You are on page 1of 10

Tugas Hukum Laut

“Prinsip Pengelolaan Perikanan Maupun


Usaha Perikanan”

RENDY MULANDY
B111 08 424

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
TAHUN 2010
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar belakang

Sebagaimana kita ketahui bahwa saat ini Indonesia memiliki wilayah perairan
terbesar di dunia dan dua pertiga dari wilayahnya merupakan wilayah perairan.
Secara geografis Indonesia merupakan negara maritim, yang memiliki luas laut
sebesar 5,8 Juta km² yang terdiri dari laut territorial dengan luas 0.8 juta km2, laut
nusantara 2.3 juta km2 dan zona ekonomi eksklusif 2.7 juta km2. Disamping itu
Indonesia memiliki pulau sebanyak 17.480 pulau dan garis pantai sepanjang
95.181 km.

Pada saat Indonesia diproklamasikan sebagai negara yang merdeka pada


tanggal 17 Agustus 1945 oleh dwi-tunggal Soekarno-Hatta, Indonesia merupakan
negara yang terdiri atas beribu pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke,
dan dapat disebut sebagai negara pulau-pulau. Undang – undang Dasar 1945 yang
resmi diberlakukan pada tanggal 18 Agustus 1945 menyatakan bahwa Indonesia
adalah negara kesatuan dalam bentuk republik, namun sayangnya ketika itu tidak
disebutkan batas-batas wilayah nasional Indonesia sesungguhnya.

Pemerintah Indonesia bertanggungjawab menetapkan pengelolaan sumberdaya


alam Indonesia bagi kepentingan seluruh masyarakat, dengan memperhatikan
kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya tersebut. Hal ini juga berlaku bagi
sumberdaya perikanan, seperti ikan, lobster dan udang, teripang, dan kerang-
kerangan seperti kima, dan kerang mutiara. Sumberdaya ini secara umum disebut
atau termasuk dalam kategori dapat pulih. Namun, kemampuan alam untuk
memperbaharui ini bersifat terbatas. Jika manusia mengeksploitasi
sumberdaya melelebihi batas kemampuannya untuk melakukan pemulihan,
sumberdaya akan mengalami penurunan, terkuras dan bahkan menyebabkan
kepunahan.

Penangkapan berlebih atau ‘over-fishing’ sudah menjadi kenyataan pada


berbagai perikanan tangkap di dunia – Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia
(FAO) memperkirakan 75% dari perikanan laut dunia sudah tereksploitasi penuh,
mengalami tangkap lebih atau stok yang tersisa bahkan sudah terkuras – hanya
25% dari sumberdaya masih berada pada kondisi tangkap kurang (FAO, 2002).
Total produksi perikanan tangkap dunia pada tahun 2000 ternyata 5% lebih rendah
dibanding puncak produksi pada tahun 1995 (tidak termasuk Cina, karena unsur
ketidak-pastian dalam statistik perikanan mereka). Sekali terjadi sumberdaya
sudah menipis, maka stok ikan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk pulih
kembali, walaupun telah dilakukan penghentian penangkapan. Masalah ini bahkan
sudah menjadi pesan SEKJEN – PBB pada Hari Lingkungan Hidup sedunia
tanggal 5 Juni 2004.

Departemen Kelautan dan Perikanan, DKP, sangat memahami permasalahan


penangkapan berlebih di perairan laut Indonesia Bagian Barat, khususnya perairan
pantai utara Jawa. Didorong oleh harapan publik dimana sektor perikanan harus
memberikan kontribusi terhadap peningkatan GNP Indonesia melalui peningkatan
produksi hasil tangkap, DKP sekarang sedang mencari ‘sumberdaya yang tidak
pernah habis’ tersebut di Indonesia Bagian Timur (Widodo, 2003).
BAB II
PEMBAHASAN

Aturan Umum Mengenai Perikanan

Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum terhadap


tindak pidana di bidang perikanan, maka dalam Undang-Undang ini diatur mengenai
pembentukan pengadilan perikanan di lingkungan peradilan umum, yang untuk pertama
kali dibentuk di lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak,
Bitung, dan Tual. Namun demikian, mengingat masih diperlukan persiapan maka
pengadilan perikanan yang telah dibentuk tsb, baru melaksanakan tugas dan fungsinya
paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini mulai berlaku.
Pengadilan perikanan tsb bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus
tindak pidana di bidang perikanan yang dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri atas 1
(satu) orang hakim karier pengadilan negeri dan 2 (dua) orang hakim ad hoc.
Mengingat perkembangan perikanan saat ini dan yang akan datang, maka Undang-
Undang ini mengatur hal-hal yang berkaitan dengan:
a. pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan,
pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang
berkelanjutan;
b. pengelolaan perikanan wajib didasarkan pada prinsip perencanaan dan
keterpaduan pengendaliannya;
c. pengelolaan perikanan dilakukan dengan memperhatikan pembagian kewenangan
antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah;
d. pengelolaan perikanan yang memenuhi unsur pembangunan yang
berkesinambungan, yang didukung dengan penelitian dan pengembangan
perikanan serta pengendalian yang terpadu;
e. pengelolaan perikanan dengan meningkatkan pendidikan dan pelatihan serta
penyuluhan di bidang perikanan;
f. pengelolaan perikanan yang didukung dengan sarana dan prasarana perikanan
serta sistem informasi dan data statistik perikanan;
g. penguatan kelembagaan di bidang pelabuhan perikanan, kesyahbandaran
perikanan, dan kapal perikanan;
h. pengelolaan yang didorong untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan
kelautan dan;
i. pengelolaan dengan tetap memperhatikan dan memberdayakan nelayan kecil atau
pembudi daya ikan kecil;
j. pengelolaan perikanan yang dilakukan di perairan Indonesia, zona ekonomi
eksklusif Indonesia, dan taut lepas yang ditetapkan dalam bentuk peraturan
perundang-undangan dengan tetap memperhatikan persyaratan atau standar
internasional yang berlaku;
k. pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan, baik yang berada di perairan
Indonesia, zona ekonomi eksklusif Indonesia, maupun laut lepas dilakukan
pengendalian melalui pembinaan perizinan dengan memperhatikan kepentingan
nasional dan internasional sesuai dengan kemampuan sumber daya ikan yang
tersedia;
l. pengawasan perikanan;
m. pemberian kewenangan yang sama dalam penyidikan tindak pidana di bidang
perikanan kepada penyidik pegawai negeri sipil perikanan, perwira TNI-AL, dan
pejabat polisi negara Republik Indonesia;
n. pembentukan pengadilan perikanan; dan
o. pembentukan dewan pertimbangan pembangunan perikanan nasional.

Sistem Info Dan Data statistik Perikanan

Sistem Info dan Data statistik Perikanan di jelaskan juga dalam Undang – Undang
Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2004 dalam pasal 46 ayat 1 mengatakan bahwa
“Pemerintah menyusun dan mengembangkan sistem informasi dan data statistik perikanan
serta menyelenggarakan pengumpulan, pengolahan, analisis, penyimpanan, penyajian, dan
penyebaran data potensi, sarana dan prasarana, produksi, penanganan, pengolahan dan
pemasaran ikan, serta data sosial ekonomi yang terkait dengan pelaksanaan pengelolaan
sumber daya ikan dan pengembangan sistem bisnis perikanan”.

Data Produksi perikanan budidaya Indonesia


Tahun 2004 2005 2006 2007
Prod Budidaya 1,468,610 2,163,674 2,682,596 3,088,800
(Ton)

Prod 4,651,121 4,705,868 4,769,160 4,940,000


Penangkapan
(Ton)
Total Produksi 6,119,731 6,869,542 7,451,756 8,028,800
(Ton)

Seperti yang telah kita ketahui sebelumnya dalam pasal 46 asal 1 mengenai perikanan
secara rinci menjelaskan penyelenggarakan pengumpulan, pengolahan, analisis,
penyimpanan, penyajian, dan penyebaran data potensi, sarana dan prasarana, produksi,
penanganan, pengolahan dan pemasaran ikan, serta data sosial ekonomi yang terkait dengan
pelaksanaan pengelolaan sumber daya ikan dan pengembangan sistem bisnis perikanan. Tapi
kali ini saya mengambil contoh Produksi Perikanan.

Dari data diatas Produksi perikanan budidaya Indonesia digolongkan atas jenis
budidaya antara lain: Budidaya Laut, Budidaya Tambak, Budidaya Kolam, Budidaya
Karamba, Budidaya Jaring Apung, Budidaya Sawah (DKP 2007). Untuk perikanan tangkap
Indonesia digolongkan atas jenis Perairan Laut, dan Perairan Umum (DKP 2006). Apabila
kita menggunakan CAGR, maka pertumbuhan Produksi Perikanan Budidaya mencapai
28,1% dan Perikanan Tangkap 2%, dan pertumbuhan perikanan Indonesia untuk empat tahun
terakhir 9,5%. Data ini memperlihatkan pertumbuhan perikanan Indonesia masih berkembang
cukup baik terutama sektor Budidaya, namun di sektor penangkapan pertumbuhan makin
rendah karena akibat overfishing dan musim yang mulai tidak menentu akibat Global
Warming.

Menurut Media Indonesia (Rabu, 04 April 2007), Potensi produksi perikanan


Indonesia mencapai 65 juta ton per tahun. Dari potensi tersebut hingga saat ini dimanfaatkan
sebesar 9 juta ton. Namun, potensi tersebut sebagian besar berada di perikanan budidaya yang
mencapai 57,7 juta ton per tahun dan baru dimanfaatkan 2,08%. Sedangkan potensi perikanan
tangkap (laut dan perairan umum) hanya sebesar 7,3 juta ton per tahun dan telah
dimanfaatkan sebesar 65,75%. Melihat data diatas, potensi perikanan kita masih terbuka dan
pemanfaatannya masih minim. Namun jika kita melihat lebih jauh, ternyata di sektor
penangkapan pemanfaatan sudah mencapai 65% dan beberapa daerah dilaporkan sudah over
fishing, namun di sektor budidaya pemanfaatan baru mencapai 5 % saja. Dari beberapa
laporan dan kegiatan Departemen Kelautan dan Perikanan yang saya ikuti, pemerintah
berusaha mengoptimalkan kedua sektor diperikanan ini.

Di Perikanan Budidaya, pemerintah mencoba mengembangkan industri yang


menyerap tenaga kerja, perikanan berskala mikro, pengembangan kawasan budidaya,
produksi induk dan benih unggul dan lainnya. Di Perikanan Tangkap, pemerintah
menerapkan kegiatan pemacuan stock ikan, memaksimalkan rumpon, perbaikan ekositem
laut dan pembrantasan ilegal fishing.

Dalam rangka penyusunan rencana pengembangan sistem informasi dan data statistik
perikanan serta penilaian kemajuannya, diperlukan data teknik, produksi, pengolahan,
pemasaran ikan, serta sosial ekonomi yang dapat memberikan gambaran yang benar tentang
tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan yang tersedia.
Data dan informasi tsb, antara lain:
a. jenis, jumlah, dan ukuran kapal perikanan;
b. jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan;
c. daerah dan musim penangkapan;
d. jumlah tangkapan atau jumlah hasil pembudidayaan ikan;
e. luas lahan dan daerah pembudidayaan ikan;
f. jumlah nelayan dan pembudi daya ikan;
g. ukuran ikan tangkapan dan musim pemijahan ikan;
h. data ekspor dan impor komoditas perikanan; dan
i. informasi tentang persyaratan tertentu yang berkaitan dengan standar ekspor.

Pengadilan Perikanan

Penggunaan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau
bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan
lingkungannya tidak saja mematikan ikan secara langsung, tetapi dapat pula membahayakan
kesehatan manusia dan merugikan melayan serta pembudi daya ikan. Apabila terjadi
kerusakan sebagai akibat penggunaan bahan dan alat dimaksud, pengembalian ke dalam
keadaan semula akan membutuhkan waktu yang lama, bahkan mungkin mengakibatkan
kepunahan.

Pelarangan penggunaan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan
diperlukan untuk menghindari adanya penangkapan ikan dengan menggunakan peralatan
yang dapat merugikan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya. Hal itu dilakukan
mengingat wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sangat rentan terhadap
penggunaan alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan ciri khas alam, serta kenyataan
terdapatnya berbagai jenis sumber daya ikan di Indonesia yang sangat bervariasi,
menghindari tertangkapnya jenis ikan yang bukan menjadi target penangkapan.

Dalam rangka pengembangan perikanan, Pemerintah membangun dan membina


pelabuhan perikanan yang berfungsi, antara lain, sebagai tempat tambat-Iabuh kapal
perikanan, tempat pendaratan ikan, tempat pemasaran dan distribusi ikan, tempat pelaksanaan
pembinaan mutu hasil perikanan, tempat pengumpulan data tangkapan, tempat pelaksanaan
penyuluhan serta pengembangan masyarakat nelayan, dan tempat untuk memperlancar
kegiatan operasional kapal perikanan.
Untuk mendukung dan menjamin kelancaran operasional pelabuhan perikanan,
ditetapkan batas-batas wilayah kerja dan pengoperasian dalam koordinat geografis.

Dalam hal wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhan perikanan berbatasan dan/atau
mempunyai kesamaan kepentingan dengan instansi lain, penetapan batasnya dilakukan
melalui koordinasi dengan instansi yang bersangkutan.

Beberapa contoh Kasus Pengadilan Perikanan :

1. Kasus kapal angkut ikan Negara Asing dari Taiwan MV SHENG YIH (th 2003).

Tertangkap oleh patroli TNI AL di perairan Bitung Sulawesi Utara ketika sedang
menuju pelabuhan Bitung. Duduk masalahnya adalah karena MV Sheng Yih sudah
beroperasi, padahal kelengkapan Surat Izinnya masih dalam pengurusan oleh Perwakilannya
di Jakarta. Jadi ketika tertangkap, Nakhoda (YAO CHING FA) tidak dapat menunjukkan
SIKPI-NA (Surat Izin Angkut Ikan Kapal Asing) karena SIKPI-NA masih berada di tangan
Perwakilannya di Jakarta. Kasusnya di bawa ke Armatim Surabaya dan perkara dilimpahkan
oleh Satroltas Lantamal 2 Sby ke Kejaksaan Negeri Tanjung Perak Surabaya. Jaksa yang
menangani adalah Wim Longitubun, melimpahkan perkara tsb ke Pengadilan Negeri
Surabaya.

Dalam persidangan, kami berhasil membuktikan bahwa MV Seng Yih tidak


melakukan Kejahatan Perikanan melainkan hanya Pelanggaran terhadap UU Perikanan,
disebabkan karena kelalaian Perwakilan kapal di Jakarta yang tidak segera menyampaikan
SIKPI-NA kepada Nakhoda. Hakim menjatuhkan Hukuman denda Rp 100.000.000.- Barang
bukti berupa Kapal MV Sheng Yih dikembalikan kepada Pemilik, ikan yang disita dan telah
dilelang seharga lk. Rp 3.400.000.000.- dikembalikan kepada Pemilik.

Dalam perkara ini, Jaksa kemudian naik Banding. Kami selaku Kuasa Hukum pada
Pengadilan tingkat pertama tidak mendapat Kuasa untuk melakukan Kontra Memori
Banding. Hasilnya, Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur mejatuhkan Putusan:
Menghukum Terdakwa 2 tahun penjara, Kapal dirampas untuk Negara, Ikan dalam bentuk
hasil lelang sebesar Rp 3.400.000.000.- dirampas untuk negara. Putusan yang cukup
mengagetkan Pemilik kapal.

Setelah adanya Putusan tersebut, maka Pemilik Kapal menghubungi kami lagi untuk
melakukan upaya hukum Kasasi. Sekarang perkaranya telah maju ke tingkat Kasasi, dan
sampai tulisan ini dibuat belum ada berita kelanjutannya.

2. Kasus kapal ikan RRC MV CHANG SHUN (2004)

Tertangkap melakukan transfer ikan di tengah laut dari kapal-kapal penangkap ikan di
zona zee Laut Arafuru. Kapal ditarik oleh TNI AL dari Laut Arafuru ke Pangkalan TNI AL
Surabaya. Perkara dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Surabaya. Perkara ditangani oleh Jaksa
Ny. Iin dan JPU Rian. Mirip dengan kasus MV Sheng Yih, dalam perkara ini Surat-surat Izin
lengkap termasuk SIKPI-NA. Hanya saja, kebetulan Nakhoda asli MV Chang Shun sedang
sakit ketika kapal akan berangkat ke Indonesia, sehingga digantikan oleh Muallim I sebagai
pajabat Nakhoda (YU CHENG TIAN). Masalahnya adalah karena dalam SIKPI-NA
dicantumkan nama Nakhoda aslinya sedang ketika tertangkap, nama Nakhodanya lain.
Kami berhasil meyakinkan Hakim bahwa Terdakwa tidak bersalah melakukan
kejahatan perikanan sebagaimana yang didakwakan oleh JPU, melainkan hanya Pelanggaran
Perikanan karena tidak memiliki Surat Izin berlayar (SIB yang dikeluarkan oleh syahbandar
Indonesia).

Hakim menjatuhkan Pidana denda Rp 100.000.000.-, ikan dalam bentuk hasil Lelang
sebesar l.k. Rp 2.300.000.000.- dirampas untuk Negara, Kapal MV Chang Shun
dikembalikan kepada pemiliknya. Jaksa terlambat naik banding (melebihi waktu 14 hari)
sehingga upaya Banding JPU gagal. Sekarang, kasus pokoknya telah selesai, tetapi Penasihat
Hukum tidak puas karena ikan yang merupakan hasil tangkapan yang syah tetap dirampas
untuk negara. Kami menyarankan untuk melakukan PK khusus untuk memperoleh hasil
lelang ikannya. Sekarang perkara telah maju ke PK dan sampai sekarang belum ada Putusan
PK.

3. Kapal Angkut Ikan Asing (RRC) HANG SHUN (2005)

Tertangkap oleh TNI AL di perairan Arafuru sedang transfer ikan dari kapal-kapal
penangkap ikan. Seharusnya menurut UU, kapal angkut ikan harus transfer ikan di Pelabuhan
sesuai yang tertera di dalam Surat Izin SIKPI-NA nya. Perwakilan kapal di Jakarta sudah
mengingatkan pemilik kapal agar jangan dulu melakukan operasi di perairan Indonesia
karena SIKPI-NA masih sedang diurus. Tetapi rupanya peringatan itu tidak diindahkan oleh
Pemilik Kapal. Akibatnya, kapal tsb tertangkap oleh Patroli TNI AL. Kapal ditarik
ke Pangkalan TNI AL Surabaya. Perkara disidik oleh Satroltas Lantamal 2 Surabaya selama
l.k 4 bulan. Dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Tg Perak Surabaya ditangani oleh Jaksa
Sugeng, dan diadili di PN Surabaya.

Perkara ini adalah perkara limpahan. Semula ditangani oleh Pengacara lain, tapi
karena pemilik kapal tidak puas dengan cara kerja Pengacara tsb sehingga kuasanya dicabut
dan dilimpahkan kepada Lawfirm M.ARSYAD GAFAR,SH dan Rekan. Putusan Pengadilan:
Nakhoda (YANG YONG FU) dihukum penjara 2 tahun, Ikan disita, Kapal dikembalikan
kepada Pemiliknya (alasan Hukum: Karena kapal tsb dioperasikan oleh Penyewa, sehingga
Pemilik kapal tidak ikut bertanggung jawab atas kesalahan pengoperasian kapal tsb).

4. Kapal Penangkap ikan Asing Thailand, PHONGTHIP CHOOLAPHOOM dan


PHOOMTHIP PIYAPHOOM.

Tertangkap tangan oleh Patroli TNI AL di laut wilayah ZEE Arafuru ketika sedang
melakukan penangkapan ikan dengan tehnik Pair Trawl (dua kapal secara bersama-sama
menarik Pukat Harimau). Perbuatan tsb sangat terlarang sesuai UU Perikanan karena dapat
merusak habitat ikan di laut. Termasuk tindak pidana kejahatan Perikanan yang berat.
Kapal disidik oleh Lanal Timika, kemudian dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Timika.
Perkara ditangani oleh JPU Franky Sonlaku. Diadili di Pengadilan Negeri Timika. Nakhoda
(PRAKAP DATHONG dan SOMCHAI CANCHAMRATSRI) dipidana penjara 2 tahun,
denda 1 Milyar rupiah, ikan disita, kapal disita.

Pembelaan perkara sangat sulit karena bukti-bukti kejahatan sangat kuat. Perkara
pokoknya telah selesai, tapi kemudian Pengacara mengajukan Peninjauan Kembali
berdasarkan pasal 102 UU Perikanan. Ketentuan dalam pasal 102 tsb menyatakan bahwa
pelanggaran UU Perikanan di wilayah ZEE tidak boleh dijatuhkan Pidana Badan. Mengapa
kok melakukan PK dan bukan Banding? Alasan Pengacara adalah bahwa apabila dilakukan
upaya hukum Banding, maka kapal dan Anak Buah Kapal akan tetap tertahan di kapal selama
proses Banding dan mungkin juga kasasi. Artinya akan menyiksa ABK dalam waktu yang
sangat lama. Jadi, kami memilih untuk "menerima" putusan sehingga kapal cepat
dilelang/dieksekusi dan ABK bisa segera dipulangkan ke negaranya.

Memang ini adalah pilihan yang terberat, tapi hanya itulah jalan yang bisa ditempuh
oleh Pengacara dalam menyelesaikan perkara ini. Perkara PK sudah diajukan, tapi sampai
sekarang belum ada putusan. Masih ada 3 buah kapal asing yang sedang dalam penanganan.
Isi selengkapnya masih dalam proses updating.

5. kasus tumpahan minyak di Indonesia


Pencemaran lingkungan oleh tumpahan minyak kapal bukan hal baru di Indonesia.
Sebelum MT Kharisma Selatan beberapa kasus tumpahan minyak juga telah terjadi.
Setidaknya telah terjadi sembilan kali kasus tumpahan minyak di Indonesia sejak 1975.
Tanker Showa Maru, karam di Selat Malaka tahun 1975, menumpahkan 1 juta ton minyak
mentah; Choya Maru, karam di Bulebag, Bali (1975), menumpahkan 300 ton bensin; Golden
Win, bocor di Lhokseumawe, NAD (1979), menumpahkan 1.500 kiloliter minyak tanah.
Kemudian, Nagasaki Spirit, karam di Selat Malaka (1992), menumpahkan minyak mentah;
Maersk Navigator, karam di Selat Malaka (1993), menumpahkan minyak mentah; Bandar
Ayu, karam di Pelabuhan Cilacap (1994), menumpahkan minyak mentah; Mission Viking,
karam di Selat Makassar (1997), menumpahkan minyak mentah; dan MT Natuna Sea, karam
di Pulau Sambu (2000), menumpahkan 4.000 ton minyak mentah. (Kamaluddin, 2002).
Menurut Ingmanson dan Wallace (1985), sekitar 6 juta metrik ton minyak setiap
tahun mencemari lautan. Penyebabnya secara umum adalah transportasi minyak, pengeboran
minyak lepas pantai, pengilangan minyak dan pemakaian bahan bakar produk minyak bumi.
Laut yang tercemar oleh tumpahan minyak akan membawa pengaruh megatif bagi berbagai
organisme laut. Pencemaran air laut oleh minyak juga berdampak terhadap beberapa jenis
burung. Air yang bercampur minyak itu juga akan mengganggu organisme aquatik pantai,
seperti berbagai jenis ikan, terumbu karang, hutan mangrove dan rusaknya wisata pantai.
Karamnya tanker Showa Maru telah menurunkan produksi tangkapan ikan di sekitar Selat
Malaka dari 27,6 ton pada tahun 1974 menjadi 6,1 ton pada tahun 1975 (Bilal, 1990).
Tumpahan minyak juga akan menghambat/mengurangi transmisi cahaya matahari ke dalam
air laut karena diserap oleh minyak dan dipantulkan kembali ke udara.
DAFTAR PUSTAKA

Atmadja S.B., Nugroho D., Suwarso, Hariati T. & Mahisworo 2003. Pengkajian stok ikan di
Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Laut Jawa [Review of the fish stocks and fishery of
the Java Sea Fishery Management Area]. In: Widodo J., Wiadnya N.N. & Nugroho D. (Eds).
Prosiding forum pengkajian stok ikan laut 2003. Jakarta, 23-24 Juli 2003. PUSRIPT-BRKP,
Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. pp. 67-90

http://www.indonesiamaritimeclub.com/2008/01/05/menyoal-penanganan-pencemaran-laut-
di-indonesia/;http://www.nasehathukum.com/kasus-perikanan-di-situs-
webnasehathukumcom-54.xml

You might also like