Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
Andi Rosilala (0706291193)
Erika (0706291243)
Resi Qurrata A (0706291363)
Winda (0706291464)
0
BAB I
PENDAHULUAN
Akhir tahun 2007 menjadi awal cobaan berat setelah krisis Asia 1997 – 1998
terhadap perekonomian Indonesia. Peristiwa instabilitas finansial yang terjadi di
Amerika Serikat (AS) dalam derajat tertentu berdampak ke Indonesia. Krisis yang lebih
dikenal dengan istilah krisis finansial global ini bermula dari kebijakan uang longgar
yang diterapkan oleh Bank Sentral AS, The Fed, yang memuncak dalam kasus produk
sekuritisasi kredit perumahan yang disebut subprime mortage. Adapun terkait dampak
krisis ini terhadap perekonomian AS khususnya, dan dunia pada umumnya, 1 pertama,
The Fed harus secara berturut-turut menurunkan tingkat suku bunganya. Penurunan
suku bunga itu sendiri telah mendorong pelemahan nilai tukar dollar AS terhadap
beberapa mata uang kuat dunia, seperti poundsterling, euro, yen, dan lain-lain. Kedua,
The Fed juga terpaksa harus mengucurkan dana segar untuk menyelamatkan aset-aset
yang sedang bermasalah. Salah satu contoh yang fenomenal adalah usaha
menyelamatkan Bear Stearns & Co.Inc yang terancam bangkrut, ditandai dengan
anjloknya nilai saham perusahaan investasi tersebut dari 60 dollar AS menjadi 2 dollar
AS.
The Fed, selain terus menurunkan suku bunga guna menggerakkan ekonomi, ia
juga bertugas meredam gejolak pasar, baik dengan menyuntikkan likuiditas langsung
maupun membeli aset-aset yang bangkrut. Upaya penyelamatan ini merupakan kerja
sama antara The Fed dan Departemen Keuangan AS. Menteri Keuangan Henry Paulson
terpaksa mengambil prakarsa mendirikan semacam lembaga peminjaman swasta yang
disebut Superfund. Lembaga ini didukung oleh Citigroup Inc., JP Morgan Chase Co.,
dan Bank of America Corp. Selain Bear Stearns, krisis kredit perumahan juga menyeret
Merrill Lynch dalam kerugian amat besar, yakni mencapai sekitar 8 milliar dollar AS.
Bencana kerugian perusahaan-perusahaan investasi kelas dunia ini menjalar dengan
cepat ke Eropa dan Jepang, seperti UBS dan Barclays (Eropa, serta Mizuho (Jepang),
mengalami kerugian serius, akibat krisis subprime mortgage.
1
A. Prasetyantoko, Bencana Finansial: Stabilitas Sebagai Barang Publik, (Jakarta: Kompas, 2008), hal.
166 – 167.
1
Gonjang-ganjing krisis finansial global ini, pada periode awal krisis global
tahun 2007, tidak terlalu dirasakan dampaknya secara langsung oleh Indonesia di
tingkat domestik. Akan tetapi, walaupun secara keseluruhan perekonomian Indonesia
mencatat perubahan-perubahan positif pada tahun 2007, bukan berarti Indonesia lantas
terbebas dari krisis dan tidak terkena dampak KFG. Pada tahun 2008, perekonomian
Indonesia, terutama dari sektor finansial, mulai menunjukkan tanda-tanda negatif.
Dampak krisis finansial global pada sektor finansial Indonesia dapat dibagi menjadi
beberapa kategori, yaitu dampak pada sektor nilai tukar rupiah yang terdepresiasi,
turunnya harga saham di pasar modal domestik, menurunnya cadangan devisa, dan
huru hara di sektor perbankan. Oleh karena itu, fokus dalam pada makalah ini akan
ditekankan pada sektor finansial saja.
2 Ibid.
2
mendapatkan hasil yang cukup positif, ditandai oleh beberapa hal, seperti kembali
terciptanya penguatan harga saham di pasar modal domestik, cadangan devisa
Indonesia kian stabil dan meningkat, hingga mencapai angka 65,54 milyar USD pada
November 2009, dan penurunan risiko Indonesia di mata investor menurut indikator
Credit Default Swaps (CDS).
Penelitian ini, selain memotret kembali peristiwa krisis finansial global 2008
silam; penyebab beserta dampaknya, terutama ke Indonesia, juga ingin menunjukkan
bahwa sektor finansial sangat rawan dan instabil serta menjadi determinasi terjadinya
krisis. Sektor finansial yang dinamis dan instabil ini memerlukan regulasi yang tepat
oleh otoritas keuangan, baik dilakukan dalam domestik setiap negara, regional, maupun
internasional. Pengaturan lalu lintas keuangan ini tentu saja menuntut peranan besar
dari pemerintah. Dengan kata lain, sektor finansial tidak dapat lagi begitu saja kita
serahkan pada “tangan ghaib” pasar karena pengalaman krisis demi krisis telah
membuktikan bahwa hal itu justru menjadi pemantik lahirnya gejolak, fluktuasi,
instabilitas, krisis, yang dapat berujung resesi, bahkan depresi ekonomi.
Secara spesifik, penelitian ini akan menjawab dua pertanyaan utama di bawah
ini, yaitu:
3
I.4. Manfaat Penelitian
3 John W. Creswell, Research Design: Qualitative and Quantittative Approaches, (California: Sage Publications,
1994), hal. 145.
4 Ibid.
4
BAB II
KERANGKA KONSEP DAN LITERATUR REVIEW
Apa yang disebut peran negara dalam teori John Maynard Keynes adalah kritik
utama terhadap asumsi-asumsi dasar ekonomi kaum klasik yang selalu percaya bahwa
perekonomian yang berlandaskan pada kekuatan mekanisme pasar akan selalu menuju
keseimbangan (equilibrium). Dalam posisi keseimbangan, kegiatan produksi dianggap
secara otomatis akan menciptakan daya beli untuk membeli barang-barang yang
dihasilkan. Dalam posisi keseimbangan juga dikatakan tidak terjadi kelebihan maupun
kekuarangan permintaan. Ketidakseimbangan (disequilibrium), seperti pasokan lebih
besar dari permintaan; kekurangan konsumsi; atau terjadi pengangguran, keadaan ini
dinilai kaum klasik sebagai sesuatu yang sifatnya sementara. Nanti akan ada suatu
tangan ghaib (invisible hand) yang akan membawa perekonomian kembali pada posisi
keseimbangan. Kaum klasik juga percaya bahwa dalam keseimbangan semua sumber
daya, termasuk tenaga kerja, akan digunakan secara penuh (full-employment). Dengan
demikian, di bawah sistem yang didasarkan pada mekanisme pasar tidak ada
pengangguran. Pekerja terpaksa menerima upah rendah daripada tidak memperoleh
pendapatan sama sekali. Jadi dalam pasar persaingan sempurna, mereka yang mau
bekerja pasti akan memperoleh pekerjaa. Pengecualiaan berlaku bagi mereka yang
“pilih-pilih” pekerjaan, atau tidak mau bekerja dengan tingkat upah yang diatur oleh
pasar. Pekerja yang tidak bekerja karena dua alasan tersebut, oleh kaum klasik tidak
disebut sebagai pengagguran sukarela (voluntary unemployment).
Kaum klasik juga hanya menekankan pada sektor mikro. Misalnya dalam
produksi. Prinsip yang digunakan adalah bagaimana menghasilkan barang dan jasa
sebanyak-banyaknya. Itu dilakukan dengan biaya serendah-rendahnya dengan memilih
5
Konsep-konsep penting pada bagian ini disarikan dari berbagai buku bacaan, seperti James A. Caporaso
dan David P. Levine, Bab 5: Ekonomi Politik Keynesian, dalam Teori-Teori Ekonomi Politik,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal. 236 – 250; Deviarnov, Bab 10: Pemikiran-Pemikiran Keynes,
dalam Perkembangan Pemikiran Ekonomi (edisi revisi), (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), hal.
159 – 167; dan Mark Skousen, Bab 13: Pemberontakan Keynes: Kapitalisme Menghadapi Tantangan
Terbesar, dalam Teori-Teori Ekonomi Modern, (Jakarta: Prenada Media, 2001), hal. 395 – 430.
5
alternatif kombinasi faktor-faktor produksi terbaik atau efisien, guna memperoleh
keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal ini tentu didorong keyakinan bahwa setiap
barang yang diproduksi akan selalu diiringi permintaan atau dengan kata lain,
penawaran akan selalu menciptakan pemintaan (hukum J.B. Say: supply creates its own
demand).
Prinsip-prinsip klasik di atas mendapat sorotan kritik tajam dari Keynes. Kritik
Keynes didasarkan pada rasionalisasi logis tentang hukum-hukum dasar klasik tersebut
disertai konklusi bahwa perekonomian tidak dapat bergerak sendiri di ruang vakum,
tetapi membutuhkan peran dan campur tangan negara. Pertama, rasionalisasi yang
Keynes ketengahkan di antaranya, tentang hukum Say. Secara umum, menurut Keynes,
biasanya permintaan lebih kecil dari penawaran. Hukum Say dinilai hanya berlaku
untuk perekonomian sederhana dan tertutup yang terdiri dari sektor rumah tangga dan
perusahaan saja. Akan tetapi dalam sistem perekonomin masyarakat yang telah maju,
sudah dikenal konsep tabungan. Sehingga, sebagian dari pendapatan yang diterima
masyarakat akan mengalami kebocoran (leakage) karena ditabung dan tidak semua
dihabiskan untuk konsumsi. Dengan demikian, permintaan efektif biasanya selalu lebih
kecil dari total produksi karena permintaan agregat akan selalu lebih kecil dari
penawaran agregat.
Dari berbagai kebijakan yang dapat diambil, Keynes lebih sering mengandalkan
kebijakan fiskal. Dengan kebijakan fiskal, pemerintah dapat mempengaruhi jalannya
perekonomian. Langkah itu dilakukan dengan menyuntikkan dana berupa pengeluaran
pemerintah untuk proyek-proyek yang mampu menyerap tenaga kerja. Kebijakan ini
sangat ampuh dalam meningkatkan output dan memberantas pengangguran, terutama
pada situasi saat sumber-sumber daya belum dimanfaatkan secara penuh.
Apakah Keynes tidak percaya pada mekanisme pasar bebas sesuai doktrin
laissez faire-laissez klasik? Apakah ia tidak yakin dengan anggapan klasik bahwa
7
perekonomian akan menentukan jalannya sendiri menuju keseimbangan? Keynes
sebetulnya percaya tentang semua hal yang dikemukakan oleh kaum klasik tersebut.
Akan tetapi, Keynes menilai bahwa jalan menuju keseimbangan dan full-employment
tersebut sangat panjang. Kalau ditunggu mekanisme pasar (lewat tangan ghaib) yang
akan membawa perekonomian kembali pada posisi keseimbangan, dibutuhkan waktu
sangat lama. Keynes pernah menulis, “dalam jangka panjang kita akan mati!” (In the
long run we’re all dead!). Jadi, satu-satunya cara untuk membawa perekonomian ke
arah yang diinginkan seandainya ia “lari dari posisi keseimbangan ialah lewat
intervensi atau campur tangan pemerintah.
Sektor finansial juga mendapat perhatian sendiri oleh Keynes untuk agar
pemerintah ikut campur tangan. Hal ini karena sektor finansial dianggap sebagai
8
katalisator terjadinya krisis. Kenyataan ini semakin terbukti dalam beberapa dekade
terakhir, lewat peristiwa krisis 1997 dan 2008. Dalam hal ini, akan dipaparkan beberapa
pandangan Keynes terkait dengan sifat dasar uang, kredit, dan investasi. Jika pemikiran
klasik menganggap uang hanya sebagai “pelumas mesin ekonomi”, maka Keynes
menganggap uang justru mempengaruhi motif dan keputusan dalam setiap aktivitas
ekonomi. Ia, menurut Keynes, tidaklah netral. Lebih dari sekedar komoditas, uang
disebut sebagai hasil dari konvesi (kesepakatan sosial) dalam bentuk kontrak yuridis, di
mana otoritas legalitasnya diberikan kepada (biasanya bank sentral).
Krisis ini disebut juga krisis neraca pembayaran. Ia merupakan salah satu bentuk dari
krisis ekonomi di mana nilai tukar mata uang suatu negara berubah cepat sehingga
fungsi uang sebagai perantara pertukaran dan penyimpan nilai tidak terpenuhi.
6Konsep-konsep penting pada bagian ini dikutip dari skripsi Mohammad Hanri, Sistem Peringatan Dini
Krisis Nilai Tukar: Kasus Indonesia Tahun 1990 – 2008, Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi, UI,
2009.
9
Krugman (1979) dan Leassons (2001) mengatakan bahwa krisis mata uang adalah akar
dari krisis ekonomi yang terjadi ketika pemerintah mempertahankan nilai tukar pada
tingkatan tertentu dengan menggunakan cadangan devisa secara terus-menerus. Hal itu
pada akhirnya akan menghabiskan cadangan devisa negara itu sendiri. Sehingga,
memaksa pemerintah untuk menurunkan nilai tukar mata uangnya atau mengubah
sistem nilai tukarnya. Akibatnya, nilai tukar menjadi terdepresiasi sangat besar.
Jenis krisis nilai tukar ini terbagi menjadi 3 (tiga), yaitu first generation of currency
crisis, second generation of currency crisis, dan third generation of currency crisis.
Pendekatan pada jenis pertama ini dikemukakan oleh Krugman (1979) dan Flood dan
Garber (1984) yang mengatakan bahwa hal itu terjadi karena kondisi
ketidakseimbangan fiskal yang tidak stabil sehingga memicu serangan terhadap mata
uang. Asumsinya, bank sentral cenderung melakukan pembiayaan defisit fiskal melalui
pemberian kredit dalam negeri dan mempertahankan nilai tukar pada tingkat yang tetap.
Dengan kondisi cadangan devisa yang terbatas, ekspektasi akan terjadinya devaluasi
mendorong para spekulan untuk menyerang mata uang negara yang bersangkutan dan
akan menguras cadangan devisa bank sentral.
Pada jenis kedua, Diamond dan Dybvig (1983) mengatakan bahwa krisis nilai tukar
terjadi pada kondisi trade off yang dialami pemerintah antara mempertahankan nilai
mata uangnya dan menerapkan kebijakan moneter yang ekspansif untuk mengurangi
pengangguran. Meski cadangan devisa cukup memadai, untuk mempertahankan nilai
tukar tetap, spekulan cenderung menyerang apabila ada indikasi kurangnya komitmen
pemerintah untuk mempertahankan nilai tukar tersebut. Dalam kasus ini, krisis dipicu
oleh memburuknya kondisi fundamental perekonomian, seperti penurunan tingkat
pertumbuhan, kenaikan tingkat pengangguran dan inflasi.
Terakhir, jenis ketiga, Krugman (1998) dan Corsetti, dkk. (1998) menyebut moral
hazard sebagai pemicu krisis nilai tukar. Menurutnya, moral hazard terjadi karena
adanya persepsi bahwa pemerintah akan selalu siap menjamin dan menanggulangi
perusahaan swasta yang menghadapi masalah. Sehingga, terjadi kelebihan investor dan
pinjaman yang mengakibatkan akumulasi utang sektor swasta dalam jumlah yang
10
sangat besar. Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan pemerintah tidak bergantung lagi
pada penerimaan pajak untuk mengurangi krisis, tetapi pada penerimaan seignorage7.
Hal ini justru akan memicu inflasi di masa depan dan menjadi pintu masuk serangan
spekulasi terhadap mata uang. Pada krisis generasi ketiga ini, krisis nilai tukar akan
menular melalui hubungan perdagangan (trade link) dan karena kesamaan kondisi
fundamental ekonomi.
a. Faktor Internal
Menurut studi IMF pada tahun 1998, terdapat beberapa faktor penyebab terjadinya
krisis nilai tukar, yaitu; defisit neraca berjalan, utang luar negeri yang besar, sektor
keuangan yang terlalu bebas dan tak teregulasi, kebijakan moneter yang menjalankan
sistem moneter tetap dan tingkat suku bunga yang tinggi. Tirmidi (1999) mengatakan
bahwa sistem devisa yang terlalu bebas akan menyebabkan arus modal dan valuta asing
mengalir keluar masuk secara deras dan bebas. Hal itu akan memicu terjadinya
spekulasi di pasar valuta asing. Spekulasi itu termanifestasi dalam beberapa bentuk,
seperti kebebasan memiliki rekening valuta asing di dalam atau luar negeri, valuta
asing diperdagangkan dapat diperdagangkan di dalam negeri, sebagaimana mata uang
negara yang bersangkutan juga bebas diperdagangkan di luar negeri.
Krugman (1979) menyebutkan 4 (empat) faktor penyebab krisis mata uang, yaitu
ekspansi moneter dan kredit domestik yang berlebihan, neraca berjalan yang buruk,
sistem finansial yang rapuh, dan tingkat keterbukaan perekonomian yang semakin
tinggi. Ekspansi moneter dan kredit domestik dalam sistem nilai tukar tetap dianggap
sebagai poin awal penyebab krisis yang dapat memicu terjadinya pengurangan
cadangan devisa, kelebihan jumlah uang yang beredar, turunnya suku bunga,
meningkatnya aliran modal ke luar, dan terdepresiasinya nilai tukar.
7Seignorage Keuntungan yang diperoleh pemerintah karena kemampuannya mencetak uang, yaitu selisih
antara nilai uang dan biaya percetakan uang tersebut.
11
menurun. Pada penjelasan tentang sistem finansial yang rapuh, terdapat 3 (tiga)
hipotesis (Eichengreen dan Hausmann, 1999), yaitu diakibat oleh moral hazard,
original sin, dan commitment problem. Moral hazard, sebagaimana sudah disebutkan
sebelumnya, berawal dari kondisi ideal dan aman dalam perekonomian yang berasal
dari jaminan pemerintah menyebabkan perilaku spekulasi yang tinggi. Original sin
mengandung pengertian bahwa ketidakmampuan mata uang domestik sebagai akar
krisis finansial. Di negara berkembang, mata uang domestik tidak dapat digunakan
sebagai pinjaman dan bank sentral tidak akan me-hedging mata uang asing dan suku
bunga, di mana kedua variabel tersebut dipengaruhi oleh negara lain. Hedging tidak
dilakukan bukan karena tidak mau, melainkan karena sulitnya pembuatan persetujuan
hedging dengan menggunakan mata uang domestik. Terakhir, masalah commitment
problem erat kaitannya dengan lemahnya hukum dan pengaturan di institusi keuangan
pemerintah sehingga perilaku eksesif dan spekulatif terjadi dalam skala besar.
b. Faktor Eksternal
Selain faktor internal yang dijelaskan di atas, terdapat faktor eksternal yang
menyebabkan terjadinya krisis nilai tukar, yaitu faktor penularan (contagion effect).
Menurut Fratzscher (2002), contagion effect ini terjadi dalam dua jalur, yakni jalur
perdagangan dan jalur finansial. Logika terjadinya krisis mata uang dari jalur
perdagangan mengikuti alur berpikir berikut: (i) Serangan terhadap suatu mata uang
menyebabkan mata uang tersebut terdepresiasi sehingga dapat meningkatkan daya
saing produknya; (ii) Peningkatan daya saing ini berarti penurunan ekspor bagi negara-
negara pesaingnya, sehingga dapat mengakibatkan negara pesaingnya mengalami
defisit transaksi berjalan, penurunan cadangan devisa secara bertahap, yang berujung
pada serangan terhadap mata uang; (iii) Selain efek penularan terhadap negara pesaing,
hal ini juga dapat terjadi terhadap negara mitra dagang; (iv) ketika terjadi krisis, mata
uang akan terdepresiasi yang menyebabkan harga barang ekspor turun. Bagi mitra
dagang, hal itu berarti penurunan harga barang impor yang dapat mendorong penurunan
inflasi dan permintaan uang beredar; (v) Guna melindungi mata uangnya, pelaku
ekonomi pada negara mitra dagang dapat melakukan swap yang mengakibatkan
terkurasnya cadangan devisa yang dikuasasi bank sentral; (vi) cadangan devisa yang
12
menurun dapat memicu terjadinya krisis mata uang karena kemampuan cadangan
devisa yang ada semakin tidak mampu menyerap serangan spekulan.
Saat krisis menyerang Asia tahun 1997/1998, Indonesia merupakan salah satu
negara yang mengalami keterpurukan ekonomi akibat krisis dan merasakan dampak
negative paling besar. Disamping masalah dalam negeri yang dihadapi Indonesia
seperti lemahnya pengawasan terhadap sektor perbankan, extensive crony capitalism,
korupsi, monopoli kekuasaan dan pertumbuhan pinjaman jangka pendek, Indonesia
dilihat sebagai kasus yang paling jelas dari penularan krisis (contagion), karena
Indonesia merupakan the least severe macroeconomic imbalances (defisit current
account Indonesia paling rendah di tingkat Asian-5 dan ekspornya tertinggi kedua).8
Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa krisis moneter yang menyerangesia
pada tahun 1997/1998 sangat dipengaruhi oleh krisis yang sesaat sebelumnya terjadi di
beberapa negara Asia Tenggara. Hal inilah yang disebut sebagai contagion effect yang
dibahas dalam IMF Working Paper tersebut.
Literatur lain yang membahas mengenai krisis yang menimpa Indonesia adalah
Krisis Asia 1997/1998. Miranda S. Goeltom (2007) 9 mendeskripsikan kondisi nilai
8 Valerie Cerra dan Sweta Chaman Saxena, Contagion, Monsoons, and Domestics Turmoil in Indonesia: a Case
Study in Asian Currency Crisis, dalam IMF Working Paper-Maret 2000, hal. 5.
9 Miranda S. Goeltom, “Globalisation of the World’s Financial System and Capital Flows in Indonesia”,
dalam Essays in Macroeconomic Policy: The Indonesian Experience, (Jakarta: Pustaka Utama, 2007), hal. 459-
485.
13
tukar sebelum, saat dan setelah krisis. Sebelum Krisis Asia 1997/1998, kondisi nilai
tukar di Indonesia ditandai dengan menguatnya atau apresiasi nilai rupiah. 10 Sedangkan
pada periode krisis dan paska krisis, kondisi nilai tukar di Indonesia ditandai dengan
melemahnya atau depresiasi nilai rupiah. Keadaan krisis ini menyebabkan depresiasi
rupiah hingga titik terendah 1 dolar mencapai Rp16.000 pada bulan Juni 1998 dan
kemudian keadaan ekonomi membaik dengan signifikan di tahun 2004 dengan
penguatan nilai rupiah yang ditandai dengan 1 dolar sama dengan Rp8.600 hingga
Rp9.200. 11 Selain itu, dalam periode krisis dan paska krisis, Indonesia mengalami
kemerosotan pasar modal.12
Kebijakan nilai tukar sebelum krisis ditandai dengan perubahan sistem nilai
tukar tetap menjadi managed floating. 13 Hal ini didorong oleh globalisasi sistem
keuangan dunia yang ditandai dengan meningkatnya capital mobility dan pertumbuhan
integrasi ekonomi regional dan internasional. Sistem managed floating merupakan
sistem nilai tukar mengambang dengan rentang nilai tukar tertentu dan dapat
diintervensi oleh Bank Indonesia jika keluar dari rentang nilai tukar yang telah
ditentukan. Sedangkan, kebijakan nilai tukar setelah krisis ditandai dengan penggunaan
sistem free floating yang ditujukan untuk mengurangi perdagangan spekulatif.14 Namun,
perdagangan spekulatif tetap dapat dilakukan oleh agen ekonomi di dalam pasar
finansial intenasional yang memiliki skill dan information power yang biasanya
merupakan spekulan warga negara asing. Rupiah dijadikan sebagai komoditas
perdagangan spekulatif di pasar finansial dunia sehingga mengganggu stabilitas
ekonomi Indonesia. Untuk itu, Bank Indonesia berusaha untuk mengurangi aksi
spekulatif dengan regulasi untuk membatasi besarnya transaksi. Namun yang terjadi
lack of enforcement and sanction.
14
BAB III
KRISIS FINANSIAL GLOBAL DAN DAMPAKNYA DI INDONESIA
15 Robert J. Shiller, The Suprime Solution: How Today’s Global Financial Crisis Happened, and What to Do about
It, (Princeton: Princeton University Press, 2008), hal. 9.
16 Menjaga Stabilitas, Mendukung Pembangunan Ekonomi Negeri: Laporan Perekonomian Indonesia 2007, (Bank
Carmen Reinhart, (ed.), The First Global Financial Crisis of the 21st Century, (London: Centre for Economic
Policy Research (CEPR), 2008), hal. 37.
15
Tito Boeri dan Luigi Guiso menguraikan ada tiga faktor yang berkontribusi
pada krisis finansial 2007/2008 yang dipicu oleh kegagalan subprime mortgages di
AS.18 Pertama, rendahnya pengetahuan finansial mengenai rumah tangga AS. Kedua,
inovasi finansial yang telah menghasilkan sekuritisasi secara besar-besaran terhadap
aset yang tidak riil dan kebijakan suku bunga rendah sejak tahun 2001-2004. Ketiga,
penyebab terpenting adalah tanpa kebijakan dari Alan Greenspan ini, maka krisis
finansial global 2007/2008 mungkin tidak akan pernah terjadi. Alan Greenspan
merupakan ketua Federal Reserve Board yang bertujuan untuk memastikan besarnya
likuiditas di pasar modal.19 Greenspan menerapkan kebijakan suku bunga rendah yang
berpengaruh pada kemudahan invenstor untuk meminjam dana dengan lebih murah dan
kemudian menginvestasikannya di pasar surat-surat berharga.20
Faktor kedua adalah inovasi finansial selama 10 tahun terakhir yang telah
menghasilkan sekuritisasi terhadap aset yang tidak riil. Sekarang ini, portfolio dapat
dengan mudah dicairkan oleh investor padahal portfolio tersebut merupakan portfolio
16
pada kredit yang tidak mudah dicairkan, seperti pinjaman bank atau mortgages. 23
Kebanyakan bank menggunakan mekanisme ini untuk mengamankan kredit mereka
sendiri. Inovasi finansial ini membawa keuntungan dan kerugian. Keuntungan
didapatkan oleh para investor dimana dalam mekanisme ini kredit yang tidak mudah
dicairkan menjadi mudah dicairkan sehingga posisi menguntungkan karena dapat
memperoleh laba yang lebih besar. Sedangkan, kerugiannya adalah adanya resiko yang
menimbulkan keadaan tidak sanggup membayar dari peminjam maupun bank. Selain
itu, inovasi finansial ini membuat bank berkurang insentifnya untuk menyaring para
peminjam dengan hati-hati sehingga pintu kredit bagi peminjam berkualitas rendah
menjadi terbuka lebar.
23 Ibid.
24 Ibid, hal. 39.
25 Ibid, hal. 34.
17
tahun 2002 hanya mencapai $213 miliar dan kemudian meningkat tiga kali lipat
menjadi $665 miliar di tahun 2005.26 Di pihak lain, sekuritisasi dengan agunan berbasis
KPR subprime terus meningkat melalui financial engineering yang dikemas dalam
bentuk Asset Backed Securities (ABS) dan Collateralized Debt Obligation (CDO).
Besarnya potensi keuntungan yang diraih dari sekuritisasi subprime mortgage ini
mendorong beberapa lembaga keuangan besar masuk ke dalam bisnis ini termasuk Bear
& Sterns, HSBC, dan Citigroup. Kemasan produk CDO menjadi semakin menarik
karena memperoleh rating yang tinggi dari lembaga pemeringkat termasuk Standard
and Poor‟s dan Moody‟s. Imbalan hasil yang tinggi juga menarik minat para investor
dari banyak negara untuk membeli CDO tersebut. Selama tahun 2003-2007 penerbitan
ABS dan CDO yang beragunan subprime mortgage meningkat tajam sehingga pada
tahun 2006 mencapai lebih dari $450 miliar.27
Bisnis yang terkait subprime mortgage ini cepat berkembang menjadi krisis
global. Padahal sebagian besar dari KPR menggunakan Adjustable Rate Mortgage
(ARM) yang suku bunganya tetap pada beberapa tahun pertama dan selanjutnya
menyesuaikan dengan suku bunga pasar. Dengan risiko kredit nasabah subprime yang
cukup tinggi maka suku bunga yang dibebankan adalah ARM ditambah margin tertentu.
Namun, sejalan dengan tren suku bunga yang meningkat sejak pertengahan tahun 2004,
beban pembayaran angsuran nasabah subprime menjadi semakin berat. 28 Hal ini
menyebabkan peminjam tidak lagi mampu membayar sehingga menimbulkan kredit
macet yang terus meningkat. Hal ini dapat digambarkan dalam grafik I di bawah ini:
26 Bank Indonesia, Menjaga Stabilitas, Mendukung Pembangunan Ekonomi Negeri: Laporan Perekonomian
Indonesia 2007, (Jakarta: Bank Indonesia, 2008), hal. 72.
27 Ibid.
28 Ibid.
18
Grafik I: Perkembangan Kredit Perumahan yang Bermasalah di AS
Pada saat yang hampir bersamaan, harga sektor properti AS juga jatuh.
Akibatnya, lembaga keuangan penyalur KPR banyak yang merugi, bahkan beberapa di
antaranya sampai bangkrut. Pada pertengahan tahun 2007, akumulasi permasalahan
kredit macet sektor perumahan di AS memuncak dan akhirnya menimbulkan gejolak di
pasar keuangan global. 29 Kredit macet yang meningkat tinggi menyebabkan investor
menilai ulang investasinya di CDO karena semakin menurunnya nilai agunan dari surat
berharga tersebut. Harga CDO-pun merosot tajam. Sementara itu, kerugian yang
dialami lembaga penyalur KPR mengakibatkan harga sahamnya jatuh di bursa saham
AS yang merembet ke seluruh saham di sektor keuangan terutama sektor perbankan.
Kejatuhan harga saham di AS ini kemudian berimbas ke skala global terutama
harga saham lembaga keuangan di luar AS yang memiliki eksposur, baik secara
langsung maupun secara tidak langsung, terhadap CDO. Investor global yang
menyadari memiliki eksposur terhadap CDO juga serentak menilai ulang risiko
investasinya. Akibatnya, terjadi pengalihan dana besar-besaran dari aset keuangan yang
dipandang berisiko ke aset yang relatif aman seperti obligasi pemerintah AS.30 Krisis
kepercayaan terhadap CDO meluas sehingga menyebabkan lembaga keuangan penyalur
KPR dan perusahaan penerbit Asset Backed Commercial Paper (ABCP) semakin sulit
memperoleh dana di pasar kredit. Hal tersebut terjadi karena investor banyak yang
menolak memperpanjang penempatan dana di ABCP. Sektor perbankan sebagai
penjamin ABCP harus mengambil alih pemenuhan dana dari penyalur KPR yang pada
gilirannya membebani neraca perbankan. Langkah Federal Reserve menurunkan suku
29 Ibid, hal.73.
30 Ibid.
19
bunga pada Agustus 2007 dan injeksi likuiditas melalui koordinasi dengan sejumlah
bank sentral lain dalam jumlah besar hanya mampu meredam gejolak pasar keuangan
sesaat.31
Kejatuhan harga rumah yang terus berlanjut, ketidakstabilan di pasar keuangan,
dan ketatnya standar penyaluran KPR pada gilirannya menekan konsumsi masyarakat
AS. Selain itu, sektor manufaktur juga mulai terkena imbas dari melemahnya konsumsi
sehingga mendorong gelombang pemutusan hubungan kerja. Di pihak lain, sejumlah
lembaga keuangan termasuk bank-bank investasi AS terkemuka melaporkan kerugian
yang cukup besar dari bisnis CDO dan sampai akhir tahun 2007 total kerugiannya
melampaui $100 miliar. 32 Menjelang akhir tahun 2007 ekonomi AS pun semakin
dibayangi resesi sehingga tekanan di pasar keuangan global terus berlanjut.
31 Ibid.
32 Ibid.
33 Ibid.
34 Bank Indonesia, Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia, (Jakarta: Bank Indonesia,
2010), hal. 2.
20
Pada periode terjadinya krisis subprime mortgage, besarnya resiko bagi investor
global terhadap aset emerging markets membuat aset Indonesia menurun.
Perkembangan ini juga berkorelasi kuat dengan perkembangan nilai tukar rupiah. Hal
tersebut tercermin pada tekanan depresiasi terhadap rupiah. Arus keluar dana asing
mengalami eskalasi sejak Juni 2007 dan berlanjut hingga Agustus 2007, yang
menimbulkan tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Penarikan dana investasi asing dari
pasar keuangan Indonesia sebagian berasal dari SBI dan obligasi negara. Setelah itu
arus dana keluar mereda. Namun, pada tanggal 15 September 2008, Lehman Brothers,
sebuah institusi yang didirikan tiga bersaudara imigran asal Jerman: Henry, Emanuel
dan Mayer Lehman, menyatakan diri bangkrut.35
35 Ibid, hal.3.
36 Ibid.
37 Ibid, hal.4.
21
BAB IV
DATA, ANALISIS, DAN RESPON PEMERINTAH INDONESIA
“Apabila ada yang mengatakan bahwa pada bulan-bulan di tahun 2008 itu tidak ada krisis di
Indonesia atau hanya krisis ringan saja, yang bersangkutan tidak mengetahui keadaan atau
tidak jujur” (Boediono, Mantan Gubernur BI sekaligus Wakil Presiden RI 2010)
Krisis Finansial Global yang terjadi di dunia merupakan ujian dan tantangan
sendiri pada perekonomian Indonesia. Tantangan itu sangat terasa sejak tahun 2008, di
mana ketika ini harga komoditas internasional meningkat tajam dan rambatan dari
krisis subprime mortgage di Amerika Serikat mulai terasa di Indonesia. Secara
keseluruhan, perekonomian Indonesia pada tahun 2007 mencatat beberapa perubahan
yang menggembirakan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di atas angka 6%.
Menurut laporan Bank Indonesia tahun 2007, neraca pembayaran Indonesia mencatat
surplus, cadangan devisa meningkat, nilai tukar menguat, pertumbuhan kredit
melampaui target, dan laju inflasi sesuai dengan sasaran yang ditetapkan.38
Hal ini sangat nyata terjadi pada paruh kedua tahun 2007, di mana rambatan
krisis subprime mortgage menimbulkan kecemasan yang meluas terhadap perlambatan
laju pertumbuhan ekonomi dunia, yang lantas mendorong para investor global untuk
melakukan penilaian ulang risiko (repricing of risk) dan menarik dana dari aset yang
berisiko tinggi (flight to quality), terutama aset-aset dari negara emerging markets
termasuk Indonesia. 39 Hal tersebut juga lantas memicu pembalikan arus investasi
38 Bank Indonesia, Menjaga Stabilitas, Mendukung Pembangunan Ekonomi Negeri: Laporan Perekonomian
Indonesia 2007. hal. 2.
39 Ibid, h. 69.
22
portofolio asing di pasar keuangan domestik, yang pada akhirnya mempengaruhi
dinamika kestabilan makroekonomi Indonesia dari sisi nilai tukar. Rupiah pada paruh
kedua tahun 2007 terdepresiasi secara signifikan dan sempat mencapai nilai terlemah di
tahun 2007 pada Agustus 2007 dengan rata-rata bulanan sebesar Rp 9.372 per dolar
AS.40 Sehingga, nilai tukar Rupiah bergerak menguat pada paruh pertama tahun 2007
dan selanjutnya cenderung berfluktuasi pada paruh kedua tahun 2007.
Grafik IIIa (kanan): Apresiasi/Depresiasi Beberapa Mata Uang Global Tahun 2006-2007.42
Grafik IIIb (kiri): Volatilitas Rupiah Periode 2007-2008
40 Ibid, h. 3.
41 Bank Indonesia, Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia. (Jakarta: Bank Indonesia,
2010), h. 13.
42 Bank Indonesia, Menjaga Stabilitas, op. cit., h. 70.
23
Grafik IV: Depresiasi Rupiah
24
IV.1.3. Meningkatnya Credit Default Swap (CDS) Indonesia
Grafik VI: Credit Default Swap Indonesia periode September 2008-September 2009.43
43 Tim Asistensi Sosialisasi Kebijakan Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, Departemen
Keuangan Republik Indonesia, Buku Putih Upaya Pemerintah dalam Pencegahan dan Penanganan Krisis.
(Jakarta: Departemen Keuangan RI, 2010), h. 19.
25
Grafik VII: Cadangan Devisa Indonesia Periode 2008
IV.2. Respon Pemerintah dan Bank Indonesia Menanggapi Krisis pada Sektor
Finansial Indonesia
Dalam menanggapi krisis yang terjadi di Indonesia pada sektor finansial akibat
terguncangnya perekonomian global, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) pun
mengeluarkan beberapa kebijakan. Kebijakan-kebijakan tersebut dapat dibagi menjadi
beberapa sektor seperti berikut.
48 Ibid, h. 12.
49 Ibid.
50 Tim Asistensi Sosialisasi Kebijakan Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, op. cit., h. 27.
51 Bank Indonesia, Krisis Global, op. cit., h. 13-14.
28
likuiditas perbankan dilakukan terhadap sampel 15 bank besar, 18 bank menengah dan
5 bank kecil. Tidak hanya dilakukan untuk menguji ketahanan likuditas perbankan
nasional, simulasi ini juga menguji fluktuasi suku bunga, fluktuasi nilai tukar dan
kenaikan jumlah kredit bermasalah. Melalui simulasi ini, diharapkan BI dapat mulai
memantau bank-bank yang berpotensi mengalami masalah terhadap kondisi
perekonomian secara umum.
2. mencari pembiayaan defisit anggaran dari sumber non-pasar dari luar negeri, antara
lain melalui lembaga multilateral (World Bank, IDB, JBIC), bilateral dan
Sovereign Wealth Fund;
3. mengupayakan “swap facility” dengan bank sentral negara lain, antara lain Bank of
China, Bank of Japan, Monetary Authority of Singapore;
5. memberlakukan wajib lapor terhadap setiap pembelian USD dalam jumlah besar,
untuk mencegah terjadinya spekulasi Dollar;
52 Tim Asistensi Sosialisasi Kebijakan Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, op. cit., h. 27-
28.
29
Pemerintah juga melakukan berbagai upaya untuk menjaga kesinambungan
APBN, tidak hanya untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang positif, tapi juga
untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat di tengah iklim krisis ini. Upaya tersebut
dilakukan melalui53:
1. penambahan belanja atau fokus belanja untuk sektor-sektor yang berdampak besar
pada pertumbuhan penciptaan lapangan kerja dan pengurangan kemiskinan;
2. perancangan pembiayaan darurat dari pinjaman luar negeri antara lain melalui
private replacement pada lembaga sovereign wealth funds, lembaga multilateral
dan bilateral, serta ASEAN+3;
3. melakukan relaksasi dan tarif pajak untuk beberapa sektor krusial, misalnya
minyak kelapa sawit.
Kebijakan nilai tukar erat kaitannya dengan arah kebijakan moneter. Bank
Indonesia akan tetap konsisten menerapkan kebijakan nilai tukar yang fleksibel
sehingga pergerakan nilai tukar sejalan dengan kondisi fundamental ekonomi
54
Indonesia. Guna menjaga volatilitas nilai tukar rupiah, Bank Indonesia juga
melakukan intervensi di pasar valuta asing. 55 Pada akhirnya, berbagai langkah untuk
menstabilkan nilai tukar rupiah tersebut ditujukan untuk mendukung upaya pencapaian
sasaran tingkat inflasi yang telah ditetapkan dan mengarahkan ekspektasi inflasi pelaku
ekonomi kepada sasaran inflasi tersebut.
Kebijakan yang ditempuh untuk menstabilkan nilai tukar rupiah selama tahun
2007 dijalankan melalui kebijakan pengelolaan nilai tukar yang tetap diarahkan untuk
menjaga konsistensinya dengan pencapaian keseimbangan internal dan eksternal
perekonomian. Dalam kaitan tersebut, kebijakan intervensi di pasar valuta asing tetap
dilakukan secara terukur untuk menjaga volatilitas nilai tukar. Hal tersebut tercermin
pada volatilitas rupiah yang secara tahunan menurun dari 3,9% pada tahun 2006
53 Ibid, h. 28.
54 Bank Indonesia, Menjaga Stabilitas, Mendukung Pembangunan Ekonomi Negeri: Laporan Perekonomian
Indonesia 2007, (Jakarta: Bank Indonesia, 2008), hal. 195.
55 Ibid.
30
menjadi 1,4% pada tahun 2007. 56 Selain kebijakan intervensi, Bank Indonesia juga
melakukan penguatan strategi komunikasi serta peningkatan efektivitas peraturan
kehati-hatian dan pemantauan lalu lintas devisa.
Pada intinya untuk mengatasai volatilitas nilai tukar rupiah akibat krisis
finansial 2007/2008, Bank Indonesia berupaya menjaga agar volatilitas nilai tukar yang
terjadi di pasar tidak berlebihan. Dalam kaitan ini, BI mengoptimalkan penggunaan
instrumen moneter yang ada, disertai dengan aturan kehati-hatian untuk menghindari
munculnya ketidakstabilan sistem keuangan.57 Selain itu, pemerintah juga mendorong
penguatan nilai tukar rupiah secara fundamental melalui penguatan sisi eksternalnya,
yaitu melalui neraca pembayaran dan cadangan devisa. Neraca pembayaran Indonesia
mencapai surplus sekitar USD 12 miliar dan didukung pula oleh surplusnya transaksi
berjalan dan transaksi modal dan finansial.58 Cadangan devisa di akhir tahun 2009 pun
tercatat sebesar USD 66,1 miliar atau setara dengan kemampuan Indonesia untuk
mengimpor selama 6 bulan ditambah kemampuan membayar seluruh hutang luar negeri
pemerintah.59
IV.3. Hasil dari Kebijakan Pemerintah dan Bank Indonesia: Kondisi Sektor
Finansial Indonesia pada Akhir 2009
56 Ibid, hal.71.
57 Dr. Darmin Nasu, Menata dan Memperkuat Perbankan Indonesia, Menyongsong Pemulihan Ekonomi
Global, diakses dari http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/A88FB08E-6901-4820-B4E6-
3B177F7D95A1/18673/BD2010_Pidato_Pjs_Gubernur_BI.pdf, pada tanggal 4 Mei 2010, pukul 21.16 WIB,
hal. 5.
58 Ibid, hal.2-3.
59 Ibid.
31
IV.3.1. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan Rupiah
Grafik IXa (kiri): Indeks Harga Saham Gabungan dan Nilai Tukar Rupiah Periode 200960
Grafik IXb (kanan): Volatilitas Rupiah Periode 200961
60 Ibid, h. 52
61 Ibid.
32
Grafik X: Credit Default Swaps (CDS) Periode Januari 2008-November 200962
Jika pada November 2008, cadangan devisa Indonesia sempat mencapai titik
yang sangat rendah, yaitu 50,18 milyar USD, kebijakan dan respon yang diambil
pemerintah dan BI pada akhirnya menyebabkan cadangan devisa Indonesia kian stabil
dan meningkat, hingga mencapai angka 65,54 milyar USD pada November 2009
(Grafik XI).
Grafik XI: Cadangan Devisa Indonesia yang Kembali Stabil pada Akhir 2009
62 Ibid, h. 53.
33
Berbagai data dan indikator di atas menunjukkan, fase kritis pada sektor
finansial Indonesia sudah berhasil terlewati. Walaupun belum mencapai angka yang
sepositif sebelumnya, sektor finansial Indonesia jelas sudah bergerak ke arah yang
benar. Dalam hal ini, respon dan kebijakan yang cepat dari pemerintah dan Bank
Indonesia memegang peranan penting.
IV.4. Analisis
Jika merujuk kembali pada pembahasan di atas, dapat kita tarik satu kesimpulan
bahwa pada dasarnya Indonesia tidak terimbas terlalu dalam dari hiruk pikuk krisis
finansial global. Memang ada beberapa sektor, terutama sektor keuangan yang cukup
tergoncang. Akan tetapi, jika berdasar laporan upaya penanggulangan dari BI terhadap
situasi yang ada, maka kondisi sektor keuangan Indonesia dengan (cukup) tepat dapat
diantisipasi melalui serangkaian kebijakan yang telah disebutkan di atas dari
keterpurukan lebih parah. Hal ini kemudian berdampak pada kembali normalnya
(terutama) tingkat pertumbuhan ekonomi, laju inflasi dalam negeri Indonesia, cadangan
devisa yang membaik, iklim investasi yang makin kondusif.
Untuk dua hal yang disebutkan terakhir di atas, ada beberapa catatan yang perlu
dilihat di luar data-data grafik yang disajikan sebelumnya. Indikator membaiknya
cadangan devisa dan iklim investasi tidak dapat dipisahkan dari peristiwa besarnya,
yaitu krisis finansial global itu sendiri. Sebagaimana disebutkan di bagian kerangka
konsep sebelumnya, menurut Fratzscher (2002) tentang contagion effect yang dapat
terjadi dalam dua jalur, yakni jalur perdagangan (trade link) dan jalur finansial
(financial link). Jalur finansial ini dalam istilah Prasetyantoko disebut jalur aliran
modal (capital channel) yang umumnya dikategorikan sebagai modal jangka pendek.63
Logika pada jalur perdagangan telah dijelaskan di bagian kerangka konsep. Sementara
itu, untuk jalur aliran modal mengikuti logika sebagai berikut: karena prospek
perekonomian AS menurun, maka kinerja perusahaan juga akan menurun. Akibatnya,
harapan para investor terhadap emiten (perusahaan yang tercatat di bursa saham) akan
menurun pula, sehingga mereka memilih mengalihkan dananya ke pasar modal di
kawasan lain yang tidak terkena dampak langsung.
63
Prasetyantoko, op.cit, hal. 174 – 189.
34
Hal inilah yang perlu diwaspadai. Iklim investasi yang membaik harus ditelaah
lebih dalam apakah investasi yang ada banyak dalam bentuk investasi sektor rill (dalam
bentuk FDI dan utang jangka panjang) atau justru dalam bentuk surat berharga. Jenis
terakhir ini dikategorikan sebagai uang panas (hot money) yang mana sewaktu-waktu
dapat dibawa ke luar negeri jika terdapat tempat investasi yang lebih menjanjikan
investor selain karena keraguan akan stabilitas perekonomian dalam negeri. Dalam
kenyataannya ternyata memang demikian. Indeks Bursa Efek Indonesia (BEI) justru
mengalami peningkatan tajam ketika terjadi risiko resesi perekonomian AS. Dalam
jangka pendek, tentu hal itu cukup menguntungkan, tetapi cukup berisiko dalam jangka
panjang karena dana tersebut dapat hilang tiba-tiba.
64Disamapaikan dalam kuliah umum bertema How Bad Indonesia's Monetary Mess di Hotel Aryaduta,
Jakarta, Rabu 18 Februari 2009, http://bisnis.vivanews.com/news/read/31376-
hanke__sistem_nilai_tukar_indonesia_berbahaya.
35
IV.5. Lesson Learned
Setidaknya terdapat 4 (empat) poin penting yang menjadi pembelajar berharga dalam
peristiwa krisis finansial global 2008 lalu. Pertama, peristiwa ini semakin menegaskan
kembali akan bahaya sistem perekonomian bebas tanpa kontrol, terutama di sektor
keuangan. Kerawanan sektor keuangan ini terutama diakibatkan faktor instabilitas yang
memang sudah inheren dalam uang itu sendiri. Selain itu, hal itu kemudian berpadu
dengan persoalan moral hazard dari para spekulan yang hanya mengejar keuntungan.
Kedua, fungsi kontrol yang disebutkan di sini mengimplikasikan adanya penguatan
kembali unsur negara dalam melakukan regulasi perekonomian. Krisis finansial 2008,
juga krisis-krisis lain sebelumnya, menegaskan bahwa pasar pada dasarnya tidak
mampu meregulasi dirinya sendiri sehingga intervensi pemerintah menjadi satu
keniscayaan. Intervensi ini dapat dilakukan secara individu (masing-masing negara
dalam kebijakan domestiknya) maupun secara kolektif di tataran regional maupun
internasional. Ketiga, Krisis finansial yang diawali dengan krisis nilai tukar menuntut
kejelian dan kemauan politik pemerintah untuk memilih penerapan kebijakan nilai
tukar mata uangnya terhadap dolar AS. Untuk kasus Indonesia, seperti diutarakan
Hanke, baiknya Indonesia menerapkan sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate).
Perkembangan global tidak terlalu banyak memberi pilihan bagi pengambil kebijakan.
Dominasi sektor keuangan yang telah sampai pada taraf sebagai “perangkap” tak dapat
lagi dihindari. Jelasnya, terdapat keterputusan hubungan antara sektor finansial dan
sektor riil sehingga di satu sisi sektor finansial dapat melesat dengan cepat, sementara
di sisi lain, sektor riil tetap mengalami situasi sulit dan tidak berkembang.
kecenderungan global ini dapat terlihat dalam dinamika ekonomi Indonesia. Terdapat 2
(dua) hal yang bisa dikemukakan, yaitu pertama, sejak beberapa tahun sejak krisis 1997
– 1998, sektor-sektor perekonomian yang tumbuh subur hanya sektor nonproduktif
36
(non-traded) atau sektor jasa, bukan sektor produktif yang secara riil berdampak pada
peningkatan kesempatan kerja. Kedua, setiap peluncuran Obligasi Negara Ritel (ORI)
selalu dibanjiri peminat. Demikian pula dengan produk turunannya yang lain.
Kenyataan ini menunjukkan betapa macetnya sektor dunia usaha di Indonesia, sehingga
menanamkan uang pada investasi produk-produk keuangan tetap lebih menguntungkan
daripada membuka usaha riil. Contoh konkretnya adalah dalam melihat geliat daya beli
masyarakat yang meningkat. Ternyata cara memperoleh dan digunakan untuk apa
menunjukkan bahwa pembelian tersebut tidak ditujukan untuk kepentingan usaha riil.
Misalnya, masyarakat membeli barang dari kemudahan perbankan memberikan fasilitas
kredit, apalagi adanya perusahaan pembiayaan (multifinance). Industri reksa dana
(mutual funds) juga mengalami perkembangan yang sangat cepat karena memberikan
imbal hasil yang sangat tinggi dalam waktu tidak terlalu lama.
Krisis Finansial yang melanda hampir seluruh bagian dunia, menandakan ada
yang salah dengan arsitektur finansial saat ini yang menyebabkan krisis menular begitu
cepat dan semakin membesar. Oleh karena itu dibutuhkan rancangan arsitektur
finansial baru yang dapat mengatasi atau setidaknya meminimalisasi dampak negatif
dari krisis. Yang dibutuhkan saat ini adalah sistem finansial yang efisien dan memiliki
pengaturan yang baik. 65 Negara-negara di dunia sebelumnya telah berupaya untuk
menyatukan kekuatan dan mengumpulkan ide dari berbagai latar belakang tingkat
ekonoi melalui forum G20 yang juga melibatkan Indonesia di dalamnya. Dalam forum
internasional ini, Indonesia merupakan satu-satunya negara Asia Tenggara yang
diikutsertakan. Terlepas dari berbagai asumsi berbeda mengenai keberadaan Indonesia
dalam forum tersebut, setidaknya Indonesia dapat menymbangkan pemikirannya dan
ikut berkontribusi dalam perbaikan ekonomi dunia.
65Statement by Dr. Susilo Bambang Yudhoyono, President of Republic of Indonesia, at G-20 Summit,
Washington DC, 15 November 2008. Diakses dari
http://www.insouth.org/index.php?option=com_publicationz2&publication.
37
krisis global. Tindakan harus dilaksanakan secara berkesinambungan di tingkat
nasional, regional, dan global. Berikut ini adalah petikan pidato Presiden Yudhoyono
dalam G20 Summit tersebut:66
At the national level, like all other countries, Indonesia has quickly responded
to the crisis, among others, by ensuring the availability of liquidity in the system,
providing guarantees to maintain confidence in the banking sector. We also
took necessary steps to unlock the credit crunch, including for trade financing,
which is already affecting trade flows. Through fiscal and budgetary measures,
we also provided social safety net to mitigate the impact of the financial crisis
to the poorest segments of society. Learning from the crisis a decade ago where
we lacked confidence, trust and coordination, we have also made sure that our
response, both fiscal and monetary, brings together all the stake-holders,
including the Central bank and business.
At the regional level, ASEAN and ASEAN plus 3 countries must better
synchronize their policies, including Chiang Mai Initiative (CMI), which is a
form of self-help reserve policy. This is necessary to ensure the continued flow
of trade and investment in our region.
At the global level, we must do all we can to mitigate the damaging effects of
this crisis to emerging market economies and less developing countries.
Developed countries have better resources to undertake counter-cyclical
measures to restore global growth, and this will very much help sustain their
trade and investment in developing countries. The developing countries must
also be able to carry out effective fiscal spending in the critical areas of
infrastructure development, job creation, poverty reduction and other
development goals.
Dalam pertemuan tersebut, Indonesia juga mengusulkan pembentukan Global
Expenditure Support Fund, yakni semacam lembaga penyedia dana bagi negara-negara
yang sedang dalam masa pemulihan dari krisis agar dapat segera bangkit dari
keterpurukan. Lembaga ini disokong dari bantuan dana dari negara-negara maju,
sehingga dapat membantu kesulitan likuiditas yang dialami oleh negara
miskin/berkembang yang membutuhkan dana dan tidak mampu menyediakannya
sendiri untuk keluar dari krisis.
Krisis global yang terjadi saat ini membutuhkan upaya bersama, baik dari
negara maju, emerging economy, maupun developing countries yang saling
bekerjasama dan menggalang kekuatan yang menunjukkan komitmen dalam
penanggulangannya. Upaya tidak bisa hanya dilakukan oleh salah satu pihak saja,
karena krisis saat ini telah bersifat global dan diprediksi akan berlangsung dalam waktu
66 Ibid.
38
yang tidak singkat. Untuk itu, lagi-lagi kerjasama menjadi sesuatu yang sangat
ditekankan dalam hal ini.
Sebagai negara yang relatif memiliki persiapan dalam sektor finansial yang
baik, sektor keuangan Indonesia relatif lebih stabil dibanding negara G20 lainnya dan
karenanya, krisis finansial global tidak terlalu menghancurkan perekonomian Indonesia
secara keseluruhan. Sehubungan dengan hal tersebut, wajarlah bila kiranya keberadaan
Indonesia dalam berbagai forum G20 yang membahas mengenai krisis global disambut
baik oleh negara-negara G20 lainnya. Dalam pertemuan G20 pada November 2008 di
Sao Paulo yang memfokuskan pembahasan pada krisis keuangan global, Indonesia
mengajukan usul pembentukan mekanisme dukungan pembangunan bagi negara-negara
berkembang dalam mengatasi krisis keuangan internasional. Skema ini dinamakan
skema dana siaga global (global budget fund). Adapun mekanisme dana talangan ini
diajukan untuk memberikan pinjaman jangka pendek pada negara berkembang yang
terkena dampak dari krisis yang menimpa negara maju. Bantuan ini diberikan tanpa
persyaratan bagi negara yang memiliki reputasi dan kebijakan keuangan yang baik.
Usulan pembentukan mekanisme dana talangan ini mendapat respon positif dari
negara-negara G20. Lebih lanjut lagi, mekanisme bantuan ini telah disepakati oleh
Bank Dunia, bank pembangunan kawasan serta IMF.
Lebih lanjut lagi, dalam pertemuan para pemimpin negara G20 di Washington
DC, 14-15 November 2008, Indonesia mengusulkan untuk menambah likuiditas
keuangan di emerging economies yang memiliki track record dan kebijakan ekonomi
yang baik melalui mekanisme bilateral, regional swap (seperti ASEAN+3) maupun
multilateral tanpa kondisionalitas yang bersifat terlalu mengekang. Indonesia juga
mendukung adanya stimulus dan ekspansi fiskal bagi negara-negara yang memiliki
surplus likuiditas seperti China, Jepang, Australia, dan Singapore. Dalam pertemuan ini,
Indonesia dan negara-negara G20 lain juga sepakat untuk melakukan reformasi
lembaga keuangan internasional, melalui penguatan Financial Stability Forum yang
secara efektif melakukan pengendalian risiko keuangan dan secara rutin melakukan
early warning system.67
67
Badan Kebijakan Fiskal, Pers Briefing: 50 Langkah Penyelamatan Ekonomi Dunia dan Manfaat bagi
Indonesia; Deklarasi Pemimpin Negara G20 di Washington DC, 14-15 November 2008.
http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/siaranpers/siaranpdf%5CPers%20Briefing%20G20.pdf
39
Sehubungan dengan pertemuan G20 yang akan diadakan pada 24-25 Juni 2010
mendatang di Toronto, pada tanggal 11 Maret 2010, Direktorat Jenderal Multilateral
Kementerian Luar Negeri telah menyelenggarakan acara Curah Gagasan: Indonesia dan
arah ke Depan G20 Pasca Krisis Ekonomi Global, di Hotel Melia Pulosari,
Yogyakarta. Acara curah gagasan ini juga dihadiri oleh 4- pemangku kepentingan dari
10 kementrian dan lembaga pemerintahan, hadir pula wakil dari CSIS selaku nara
sumber dari sisi masyarakat sipil. Pertemuan ini pada dasarnya bertujuan untuk
membahas posisi dan kepentingan Indonesia, untuk kemudian diajukan dalam KTT
G20 bulan Juni mendatang. Hasil dari pertemuan itu adalah Indonesia setuju untuk
lebih memaksimalkan posisinya dalam merumuskan Framework for Strong Sustainable
and Balanced Growth G20 untuk mendorong kepentingan negara berkembang,
khususnya penetapan isu pembangunan sebagai tema penting untuk pertumbuhan
ekonomi global. Selama ini, Indonesia telah mendorong terciptanya fasilitas keuangan
yang mendukung kebutuhan negara berkembang seperti pembentukan pemberdayaan
Multilateral Development Banks (MDBs), Flexible Credit Line (FCL), dan Deferred
Drawdown Options (DDO).68
68
Sekretariat Negara Republik Indonesia, Curah Gagasan: Indonesia dan Arah ke Depan G20 Pasca
Krisis Ekonomi Global, Jogjakarta, 11-12 Maret. http://www.indonesia.go.id/id/index.php?
option=com_content&task=view&id=12242&Itemid=683
40
BAB V
KESIMPULAN
Krisis finansial global yang terjadi di akhir 2007 secara substansial memang
tidak berpangaruh serius terhadap perekonomian Indonesia. Hanya saja, sektor
keuangan perlu mendapat sorotan tersendiri oleh karena pada paruh kedua tahun 2008,
sektor finansial Indonesia mengalami penurunan yang cukup signifikan, yang ditandai
dengan menurunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar, menurunnya harga-harga saham
di pasar domestik, menurunnya cadangan devisa, dan meningkatnya risiko kredit
Indonesia yang ditunjukkan dalam CDS. Hal ini tentunya membutuhkan penanganan
yang cepat dari pemerintah dan BI selaku otoritas yang menangani sektor finansial
Indonesia. Dalam batas-batas tertentu, apa yang telah dilakukan pemerintah dan BI,
telah berhasil memulihkan atau menstabilkan kembali sektor financial Indonesia yang
sempat terpuruk. Beberapa kebijakan yang diambil oleh pemerintah dan BI adalah
dikeluarkannya tiga macam PERPPU, upaya penciptaan ketersediaan likuiditas pasar,
upaya menjaga kesinambungan devisa dan neraca pembayaran, serta menjaga
kesinambungan APBN 2009 – 2010.
Namun, sekalipun proses recovery sektor finansial cukup berhasil, ada masalah-
masalah struktural dalam konteks krisis finansial itu sendiri yang perlu diwaspadai.
Bahwa cadangan devisa dan tingkat investasi Indonesia membaik, sehingga nilai rupiah
menguat terhadap dolar merupakan indikasi yang baik, tetap diperhatikan apakah arus
modal yang masuk ke Indonesia itu termasuk jenis hot money atau bukan. Sebab, jika
itu terjadi, bukan tidak mungkin kondisi yang sudah baik akan berubah menjadi
kembali terpuruk secara tiba-tiba ketika para pemilik modal melihat ada tempat lain
yang lebih menguntungkan di samping indikasi kerawanan sektor keuangan Indonesia.
Oleh karena itu, dalam jangka panjang, Indonesia harus serius mengendalikan
dan meregulasi sektor keuangan ini agar ekonomi Indonesia tidak digerakkan oleh
bisnis produk keuangan dan derivasinya, melainkan disalurkan ke sektor riil.
Mengingat instabilitas sektor keuangan yang luar biasa.
41