentuk-bentuk folklor
lain yang ada di masyarakat (Danandjaya dalam Sutrisno, 1991: 472-474).
Contoh legenda:

Asal Mula Nama Kota Banyuwangi

Pada zaman dahulu di kawasan ujung timur Propinsi Jawa Timur terdapat sebuah
kerajaan besar yang diperintah oleh seorang Raja yang adil dan bijaksana. Raja tersebut
mempunyai seorang putra yang gagah bernama Raden Banterang. Kegemaran Raden
Banterang adalah berburu. “Pagi hari ini aku akan berburu ke hutan. Siapkan alat
berburu,” kata Raden Banterang kepada para abdinya. Setelah peralatan berburu siap,
Raden Banterang disertai beberapa pengiringnya berangkat ke hutan. Ketika Raden
Banterang berjalan sendirian, ia melihat seekor kijang melintas di depannya. Ia segera
mengejar kijang itu hingga masuk jauh ke hutan. Ia terpisah dengan para pengiringnya.

“Kemana seekor kijang tadi?”, kata Raden Banterang, ketika kehilangan jejak
buruannya. “Akan ku cari terus sampai dapat,” tekadnya. Raden Banterang menerobos
semak belukar dan pepohonan hutan. Namun, binatang buruan itu tidak ditemukan. Ia
tiba di sebuah sungai yang sangat bening airnya. “Hem, segar nian air sungai ini,”
Raden Banterang minum air sungai itu, sampai merasa hilang dahaganya. Setelah itu, ia
meninggalkan sungai. Namun baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba dikejutkan
kedatangan seorang gadis cantik jelita.

“Ha? Seorang gadis cantik jelita? Benarkah ia seorang manusia? Jangan-jangan


setan penunggu hutan,” gumam Raden Banterang bertanya-tanya. Raden Banterang
memberanikan diri mendekati gadis cantik itu. “Kau manusia atau penunggu hutan?”
sapa Raden Banterang. “Saya manusia,” jawab gadis itu sambil tersenyum. Raden
Banterang pun memperkenalkan dirinya. Gadis cantik itu menyambutnya. “Nama saya
Surati berasal dari kerajaan Klungkung”. “Saya berada di tempat ini karena
menyelamatkan diri dari serangan musuh. Ayah saya telah gugur dalam
mempertahankan mahkota kerajaan,” Jelasnya. Mendengar ucapan gadis itu, Raden
Banterang terkejut bukan kepalang. Melihat penderitaan puteri Raja Klungkung itu,
Raden Banterang segera menolong dan mengajaknya pulang ke istana. Tak lama
kemudian mereka menikah membangun keluarga bahagia.

Pada suatu hari, puteri Raja Klungkung berjalan-jalan sendirian ke luar istana.
“Surati! Surati!”, panggil seorang laki-laki yang berpakaian compang-camping. Setelah
mengamati wajah lelaki itu, ia baru sadar bahwa yang berada di depannya adalah kakak
kandungnya bernama Rupaksa. Maksud kedatangan Rupaksa adalah untuk mengajak
adiknya untuk membalas dendam, karena Raden Banterang telah membunuh
ayahandanya. Surati menceritakan bahwa ia mau diperistri Raden Banterang karena
telah berhutang budi. Dengan begitu, Surati tidak mau membantu ajakan kakak
kandungnya. Rupaksa marah mendengar jawaban adiknya. Namun, ia sempat
memberikan sebuah kenangan berupa ikat kepala kepada Surati. “Ikat kepala ini harus
kau simpan di bawah tempat tidurmu,” pesan Rupaksa.

Pertemuan Surati dengan kakak kandungnya tidak diketahui oleh Raden Banterang,
dikarenakan Raden Banterang sedang berburu di hutan. Tatkala Raden Banterang
berada di tengah hutan, tiba-tiba pandangan matanya dikejutkan oleh kedatangan
seorang lelaki berpakaian compang-camping. “Tuangku, Raden Banterang.
Keselamatan Tuan terancam bahaya yang direncanakan oleh istri tuan sendiri,” kata
lelaki itu. “Tuan bisa melihat buktinya, dengan melihat sebuah ikat kepala yang
diletakkan di bawah tempat peraduannya. Ikat kepala itu milik lelaki yang dimintai
tolong untuk membunuh Tuan,” jelasnya. Setelah mengucapkan kata-kata itu, lelaki
berpakaian compang-camping itu hilang secara misterius. Terkejutlah Raden Banterang
mendengar laporan lelaki misterius itu. Ia pun segera pulang ke istana. Setelah tiba di
istana, Raden Banterang langsung menuju ke peraaduan istrinya. Dicarinya ikat kepala
yang telah diceritakan oleh lelaki berpakaian compang-camping yang telah menemui di
hutan. “Ha! Benar kata lelaki itu! Ikat kepala ini sebagai bukti! Kau merencanakan mau
membunuhku dengan minta tolong kepada pemilik ikat kepala ini!” tuduh Raden
Banterang kepada istrinya. ” Begitukah balasanmu padaku?” tandas Raden
Banterang.”Jangan asal tuduh. Adinda sama sekali tidak bermaksud membunuh
Kakanda, apalagi minta tolong kepada seorang lelaki!” jawab Surati. Namun Raden
Banterang tetap pada pendiriannya, bahwa istrinya yang pernah ditolong itu akan
membahayakan hidupnya. Nah, sebelum nyawanya terancam, Raden Banterang lebih
dahulu ingin mencelakakan istrinya.

Raden Banterang berniat menenggelamkan istrinya di sebuah sungai. Setelah tiba


di sungai, Raden Banterang menceritakan tentang pertemuan dengan seorang lelaki
compang-camping ketika berburu di hutan. Sang istri pun menceritakan tentang
pertemuan dengan seorang lelaki berpakaian compang-camping seperti yang dijelaskan
suaminya. “Lelaki itu adalah kakak kandung Adinda. Dialah yang memberi sebuah ikat
kepala kepada Adinda,” Surati menjelaskan kembali, agar Raden Banterang luluh
hatinya. Namun, Raden Banterang tetap percaya bahwa istrinya akan mencelakakan
dirinya. “Kakanda suamiku! Bukalah hati dan perasaan Kakanda! Adinda rela mati
demi keselamatan Kakanda. Tetapi berilah kesempatan kepada Adinda untuk
menceritakan perihal pertemuan Adinda dengan kakak kandung Adinda bernama
Rupaksa,” ucap Surati mengingatkan.

“Kakak Adindalah yang akan membunuh kakanda! Adinda diminati bantuan, tetapi
Adinda tolah!”. Mendengar hal tersebut , hati Raden Banterang tidak cair bahkan
menganggap istrinya berbohong.. “Kakanda ! Jika air sungai ini menjadi bening dan
harum baunya, berarti Adinda tidak bersalah! Tetapi, jika tetap keruh dan bau busuk,
berarti Adinda bersalah!” seru Surati. Raden Banterang menganggap ucapan istrinya itu
mengada-ada. Maka, Raden Banterang segera menghunus keris yang terselip di
pinggangnya. Bersamaan itu pula, Surati melompat ke tengah sungai lalu menghilang.

Tidak berapa lama, terjadi sebuah keajaiban. Bau nan harum merebak di sekitar
sungai. Melihat kejadian itu, Raden Banterang berseru dengan suara gemetar. “Istriku
tidak berdosa! Air kali ini harum baunya!” Betapa menyesalnya Raden Banterang. Ia
meratapi kematian istrinya, dan menyesali kebodohannya. Namun sudah terlambat.

Sejak itu, sungai menjadi harum baunya. Dalam bahasa Jawa disebut Banyuwangi.
Banyu artinya air dan wangi artinya harum. Nama Banyuwangi kemudian menjadi
nama kota Banyuwangi.

(dari: http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara)

c. Dongeng

Dongeng adalah prosa naratif yang bersifat fiksi, tidak dipercayai sebagai dogma atau
sejarah, mungkin terjadi ataupun tidak, tidak dianggap serius, dapat terjadi di mana saja dan
kapan saja, dan biasanya merupakan pengalaman perjalanan binatang, kadang-kadang peri,
atau tokoh manusia (Bascom dalam Finnegan, 1992: 148-149). Dongeng juga merupakan
cerita pendek kolektif kesusastraan lisan. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan,
walaupun ada juga yang melukiskan kebenaran, pelajaran (moral) atau bahkan sindiran
(Danandjaya, 2002: 83).

Contoh dongeng:

TIMUN MAS
Pada zaman dahulu, hiduplah sepasang suami istri petani. Mereka tinggal di sebuah
desa di dekat hutan. Mereka hidup bahagia. Sayangnya mereka belum saja dikaruniai
seorang anak pun.

Setiap hari mereka berdoa pada Yang Maha Kuasa. Mereka berdoa agar segera
diberi seorang anak. Suatu hari seorang raksasa melewati tempat tinggal mereka.
Raksasa itu mendengar doa suami istri itu. Raksasa itu kemudian memberi mereka biji
mentimun.

“Tanamlah biji ini. Nanti kau akan mendapatkan seorang anak perempuan,” kata
Raksasa. “Terima kasih, Raksasa,” kata suami istri itu. “Tapi ada syaratnya. Pada usia 17
tahun anak itu harus kalian serahkan padaku,” sahut Raksasa. Suami istri itu sangat
merindukan seorang anak. Karena itu tanpa berpikir panjang mereka setuju.

Suami istri petani itu kemudian menanam biji-biji mentimun itu. Setiap hari mereka
merawat tanaman yang mulai tumbuh itu dengan sebaik mungkin. Berbulan-bulan
kemudian tumbuhlah sebuah mentimun berwarna keemasan.

Buah mentimun itu semakin lama semakin besar dan berat. Ketika buah itu masak,
mereka memetiknya. Dengan hati-hati mereka memotong buah itu. Betapa terkejutnya
mereka, di dalam buah itu mereka menemukan bayi perempuan yang sangat cantik.
Suami istri itu sangat bahagia. Mereka memberi nama bayi itu Timun Mas.

Tahun demi tahun berlalu. Timun Mas tumbuh menjadi gadis yang cantik. Kedua
orang tuanya sangat bangga padanya. Tapi mereka menjadi sangat takut. Karena pada
ulang tahun Timun Mas yang ke-17, sang raksasa datang kembali. Raksasa itu menangih
janji untuk mengambil Timun Mas.

Petani itu mencoba tenang. “Tunggulah sebentar. Timun Mas sedang bermain.
Istriku akan memanggilnya,” katanya. Petani itu segera menemui anaknya. “Anakkku,
ambillah ini,” katanya sambil menyerahkan sebuah kantung kain. “Ini akan menolongmu
melawan Raksasa. Sekarang larilah secepat mungkin,” katanya. Maka Timun Mas pun
segera melarikan diri.

Suami istri itu sedih atas kepergian Timun Mas. Tapi mereka tidak rela kalau
anaknya menjadi santapan Raksasa. Raksasa menunggu cukup lama. Ia menjadi tak
sabar. Ia tahu, telah dibohongi suami istri itu. Lalu ia pun menghancurkan pondok petani
itu. Lalu ia mengejar Timun Mas ke hutan.

Raksasa segera berlari mengejar Timun Mas. Raksasa semakin dekat. Timun Mas
segera mengambil segenggam garam dari kantung kainnya. Lalu garam itu ditaburkan ke
arah Raksasa. Tiba-tiba sebuah laut yang luas pun terhampar. Raksasa terpaksa berenang
dengan susah payah.

Timun Mas berlari lagi. Tapi kemudian Raksasa hampir berhasil menyusulnya.
Timun Mas kembali mengambil benda ajaib dari kantungnya. Ia mengambil segenggam
cabai. Cabai itu dilemparnya ke arah raksasa. Seketika pohon dengan ranting dan duri
yang tajam memerangkap Raksasa. Raksasa berteriak kesakitan. Sementara Timun Mas
berlari menyelamatkan diri.

Tapi Raksasa sungguh kuat. Ia lagi-lagi hampir menangkap Timun Mas. Maka
Timun Mas pun mengeluarkan benda ajaib ketiga. Ia menebarkan biji-biji mentimun
ajaib. Seketika tumbuhlah kebun mentimun yang sangat luas. Raksasa sangat letih dan
kelaparan. Ia pun makan mentimun-mentimun yang segar itu dengan lahap. Karena
terlalu banyak makan, Raksasa tertidur.

Timun Mas kembali melarikan diri. Ia berlari sekuat tenaga. Tapi lama kelamaan
tenaganya habis. Lebih celaka lagi karena Raksasa terbangun dari tidurnya. Raksasa lagi-
lagi hampir menangkapnya. Timun Mas sangat ketakutan. Ia pun melemparkan
senjatanya yang terakhir, segenggam terasi udang. Lagi-lagi terjadi keajaiban. Sebuah
danau lumpur yang luas terhampar. Raksasa terjerembab ke dalamnya. Tangannya
hampir menggapai Timun Mas. Tapi danau lumpur itu menariknya ke dasar. Raksasa
panik. Ia tak bisa bernapas, lalu tenggelam.

Timun Mas lega. Ia telah selamat. Timun Mas pun kembali ke rumah orang tuanya.
Ayah dan Ibu Timun Mas senang sekali melihat Timun Mas selamat. Mereka
menyambutnya. “Terima Kasih, Tuhan. Kau telah menyelamatkan anakku,” kata mereka
gembira.

Sejak saat itu Timun Mas dapat hidup tenang bersama orang tuanya. Mereka dapat
hidup bahagia tanpa ketakutan lagi.

(Diceritakan kembali oleh Renny Yanuar: http://dongeng.org)


d. Fabel

fabel adalah dongeng atau cerita fiki yang tokoh-tokohnya adalah binatang yang dapat
berbicaradan bertingkah laku seperti manusia. Fabel biasanya ditujukan bagi anak-anak
supaya dapat memperoleh pesanmoral dari cerita tersebut.

Contoh fabel:

Pada jaman dahulu di sebuah hutan di kepulauan Aru, hiduplah sekelompok rusa.
Mereka sangat bangga akan kemampuan larinya. Pekerjaan mereka selain merumput,
adalah menantang binatang lainnya untuk adu lari. Apabila mereka itu dapat
mengalahkannya, rusa itu akan mengambil tempat tinggal mereka.

Ditepian hutan tersebut terdapatlah sebuah pantai yang sangat indah. Disana
hiduplah siput laut yang bernama Kulomang. Siput laut terkenal sebagai binatang yang
cerdik dan sangat setia kawan. Pada suatu hari, si Rusa mendatangi si Kulomang.
Ditantangnya siput laut itu untuk adu lari hingga sampai di tanjung ke sebelas.
Taruhannya adalah pantai tempat tinggal sang siput laut.

Dalam hatinya si Rusa itu merasa yakin akan dapat mengalahkan si Kulomang.
Bukan saja jalannya sangat lambat, si Kulomang juga memanggul cangkang. Cangkang
itu biasanya lebih besar dari badannya. Ukuran yang demikian itu disebabkan oleh
karena cangkang itu adalah rumah dari siput laut. Rumah itu berguna untuk menahan
agar tidak hanyut di waktu air pasang. Dan ia berguna untuk melindungi siput laut dari
terik matahari.

Pada hari yang ditentukan si Rusa sudah mengundang kawan-kawannya untuk


menyaksikan pertandingan itu. Sedangkan si Kulomang sudah menyiapkan sepuluh
teman-temannya. Setiap ekor dari temannya ditempatkan mulai dari tanjung ke dua
hingga tanjung ke sebelas. Dia sendiri akan berada ditempat mulainya pertandingan.
Diperintahkannya agar teman-temanya menjawab setiap pertanyaan si Rusa.

Begitu pertandingan dimulai, si Rusa langsung berlari secepat-cepatnya


mendahului si Kulomang. Selang beberapa jam si rusa sudah sampai di tanjung kedua.
Nafasnya terengah-engah. Dalam hati ia yakin bahwa si Kulomang mungkin hanya
mencapai jarak beberapa meter saja. Dengan sombongnya ia berteriak-teriak,
“Kulomang, sekarang kau ada di mana?” Temannya si Kulomang pun menjawab, “aku
ada tepat di belakangmu.” Betapa terkejutnya si Rusa, ia tidak jadi beristirahat
melainkan lari tunggang langgang.

Hal yang sama terjadi berulang kali hingga ke tanjung ke sepuluh. Memasuki
tanjung ke sebelas, si Rusa sudah kehabisan napas. Ia jatuh tersungkur dan mati.
Dengan demikian si Kulomang dapat bukan saja mengalahkan tetapi juga memperdayai
si Rusa yang congkak itu.

(Aneke Sumarauw, “Si Rusa dan Si Kulomang,” Cerita Rakyat dari Maluku)

3. Sastra Lisan yang Berbentuk Pertunjukan

Sastra lisan yang berbentuk pertunjukkan sangat beragam. Setiap daerah sepertinya
mempunyai bentuk sastra pertunjukkan ini. Berikut adalah jenis-jenis sastra lisan yang
berbentuk pertunjukkan.

 Berbagai jenis wayang (wayang golek, wayang orang, wayang kulit, dsb)
 kentrung, ludruk, lenong, dan sejenisnya
 calung, dan sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 1995. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: PT Sinar Baru Algensindo

Danandjaya, James. 2002. Folklor Indonesia ilmu gosip dongeng dan lain-lain. Jakarta:
Pustaka Utama Garafiti
Danandjaya, James. “Pendekatan Folklor dalam Penelitian Bahan-bahan Tradisi Lisan”
dalam Pudentia. Ed. 1998. Metodologi Kajian Sastra Lisan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia

Finnegan, Ruth. 1992. Oral Tradition and The Verbal Art. A Guide ro Research and
Practices. London: Routledge.

Nurgiyantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yagyakarta: Gadjah Mada University
Press

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar

Rusyana, Yus. 1981. Cerita Rakyat Nusantara Kumpulan Makalah tentang Cerita Rakyat.
Bandung: Fakultas keguruan sastra dan seni IKIP Bandung

________ dkk. 2000. Prosa Tradisional: Pengertian, Klasifikasi dan Teks. Jakarta: Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional

Teeuw, A. 1988. Sastra Dan Ilmu Sastra. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya

Todorov, Tzvetan. 1985. Tata Sastra (diterjemahkan oleh Okke K.S Zaimar, dkk). Jakarta:
Djambatan

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan (diterjemahkan oleh Melani
Budianta). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

You might also like