You are on page 1of 3

MERASAKAN KEHADIRAN SANG PENCIPTA

Oleh : E. Nadzier Wiriadinata

Mengetahui bahwa Allah itu ada dan kemudian meyakini


keberadaan-Nya adalah sesuatu yang tidak sulit bagi kita untuk
melakukannya. Tapi, bukankah mengimani Allah itu tidak hanya
sebatas dalam tataran pengetahuan dan keyakinan yang tersimpan
dalam batin semata ? Bukankah pengetahuan dan keyakinan
tersebut adalah sesuatu yang harus teraktualisasikan dalam sikap
hidup keseharian kita ? Bagaimana kita akan mengetahui kualitas
keyakinan tersebut kalau hanya tersimpan dalam hati ? Bukankah
kualitas kesalehan seseorang tidak hanya terformulasikan dalam
nilai-nilai batiniah semata, melainkan juga teraktualisasikan dalam
nilai-nilai lahiriah yang tercerminkan dalam bentuk sikap dan
perilaku/kepribadian ? Mengimani Allah hanya sebatas keyakinan
tanpa disertai aktualisasi dari keimanan itu sendiri merupakan
cerrminan dari sikap pandang sempit yang mereduksi hakekat
keberagamaan sebagai sumber pencerahan kualitas
kemanusiaan.

Meyakini keberadaan Sang Pencipta dan merasakan


kehadiran Sang Pencipta adalah dua hal yang berbeda tetapi
juga merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Sejujurnya
harus kita akui bahwa, disadari atau tidak, umumnya masyarakat
lebih memahami hakikat keimanan hanya dari aspek keyakinan
sepenuh hati akan keberadaan-NYa dan belum beranjak kepada
tahapan berikutnya, yaitu bagaimana agar keberadaan-Nya itu
harus bisa dirasakan dalam aktivitas keseharian mereka.

Dalam konteks di atas, sangat menarik gambaran yang terekam


dalam sebuah hadits yang berisi dialog antara Rosulullah dengan
seseorang (yang diklaim beliau sebagai personalisasi malaikat)
tentang hakikat pengertian Ihsan :

Ihsan adalah hendaknya engkau beribadah atau menyembah Allah


seakan-akan engkau melihat-Nya dan kalaupun engkau tidak
mampu melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu

Esensi pesan yang ingin disampaikan oleh Rosulullah melalui hadits


tersebut adalah bahwa aktivitas ibadah apapun harus didasari pada
suatu keyakinan bahwa Allah itu hadir dan melihat kita.
Menanamkan suatu kesadaran dalam sikap hidup keseharian kita
bahwa Allah hadir dan mengawasi kita adalah prinsip yang harus
kita perjuangkan dan kita raih karena hal itu sangat berkaitan erat
dengan kualitas keberagamaan kita.

Sebuah hadits Qudsi berikut ini mengandung pesan ruhaniah yang


dalam dan patut untuk dijadikan bahan renungan oleh kita serta
merpertegas apa yang diuraikan di atas.

Berfirman Allah dalam sebuah Hadits Qudsi :

“Wahai anak Adam, Aku ini sakit dan engkau tidak menjenguk-Ku.”
Si hamba (dengan terperangah kaget ) menjawab, “Ya Robbi,
bagaimana mungkin aku menjenguk-MU sedang Engkau Tuhan alam
semesta.”
Allah berfirman, “ Tidakkah engkau tahu bahwa hambaKu si fulan
sakit dan engkau tidak menjenguknya. Tidakkah engkau tahu bahwa
bila engkau menjenguknya , niscaya akan engkau temukan Aku
disisinya?”
“ Hai anak Adam, Aku minta makan kepadamu dan engkau tidak
memberi-Ku makan.”
Anak Adam menjawab,” Wahai Tuhanku, bagaimana mungkin aku
memberi-Mu makan sedang Engkau Tuhan alam semesta?
Allah berfirman, “ Tidakkah Engkau tahu bahwa hambaKu si fulan
minta makan dan engkau tidak memberinya makan. Tidakkah
engkau tahu bila engkau memberinya makan niscaya akan engkau
dapati itu disisiKu ...

Begitu banyak statement Allah yang tertuang dalam ayat-ayat


al_Quran yang mengungkapkan betapa keberadaan-Nya/kehadiran-
Nya adalah sesuatu yang harus dirasakan hamba-nya dimanapun
mereka berada dan apapun yang mereka lakukan. Allah secara
tegas memproklamirkan bahwa Dia itu begitu dekat. Lebih dekat
daripada diri si hamba dengan urat lehernya sendiri. Namun
sayangnya, kedekatan itu tidak pernah diupayakan secara optimal
untuk dirasakan oleh hamba-Nya sebagai sebuah kesadaran.
Kalaupun diupayakan baru sebatas didalam aktivitas ibadah ritual
semata. Padahal Allah tidak menghendaki kehadiran-Nya hanya
dirasakan oleh hamba-Nya disaat beraktivitas ibadah ritual semata,
misalnya dalam shalat. Tapi lebih dari itu, Allah menghendaki
kehadiran-Nya juga bisa dirasakan dalam setiap aktivitas apapun
yang mereka lakukan. Namun sayangnya, justru kondisi yang
seringkali kita temukan dalam realitas sosial tidaklah seperti itu.
Sehingga wajar kalau kemudian masyarakat kita tidak memiliki
sikap pandang yang utuh dalam menangkap esensi ajaran Islam.
Fenomena kesadaran Ilahiah yang diwujudkan dalam aktivitas ritual
dari waktu ke waktu semakin semarak sementara aktivitas sosial,
ekonomi, politik dan yang lainnya yang seharusnya juga menjadi
wilayah teraktualisasikannya kesadaran Ilahiah justru
tercampakkan. Akibatnya adalah , krisis moral. Krisis moral inilah
yang dari waktu ke waktu semakin dirasakan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.

Pembenahan terhadap krisis moral yang terjadi dalam kehidupan


berbangsa dan bernegara hanya mungkin terwujud bila pemahaman
akan kesadaran tentang Sang Pencipta tidak ‘dikerangkeng’ dalam
lingkup aktivitas ibadat ritual. “Kerangkeng’ itulah yang membuat
kualitas keberagamaan masyarakat kita tidak pernah beranjak
dan/atau berjalan di tempat.

“Kerangkeng” berupa sikap pandang sempit yang hanya merasakan


kehadiran Allah sebatas dalam aktivitas ibadat ritual semata harus
kita hancurkan demi sebuah lahirnya sikap pandang baru berupa
semangat baru yang senantiasa menghadirkan Allah dalam setiap
aktivitas apapun. Kesadaran bahwa Allah hadir dalam setiap
aktivitas yang kita lakukan tidak hanya menumbuhkan kedamaian
jiwa tetapi juga suatu kesadaran bahwa hidup ini benar-benar
bermakna. Hidup ini bukanlah permainan dimana setiap orang bisa
berbuat seenaknya karena hidup ini akan berakhir dengan sebuah
pertanggungjawaban. Hanya dengan kesadaran semacam itu
kualitas keberagamaan kita akan semakin dirasakan berdampak
pada kehidupan berbangsa dan bernegara.

You might also like