You are on page 1of 5

Kuliah V A.M.

Fadhil Hayat

BIOTRANSFORMASI TOKSIKAN

MAKNA BIOTRANSFORMASI

Perubahan biokimia mengubah ciri-ciri fisikokimia xenobiotika, terutama sifat lipofilnya. Untuk
xenobiotika, termasuk racun, sering tidak hanya ada satu alur penguraian tetapi biotransformasi mungkin
terjadi dengan lebih dari satu cara. Jumlah metabolit yang terbentuk menyatakan seberapa jauh peranan
suatu proses biokimia. Contohnya adalah setelah penggunaan asam salisilat, 50% dari jumlah yang
diekskresikan dalam urin ditemukan sebagai asam salisilurat. 25% sebagai glukuronida dan sejumlah kecil
dalam bentuk turunan produk oksidasi asam gentisat. Jenis produk ekskresi dari suatu zat dapat dipengaruhi
juga oleh harga pH urin.
Biotransformasi mempunyai aspek ke-stereoselektif-an beberapa reaksi biokimia, dimana salah satu
isomer lebih cepat dimetabolisme dari isomer yang lain. Pada konsentrasi zat yang meningkat, jumlah yang
dimetabolisme per satuan waktu naik, sehingga tercapai konsentrasi yang menyebabkan enzim yang berperan
pada metabolisme menjadi jenuh. Peningkatan konsentrasi substrat selanjutnya tidak lagi mengakibatkan
peningkatan jumlah metabolit yang dibentuk per satuan waktu. Namun pada umumnya konsentrasi substrat di
dalam organisme tetap berada di bawah konsentrasi pada kejenuhan sehingga jumlah metabolit yang
dibentuk per satuan waktu adalah sebanding dengan konsentrasi substrat.
Aspek selanjutnya adalah gejala induksi atau pengimbasan, dimana dengan adanya substrat tertentu
sering meningkatkan sistem enzim yang terlibat dalam metabolisme. Kapasitas enzim yang meningkat dalam
hal ini dilandasi oleh peningkatan sintesis enzim. Karena enzim yang mengambil bagian dalam biotransformasi
memetabolisme sejumlah besar zat, ada kemungkinan bahwa biotransformasi dari suatu zat A mengganggu
biotransformasi zat B. Kemampuan pengimbasan enzim tidak terbatas hanya pada zat yang merupakan
substrat untuk sistem enzim ini, tetapi juga zat yang tidak dimetabolisme, terutama zat yang lipofil, yang
tinggal lama di dalam organisme. Induksi atau pengimbasan proses biotransformasi terutama terjadi pada
kombinasi zat.
Penyelidikan proses biokimia yang berperanan pada perubahan zat asing, dikenal sebagai
xenobiokimia, mutlak diperlukan untuk pemahaman manifestasi toksikologi. Hal-hal yang berlangsung dalam
hal ini, yaitu biotransformasi, dapat digolongkan menjadi:
Reaksi fase I (Reaksi penguraian), yaitu: pemutusan hidrolitik, oksidasi dan reduksi. Umumnya reaksi fase
I mengubah bahan yang masuk ke dalam sel menjadi lebih bersifat hidrofilik (mudah larut dalam air)
daripada bahan asalnya.
Reaksi fase II (Reaksi konjugasi), terdiri dari reaksi sintesis dan konjugasi. Oleh reaksi konjugasi maka zat
yang memiliki gugus polar (-OH, -NH2, -COOH), dikonjugasi dengan pasangan reaksi yang berasal dari
tubuh sendiri dan lazimnya diubah menjadi bentuk yang larut dalam air, dan dapat diekskresikan dengan
baik oleh ginjal. Reaksi fase II ini merupakan proses biosintesis yang mengubah bahan asing atau
metabolit dari fase I membuat ikatan kovalen dengan molekul endogen menjadi konjugat.
Reaksi penguraian (fase 1) biasanya disusul oleh reaksi konjugasi (fase 2).

REAKSI PENGURAIAN

Pemutusan hidrolitik
Bila suatu molekul dihidrolisis ia dipecah menjadi dua molekul karena pengambilan satu molekul air.
Contohnya adalah pemutusan ester oleh esterase dengan pembentukan alkohol dan asam. Namun dalam
keadaan tertentu stabilitas ester yang toksik dapat merupakan kerugian, misalnya ester ftalat yang digunakan
sebagai peliat (plasticizer) pada pembuatan bahan plastik. Ester ini sangat lipofil dan dapat berdifusi keluar
dari wadah plastik, misalnya ke dalam bahan makanan yang mengandung lemak yang disimpan didalamnya
atau wadah plastik yang digunakan pada transfusi darah. Bila peliat ini stabil terhadap berbagai esterase,
maka organisme tidak mampu untuk menguraikannya menjadi alkohol dan asam dan tidak dapat
menguraikannya.
Senyawa-senyawa demikian yang stabil terhadap hidrolisis enzimatik dan sekaligus peliat yang lipofil,
memperlihatkan kecenderungan tertimbun dalam jaringan lemak organisme.
Mamalia memperlihatkan kadar esterase yang tinggi di dalam plasma dan di hati. Jadi kapasitas hidrolisis
esternya tinggi tetapi sebaliknya pada serangga. Keadaan ini telah dimanfaatkan pada pengembangan jenis
insektisida organofosfat yang bekerja selektif. Zat ini mengandung suatu gugus ester tambahan dalam
molekul fosfat organik yang dihidrolisis oleh esterase menjadi asam karboksilat dan alkohol. Mamalia mampu
untuk mendetoksifikasi dengan cepat zat tersebut dengan hidrolisis. Karena serangga lebih sedikit
esterasenya, maka mereka tidak mampu untuk mendetoksifikasi senyawa ini. Tetapi ada pula usaha untuk
pengembangan senyawa fosfat organik dengan toksisitas yang lebih tinggi pada manusia, seperti
pengembangan senyawa fosfat organik sebagai gas saraf.
Ekotoksikologi 1
Kuliah V A.M.Fadhil Hayat

Kecuali ester, amida juga dapat dihidrolisis oleh pengaruh katalisis amidase dengan pembentukan
asam dan amina. Dalam hal ini stabilisasi mungkin dilakukan dengan memasukkan gugus amino dari
substituen alkil yang bertetangga. Pada umumnya amida asam lebih stabil daripada ester karenanya juga lebih
lambat dihidrolisis. Selain itu plasma mengandung relatif lebih sedikit amidase dibandingkan dengan esterase.

Oksidasi
Enzim yang berperanan pada oksidasi zat asing berada di dalam sel, terutama di dalam retikulum
endoplasma sel hati. Penyelidikan di bidang ini sering dilakukan dengan mikrosoma, yang diperoleh dari
retikulum endoplasma setelah homogenisasi sel hati. Substrat yang paling cocok untuk reaksi oksidasi ini
adalah senyawa alkohol, aldehida, asam karboksilat, senyawa dengan rantai samping alifatik yang tidak
bercabang dan amina alifatik.
Senyawa asam fenilalkil karboksilat, fenilalkilamina dan sebagainya dengan rantai samping yang
panjang tidak bercabang, dioksidasi menjadi asam benzoat, bila rantai sampingnya mengandung atom karbon
berjumlah ganjil dan menjadi asam fenilasetat, bila rantai sampingnya mengandung atom karbon berjumlah
genap. Proses demikian merupakan mekanisme detoksifikasi yang penting.
Proses penguraian secara oksidasi yang serupa berperanan pada proses self-purification sungai dan
kanal. Sabun yang klasik, yaitu garam natrium dan kalium dari asam-asam lemak yang panjang, tidak
bercabang, merupakan substrat yang baik untuk banyak mikroorganisme yang terdapat di dalam air. Mula-
mula deterjen sintetik dibuat dari parafin (hidrokarbon) yang bercabang banyak yang dihasilkan sebagai
produk samping pada pengilangan minyak bumi karena tidak cocok untuk dipakai sebagai bahan bakar. Zat
hidrokarbon yang bercabang ini tahan terhadap proses oksidasi yang berperanan dalam self-purification air,
sehingga merupakan deterjen kuat yaitu deterjen yang tidak dapat diuraikan. Mereka menyebabkan
pencemaran air yang berat dan terus menerus yang nampak dari pembentukan busa dalam sungai dan kanal.
Salah satu tanda pertama dari pencemaran air oleh deterjen adalah menghilangnya serangga yang bergerak di
atas air. Deterjen menurunkan tegangan permukaan, sehingga serangga tenggelam ke dalam air dan mati
terbenam. Solusinya adalah dengan menggunakan deterjen dengan rantai samping yang tidak bercabang, jadi
zat yang dapat diuraikan secara biologi. Deterjen lunak yaitu deterjen yang dapat diuraikan sudah banyak
digunakan sekarang.
Oksidasi xenobiotika selanjutnya dapat menghasilkan pembentukan peroksida tokson atau
pembentukan H2O2. Peroksida ini kemudian menyerang substrat biologi dan dengan cara ini menimbulkan lesi
kimia, misalnya methemoglobinemia.

Reduksi
Sebagai reaksi biotransformasi, reaksi reduksi relatif jarang terjadi. Senyawa nitro dapat direduksi
menjadi amina dan senyawa azo diuraikan melalui reduksi menjadi amina yang sesuai. Senyawa keton dan
aldehida yang tahan oksidasi mungkin terjadi reduksi menjadi senyawa alkohol yang sesuai.

REAKSI KONJUGASI

Reaksi konjugasi yang penting adalah konjugasi dengan asam glukuronat, asam amino (terutama
glisina), asam sulfat, dan asam asetat. Kecuali pada konjugasi dengan asam asetat atau reaksi metilasi, pada
konjugasi selalu dimasukkan gugus asam ke dalam molekul yang meningkatkan sifat hidrofil secara nyata.
Konjugat asam ini cepat diekskresikan oleh ginjal melalui proses aktif. Reaksi konjugasi bersifat sebagai reaksi
detoksifikasi, karena produk konjugasi hampir selalu tidak aktif secara biologi. Namun dalam beberapa kasus
konjugat dapat dihidrolisis kembali menjadi senyawa asalnya. Hal ini sering terjadi bila konjugat bersama
empedu, mencapai usus.

Konjugasi dengan asam glukuronat


Senyawa alkohol sekunder dan tersier – yang dapat cepat dioksidasi – dikonjugasi dengan asam
glukuronat. Gugus OH-fenolik, gugus karboksil dan gugus NH2 juga dapat dikonjugasi dengan asam
glukuronat. Asam glukuronat adalah suatu asam yang relatif kuat, yang mengandung gugus OH-alkohol
tambahan dan karena itu sangat hidrofil. Pada pembentukan glukuronida sifat ini dipindahkan ke metabolit.

Konjugasi dengan glisina


Asam karboksilat, khususnya asam karboksilat yang tidak dapat diuraikan lanjut secara oksidasi, dapat
membentuk konjugat dengan glisina. Contohnya adalah asam hipurat yang dibentuk dari asam benzoat dan
asam salisilurat yang terjadi dari asam salisilat.

Konjugasi dengan asam sulfat


Senyawa fenol terutama membentuk konjugat dengan asam sulfat sehingga terbentuk ester parsial
dari asam sulfat. Residu asam sulfat adalah asam kuat sehingga konjugat sangat hidrofil dan dapat
diekskresikan dengan mudah. Karena itu senyawa fenol sering diekskresikan ke dalam urin sebagai ester asam
Ekotoksikologi 2
Kuliah V A.M.Fadhil Hayat

sulfat. Perbandingan antara sulfat organik dan sulfat anorganik meningkat kuat dalam urin setelah
penggunaan senyawa fenol atau zat yang diuraikan menjadi senyawa fenol.

Pembentukan turunan asam merkapturat


Pada reaksi biotransformasi ini terlibat reaksi konjugasi yang berlangsung melalui beberapa tingkat.
Hal ini menyangkut terutama senyawa klor dan brom organik yang pada proses ini atom halogen diganti oleh
gugus asam merkapturat. Zat aromatik tertentu juga dapat juga dikonjugasi dengan cara ini.
Turunan asam merkapturat sangat hidrofil dan dapat diekskresikan dengan mudah. Turunan asam
merkapturat adalah substrat yang baik untuk sistem transpor aktif dalam ginjal dan hati.

Metilasi
Metilasi jarang terdapat dalam lingkup reaksi biotransformasi. Contohnya adalah pembentukan N-
metilnikotinamida dari nikotinamida. Basa amonium kuaterner yang dibentuk dengan cara ini adalah hidrofil
dan dapat diekskresikan secara aktif. Reaksi ini menghasilkan suatu bioinaktivasi dan menjadi suatu
detoksikfikasi meskipun produk yang dihasilkan lebih kurang hidrofil dari zat asal.

Asetilasi
Xenobiotika dengan gugus amino yang tidak dapat diuraikan secara oksidasi, sering diasetilasi.
Contohnya adalah senyawa amina aromatik, yaitu gugus amino langsung terikat pada cincin aromatik dan
senyawa alkilamina yang gugus aminonya terdapat pada atom karbon tersier. Asetilasi sulfonamida
menghasilkan penurunan kehidrofilan, sehingga menimbulkan komplikasi kristaluria sebagai kerja samping
sulfonamida. Asetilasi dapat mengurangi daya kerja, karena gugus amino yang biasanya bermakna untuk
aktivitas biologi tertutup karena asetilasi.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BIOTRANSFORMASI

Faktor Instrinsik
Faktor penting yang mengontrol jalannya reaksi enzymatik dari bahan asing adalah konsentrasinya dalam
pusat aktivitas dari enzym. Konsentrasi ini tergantung pada Lipophilicity, Protein binding, Doses, dan Route
administration. Lipophilicity penting karena dapat mengatur banyaknya absorbsi dari xenobiotik dari jalan
masuknya (kulit, usus, paru). Bahan kimia yang bersifat lipofilik lebih mudah diabsorbsi dalam darah,
sedangkan bahan yang larut dalam air kurang cepat diserap.

Variabel Host
Beberapa kondisi fisiologik, farmakologik, dan faktor lingkungan yang mempengaruhi proses biotranformasi
xenobiotik, yaitu: spesies, strain, umur, sex, time of day, enzym induksi, enzym penghambat, status gizi, dan
status penyakit.
Induksi dari enzym biotranformasi
Proses induksi enzym adalah proses dimana terjadi peningkatan aktivitas yang diakibatkan peningkatan
kecepatan sintesis dari enzym biotransfomasi dan paparan bahan kimia tertentu dapat juga menginduksi
enzym tersebut.

a) Inhibisi (penghambatan) enzym biotransformasi


Penghambat metabolisme xenobiotik adalah beberapa faktor yang didapat baik endogen maupun eksogen
yang menurunkan kemampuan enzym untuk melakukan proses metabolisme bahan asing.

b) Variasi spesies, strain dan genetik


Variasi biotransfomasi diantara spesies digolongkan menjadi perbedaan kualitatif dan kuantitatif. Perbedaan
kualitatif menyangkut rute metabolik yang diakibatkan oleh kelainan dari spesies atau adanya reaksi ginjal dari
spesies. Yang termasuk pada perbedaan kualitatif adalah kelainan enzym pada spesies tertentu, reaksi spesies
yang unik, evalutionary, dan beberapa aspek genetik. Perbedaan kualitatif ini predominan pada reaksi fase II.
Sedangkan yang termasuk perbedaan kuantitatif adalah perbedaan konsentrasi enzym, perbedaan isozym
cytokrom P-450, perbedaan reaksi regio spesifik, dan genetika. Perbedaan kuantitatif ini predominan pada
reaksi fase I.

c) Perbedaan sex pada biotransformasi


Perbedaan respon toksikologi dan farmakologi antara tikus betina dan jantan pernah diteliti. Pada pemberian
fenobarbital dengan dosis yang sama, tikus betina tidur lebih lama daripada yang jantan.

d) Efek umur pada biotransformasi


Fetus dan bayi baru lahir menunjukkan kemampuan yang terbatas untuk biotransformasi xenobiotik sehingga
kemungkinan terjadinya keracunan lebih meningkat pada binatang percobaan yang lebih muda.

Ekotoksikologi 3
Kuliah V A.M.Fadhil Hayat

e) Efek dari diet terhadap biotransformasi


Status nutrisi sangat penting dalam mempengaruhi biotranformasi, defisiensi mineral misalnya Ca, CU, Fe, Mg
dan Zn menurunkan reaksi oksidasi maupun reduksi dari cytokrom P-450.

f) Efek kelainan hepar (hepatic injury) terhadap biotranformasi


Karena hepar merupakan tempat utama dari biotransformasi xenobiotik maka penyakit yang mempengaruhi
fungsi normal dari hepar dapat pula mempengaruhi proses biotransformasi. Begitu pula dengan bahan kimia
yang menginduksi gangguan liver akan menurunkan biotrnaformasi.

BIOTRANSFORMASI DAN TOKSIFIKASI

Meskipun reaksi biotransformasi, khususnya reaksi konjugasi, pada umumnya menghasilkan inaktivasi
dari zat yang digunakan, metabolit aktif dapat terjadi juga karena perubahan biokimia, terutama karena
oksidasi. Dalam hal ini senyawa yang diberikan tidak aktif atau relatif tidak aktif, dan efek farmakologi
disebabkan oleh metabolit aktif. Proses demikian disebut bioaktivasi, sedangkan apabila metabolit aktif toksik,
maka disebut terjadi toksifikasi. Pada prinsipnya, kita dapat memperoleh zat yang bekerja lebih selektif
berdasarkan perbedaan spesies ditinjau dari segi kemampuan untuk biotransformasi, termasuk kemampuan
untuik bioaktivasi atau toksifikasi maupun bioinaktivasi atau detoksifikasi.
Obat, zat tambahan pada makanan, zat limbah dan sebagainya, kebanyakan adalah lembam secara
kimia. Bila tidak demikian, mereka segera diubah secara kimia atau diinaktivasi melalui reaksi dengan zat lain.
Setelah penggunaan lokal, senyawa reaktif dapat menimbulkan iritasi yang tidak dikehendaki.
Selama biotransformasi xenobiotika, terutama pada reaksi oksidasi, terbentuk produk-antara yang
reaktif secara kimia. Kebanyakan produk-antara ini selanjutnya dimetabolisme menjadi produk akhir yang
stabil dan diekskresikan sebagai senyawa stabil itu. Pada oksidasi zat aromatik, sering terjadi epoksida sebagai
produk antara. Epoksida ini mempunyai sifat mengalkilasi. Karena kereaktifan kimianya mereka bersenyawa
dengan zat di dalam tubuh dan dengan demikian tidak muncul di dalam urin.
Berbagai senyawa aromatik yang terhalogenasi (brombenzena, kloroform atau halotan) dapat
menyebabkan degenasi berat pada jaringan hati dan malahan nekrosis lokal. Penanganan terlebih dahulu
dengan fenobarbital meningkatkan efek toksik dari zat ini sebagai akibat penginduksi enzym.

EKSKRESI TOKSIKAN
Setelah absorpsi dan distribusi dalam tubuh, toksikan dapat dikeluarkan dengan cepat atau perlahan.
Mereka dikeluarkan dalam bentuk asal, sebagai metabolit, dan/atau sebagai konjugat. Jalur utama ekskresi
adalah urin, tetapi hati dan paru-paru juga merupakan alat ekskresi penting untuk zat kimia jenis tertentu,
misalnya DDT dan Pb serta CO. Toksikan dapat dieliminasi dari tubuh melalui beberapa rute. Ginjal merupakan
organ penting untuk mengeluarkan racun. Beberapa xenobiotik diubah terlebih dahulu menjadi bahan yang
larut dalam air sebelum dikeluarkan dari tubuh. Toksikan yang dikeluarkan dari tubuh dapat ditemukan pada
keringat, air mata dan ASI.

Ekskresi Urin
Ginjal membuang toksikan dari tubuh dengan mekanisme yang serupa dengan mekanisme yang
digunakan untuk membuang hasil akhir metabolisme faali, yaitu dengan filtrasi glomerulus, difusi tubuler, dan
sekresi tubuler.
Kapiler glomerulus memiliki pori-pori yang besar (70 nm); oleh karena itu, sebagian besar toksikan
akan lewat di glomerulus, kecuali toksikan yang sangat besar atau yang terikat erat pada protein plasma.
Toksikan dalam filtrat glomerulus akan mengalami absorpsi pasif di sel-sel tubuler bila koefisien partisi
lipid/air-nya tinggi, atau tetap dalam lumen tubuler dan dikeluarkan bila ia merupakan senyawa yang polar.
Suatu toksikan dapat juga dikeluarkan lewat tubulus ke dalam urin dengan difusi pasif. Karena urin
biasanya bersifat asam, proses ini berperan dalam ekskresi basa organik. Sebaliknya asam organik tak
mungkin dikeluarkan dengan difusi pasif lewat sel tubulus. Namun asam lemah sering mengalami metabolisme
menjadi asam yang lebih kuat sehingga persentase bentuk ion yang tidak diserap lewat sel tubulus meningkat
untuk kemudian diekskresi.
Toksikan tertentu dapat disekresi oleh sel tubulus proksimal ke dalam urin. Ada dua macam
mekanisme sekresi, yaitu untuk asam organik dan untuk basa organik. Toksikan yang terikat pada protein
dapat juga disekresi, asalkan ikatannya reversibel. Selain itu, zat kimia dengan ciri serupa akan bersaing
dalam sistem transpor yang sama.

Ekotoksikologi 4
Kuliah V A.M.Fadhil Hayat

Ekskresi Empedu
Hati juga merupakan alat tubuh yang penting untuk ekskresi toksikan, terutama untuk senyawa yang
polaritasnya tinggi (anion dan kation), konjugat yang terikat pada protein plasma, dan senyawa yang BM-nya
lebih besar dari 300. Pada umumnya begitu senyawa ini berada dalam empedu, mereka tidak akan diserap
kembali ke dalam darah dan dikeluarkan lewat feses. Kecuali misalnya konjugat glukuronid yang dapat
dihidrolisis oleh flora usus menjadi toksikan bebas yang dapat diserap kembali.

Paru-paru
Zat yang berbentuk gas pada suhu badan terutama diekskresi lewat paru-paru. Cairan yang mudah
menguap juga dengan mudah keluar lewat udara ekspirasi. Cairan yang sangat mudah larut mungkin
diekskresikan sangat perlahan karena ditimbun dalam jaringan lemak dan karena terbatasnya volume ventilasi
(mis: kloroform dan halotan). Ekskresi toksikan melalui paru-paru terjadi secara difusi sederhana lewat
membran sel.

Jalur lain
Saluran cerna bukanlah jalur utama untuk ekskresi toksikan. Namun, karena lambung dan usus
manusia masing-masing mensekresi sekitar 3 liter cairan setiap hari, beberapa toksikan dikeluarkan bersama
dengan cairan itu. Ekskresi ini terutama terjadi lewat difusi sehingga lajunya bergantung pada derajat kinetik
toksikan serta pH lambung dan usus.
Dipandang dari sudut organisme itu sendiri, ekskresi toksikan lewat air susu ibu (ASI) tidak penting.
Namun kehadiran zat-zat racun dalam ASI mungkin secara toksikologi menjadi penting, karena lewat air susu
ini racun terbawa dari ibu kepada bayinya dan dari sapi kepada manusia. Ekskresi ini juga terjadi melalui difusi
sederhana. Karena air susu sedikit bersifat asam, senyawa basa akan mencapai kadar yang lebih tinggi dalam
susu daripada dalam plasma, dan sebaliknya untuk senyawa yang bersifat asam. Senyawa lipofilik misalnya,
DDT dan PCB juga mencapai kadar yang lebih tinggi dalam susu karena kandungan lemaknya yang lebih
tinggi.
Keringat dan liur juga merupakan jalur kecil untuk ekskresi toksikan. Ekskresi ini juga terjadi melalui
difusi; jadi ekskresi ini terbatas pada toksikan bentuk non-ion, yang larut dalam lipid. Zat yang dikeluarkan
dalam liur biasanya ditelan kemudian diabsorpsi dalam saluran cerna.

KADAR TOKSIKAN DALAM TUBUH

Sifat dan intensitas efek suatu bahan kimia bergantung pada kadarnya di tempat kerja, yaitu dari
dosis efektifnya. Umumnya, kadarnya di dalam organ sasaran merupakan fungsi kadar darah. Namun
pengikatan toksikan dalam jaringan akan menambah kadarnya, sementara sawar jaringan cenderung
mengurangi kadarnya. Selama penyerapan, kadar toksikan dalam darah meningkat. Sementara itu, laju
ekskresi, biotransformasi, dan distribusinya ke alat-alat tubuh dan jaringan lain juga bertambah.

REFERENSI

Des W. Connel & Gregory J. Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia
E.J. Ariens, E. Mutschler & A.M. Simonis. 1987. Toksikologi Umum, Pengantar. Terjemahan oleh Yoke
R.Wattimena dkk. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Frank C. Lu. 1995. Toksikologi Dasar. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
H. J. Mukono. 2002. Epidemiologi Lingkungan. Surabaya: Airlangga University Press.
H. J. Mukono. 2005. Toksikologi Lingkungan. Surabaya: Airlangga University Press.
J. H. Koeman. 1987. Pengantar Umum Toksikologi. Terjemahan oleh R.H. Yudono Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.

Ekotoksikologi 5

You might also like