Professional Documents
Culture Documents
Nim :207000003
Jurusan :falsafah dan agama (universitas Paramadina)
Mata kuliah :Ushul fiqih
1
aturan berpikir ini, sebab sebelumnya Socrates dan Plato pernah berbicara
tentang hal ini. Namun karena Aristoteles adalah orang pertama yang
mengumpulkan dan menyusunnya, menetapkannya sebagai kunci ilmu
pengetahuan serta menulisnya dalam sebuah karya, ia digelari sebagai “guru
pertama”. Organon, bukunya tentang mantik, terdiri dari delapan bagian:
Categoria (membahas tentang genus dan bagian-bagiannya), Hermeneutika
(tentang proposisi), Sylogisme (tentang qiyas), Demonstrasi (tentang qiyas yang
menyimpulkan keyakinan), Dialektika (ilmu debat), Sofistika (qiyas yang
menyesatkan), Retorika (seni agitasi massa) dan Poetica (seni menyusun kata-
kata puitis).
Pada masa penerjemahan literatur asing atas perintah Khalifah Al
Makmun (w. 218 H), buku-buku ini menarik perhatian banyak cendikiawan
muslim pada saat itu hingga beberapa dekade setelahnya. Abu Nashr Al Farabi,
Abu Ali Ibn Sina dan Ibn Rusyd menulis berbagai komentar dan penjelasan
tentang cabang ilmu ini. Kemudian datang generasi selanjutnya yang
menyempurnakan ilmu ini dengan memandangnya sebagai ilmu tersendiri,
bukan hanya ilmu alat (organon), dengan menambah yang kurang dan
membuang yang tidak perlu. Orang pertama yang melakukan ini adalah Imam
Fajruddin bin Al Khatib lalu Afdhaluddin Khawanji. Proyek mereka sungguh
sukses sehingga berhasil menenggelamkan karya tokoh-tokoh sebelumnya dan
mengalahkan metode mereka.
pokok bahasan mantik tersimpul pada empat komponen, yaitu
pembahasan tentang tashawwur, had (definisi), tashdiq dan sylogisme:
1. Definisi (Had)
Ahli mantik sepakat bahwa definisi menghasilkan pengetahuan hakikat
sesuatu dan tanpanya pengetahuan tashawwur tidak bisa didapatkan. Untuk
membuat sebuah definisi sempurna, harus diperhatikan beberapa aturan (qanun)
penting berikut ini. Aturan pertama, definisi adalah jawaban untuk sebuah
pertanyaan. Karena bentuk pertanyaan yang dilontarkan bermacam-macam,
maka jawabannya pun bermacam-macam pula, sehingga mempengaruhi bentuk
2
definisi. Memahami bentuk pertanyaan dengan demikian menentukan kualitas
sebuah jawaban, maka pembahasan tentang bentuk-bentuk pertanyaan harus
dikuasai terlebih dahulu. Pertanyaan ‘apa’ menuntut tiga hal: penjelasan kata
(apa itu reformasi? Reformasi adalah pembentukan kembali), penjelasan tentang
uraian sesuatu yang membedakannya dengan sesuatu yang lain dengan ciri-ciri
lazimnya (apa itu khamr? Khamr adalah benda cair yang berbusa), dan
penjelasan hakikat serta essensi sesuatu (apa itu khamr? Khamr adalah
minuman memabukkan yang dibuat dari perasan anggur). Definisi pertama
disebut definisi lafzhi, sebab hanya menjelaskan makna kata. Kedua disebut
rasmi, sebab hanya menjelaskan ciri eksternal (rasm) sesuatu, bukan
hakikatnya. Dan yang ketiga disebut definisi hakiki, sebab ia menjelaskan hakikat
dan essensi sesuatu dengan mendalam. Pertanyaan ‘mengapa’ menuntut
pembuktian dengan sylogisme yang akan dijelaskan nanti. Dan pertanyaan ‘yang
mana’ meminta pemilahan antara dua hal yang hampir serupa. Pertanyaan
dengan ‘bagaimana’, ‘di mana’, ‘kapan’ dan bentuk-bentuk lain termasuk dalam
penjelasan dari pertanyaan ‘apakah’ yakni menuntut penjelasan tentang sifat
sesuatu.
Aturan kedua, seorang pembuat definisi harus bisa membedakan antara
sifat essensial (dzati), aksidental (‘aridh) dan lazim dari sesuatu. Sifat essensial
(dzati) adalah sifat yang masuk dalam essensi dan hakikat sesuatu, tidak
mungkin sesuatu itu dipahami tanpa menyertakan sifat ini. Contoh sifat essensial
adalah makna ‘warna’ yang dipahami dari kata ‘hitam’, dan makna ‘benda’ dari
kata ‘pohon’, misalnya. Sifat lazim adalah sifat yang selalu menyertai benda
namun pemahaman hakikat benda itu tidak tergantung padanya. Seperti
bayangan yang menyertai fostur manusia ketika matahari terbit. Memahami
hakikat manusia bisa dilakukan tanpa menyertai kata bayangan sedikitpun. Sifat
aksidental (‘aridh) adalah sifat yang harus menyertai benda namun bisa hilang
cepat atau lambat.
Untuk menyusun sebuah definisi yang logis, diperlukan sifat essensial
untuk menjelaskan hakikat sesuatu. Sifat essensial terbagi menjadi umum,
selanjutnya disebut genus (jins), dan khusus, selanjutnya disebut spesies (nau’).
3
Makhluk adalah genus untuk kata manusia, binatang dan tumbuhan.
Selanjutnya, manusia adalah genus untuk kata Usman, Fatimah dan lain-lain.
Aturan ketiga, dalam membuat definisi logis, pertama kali yang harus Anda
lakukan adalah memasukkan semua komponen definisi, yakni genus dan
differensia (fashal). Contoh, manusia adalah hewan (genus) yang berpikir
(differensia). Kedua, Anda harus inventaris sifat-sifat essensial dari obyek yang
hendak didefinisikan. Ketiga, jika Anda menemukan genus yang dekat, jangan
pilih yang lebih jauh. Contoh, genus terdekat untuk khamar adalah minuman,
maka jangan pilih kata benda cair untuk mendefinisikannya. Keempat, hindari
sebisa mungkin kata-kata samar dan kiasan. Singkatnya, sebuah definisi yang
baik harus terbuka-tertutup (muththarid wa mun’akis), yakni terbuka untuk semua
entitas dari sesuatu yang hendak didefinisikan (kulli fardin min afrad al mu’arraf)
dan tertutup untuk selain entitas-entitas itu.
2. Sylogisme
Ahli mantik sepakat bahwa sylogisme adalah satu-satunya jalan
mencapai pengetahuan tashdiq dan melahirkan pengetahuan meyakinkan.
Sylogisme adalah beberapa proposisi yang disusun sedemikian rupa dengan
syarat-syarat tertentu sehingga melahirkan kesimpulan (natijah) yang dicari.
Proposisi ini disebut premis (muqaddimah), ysng terbagi dua menjadi mayor
(muqaddimah kubra) dan minor (muqaddimah shughra). Sylogisme yang baik
adalah yang tersusun dari premis-premis sahih dan meyakinkan, serta disusun
dengan cara yang benar. Ibarat membangun sebuah rumah, yang harus
diperhatikan pertama kali adalah bahan material (batu, semen dan kayu) yang
membentuk rumah itu, kemudian cara pembuatannya dan terakhir bentuk rumah
tersebut. Begitu juga dalam membangun sebuah sylogisme, yang harus
diperhatikan pertama kali adalah kata dan makna yang menjadi materi premis,
kemudian cara penyusunan premis-premis yang sah, lalu bentuk sylogisme yang
dapat menghasilkan kesimpulan. Maka pembahasan sylogisme ini akan dimulai
dengan pembahasan tentang makna dan kata, dilanjutkan dengan pembahasan
tentang cara penyusunan premis dan terakhir pembahasan tentang bentuk-
4
bentuk sylogisme.
b. Proposisi
Penyusunan dua makna yang melahirkan justifikasi benar-salah disebut
proposisi (qadhiyah). Proposisi terbagi empat: ta’yin (contoh, Zaid seorang
sekretaris), umum (contoh, setiap benda pasti berbobot), khusus (contoh,
sebagian manusia berilmu) dan muhmal (contoh, manusia dalam kerugian).
c. Kontradiksi
Suatu proposisi kadang dengan mudah disimpulkan kebenarannya
hanya dengan melihat kelirunya proposisi yang menjadi lawannya. Contoh, alam
ini kekal atau alam ini tidak kekal. Jika proposisi yang pertama benar, maka yang
5
kedua salah, demikian sebaliknya. Syarat sahnya kontradiksi ada enam, yaitu
satu dalam subyek, satu dalam predikat, satu dalam relasi (idhafah), satu dalam
potensi dan aktual, satu dalam universal dan partikular, satu dalam tempat dan
waktu.
6
Bentuk demonstrasi ada tiga: Bentuk pertama, yakni proposisi yang
saling sepadan (ta’adul) terdiri dari tiga skema; Pertama, illat (kopula) berada di
predikat (premis I) dan di subyek (premis II). Setiap bir memabukkan.
Setiap yang memabukkan hukumnya haram Kesimpulan : Setiap bir hukumnya
haram Kedua, illat berada di predikat kedua premis.
Sang Pencipta tidak tersusun Setiap benda tersusun Kesimpulan : Sang
Pencipta bukan benda Ketiga, illat berada di subyek kedua premis.
Setiap hitam adalah sifat Setiap hitam adalah warna Kesimpulan : Sebagian sifat
adalah warna Bentuk kedua, yaitu proposisi yang saling menentukan (talazum).
Pakar logika menyebutnya syarat bersambung (syarti al muttashil). Bentuk ini
terdiri dari empat skema, namun hanya dua yang berkesimpulan. Keduanya
adalah:
Pertama, menerima sebab berarti menerima akibat. Jika shalat sah, maka
pelakunya suci (telah berwudhu) Shalat itu sah Kesimpulan : pelakunya
suci.
Kedua, menerima negasi akibat berarti menerima negasi sebab. Jika shalat sah,
maka pelakunya suci (telah berwudhu) Pelakunya tidak suci
Kesimpulan : shalatnya tidak sah Kedua skema yang tidak berkesimpulan
adalah:
Pertama, menerima akibat belum tentu menerima sebab. Jika shalat
sah, maka pelakunya suci (telah berwudhu) Pelakunya suci, tapi
belum tentu shalatnya sah (sebab boleh jadi shalat itu batal
karena hal lain).
Kedua, menerima negasi sebab, belum tentu menyimpulkan akibat atau
negasi akibat. Jika shalat sah, maka pelakunya suci (telah
berwudhu) Shalatnya tidak sah, belum tentu karena pelakunya
tidak suci.
Bentuk ketiga, disebut bentuk saling menentang (ta’anud). Pakar logika
menyebutnya syarat terpisah (syarti al munfashil), sementara
ahli kalam menyebutnya Sabr wa Taqsim. Bentuk ini juga
terbagi menjadi empat pengandaian:
7
Contoh: Alam ini kekal atau diciptakan Pengandaian pertama: Alam ini
diciptakan
Kesimpulan: Alam ini tidak kekal Pengandaian kedua: Alam ini kekal
Kesimpulan: Alam ini tidak diciptakan Pengandaian ketiga: Alam
ini tidak diciptakan
Kesimpulan: Alam ini kekal Pengandaian keempat: Alam ini tidak kekal
Kesimpulan: Alam ini diciptakan
8
Musa As menerima wahyu (Al Kitab) dari Allah.
Kesimpulan: Sebagian manusia ada yang menerima wahyu Neraca
talazum terdapat dalam ayat, “Jika ada tuhan selain Allah, niscaya langit dan
bumi akan hancur.” (Qs Al Anbiya [21]: 22). Rinciannya: Jika di dunia ini ada
tuhan lain, maka dunia akan hancur Nyatanya dunia tidak hancur
Kesimpulan: Tidak ada tuhan lain Terakhir, neraca ta’anud terdapat dalam ayat,
“Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Siapa yang memberi rizki kepada kalian dari
langit dan bumi?’ katakanlah, ‘Allah, dan kami atau kalian yang mendapat
petunjuk atau dalam kesesatan yang nyata.’” (Qs Saba [34]: 24). Uraiannya
adalah: Kami atau kalian (salah satu dari kita) berada di dalam kesesatan
Kami tidak dalam kesesatan Kesimpulan: Kalian berada dalam kesesatan
Perhatikan bagaimana Al Ghazali menempatkan mantik bukan sebagai warisan
tradisi Hellenistik, tetapi merupakan bagian inheren dari Al Qur’an. Maka jangan
heran jika kemudian hari Hujjatul Islam ini memfatwakan bahwa mempelajari
ilmu mantik sebuah fardhu kifayah, dan barangsiapa tidak menguasai ilmu ini
pengetahuannya patut diragukan.