You are on page 1of 21

Mengintip Masa Lalu Lewat Bangunan

Bersejarah di Bima (1)


Puncak musim panas di Bima biasanya berlangsung sampai November.
Terkadang berkepanjangan hingga awal Desember. Dalam kurun waktu
itu udara di siang hari menyengat. Kota Bima selain lewat udara, dapat
juga dicapai lewat darat dari Poto Tano, Sumbawa dan jalur laut.
Perjalanan dengan mobil dari lapangan terbang Sultan Muhammad
Salahuddin hanya sekitar 20 menit menuju Kota Bima. Jarak antara
lapangan terbang dan pusat kota sekitar 20 kilometer. Di barat ada
pelabuhan laut, jaraknya sekitar satu kilometer dari pusat kota.
Tidak banyak pemandangan menarik di sepanjang perjalanan selama
musim panas, kecuali alunan ombak pantai Teluk Bima. Selebihnya
gunung-gunung yang diapit pantai dan bukit-bukit gundul. Beberapa
kilometer sebelum memasuki kota, kita menjumpai pelabuhan dan depot
minyak Pertamina dan tempat rekreasi, Pantai Lawata. Pantai tersebut
panjangnya lebih kurang setengah kilometer yang dinaungi oleh bukit
berbatu. Ada beberapa bangunan di atas bukit di dekat pantai. Pada hari-
hari libur, tempat tersebut banyak didatangi masyarakat. Lawata ibarat
sebuah gerbang “selamat datang”, memberi isyarat bahwa perjalanan
akan segera memasuki Kota Bima. Di mulut kota terdapat sebuah terminal
bus yang bernama Terminal Dara. Dinamakan demikian karena terletak di
Desa Dara.
Juga tidak banyak hal menarik yang ditemui di dalam kota, kecuali sebuah
bangunan kuno Istana Bima atau akrab dikenal dengan Asi Mbojo,
bangunan berlantai dua hasil perpaduan arsitektur asli Bima dan Belanda.
Istana ini menggantikan bangunan sebelumnya yang dibangun pada abad
ke-19, yang bergaya Portugis. Ukurannya jauh lebih kecil dibanding istana
sekarang. Kini bangunan Istana Bima menjadi museum dengan nama
Museum Asi Mbojo.
Memandang Museum Asi
Mbojo sekarang, kita seperti
pergi ke masa lalu, ketika
Kerajaan Bima berjaya.
Bangunan yang pernah
menjadi istana raja-raja
Bima itu mampu bercerita
banyak tentang masa lalu
moyang orang Bima yang
legendaris. Di sebelah timur
areal istana berdiri Masjid
Agung Bima. Dulu namanya
Masjid Agung Al-
Muwahidin. Sebelah barat adalah lapangan taman kota yang dulunya
adalah lapangan sepak bola. Selebihnya adalah toko-toko, losmen-losmen
dan pelabuhan laut. Kotoran kuda-kuda penarik “Benhur“, kendaraan
tradisional Bima, bertebaran di jalan-jalan beraspal. Di musim panas
kotoran itu menjadi debu yang menyapu kota.
Asi Mbojo di masa jayanya tidak sepi dari kegiatan sehari-hari kesultanan.
Walaupun saat ini tersia-sia, pada masa lalu Asi Mbojo merupakan tempat
sakral yang menjadi pusat pemerintahan, seni dan budaya, pusat
penyiaran Islam dan Pengadilan Hadat. Asi Mbojo didampingi Asi Bou,
sebuah rumah panggung asli Bima, merupakan tempat kediaman resmi
sultan dan keluarganya. Tapi kini mereka menyendiri dan kesepian. Istana
atau Asi dalam Bahasa Bima dikenal oleh masyarakat Bima pada sekitar
abad ke-11 Masehi.
Istana Bima (Asi Mbojo) adalah bangunan bergaya Eropa. Mulai dibangun
pada tahun 1927. Bangunan ini dirancang oleh seorang arsitek kelahiran
Ambon, Rehatta, yang diundang ke Bima oleh penjajah Belanda. Ia
dibantu oleh Bumi Jero. Istana yang kini telah beralih fungsi sebagai
museum daerah itu adalah sebuah bangunan permanen berlantai dua
yang merupakan paduan arsitek asli Bima dan Belanda. Istana tersebut
resmi menjadi Istana Kesultanan Bima pada tahun 1929. Pembangunan
istana dilakukan secara bergotong-royong oleh masyarakat, sedang
sumber pembiayaan berasal dari anggaran belanja kesultanan dan uang
pribadi sultan.
Asi Mbojo, bangunan paling indah dan megah pada masa kesultanan,
memiliki halaman seluas 500 meter persegi yangditumbuhi pohon-pohon
rindang dan taman bunga yang indah. Bangunan istana diapit oleh dua
pintu gerbang timur dan barat yang senantiasa dijaga oleh anggota
pasukan pengawal kesultanan.
Konsepsi tata letak bangunan istana tidak jauh berbeda dengan istana lain
di tanah Air. Istana menghadap ke barat. Di depannya terdapat tanah
lapang atau alun-alun namanya Serasuba. Di sinilah raja tampil secara
terbuka di depan rakyat di saat-saat tertentu, misalnya saat
diselenggarakan upacara-upacara penting atau perayaan hari besar
keagamaan. Serasuba juga menjadi arena latihan pasukan kesultanan. Di
sebelah alun-alun terdapat sebuah bangunan masjid, sebagai sarana
kegiatan ritual keagamaan (Islam). Kini masjid itu bernama Masjid Sultan.
Tanah lapang berbentuk segi empat (mendekati bujur sangkar). Satu sisi
bersebelahan dengan bangunan masjid dan sisi yang lain menyatu
dengan halaman istana. Jelaslah bahwa bangunan istana, alun-alun
dan masjid merupakan satu kesatuan yang utuh.
Untuk memberi kesan sebagai bangunan monumental, istana bisa
dipandang dari empat penjuru angin. Tampaknya pembangunan istana
memperhatikan konsepsi filosofi sebuah istana yang di dalamnya
mentyiratkan kesatuan unsur pemerintahan, agama dan rakyat
(masyarakat). Namun, kini konsep filosofi itu telah sirna sejalan dengan
dikapling-kaplingnya tanah di sekitar istana oleh segelintir orang untuk
rumah dan kantor. Bukan saja istana menjadi kehilangan keanggunan dan
kesan monumentalnya tapi konsep filosofinya menjadi berantakan. Masjid
Raya Kesultanan, kini Menjadi Masjid Agung Bima, telah terpisah jauh dari
Istana, seperti sudah keluar dari konteks. dari sini terbaca bahwa orang
Bima mengalami krisis jati diri dan wawasan kebangsaan yang laten.
Bersamaan dengan berakhirnya masa kesultanan pada tahun 1952, maka
berakhirlah peranan Asi Mbojo sebagai pusat pemerintahan, pusat
pengembangan seni dan budaya, pusat penyiaran Islam dan pusat
pengadilan hadat. Kini bangunan tersebut menjalani fungsi yang baru
sebagai museum bagi barang-barang peninggalan raja-raja dan sultan-
sultan Bima. Di kedua pintu gerbang tidak ada lagi anggota pasukan
pengawal kesultanan. Alun-alun Serasuba telah beralih fungsi menjadi
lapangan sepakbola. Halaman belakang Istana yang dulunya merupakan
taman bunga yang indah, sejak tahun 1963 diperjual-belikan kepada
masyarakat untuk pengembangan rumah-rumah pribadi. Ia seolah-olah
harus sirna karena merupakan apa yang dikatakan — segelintir orang —
sebagai lambang “feodalisme masa lalu”.
Keadaan istana betul-betul parah pada tahun 1966. Istana yang
senantiasa bersih dan terawat dengan baik, berubah menjadi kotor dan
beberapa bagian bangunan rusak dan runtuh. Bangunan termewah dikota
Bima itu akhirnya merana. Istana kemudian beralih fungsi menjadi mess
pegawai dan tentara. Usaha untuk mengembalikan keindahan istana
dimulai tahun 1978. Pemerintah pusat melakukan pemugaran dan
menjadikannya sebagai bangunan lama yang harus dilindungi dan
dilestarikan.
Beberapa bangunan
bersejarah bisa ditemukan
di dalam lingkungan istana,
yaitu pintu-pintu gerbang
dan sebuah tiang bendera
setinggi 50 meter. Pintu
gerbang sebelah barat dan
sebelah timur bernama
Lare-lare merupakan pintu
resmi kesultanan yaitu
tempat masuknya sultan,
para pejabat kesultanan
dan tamu-tamu sultan. Lare-lare berbentuk masjid tiga tingkat. Tingkat
atas (loteng merupakan tempat untuk menyimpan Tambur RasanaE dan
dua buah lonceng. Tambur RasanaE dibunyikan sebagai tanda
pemberitahuan adanya upacara kebesaran, sedangkan kedua lonceng
dibunyikan untuk pemberitahuan tanda bahaya dan waktu.

Berwisata Sejarah Ke Museum Asi


Mbojo
Anda ingin melihat benda-benda bersejarah serta tempat
tinggal raja dan sultan Bima di masa lalu ? Nah, salah satu
tempat yang akan memberikan informasi serta menambah
wawasan anda tentang kerajaan dan kesultanan Bima adalah di
Museum Asi Mbojo yang dulunya merupakan Istana bagi raja
dan sultan Bima. Museum ASI Mbojo (Istana Bima) dikonstruksi
dengan campuran gaya eropa dan Bima pada tahun 1927 oleh
Mr. Obzicshteer Rehata dan selama ini dijadikan sebagai museum dimana anda bisa
melihat barang – barang serta pakaian adat yang digunakan pihak Istana Kerajaan serta
para prajurit waktu itu.
Beberapa barang itu ada yang terbuat dari emas, perak dan tembaga seperti mahkota,
payung, keris, senjata, perlengkapan kuda istana dan lain – lain serta dapat dilihat barang
– barang yang diperggunakan untuk aktivitas sehari – hari.
Benda-benda yang dipamerkan di Museum Asi Mbojo ini tidak hanya berasal dari zaman
kerajaan dan kesultanan, akan tetapi benda-benda purba kala sebelum masa kerajaan
dan kesultanan Bima juga dapat anda lihat di tempat ini. Museum Asi Mbojo terletak di
pusat kota Bima. Lokasinya terletak di sebelah timur pasar raya Bima dan di depannya
terdapat sebuah Tanah Lapang atau Alun-alun yang dikenal dengan nama SERA SUBA.
Sera berarti tanah lapang, Suba berarti perintah. Sera Suba merupakan tanah lapang
tempat para raja dan sultan memberikan perintah berkaitan dengan kepentingan rakyat
dan negeri.(*alan)

Mengintip Sejarah Bima Lewat Museum Asi Mbojo

(Berita Daerah - Nusa Tenggara) - Luas, kokoh dan kuno. Itulah kesan
yang tertangkap dari gedung Museum Asi Mbojo yang terletak di jantung
Kota Bima. Bangunan tersebut dahulu merupakan istana kasultanan
Bima, kini berfungsi sebagai museum.
Museum Asi Mbojo bukan hanya saksi sejarah Bima, lebih dari itu ia
menyimpan cerita panjang temali benang merah peradaban masyarakat
Bima dari masa kesultanan Bima hingga kini.

Arsitektur bangunan Museum Asi Mbojo merupakan perpaduan khas Bima


dan Belanda. Bangunan kokoh dan menjulang itu terdiri dua lantai dan
menempati areal tidak kurang dari lima are.

Asi Mbojo berarti Istana Bima. Istana itu dibangun pada 1927 dan resmi
menjadi istana kasultanan Bima pada 1929. Bangunan istana diapit oleh
dua pintu gerbang di sisi barat dan timur.

Tata letak Asi Mbojo tidak jauh berbeda dengan istana lain di Tanah Air.
Istana menghadap ke barat dan di depannya terdapat tanah lapang atau
alun-alun bernama Serasuba.

Di tempat itulah konon raja tampil secara terbuka di depan rakyat di saat-
saat tertentu, misalnya saat diselenggarakan upacara-upacara penting
atau perayaan hari besar keagamaan. Serasuba juga menjadi arena
latihan pasukan kesultanan.
Di sebelah alun-alun terdapat sebuah bangunan masjid, sebagai sarana
kegiatan ritual keagamaan. Istana, alun-alun dan masjid yang merupakan
konsepsi filosofi pemerintah, rakyat dan agama merupakan satu kesatuan
yang utuh.

Petugas museum, Astuti menjelaskan, bersamaan dengan berakhirnya


masa kesultanan pada 1952, maka berakhirlah peranan Asi Mbojo
sebagai pusat pemerintahan, pusat pengembangan seni dan budaya,
pusat penyiaran Islam dan pusat pengadilan adat.

Museum Asi Mbojo menyimpan barang-barang peninggalan raja-raja dan


sultan-sultan Bima. Di kedua pintu gerbang tidak ada lagi anggota
pasukan pengawal kesultanan. Alun-alun Serasuba telah beralih fungsi
menjadi lapangan sepakbola.

Memasuki bagian gedung Museum Asi Mbojo, di lantai satu di bagian


kanan, langsung tersaji koleksi akaian adat untuk perkawinan kalangan
bangsawan dan masyarakat jelata berikut pelaminannya.

Di sisi lainnya, ada sejumlah almari yang menyimpan koleksi alat


pertanian, alat berburu, alat transportasi, alat yang digunakan dalam
bidang perikanan, peralatan memasak, peralatan makan dan lain
sebagainya. "Alat-alat tradisional ini merupakan alat-alat yang digunakan
masyarakat Bima pada masa lalu," kata petugas museum, Astuti, ketika
mendampingi berkeliling museum.

Koleksi lainnya diantaranya berupa pakaian adat Bima, pakaian untuk


kesenian tari, kitab-kitab koleksi Sultan, senjata api jaman Portugis dan
Belanda serta koleksi lainnya.

Di bagian kiri terdapat ruangan untuk menyimpan koleksi senjata seperti


keris, trisula dan perlengkapan perang lainnya. Tidak kurang dari 100
koleksi di ruang itu. Koleksi-koleksi di tempat tersebut semuanya terbuat
dari emas dan perak.

Setelah naik tangga di bagian tengah ruangan, di lantai dua terdapat


sejumlah kamar atau ruang tidur keluarga Sultan. Diantara kamar-kamar
tersebut ada satu kamar yang dulu pernah digunakan untuk menginap
Presiden RI I, Soekarno, ketika berkunjung ke Bima. Presiden Soekarno
berkunjung ke kasultanan Bima pada 1945 dan 1951. Astuti mengatakan,
koleksi-koleksi yang ada di Museum Asi Mbojo itu hanya sebagian dari
koleksi kasultanan Bima. Sebagian koleksi lainnya disimpan keluarga
Sultan.

Kesultanan Bima adalah kerajaan yang terletak di Bima. Penduduk daerah


ini dahulunya beragama Hindu (Syiwa). Menurut catatan lama Istana
Bima, pada masa pemerintahan raja yang bergelar "Ruma Ta Ma Bata
Wadu", menikah dengan adik dari isteri Sultan Makassar Alauddin
bernama Daeng Sikontu, puteri Karaeng Kassuarang. Ia menerima agama
Islam pada tahun 1050 H atau 1640 M. Raja atau Sangaji Bima tersebut
digelari dengan "Sultan" yakni Sultan Bima I (Sultan Abdul Kahir).

Setelah Sultan Bima I mangkat dan digantikan oleh putranya yang


bernama Sultan Abdul Khair Sirajuddin sebagai Sultan II, maka sistem
pemerintahannya berubah dengan berdasarkan "Hadat dan Hukum
Islam". Sementara itu, Sultan Ibrahim (Sultan Bima ke- XI) dari
pernikahannya melahirkan Sultan Salahuddin yang kemudian diangkat
menjadi Sultan Bima ke- XII sebagai Sultan Bima terakhir.

Butuh Waktu Berkunjung ke Museum Asi Mbojo memang merupakan


agenda yang menarik, namun untuk menjangkaunya dari Mataram,
Ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), butuh waktu cukup lama.

Apalagi musim kemarau membuat udara kurang bersahabat. Panas terik


dan kering kerontang mewarnai udara serta area pertanian di daerah
tersebut. Hujan juga jarang turun.

Perjalanan darat dari penyeberangan Poto Tano di Kabupaten Sumbawa


menyusuri perbukitan hingga Dompu sampai Bima, yang terlihat hanya
perbukitan dengan pepohonan meranggas, sementara rerumputan di
padang penggembalaan mengering.

Sepertinya tidak ada pemandangan yang menarik sepanjang perjalanan


selama musim panas di Pulau Sumbawa, kecuali hamparan pantai
dengan air membiru yang masih menyisakan kesan keteduhan.

Bima adalah salah satu kota di Pulau Sumbawa yang merupakan bagian
dari Provinsi NTB. Untuk menjangkau kota ini dari Mataram dapat
ditempuh melalui jalur darat atau jalur udara.

Jika ditempuh melalui perjalanan darat, dari Mataram harus melakukan


perjalanan darat lebih dulu ke pelabuhan penyeberangan Kayangan di
Kabupaten Lombok Timur. Waktu tempuh antara Kota Mataram-Lombok
Timur berkisar 1,5 -2 jam.

Perjalanan masih harus dilanjutkan dengan menyeberang ke Poto Tano di


Kabupaten Sumbawa dengan waktu tempuh antara 1,5 - 2 jam. Setelah
tiba di pelabuhan penyeberangan di Pulau Sumbawa itu, perjalanan ke
Bima masih harus menempuh jarak sekitar 350 kilometer lagi.

Meski jalannya beraspal, tapi untuk menempuh jarak sejauh itu perlu
konsentrasi tinggi, sebab jalan yang ditempuh berkelok-kelok, naik turun
menyusuri bukit dan jurang di sisi jalan yang curam.

Namun, jika ingin perjalanan lebih singkat, dari Bandara Selaparang di


Mataram, bisa langsung naik pesawat menuju jurusan Bandara Sultan
Muhammad Salahuddin di Bima. Waktu tempuh sekitar 30 menit. Harga
tiket pesawat Mataram-Bima cukup terjangkau karena selama ini masih
disubsidi oleh pemerintah daerah setempat.

Jika ditempuh melalui perjalanan darat, beberapa kilometer sebelum


memasuki kota Bima, tepatnya memasuki wilayah Kecamatan Bolo, di
sepanjang kiri jalan mulai terlihat hamparan tambak garam. Ratusan
bahkan mungkin ribuan hektar tambak garam terpetak-petak.

Para petani sedang memanen garam setelah air laut yang dialirkan ke
petak-petak tambak, mulai menghasilkan kristal putih yakni garam.
Sebagian lainnya memasukkannya ke karung. Harga per karung (60
kilogram) sebesar Rp60 ribu.

Beberapa saat setelah itu mulai terlihat panorama Pantai Lawata. Pantai
dengan panjang sekitar setengah kilometer itu pada hari libur banyak
dikunjungi masyarakat. Karena letaknya sebelum masuk kota, maka
Pantai Lawata oleh sebagian orang dijuluki juga sebagai pantai selamat
datang.

Meski untuk menjangkau Museum Asi Mbojo butuh waktu panjang, tapi
sesampainya di lokasi bangunan kuno itu rasa lelah akan terlunasi dengan
segudang cerita sejarah Bima yang sangat melegenda.

ISTANA BIMA

Letak dan Lingkungan

Istana Bima yang disebut Asi Mbojo merupakan salah satu


tinggalan arkeologi yang awalnya merupakan tempat tinggal Raja-raja
Bima. Dalam perkembanganya Istana ini pernah beberapa kali berubah
fungsi antara lain : sebagai barak tentara, kantor ruang kerja dan terakhir
(saat ini) sebagai Museum Asi Mbojo yang berfungsi sebagai tempat
penyimpanan benda-benda peninggalan kerajaan Bima.

Sebagai mana layaknya sebuah bangunan istana, Istana Bima


terletak di pusat pemerintahan Kasultanan Bima, yaitu di Kota Bima yang
kita kenal sekarang.

Kota Bima terletak di kabupaten Bima merupakan salah satu


daerah otonomi di propinsi Nusa Tenggara Barat, terletak di ujung timur
pulau Sumbawa tepatnya pada posisi 0-477,50 M diatas permukaan laut
dan berada pada 117 ‘ 40’ sampai 119’ 10 Bujur timur dan 70’30 Lintang
selatan. Dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :

Sebelah utara : Laut Flores

Sebelah selatan : Samudra Indonesia

Sebelah Timur : Selat Sape

Sebelah Barat : Kabupaten Dompu

Luas wilayah kabupaten Bima adalah 4.596,90 Km2 atau 22.5%


dari total luas Propinsi NTB. Secara administratif Kabupaten Bima terdiri
dari 16 Kecamatan dan terdapat satu kota Administratif yakni kotif
Bima.Semula hanya ada 10 Kecamatan, namun pada Tahun 2000 enam
kecamatan mengalami pemekaran yang telah didefinitifkan Tahun 2001.
Secara umum topografi kabupaten Bima berbukit-bukit setiap wilayahnya
mempunyai topografi yang cukup berpariasai dari datar hingga
bergunung-gunung.

Kabupaten Bima beriklim tropis dengan musim hujan yang relatif


pendek yakni dari bulan desember sampai dengan maret. Sedangkan
berdasarkan data kependudukan jumlah penduduk di akhir tahun 2008
adalah 509,951 jiwa.

Sebagai kota yang pernah menjadi ibukota sebuah negara (Bima),


dan kini dikembangkan sebagai kota terbesar di Kabupaten Bima, sarana
transportasi dan komunikasi dengan dunia luar sangat memadai. Kita
dapat berkunjung ke Bima melalui jalan darat, laut, ataupun dengan
pesawat udara. Disamping pelabuhan laut yang berjarak hanya sekitar
satu kilometer dari komplek Istana Bima, di Bima juga terdapat sebuah
Bandar udara yang dapat didarati pesawat F 27.

Latar Sejarah

Sejarah keberadaan sebuah istana terkait erat dengan keberadaan


dari kerajaan itu sendiri. Dalam hal ini sejarah kerajaan Bima, khususnya
masa awal berdirinya kerajaan Bima, masih diselimuti kabut misteri
karena diantara sumber-sumber yang ada masih berbau cerita legenda.
Bukti-bukti sejarah kepurbakalaan yang ditemukan di kabupaten Bima
seperti Wadu Paa dan Wadu Noco, Wadu Tunti (batu bertulis) di dusun
Padende Kecamatan Dongo menunjukan bahwa daerah ini sudah lama
dihuni manusia.

Menurut legenda nama Bima diambil dari nama tokoh “ Sang Bima
“, seorang bangsawan dari Jawa yang berhasil mempersatukan kerajaan-
kerajaan kecil di daerah ini menjadi satu kerajaan, yaitu kerajaan Bima.

Sang Bima kawin dengan seorang putri yang cantik jelita, bernama
Tasi Naring Naga. Dari perkawinanya itu lahir Indra Jambrud dan Indra
Kumala, yang kelak menjadi cikal bakal dan menurunkan raja-raja Bima
dan Dompu. Braam Morris menyebutkan bahwa tidak kurang dari 49 raja
yang pernah memerintah di Bima, sedangkan Maharaja (“Sang”) Bima
ditempatkan pada urutan ke sebelas.

Kronik Bima (naskah “ Bo” kerajaan Bima) mencatat bahwa pada


masa pemerintahan Sariese, raja Bima yang ke- 36, terjadilah kontak
pertama dengan orang-orang Eropa (mungkin Portugis). Sedangkan raja
ke- 37, raja Sawo adalah raja terakhir yang belum menganut agama
Islam. Ia digantikan oleh anaknya, bernama Abdul Kahar, sebagai raja ke-
38, raja pertama dari dinasti Kasultanan Bima yang memeluk agama Islam
dan bergelar Sultan.

Tentang kapan masuknya ajaran agama Islam di Bima diperoleh


imformasi yang beragam. Naskah “Bo” kerajaan Bima menyebutkan
bahwa ketika raja Bima dalam tahun 1015 H (= 1616 M) pergi ke Gowa
untuk kawin dengan putri raja Gowa, ia kemudian bergelar Sultan Abdul
Kahir atau Kahar, yang mungkin sekali adalah Sultan yang oleh Zollinger
disebut Abdul Galir.

Abdul Kahir menjadi Sultan Bima sejak tahun 1630, sampai


dengan 1640, sedangkan Braam Morris mengatakan sejak 1640, tanpa
menyebutkan tahun berakhirnya. Ia dikenal sebagai peletak dasar agama
Islam di Bima dan menjadikan kerajaan Bima sebagai kerajaan Islam. Di
dalam sejarah daerah Bima maupun dalam catatan lontar Gowa, ia
dikenal dan sering disejajarkan dengan Sultan Alaudin dan Sultan Malikul
Said dari kerajaan Gowa dan Tallo, baik dalam hal penyebaran agama
Islam maupun dalam perebutan pengaruh terhadap Belanda yang ingin
menguasai perdagangan di Indonesia bagian timur pada waktu itu.
Setelah beliau wafat pada tahun 1640, digantikan oleh puteranya, yaitu
Sultan Abdul Khair Sirajuddin.

Masih menurut catatan “ Bo” kerajaan Bima, ketika istri Sultan


Abdul Kahir melahirkan puteranya yang pertama, Sultan Abdul Kahir
mendatangi Bicara/Bumi Renda La Mbila Manuru Suntu untuk meminta
nama dari puteranya yang baru lahir. Oleh Rumata Menuru Suntu
diberikan nama La Mbila, sebagai peringatan bagi Rumata Tureli
Nggampo Ma Kapiri Solor yang telah mengatur adat dan pemerintahan
sehingga menjadi dasar yang kokoh bagi tata cara pemerintahan kerajaan
Bima pada waktu itu. Kemudian, La Mbila mendapat pula nama secara
Islam, yaitu Abdul Khair Sirajuddin sehinga nama lengkapnya menjadi La
Mbila Abdul Khair Sirajuddin. Sayang sekali hingga kini belum ditemukan
catatan yang menjelaskan kapan Abdul Khair dilahirkan.

Sejak kecil Abdul Khair sangat besar perhatianya terhadap


kesenian, terutama seni tari. Bahkan, menurut riwayat, ia adalah seorang
seniman.

Ketika ayahandanya, Sultan Abdul Kahar meninggal dunia, Abdul


Khair baru menginjak usia dewasa, sehingga ia terpaksa memangku
jabatan sebagai Sultan dalam usia muda.

Dalam lontara Gowa disebutkan bahwa Sultan Abdul Khair kawin


di Makasar pada tahun 1646 dengan puteri Raja Gowa Malikul Said yang
bernama Karaeng Bonto Jene, setelah beberapa tahun menjadi Sultan.
Dari perkawinan ini lahir seorang putra yang kelak menjadi Sultan Bima III
(Sultan Nuriddin), dan tiga anak perempuan lainya.

Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Khair Sirajuddin tercatat


beberapa peristiwa penting bagi kerajaan Bima, diantaranya :
1. Penyesuaian hukum adat dengan hukum islam sehinga
pemerintahan kerajaan Bima berjalan sebagaimana lazimnya
kerajaan islam.

2. Penyesuain bentuk majelis kerajaan dengan memasukan unsur-


unsur agam Islam

3. Memperluas penyiaran agama Islam dengan mewajibkan


pelaksanaan “syariat” Islam Dan memberikan kedudukan
tersendiri bagi mubaligh-mubaligh.

4. Memerintahkan penyempurnaan Kitab catatan Kerajaan dengan


membuat “BO” yang tertulis di atas kertas dengan hurup arab
berbahasa melayu.

5. Melindungi dan mengembangkan kesenian dan memerintahkan


untuk mempertunjukan kesenian terbaik di Istana Kerajaan
pada waktu perayaan di istana, seperti peringatan Maulud Nabi
Muhamadan S.A.W. yang disebut “ sirih puan”.

6. Menetapkan hari-hari besar kerajaan yang diperingati secara


adat pada setiap tahunya. Oleh majelis kerajaan, hari-hari besar
itu disebut Rawi Sara Ma Tolu Kali Sa Mbaa, yaitu :

a. Peringatan Maulud Nabi Muhammad s.a.w tanggal 12


Rabi’ulawal 1030 Hijrah. Upacara ini lebih dikenal
dengan nama Upacara Sirih-puan, atau Ua-pua.

b. Hari Raya Idul Fitri.

c. Hari Raya Idul Adha.

Sebagai sekutu kerajaan Gowa, Sultan Abdul Khair selalu bahu


membahu dengan iparnya, yaitu I Mallombasi Daeng Mattawang atau
yang lebih dikenal dengan nama Sultan Hasanuddin dari Gowa dalam
menentang Belanda.

Sultan Abdul Khair memerintah daerah yang cukup luas dan


strategis bagi pelayaran perdagangan, seperti: Sumba, Flores Barat dan
pulau-pulau di antara Flores dan Sumba. Oleh karena itu pula di dalam
Perjanjian Bongaya yang ditandatangani pada hari jumat tanggal 18
Nopember 1667, tiga pasal diantaranya menyangkut kerajaan Bima.
Walaupun perjanjian itu dengan terpaksa telah ditandatangani oleh Sultan
Hasanuddin Dan raja-raja lainya, Karaeng Bontomarannu, Sultan Bima,
Raja Tallo Sultan Harun Al Rasyid, dan Karaeng Lengkoso tetap belum
mau menandatangani perjanjian Bongaya pada tanggal 9 dan 31 Maret
1668. Sedangkan kerajaan Bima baru menyerah kepada Belanda pada
tanggal 8 Desember 1669 dengan suatu perjanjian yang ditandatangani di
Jakarta oleh Jeneli Monta Abdul Wahid dan Jeneli Parado La Ibu atas
nama Sultan Bima. Meskipun secara resmi kerajaan Bima telah
menyerah, namun dalam prakteknya pemerintah kerajaan sepenuhnya
berjalan menurut kebijakan Sultan Abdul Khair. Kekuasan Belanda hanya
tampak dalam urusan perdagangan, yang dikendalikan seorang kuasa
usaha, yang dikenal sebagai Khojah Ibrahim.

Sultan Abdul Khair wafat pada tanggal 17 Rajab 1093 H,


bertepatan dengan tanggal 22 Juli 1682 M, dimakamkan di Makam
Tolobali. Setelah beliau wafat, digelari Rumata Maatau Uma Jati, artinya
Raja yang memiliki rumah jati, karena semasa hidupnya pernah
mendirikan sebuah Istana yang keseluruhanya terbuat dari kayu jati,
dengan corak konstruksi khas Bima. Bangunan Istana itu kini telah tiada.

Sultan Abdul Khair digantikan oleh putranya, Sultan Naruddin,


tetapi masa pemerintahanya tidak begitu lama hanya berlangsung sekitar
lima tahun, sehinga tidak banyak peristiwa penting yang terjadi selama
masa pemerintahanya. Sultan Naruddin diangkat menjadi sultan pada
tahun 1682.

Dalam masa pemerintahanya, Sultan Naruddin menyempurnakan


jabatan-jabatan keagamaan Kerajaan Bima, yaitu dengan diadakanya
jabatan-jabatan Qadli, Lebe, Khatib, dan sebagainya. Bahkan di istana
diangkat pejabat-pejabat khusus yang mengurusi masalah-masalah
keagamaan yang kedudukanya setingkat dengan mufti. Salah seorang
diantaranya yang terkenal ialah Syah Umar Al Bantami yang menjadi
mufti di istana kerajaan dan sebagai guru agama bagi putra-putri Sultan.
Sultan Naruddin wafat pada tahun 1687, jenasahnya dimakamkan di
Makam Tolobali, berdampingan dengan makam ayahndanya.

Sepeninggal Sultan Nuruddin, yang diangkat sebagai pengganti


beliau ialah putera sulungnya, bergelar Sultan Jamaluddin, sebagai Sultan
Bima ke 4 (1687- ?). Pada tahun 1688, Sultan Jamaluddin kawin dengan
puteri bangsawan Gowa, bernama Karaeng Tanata. dari perkawinanya itu
lahir empat anak laki-laki, seorang diantaranya bernama Hasanuddin
Muhamad Syah, yang kelak menjadi Sultan Bima ke 5.

Sejak kecil Sultan Jamaluddin mendapat didikan Syeh Umar Al


Bantami. Dari Syah Umar inilah ia mendapatkan cerita-cerita tentang
kepahlawanan raja-raja banten, raja-raja Malaka, dan kepahlawanan
Islam. Kisah-kisah itu berpengaruh besar terhadap pertumbuhan dan
pembentukan kepribadianya yang anti penjajahan. Setelah menjadi sultan,
ia menampakan ketegasan sikapnya tidak mau dicampuri oleh Belanda
dalam urusan pemerintahan. Hal semacam ini sudah tentu tidak disenangi
oleh Belanda.

Ketika terjadi pembunuhan atas diri permaisuri Sultan Dompu


(bibi sultan jamaluddin) secara kebetulan Sultan Jamaluddin tengah
berkunjung di sana. Belanda mengunakan kesempatan itu dengan sebaik-
baiknya untuk menjebaknya. Atas pengaduan Sultan Dompu. Belanda
memanggil Sultan Jamaluddin ke Makasar, kemudian ditahan. Dari
Makasar dibawa ke Batavia dan di tahan disana sampai beliau wafat.
Mengenai kapan Sulatan Jamaluddin wafat belum diketahui dengan pasti,
hanya didalam catatan Belanda disebutkan bahwa Sultan Jamaluddin
wafat di Batavia dan dikuburkan di Tajung Priok. Pada tahun 1701
Belanda mendirikan benteng dan loji di Bima dan menempatkan
petugasnya, bergelar Koopman dan Onderkoopman. Setelah itulah baru
diketahui bahwa Sultan Jamaluddin telah wafat. Pada waktu itu kerajaan
Bima diperintahkan oleh Raja Muda, yang didampingi oleh Wazir Abdul
Somad Ompo La Muni. Tiga tahun kemudian barulah tulang belulang
kerangka jenasah Sultan Jamaluddin dipindahkan ke Bima dan
dikuburkan di Makam Tolobali, disamping makam Syeh Umar Al Bantami
yang telah mendahuluinya (1695).

Demikianlah sekilas tentang Kesultanan Bima, dari masa awal


terbentuknya Kasultanan Bima (Sultan Bima I) sampai dengan Sultan
Bima IV. Nama dan ketokohan keempat Sultan Bima ini cukup populer di
kalangan masyarakat Bima.

Adapun, nama-nama tokoh yang dikenal sebagai Sultan Bima


sepeninggal Sultan Jamaluddin ialah :

1. Sultan Bima IV, Sultan Hasanuddin Muhammad Syah, wafat tahun


1731

2. Sultan Bima V, Kamala (BUMI Partiga) atau Sultan I’Lauddin wafat


tahun 1753

3. Sultan Bima VI, Abdul Kadim Sri Nawa (1751-1765)

4. Sultan Bima VII, Abdul Hamid (1792)

5. Sultan Bima VIII, Ismail (1819-1850)

6. Sultan Bima IX, Abdullah (1851-1868)

7. Sultan Bima X, Abdu Azis (1868- ?)

8. Sultan Bima XI, Ibrahim (1881-1916)

9. Sultan Bima XII, Muhamad Salahuddin (1916- ?) sebagian Sultan


Bima yang terakhir.

Istana atau Asi dalam bahasa Bima mulai dikenal oleh masyarakat
Bima pada sekitar abad ke 11 Masehi. Menurut mitos setempat Raja Bima
pertama, Indra Zamrud membangun Istana Kaca. Begitu Sultan Abdul
Hamid Membangun Asi Saninu (Istana Kaca), selanjutnya Sultan Ismail
membangun Asi Mpasa (Istana Lama) pada tahun 1820 M. Asi Ntoi
dibangun diera pemerintahan raja-raja dan Sultan-sultan Bima yang bisa
disaksikan sampai sekarang yaitu istana-istana Asi Mbojo dan Asi Bou
yang terletak berdampingan.

Asi Bou (Istana Baru) semula merupakan bangunan darurat untuk


tempat tinggal sementara Sultan Muhammad Salahuddin dan keluarganya
selama Asi Mbojo dalam pembangunan.

Bangunan Istana Bima yang kita saksikan sekarang ini ialah


sebuah bangunan bergaya Eropa, dibangun pada tahun 1927-1929.
Istana ini dibangun setelah Istana yang lama rusak. Bangunan Istana
yang lama dibangun pada abad ke-19, juga bergaya Eropa (gaya
Portugis), Ukuranya jauh lebih kecil dibanding istana yang ada sekarang.
Perancang Asi Mbojo adalah Re hatta arsitek kelahiran Ambon yang
diundang dan ditugaskan oleh pemerintah Kolonial Belanda untuk
membangun Istana di maksud di bantu oleh Bumi Jero Istana, Istana ini
rampung dikerjakan dan diresmikan menjadi istana kerajaan Bima tahun
1929.

Asi Bou (Istana Baru) semula merupakan bangunan darurat untuk


tempat tinggal sementara Sultan Muhammad Salahuddin dan keluarganya
selama Asi Mbojo dalam pembangunan.

Benda Cagar Budaya (BCB)

Benda Cagar Budaya (BCB) yang ada di Istana Bima terdiri dari
BCB tidak bergerak dan BCB bergerak

a. Benda Cagar Budaya Tidak Bergerak

BCB tidak bergerak yang terdapat di Istana Bima antara lain :

- Istana Bima berupa bangunan eksotik bergaya Eropa mulai


dibangun tahun 1927, dikerjakan dalam waktu tiga tahunrampung dan
diresmikan menjadi istana Kerajaan Bima tahun 1929. Istana tersebut
berupa bangunan permanen berlantai dua yang merupakan paduan
arsitektur asli Bima dan Belanda. Pembangunanya dilakukan secara
gotong royong oleh masyarakat ditambah pembiayaan anggaran belanja
kesultanan. Istana dengan sendirinya menjadi bangunan paling indah dan
megah pada masa kesultanan.Luas halamanya 500 meter persegi. Kala
itu seputar Istana tumbuh pohon-pohon rindang dan taman bunga yang
indah. Bangunan Istana diapit oleh dua pintu gerbang yang berada di
bagian timur dan barat. Konsepsi tata letak bangunan istana tidak jauh
berbeda dengan Istana lain di Tanah Air.

- Didepan Istana terdapat tanah lapang atau alun-alun berbentuk


segi empat mendekati bujur sangkar namanya Serasuba. Di sinilah raja
tampil secara terbuka di depan rakyat di saat-saat tertentu, misalnya
waktu kesultanan menyelenggarakan upacara-upacara penting atau
perayaan hari besar keagamaan lainya. Serasuba juga menjadi arena
latihan pasukan kesultanan.

- Di sebelah selatan alun-alun terdapat sebuah bangunan masjid,


kesultanan yang megah dibangun pada masa pemerintahan Sultan Abdul
Hamid tahun 1872 Masehi, sebagai sarana kegiatan ritual keagamaan
Islam. Kini Masjid itu bernama Masjid Sultan M. Salahuddin.

Alun-alun di satu sisi bersebelahan dengan bangunan Mesjid, dan sisi lain
menyatu dengan halaman istana. Jelas menyiratkan bahwa ke 3 unsur
bangunan tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh. Untuk memberi
kesan sebagai bangunan monumental, istana bisa dipandang dari empat
penjuru mata angina menggunakan konsepsi filosofi sebuah istana yang
di dalamnya menyiratkan kesatuan unsur antara pemerintahan, agama
dan rakyat (masyarakat).

- Pintu gerbang sebelah barat bernama Lare-Lare merupakan pintu


resmi kesultanan yaitu tempat masuknya sultan, para pejabat kesultanan
dan tamu-tamu sultan. Lare-Lare berbentuk Mesjid tiga tingkat. Tingkat
atas (loteng) merupakan tempat untuk menyimpan tambur Rasanae dan
dua buah lonceng. Tambur Rasanae dibunyikan sebagai tanda
pemberitahuan adanya upacara kebesaran, sedangakan kedua lonceng
dibunyikan untuk pemberitahuan tanda bahaya dan waktu.
- Pintu gerbang sebelah timur disebut Lawa Kala atau Lawa Se
merupakan pintu masuk bagi anggota sara hukum dan ulama. Pintu
masuk bagi anggota keluarga Raja berada di belakang Asi Bou, bernama
Lawa Weki.

- Di depan Asi Mbojo bagian barat terdapat tiang bendera setinggi


50 meter yang disebut Kasi Pahu, terbuat dari kayu jati yang berasal dari
Tololali. Tiang bendera tersebut dibangun oleh Sultan Abdullah untuk
memperingati hari pembubaran angkatan laut kesultanan. Sultan Abdullah
terpaksa membubarkan angkatan lautnya karena tidak mau memenuhi
keinginan penjajah Belanda yang memaksa angkatan laut kesultanan
Bima untuk menyerang pejuang-pejuang Gowa Makasar dan Bugis. Tiang
Kasi Pahu sempat roboh karena lapuk. Tahun 2003 dibangun kembali
atas inisiatif Hj S. Maryam Salahuddin.namun bahanya bukan jati karena
jati di sana tidak ada lagi.

- Asi Bou, demikian orang Bima menyebut istana kayu ini. Asi Bou
berarti istan baru. Dalam bahasa Bima, asi artinya istana dan bou artinya
baru. Tidak banyak orang yang tau istana ini. Bangunan ini terkesan
tertutup, karenanya Asi Bou penuh misteri. Asi Bou berdampingan dengan
Istana Bima. Persisnya disebelah timur istana. Dia seperti mengawal
bangunan disebelahnya. Istana ini sebenarnya hanya tempat tinggal
keluarga kerajaan. Dia tidak digunakan sebagai pusat penyelenggaraan
pemerintahan. Sebagian besar bangunan Asi Bou terbuat dari kayu. Itu
sebabnya disebut istana kayu. Konstruksinya seperti rumah panggung
Bima. Sesuai namanya, Asi Bou dibangun belakangan, di masa
pemerintahan Sultan Ibrahim (1881-1916).

- Sumur tua istana terletak di sudut Barat daya halaman istana


merupakan sumber air untuk memenuhi kebutuhan air istana

b. Benda cagar budaya (BCB) bergerak

BCB bergerak yang ada di lingkungan Istana Bima terdiri dari 2


(dua) komponen yaitu : BCB yang berada di halaman Istana dan BCB
yang tersimpan di dalam Istana, dengan rincian sebagai berikut :
BCB yang berada di halaman Istana

Koleksi yang berada di halaman istana terdiri dari 7 buah meriam


bahan perungu. Masing-masing meriam berukuran (panjang, lebar dan
garis tengah) laras sebagai berikut :

1. Meriam berukuran panjang 152 cm dan garis tengah laras 20 cm

2. Meriam berukuran panjang 143 cm dan garis tengah laras 12 cm

3. Meriam berukuran panjang 164 cm dan garis tengah laras 21 cm

4. Meriem berukuran panjang 136 cm dan garis tengah laras 19 cm


pada sisinya tertulis angka 1815 M

5. Meriam berukuran panjang 163 cm dan garis tengah laras 22 cm

6. Meriam berukuran panjang 121 dan garis tengah laras 16 cm

7. Meriam berukuran panjang 147 dan garis tengah laras 11 cm

Disamping Meriam kuno terdapat juga sebuah arca berupa


Fragmen dari arca Nandi (lembu nandi), yang bagian kepalanya dalam
keadaan patah. Arca ini berukuran panjang 75 cm dan lebarnya 53 cm,
terbuat dari bahan batu andesit. Memperhatikan bentuknya diperkirakan
kekunan ini dibuat pada abad ke 11 Masehi.

BCB yang tersimpan di dalam ruang Istana

Benda cagar budaya yang yang ada di dalam ruang Istana


dimanfaatkan sebagai koleksi Museum Asi Mbojo Bima yang seluruhnya
merupakan bekas koleksi Istana kesultanan Bima. Benda-benda tersebut
masih berfungsi sebagai sarana kelengkapan dalam prosesi upacara
kesultanan. BCB tersebut terdiri dari beberapa jenis yaitu : Senjata,
Wadah (talam),jenis tempat air, serta koleksi yang diperoleh dari Negara
Eropa pada masa penjajahan Belanda di Indonesia. Koleksi yang cukup
penting dalam kaitan sebagai benda purbakala terdapat dalam dua buah
ruangan, yakni berada diruangan bagian utara dan ditengah.

Adapun rincianya adalah sebagai berikut :

1. Keris
Koleksi keris kerajaan Bima yang dipajang di Museum Asi Mbojo
berjumlah 20 buah masing-masing dengan nama dan fungsi sebagai
berikut ;

- Keris yang disebut dengan istilah Tata Rupa adalah jenis


peninggalan yang pada umumnya digunakan sebagai pusaka
jabatan para raja muda kesultanan Bima. Pada bagian sisi (luar)
sarung keris berlapis emas.

- Keris sebagai simbul kelengkapan pakaian upacara pejabat


kesultanan Bima. Jumlah keris ini sebanyak 6 buah pada bagian
sarung dan pegangannya berlapis emas.

- Keris tanpa sarung

Keris ini difungsikan sebagai sarana pembunuh dalam memutuskan


hukuman mati pada zaman kesultanan Bima, jumlah keris ini 1
buah.

- Keris yang digunakan oleh pejabat tinggi kerajaan 3 buah

- Keris bumi Renda

Keris yang biasa digunakan oleh panglima kesultanan Bima. Keris


ini berjumlah 3 buah sarungnya ini berlapis emas

- Keris

Sebuah keris yang biasa digunakan pejabat kesultanan Bima yang


disebut Jeneli yang setara dengan jabatan camat pada jaman
kesultanan Bima

- Keris

Keris dengan hiasan hulu berbentuk raksasa Niwata kawaca yang


diperoleh dari jawa timur

2. Talam

Jenis talam yang dipajang dalam bahasa daerah Bima disebut “ tari, “
kampu”, dan “sampai”, “kampu”. Koleksi ini berfungsi sebagai tempat
bunga dalam rangkaian prosesi upacara adat di Istana Sultan Bima,
bahannya terbuat dari emas.

3. Tempat lilin

Berfungsi sebagai sarana penerangan dalam rangkaian upacara adat


di Istana Sultan Bima terbuat dari bahan Emas.

4. Cerek

Berfungsi sebagai wadah air minum, bahannya terbuat dari perak.

5. Wadah pencuci tangan

Koleksi ini disebut dengan Ngamo ( wacarima ). Difungsikan sebagai


wadah pencuci tangan ketika upacara pesta di Istana Sultan Bima,
bahannya dari emas

6. Tempat sirih dan tempat pinang

Koleksi ini menurut bahasa Bima disebut Selapa dengan bahan emas.

7. Tempat pembuangan ludah

Koleksi ini terbuat dari bahan semacam kuningan.

8. Tongkat dan cambuk kuda

Koleksi ini merupakan peninggalan tongkat kebesaran Sultan Bima


pada

jaman dahulu.

9. Pedang sebagai senjata pimpinan pasukan kesultanan Bima

Menurut bahasa daerah Bima jenis pedang ini disebut dengan


istilah

“Sondi”, bagian sarung pedang berlapis emas berjumlah 1 buah.

10. Pedang

Berjumlah 3 buah yang biasanya digunakan oleh petugas kesultanan


Bima yang bertugas di Reo (Flores barat)

11.Golok
Senjata jenis ini digunakan sebagai kelengkapan tanda jabatan
kesultanan Bima yang bertugas di daerah Reo (Flores Barat)

12. Pedang (1 buah)

Digunakan oleh perwira kesultanan Bima

13. Rantai Kendali Kuda Sultan

14. Payung dan Tombak Kesultanan

Payung jenis ini difungsikan sebagai payung pelantikan Sultan, pada


saat upacara penobatan Sultan Bima

15.Sebuah Genderang (tambur) kesultanan Bima

Tambur ini telah digunakan pada masa pemerintahan Sultan Abdul


Khahir Sirajuddin, pada tahun 1640-1682 M.

16. Alat Upacara Kematian

Terdiri dari, cerek (cere), kain pembungkus mayat dan batu nisan

17. Lonceng

Bahan perunggu, Lonceng ini diperoleh dari negeri Belanda. Pada


bagian sisinya memuat angka tahun pembuatan, yakni 1735 Masehi.
Pada jaman pemerintahan kesultanan difungsikan sebagai pertanda
waktu

18. Senapan (senjata)

Jenis senjata api yang dibuat tahun 1640-1682 M berasal dari Portugis

You might also like