You are on page 1of 10

AR 5221 arsitektur dan teknologi

LUBANG RESAPAN BIOPORI SEBAGAI TEKNOLOGI TEPAT GUNA DAN


RAMAH LINGKUNGAN UNTUK PELESTARIAN AIR DAN PENCEGAHAN BANJIR
Menjaga Keberlangsungan Siklus Air Ditengah Semakin Terbatasnya Lahan Terbuka Kota
Astri Anindya Sari (25209026)

ABSTRAK
Air bersih merupakan salah satu sumberdaya alam terbarukan yang menjadi
kebutuhan dasar manusia. Namun pesatnya perkembangan kota dan kurangnya kesadaran
masyarakat akan pentingnya lahan terbuka sebagai fasilitas resapan air berakibat
terganggunya siklus air yang menyebabkan isu kelangkaan air dewasa ini, terutama di musim
kemarau. Disisi lain, keterbatasan lahan resapan ditambah lagi dengan buruknya system
drainase permukiman dan kota menyebabkan terjadinya banjir terutama di daerah hilir sungai
pada setiap musim hujan.
Tulisan ini membahas karakteristik lubang resapan biopori dan sumur resapan yang
dikenal sebagai teknologi untuk pelestarian air tanah. Lebih lanjut dilakukan perbandingan
antara karakteristik kedua model tersebut untuk mencari model teknologi peresapan air yang
paling sesuai untuk kondisi permukiman kota saat ini.
Ditemukan bahwa lubang resapan biopori merupakan teknologi tepat guna, dan ramah
lingkungan yang lebih sesuai diterapkan pada kondisi perumahan kota dewasa ini. Selain
manfaatnya tidak terbatas hanya sebagai resapan dan pencegah banjir, kesederhanaan
teknologi lubang resapan biopori dengan fleksibilitas ruangnya serta biaya pembuatan yang
murah merupakan keunggulan teknologi ini. Segala kelebihan tersebut membuat teknologi
lubang resapan biopori dapat dengan mudah diaplikasikan dimanapun dan oleh siapapun.
Kata kunci: Lubang Resapan Biopori, tepat guna, pelestarian air, banjir, kompos, sampah
organik

PENDAHULUAN

Salah satu sumberdaya alam yang menjadi kebutuhan dasar manusia adalah air
bersih. Air sendiri sesungguhnya digolongkan sebagai sumber daya alam terbarukan yang
siklusnya berputar sehingga ketersediaannya selalu terjaga. Namun bersamaan dengan
tinggginya pertambahan penduduk dan cepatnya pertumbuhan kota kebutuhan manusia akan
lahan untuk hunian dan tempat beraktivitas semakin meningkat, dengan sendirinya luas lahan
terbuka akan semakin berkurang. Padahal lahan terbuka merupakan salah satu sarana
peresapan air hujan yang akan menjaga siklus air tetap berlangsung.
Perancangan hunian rumah tinggal maupun bangunan-bangunan lain seharusnya
memperhatikan fungsi peresapan air. Idealnya pada setiap bangunan yang didirikan harus
terdapat lahan yang dibiarkan terbuka tanpa perkerasan, sehingga akan menjadi tempat bagi
peresapan air hujan. Namun kecenderungan di kota-kota besar saat ini, ditengah harga
tanah yang semakin tinggi dan kebutuhan akan hunian terus bertambah keberadaan lahan
terbuka tanpa perkerasan sudah semakin jarang ditemukan. Fenomena tersebut terutama
terjadi pada permukiman menengah kebawah padat penduduk, dimana sirkulasi jalan hanya
berupa gang sempit, tak ada saluran air apalagi lahan terbuka untuk resapan. Hunian yang
berdiripun dengan ukuran lahan yang terbatas. Hampir dapat dikatakan tak ada lahan tak

1
AR 5221 arsitektur dan teknologi

terbangun yang tersisa, kalaupun ada dapat dipastikan sebagian besar telah ditutup dengan
perkerasan.
Pada musim kemarau, eksploitasi air yang terus meningkat tanpa diiringi usaha
pelestariannya, berakibat pada kelangkaan air bersih. Namun disisi lain pada musim hujan,
keterbatasan lahan resapan ditambah buruknya sistem drainase menyebabkan banjir pada
daerah dataran rendah di kota.
Dari seluruh fenomena yang telah dikemukakan, diketahui bahwa untuk mengatasi
permasalahan kelangkaan air bersih dan banjir di Indonesia dibutuhkan teknologi tepat guna
yang dapat diterapkan oleh seluruh anggota masyarakat ditengah semakin berkurangnya luas
lahan terbuka untuk resapan air.
Tulisan ini membahas karakteristik dari dua teknologi pelestarian air tanah yang telah
dikenal masyarakat yaitu lubang resapan biopori dan sumur resapan. Lebih lanjut dilakukan
perbandingan antara karakteristik kedua teknologi tersebut untuk mencari model teknologi
peresapan air yang paling sesuai untuk kondisi permukiman kota saat ini

METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah dengan studi kepustakaan tentang kondisi
pemanfaatan air, serta kondisi fisik lingkungan permukiman saat ini yang menyebabkan
kelangkaan air pada musim kemarau dan banjir pada musim hujan. Studi pustaka juga
dilakukan untuk mengkaji karakteristik teknologi peresapan air yang dikenal masyarakat yakni
lubang resapan biopori (LRB) dan sumur resapan. Dari hasil studi kepustakaan, dilakukan
analisis perbandingan antara karekteristik LRB dangan sumur resapan, sehingga dapat
diketahui teknologi peresapan air yang lebih dapat diterapkan oleh masyarakat dan sesuai
dengan kondisi fisik permukiman saat ini. Hasil studi akan disajikan dalam bentuk deskripsi

KAJIAN PUSTAKA
Gambaran Kondisi Pemanfaatan Air dan Fisik Ruang Lingkungan
Pesatnya pertumbuhan kota berakibat langsung pada makin terbatasnya ruang
terbuka yang sedianya digunakan sebagai lahan resapan air hujan sebagai usaha untuk
menyeimbangkan siklus air dan menjaga kelestariannya. Selain itu laju pertambahan jumlah
penduduk dan ekspansi ekonomi menyebabkan semakin tingginya eksploitasi terhadap
sumber daya air. Eksploitasi air tanpa diikuti usaha-usaha pelestarian sumber daya alam ini
membuat kelangkaan terhadap air dialami oleh sebagian masyarakat terutama di daerah hilir
sungai terutama pada musim kemarau (Salim et al, 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Salim et al, 2009 pada permukiman di daerah riparian
sungai Cikapundung di kota Bandung menunjukkan kekurang pedulian masyarakat terhadap
pelestarian air. Hal tersebut antara lain ditunjukkan dari preferensi masyarakat dalam
memperlakukan lahan tak terbangun pada rumah mereka, serta material yang dipilih sebagai
perkerasan.

2
AR 5221 arsitektur dan teknologi
Diagram 1. Prosentase Lahan Tertutup Diagram 2. Pemilihan Material Perkerasan
Perkerasan Pada Halaman Rumah Pada Halaman Rumah Masyarakat di 7
Masyarakat di 7 Kecamatan Kota Bandung Kecamatan Kota Bandung

sumber: Salim,et al, 2009

Hasil penelitian Salim et al, 2009 pada permukiman formal dan informal daerah
riparian Cikapundung, termasuk didalamnya 7 kecamatan di kota Bandung yaitu kecamatan
Regol, Sumur Bandung, Coblong, Bandung Wetan, Bandung Kidul, Cikawao, dan Dayeuh
Kolot ditunjukkan pada diagram 1 dan 2. Dari diagram 1 diketahui bahwa sebagian besar
responden (63%) menutup 80-100% lahan tak terbangun pada rumahnya, sedang yang
membiarkan >50% tetap terbuka tanpa perkerasan hanya sebagian kecil dari responden
(24%). Banyaknya masyarakat yang memilih memberikan perkerasan pada sisa lahan
terbangun di rumahnya dilatarbelakangi berbagai alasan, diantaranya alasan fungsional,
seperti fungsi sirkulasi maupun tempat parkir, selain juga alasan kebersihan dan kerapihan.
Diagram 2 menunjukkan material yang dipilih oleh responden untuk perkerasan halaman
rumah mereka. Terlihat bahwa sebagian besar responden (62%) memilih menggunakan
semen dan beton sebagai material perkerasan. Sebesar 24% memilih keramik, dan hanya
14% dari keseluruhan responden yang memilih menggunakan paving. Pemilihan material
semen lebih didasarkan karena kepraktisan dan harganya yang murah, sedangkan keramik
dipilih karena alasan keindahan, sebaliknya paving jarang digunakan karena harganya yang
mahal. Padahal sebagaimana diketahui semen, beton, dan keramik merupakan material
perkerasan yang tidak memungkinkan air meresap kedalam tanah melalui sela-selanya.
Selain itu menurut Salim et al, 2009 fakta di permukiman non formal saluran drainase
kadang kala tidak ada, kalaupun ada kemampuan daya tampungnya minim, belum lagi
kebiasaan masyarakat yang menyatukan saluran drainase dengan saluran buangan limbah
menimbulkan masalah lingkungan yang lain saat terjadi kerusakan yang harus diperbaiki.
Sedangkan pada permukiman formal saluran drainase penampungan air hujan disedikan dan
dialirkan menuju sungai. Dapat dikatakan bahwa hampir semua penduduk membiarkan air
hujan sebagai limpasan air yang terbuang dan sedikit sekali menampungnya untuk
pemanfaatan kebutuhan air sehari-hari. Disisi lain, buruknya sistem drainase ditambah
penggunaan material perkerasan yang tak mampu menyerap air akan membuat limpasan air
hujan meluap ke jalanan dan menyebabkan banjir.
Salim et al, 2009 menyatakan bahwa pelestarian air meski telah menjadi pengetahuan
umum bagi masyarakat namun belum menjadi kesadaran untuk diaplikasikan dalam tindakan
nyata, misalnya dengan membuat sumur resapan. Masalah dana dan pengetahuan teknis
tentang pengaliran air limbah dan air hujan menjadi kendala bagi penduduk yang sebagian
besar pendidikannya rendah serta pendatang yang profesinya sebagai pekerja pabrik
sepertinya tidak memiliki waktu yang cukup untuk peduli terhadap lingkungan.

3
AR 5221 arsitektur dan teknologi

Dalam hal pemanfaatan air dan usaha penghematan terhadap sumber daya ini, tidak
ada yang responden yang menyetujui penggunakan kembali air bekas pakai atau cuci di unit
rumah tangga karena persepsi mereka yang menyatakan air bekas adalah air kotor yang
perlu dibuang dan pesepsi bahwa air bersih lebih baik untuk digunakan daripada
menggunakan air bekas cuci (Salim et al, 2009).
Dari gambaran mengenai kondisi pemanfaatan dan fisik di ruang lingkungan tersebut,
dapat diketahui rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya
menjaga kelestarian dan keberlangsungan siklus air. Kondisi tersebut menuntut adanya
suatu teknologi tepat guna yang fleksibel dan dapat dengan mudah diaplikasikan oleh seluruh
golongan masyarakat pada huniannya masing-masing.

Lubang Resapan Biopori, Karakteristik dan Manfaatnya


Lubang Resapan Biopori (LRB) merupakan metode alternatif untuk meningkatkan
daya resap air hujan ke dalam tanah. Metode ini pertama kali dicetuskan oleh Dr. Kamir R.
Brata, seorang peneliti seorang peneliti dan dosen di Departemen Ilmu Tanah dan Sumber
Daya Lahan, Institut Pertanian Bogor (IPB). Biopori adalah lubang-lubang di dalam tanah
yang terbentuk akibat berbagai akitifitas organisma di dalamnya, seperti cacing, perakaran
tanaman, rayap dan fauna tanah lainnya. Lubang-lubang yang terbentuk akan terisi udara,
dan akan menjadi tempat berlalunya air di dalam tanah. (Tim Biopori IPB, 2007). Apabila
lubang-lubang seperti ini dibuat dengan jumlah banyak, maka kemampuan dari sebidang
tanah untuk meresapkan air akan diharapkan semakin meningkat. Meningkatnya kemampuan
tanah dalam meresapkan air akan memperkecil peluang terjadinya aliran air di permukaan
tanah, dan dengan sendirinya genangan-genangan air di permukaan tanah pada musim hujan
dapat dihindari.
Lubang Resapan Biopori dibuat dengan membuat
lubang pada tanah dengan diameter 10-30 cm, dan
kedalaman 80-100 cm, atau dalam kasus tanah dengan
permukaan air tanah dangkal tidak sampai melebihi
kedalaman muka air tanah. Selanjutnya kedalam lubang
tersebut dimasukkan sampah organik setingggi 2/3 lubang,
dapat berupa sampah dapur maupun daun-daunan kering
(Tim Biopori IPB,2007). Sampah organik tersebut
berfungsi sebagai makanan bagi cacing dan mikro
Gb.1 Lubang Resapan Biopori organisma tanah lainnya, yang akan beraktifitas dan
sumber: Almendah (2009)
membuat lubang-lubang kecil (biopori) pada dinding LRB
yang dibuat. Keberadaan lubang-lubang inilah yang akan meningkatkan dan mempercepat
daya resap tanah terhadap air.
Untuk mencegah masuknya tikus atau hewan lain kedalam lubang atau agar anak
kecil tidak terperosok, maka dapat diberikan alternatif dengan menutup lubang biopori dengan
loster yang sebelumnya diberi penutup kasa.

4
AR 5221 arsitektur dan teknologi

Gb 2. Lubang Resapan Biopori Pada Hunian Dengan Penutup Loster dan Kasa
sumber: Hasan, 2008

Diameter LRB yang relatif kecil (10 cm) memungkinkan lubang resapan ini dibuat
dengan fleksibel pada daerah dengan luas lahan terbuka yang sempit, bahkan pada daerah
yang telah diberi perkerasan 100% sekalipun, Brata (2007). Untuk mempermudah
pembuatan lubang dapat digunakan bor khusus yang telah banyak tersedia di pasaran
dengan harga tak terlalu mahal. Karena itu LRB memperkecil ruang alasan bagi masyarakat
siapapun dan dimanapun untuk tidak mengambil peran bagi upaya pelestarian lingkungan,
dengan cara meresapkan air hujan sebanyak-banyaknya ke dalam tanah, sekaligus
memproses sampah yang mereka hasilkan masing-masing dengan memilahnya menjadi
sampah organik dan anorganik.
Daya resap air akan tergantung dari jenis tanah pada lokasi dimana LRB dibuat.
Karenanya menurut Tim Biopori, IPB (2007) untuk menambah efektifitasnya, jumlah LRB
yang diperlukan untuk luasan lahan tertentu pada daerah tertentu dapat dihitung dengan
persamaan: Jumlah LRB = intensitas hujan(mm/jam) x luas bidang kedap (m2) / Laju
Peresapan Air per Lubang (liter/jam). Namun untuk kemudahan, yang biasa dilakukan adalah
pembuatan LRB setiap jarak ± 1 m pada daerah-daerah yang dilalui air hujan maupun didasar
selokan.

Gb 3. Lubang Resapan Biopori Pada Jalan dan Dasar Selokan, Dengan 100% Perkerasan
sumber: Parantri, (2010) dan Johnherf, (2008)

Untuk perawatannya, LRB harus terus menerus dijaga agar tetap terisi sampah
organik sebagai makanan mikro organisme tanah. Sampah organik yang dimasukkan
kedalam LRB dalam jangka 2-4 minggu akan membusuk dan berubah menjadi kompos.
Kompos yang diproduksi dapat diambil dan dimanfaatkan untuk menyuburkan tanaman.
Apabila tidak diambil maka kompos tersebut akan terurai dalam tanah, oleh karenanya lubang
harus diperiksa dan diisi dengan sampah organik kembali secara teratur. Apabila diameter
lubang resapan biopori berukuran 10 cm dan dalamnya 100 cm, maka satu lubang dapat

5
AR 5221 arsitektur dan teknologi

menampung sampai dengan 7,8 liter sampah organik. Dengan demikian salah satu manfaat
lain LRB adalah sebagai alat pengolahan sampah organik.
Selain manfaat yang telah disebutkan, manfaat lain lubang resapan biopori menurut
Johnherf, (2008) adalah memelihara cadangan air tanah, mencegah terjadi keamblesan
(subsidence) dan keretakan tanah, menghambat intrusi air laut, mengubah sampah organik
menjadi kompos, meningkatkan kesuburan tanah, menjaga keanekaragaman hayati dalam
tanah, mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh adanya genangan air seperti demam
berdarah, malaria, kaki gajah, mengurangi masalah pembuangan sampah yang
mengakibatkan pencemaran udara dan perairan, mengurang emisi gas rumah kaca (CO 2 dan
metan), serta mengurangi banjir, longsor, dan kekeringan. Karena karakteristiknya yang
sederhana, mudah, dan murah, serta manfaatnya tidak hanya mencakup satu aspek saja,
maka tidaklah berlebihan apabila LRB disebut sebagai teknologi tepat guna dan multi fungsi
yang dapat diterapkan untuk menjaga keseimbangan alam di era pemanasan global dewasa
ini.

Karakteristik Sumur Resapan Sebagai Alternatif Teknologi Penyimpan Air Tanah


Sumur resapan telah lama dikenal sebagai rekayasa teknik konservasi air yang
berupa bangunan yang dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk sumur gali
dengan kedalaman tertentu yang berfungsi sebagai tempat menampung air hujan diatas atap
rumah dan meresapkannya ke dalam tanah (Dephut,1994 dalam Mulyana, 2007).
Ditjen Cipta Karya Departemen Pekerjaaan Umum menetapkan data teknis sumur
resapan air yaitu sebagai berikut : (1) Ukuran maksimum diameter 1,4 meter, (2) Ukuran pipa
masuk diameter 110 mm, (3) Ukuran pipa pelimpah diameter 110 mm, (4) Ukuran kedalaman
1,5 sampai dengan 3 meter, (5) Dinding dibuat dari pasangan bata atau batako dari campuran
1 semen : 4 pasir tanpa plester, (6) Rongga sumur resapan diisi dengan batu kosong 20/20
setebal 40 cm, (7) Penutup sumur resapan dari plat beton tebal 10 cm dengan campuran 1
semen : 2 pasir : 3 kerikil. Sedangkan keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 115 tahun 2001,
memberikan ilustrasi gambar desain sumur resapan seperti terlihat pada gambar 4,
(Wardoyo, 2004).

Gb 4. Penampang Sumur Resapan Berdasarkan keputusan Gubernur DKI Jakarta


No.115 tahun 2001.
sumber: Waryono, (2004)

6
AR 5221 arsitektur dan teknologi

Arahan umur resapan di DKI Jakarta, memberikan gambaran besaran volume air
tersedia berdasarkan luas kanopi bangunan. Kelemahan dari teknologi sumur resapan
tersebut,sulit diimplementasikan pada permukiman-permukiman padat bangunan. Atas dasar
itulah pentingnya alternatif pembuatan sumur resapan secara komunal berdasarkan diameter
sumur per satuan luas (m2/ha), Wardoyo (2004).
Pembuatan sumur resapan secara komunal untuk lingkungan permukiman salah
satunya berfungsi untuk menekan biaya, karena pada sistem ini satu sumur resapan dengan
ukuran tertentu dapat digunakan untuk beberapa unit hunian sekaligus. Sumur resapan untuk
komunal, dapat dibuat pada bahu jalan seperti tampak pada gambar 5.

Gb.5 Pembuatan Sumur Resapan


Secara Komunal Pada Permukiman
Dengan Memanfaatkan Bahu Jalan
sumber: Said et,al

Namun kelemahan pembuatan sumur resapan secara komunal ini kurang fleksibel
dilakukan pada perumahan informal, atau hanya dapat dilakukan pada perumahan yang
direncanakan skala besar (perumahan oleh pengembang). Hal tersebut terjadi karena
pembuatan sumur resapan dibawah bahu jalan harus direncanakan sejak awal sebelum
dibangunnya jalan. Begitupun dengan pemasangan pipa-pipa saluran dari setiap unit rumah
harus direncanakan ketika tahap pembangunan rumah masih dalam batas pondasi. Dengan
demikian, perumahan informal dimana perencanaan pembangunannya tidak serentak tidak
dimungkinkan memakai sumur resapan dengan sistem komunal ini. Untuk rumah-rumah
informal, sumur resapan yang biasa digunakan adalah pada halaman atau pekarangan.
Standar Nasional Indonesia No: 03-2453-2002 menetapkan cara perencanaan sumur
resapan air hujan untuk lahan pekarangan termasuk persyaratan umum dan teknis mengenai
batas muka air tanah, nilai permeabilitas tanah, jarak terhadap bangunan, perhitungan dan
penentuan sumur resapan air hujan (Mulyana,2007). Persyaratan umum yang harus dipenuhi
untuk sumur resapan di halaman atau pekarangan antara lain sebagai berikut:
1. Sumur resapan air hujan ditempatkan pada lahan yang relatif datar;
2. Air yang masuk ke dalam sumur resapan adalah air hujan tidak tercemar;
3. Penetapan sumur resapan air hujan harus mempertimbangkan keamanan bangunan
sekitarnya;
4. Harus memperhatikan peraturan daerah setempat;
5. Hal-hal yang tidak memenuhi ketentuan ini harus disetujui Instansi yang berwenang.
Sedangkan manfaat sumur resapan sendiri menurut Said, et al adalah menambah
jumlah air yang masuk kedalam tanah sehingga dapat menjaga kesetimbangan hidrologi air

7
AR 5221 arsitektur dan teknologi

tanah dan dapat mencegah intrusi air laut, mereduksi dimensi jaringan drainase dapat sampai
nol jika diperlukan, menurunkan konsentrasi pencemaran air tanah, mempertahankan tinggi
muka air tanah, mengurangi limpasan permukaan sehingga dapat mencegah banjir,
mencegah terjadinya penurunan tanah, dan melestarikan teknologi tradisional.

PEMBAHASAN
Analisis Perbandingan Teknologi Lubang Resapan Biopori Dengan Sumur Resapan
Analisis perbandingan ini dilakukan untuk mencari teknologi pelestarian air tanah yang
paling sesuai dan dapat diaplikasikan pada kondisi permukiman saat ini. Analisis dilakukan
dengan membandingkan karakteristik LRB dan sumur resapan, selanjutnya dilihat kesesuaian
karakteristik tersebut dengan kondisi fisik pemukiman dewasa ini.

Tabel 1. Perbedaan Karakteristik Lubang Resapan Biopori dan Sumur Resapan

Aspek Lubang Resapan Biopori Sumur Resapan


Fleksibilitas ukuran - Ø 10 cm, kecil dan fleksibel dalam - Ø 1-1,5 m, membutuhkan lahan
penempatannya, tidak membutuhkan yang relative lebih luas daripada
lahan yang luas, dapat dibuat pada LRB, tidak dapat diterapkan pada
lahan 100% telah tertutup perkerasan. permukiman informal padat
- Dapat dibuat kapan saja dan dimana penduduk tanpa perencanaan
saja, tidak harus direncanakan terlebih dahulu sebelumnya.
dahulu sebelum pembangunan rumah. - Sumur resapan komunal tidak
dapat digunakan untuk
permukiman informal
- Perletakannya kurang fleksibel
disbanding LRB
Kesulitan - Teknologinya sangat sederhana, Membutuhkan keterampilan khusus
mudah dimengerti oleh siapapun. untuk konstruksinya (lebih rumit dari
- Pembuatannya cepat, dipermudah LRB sehingga untuk pembuatannya
dengan alat bor maka satu lubang membutuhkan tenaga kerja, yang
dapat diselesaikan ± 10 menit akhirnya juga menelan biaya
Harga - Relatif murah, yang dibutuhkan hanya - Harga material dalam pembuatan
alat bor seharga Rp 150.000-200.000 sumur resapan, seperti bata, pipa,
yang dapat digunakan berkali-kali. ijuk, dan lain sebagainya tentunya
Akan menjadi jauh lebih murah apabila lebih mahal daripada biaya
satu alat bor dimiliki oleh beberapa pembuatan LRB.
orang, misalkan dibeli oleh RT untuk - Membutuhkan biaya untuk tenaga
warganya. pekerja
- Mudah dikerjakan sendiri, sehingga
tidak perlu membayar tenaga kerja.
Daya Tampung - Satu lubang dengan diameter 10 cm - Daya tampung air lebih besar
dapat menampung sampah organik ± daripada LRB, namun tidak
7,8 liter. berfungsi meningkatkan daya
- Karena ukurannya yang lebih kecil, resap tanah terhadap air, sehingga
dan fungsinya bukan untuk tidak dapat mengatasi
menampung air tentu daya tampung permasalahan genangan air,

8
AR 5221 arsitektur dan teknologi

air pada LRB lebih kecil daripada kecuali jika secara langsung
sumur resapan. Namun keberadaan diarahkan melalui pipa masuk ke
biopori yang terbentuk dari aktivitas sumur resapan.
organisma tanah didalamnya mampu
meningkatkan daya serap tanah
terhadap air, sehingga yang terjadi
adalah penambahan luas penampang
tanah. Makin berkali-lipat luas
penampang tanah, makin besar pula
potensi meresapkan air ke dalam
tanah.
- Karena berfungsi meningkatkan daya
serap tanah terhadap air, maka dapat
juga mengatasi masalah genangan air
akibat hujan yang ada disekitar LRB,
Brata (2007) dalam Tunggal, (2008)
Manfaat - Selain bermanfaat dalam pelestarian - Hanya berfungsi sebagai
air juga sebagai pengolah sampah penyimpan air tanah, tidak untuk
organik menjadi kompos yang mengolah sampah.
menyuburkan tanah.

sumber: analisis pribadi, 2010


Dari analisis perbandingan karakteristik antara LRB dan sumur resapan diatas, terlihat
bahwa yang lebih efektif untuk diterapkan pada kondisi permukiman kota saat ini dimana
lahan terbuka sudah semakin sempit adalah LRB. LRB dengan fleksibilitas ukurannya yang
jauh lebih kecil dan sederhana dibandingkan sumur resapan dapat diterapkan pada
permukiman padat penduduk yang bahkan terlanjur tidak menyisakan lahan terbuka tanpa
perkerasan. Sementara sumur resapan kurang efektif untuk diterapkan karena pembuatan
sumur resapan terutama pipanisasinya menuntut perencanaan sejak awal pembangunan
rumah.
Kesederhanaan lubang resapan biopori membuat teknologi ini dapat dengan mudah
dimengerti dan diterapkan oleh siapapun. Terlebih pembiayaannya yang murah, terutama jika
dibandingkan dengan biaya pembuatan satu sumur resapan memungkinkan LRB dibuat oleh
masyarakat dari segala tingkat ekonomi.
Daya tampung sumur resapan terhadapair memang lebih besar daripada LRB, namun
LRB berfungsi meningkatkan daya serap tanah terhadap air, dan lubang-lubang biopori yang
dibentuk oleh mikroorganisma didalam tanah akan meningkatkan luas penampang tanah
yang mampu menyerap air. Keuntungan itulah yang tidak terdapat pada sumur resapan.
Dilihat dari sisi manfaat, teknologi LRB dapat memberikan beberapa manfaat
sekaligus pada aspek yang berbeda (tidak hanya dari aspek air dan tanah saja) namun juga
sebagai salah satu cara pengelolaan sampah organik, dan menghasilkan kompos. Dengan
membuat LRB dalam huniannya, maka masyarakat akan dituntut untuk membiasakan diri
memisahkan sampah rumah tangganya menjadi sampah organik dan anorganik. Sehingga

9
AR 5221 arsitektur dan teknologi

dengan teknologi ini masyarakat akan dapat berpartisipasi untuk menjaga keseimbangan
lingkungan.

KESIMPULAN
Dalam kondisi pesatnya pertumbuhan kota saat ini, dimana ketersediaan lahan
terbuka untuk resapan semakin terbatas dan digantikan oleh perkerasan, dibutuhkan satu
teknologi tepat guna untuk menjaga kelestarian air tanah sehingga siklusnya akan selalu
berputar dan ketersediaannya selalu terjaga.
Teknologi tepat guna yang dimaksud disini adalah bahwa teknologi itu harus
sederhana, dan murah. Selain itu perencanaannya juga fleksibel dan dapat diterapkan dengan
mudah. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya lahan untuk resapan lebih banyak pada
perumahan informal padat penduduk, dimana rumah-rumah terbangun secara incremental
tanpa perencanaan dan berdiri pada lahan seadanya sehingga perencanaan lahan resapan
seringkali diabaikan. Masyarakat pada daerah inipun umumnya berada pada tingkat ekonomi
bawah sehingga perencanaan teknologi penyimpanan air tanah seperti sumur resapan
cenderung ditinggalkan karena akan memakan biaya.
Teknologi lubang resapan biopori dinilai dapat menjawab tantangan tersebut. Cara
pembuatannya yang mudah, dan murah, serta ukrannya menyebabkan teknologi ini dapat
diterapkan dengan mudah oleh siapapun. Ditambah lagi teknologi ramah lingkungan ini selain
berfungsi menjaga kelestarian air tanah, dan mencegah banjir, juga mampu mengatasi
masalah sampah organik dengan merubahnya menjadi kompos yang menyuburkan tanaman,

DAFTAR PUSTAKA
Alamendah, (2009), Lubang Resapan Biopori, Sederhana Tepat Guna,
http://alamendah.wordpress.com
Hasan, (2008), Biopori di Rumah, http://hasant.wordpress.com
Johnherf, (2008), Biopori Sebagai Peresap Air yang Mengatasi Banjir dan Sampah,
http://johnherf.wordpress.com/2008/02/21
Mulyana, Rachmat, Solusi Mengatasi Banjir dan Menurunnya Permukaan Air Tanah Pada
Kawasan Perumahan, http://bebasbanjir2015.wordpress.com
Parantri, Galuh,(2010), Biopori adalah Solusi, http://kompasiana.com/supergal
Said, Nusa Idaman, Haryoto Indriatmoko, Nugro Raharjo, Arie Herlambang, Teknologi
Konservasi Air dengan Sumur Resapan,
http://www.kelair.bppt.go.id/Sitpa/Artikel/Sumur/sumur.html
Salim, Suparti Amir, Wanda Yovita, Yuni Sri Wahyuni, (2009), Revitalisasi Permukiman Kota:
Pengembangan Pola-pola Baru Penataan Permukiman Kota Berbasis Penyediaan
dan Penggunaan Air Secara Berkelanjutan, Bandung; ITB
Tim Biopori IPB, (2007), Jumlah LRB yang Disarankan, http://www.biopori.com/jumlah.php.
Tim Biopori IPB, (2007), Lubang Resapan Biopori (LBR),
http://www.biopori.com/resapan_biopori.php
Tunggal, Nawa, (2008), Kamir Raziudin Brata, Pencetus Lubang Resapan Biopori, Kompas 8
Maret 2008, www.kompas.com
Waryono, Tarsoen, (2004), Aplikasi Teknologi Sumur Resapan Ramah Lingkungan Dalam
Kancah Revitalisasi Air Tanah, Kumpulan Makalah periode 1987-2008, Jakarta; UI

10

You might also like