You are on page 1of 10

KAJIAN PERILAKU SWAMEDIKASI MENGGUNAKAN OBAT ANTI JAMUR

VAGINAL (“KEPUTIHAN”) OLEH WANITA PENGUNJUNG APOTEK DI KOTA


YOGYAKARTA TAHUN 2006
(Aspek appropriateness dan effectiveness)

Aris Widayati
Fakultas Farmasi, Minat Farmasi Klinis dan Komunitas
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
ariswidayati@staff.usd.ac.id

ABSTRAK
Tindakan swamedikasi cenderung meningkat. Wanita adalah pelaku dengan
modalitas lebih tinggi dibandingkan pria baik untuk dirinya sendiri maupun untuk
keluarganya. Sebuah penelitian di Yogyakarta menyebutkan bahwa 74,50% wanita
melakukan swamedikasi menggunakan obat demam untuk anak (Rinukti &Widayati,
2005). Vaginitis dalam masyarakat umum dikenal dengan nama keputihan,
merupakan penyakit yang secara khusus menyerang wanita. Di Finlandia
penggunaan obat antifungi untuk mengatasi keputihan masih overuse, terkait
dengan pengenalan penyakit dan pemilihan obatnya (Sihvo, et al, 2000). Seperti
apakah perilaku swamedikasi menggunakan antijamur vaginal untuk mengatasi
keputihan yang dilakukan oleh wanita di Kota Yogyakarta?
Jenis penelitian adalah observasional evaluatif. Kriteria inklusi subyek adalah
wanita pengunjung apotek yang membeli obat keputihan untuk swamedikasi di Kota
Yogyakarta. Alat pengambil data berupa kuisioner yang disebarkan selama 1 bulan
di 87 apotek. Kuisioner yang terisi sebanyak 157. Parameter evaluasi adalah
appropriateness dan effectiveness.
Sebanyak 89,17% responden berumur antara 16 sampai 56 tahun.
Pendidikan terakhir responden 51,59% SMU/sederajad, 51,59% responden
karyawan swasta, 59,24% telah menikah. Hasil evaluasi yaitu: 1) terdapat
inappropriateness / ketidaksesuaian pada pengenalan penyakit, 2) pada pemilihan
obat keputihan sudah memenuhi parameter appropriateness, 3) sebanyak 63,69%
efektif.
I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Tindakan swamedikasi (self medication) mempunyai kecenderungan untuk
meningkat. Beberapa faktor berperan dalam peningkatan tersebut, yaitu:
pengetahuan masyarakat tentang penyakit ringan dan berbagai gejala serta
pengobatannya, motivasi masyarakat untuk mencegah atau mengobati penyakit
ringan yang mampu dikenali sendiri, ketersediaan dan kemudahan mendapatkan
obat – obat yang dapat dibeli bebas tanpa resep dokter atau OTR / Obat Tanpa

1
Resep (OTC / Over The Counter) secara luas dan terjangkau untuk mengatasi
penyakit ringan atau gejala yang muncul, serta diterimanya pengobatan tradisional
sebagai bagian dari sistem kesehatan.
Kecenderungan swamedikasi lebih banyak dilakukan oleh wanita jika
dibandingkan dengan pria baik untuk mengatasi masalah kesehatan anggota
keluarga maupun diri sendiri. Fakta di Amerika Serikat mengungkapkan bahwa 60%
wanita dan 46% pria menggunakan suplemen makanan, dan masing – masing
sebanyak 30% dan 23% menyatakan menggunakannya sebagai salah satu metode
pengobatan bagi penyait ringan yang biasa dialami (Pal, 2002). Sebuah penelitian di
Yogyakarta menemukan bahwa sebanyak 74,5% wanita melakukan swamedikasi
menggunakan obat demam bagi anak mereka untuk mengatasi demam pada anak
(Rinukti &Widayati, 2005).
Kandidiasis vaginalis atau lebih populer dimasyarakat luas dengan istilah
“keputihan” merupakan masalah kesehatan paling umum pada wanita. Di Indonesia
datanya masih terpisah-pisah antara pola penyakit dan pola penatalaksanaannya.
Populasi wanita pengunjung apotek di Yogyakarta diasumsikan mempunyai tingkat
pengetahuan dan kepedulian tentang kesehatan yang relatif tinggi, dan hal tersebut
merupakan salah satu faktor yang berperan dalam fenomena meningkatnya perilaku
swamedikasi di masyarakat.
Menurut Sihvo, et al (2000a) vaginitis menyerang pada hampir 75% wanita
selama hidupnya dan sekitar 40 – 50%-nya kasus kekambuhan. Sihvo (2000a)
menyatakan penggunaan antifungi di Finlandia pada vaginitis masih “overuse” terkait
dengan ketepatan pengenalan penyakit dan pemilihan obatnya. Tindakan
swamedikasi dengan antijamur vaginal dikategorikan tidak sesuai apabila
sebelumnya tidak pernah didiagnosis kandidiasis oleh dokter, digunakan untuk
wanita dibawah usia 16 tahun, dan wanita hamil tanpa rekomendasi atau
pengawasan dokter. Suatu studi menyatakan bahwa 50% wanita yang mendiagnosis
sendiri kasus ini, ternyata tidak ditemukan adanya yeast sebagai penyebab
(pengenalan penyakit atau diagnosis tidak tepat) (Brown and Chin, 2002).
Data di atas menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan tindakan
swamedikasi oleh masyarakat dan kelompok wanita merupakan pelaku dengan

2
modalitas tinggi. Hal ini menimbulkan berbagai pertanyaan yang sekaligus
merupakan permasalahan yang harus dikaji, antara lain: sudah sesuaikah
pengenalan terhadap gejala atau penyakit ringan yang diderita atau apakah self-
diagnosis sudah tepat?, sudah sesuaikan pemilihan obat untuk swamedikasi?,
seperti apa efektivitas pilihan obat tersebut? Berbagai pertanyaan yang muncul
tersebut mendorong dilakukannya kajian terhadap perilaku swamedikasi oleh wanita
menggunakan obat antijamur vaginal (“keputihan”) terutama mengenai kerasionalan
penggunaan obatnya (dengan 2 parameter kerasionalan, yaitu: appropriateness dan
effectiveness).
B. Tinjauan Pustaka
1. Perawatan Sendiri (Self-care) dan Swamedikasi (self- medication)
Swamedikasi adalah bagian dari self-care. Menurut World Health
Organization (WHO) tahun 1998, self-care didefinisikan sebagai “what people do for
themselves to establish and maintain health, prevent and deal with illness”.
Swamedikasi didefinisikan sebagai pemilihan dan penggunaan obat – obatan
(termasuk produk herbal dan tradisional) oleh individu untuk mengobati penyakit
atau gejala yang dapat dikenali sendiri (“the selection and use of medicines (include
herbal and tradisional product) by individuals to treat self-recognised illnesses or
symptoms”). Swamedikasi juga didefinisikan sebagai penggunaan obat – obatan
tanpa resep dokter oleh masyarakat atas inisiatif mereka sendiri (FIP & WSMI,
1999).
Swamedikasi memberikan keuntungan, antara lain kepraktisan dan
kemudahan melakukan tindakan pengobatan dan biaya yang dikeluarkan lebih
murah (Rantucci, 1997). Penggunaan obat tanpa resep untuk swamedikasi
menuntut kepastian bahwa obat tersebut terbukti aman, berkualitas dan memberikan
efikasi sesuai yang diharapkan (Holt and Hall, 1990).
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
922/MENKES/PER/X/1993 pasal 15 ayat 4 menyebutkan bahwa dalam upaya
penggunaan obat yang benar oleh masyarakat, apoteker wajib memberikan
informasi yang berkaitan dengan penggunaan obat secara tepat, aman, dan rasional
atas permintaan masyarakat (DepKes RI, 1996a).

3
Swamedikasi pada wanita harus mempertimbangkan keadaan khusus yang
mungkin menyertai, yaitu kehamilan dan menyusui. Pada wanita menyusui, perlu
dihindari penggunaan obat – obat yang akan terekskresi lewat air susu. (Wells,
Dipiro, Schwinghammer, Hamilton, 2002).Penggunaan kontrasepsi dan Hormone
Replacement Therapy juga perlu dipertimbangkan, karena interaksi obat yang
potensial terjadi (Anderson,2002).
Golongan obat yang dapat diperoleh tanpa resep dokter adalah obat bebas,
bebas terbatas dan OWA, khusus untuk yang disebut terakhir adalah obat keras
yang dapat diserahkan tanpa resep dokter hanya oleh Apoteker di Apotek dan
terbatas pada obat keras yang tercantum dalam lampiran Keputusan Menteri
Kesehatan RI tentang Obat Wajib Apotek (DepKes RI, 1996c).
Sampai saat ini terdapat 3 daftar yang memuat golongan OWA yang lazim
disebut OWA No.1, 2, dan 3. Obat antijamur yang terdapat dalam Daftar Obat Wajib
Apotek No. 1 adalah mikonazol, ekonazol, nistatin dan tolnaftat. Daftar Perubahan
Golongan Obat No. 1, tolnaftat sebagai obat luar untuk infeksi jamur dengan kadar
sama atau kurang dari 1% diubah menjadi obat bebas. Obat antifungi topikal yang
terdapat dalam Daftar Obat Wajib Apotek No. 2 ialah obat – obat yang mengandung
isokonazol, ketokonazol, oksikonazol, dan tiokonazol (Sartono, 1996).
2. Kandidiasis Vaginalis (Candidiasis vaginal) dan Penatalaksanaannya
Infeksi jamur pada vagina paling sering disebabkan oleh Candida,spp,
terutama Candida albicans. Vaginitis bukan merupakan penyakit yang ditularkan
melalui hubungan seksual, meskipun aktivitas seksual juga mempengaruhi. (Brown
and Chin, 2002).
Gejala yang muncul adalah kemerahan pada vulva, bengkak, iritasi, dan rasa
panas. Tanda klinis yang tampak adalah eritema, fissuring, sekret menggumpal
seperti keju, lesi satelit dan edema. Penegakan diagnosis harus didukung data
laboratorium terkait, selain gejala dan tanda klinis yang muncul dan hasil
pemeriksaan fisik seperti PH vagina dan pemeriksaan mikroskopik untuk
mendeteksi blastospora dan pseudohifa (Brown and Chin, 2002).
Tujuan terapinya adalah mengatasi gejala yang muncul. Tes kesembuhan
tidak terlalu penting apabila gejala sudah teratasi.

4
Terapi nonfarmakologis dapat dilakukan dengan mengindari penggunaan
sabun atau parfum vaginal untuk mencegah iritasi, menjaga agar area vaginal tetap
bersih dan kering dan menghindari penggunaan pakaian dalam yang ketat.
Meminum minuman yogurt yang mengandung Lactobacillus acidophilus setiap hari
akan mengurangi kekambuhan.
Terapi farmakologis menggunakan obat –obat sebagai berikut: butoconazol,
klotrimazol, mikonazol, tikonazol, ekonazol, fentikonazol, nistatin, terkonazol,
ketokonasol, itrakonazol, dan flukonazol (Brown and Chin, 2002). Semua jenis
antifungi dari golongan azol tersebut mempunyai efikasi yang relatif sama (Hughes,
1998). Terapi antijamur dapat secara oral ataupun topikal. Secara oral
direkomendasikan antijamur flukonazol, secara topikal adalah butokonazol,
klotrimazol, mikonazol, nistatin, terkonazol, dan tiokonazol (Bennet, 2002).
Beberapa nama dagang obat tradisional untuk keputihan telah banyak
dikenal masyarakat antara lain melalui iklan baik di media cetak maupun elektronik.
Nama dagang obat tradisional yang dipublikasikan kegunaannya untuk mengatasi
keputihan antara lain mengandung ekstrak daun sirih.
C. Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan mengkaji kerasionalan perilaku swamedikasi
menggunakan antijamur vaginal (“keputihan”) oleh wanita pengunjung Apotek di
Kota Yogyakarta dengan 2 parameter yaitu: appropriateness dan effectiveness.
Ketidakrasonalan yang mungkin ditemukan dapat dijadikan dasar untuk
mengembangkan metode –metode peningkatan perilaku wanita dalam
berswamedikasi khususnya pada penggunaan antijamur vaginal menuju ke rational
drug use, dengan luaran akhir peningkatan quality of life.
II. METODOLOGI
Penelitian ini merupakan suatu survei observasional epidemiologik dengan
rancangan deskriptif-evaluatif
1. Alat yang digunakan adalah kuisioner
2. Jalannya penelitian
a.Persiapan. Dilakukan pembuatan kuisioner dan uji validitas serta reliabilitas
kuisioner. Uji validitas yang dilakukan adalah validitas content atau isi untuk

5
memenuhi salah satu syarat ketepatukuran suatu alat ukur. Uji reliabilitas dengan
metode alpha cronbach dilakukan terhadap sejumlah sampel yang mempunyai
karakteristik yang mirip dengan subyek uji sesungguhnya, untuk memenuhi syarat
ketelitian suatu alat ukur (alpha: 0,70) (Pratiknya, 2003).
b. Penentuan responden. Responden adalah wanita yang mengunjungi apotek di
Kota Yogyakarta selama 1 bulan yaitu Bulan Agustus 2006, yang membeli obat
antijamur vaginal untuk swamedikasi baik obat moderen atau obat tradisional
(kriteria inklusi) dengan metode pengambilan sampel responden secara accidental
sampling method. Jumlah seluruh Apotek di Kota Yogyakarta berdasarkan data dari
Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta adalah 113 apotek sehingga responden
penelitian akan diambil dari 113 apotek tersebut. Diperoleh 87 apotek yang dapat
digunakan sebagai tempat penelitian karena 26 apotek tidak aktif dan tidak bersedia
berpartisipasi.
c. Penyebaran kuisioner. Dilakukan oleh petugas apotek yang sebelumnya melalui
Apoteker Pengelola Apotek telah menyatakan bersedia dan telah diberi penjelasan
perihal kriteria inklusi responden. Masing – masing apotek menerima 10 bendel
kuisioner. Kuisioner dikembalikan oleh responden pada saat itu juga agar tidak ada
masalah dalam pengembalian, sehingga diharapkan kuisioner yang diisi responden
semuanya kembali.
d. Rekapitulasi, pengolahan dan analisis data. Rekapitulasi data dilakukan setelah
semua kuisioner terkumpul. Pengolahan data dilakukan berdasarkan hasil
rekapitulasi data dengan metode statistik deskriptif. Analisis Kerasionalan
swamedikasi dikaji dengan 2 parameter menurut Cippole (1991), yaitu: kesesuaian
(appropriateness) dan keefektivan (effectiviness).

6
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik responden
Tabel 1. Karakteristik Responden
Karakteristik Jumlah Persentase Karakteristik Jumlah Persentase
(n=157) (%) (n=157) (%)
<16 tahun 0 0,0 Wiraswasta 18 11,5
16-36 tahun 122 77,7 Karyawan swasta 81 51,6
36-56 tahun 18 11,5 Pegawai negeri 6 3,8
>56 tahun 2 1,3 Ibu Rumah Tangga 24 15,3
Tidak ada data 15 9,6 Sekolah 6 3,8
Tidak ada data 22 14,0
Tidak sekolah 0 0,0 Menikah 93 59,2
SD 0 0,0 Tidak menikah 54 34,4
SMP 3 1,9 Tidak ada data 10 6,4
SMU/sederajad 81 51,6
D1/D2/D3/D4 14 8,9
S-1 45 28,7
S-2 1 0,6
S-3 0 0,0
Tidak ada data 12 7,6

B. Kajian Kerasionalan Swamedikasi Menggunakan Antijamur Vaginal Untuk


Keputihan
1. Parameter kesesuaian / appropriateness
Terdapat ketidaksesuaian pengenalan penyakit yaitu: 1) 33,76% responden
adalah penderita keputihan pertama kali (bukan kambuhan). Pasien yang baru
pertama kali menderita keputihan maka penegasan diagnosisnya harus berdasarkan
keputusan dokter dan tidak “layak” dikenali sendiri oleh penderita yang tidak berlatar
belakang pendidikan kedokteran. Untuk memastikan penyakit tersebut memang
keputihan (Candida Sp) diperlukan pemeriksaan penunjang yang akan lebih
mengarahkan pada penegasan diagnosis sehingga keputihan bukan termasuk self-
recognized illnesses jika itu baru pertama kali diderita. 2) 58,60% tidak sesuai
karena ketika melakukan swamedikasi saat itu, pasien belum pernah ke dokter
sebelumnya. 3) 71,34% tidak sesuai karena sebelumnya tidak pernah didiagnosis
oleh dokter menderita keputihan. Pada swamedikasi untuk keputihan sebelumnya
penderita sudah harus pernah didiagnosis menderita keputihan oleh dokter dan
tindakan swamedikasi yang dilakukannya pada saat itu adalah ketika mengalami
kekambuhan. 4) 93,20% sesuai dalam mengenali gejala yang dianggap mengarah

7
pada penyakit keputihan, namun pengenalan gejala tersebut tidak dapat digunakan
sebagai satu – satunya referensi untuk mengukuhkan bahwa mereka sedang
menderita keputihan karena gejala yang muncul tersebut tidak spesifik untuk
penyakit keputihan tetapi penyakit infeksi saluran kemih yang lainnya juga
menampakkan gejala serupa.
Tabel 2. Kajian Kerasionalan Swamedikasi Menggunakan Antijamur Vaginal Untuk
Keputihan Berdasarkan Parameter Appropriateness untuk pengenalan
penyakit/self-diagnosis
Appropriateness pengenalan Jawaban Persentase Kajian/assessment
penyakit/self-diagnosis (%) (n=157)
Apakah keputihan yang Ya 33,8 33,76% tidak sesuai
dialami sekarang ini yang Tidak 62,4 62,42% sesuai
pertama kali/bukan kambuhan Tidak menjawab 3,8
Pernah periksa ke dokter Pernah 38,9 58,60% tidak sesuai
sebelumnya Tidak pernah 58,6 38,85% sesuai
Tidak menjawab 2,6
Pernah didiagnosis oleh dokter Pernah 25,5 71,34% tidak sesuai
menderita keputihan Tidak pernah 71,3 25,48% sesuai
Tidak menjawab 3,2
Gejala yang dialami selama 2 Kemerahan di vagina 8,2 93,20% sesuai
minggu terakhir: bagian luar
(Keterangan: Jawaban dapat Lender putih atau 57,8
lebih dari satu) kekuningan banyak dan
kental
Rasa panas pada vagina 8,3
Rasa nyeri atau panas saat 6,3
kencing
Kencing tidak lancar dan 1,0
sedikit
Bengkak pada vagina 0,5
Lainnya 11,2
Tidak menjawab 6,8

Tabel 3. Kajian Kerasionalan Swamedikasi Menggunakan Antijamur Vaginal Untuk


Keputihan Berdasarkan Parameter appropriateness untuk pemilihan obat
antifungi
No Kesesuaian Persentase (%) Kesesuaian Persentase (%)
(obat moderen) (obat tradisional)
1 Sesuai 66,7 Sesuai 100,0
2 Tidak sesuai 33,3 Tidak sesuai 0
Total 100,0 100,0
Pada penggunaan obat moderen 66,67% sesuai, artinya obat tersebut
memang diindikasikan untuk mengatasi infeksi jamur pada vagina. Sedangkan
33,33% tidak sesuai karena obat yang dipilih tidak diindikasikan untuk mengatasi

8
infeksi jamur pada vagina (metronidazol, ampisilin, klindamisin dan doksisiklin).
Penggunaan obat tradisional 100,00% sesuai dengan assessment kesesuaian
indikasi berdasarkan yang tertulis dalam kemasan produk obat tradisional tersebut
dan tidak didasari pada indikasi dengan bukti klinis sebagai antifungi yang efektif
untuk Candida Sp.
2. Parameter keefektivan/ effectiveness
Tabel 4. Kajian Kerasionalan Swamedikasi Menggunakan Antijamur Vaginal
Untuk Keputihan Berdasarkan Parameter effectiveness
Efektivitas obat keputihan Hasil Persentase Kajian/assessment
yang digunakan (%)
Setelah menggunakan obat Ya 63,69 63,69% efektif
keputihan yang dipilih gejala Tidak 24,20 24,20% tidak
membaik/menghilang Lainnya 4,46 efektif
Tidak menjawab 12,10 4,46% kambuh
Keterangan: lainnya: kambuh
Efektivitas obat keputihan ini adalah kemampuan memberi efek terapi pada
saat penderita sakit dan tidak ada jaminan tidak akan kambuh karena kekambuhan
tergantung juga pada sifat penyebab penyakit selain faktor aktivitas obat. Terdapat
4,46% yang mengalami kekambuhan, karena keputihan dapat kambuh. Dalam hal
ini perlu dipikirkan upaya peningkatan pengetahuan wanita dalam rangka
pencegahan kekambuhan.
IV.KESIMPULAN
1. Pengenalan penyakit keputihan belum sesuai yaitu 33,76% bukan keputihan
kambuhan, 58,60% tidak pernah periksa ke dokter sebelumnya, 71,34% tidak
pernah didiagnosis keputihan oleh dokter sebelumnya.
2. Pemilihan obat untuk keputihan yaitu 66,67% memilih obat keputihan moderen
yang tepat, 100,00% memilih obat keputihan tradisional yang tepat.
3. Efektivitas obat keputihan yang digunakan yaitu 63,69% sembuh.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada DP3M DitJen DIKTI yang
mendanai penelitian ini melalui Studi Kajian Wanita tahun 2006, LPPM-USD, Dekan
FF-USD, APA Apotek di Kota Yogyakarta serta Maria dan Ratna mahasiswa FF-
USD angkatan 2003 (atas bantuannya dalam mengambil data penelitian)

9
DAFTAR PUSTAKA
Anderson , O.P., Knoben, J.E., Troutman, G.W., 2002, Handbook of Clinical Drug
Data, 10th Edition, McGraw-Hill, New York.
Bennet, J.E., 2002, Antifungal Agent, in: Hardman, J.G., and Limbird, L.E., (Eds),
Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeutics, 10th edition,
McGraw-Hill, New York, p.1295-1301.
Brown and Chin, 2002, Infectious Disease, in: Dipiro,J.T., Talbert, L.R., Yee, G.C.,
Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey,L.M., Pharmacotherapy A Pathophysiologic
Approach, 5th Edition, Appleton & Lange, Stamford.,p.1997 – 2043.
Cipolle, 1991, Pharmaceuticla Care Practice, McGraw-Hill, New York
DepKes RI, 1996a, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
922/MENKES/PER/X/1993/ tanggal 23 Oktober 1993 tentang Ketentuan dan
Tata Cara Pemberian Ijin Apotek, Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan
Bidang Obat, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta
DepKes RI, 1996c, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
347/MENKES/SK/VII/1990/ tanggal 16 Juli 1990 tentang Obat Wajib Apotek,
Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan Bidang Obat, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta
FIP & WSMI, 1999, Responsible Self-Medication, Joint Statement by The
International Pharmaceutical Federation and The World Self-Medication Industry.
Holt G.A., and Hall, E.L., 1990, The Self Care Movement in: Feldmann, E.G., (Ed),
Handbook of Nonprescription Drugs, 9th Edition, APhA, New York, p.:1-10.
Hughes,J., 1998, Infectious Disease, in: Hughes,J., Donnelly, R., James-Chatgilaou,
G., Clinical Pharmacy A Practical Approach, The SHPA, Sidney,p. 171 -208
Pal, S., 2002, Self-Care and Nonprescription Pharmacotherapy, in:Berardi, R.R.,
Handbook of Nonprescription Drugs, 13th Edition, AphA, Washington , p.4-20.
Pratiknya, A.W., 2003, Dasar – Dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan
Kesehatan, cetakan kelima, PT Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, hal.89-107.
Rinukti & Widayati, 2005, Hubungan Antara Motivasi Dan Pengetahuan Orang Tua
Dengan Tindakan Penggunaan Produk Obat Demam Tanpa Resep Untuk Anak
– Anak RW V Di Kelurahan Terban Tahun 2004, Sigma Jurnal Sains dan
Teknologi, Vol.8, No. 1, Januari 2005, hal.25-33.
Rantucci, M.J., 1997, Pharmacist Talking With Patients A Guide to Patient
Counseling, Williams & Wilkins, Baltimore, p.30
Sartono, 1996, Apa Yang Sebaiknya Anda Ketahui Tentang Obat Wajib Apotek,
Edisi II, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Sihvo, S., Ahonen, R., Mikander, H., and Hemminki, H., 2000a, Self-medication With
Vaginal Antifungal Drugs:Physicians’ experiences and women’s utilization
patterns, Family Practice, Vo.17, No.2, Oxford University Press
Sihvo, S., 2000b, Utilization and Appropriateness of Self-medication in Finland,
Academic Dissertation, University of Helsinki, Finland
Wells, B.G., 2002, Gynecologic and Obstetric Disorder, in: Wells, B.G., Dipiro, J.T.,
Schwinghammer, T.L., Hamilton, C.W, Pharmacoterapy Handbook, 2nd Ed., Mc-
Graw Hill, New York, p.323-348.
WHO, 1998, The Role of Pharmacist to Self-care and Self-medication, Geneva,
available at: www/who.int.

10

You might also like